tugas akhir - Digilib ITS

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Manajemen Proyek
Konsep manajemen menurut Stoner, Freeman, dan Gilbert,Jr. (1996) adalah
proses merencanakan, mengorganisasian, memimpin, dan mengendalikan pekerjaan
anggota organisasi.
Mirip dengan konsep manajemen Stoner, Freeman, dan Gilbert,Jr., konsep
manajemen yang dipaparkan oleh Robbins (2003) adalah suatu proses perencanaan
yang mencakup penetapan tujuan, penegakan strategi, dan pengembangan rencana
untuk mengkoordinasikan kegiatan; proses pengorganisasian yang mencakup
penetapan tugas-tugas yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakan,
bagaimana tugas-tugas itu dikelompokkan, siapa melapor kepada siapa, dan dimana
keputusan harus diambil; proses pemimpinan yang mencakup hal memotivasi
bawahan, mengarahkan orang lain, menyeleksi saluran-saluran komunikasi yang
paling efektif, dan memecahkan konflik-konflik; dan proses pengendalian yang
mencakup pemantauan kegiatan-kegiatan untuk memastikan kegiatan itu dicapai
sesuai dengan yang direncanakan dan mengoreksi setiap penyimpangan yang berarti.
Menurut Syah (2004), manajemen dan manajemen proyek adalah dua sebutan
yang sebenarnya mempunyai prinsip dan fungsi manajemen yang sama. Keduanya
memberikan arahan agar bertindak sistematis dalam mencapai apa yang telah
direncanakan dengan tepat, efektif dan efisien. Adapun yang memberi ‘ciri khas’
atau membedakan keduanya adalah bahwa manajemen itu berlaku umum dan
diterapkan pada bidang kegiatan apapun yang memerlukan aplikasi manajemen.
Meskipun sebuah proyek pada hakikatnya merupakan proses produksi, namun
manajemen produksi yang biasa diterapkan pada suatu pabrik pembuatan barang
tertentu tidak bisa diterapkan langsung sebagai manajemen proyek. Hal ini adalah
karena manajemen proyek adalah manajemen yang penerapannya lebih banyak
menggunakan pendekatan sarana dan prasarana. Itulah yang merupakan karakteristik
khas proyek sesuai dengan ’sifat dan ciri khas proyek’.
Menurut Soeharto (1997) manajemen proyek adalah kegiatan merencanakan,
mengorganisir, memimpin, mengendalikan sumber daya perusahaan untuk mencapai
sasaran jangka pendek yang telah ditentukan. Lebih jauh, manajemen proyek
menggunakan pendekatan sistem dan hirarki (arus kegiatan) vertikal maupun
horisontal.
Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pada manajemen
proyek didapati suatu proses pemimpinan dalam konteks yang cukup luas karena
dalam kegiatan manajemen proyek kepemimpinan sangat diperlukan untuk
merencanakan, mengorganisir, dan mengendalikan sumber daya perusahaan secara
sistematis dan efisien untuk mencapai sasaran yang sudah ditentukan.
2.2.
Manajer Proyek Dalam Pengelolaan Proyek
Menurut Syah (2004) ada tiga poin penting mengenai peranan manajer
proyek dalam pengelolaan proyek:
1. Manajemen proyek tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang karena manajer
proyek, dalam menjalankan fungsi manajerialnya, memerlukan keahlian dan
karakteristik tambahan di atas seperti apa yang biasa disyaratkan bagi manajer
pabrik atau perusahaan lainnya. Demi keberhasilan proyek, peranan manajer
proyek sangat penting dan mendasar. Hal ini terkait dengan misi besar yang
dipertaruhkan dan dana yang harus dikelola dalam menyelesaikan sebuah proyek.
2. Manajer proyek yang baik tidak dilahirkan, tetapi dibentuk dan dijadikan.
Manajer menjadi andal karena terlatih oleh pengalaman dalam menghadapi dan
kesulitan yang timbul di tempat kerja. Mereka berkembang bukan hanya karena
mempelajari catatan dan teori dari buku-buku, tetapi terutama karena hubungan
kerja (relationship/ team/ coordination) dengan mitra kerja atau mitra bisnis dan
kemampuan dalam memecahkan berbagai macam persoalan yang ada. Meskipun
demikian, mempelajari atau mendapatkan informasi dan keterampilan dari bukubuku yang mengupas / membahas manajemen proyek juga sangat bermanfaat
sebagai persiapan menuju dunia kerja.
