MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE AS A SOLUTION FOR DOUBLE TAXATION IN FRANCE AND INDONESIA Oleh: UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH PERPAJAKAN PEMAHAMAN DAN ANALISIS PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS PANCASILA JAKARTA 2015 BAB I PENDAHULUAN I,1. Latar Belakang Masalah Globalisasi dunia yang cepat dan dinamis telah mengakibatkan hubungan perdagangan internasional semakin terbuka luas dan semakin ekstensif yang ditandai dengan terbentuknya sejumlah kawasan perdagangan bebas. Globalisasi ini telah membawa dampak semakin meningkatnya transaksi internasional. Perusahaan tidak lagi membatasi operasinya hanya di dalam negara, tetapi merambah ke luar negeri dan menjadi perusahaan multinasional. Diperkirakan dua per tiga perdagangan dunia terjadi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Adanya sistem atau prinsip pajak yang dianut oleh suatu negara akan dipengaruhi beberapa hal, antara lain : falsafah bangsa yang bersangkutan dan kebijakan-kebijakan tertentu yang berhubungan dengan pemberian dorongan investasi kepada sektor-sektor tertentu. Hal tersebut memberikan dampak bagi Wajib Pajak untuk menanamkan modal di berbagai negara dalam jangka panjang. Dengan cara ini perusahaan yang ada di negara asal (home country) bisa mengendalikan perusahaan yang ada di negara tujuan investasi (host country) baik sebagian ataupun seluruhnya. Peningkatan transaksi internasional mendorong pula peningkatan cara-cara penghindaran pajak internasional (international tax avoidance) yang dilakukan perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional berusaha mencari celah bagaimana melakukan penghindaran pajak yang akhirnya dapat menguntungkan perusahaan. Gunadi mengatakan penghindaran pajak ini dilakukan dengan melakukan pelarian pendapatan (income flight) dan pelarian modal (capital flight) ke luar negeri. Pelarian dana-dana ini yaitu berupa adanya mengalihkan dananya keluar negeri dengan cara investasi dan dapat pula mengalihkan pendapatan yang diperolehnya ke luar negeri. Banyak perusahaan multinasional tersebut menggunakan tax haven countries (low tax jurisdiction) sebagai tempat menampung dana yang bergerak secara internasional (internationally mobile funds). Berdasarkan kelompok pelobi, yakni Transparansi Internasional Perancis, terdapat 50 (lima puluh) tax havens di seluruh dunia. Di beberapa negara dan teritori yang tergolong tax havens terdapat kantor dari 400 lebih bank international. Negara-negara seperti itu akan menarik minat investor asing karena uang mereka akan bisa diinvestasikan dengan aman serta dijaga kerahasiaannya dari lembaga penyelidik pajak internasional. Wajib Pajak Dalam Negeri (selanjutnya disebut WPDN) suatu negara dapat melakukan investasi ke negara lain, misalnya dengan mendirikan suatu badan usaha di luar negeri yang seluruh atau sebagian sahamnya dimiliki WPDN tersebut. Namun disisi lain keberadaan perusahaan di luar negeri tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan non-bisnis misalnya untuk menghindari pengenaan pajak di dalam negeri (tax avoidance). Hal ini misalnya melakukan pengalihan pembayaran bunga ke negara yang mengenakan pajak dengan tarif yang rendah. Ini salah satu contoh yang tujuan kegiatan non-bisnis. Ketentuan perpajakan internasional tidak membenarkan pajak dijadikan faktor dominan dalam penentuan keputusan alokasi modal. Sebab bila hal ini merupakan faktor dominan maka banyak Wajib Pajak menggunakan kesempatan ini untuk melakukan pengalihan investasi ke negara yang memiliki peraturan perpajakan yang longgar. Ketika pajak yang dikenakan pada anak perusahaan tersebut lebih rendah dari pajak yang dikenakan di negara pemegang sahamnya, bahaya pergeseran penghasilan ke negara yang low tax regime meningkat. Penghindaran pajak ini timbul dari penggunaan perusahaan luar negeri atas penghasilan passive investment, karena penghasilan ini dapat dengan mudah dialihkan atau diakumulasikan di negara yang berlokasi sebagai tax haven. Hal ini tentu membawa dampak terhadap penerimaan negara dari sektor pajak. Pemerintah sebagai pemegang kendali roda perekonomian suatu negara harus mempunyai kebijakan untuk meminimalisasi terjadinya pergeseran penghasilan ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang sangat rendah atau bahkan tidak ada pajak sama sekali. I.2. Rumusan Masalah MAP adalah dispute resolution yang tidak hanya digunakan untuk memecahkan permasalahan transfer pricing saja, tetapi juga dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan tax treaty lainnya. Perbedaan interpretasi dari tax treaty yang mengakibatkan double taxation, misalnya dual resident status yang tidak dapat diselesaikan melalui tie breaker rule akan diselesaikan melalui MAP. Makalah ini akan membahas bagaimana Mutual Agreemen Procedure atau MAP sebagai salah satu solusi dari Double Taxation di negara Perancis dan Indonesia. I.3. