BAB II LANDASAN TEORI A. Perkawinan Perkawinan merupakan hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami istri. (Duval & Miller, 1985). Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001). Menurut Bimo (1984) dalam perkawinan terdapat ikatan lahir batin, yang berarti bahwa dalam perkawinan itu perlu adanya ikatan secara fisik dan psikologis pada kedua individu. Ikatan lahir adalah ikatan yang tampak, seperti ikatan fisik pada saat individu melangsungkan pernikahan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya yaitu suami dan isteri, maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak tampak secara langsung, atau merupakan ikatan psikologis. Antara suami dan isteri harus ada ikatan lahir dan batin, harus Universitas Sumatera Utara saling mencintai satu sama lain, tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan, tidak adanya cinta kasih satu dengan yang lain, maka salah satu hal yang tidak dapat terpenuhi adalah kepuasaan dalam perkawinan. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin yang suci antara pria dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak, adanya pembagian peran antara suami dan istri serta merupakan ekspresi hubungan intim dan janji suci untuk hidup bersama. B. Kepuasan Perkawinan B.1. Defenisi Kepuasan Perkawinan Menurut Lemme (1995) kepuasan perkawinan adalah evalualsi suami istri terhadap hubungan perkawinan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan perkawinan itu sendiri. Kepuasan perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan perkawinan mereka, apakah sesuai atau tidak sesuai dengan yang mereka harapkan dalam perkawinannnya (Hendrick & Hendrick, 1992). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan adalah penilaian suami dan istri yang bersifat subjektif dan dinamis mengenai kehidupan perkawinannya. Universitas Sumatera Utara B.2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan Menurut Hendrick & Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu : a. Premarital Factors 1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan perkawinan. 2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat penghasilan rendah. 3) Hubungan dengan orang tua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap romantisme, perkawinan, dan perceraian. b. Postmarital Factors 1) Kehadiran anak, anak sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan perkawinan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984). Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stress pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaanan anak tersebut. 2) Usia perkawinan, seperti yang dikemukakakan oleh Duvall bahwa tingkat kepuasan perkawinan tinggi diawal perkawinan, kemudian Universitas Sumatera Utara menurun setelah kehadiran anak dan akan meningkat kembali setelah anak dewasa dan meninggalkan rumah orangtua. Selain faktor-faktor di atas, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi kepuasan pernikahan, antara lain : 1) Jenis kelamin, dimana seperti yang dikemukakan oleh Holahan & Levenson (dalam Lemme, 1995) bahwa pria lebih puas dengan pernikahannya daripada wanita karena pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya. 2) Agama, dimana menurut Abdullah (2003) bahwa jika seseorang mengawali segalanya dengan motivasi iman dan ibadah pada Tuhan semata akan merasakan kepuasan dalam hidupnya. Olson & Fowers (1989) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan hal yang paling menonjol dalam menggambarkan kepuasan hidup individu. Hal ini didukung oleh Clark (1998) menyatakan bahwa agama memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap pernikahan yang selanjutnya mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan pernikahan. 