kepuasan pernikahan pada istri yang memiliki pasangan beda agama

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perkawinan
Perkawinan merupakan hubungan antara pria dan wanita yang diakui
dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan
hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami
istri. (Duval & Miller, 1985).
Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).
Menurut Bimo (1984) dalam perkawinan terdapat ikatan lahir batin, yang
berarti bahwa dalam perkawinan itu perlu adanya ikatan secara fisik dan
psikologis pada kedua individu. Ikatan lahir adalah ikatan yang tampak, seperti
ikatan fisik pada saat individu melangsungkan pernikahan sesuai dengan
peraturan-peraturan yang ada. Ikatan ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya
yaitu suami dan isteri, maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan
ikatan batin adalah ikatan yang tidak tampak secara langsung, atau merupakan
ikatan psikologis. Antara suami dan isteri harus ada ikatan lahir dan batin, harus
Universitas Sumatera Utara
saling mencintai satu sama lain, tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila
perkawinan dengan paksaan, tidak adanya cinta kasih satu dengan yang lain, maka
salah satu hal yang tidak dapat terpenuhi adalah kepuasaan dalam perkawinan.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin yang suci antara pria dan wanita yang
melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak, adanya pembagian peran
antara suami dan istri serta merupakan ekspresi hubungan intim dan janji suci
untuk hidup bersama.
B. Kepuasan Perkawinan
B.1. Defenisi Kepuasan Perkawinan
Menurut Lemme (1995) kepuasan perkawinan adalah evalualsi suami istri
terhadap hubungan perkawinan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan
perkawinan itu sendiri.
Kepuasan perkawinan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri
mengevaluasi hubungan perkawinan mereka, apakah sesuai atau tidak sesuai
dengan yang mereka harapkan dalam perkawinannnya (Hendrick & Hendrick,
1992).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan
perkawinan adalah penilaian suami dan istri yang bersifat subjektif dan dinamis
mengenai kehidupan perkawinannya.
Universitas Sumatera Utara
B.2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan
Menurut Hendrick & Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu :
a. Premarital Factors
1)
Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan
tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam
hubungan perkawinan.
2)
Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang
rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih
banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat
penghasilan rendah.
3)
Hubungan dengan orang tua yang akan mempengaruhi sikap anak
terhadap romantisme, perkawinan, dan perceraian.
b. Postmarital Factors
1) Kehadiran anak, anak sangat berpengaruh terhadap menurunnya
kepuasan perkawinan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984).
Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah
stress pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick
& Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan
perkawinan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaanan
anak tersebut.
2) Usia perkawinan, seperti yang dikemukakakan oleh Duvall bahwa
tingkat kepuasan perkawinan tinggi diawal perkawinan, kemudian
Universitas Sumatera Utara
menurun setelah kehadiran anak dan akan meningkat kembali setelah
anak dewasa dan meninggalkan rumah orangtua.
Selain faktor-faktor di atas, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi
kepuasan pernikahan, antara lain :
1) Jenis kelamin, dimana seperti yang dikemukakan oleh Holahan &
Levenson (dalam Lemme, 1995) bahwa pria lebih puas dengan
pernikahannya daripada wanita karena pada umumnya wanita lebih
sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan
pernikahannya.
2)
Agama, dimana menurut Abdullah (2003) bahwa jika seseorang
mengawali segalanya dengan motivasi iman dan ibadah pada Tuhan
semata akan merasakan kepuasan dalam hidupnya. Olson & Fowers
(1989) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan hal yang
paling menonjol dalam menggambarkan kepuasan hidup individu. Hal
ini didukung oleh Clark (1998) menyatakan bahwa agama memiliki
peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap pernikahan yang
selanjutnya mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan
pernikahan.
3)
Pekerjaan. Pekerjaan yang memakan waktu yang cukup lama
menyebabkan berkurangnya waktu yang dimiliki suami dan isteri
untuk anak-anak dan untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti
Universitas Sumatera Utara
membersihkan
rumah,
menyediakan
makanan,
dan
lain-lain
(DeGenova, 2008).