3. Mengingat peran penting seorang manajer proyek dan perlunya persyaratan yang
berupa kemampuan khusus tersebut, maka banyak organisasi/ institusi melihat
hal itu sebagai peluang untuk melaksanakan program pelatihan manajemen bagi
manajer proyek.
Menurut Gharehbaghi dan McManus (2003), peranan manajer proyek dalam
pengelolaan proyek adalah suatu tanggung jawab yang besar. Adalah pekerjaan
seorang manajer proyek untuk mengarahkan dan mengawasi proyek dari awal
sampai akhir. Seorang manajer proyek yang efektif harus memiliki banyak
keterampilan, kualitas, dan kemampuan yang berbeda-beda agar mampu menjawab
sebagian besar permasalahan yang terjadi di proyek konstrksi.
Ceran dan Dorman (1995) menyatakan bahwa manajer proyek memainkan
sebuah peranan yang cukup kritis dalam perusahaan-perusahaan rekayasa. Mereka
memiliki tanggung jawab mulai dari sebelum pengakuisisian proyek dan berlanjut
sampai penyelesaian proyek. Mereka juga memiliki tanggung jawab berkaitan
dengan seluruh quality management, staff development, dan kegiatan-kegiatan
profesional.
Sedangkan menurut Newcombe, Langford, dan Fellows (1990), manajer
proyek sendiri merupakan input terhadap Management System – kemampuan,
pengetahuan, sikap dan gaya manajemen manajer proyek secara drastis akan
mempengaruhi sistem operasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peranan manajer proyek dalam
pengelolaan proyek sangat penting dan kritis karena seorang manajer proyek dituntut
memiliki banyak keahlian.
2.3.
Tolok Ukur Sukses Pengelolaan Proyek
Indikator performa proyek yang baik menurut Syah (2004) adalah:
1. Dari segi biaya:
a. Sesuai dokumen kontrak dan kesepakatan.
b. Pemilik proyek setuju dan melaksanakan pembayaran pekerjaan sampai
selesai.
c. Tidak terjadi progress billing tidak terbayar.
d. Semua pihak terkait pelaksanaan proyek puas.
e. Citra perusahaan baik
f. Ada undangan dan atau penunjukan proyek baru
g. Memperoleh manfaat positif termasuk keuntungan bagi perusahaan.
2. Dari segi mutu:
a. Sesuai dokumen kontrak spesifikasi teknik, kesepakatan.
b. Pemilik proyek setuju dan menerima proyek dengan tanpa komentar/ syarat
tertentu.
c. Tidak ada penalty, complain atau klaim atas mutu hasil kerja proyek.
d. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K-3) dilaksanakan dengan baik.
e. Semua pihak terkait pelaksanaan proyek puas.
f. Memperoleh certificate of completion.
g. Citra perusahaan baik.
h. Ada undangan dan atau penunjukan proyek baru.
3. Dari segi waktu:
a. Sesuai skedul kerja dokumen kontrak, kesepakatan.
b. Pemilik proyek setuju dan menerima selesainya sebagian dan atau
keseluruhan pekerjaan yang bersangkutan.
c. Tidak ada complain atau klaim dari pemberi kerja atau pihak ketiga yang
terkait dengan penyelesaian pekerjaan tersebut.
d. Semua pihak terkait pelaksanaan proyek puas.
e. Citra perusahaan baik.
f. Ada undangan dan atau penunjukkan proyek baru.
Tidak berbeda dengan Syah, Soeharto (1997) juga berpendapat bahwa biaya,
mutu, dan waktu merupakan parameter penting bagi penyelenggara proyek yang
sering diasosiasikan sebagai sasaran proyek.
2.4.