3) Pekerjaan. Pekerjaan yang memakan waktu yang cukup lama menyebabkan berkurangnya waktu yang dimiliki suami dan isteri untuk anak-anak dan untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti Universitas Sumatera Utara membersihkan rumah, menyediakan makanan, dan lain-lain (DeGenova, 2008). Holahan dan Levenson (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa pria lebih puas dengan perkawinannya daripada wanita. Pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah mengenai kehidupan perkawinannya. Hal di atas diperkuat dengan hasil penelitian Burr, 1970; Komarovsky, 1967; Renne, 1970 (dalam O’Leary, Unger & Wallstone, 1985) yang menemukan bahwa suami menunjukkan kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan istri. Clayton (1975) menyatakan bahwa kepuasan perkawinan berada pada tingkat yang tinggi sebelum hadirnya anak, kemudian kepuasan perkawinan akan menurun selama pengasuhan anak dan akan meningkat kembali saat anak dewasa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rollins & Cannor, 1974; Polis & Feldman, 1970; Spanier & Cole, 1975 yang menyimpulkan bahwa tingkat kepuasan perkawinan berubah seiring berjalannya waktu, dan kepuasan perkawinan dalam kehidupan perkwinan mengikuti kurva U. B.3. Aspek Kepuasan Perkawinan Menurut Olson & Fowers (1989; 1993), ada beberapa aspek-aspek dalam perkawinan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan. Aspekaspek tersebut antara lain : Universitas Sumatera Utara a. Communication Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Aspek ini fokus pada tingkat kenyamanan yang diraskan oleh pasangan dalam mambagi dan menerima informasi emosional dan kognitif. Laswell (1991) membagi komunikasi perkawinan menjadi lima elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy), dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill). b. Leisure Activity Aspek ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan harapan dalam menghabiskan waktu senggang bersama. c. Religious Orientation Aspek ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelakanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Nilai yang tinggi menunjukkan agama merupakan bagian yang penting dalam perkawinan. Agama secara langsung mempengaruhi kualitas perkawinan dengan memelihara nialai-nilai suatu hubungan, norma, dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh besar dalam perkawinan, serta mengurangi perilaku yang kurang baik dalam perkawinan (Christiano, 2000; Wilcox, 2004 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008). Universitas Sumatera Utara d. Conflict Resolution Aspek ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri terhadap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Aspek ini fokus pada keterbukaan pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan penyelesaian masalah serta strategistrategi yang digunakan untuk menghentikan argumen. Selain itu juga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun kepercayaan satu sama lain. e. Financial Management Aspek ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentukbentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Aspek ini mengukur bagaiamana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian mereka terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak realitas, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam perkawinan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukan otoritas terhadap pengelolaan keuangan. f. Sexual Orientation Aspek ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu Universitas Sumatera Utara mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapt tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. g. Family and Friends Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi. h. Children and Parenting Aspek ini megukur sikap dan perasaan terhadap tugas mangasuh dan membesarkan anak. Aspek ini fokus pada keputusan-keputusan yang berhubungan dengan disiplin, masa depa anak dan pengaruh anak terhadap hubungan pasanagn. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam perkawinan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan apabila itu terwujud. i. Personality Issues Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaankebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu Universitas Sumatera Utara berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah perbedaan ini dapat memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia. j. Equalitarian Roles Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi. B.4. Kriteria Kepuasan Perkawinan Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari perkawinan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain : a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan Ada baiknya dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga. Universitas Sumatera Utara b. Kebersamaan Adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga. Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dari keluarga. c. Model parental role Pola orang tua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Hal ini dapat membentuk keharmonisan keluarga. d. Penerimaan terhadap konflik-konflik Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga. e. Kepribadian yang sesuai Dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama lain. Hal ini menjadi penting karena pasangan saling melengkapi, kelebihan pasangan yang satu dapat menutupi kekurangan pasangan yang lain. f. Mampu memecahkan konflik Kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung kepuasan perkawinan pasangan tersebut. C. Perkawinan Beda Agama Perkawinan dimana pihak suami dan pihak istri memeluk agama yang berbeda disebut sebagai interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage Universitas Sumatera Utara atau interreligious marriage.(http://www.religioustolerance.org/ifm-prob.htm). Dalam bahasa Indonesia, untuk semua itu, peneliti akan menggunakan istilah perkawinan beda agama. Menurut Mandra dan Artadi (dalam Eoh, 1996), perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaanya itu sebagai suami istri dengan tujuan unutk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Senada dengan Mandra dan Artadi, Rozakis (2001) mendefinisikan perkawinan beda agama sebagai hubungan dimana pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda. Yob (1998) mengartikan perkawinan beda agama sebagai suatu hubungan yang menyatukan dua orang yang berlainan agama. Berdasarkan definisi-definisi diatas, perkawinan beda agama dapat disimpulkan sebagai sebuah ikatan perkawinan antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama dan kepercayaannya dan tetap mempertahankan perbedaanya tersebut. Berdasarkan pada sebuah situs perkawinan beda agama (http://www.religioustolerance.org/ifm-prob.htm), perkawinan beda agama itu sendiri dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Pasangan suami istri dapat berasal dari : Universitas Sumatera Utara 1. Satu pihak berasal dari salah satu jenis agama tertentu dan satu berasal dari suatu kepercayaan etis non-teologis, misalnya antara seorang katolik dengan seorang humanis. 2. Kedua pihak memeluk agama yang bertolak belakang, satu agama yang berasal dari belahan bumi bagian barat dan yang satu lagi berasal dari belahan bumi bagian timur, seperti antara pemeluk Kristen dengan pemeluk Taoisme, Hindu atau Budha. 3. Kedua belah pihak pemeluk agama yang berbeda, namun mempunyai sedikit banyak persamaan. Agama-agama ini termasuk dalam agama ahli kitab, seperti antara pemeluk islam, kristen dan yahudi. 4. Kedua belah pihak memeluk agama yang berbeda, namun merupakan pembagian besar disatu agama yang sama seperti kristen protestan dan kristen katolik. Perkawinan beda agama dapat terjadi karena interaksi yang semakin tinggi antara orang yang berasal dari kelompok agama yang berbeda (Duvall & Miller, 1985). Interaksi antara orang yang berbeda agama ini semakin dimungkinkan dengan semakin berkembangnya kehidupan sekarang ini. Interaksi ini kemudian menghasilkan ketertarikan , keinginan untuk membangun hubungan yang selanjutnya dapat berlanjut dengan keinginan untuk melakukan perkawinan. Duvall & Miller (1985) juga menyatakan perkawinan beda agama dapat terjadi akibat toleransi dan penerimaan yang lebih besar diantara pemeluk agama. Universitas Sumatera Utara Perkawinan beda agama juga dapat terjadi karena semakin banyak kaum muda yang tidak terlalu memperhatikan lagi faktor –faktor seperti sosial ekonomi, suku dan agama sebagai dasar pencarian pasangan hidup dan cenderung menekankan faktor cinta dan kecocokan sebagai dasar perkawinan yang mereka lakukan (Lasswel & Lasswell, 1987). Jenkins (dalam Levinson, 1995) juga menyatakan bahwa anak-anak dengan orang tua yang melakukan perkawinan beda agama mempunyai kemungkinan lebih besar melakukan perkawinan beda agama dibanding anakanak dengan orang tua yang kawin satu agama. Pendidikan agama intensif yang diterima pada masa anak-anak juga dapat menurunkan kemungkinan anak tersebut untuk melakukan perkawinan beda agama dikemudian hari. C.1 Hal-Hal yang Mendorong Melakukan Perkawinan Beda Agama Menurut Blood (1978) hal-hal yang mendorong orang melakukan