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas dan menjelaskan tentang Mutual Agreemen Procedure atau MAP sebagai salah satu solusi dari Double Taxation di negara Perancis dan Indonesia. BAB II KERANGKA TEORI II.1. Perpajakan Dalam Beberapa Jenis Entitas. Ketika suatu entitas ingin mengembangkan usahanya secara internasional perlu ditentukan bentuk-bentuk aktivitas yang dilakukan di negara lain. Entitas dapat melakukan operasi dan investasi ke luar negeri antara lain melalui Direct Export (and service), license arrangements, branch of domestic entity, partnership and subsidiary. Masing-masing akan memiliki konsekuensi berbedabeda khususnya menyangkut aspek perpajakannya. 1. Direct Exporting and servicing operation: suatu entitas dapat melakukan penjualan langsung (direct export) atau melakukan jasa ke pasar luar negeri secara langsung. Selain direct export, entitas tersebut juga dapat melakukan transaksi melalui komisi penjualan melalui perusahaan luar negeri yang melakukan transaksi atas nama pihak perusahaan. Keuntungan yang diperoleh akan dikenakan pajak di negara domestik pada tahun saat penghasilan tersebut diperoleh. 2. License arrangements: suatu entitas yang memiliki teknologi dapat mengijinkan pihak lain menggunakannya dalam bentuk pembuatan dan penjualan produk atau menyediakan jasa teknis dan konsultasi dengan imbalan berupa royalti. Biasanya perusahaan melakukan lisensi karena keterbatasan modal, pengetahuan pasar luar negeri, atau anggota manajemen yang cakap dalam rangka pengembangan ke luar negeri. Penghasilan royalti pada umunya dikenakan pajak di negara domisili pada tahun saat penghasilan tersebut diterima. 3. Branch of Domestic Entity: suatu branch dapat berupa kantor cabang, divisi, atau bentuk-bentuk lainnya yang didirikan di luar negeri. Bentuk ini sangat cocok dalam penjajakan pasar baru selain biaya pendirian kecil juga karena tidak ada pemisahan entitas. Cabang memiliki keuntungan jika operasinya melibatkan penggunaan sumber daya alam maka ada pengurangan atas biaya deplesi, eksplorasi dan pengembangan. Selain itu, di beberapa negara, branch profit tax tidak dikenakan terhadap cabang yang melakukan penanaman kembali labanya dan sebagian dikenakan pajak lebih rendah sesuain dengan treaty. Kerugiannya adalah cabang tidak dapat menahan labanya dan sebagai suatu kesatuan pemajakan dengan induknya maka setiap laba cabang akan dikenakan pajak pada tahun diperolehnya. 4. Partnership: Atas persekutuan biasanya tidak dibedakan perlakuan pajaknya dengan pemilik. Penghasilan dan biaya persekutuan akan ditanggung oleh anggotanya. Penghasilan akan dikenakan pajak pada saat diperoleh. Keuntungan dan kerugian persekutuan yang dibentuk di luar negeri sama dengan pendirian cabang. 5. Subsidiary: keuntungan bukan pajak dari pendirian anak perusahaan di luar negeri adalah tanggung jawab yang terbatas. Anak perusahaan akan dikenakan pajak di negara domisili pada saat diperoleh. Bagi negara yang membolehkan adanya konsolidarsi untuk keperluan pajak, pada saat konsolidasi, perusahaan akan memperoleh keuntungan jika anak perusahaan rugi atau memiliki kredit pajak lebih besar. Dari bentuk-bentuk investasi (dan transaksi) di atas nampak bahwa pemilihan bentuk tersebut dapat menimbulkan perbedaaan waktu bagi pengakuan penghasilan entitas dalam negerinya. Penghasilan yang diperoleh entitas dalam negeri dengan menggunakan Direct Exporting and servicing operation, Branch of domestic Entity dan Partnership akan diakui dan dikenakan pajak pada saat penghasilan tersebut diperoleh. Sedangkan bila subsidiary, penghasilan yang diperolehnya tidak akan dikenakan pajak kecuali jika ada pembayaran dalam bentuk dividen, bunga, royalti atau keuntungan penjualan saham anak perusahaan tersebut. II.2. Hukum Pajak International Pengertian tentang Hukum Pajak Internasional menurut beberapa ahli yaitu: 1. Pendapat dari Prof. Dr. P. J. A. Adriani mengenai Hukum Pajak Internasional adalah suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang-Undang Nasional mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat. Menurutnya bahwa Hukum Pajak Internasional sebenarnya merupakan hukum pajak nasional yang didalamnya mengatur pengenaan pajak terhadap orang asing. 2. Pendapat dari Prof. Mr. H. J. Hofstra ialah bahwa Hukum Pajak Internasional merupakan keseluruhan peraturan hukum yang membatasi wewenang suatu negara untuk memungut pajak dari hal-hal internasional. Batasan yang dikemukakan Hofstra lebih menekankan pada kewenangan suatu negara atau yuridiksi suatu negara dalam hal memungut pajak yang materinya berkaitan atau berhubungan dengan negara-negara lain (dalam arti orang-orang asing yang bukan warga negara suatu negara) 3. Pendapat dari Prof. Rochmat Soemitro ialah bahwa Hukum Pajak Internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri dari kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun kaedah-kaedah yang berasal dari traktat antarnegara dan dari prinsip atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subjeknya maupun mengenai objeknya. Ia mengemukakan bahwa Hukum Pajak Internasional itu terdiri dari norma-norma nasional yang diterapkan pada hubungan internasional. II.3. Pajak Berganda Internasional Pengenaan pajak berganda secara internasional pada dasarnya merupakan akibat dari perbedaan prinsip-prinsip perpajakan yang dianut setiap negara (Rachmanto Surahmat, 2007). Perbedaan prinsip tersebut mengakibatkan konflik yurisdiksi (kewenangan untuk mengatur) antara satu negara dengan negara lainnya. Biasanya pengenaan pajak berganda disebabkan oleh 3 (tiga) jenis konflik yurisdiksi, yaitu: (Rachmanto Surahmat, 2000). 