4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mekanisme Toleransi Terhadap Aluminium (Al) Pada prinsipnya ada dua mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman Al. Menurut Taylor (1991), mekanisme pertama adalah mekanisme eksklusi dengan cara mencegah Al masuk kedalam simplas dan mencapai daerah metabolik yang peka. Mekanisme kedua adalah mekanisme internal dengan imobilisasi, kompartementasi dan detoksifikasi saat Al masuk kedalam simplas. Mekanisme eksklusi dapat berupa: (1) immobilisasi Al pada dinding sel: dinding sel tanaman memiliki sifat yang berbeda dalam menghalangi pergerakan Al. Sebagian besar Al yang diserap akar masuk melalui apoplas dengan menggantikan kedudukan Ca2+ dalam sel tanaman. Immobilisasi Al pada dinding sel akan mengurangi pergerakan Al ke dalam simplas; (2) Permeabilitas selektif membran plasma terhadap Al: membran plasma bertindak sebagai penghalang terhadap masuknya Al ke sitosol; (3) Meningkatkan pH di sekitar perakaran: tanaman yang toleran terhadap Al cenderung menaikkan pH lebih cepat dibandingkan tanaman yang peka sehingga dapat membentuk Al menjadi bentuk yang tidak beracun; (4) Eksudasi senyawa-senyawa pengkelat: Al dapat dikeluarkan dari simplas jika ligan pengkelat dibebaskan ke rizosfir dan ligan tersebut membentuk kompleks yang stabil dengan Al, sehingga mengurangi aktifitas ion Al bebas pada daerah akar-tanah serta mengurangi absorpsi melalui membran plasma. Contoh ligan pengkelat adalah asam organik seperti asam oksalat, asam sitrat, asam suksinat, dan asam malat; dan (5) Eksudasi fosfat: fosfat yang secara aktif dikeluarkan dari akar tanaman dapat membentuk kompleks tak larut dengan Al, sehingga mengurangi pengaruh Al pada permukaan menbran dan/atau penyerapan melalui membran plasma. Mekanisme internal mencakup: (1) kelatisasi Al di sitosol: meningkatnya produksi asam organik pada tanaman yang toleran Al dapat berperan dalam mengurangi toksisitas Al dalam sitosol; (2) kompartemensasi Al di vakuola yakni Al diasingkan pada tempat yang tidak peka terhadap Al; (3) Protein pengikat Al: banyak jenis tanaman memiliki protein pengikat logam yang pembentukannya dapat terinduksi oleh logam-logam terutama Cd, Zn, Cu, dan Pb yang dikenal 5 dengan nama fitokelatin; dan (4) Induksi sintesis protein tertentu: pada tanaman gandum kultivar PT741 (toleran Al) Basu et al. (1994) menemukan protein sebesar 51 kD yang diisolasi dari membran mikrosomal pada akar. Protein ini disintesis pada ujung akar karena terinduksi cekaman Al 100 µM sedangkan pada kultivar Neepawa (peka terhadap Al) tidak terbentuk protein tersebut. Beberapa spesies tanaman memiliki kemampuan untuk mengakumulasi Al di dalam tunas daun dan akar. Tanaman yang memiliki kemampuan ini antara lain teh (Carr et al. 2003; Ruan & Wong 2004), melastoma (Watanabe & Osaki 2002), dan buckwheat (Ma et al. 1998 ; Zheng et al. 1998). Tanaman disebut sebagai akumulator logam bila mampu mengakumulasi logam sedikitnya 0,1 % pada jaringan (Barcel & Poschnenrider 2003). Mekanisme tanaman dalam mengakumulasi Al masih belum diketahui secara pasti. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa Al yang masuk ke dalam tanaman terjerap oleh asam organik yang dihasilkan oleh tanaman. Pada teh diduga bahwa Al terikat pada senyawa chatecin (Vitorello et al. 2005), sedangkan pada melastoma Al terikat pada oksalat dan malat dalam daun (Watanabe & Osaki 2002). Ekspresi beberapa gen pada gandum terinduksi oleh Al, dan salah satu diantaranya adalah gen penyandi metallothionein (Snowden et al. 1995). Metallothionein merupakan protein yang diproduksi oleh tanaman untuk mengikat logam (Cobbett & Goldsbrough 2002). Gen penyandi metallothionein juga berhasil diisolasi dan dikarakterisasi dari Melastoma affine L. yang merupakan salah satu tanaman akumulator Al (Suharsono et al. 2009). Snowden dan Gardner (1993) menyatakan bahwa Al meningkatkan ekspresi gen MT pada gandum. Al merupakan kation yang sangat reaktif dan termasuk ke dalam golongan hard cation bedasarkan klasifikasi dari Niebour dan Richardson (1980). Oleh karena itu, Al merupakan pengikat yang kuat untuk kelompok hard negative donor, misalnya kelompok karboksil (-COOH), hidroksil (-OH), karbonil (-CO), dan fosfat (-PO3). Sedangkan gugus sulfidril tidak dapat mengikat Al dengan kuat, walaupun berada pada pengkelat seperti misalnya pada metallothionein dan pada phytochelatin (Vitorello et al 2005). Oleh karena itu, induksi gen MT2 oleh cekaman Al diduga berkaitan dengan interferensi Al 6 terhadap ion logam lain yang berpengaruh terhadap metabolisme tanaman secara normal, sehingga MT2 dibutuhkan untuk menjaga homeostasis ion logam tersebut. Ion logam esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dan berikatan dengan MT2 adalah Cu dan Zn (Snowden & Gardner 1993). 2.2 Metallothionein Tanaman memiliki mekanisme untuk mengendalikan dan merespon masuknya ion logam yang berbahaya ke dalam selnya. Salah satu mekanisme internal yang dimiliki oleh tanaman yaitu dengan mengikat ion logam tersebut pada protein atau senyawa organik tertentu dan mengakumulasikannya pada bagian tanaman tertentu misalnya daun. Tanaman tingkat tinggi memiliki dua kelompok besar peptida pengikat logam, yaitu metallothionein (MT) dan phytochelatin (PC) (Cobbett & Goldsbrough 2002). MT merupakan polipeptida yang memiliki banyak ikatan sistein (cys) yang disandikan oleh gen, memiliki berat molekul yang rendah, dan merupakan protein pengikat logam. Sebagai konsekuensi dari banyaknya kandungan asam amino Cys maka protein ini mengandung kelompok ’thiol’ (sulfidril, -SH) dalam jumlah yang besar. Kelompok ’thiol’ mengikat logam-logam berat dengan sangat kuat dan efisien, termasuk zink, merkuri, tembaga, dan kadmium. Residu sulfidril dari Cys mampu mengikat logam dimana satu ion logam diikat oleh tiga residu –SH atau satu ion logam dengan 2 residu –SH. Koordinasi pengikatan dari setiap ion logam melalui residu –SH yang ada pada Cys, membentuk struktur tetrahedral tetrathiolate (Schultze et al. 1988; Robbins et al. 1991). Pada hewan, logam akan terikat pada residu cys dalam formasi logam-cys-(thiolate) dengan cara pertukaran ion logam misalnya ion Zn tergantikan dengan ion Cu, Cd, atau Hg (Duncan et al. 2006). Menurut Zangger et al. (2001), MT mengikat logam dengan sangat kuat namun pertukaran ikatan logam dapat berlangsung dengan mudah karena ikatan MT terhadap logam memiliki stabilitas termodinamik yang tinggi dan stabilitas kinetik yang rendah. Selain terinduksi oleh logam, gen MT terinduksi oleh cekaman oksidatif pada jaringan gabus (Mir et al. 2004), terekspresi pada saat fase senescense pada daun (Buchanan-Wallaston 1994), dan saat pematangan buah (Davies & Robinson 7 2000). Seringkali beberapa tipe MT ditemui pada tanaman yang sama dan memiliki kesamaan kinerja seperti yang ditemui pada Arabidopsis, dimana Hernandez et al. (1998) menemukan bahwa terdapat overlapping antara MT1 dan MT2 dalam pola ekspresinya. Pada arabidopsis, MT ditemukan terekspresi walaupun tidak ada cekaman