Perilaku Kerja
Menurut penelitian yang dilakukan Zahara yang dimuat di situs
www.depdiknas.go.id, perilaku pada hakekatnya merupakan tanggapan atau balasan
(respons) terhadap rangsangan (stimulus), karena itu rangsangan mempengaruhi
tingkah laku. Intervensi organisme terhadap stimulus respon dapat berupa kognisi
sosial, persepsi, nilai, atau konsep. Perilaku adalah satu hasil dari peristiwa atau
proses belajar. Proses tersebut adalah proses alami. Sebab musabab perilaku harus
dicari pada lingkungan eksternal manusia bukan dalam diri manusia itu sendiri.
Dalam penelitian tersebut juga dikatakan bahwa perilaku adalah merupakan
perbuatan-perbuatan manusia, baik terbuka (overt behavior) maupun yang tidak
terbuka (covert behavior). Perilaku terbuka merupakan tingkah laku yang dapat
ditangkap langsung oleh indera, misalnya motivasi, sikap, minat, dan emosi. Perilaku
menyangkut hubungan antara tanggapan (respons) dengan rangsangan (stimulus).
Untuk meningkatkan tanggapan atau balasan dari rangsangan dapat dilakukan
dengan memberikan suatu efek yang menyenangkan bagi subjek yang memberikan
tanggapan tersebut, sehingga apa yang dilakukan akan diulangi lagi.
Menurut konsep Lewin yang dikutip oleh Zahara (www.depdiknas.go.id)
perilaku adalah hasil kekuatan yang ada dalam diri individu dan kekuatan yang
berasal dari lingkungan psikologis. Yang dimaksud dengan lingkungan psikologis
adalah seluruh fakta psikologis yang diketahui atau disadari oleh individu. Fakta
psikologis tersebut akan membentuk keseluruhan dari pengetahuan individu dan
merupakan kekuatan yang mempengaruhi tingkah laku. Pembentukan perilaku
manusia terhadap lingkungan berhubungan dengan sikap dan nilai yang bersumber
dari pengetahuan, perasaan, dan kecenderungan bertindak. Dari itu tindakan manusia
terhadap lingkungan dilakukan berdasarkan keputusan yang berasal dari informasi
lingkungan dan dari latar belakang pengalaman serta sikap terhadap lingkungan.
Menurut Azwar (2003) perilaku dipengaruhi oleh sikap melewati suatu proses
pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas hanya
pada tiga hal:
1. Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang spesifik
terhadap sesuatu.
2. Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh norma-norma subjektif
(subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan
agar kita perbuat.
3. Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk suatu
intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, perilaku adalah respon
individu terhadap stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai
frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan
kumpulan beberapa faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa
interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat
memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu.
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah tanggapan
dari rangsangan yang diberikan. Dan tanggapan yang muncul bisa berbeda-beda
karena dalam proses pembentukan sikap itu sendiri ditemukan suatu proses belajar.
Jadi perilaku kerja dapat diartikan sebagai tanggapan dari rangsangan yang diberikan
yaitu pekerjaan itu sendiri untuk diselesaikan. Tanggapan terhadap rangsangan kerja
itu juga akan berbeda-beda, tergantung dari proses belajar seseorang untuk
menanggapi rangsangan semacam itu. Proses belajar itu sendiri bisa bermacammacam, mulai dari belajar secara akademis, dari pengalaman, persepsi,nilai dan
norma yang dianut oleh sesorang tersebut.
2.5.
Studi Kepemimpinan
2.5.1. Studi kepemimpinan Universitas Negeri Ohio
Menurut Robbins (2003), studi kepemimpinan di Universitas Negeri Ohio
pada akhir dasawarsa 1940 an. Para peneliti ini
berusaha mengidentifikasikan
dimensi-dimensi independen dari perilaku pemimpin. Diawali dengan lebih dari
1000 dimensi, akhirnya mereka menyempitkan daftar menjadi dua kategori yang
secara hakiki menjelaskan kebanyakan perilaku kepemimpinan yang digambarkan
oleh bawahan. Mereka menyebut kedua dimensi ini sebagai Struktur Prakarsa
(Initiating Structure) dan Pertimbangan (Consideration).