perkawinan beda agama antara lain : 1. Kecocokan pada hal-hal lain Sebagian besar pasangan yang melakukan perkawinan beda agama didasari oleh kecocokan dalam hal-hal lain diluar agama, seperti latar belakang keluarga, pendidikan , status ekonomi, danb lain-lain. Kesamaan diantara mereka menjadi sangat penting itu seperti perbedaan agama ini, dengan segala persamaan dan kecocokannya, dirasakan sebagai pilihan yang terbaik. Universitas Sumatera Utara 2. Pemberontakan Seseorang dapat melakukan perkawinan beda agama sebagai bentuk pemberontakan, misalnya kepada orang tua dan keluarga yang terlalu mengekang. Mereka berusaha keluar atau menunjukkan keberatan mereka atas kekangan tersebut dengan cara melakukan perkawinan diluar harapan orang tua dan keluarganya. 3. Tujuan pencapaian pribadi Perkawinan beda agama dapat pula dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan pribadi tertentu misalnya untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi. Dengan motif ini seseorang tidak memperdulikan agama calon pasangannya. Dengan harapan naiknya status sosial atau diperoleh tujuan lain setelah perkawinan. 4. Menikah terpaksa Seseorang dapat melakukan perkawinan beda agama karena terpaksa melakukannya, seperti seseorang yang terpaksa menikah karena hamil diluar nikah. Dengan keadaan terpaksa ini seseorang tidak memperdulikan atau terpaksa mengenyampingkan agama yang dipeluk oleh pasangannya. Perkawinan beda agama dapat juga terjadi karena hanya ini kesempatan menikah yang dapat dilakukan oleh seseorang. 5. Keengganan/ketidaksabaran untuk mencari Universitas Sumatera Utara Terkadang perkawinan beda agama terjadi arena seseorang terlalu enggan/kurang sabar untuk mencari dan menunggu pasangan lain, yang mungkin satu agama dengannya. 6. Hal ini jarang terjadi, namun perkawinan beda agama dapat terjadi karena seseorang tertarik dengan pasangan yang berbeda agama hanya karena pasangan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dengannya. Misalnya seseorang yang tertarik dengan orang lain dikarenakan orang tersebut memiliki cara ibadah yang berbeda dengan dirinya. C.2 Masalah-Masalah Perkawinan Beda Agama Latar belakang agama merupakan bagian penting dari diri seseorang. Tertanam sejak kelahiran, agama membentuk cara pandang dan dinilai seseorang. Perbedaan agama dengan pasangan dalam perkawinan dapat menimbulkan banyak permasalahan (Rozakis, 2001). Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan pandangan menyangkut isu dalam kehidupan perkawinan (Yob, 1998). Menurut beberapa ahli, masalah-masalah yang dapat timbul akibat perbedaan agama dengan pasangan dalam sebuah perkawinan beda agama adalah sebagai berikut : 1. Hubungan dengan keluarga Pasangan beda agama sering menghadapi reaksi negative dan sikap kurang pengertian dari keluarga (Gleekmarn & Streicher dalam Horowitz, 1999). Reaksi terhadap pasangan ini sangat kerasdan banyak diantara mereka Universitas Sumatera Utara mendapat celaan dari keluarga (Tertkovie, 2001). Tidak jarang pihak keluarga menganggap pasangan suami istri ini melakukan pelanggaran terhadap tradisi yang ada dan telah mempermalukan keberadaan keluarga. Sebagian besar keluarga menginginkan keturunannya untuk menikah dengan pasangan satu agama. Kenyataan bahwa perkawinan yang mereka lakukan adalah perkawinan beda agama, tentunya menghadirkan permasalahan tersendiri. Rusaknya hubungan dengan pihak keluarga mewarnai kehidupan banyak pasangan perkawinan beda agama dan sedikit banyak mempengaruhi kehidupan perkawinan suami istritersebut (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999; Rozakis, 2001). Faktor penerimaan dari pihak keluarga dan orang tua mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan perkawinan beda agama (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999). 