Cu. Saat tidak ada cekaman, MT1 terekspresi pada jaringan trikoma dan vaskular daun, akar, bunga, dan benih. Sedangkan saat dikenai cekaman Cu, MT1 diekspresikan pada jaringan mesofil daun dan tunas. MT2 ditemukan pada trikoma Arabidopsis, baik yang dikenai cekaman maupun yang tidak dikenai cekaman Cu. Kemampuan MT untuk melakukan kompartemensasi Cd pada vakuola ditunjukkan oleh hasil penelitian Vogeli-Lange (1990). Pada vakuola daun tembakau (Nicotiana rustica), Cd terikat pada protein yang memiliki gugus (γGlu-Cys)3Gly dan (γ-Glu-Cys)4Gly, yang kemudian dikenali sebagai MT tipe 3. Selain berfungsi untuk detoksifikasi logam berat, berbagai fungsi seluler MT adalah untuk pengaturan homeostasis logam esensial, perlindungan terhadap radiasi dan kerusakan oksidatif, dan kontrol seluler dalam poliferasi dan apoptosis (Klaassen 1998). 2.3 Melastoma affine L. M. affine L. merupakan salah satu spesies dari famili Melastomataceae yang mampu mengakumulasi Al (Jansen et al. 2002), setelah Rubiaceae (Jansen et al. 2003). Menurut Li et al (2000), M. affine L. dapat hidup pada tanah dengan pH dibawah 4 dan mampu mengakumulasi Al sebanyak 9099 – 12810 mg/kg daun dan 3499 – 3633 mg/kg akar. Tanaman diklasifikasikan sebagai akumulator bila mengakumulasi Al sedikitnya 1000 mg/kg daun (Jansen et al. 2002). Penelitian Watanabe et al (2001) menunjukkan bahwa selain tahan terhadap cekaman Al, pertumbuhan melastoma juga dipacu oleh Al pada konsentrasi yang rendah. Penelitian oleh Muhaemin (2008) menunjukkan bahwa perlakuan 3,2 mM Al pada pH 4 pada M. affine L. mempunyai pengaruh positif yang ditandai dengan pertambahan pertumbuhan akar sebesar 70,41 % setelah 6 minggu perlakuan dan tidak ditemui kerusakan jaringan pada ujung akar. Cekaman Al pada tanaman toleran akan menginduksi sejumlah gen untuk 8 menghindari pengaruh ion Al. Pada melastoma, gen-gen ini diduga tidak hanya berperan dalam mendetoksifikasi Al, tetapi juga menginduksi hormon pertumbuhan. Watanabe dan Osaki (2003) menyatakan bahwa Al mampu menembus jaringan endodermis dan masuk ke dalam pembuluh xilem dan ditimbun di dalam daun. Penelitian Mutiasari (2008) menunjukkan adanya akumulasi Al sebesar 8,81 mg/gr daun tua tanaman M. affine L. yang diberi cekaman 3,2 mM Al pada pH 4 selama 2 bulan. Akumulasi Al tersebut dapat ditemui pada jaringan mesofil daun (Mutiasari 2008). Penelitian lain yang dilakukan oleh Watanabe dan Osaki (2002) menyatakan bahwa akumulasi Al terjadi terutama pada bagian vakuola daun. Selain itu juga terjadi akumulasi pada jaringan periderm sampai xilem pada akar dan pada jaringan korteks, xilem sekunder dan empulur batang (Mutiasari 2008). Didalam jaringan melastoma, Al ditemukan dalam bentuk Al monomerik, Aloksalat, Al-(oksalat)2, dan Al-(oksalat)3 (Watanabe et al. 1998). Karena kemampuan Melastoma untuk mengakumulasi Al dalam jumlah yang tinggi, maka melastoma dapat dijadikan sebagai tanaman model bagi ketahanan Al terutama bagi tanaman dikotil. 2.4 Real Time Polimerase Chain Reaction (Real Time PCR) Kemampuan sel untuk tumbuh, melakukan aktifitas, dan pertahanan terhadap cekaman merupakan refleksi dari ekspresi gen. Oleh karena itu, tingkat transkripsi dari gen spesifik dapat digunakan untuk mengetahui fungsi dari gen. Terdapat empat metode yang biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat transkripsi yaitu northern blotting, in situ hybridization, Rnase protection assay, dan quantitatif reverse transcriptase. Dengan menggunakan analisis Northern, bisa diketahui ukuran dari mRNA dan integritas RNA sampel. Rnase protection assay memungkinkan untuk melakukan pemetaan daerah inisiasi pada transkripsi, daerah terminasi, batas ekson atau intron, dan membedakan mRNA yang memiliki ukuran yang sama, yang akan ditampilkan sebagai satu pita pada analisis Northern. In situ hybridization merupakan satu-satunya metode yang dapat digunakan untuk menunjukkan transkripsi lokal pada sel spesifik suatu jaringan. Kekurangan dari ketiga metode tersebut adalah kurang akurat (Bustin 2000). 