1. Konflik karena asas domisili dengan asas sumber Negara domisili mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh penduduknya, sedangkan negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari negara tersebut. Dalam hal tersebut terjadi konflik antara world wide income principle dan territorial income principle. 2. Konflik karena perbedaan definisi “penduduk” Orang pribadi atau badan pada saat yang bersamaan dapat dianggap sebagai penduduk dari 2 (dua) negara sehingga dikenakan pajak 2(dua) kali. Hal tersebut dapat terjadi karena definisi “penduduk” kedua negara tersebut berada. 3. Perbedaan definisi tentang “sumber penghasilan” Pengenaan pajak berganda dapat pula terjadi bila 2 (dua) negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Hal tersebut berakibat penghasilan yang sama dikenai pajak di dua negara. Pajak berganda internasional yuridis terjadi apabila terhadap orang/badan (person) yang sama berkenaan dengan objek pajak yang sama diterapkan pengenaan pajak berdasarkan hukum pajak dari 2(dua) negara berlandaskan azas yang berbeda. Pada pajak berganda yurisdis terjadi pemajakan oleh lebih dari satu negara terhadap satu orang/badan yang sama. Sedangkan yang dimaksud dengan pajak berganda internasional ekonomis yaitu pajak berganda yang dikenakan oleh 2 (dua) negara atas orang/badan (person) yang berbeda atas penghasilan yang sama yang timbul dari kegiatan ekonomi yang sama. Pajak berganda ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap subjek hukum yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya antara wajib pajak terdapat hubungan (economic identity of subject). II.4. Mutual Agreement Procedur Pengertian Mutual Agreement Procedure Mutual Agreement Procedure (MAP) atau tata cara persetujuan bersama pada dasarnya adalah suatu forum komunikasi antara 2 (dua) pejabat berwenang (competent Authorities) dalam rangka pelaksanaan P3B. MAP merupakan prosedur khusus yang mulai berfungsi jika terjadi kasus pengenaan pajak yang tidak sesuai atau berlawanan dengan P3B. Pengenaan pajak tersebut dapat dikoreksi melalui MAP, sepanjang hal itu menyangkut penerapan P3B yang bersangkutan. Jadi forum ini dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk mencari perlindungan apabila ia merasa diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B oleh pejabat yang berwenang dari negara lain ( Rachmanto Surahmat, 2007 ) Sedangkan bagi pejabat yang berwenang, MAP merupakan forum untuk memecahkan masalah seperti perbedaan interpretasi. MAP merupakan forum tempat para pejabat berwenang dari kedua negara melakukan komunikasi dalam rangka pelaksanaan P3B. Forum ini juga dapat digunakan oleh wajib pajak kedua negara untuk mengajukan atau keberatan karena salah satu negara memperlakukannya tidak sesuai dengan ketentuan P3B yang menyatakan bahwa MAP merupakan mekanisme penghindaran pajak berganda lapis ketiga. Prosedur tersebut dilakukan apabila penghindaran pajak berganda lapis pertama (menghilangkan dual residence) dan lapis kedua perangkat pertama (pembagian kewenangan antara Negara Domisili dan Negara Sumber dengan pembatasan atas pengenaan pajak di Negara Sumber) serta lapis kedua perangkat kedua (pemberian keringanan pajak oleh Negara Domisili) telah dilaksanakan namun ternyata masih terjadi pajak berganda. Eropa mengusung empat ‘kebebasan’ dalam pasar internal Uni Eropa (European Union) yang mana telah menjadi kisah sukses dalam proyek pengembangan, yang mencakup: i) ii) iii) iv) Freedom of Establishment, ii) freedom of movement of capital, iii) freedom of movement of people, dan iv) freedom of movement of goods and services. Kebebasan ini membantu warga Eropa untuk dapat merasakan manfaat ekonomi dari pembangunan pasar internal yang merupakan jantung dari kebijakan Uni Eropa. Pasal 28(1) dalam Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU) tahun 2007 mengatur bahwa: “komunitas ini akan terdiri atas komunitas pabean yang akan melingkupi semua perdagangan barang dagangan dan akan mengikut sertakan larangan antar negara anggota untuk mengenakan biaya bea impor dan ekspor dan semua biaya lainnya yang memiki dampak setara, dan untuk mengadopsi tarif bea bersama (Common Customs Tariff) dalam hubungan mereka dengan negara pihak ketiga.” BAB III ANALISIS “MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE AS A SOLUTION FOR DOUBLE TAXATION IN FRANCE AND INDONESIA” Mutual Agreement Procedure dapat digunakan sebagai proses dalam penerapan penghindaran pajak berganda jika masih terdapat pemajakan berganda atas penerapan ketentuan-ketentuan dalam P3B. Dalam prosedur MAP, kedua otoritas pajak bernegosiasi untuk menyamakan pandangan dalam penerapan perjanjian pajak antar kedua negara.Konflik yang berupa interpretasi ataupun fakta dapat diselesaikan dengan prosedur ini ( Michael lang, Mario Zuger, 2002 ). Dengan prosedur ini kedua negara dapat berdiskusi mengenai apakah perhitungan pajak oleh satu negara “melangkahi” kewajiban dalam perjanjian. Upaya penyelesaian sengketa pajak merupakan suatu proses untuk mendapatkan keadilan dalam bidang perpajakan. ( Wirawan B. Ilyas, Richard Burton, 2008 ). Penyelesaian sengketa pajak melalui MAP merupakan suatu proses yang memberikan hak kepada wajib pajak dalam bentuk upaya hukum penyelesaian sengketa pajak pada P3B. Definisi MAP menurut Rohatgi ( 2005 ) yaitu: “a process of discussion between the competent autorithies in which they seek to explore the possibility of a solution to the relevant problem that can be accepted by all concerned”. Jadi menurut Rohatgi MAP merupakan proses diskusi antara pejabat yang berwenang untuk mencari pemecahan masalah yang terbaik yang dapat diterima semua pihak. Vogel, sebagaimana dikutip oleh Dahlberg ( 2003 ), membedakan 3 jenis MAP, yaitu: 1. MAP dalam arti sempit. Tipe MAP ini dimaksudkan untuk menghindari pemajakan yang tidak sesuai dengan perjanjian,terutama pada kasus-kasus yang spesifik. 2. Prosedur konsultasi untuk menyelesaikan kesulitan atau keragu-raguan dalam penafsiran atau penerapan perjanjian. 3. Prosedur konsultasi untuk mengisi celah kosong pada perjanjian.Prosedur ini dilakukan untuk mencegah pengenaan pajak berganda dalam hal tidak diatur dalam perjanjian. Pemajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian akan berakibat terjadinya pajak berganda sehingga tidak sesuai dengan maksud diadakannya perjanjian tersebut.Otoritas pajak dari negara residen berlaku sebagai perwakilan wajib pajak, untuk melindungi si wajib pajak dari pemajakan yang berlebihan dari negara mitra perjanjian. Oleh karena itu MAP dapat dianggap sebagai bentuk khusus dari pemberian perlindungan diplomatik. ( Mario Zuger, 2002 ). Menurut Baker, beberapa alasan mengapa otoritas pajak dapat menolak penggunaan MAP, yaitu: a) Wajib Pajak bersalah atas tax evasion, kecurangan (fraud), dan ketidakjujuran lainnya. b) Dimana tidak ada prospek keberhasilan, contohnya, semua batas waktu pada P3B maupun ketentuan domestik telah terlampaui c) Jumlah yang dipersengketakan kecil d) Dimana banding belum diajukan, dengan maksud menyelesaikan sengketa secara domestic. Menurut Rachmanto Surahmat ( 2007 ), MAP mengandung beberapa ketentuan, yaitu: 1. Tindakan atau keputusan, baik yang bersifat yuridis maupun peraturan, dan baik yang bersifat individu maupun umum, yang berakibat terhadap pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B. 2. Wajib pajak yang menjadi korban harus mengajukannya kepada pejabat yang berwenang dimana ia merupakan subjek pajak. Inisiatif terhadap pengajuan MAP akibat pengenaan pajak yang tidak sesuai ketentuan dalam P3B berada di tangan wajib pajak 3. Kasus diajukan tanpa melihat ada atau tidaknya kesempatan yang diberikan berdasarkan undang-undang domestik negara yang menerapkan P3B. 4. Kasus harus diajukan dalam jangka waktu tiga tahun sejak timbulnya tindakan yang menimbulkan atau akan menimbulkan pengenaan pajak berganda. Dalam mencapai kesepakatan pada forum MAP, para pejabat yang berwenang harus mempertimbangkan keadaan ketentuan dalam undang-undang domestik maupun dalam P3B yang bersifat mengikat. Para pejabat yang berwenang mempunyai kewajiban untuk melakukan negosiasi berdasarkan MAP, akan tetapi jebatat yang berwenang mempunyai kewajiban untuk melakukan yang terbaik, bukan untuk menghasilkan suatu keputusan (to do the best effort but not to achieve the result). Ketika hasil dari MAP tercapai maka selanjutnya kembali kepada hukum domestik pada kondisi apakah administrasi pajak dapat merubah penetapan pajak yang telah diterbitkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya ketentuan yang mengatur tentang pada kondisi apa dan bagaimana otoritas pajak dapat merubah surat ketetapan pajak di suatu negara ( Michael lang, 2001 ). Oleh karena itu kedudukan P3B adalah “lex specialist” atas hukum domestik, maka implementasi dari hasil MAP tidak berhubungan dengan batasan waktu pada hukum domestik kedua negara pada perjanjian. Forum MAP mempunyai karakter sebagai “subsequent agreement”, sehingga setiap interpretasi atas P3B harus mengambil hasil MAP sebagai rujukan dalam interpretasi P3B. Interpretasi yang otentik atas P3B dapat dilakukan dengan MAP, dan interpretasi hasil MAP tersebut dianggap sebagai bagian struktur dari perjanjian ( Michael lang, 2001 ). Prinsip interpretasi