Holahan dan Levenson (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa pria
lebih puas dengan perkawinannya daripada wanita. Pada umumnya wanita lebih
sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah mengenai kehidupan
perkawinannya. Hal di atas diperkuat dengan hasil penelitian Burr, 1970;
Komarovsky, 1967; Renne, 1970 (dalam O’Leary, Unger & Wallstone, 1985)
yang menemukan bahwa suami menunjukkan kepuasan perkawinan yang lebih
tinggi dibandingkan istri.
Clayton (1975) menyatakan bahwa kepuasan perkawinan berada pada
tingkat yang tinggi sebelum hadirnya anak, kemudian kepuasan perkawinan akan
menurun selama pengasuhan anak dan akan meningkat kembali saat anak dewasa.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rollins & Cannor, 1974;
Polis & Feldman, 1970; Spanier & Cole, 1975 yang menyimpulkan bahwa tingkat
kepuasan perkawinan berubah seiring berjalannya waktu, dan kepuasan
perkawinan dalam kehidupan perkwinan mengikuti kurva U.
B.3. Aspek Kepuasan Perkawinan
Menurut Olson & Fowers (1989; 1993), ada beberapa aspek-aspek dalam
perkawinan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan. Aspekaspek tersebut antara lain :
Universitas Sumatera Utara
a. Communication
Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam
berkomunikasi dengan pasangannya. Aspek ini fokus pada tingkat kenyamanan
yang diraskan oleh pasangan dalam mambagi dan menerima informasi emosional
dan kognitif. Laswell (1991) membagi komunikasi perkawinan menjadi lima
elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap
pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to
trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy), dan kemampuan menjadi
pendengar yang baik (listening skill).
b. Leisure Activity
Aspek ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu
senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau
bersama. Pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan harapan dalam
menghabiskan waktu senggang bersama.
c. Religious Orientation
Aspek ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana
pelakanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Nilai yang tinggi menunjukkan
agama merupakan bagian yang penting dalam perkawinan. Agama secara
langsung mempengaruhi kualitas perkawinan dengan memelihara nialai-nilai
suatu hubungan, norma, dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh
besar dalam perkawinan, serta mengurangi perilaku yang kurang baik dalam
perkawinan (Christiano, 2000; Wilcox, 2004 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008).
Universitas Sumatera Utara
d. Conflict Resolution
Aspek ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri terhadap suatu
masalah serta bagaimana pemecahannya. Aspek ini fokus pada keterbukaan
pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan penyelesaian masalah serta strategistrategi yang digunakan untuk menghentikan argumen. Selain itu juga saling
mendukung
dalam
mengatasi
masalah
bersama-sama
dan
membangun
kepercayaan satu sama lain.
e. Financial Management
Aspek ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentukbentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Aspek ini
mengukur bagaiamana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian
mereka terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak realitas, yaitu
harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki
barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dapat menjadi masalah dalam perkawinan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul
jika salah satu pihak menunjukan otoritas terhadap pengelolaan keuangan.
f. Sexual Orientation
Aspek ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah
seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian
seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak
dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat
seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah
memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu
Universitas Sumatera Utara
mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang
diberikan pasangan sehingga dapt tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri.
g. Family and Friends
Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang
beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas
rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran
harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita
sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika
penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita
mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta
memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan
kepuasan pribadi.
h. Children and Parenting
Aspek ini megukur sikap dan perasaan terhadap tugas mangasuh dan
membesarkan anak. Aspek ini fokus pada keputusan-keputusan yang berhubungan
dengan disiplin, masa depa anak dan pengaruh anak terhadap hubungan pasanagn.
Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting
halnya dalam perkawinan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap
anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan apabila itu terwujud.
i. Personality Issues
Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaankebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu
Universitas Sumatera Utara
berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya
bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian
yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah perbedaan ini dapat
memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai
harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan
sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.
j.