Menurut Robbins (2003) struktur prakarsa mengacu pada suatu tingkatan
dimana para pemimpin berorientasi pada tugas (task oriented) dan peduli pada
penggunaan sumber daya dan personil secara efektif untuk mencapai tujuan tim.
Pemimpin yang dicirikan tinggi dalam struktur prakarsanya dapat digambarkan
sebagai seseorang yang ”menugasi anggota-anggota kelompok dengan tugas
tertentu”, ”mengharapkan para pekerja mempertahankan standar kinerja yang pasti”,
dan ”menekankan dipenuhinya tenggat waktu”. Pertimbangan mengacu pada suatu
tingkatan dimana para pemimpin memperhatikan bawahannya dan peduli tentang
kualitas hubungan mereka dengan bawahannya. Seorang pemimpin yang tinggi
dalam pertimbangan dapat digambarkan sebagai seorang yang membantu bawahan
dalam menyelesaikan masalah pribadi, ramah dan dapat dihampiri, dan
memperlakukan semua bawahan dengan adil.
Menurut Robbins (2003) riset ekstensif, yang didasarkan pada definisidefinisi ini, menemukan bahwa para pemimpin yang tinggi dalam struktur prakarsa
dan pertimbangan (seorang pemimpin ”tinggi-tinggi”) cenderung lebih sering
mencapai kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi daripada mereka yang rendah
dalam hal pertimbangan, struktur prakarsa, atau keduanya. Tetapi gaya ”tinggitinggi” tidak selalu menghasilkan konsekuensi yang positif. Misalnya, perilaku
pemimpin yang dicirikan sebagai tinggi pada struktur prakarsa mendorong tingginya
tingkat keluhan, kemangkiran, serta keluar masuknya bawahan dan tingkat kepuasan
kerja yang lebih rendah pada bawahan yang mengerjakan tugas-tugas rutin. Studi
lain menemukan bahwa pertimbangan yang tinggi secara negatif dihubungkan
dengan penilaian kinerja dari pemimpin itu oleh atasannya. Kesimpulannya, studi
Ohio menyarankan gaya ”tinggi-tinggi” umumnya membawa hasil yang positif,
tetapi cukup banyak kekecualian yang dijumpai menunjukkan bahwa faktor-faktor
situasional perlu dipadukan ke dalam teori itu.
2.5.2. Studi Kepemimpinan Universitas Michigan
Menurut Robbins (2003) studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Pusat
Riset dan Survei Universitas Michigan pada waktu yang kira-kira bersamaan dengan
yang dilakukan di Ohio, mempunyai sasaran penelitian yang serupa: mencari
karakteristik perilaku pemimpin yang tampaknya dikaitkan dengan ukuran
keefektifan kinerja. Kelompok Michigan juga sampai pada dua dimensi perilaku
kepimipinan yang mereka sebut beroriantasi bawahan dan berorientasi produksi.
Pemimpin yang berorientasi-bawahan dideskripsikan sebagai menekankan hubungan
antarpribadi; mereka berminat secara pribadi pada kebutuhan bawahan mereka dan
menerima perbedaan individual di antara anggota-anggota. Sebaliknya pemimpin
yang berorientasi-produksi, cenderung menekankan aspek teknis atau tugas dari
pekerjaan – perhatian utama mereka aalah pada penyelesaian tugas kelompok
mereka, dan anggota-anggota kelompok adalah alat untuk tujuan akhir itu.
Kesimpulan yang didapat oleh peneliti Michigan sangat disukai oleh pemimpin yang
perilakunya berorientasi-bawahan. Pemimpin yang berorientasi-bawahan dikaitkan
dengan produktivitas kelompok yang tinggi dan kepuasan kerja yang lebih tinggi.
Pemimpin yang beroriantasi-produksi cenderung dikaitkan dengan produktivitas
kelompok yang rendah dan kepuasan kerja yang lebih rendah.
2.5.3. Studi Kepemimpinan Universitas Loughborough
Menurut Dulaimi dan Langford (1999) industri konstruksi punya bagiannya
sendiri dalam penelitian yang berkaitan dengan teamwork dan kepemimpinan.
menemukan bahwa studi-studi yang sudah ada jarang yang memfokuskan pada peran
para MP sebagai pemimpin dalam timnya. Diantara sedikit yang memfokuskan pada
hal ini, salah satunya adalah dari Universitas Loughborough di Inggris.