dalam hukum internasional, mengakomodasikan MAP sebagai langkah dalam menyeragamkan interpretasi atas P3B (MAP as any subsequent agreement). Dalam konteks penyelesaian engketa, maka MAP dapat digunakan sebagai “the last resort” bagi kedua otoritas yang berkompeten dalam memastikan keseragaman interpretasi dan aplikasi dari P3B. MAP Berdasarkan OECD Model MAP merupakan bentuk negosiasi negara-negara dengan diwakili oleh pejabat yang berwenang dari tiap-tiap negara. MAP memungkinkan otoritas pajak dari berbagai yurisdiksi pajak untuk bertemu dan menyelesaikan perbedaanperbedaan yang ada. Manfaatnya adalah tercapainya suatu kesamaan interpretasi tentang suatu masalah dalam P3B apabila pejabat yang berwenang dari kedua negara telah mencapai kesepakatan. Pejabat yang berwenang dapat bernegosiasi secara langsung tanpa melalui saluran diplomatik (Organization of Economic Development Corporation, Model Tax Convention on Income and Capital, 2008) ini berarti negosiasi antara kedua pejabat yang berwenang dapat dilakukan secara informal. Ketentuan yang mengatur mengenai MAP terdapat dalam Pasal 25 OECD Model adalah sebagai berikut: “Where a person consider that the action of one or both contracting states result or will result for him in taxation not in accordance with the provision of this convention, he may, irrespective of the remedies provided by the domestic law of those states, present his case to the competent authority of the contracting state of which he is resident. If his case comes under paragraph 1 of article 24, to that of contracting state of which he is national. The case must be presented within three years form the first notification of the action resulting in taxation not in accordance with the provision of the convention. The competent authority shall endeavor, if the objection appears to it to be justified and if it is not itself able to arrive at a satisfactory solution, to resolve the case by mutual agreement with the competent authority of the other contracting state, with a view to avoidance of the taxation which is not in accordance with this convention. Any agreement reached shall be implemented notwithstanding any time limits in the domestic law of the contracting states.” Ketentuan pada ayat (1) mengatur prosedur untuk memecahkan masalah apabila seseorang atau badan menganggap bahwa tindakan salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh Undang-Undang nasional dari masing-masing negara, Orang atau badan yang menjadi korban harus mengajukannya kepada pejabat yang berwenang di mana ia merupakan subjek pajak. Yang harus mengambil inisiatif untuk mengajukan masalahnya adalah orang atau badan yang menjadi korban pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B dan kasusnya diajukan dalam jangka waktu tiga tahun sejak timbulnya tindakan yang akan menimbulkan pengenaan pajak berganda. Pada ayat (2) mengatur bahwa pejabat yang berwenang akan berusaha, apabila keberatan yang diajukan itu beralasan dan apabila ia tidak dapat menemukan penyelesaian yang tepat, untuk menyelesaikan masalah itu melalui persetujuan bersama dengan negara pihak pada Persetujuan (P3B) lainnya, dengan maksud untuk menghindarkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan (P3B). Apabila telah dicapai kesepakatan, kesepakatan tersebut harus diterapkan tanpa memandang batas waktu yang diatur dalam perundang-undangan pajak negara pihak pada Persetujuan (P3B). Berikut ini merupakan skema mekanisme penyelesaian sengketa pajak internasional sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) OECD Model Convention. Pasal 25 OECD Model dapat digunakan oleh wajib pajak tidak hanya sebatas untuk penyelesaian sengketa pajak atas juridical double taxation, tetapi juga penyelesaian sengketa pajak atas economic double taxation. Pasal 25 OECD Model dapat dijadikan dasar hukum penyelesaian sengketa economic double taxation bagi wajib pajak dan otoritas pajak yang bersengketa jika tidak terdapat Pasal 9 ayat 2 OECD Model (corresponding adjustment) dalam suatu P3B. Dalam hal ini MAP dapat digunakan sebagai sarana atas koreksi laba usaha dalam kaitannya dengan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) OECD Model. Syarat untuk pengajuan MAP tidak harus menunggu terbitnya ketetapan pajak, melainkan cukup hanya dengan menunjukan bukti bahwa wajib pajak mempunyai resiko yang sangat tinggi dan hampir pasti akan terkena pemajakan berganda yang tidak sesuai dengan tujuan diadakannya P3B akibat adanya tindakan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua negara yang mengadakan perjanjian. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Pajak (SPHP) yang di dalamnya mengandung koreksi atas transfer pricing sudah dapat dijadikan dasar untuk mengajukan MAP. Jadi jika wajib pajak merasa bahwa tindakan salah satu atau kedua negara akan mengakibatkan perlakuan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan persetujuan maka wajib pajak dapat menggunakan prosedur MAP, hal ini menunjukan bahwa MAP berbeda dari ketentuan Undang-Undang domestik yang harus menunggu sampai ada ketetapan pajak. Untuk dapat mengajukan MAP, harus memenuhi dua syarat kumulatif yaitu: 1. Hanya wajib pajak dalam negeri (taxpayer’s state of residence) dari negara yang mengadakan tax treaty yang dapat mengajukan MAP kepada competent authority. 