Equalitarian Roles
Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang
beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas
rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran
harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita
sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika
penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita
mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta
memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan
kepuasan pribadi.
B.4. Kriteria Kepuasan Perkawinan
Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari
perkawinan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain :
a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan
Ada baiknya dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling
berbagi dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga.
Universitas Sumatera Utara
b. Kebersamaan
Adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga. Setiap anggota
keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dari keluarga.
c. Model parental role
Pola orang tua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak
mereka. Hal ini dapat membentuk keharmonisan keluarga.
d. Penerimaan terhadap konflik-konflik
Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak
dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan
menguntungkan bagi semua anggota keluarga.
e. Kepribadian yang sesuai
Dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama
lain. Hal ini menjadi penting karena pasangan saling melengkapi,
kelebihan pasangan yang satu dapat menutupi kekurangan pasangan yang
lain.
f. Mampu memecahkan konflik
Kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang
digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat
mendukung kepuasan perkawinan pasangan tersebut.
C. Perkawinan Beda Agama
Perkawinan dimana pihak suami dan pihak istri memeluk agama yang
berbeda disebut sebagai interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage
Universitas Sumatera Utara
atau
interreligious
marriage.(http://www.religioustolerance.org/ifm-prob.htm).
Dalam bahasa Indonesia, untuk semua itu, peneliti akan menggunakan istilah
perkawinan beda agama.
Menurut Mandra dan Artadi (dalam Eoh, 1996), perkawinan beda agama
adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita yang masing-masing berbeda
agamanya dan mempertahankan perbedaanya itu sebagai suami istri dengan
tujuan unutk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Senada dengan Mandra dan Artadi, Rozakis (2001)
mendefinisikan perkawinan beda agama sebagai hubungan dimana pemeluk
agama atau kepercayaan yang berbeda. Yob (1998) mengartikan perkawinan beda
agama sebagai suatu hubungan yang menyatukan dua orang yang berlainan
agama.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, perkawinan beda agama dapat
disimpulkan sebagai sebuah ikatan perkawinan antara seorang pria dan wanita
yang berbeda agama dan kepercayaannya dan tetap mempertahankan perbedaanya
tersebut.
Berdasarkan
pada
sebuah
situs
perkawinan
beda
agama
(http://www.religioustolerance.org/ifm-prob.htm), perkawinan beda agama itu
sendiri dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Pasangan suami istri dapat berasal
dari :
Universitas Sumatera Utara
1. Satu pihak berasal dari salah satu jenis agama tertentu dan satu berasal dari
suatu kepercayaan etis non-teologis, misalnya antara seorang katolik
dengan seorang humanis.
2. Kedua pihak memeluk agama yang bertolak belakang, satu agama yang
berasal dari belahan bumi bagian barat dan yang satu lagi berasal dari
belahan bumi bagian timur, seperti antara pemeluk Kristen dengan
pemeluk Taoisme, Hindu atau Budha.
3. Kedua belah pihak pemeluk agama yang berbeda, namun mempunyai
sedikit banyak persamaan. Agama-agama ini termasuk dalam agama ahli
kitab, seperti antara pemeluk islam, kristen dan yahudi.
4. Kedua belah pihak memeluk agama yang berbeda, namun merupakan
pembagian besar disatu agama yang sama seperti kristen protestan dan
kristen katolik.
Perkawinan beda agama dapat terjadi karena interaksi yang semakin tinggi
antara orang yang berasal dari kelompok agama yang berbeda (Duvall & Miller,
1985). Interaksi antara orang yang berbeda agama ini semakin dimungkinkan
dengan semakin berkembangnya kehidupan sekarang ini. Interaksi ini kemudian
menghasilkan ketertarikan , keinginan untuk membangun hubungan yang
selanjutnya dapat berlanjut dengan keinginan untuk melakukan perkawinan.