9 Untuk mengetahui kuantitas ekspresi dari suatu gen, biasanya digunakan northern blotting atau PCR biasa yang menggunakan produk akhir sebagai dasar perhitungan. Penggunaan northern blotting untuk mengetahui ekspresi gen memerlukan jumlah RNA yang cukup banyak (Hunt 2006). Selain itu, pengukuran kuantitas ekspresi suatu gen dengan menggunakan hasil akhir dari proses PCR mempunyai kelemahan yaitu presisi yang kurang, tidak sensitif, resolusi rendah, tidak otomatis, diskriminasi hanya dari ukuran saja, hasil tidak diekspresikan secara kuantitatif (Applied Biosystem 2007). Pada proses PCR, terdapat tiga fase utama yaitu eksponensial, linier, dan plateu (datar) (Gambar 1). Pada fase eksponensial, terjadi penggandaan dari jumlah sesungguhnya DNA atau RNA yang digunakan sebagai cetakan, sehingga perhitungan kuantitas DNA pada fase ini memiliki akurasi 100 %. Pada fase linier sudah terjadi penggunaan bahan reaksi, reaksi penggandaan terjadi pelan dan produk mulai terdegradasi. Dan saat plateu, tidak terjadi lagi proses penggandaan DNA dan pada saat ini juga terjadi degradasi DNA produk, oleh sebab itu deteksi ekspresi gen berdasarkan hasil akhir PCR memiliki akuransi yang rendah (Applied Biosystem 2007). 10 Plateu Plateu Linier eksponensial Linier Rn eksponensial SIKLUS A. B. Gambar 1. Tiga fase utama pada proses PCR: (1) fase eksponensial dimana terjadi penggandaan jumlah DNA cetakan yang sebenarnya, (2) fase linier dimana proses penggandaan cetakan mulai menurun, (3) fase plateu dimana tidak terjadi lagi proses penggandaan cetakan dan DNA mulai terdegradasi. Deteksi untuk Real Time PCR terjadi pada fase eksponensial, sedangkan deteksi pada PCR biasa terjadi pada fase plateu yang digambarkan dalam bentuk kurva linier (A) dan kurva log (B) (Applied Biosystem 2007) Real Time PCR adalah metode kuantifikasi PCR yang memungkinkan untuk mengamati pertambahan amplikon selama proses amplifikasi. Pada Real Time PCR, perhitungan amplikon dilakukan pada saat fase eksponensial (Gambar 1). Sistem Real Time PCR menggunakan dasar pada deteksi dan kuantifikasi fluorescence reporter. Signal akan meningkat sesuai dengan jumlah produk PCR pada setiap siklus (Dorak 2006). Ada dua macam fluorescence reporter yang biasanya digunakan dalam Real Time PCR, yaitu SYBR Green (Gambar 2) dan TaqMan (Gambar 3). SYBR Green merupakan senyawa kimia yang akan mendeteksi semua utas ganda DNA, biasa digunakan untuk perhitungan kuantitas DNA dengan tujuan yang tidak spesifik. Sedangkan TaqMan lebih spesifik daripada SYBR Green karena menggunakan TaqMan probe, yaitu probe yang komplemen dengan utas DNA spesifik yang berada diantara primer forward dan primer reverse dan didesain sedemikian rupa sehingga bila probe tersebut rusak akibat proses perpanjangan DNA pada proses PCR maka akan melepaskan energi yang dapat ditangkap oleh mesin Real Time PCR dengan dasar teknologi FRET (Fluorescent Resonance Energy Transfer). Teknologi FRET didasari oleh transfer 11 energi dari pelacak berenergi