Studi kepemimpinan Loughborough menggunakan model kontingensi
kepemimpinan untuk menyelidiki perilaku seorang manajer proyek. Studi ini
menggunakan skala Least Preferred Coworker (LPC) untuk mengukur orientasi
personal manajer proyek tersebut. Teknik skalar juga digunakan untuk mengukur
variabel situasional dari kompleksitas tugas, posisi kewenangan, dan atmosfir
kelompok. Skala-skala ini ekuivalen dengan skala yang digunakan Fiedler untuk
mengukur ”favorabilitas” situasional. Tujuannya adalah untuk menyelidiki pengaruh
variabel-variabel personal dan situasional pada perilaku seorang manajer proyek
berdasarkan hasil dari skala LPC, didukung oleh jawaban-jawaban dari pertanyaan
berkaitan dengan persepsi tentang kualitas atau kemampuan yang seharusnya
dimiliki oleh seorang manajer proyek dalam bidang konstruksi. Tim Loughborough
hanya mengukur kualitas ideal bukan perilaku aktualnya. Menurut Dulaimi dan
Langford (1999) LPC tidak seharusnya digunakan untuk mengukur perilaku.
2.6.
Leader Behavior Description Questionnaire
Berdasarkan manual untuk Leader Behavior Description Questionnaire
(Halpin, 1957), Leader Behavior Description Questionnaire (LBDQ) menyediakan
suatu teknik dimana anggota-anggota kelompok boleh memaparkan perilaku
kepemimpinan dari pemimpin formal mereka dalam organisasi. LBDQ berisikan
poin-poin, masing-masing memaparkan secara spesifik bagaimana seorang
pemimpin mungkin berperilaku. Responden mengindikasikan frekuensi setiap
perilaku yang diterimanya dari pemimpinnya dengan menandai satu dari lima
keterangan: selalu, sering, kadang-kadang, jarang, tidak pernah. Jawaban-jawaban
didapat dari anggota kelompok kerja si pemimpin dan dihitung berdasarkan dua
dimensi perilaku pemimpin. Untuk masing-masing dimensi kemudian dirata-ratakan
untuk menghasilkan sebuah indeks perilaku pemimpin berkenaan dengan dimensi
itu.
Berdasarkan manual Leader Behavior Description Questionnaire (Halpin,
1957), LBDQ dikembangkan oleh staf Dewan Riset Personalia, Universitas Negeri
Ohio, sebagai satu proyek Studi Kepemimpinan Ohio, dipimpin oleh Dr. Caroll L.
Shartle. Hemphill dan Coons membuat form kuisioner yang asli; dan Halpin dan
Winer, dalam melaporkan perkembangan adaptasi instrumen Angkatan Udara,
mengidentifikasi bahwa Struktur Prakarsa (Initiating Structure) dan Pertimbangan
(Consideration) adalah dua dimensi dasar perilaku pemimpin. Dimensi-dimensi ini
kemudian diidentifikasikan sebagai basis dari sebuah analisis faktor dari jawabanjawaban yang didapat dari 300 kru B-29 yang memaparkan perilaku kepemimpinan
52 orang komandan udara mereka. Struktur Prakarsa dan Pertimbangan menjelaskan
kira-kira 34 sampai 45 persen varians umum. Dalam studi berikutnya berdasarkan
sampel 249 komandan udara, korelasi antara skor dua dimensi tersebut ditemukan
sebesar 0,38.
Struktur prakarsa mengacu pada perilaku pemimpin yang menggambarkan
hubungan antara dirinya sendiri anggota-angota dalam timnya, dan berusaha
membuat pola organisasi yang jelas, hubungan-hubungan komunikasi, dan
mengusahakan cara-cara untuk menyelesaikan pekerjaan. Pertimbangan mengacu
pada perilaku yang mengindikasikan persahabatan, saling percaya, menghormati, dan
kehangatan hubungan antara pemimpin dan angota-anggota tim (Halpin, 1957).
Download