Duvall & Miller (1985) juga menyatakan perkawinan beda agama dapat terjadi
akibat toleransi dan penerimaan yang lebih besar diantara pemeluk agama.
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan beda agama juga dapat terjadi karena semakin banyak kaum
muda yang tidak terlalu memperhatikan lagi faktor –faktor seperti sosial ekonomi,
suku dan agama sebagai dasar pencarian pasangan hidup dan cenderung
menekankan faktor cinta dan kecocokan sebagai dasar perkawinan yang mereka
lakukan (Lasswel & Lasswell, 1987).
Jenkins (dalam Levinson, 1995) juga menyatakan bahwa anak-anak
dengan orang tua yang melakukan perkawinan beda agama mempunyai
kemungkinan lebih besar melakukan perkawinan beda agama dibanding anakanak dengan orang tua yang kawin satu agama. Pendidikan agama intensif yang
diterima pada masa anak-anak juga dapat menurunkan kemungkinan anak tersebut
untuk melakukan perkawinan beda agama dikemudian hari.
C.1 Hal-Hal yang Mendorong Melakukan Perkawinan Beda Agama
Menurut Blood (1978) hal-hal yang mendorong orang melakukan
perkawinan beda agama antara lain :
1. Kecocokan pada hal-hal lain
Sebagian besar pasangan yang melakukan perkawinan beda agama
didasari oleh kecocokan dalam hal-hal lain diluar agama, seperti latar
belakang keluarga, pendidikan , status ekonomi, danb lain-lain. Kesamaan
diantara mereka menjadi sangat penting itu seperti perbedaan agama ini,
dengan segala persamaan dan kecocokannya, dirasakan sebagai pilihan
yang terbaik.
Universitas Sumatera Utara
2. Pemberontakan
Seseorang dapat melakukan perkawinan beda agama sebagai bentuk
pemberontakan, misalnya kepada orang tua dan keluarga yang terlalu
mengekang. Mereka berusaha keluar atau menunjukkan keberatan mereka
atas kekangan tersebut dengan cara melakukan perkawinan diluar harapan
orang tua dan keluarganya.
3. Tujuan pencapaian pribadi
Perkawinan beda agama dapat pula dilakukan seseorang untuk mencapai
tujuan pribadi tertentu misalnya untuk mencapai status sosial yang lebih
tinggi. Dengan motif ini seseorang tidak memperdulikan agama calon
pasangannya. Dengan harapan naiknya status sosial atau diperoleh tujuan
lain setelah perkawinan.
4. Menikah terpaksa
Seseorang dapat melakukan perkawinan beda agama karena terpaksa
melakukannya, seperti seseorang yang terpaksa menikah karena hamil
diluar nikah. Dengan keadaan terpaksa ini seseorang tidak memperdulikan
atau terpaksa mengenyampingkan agama yang dipeluk oleh pasangannya.
Perkawinan beda agama dapat juga terjadi karena hanya ini kesempatan
menikah yang dapat dilakukan oleh seseorang.
5. Keengganan/ketidaksabaran untuk mencari
Universitas Sumatera Utara
Terkadang perkawinan beda agama terjadi arena seseorang terlalu
enggan/kurang sabar untuk mencari dan menunggu pasangan lain, yang
mungkin satu agama dengannya.
6. Hal ini jarang terjadi, namun perkawinan beda agama dapat terjadi karena
seseorang tertarik dengan pasangan yang berbeda agama hanya karena
pasangan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dengannya.
Misalnya seseorang yang tertarik dengan orang lain dikarenakan orang
tersebut memiliki cara ibadah yang berbeda dengan dirinya.
C.2 Masalah-Masalah Perkawinan Beda Agama
Latar belakang agama merupakan bagian penting dari diri seseorang.
Tertanam sejak kelahiran, agama membentuk cara pandang dan dinilai seseorang.