2. Pelaksanaan Ibadah Masing-masing agama mempunyai tata cara sendiri dalam pelaksanaan ibadahnya. Perbedaan tata cara ini bisa menimbulkan permasalahan diantara pasangan. Dibutuhkan toleransi yang sangat besar untuk membiasakan diri dengan perilaku ibadah yang berbeda dari yang biasa dilakukan seseorang (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999). Masalah juga dapat timbul ketika hari raya tiba. Menurut Shaw (1999), hari raya dapat menyebabkan masalah bagi pasangan beda agama, termasuk perbedaan tradisi masing-masing pihak. Hal-hal kecil seperti pohon natal, perjamuan hari raya, dan makanan hari raya dapat mendatangkan masalah diantara pasangan (Rozakis, 2001). Universitas Sumatera Utara 3. Anak Keberadaan seorang anak membawa permasalahan yang cukup berat bagi pasangan. Masalah-masalah yang dapt muncul antara lain : bagaimana upacara ritual kehadiran anak (adzan, sunat, atau pembaptisan), nama anak, agama anak, pendidikan dan pendalaman agama anak, sekolah anak, dan lain-lain (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999; Rozakis, 2001). Masalah berkaitan dengan anak ini, menurut Cowan dan Cowan (1987), akan semakin terasa anak mulai dapat berbicara dan menanyakan identitasnya. 4. Seksualitas Perbedaan agama dapat pula menimbulkan masalah sekitar kehidupan seksual. D. Dewasa Dini D.1 Defenisi Dewasa Dini Kata adult berasal dari bahasa Latin, yang berarti tumbuh menjadi dewasa, jadi orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999). Setiap kebudayaan memiliki perbedaan tersendiri dalam memberikan batasan usia kapan seseorang dikatakan dewasa. Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas sudah selesai atau hampir selesai dan apabila organ reproduksi anak sudah berkembang dan mampu bereproduksi. Universitas Sumatera Utara Hurlock (1999) membedakan masa dewasa dalam 3 bagian, yaitu: 1. Masa dewasa dini (18 – 40 tahun ). Masa ini ditandai dengan perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang disertai berkurangnya kemampuan produktif. Pada usia 18-26 tahun, individu khususnya wanita mengalami peningkatan sifat feminimitas yang dihubungkan dengan perasaan simpati, perasaan iba, mudah terluka atau tersinggung, suka mengkritik diri sendiri, serta kurangnya rasa percaya diri dan inisiatif. Pada masa ini biasanya individu masih tergantung pada orang tua atau orang lain (Vaillant dalam Papalia, 2004). Namun, diantara usia 27-43 tahun wanita akan mengembangkan disiplin diri yang lebih tinggi, lebih mandiri, lebih percaya diri, dan memiliki keahlian coping (Healson & Moane dalam Papalia, 2004). Pada masa dewasa dini individu diharapkan membuat komitmen dan hubungan cinta dengan orang lain yang secara memihak memindahkan ikatan dengan orangtua. Dalam hal ini individu mulai membentuk keluarga dengan pernikahan dan hubungan intim yang dibentuk dengan pasangan romantisnya (Erickson dalam Papalia, 2004). 2. Masa dewasa madya (40 – 60 tahun) Masa menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang tampak jelas pada setiap orang. 3. Masa dewasa lanjut (Usia lanjut) Universitas Sumatera Utara Dimulai dari usia 60 tahun sampai kematian. Pasa masa ini kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun, tetapi teknik pengobatan modern, serta upaya dalam hal berpakaian serta dandanan memungkinkan pria dan wanita berpenampilan, bertindak, dan berperasaan seperti saat mereka masih lebih muda. D.2.Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Dini Havighurst (dalam Lenfrancois, 1990) menyatakan bahwa tugas perkembangan adalah tuntutan yang diberikan kepada individu oleh lingkungan atau masyarakat sekitar terhadap diri individu tersebut, yang mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia. Menurut Havigrust, dewasa dini memiliki tugas perkembangan sebagai berikut: 1. Memilih pasangan 2. Belajar untuk hidup bahagia dengan pasangan 3. Mulai membina keluarga dan mulai mengambil peran sebagai oraang tua 4. Mengasuh anak 5. Mengelola rumah tangga 6. Mulai bekerja dan meniti karir 7. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara 8. Membangun hubungan sosial D.3. Tugas Psikososial Dewasa Dini Erikson mengatakan bahwa tahap perkembangan psikososial dewasa dini adalah intimacy versus isolation, sebagai salah satu tugas yang penting bagi Universitas Sumatera Utara dewasa dini (dalam Papalia, 2004). Intimacy akan muncul saat seseorang sudah mencapai atau menemukan cara untuk membentuk dan mempertahankan identitas secara menetap, yang dilakukan dalam masa remaja. Intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk menyatukan identitas diri yang sudah ditemukan di masa remaja dengan identitas diri orang lain (Feist & Feist, 2002). Erikson menggambarkan intimacy sebagai sebuah proses menemukan identitas diri dan juga kehilangan identitas diri pada