2. Wajib Pajak harus memastikan bahwa pengajuan MAP harus diajukan dalam jangka waktu tiga tahun sejak pertama kali diketahui adanya bukti yang cukup menyakinkan bahwa wajib pajak mempunyai resiko yang sangat besar dan hampir pasti akan terkena pemajakan berganda yang tidak sesuai dengan tujuan diadakannya P3B Ketentuan pada ayat (1) memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang dari negara di mana seseorang menjadi penduduk tanpa melihat apakah yang bersangkutan sudah menempuh upaya hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang domestik. Jika ternyata bahwa tindakan yang menyebabkan keberatan berasal dari negara domisili, maka pejabat yang berwenang wajib melakukan koreksi, dalam hal ini, masalahnya dapat diselesaikan tanpa melalui prosedur MAP, tetapi jika keberatan tersebut berasal dari tindakan oleh pejabat yang berwenang negara lainnya, yang wajib ditempuh adalah prosedur MAP. Wajib pajak yang mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang di negara di mana ia berdomisili, jika prosesnya masih belum diputuskan, pejabat yang berwenang di negara mana wajib pajak berdomisili tidak perlu menunggu keberatannya diputuskan, melainkan harus mempertimbangkan apakah kasusnya memenuhi syarat untuk menempuh MAP. Jika keberatan sudah diputuskan oleh pengadilan di negara domisili, wajib pajak tetap dapat menempuh proses MAP (Rachmanto Surahmat, 2000). Di beberapa negara, pejabat yang berwenang dapat mengambil keputusan yang tepat dengan keputusan dari pengadilan sebagai acuan. Di negara lainnya, pejabat yang berwenang terikat kepada keputusan pengadilan. Meskipun demikian, wajib pajak dapat meminta pejabat yang berwenang di negara lainnya untuk mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menghindari pengenaan pajak berganda. Pada ayat (2) mewajibkan adanya perundingan kedua pejabat yang berwenang untuk bernegosiasi dalam rangka penyelesaian sengketa pajak melalui MAP, para pejabat yang berwenang wajib berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang terbaik, tetapi tidak diwajibkan untuk menghasilkan suatu keputusan. Dalam rangka mencapai kesepakatan tersebut, para pejabat yang berwenang harus mempertimbangkan ketentuan dalam undang-undang domestiknya maupun dalam P3B yang bersangkutan, yang bersifat mengikat kedua negara. Jika peraturan yang ada sangat tegas sehingga kesepakatan tidak mungkin dicapai, kedua pejabat yang berwenang harus mempertimbangkan langkah-langkah yang adil untuk memuaskan wajib pajak. Dalam ayat (2) selanjutnya mengandung arti bahwa pelaksanaan hasil MAP akan mengabaikan ketentuan daluarsa penagihan pajak seperti yang diatur dalam ketentuan domestik. Ini berarti ketentuan daluarsa tidak membatasi penerapan kesepakatan bersama yang dicapai melalui MAP. Jadi rumusan pada ayat (1) dan (2) tersebut tidak membatasi jangka waktu penyelesaian sengeketa perpajakan melalui MAP. Pasal 25 ayat (3) OECD Model adalah sebagai berikut: “The competent authorities of the contracting state shall endeavor to resolve by mutual agreement any difficulties or doubts arising as to the interpretation or application of the convention. They may also consult together for the elimination of double taxation in cases not provided for in the convention. Dalam ayat (3) memberikan mandat kepada para pejabat yang berwenang untuk memecahkan kesulitan dalam memberikan interpretasi atau menerapkannya melalui MAP. Ayat ini memungkinkan pejabat yang berwenang dari kedua negara untuk memecahkan masalah penerapan persetujuan. Kesulitan dalam prakteknya adalah, misalnya dalam menetapkan prosedur penerapan tarif yang lebih rendah untuk bunga, royalty dan dividen tetapi juga dalam memberikan interpretasi atas ketentuan dalam persetujuan yang sesuai dengan kesepakatan mereka yang melakukan perundingan. Ayat (3) menunjuk pejabat yang berwenang yang biasanya adalah menteri keuangan atau pejabat yang diberi wewenang untuk keperluan itu, yaitu pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dari persetujuan. Namun hal itu tergantung pada undang-undang domestik negara yang bersangkutan, pejabat lain juga mempunyai hak untuk memberikan interpretasi atas persetujuan, misalnya menteri luar negeri, pengadilan, dan pejabat yang berwenang yang secara tegas ditunjuk dalam persetujuan. Pasal 25 ayat (4) dari OECD Model adalah sebagai berikut: “ The competent authorities of the contracting states may communicate with each other directly, including through a joint commission consisting of themselves or their representatives, for the purpose of reaching an agreement in the sense of