Perbedaan agama dengan pasangan dalam perkawinan dapat menimbulkan banyak
permasalahan (Rozakis, 2001). Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan
pandangan menyangkut isu dalam kehidupan perkawinan (Yob, 1998).
Menurut beberapa ahli, masalah-masalah yang dapat timbul akibat
perbedaan agama dengan pasangan dalam sebuah perkawinan beda agama adalah
sebagai berikut :
1. Hubungan dengan keluarga
Pasangan beda agama sering menghadapi reaksi negative dan sikap kurang
pengertian dari keluarga (Gleekmarn & Streicher dalam Horowitz, 1999).
Reaksi terhadap pasangan ini sangat kerasdan banyak diantara mereka
Universitas Sumatera Utara
mendapat celaan dari keluarga (Tertkovie, 2001). Tidak jarang pihak
keluarga menganggap pasangan suami istri ini melakukan pelanggaran
terhadap tradisi yang ada dan telah mempermalukan keberadaan keluarga.
Sebagian besar keluarga menginginkan keturunannya untuk menikah
dengan pasangan satu agama. Kenyataan bahwa perkawinan yang mereka
lakukan adalah perkawinan beda agama, tentunya menghadirkan
permasalahan tersendiri. Rusaknya hubungan dengan pihak keluarga
mewarnai kehidupan banyak pasangan perkawinan beda agama dan sedikit
banyak
mempengaruhi
kehidupan
perkawinan
suami
istritersebut
(Rosenbaum & Rosenbaum, 1999; Rozakis, 2001). Faktor penerimaan dari
pihak keluarga dan orang tua mempunyai pengaruh yang besar dalam
kehidupan perkawinan beda agama (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999).
2. Pelaksanaan Ibadah
Masing-masing agama mempunyai tata cara sendiri dalam pelaksanaan
ibadahnya. Perbedaan tata cara ini bisa menimbulkan permasalahan
diantara pasangan. Dibutuhkan toleransi yang sangat besar untuk
membiasakan diri dengan perilaku ibadah yang berbeda dari yang biasa
dilakukan seseorang (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999). Masalah juga
dapat timbul ketika hari raya tiba. Menurut Shaw (1999), hari raya dapat
menyebabkan masalah bagi pasangan beda agama, termasuk perbedaan
tradisi masing-masing pihak. Hal-hal kecil seperti pohon natal, perjamuan
hari raya, dan makanan hari raya dapat mendatangkan masalah diantara
pasangan (Rozakis, 2001).
Universitas Sumatera Utara
3. Anak
Keberadaan seorang anak membawa permasalahan yang cukup berat bagi
pasangan. Masalah-masalah yang dapt muncul antara lain : bagaimana
upacara ritual kehadiran anak (adzan, sunat, atau pembaptisan), nama
anak, agama anak, pendidikan dan pendalaman agama anak, sekolah anak,
dan lain-lain (Rosenbaum & Rosenbaum, 1999; Rozakis, 2001). Masalah
berkaitan dengan anak ini, menurut
Cowan dan Cowan (1987), akan
semakin terasa anak mulai dapat berbicara dan menanyakan identitasnya.
4. Seksualitas
Perbedaan agama dapat pula menimbulkan masalah sekitar kehidupan
seksual.
D. Dewasa Dini
D.1 Defenisi Dewasa Dini
Kata adult
berasal dari bahasa Latin, yang berarti tumbuh menjadi
dewasa, jadi orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama
dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999). Setiap kebudayaan memiliki
perbedaan tersendiri dalam memberikan batasan usia kapan seseorang dikatakan
dewasa. Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila
pertumbuhan pubertas sudah selesai atau hampir selesai dan apabila organ
reproduksi anak sudah berkembang dan mampu bereproduksi.
Universitas Sumatera Utara
Hurlock (1999) membedakan masa dewasa dalam 3 bagian, yaitu:
1.
Masa dewasa dini (18 – 40 tahun ).