orang lain (dalam Santrock,1998). Newman (2006) kemudian menambahkan bahwa intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk mengalami, baik itu menerima atupun memberi, suatu hubungan yang terbuka, saling mendukung dan hubungan yang penuh kasih dengan orang lain tanpa adanya ketakutan kehilangan identitas diri di dalam proses tersebut. Intimacy pada dewasa dini dapat ditemukan melalui hubungan intim yang dibentuk dengan pasangan romantisnya (pacar, suami atau istri) dan juga dengan sahabat (Papalia,2004). Newman (2006) kemudian menambahkan bahwa salah satu tugas perkembangan pada dewasa dini adalah membangun hubungan yang intim dengan seseorang di luar dari anggota keluarganya. Suatu hubungan yang intim memiliki komponen kognitif dan afektif. Seseorang akan mampu untuk memahami pandangan dan pemikiran dari pasangannya. Individu biasanya juga akan mengalami suatu rasa kepercayaan diri dan saling memberikan perhatian yang merefleksikan kasih sayang mereka terhadap pasangannya. Intimacy juga akan mendorong individu unuk terbuka dengan perasaannya sehingga memungkinkan individu tersebut untuk berbagi ideide dan rencana dengan pasangannya (Newman, 2006). Universitas Sumatera Utara E. Gambaran Kepuasan Perkawinan Pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh setiap pasangan berbeda-beda, kepuasan di dalam perkawinan merupakan perasaan subjektif dan cenderung berubah mengikuti siklus kehidupan perkawinan. Layaknya pasangan suami istri pada umumnya, pasangan beda agama juga mengharapakan kepuasan dalam perkawinan dan mempunyai penilaian terhadap kepuasan perkawinan itu. Dilihat dari aspek kepuasan perkawinan menurut Olson & Fowers (1989; 1993), salah satu aspek yang dapat mengukur kepuasan adalah agama. Agama memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap perkawinan dan selanjutnya akan mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan perkawinan (Clark, 1998). Masing-masing agama mempunyai tata cara sendiri dalam pelaksanaan ibadahnya. Perbedaan tata cara ini bisa menimbulkan permasalahan diantara pasangan. Dibutuhkan toleransi yang sangat besar untuk membiasakan diri dengan perilaku ibadah yang berbeda dari yang biasa dilakukan seseorang (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999). Masalah juga dapat timbul ketika hari raya tiba. Menurut Shaw (1999), hari raya dapat menyebabkan masalah bagi pasangan beda agama, termasuk perbedaan tradisi masing-masing pihak. Hal-hal kecil seperti pohon Natal, perjamuan hari raya, dan makanan hari raya dapat mendatangkan masalah diantara pasangan (Rozakis, 2001). Universitas Sumatera Utara Faktor lain yang berpotensi menjadi masalah bagi pasangan beda agama adalah kehadiran anak. Anak sangat mempengaruhi kepuasan perkawinan, ketika anak lahir maka pasangan akan mengalami dilemma dalam menentukan upacara ritual apa yang akan dilakasanakan, nama yang diberikan pada anak, serta pendidikan anak. Baik suami ataupun istri memiliki keinginan yang kuat agar si anak bisa ikut bersama keyakinannya. Hal ini lah yang akan memicu konflik pada pasangan beda agama. Pada umumnya istri lebih sensitif daripada suami dalam menghadapi masalah-masalah mengenai kehidupan perkawinannya. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Burr, 1970; Komarovsky, 1967; Renne, 1970 (dalam O’Leary, Unger & Wallstone, 1985) yang menemukan hasil bahwa suami menunjukkan kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan istri. Istri yang mengasuh dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak dirumah. Istri atau biasa disebut ibu oleh anak, akan mengajarkan perilaku baik atau buruk berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Yob (1998), agama yang dianut seseorang berperan sebagai dasar yang mempengaruhi nilai yang dianut, apa yang dianggap baik dan buruk, benar dan salah oleh orang tersebut. Inilah yang menjadikan masalah-masalah di dalam kehidupan perkawinan lebih kompleks dirasakan oleh istri yang memiliki pasangan beda agama. Di dalam setiap perkawinan baik yang memiliki pasangan seagama atau pun berbeda agama pasti memiliki tujuan untuk membentuk keluarga yang Universitas Sumatera Utara bahagia yang berujung pada kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan baik istri maupun suami (Ginanjar, 2002). Universitas Sumatera Utara