the preceding paragraph.” Ayat (4) tersebut menyatakan bahwa pejabat yang berwenang dapat berkomunikasi secara langsung tanpa perlu melalui jalur diplomasi. Para pejabat yang berwenang dapat berkomunikasi dengan yang lainnya melalui surat, transmisi faximili, telepon, pertemuan langsung ataupun dengan cara lain. Jika kedua pejabat yang berwenang berkehendak, maka dapat dibentuk komisi bersama untuk menyelesaikan sengketa. Tax Treaty (P3B) digunakan untuk menghindari adanya pemajakan berganda dengan menggolongkan suatu penghasilan berdasarkan penggolongan tertentu dan menentukan hak pemajakan suatu negara atas jenis-jenis penghasilan yang dihasilkan dari penggolongan tersebut. Dalam mengaplikasikan ketentuan P3B, kadangkala terjadi multi tafsir atas suatu ketentuan atau pengertian yang berbeda antar negara mitra P3B. Perbedaan atas interpretasi dan aplikasi dalam P3B, yang dilakukan oleh salah satu negara perjanjian dapat berujung kepada sengketa perpajakan sebagai akibat dari pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B. Sengketa dapat timbul sebagai hasil ketetapan pajak berdasarkan hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh suatu otoritas pajak kepada wajib pajak. Wajib pajak yang besengketa dengan otoritas pajak di negaranya dapat melakukan upaya hukum, jika wajib pajak merasa tidak puas dengan ketetapan pajak yang diterbitkan oleh otoritas pajak. Dalam P3B terdapat prosedur dalam penyelesaian sengketa pajak antara wajib pajak dengan otoritas pajak atas transaksi lintas batas yang terjadi dengan negara mitra P3B, Dalam Pasal 25 OECD ketentuan yang mengatur hal tersebut adalah Mutual Agreement Procedure, dimana wajib pajak dapat mengajukan MAP dalam jangka waktu tiga tahun sejak pemberitahuan pertama adanya pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B. MAP merupakan mekanisme penghindaran pajak lapis ketiga apabila penghindaran pajak berganda lapis pertama yaitu menghilangkan dual residen dan lapis kedua perangkat pertama yaitu pembagian kewenangan antara negara domisili dan negara sumber dengan pembatasan atas pengenaan pajak di negara sumber serta lapis kedua perangkat kedua yaitu pemberian keringanan pajak oleh negara domisili telah dilaksanakan namun ternyata masih terjadi pajak berganda. Ketentuan MAP di Indonesia diatur dalam bentuk Surat Edaran Dirjen Pajak tentang tata cara pelaksanaan ketentuan mengenai persetujuan bersama berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda. Dalam SE tersebut tidak menjelaskan hubungan antara ketentuan pajak domestik mengenai upaya penyelesaian sengketa pajak dan kedudukan MAP dalam upaya penyelesaian sengketa pajak, SE tersebut juga tidak menjelaskan apakah wajib pajak diperkenankan untuk menggunakan kedua proses sengketa pajak secara bersamaan. Wajib Pajak yang merasa dirugikan karena adanya pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak, apabila wajib pajak selain mengajukan keberatan juga menempuh proses hukum lainnya yaitu MAP, berarti akan terdapat dua keputusan yang berbeda untuk kasus yang sama. Proses MAP yang diajukan wajib pajak akan terdapat interaksi dengan proses penyelesaian sengketa pajak domestik yaitu pada tingkat keberatan dan tingkat banding. Jika hasil keputusan MAP berbeda dengan hasil keputusan keberatan maka terdapat dua keputusan yang berbeda, sedangkan dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan belum terdapat aturan yang mengatur bahwa jika hasil keputusan keberatan berbeda dengan hasil MAP maka hasil keputusan keberatan ditinjau kembali. Proses MAP yang berlarut-larut dapat menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak yang juga mengambil menempuh upaya hukum domestik, maka sebaiknya terdapat suatu ketentuan yang memungkinkan untuk menunda proses sengketa pajak di tingkat domestik sampai menunggu keluarnya putusan MAP, sehingga hasil keputusan berdasarkan UU domestik sejalan dengan hasil keputusan MAP, hanya kelemahannya adalah berlarutnya penyelesaian sengketa pajak berdasarkan ketentuan domestik, tetapi dapat mendorong otoritas pajak untuk menyelesaikan proses MAP dengan cepat. Dengan ditundanya sengketa pajak di tingkat domestik, apabila hasil MAP telah ada maka penyelesaian sengketa pajak di tingkat domestik dapat mengacu kepada hasil MAP sehingga tidak ada dua keputusan yang berbeda, tetapi hal ini akan membutuhkan waktu yang lama terutama jika belum ada ketentuan berapa tahun otoritas pajak dapat menyelesaikan kasus MAP. Karena itu, pengajuan MAP sebaiknya menunggu setelah semua proses penyelesaian sengketa pajak di tingkat domestik selesai. Seperti di Belanda, Competent Authority akan berdiskusi dengan Competent Authority negara lain jika proses penyelesaian sengketa di tingkat domestik selesai. Setiap Undang-undang selalu mengatur prosedur pengajuan keberatan apabila suatu keputusan yang diterbitkan oleh pihak yang menerimanya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal yang sama juga berlaku