Masa ini ditandai dengan perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang
disertai berkurangnya kemampuan produktif. Pada usia 18-26 tahun,
individu khususnya wanita mengalami peningkatan sifat feminimitas yang
dihubungkan dengan perasaan simpati, perasaan iba, mudah terluka atau
tersinggung, suka mengkritik diri sendiri, serta kurangnya rasa percaya diri
dan inisiatif. Pada masa ini biasanya individu masih tergantung pada orang
tua atau orang lain (Vaillant dalam Papalia, 2004). Namun, diantara usia
27-43 tahun wanita akan mengembangkan disiplin diri yang lebih tinggi,
lebih mandiri, lebih percaya diri, dan memiliki keahlian coping (Healson
& Moane dalam Papalia, 2004). Pada masa dewasa dini individu
diharapkan membuat komitmen dan hubungan cinta dengan orang lain
yang secara memihak memindahkan ikatan dengan orangtua. Dalam hal
ini individu mulai membentuk keluarga dengan pernikahan dan hubungan
intim yang dibentuk dengan pasangan romantisnya
(Erickson dalam
Papalia, 2004).
2.
Masa dewasa madya (40 – 60 tahun)
Masa menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang tampak jelas
pada setiap orang.
3.
Masa dewasa lanjut (Usia lanjut)
Universitas Sumatera Utara
Dimulai dari usia 60 tahun sampai kematian. Pasa masa ini kemampuan
fisik maupun psikologis cepat menurun, tetapi teknik pengobatan modern,
serta upaya dalam hal berpakaian serta dandanan memungkinkan pria dan
wanita berpenampilan, bertindak, dan berperasaan seperti saat mereka
masih lebih muda.
D.2.Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Dini
Havighurst
(dalam Lenfrancois, 1990)
menyatakan
bahwa tugas
perkembangan adalah tuntutan yang diberikan kepada individu oleh lingkungan
atau masyarakat sekitar terhadap diri individu tersebut, yang mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya usia. Menurut Havigrust, dewasa dini
memiliki tugas perkembangan sebagai berikut:
1.
Memilih pasangan
2.
Belajar untuk hidup bahagia dengan pasangan
3.
Mulai membina keluarga dan mulai mengambil peran sebagai oraang tua
4.
Mengasuh anak
5.
Mengelola rumah tangga
6.
Mulai bekerja dan meniti karir
7.
Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara
8.
Membangun hubungan sosial
D.3. Tugas Psikososial Dewasa Dini
Erikson mengatakan bahwa tahap perkembangan psikososial dewasa dini
adalah intimacy versus isolation, sebagai salah satu tugas yang penting bagi
Universitas Sumatera Utara
dewasa dini (dalam Papalia, 2004). Intimacy akan muncul saat seseorang sudah
mencapai atau menemukan cara untuk membentuk dan mempertahankan identitas
secara menetap, yang dilakukan dalam masa remaja. Intimacy merupakan
kemampuan seseorang untuk menyatukan identitas diri yang sudah ditemukan di
masa remaja dengan identitas diri orang lain (Feist & Feist, 2002). Erikson
menggambarkan intimacy sebagai sebuah proses menemukan identitas diri dan
juga kehilangan identitas diri pada orang lain (dalam Santrock,1998). Newman
(2006) kemudian menambahkan bahwa intimacy
merupakan kemampuan
seseorang untuk mengalami, baik itu menerima atupun memberi, suatu hubungan
yang terbuka, saling mendukung dan hubungan yang penuh kasih dengan orang
lain tanpa adanya ketakutan kehilangan identitas diri di dalam proses tersebut.
Intimacy pada dewasa dini dapat ditemukan melalui hubungan intim yang
dibentuk dengan pasangan romantisnya (pacar, suami atau istri) dan juga dengan
sahabat (Papalia,2004). Newman (2006) kemudian menambahkan bahwa salah
satu tugas perkembangan pada dewasa dini adalah membangun hubungan yang
intim dengan seseorang di luar dari anggota keluarganya.