tinggi (reporter dye) yang diletakkan didekat pelacak berenergi rendah (quencer dye), transfer energi tersebut akan terjadi bila pelacak berenergi tinggi rusak (Applied Biosystem 2007). Gambar 2. Proses deteksi pada Real Time PCR dengan menggunakan SYBR Green. SYBR Green akan terdeteksi bila terikat pada utas ganda DNA saat fase perpanjangan DNA (extention) (Dorak 2006) Gambar 3. Proses deteksi pada Real Time PCR dengan menggunakan TaqMan. Deteksi akan terjadi bila TaqMan probe yang menempel diantara primer forward dan primer reverse rusak selama fase perpanjangan DNA (extention) (Dorak 2006) 12 Fluorescence reporter akan meningkat sampai pada jumlah yang bisa terdeteksi oleh Real Time PCR dan digambarkan dalam bentuk kurva amplifikasi (Gambar 4). Kurva amplifikasi mengandung beberapa informasi penting: (1) threshold yaitu daerah deteksi yang terjadi pada saat jumlah fluorescence reporter bisa dideteksi oleh mesin Real Time PCR, agar hasil perhitungan lebih akurat threshold berada pada fase eksponensial; (2) Cycle Threshold (Ct) yaitu siklus pada proses PCR saat jumlah fluorescence reporter berpotongan dengan garis threshold yang ditetapkan untuk perhitungan pada Real Time PCR; (3) Rn yaitu jumlah fluorescence reporter yang terdeteksi; dan (4) Cycle yaitu jumlah siklus yang digunakan dalam proses PCR (Applied Biosystem 2007). Gambar 4. Kurva amplifikasi pada Real Time PCR. Threshold adalah daerah deteksi yang digunakan dalam analisis. Cycle Threshold (Ct) adalah siklus pada saat fluorescence reporter berpotongan dengan threshold. Rn adalah jumlah fluorescence reporter yang terdeteksi selama proses PCR. Cycle adalah banyaknya siklus yang digunakan dalam proses PCR (Applied Biosystem 2007) Terdapat dua macam perhitungan yang bisa dilakukan dengan Real Time PCR, yaitu (1) absolute quantitation yang digunakan untuk mengetahui jumlah molekul DNA yang tidak diketahui dengan menggunakan kurva standar yang sudah diketahui jumlah molekul DNA-nya. (2) Relative quantitation yang digunakan untuk mengetahui jumlah molekul DNA yang tidak diketahui dengan membandingkannya dengan sampel DNA yang lain yang digunakan sebagai pembanding (Applied Biosystem 2004). 13 Relative quantitation banyak digunakan untuk mengetahui tingkat ekspresi suatu gen pada suatu perlakuan dibandingkan dengan ekspresi gen yang sama pada perlakuan yang lain. Untuk mengetahui ekspresi suatu gen maka dibutuhkan gen referensi sebagai pembanding internal (endogenous control) jumlah DNA agar tidak terjadi kesalahan interpretasi akibat jumlah sel yang berbeda. Gen referensi adalah gen yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Gen referensi yang paling banyak digunakan adalah β-aktin dan Glyceraldehyde-3-phosphatdehydrogenase (GAPDH) (Bustin 2000). Ada dua metode yang bisa digunakan untuk mengetahui tingkat ekspresi gen dengan menggunakan relative quantitation, yaitu metode kurva standar relatif (relative standard curve method) dan metode comparative Ct (comparative Ct method/∆∆Ct). Metode kurva standar relatif menggunakan kurva standar relatif yang akan digunakan untuk menghitung kuantitas sampel. Kurva standar yang digunakan dapat dibuat dari DNA apapun yang sudah diketahui kuantitasnya dengan pengenceran berseri. Oleh karena itu metode ini membutuhkan tingkat akurasi yang tinggi dalam pemipetan sampel DNA yang akan digunakan untuk kurva standar dan tidak membutuhkan validasi PCR sebelumnya. Namun metode ini membutuhkan lebih banyak bahan reaksi kimia dan membutuhkan banyak tempat