terhadap ketetapan pajak, yaitu bahwa wajib pajak berhak mengajukan keberatan apabila ketetapan pajak yang dikenakan terhadapnya dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada tahap ini tidak akan terjadi, konflik dua yurisdiksi pajak karena jalurnya sudah jelas. Tetapi apabila wajib pajak mempunyai pilihan untuk menempuh jalur hukum lain maka terdapat kemungkinan akan terjadi dua keputusan yang berbeda. Keadaan tersebut dapat dicegah apabila di dalam peraturan perundangundangan perpajakan Indonesia menganut prinsip” Lis alibi pendens”. Yaitu proses hukum antara penggugat dan tergugat sementara ditunda karena penggugat sedang menuntut tergugat yang sama untuk kasus yang sama di pengadilan lain. Masalah akan timbul bila kasus yang dihadapi wajib pajak Indonesia juga menyangkut transaksi internasional yang mengakibatkan ikut terlibatnya pejabat yang berwenang di negara lain. Prinsip lis alibi pendens dapat mensinkronisasikan kebijakan penyelesaian sengketa pajak antara P3B dengan ketentuan domestik, karena wajib pajak hanya diperbolehkan menggunakan satu jalur proses sengketa pajak maka diharapkan proses tumpang tindih penyelesaian sengketa pajak melalui penggunaan dua jalur sengketa dapat dihindari dengan menunda salah satu proses sengketa pajak. Cara lainnya adalah membiarkan wajib pajak menggunakan dua jalur hukum secara bersamaan, namun wajib pajak tersebut sebaiknya tidak terikat kepada hasil MAP. Jika cara ini ditempuh maka hal yang akan terjadi adalah wajib pajak akan memilih keputusan yang akan menguntungkan wajib pajak. Dari sudut pandang Indonesia, masalah ini akan timbul dalam kaitannya dengan penetapan pajak penghasilan yang menyangkut juga wajib pajak luar negeri yang berdomisili di negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia. MAP akan menimbulkan masalah apabila wajib pajak menempuh dua jalur hukum secara bersamaan. The European Court of Justice adalah lembaga yudikatif yang merupakan Mahkamah Tertinggi di Uni Eropa dalam menangani masalah hukum di Uni Eropa termasuk masalah hukum pajak. Mahkamah ini bertugas untuk menjamin agar traktat-traktat Uni Eropa terinterpretasi dan teraplikasi di semua negaranegara Uni Eropa, sehingga tercipta pemerataan hukum bagi semua orang. Mahkamah nasional tidak memberikan kuasa yang berbeda dalam isu yang sama. Mahkamah juga memastikan negara-negara dan institusi-institusi anggota Uni Eropa melakukan apa yang diperlukan untuk penyelesaian hukum. Mahkamah memiliki kekuasaan untuk mengatasi sengketa hukum antara anggota Uni Eropa, institusi-institusi Uni Eropa, individu-individu dan kelompok profesi. Dampak pengajuan MAP terhadap ketentuan domestik di Perancis. Menurut Perdriel-Vassieri sebagaimana dikitip Darussalam (2008) ,untuk mencegah adanya perbedaan antara hasil MAP dengan putusan dari pengadilan, wajib pajak diminta untuk menghentikan dahulu semua proses penyelesaian sengketa yang sedang berjalan yang didasarkan atas ketentuan pajak domestik, meskipun pengadilan telah memberikan putusan terhadap sengketa pajak internasional, prosedur MAP tetap dapat dijalankan. Kemudian hasil MAP tidak boleh menimbulkan beban pajak melebihi dari yang telah diputuskan oleh pengadilan. Berdasarkan pengamatan Pescatore, ketika menafsirkan sumber hukum utama Uni Eropa, Mahkamah Keadilan Eropa memprioritaskan metode penafsiran ini dibandingkan metode lainnya. Menurutnya, fungsi-fingsi yang terkandung dalam perjanjian-perjanjian utama Uni Eropa bersifat “purpose driven functionalism” atau dengan kata lain, tiap pasal di dalamnya memiliki tujuan yang tidak dapat dipisahkan di dalam penerapan pasal-pasal tersebut. Perjanjian-perjanjian Uni Eropa secara resmi hanya bisa ditafsirkan oleh Mahkamah Uni Eropa. Ini penting bagi Uni Eropa karena dengan adanya penafsiran yang seragam dapat secara langsung menanggulangi perbedaan tafsiran di antara negara anggota Uni Eropa untuk mewujudkan pasar ekonomi tunggal. Sehingga, Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU) menghimbau negara anggota untuk menahan diri untuk menafsirkan Perjanjian-Perjanjian diluar dari forum yang memiliki kewenangan dalam penafsiran perjanjian tersebut. Forum konsultasi (Consultation Forum), panel bentuk usaha (Panel Establishment) dan pelaksanaan ulasan banding (Appellate Review) untuk mengulas laporan dari panel serta mengulas penafsiran yang dikembangkan dalam panel. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Ketentuan MAP di Indonesia diatur dalam bentuk Surat Edaran Dirjen Pajak tentang tata cara pelaksanaan ketentuan mengenai persetujuan bersama berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda. Dalam SE tersebut tidak menjelaskan hubungan antara ketentuan pajak domestik mengenai upaya penyelesaian sengketa pajak dan kedudukan MAP dalam upaya penyelesaian sengketa pajak, SE tersebut juga tidak menjelaskan apakah wajib pajak diperkenankan untuk menggunakan kedua proses sengketa pajak secara bersamaan. 5.2. Saran