Suatu hubungan yang intim memiliki komponen kognitif dan afektif.
Seseorang akan mampu untuk memahami pandangan dan pemikiran dari
pasangannya. Individu biasanya juga akan mengalami suatu rasa kepercayaan diri
dan saling memberikan perhatian yang merefleksikan kasih sayang mereka
terhadap pasangannya. Intimacy juga akan mendorong individu unuk terbuka
dengan perasaannya sehingga memungkinkan individu tersebut untuk berbagi ideide dan rencana dengan pasangannya (Newman, 2006).
Universitas Sumatera Utara
E. Gambaran Kepuasan Perkawinan Pada Istri yang Memiliki Pasangan
Beda Agama
Kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh setiap pasangan berbeda-beda,
kepuasan di dalam perkawinan merupakan perasaan subjektif dan cenderung
berubah mengikuti siklus kehidupan perkawinan. Layaknya pasangan suami istri
pada umumnya, pasangan beda agama juga mengharapakan kepuasan dalam
perkawinan dan mempunyai penilaian terhadap kepuasan perkawinan itu.
Dilihat dari aspek kepuasan perkawinan menurut Olson & Fowers (1989;
1993), salah satu aspek yang dapat mengukur kepuasan adalah agama. Agama
memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap perkawinan dan
selanjutnya akan mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan perkawinan
(Clark, 1998).
Masing-masing agama mempunyai tata cara sendiri dalam pelaksanaan
ibadahnya. Perbedaan tata cara ini bisa menimbulkan permasalahan diantara
pasangan. Dibutuhkan toleransi yang sangat besar untuk membiasakan diri dengan
perilaku ibadah yang berbeda dari yang biasa dilakukan seseorang (Rosenbaum &
Rosenbaum, 1999). Masalah juga dapat timbul ketika hari raya tiba. Menurut
Shaw (1999), hari raya dapat menyebabkan masalah bagi pasangan beda agama,
termasuk perbedaan tradisi masing-masing pihak. Hal-hal kecil seperti pohon
Natal, perjamuan hari raya, dan makanan hari raya dapat mendatangkan masalah
diantara pasangan (Rozakis, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Faktor lain yang berpotensi menjadi masalah bagi pasangan beda agama
adalah kehadiran anak. Anak sangat mempengaruhi kepuasan perkawinan, ketika
anak lahir maka pasangan akan mengalami dilemma dalam menentukan upacara
ritual apa yang akan dilakasanakan, nama yang diberikan pada anak, serta
pendidikan anak. Baik suami ataupun istri memiliki keinginan yang kuat agar si
anak bisa ikut bersama keyakinannya. Hal ini lah yang akan memicu konflik pada
pasangan beda agama.
Pada umumnya istri lebih sensitif daripada suami dalam menghadapi
masalah-masalah mengenai kehidupan perkawinannya. Hal ini diperkuat dengan
hasil penelitian Burr, 1970; Komarovsky, 1967; Renne, 1970 (dalam O’Leary,
Unger & Wallstone, 1985) yang menemukan hasil bahwa suami menunjukkan
kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan istri. Istri yang mengasuh
dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak dirumah. Istri atau biasa
disebut ibu oleh anak, akan mengajarkan perilaku baik atau buruk berdasarkan
nilai-nilai yang dianutnya. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Yob
(1998), agama yang dianut seseorang berperan sebagai dasar yang mempengaruhi
nilai yang dianut, apa yang dianggap baik dan buruk, benar dan salah oleh orang
tersebut. Inilah yang menjadikan masalah-masalah di dalam kehidupan
perkawinan lebih kompleks dirasakan oleh istri yang memiliki pasangan beda
agama.
Di dalam setiap perkawinan baik yang memiliki pasangan seagama atau
pun berbeda agama pasti memiliki tujuan untuk membentuk keluarga yang
Universitas Sumatera Utara
bahagia yang berujung pada kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan
baik istri maupun suami (Ginanjar, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Download