reaksi PCR. Selanjutnya kuantitas gen target dan gen referensi dapat diketahui dengan memasukkan nilai Ct gen target dan gen referensi ke dalam kurva standar (log ng DNA dibanding nilai Ct). Ekspresi gen target pada suatu perlakuan dilakukan dengan menormalisasi kuantitas gen target dengan gen referensi dan membandingkan hasil normalisasi gen target pada perlakuan dengan hasil normalisasi gen target pada perlakuan kontrol (kalibrator) (Applied Biosystem 2004). Gen target yang dinormalisasi (perlakuan/kalibrator) = ng gen t arg et ng gen referensi Ekspresi gen target pada perlakuan relatif terhadap kalibrator (Relative Quantification/RQ) = gen t arg et yang dinormalisasi pada perlakuan gen t arg et yang dinormalisasi pada kalibrator 14 Metode ∆∆Ct banyak digunakan untuk menghitung ekspresi gen dari sampel yang banyak. Karena tidak perlu menggunakan kurva standar, metode ini lebih menghemat bahan reaksi PCR dan tidak membutuhkan akuransi dalam pemipetan. Dalam metode ∆∆Ct, dibutuhkan validitas efisiensi reaksi PCR yang biasa dilakukan dengan merancang primer yang menghasilkan amplikon berukuran lebih kecil daripada 150 pb, dimana pada ukuran amplikon tersebut maka efisiensi PCR yang terjadi adalah 100%. Metode ∆∆Ct menggunakan rumus aritmatika 2-∆∆CT untuk mengetahui ekspresi gen target yang telah dinormalisasi gen referensi, dan relatif terhadap kalibrator (Relative Quantification/RQ). Rumus aritmatika tersebut diperoleh dari rumus eksponensial amplifikasi proses PCR yaitu: Xn = X0 x (1 + EX)Ct = K dimana K= konstanta (1) Dimana : Xn = jumlah DNA pada siklus ke n X0 = jumlah DNA mula-mula EX = efisiensi PCR Ct = adalah siklus yang diinginkan atau Cycle threshold Bila gen target disimbolkan dengan X dan gen referensi disimbolkan dengan R, maka rumus tersebut diatas dapat digunakan untuk mencari KX maupun KR. Sehingga ekspresi gen X dinormalisasikan dengan gen referensi R, adalah XT X 0 x (1 + E X ) CTX K X = = RT KR R0 x (1 + E R ) CTR (2) Nilai efisiensi gen X (EX) dan gen R (ER) sama, sehingga X0 x(1 + E ) CTX −CTR = K R0 (3) Nilai ekspresi suatu gen yang sesungguhnya adalah jumlah DNA awal yang digunakan sebagai cetakan, sehingga rumus (4) dapat diturunkan menjadi XN = K x (1+E)-∆CT Dimana : XN = (4) X0 R0 ∆CT = CTX-CTR Dan untuk mengetahui ekspresi gen target X pada perlakuan relatif terhadap kalibrator, maka ekspresi gen X pada perlakuan (XNP) dibagi dengan ekspresi gen X pada kalibrator (XNK) 15 X NP K x (1 + E ) − ∆CTP = = (1 + E ) − ∆∆CT − ∆CTK X NK K x (1 + E ) (5) Dimana : -∆∆CT = -(∆CTP - ∆CTK) Bila amplikon yang dihasilkan berukuran kurang dari 150 pb, maka nilai effisiensi PCR adalah 100% yang nilainya sama dengan 1, sehingga jumlah gen X pada suatu perlakuan yang telah dinormalisasi dengan gen referensi, dibandingkan dengan kalibrator adalah 2-∆∆CT (6) (Livak & Schmittgen 2001) Real Time PCR sudah digunakan secara luas, yaitu untuk deteksi patogen, kuantifikasi virus, kuantifikasi ekspresi gen, efisiensi terapi pada obat-obatan baru, dan memastikan kerusakan DNA (Applied Biosystem 2007). Untuk ekspresi gen metallothionein (MT), beberapa peneliti juga menggunakan Real Time PCR antara lain van Hoof et al (2001) yang menggunakan metode ini untuk mengetahui perbedaan ekspresi MT pada tanaman yang sensitif terhadap tembaga (Cu) dan tanaman yang toleran terhadap Cu yang ditumbuhkan pada konsentrasi CuSO4 0,1 µM dan Moyle et al (2005) yang menggunakan kuantitatif Real Time PCR untuk mengetahui ekspresi gen MT pada saat pematangan buah nanas.