1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua makhluk yang bernyawa itu diciptakan Allah secara berpasangpasangan, laki-laki dan perempuan. Namun terdapat perbedaan yang besar antara manusia yang nota bene memiliki hawa nafsu dan akal dengan hewan yang hanya memilki nafsu. Dengan hanya memiliki nafsu ini hewan tidak bisa berbudaya dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kecuali dalam beberapa hal kecil untuk mempertahankan hidupnya, yang muncul berdasarkan insting. Oleh karenanya hewan bisa menyalurkan nafsunya dengan sesukanya tanpa batasan, sedangkan manusia tidak dapat menyalurkan nafsunya seperti hewan, melainkan harus dengan peraturan-peraturan yang berbentuk institusi perkawinan.1 Pada kenyataannya Manusia itu mempunyai gharizah seksual yang tinggi. Ditahan dan dibiarkan, tentu bukan sebuah jalan keluar. Dilampiaskan semenamena sebagaimana hewan, juga bukan sebuah solusi yang baik. Untuk itu, Islam memberikan aturan dalam rangka melampiaskan kebutuhan biologis ini melalui nikah. Dengan pernikahan, kebutuhan biologis tersebut akan disalurkan secara baik dan benar sehingga diharapkan orang tersebut menjadi tenang dan damai. Karena kini, ia telah mempunyai tempat yang bersih dan sah untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. 1 http://www.Pa-Palembang.net Perkwinan Lintas Agamamenurut Mazhab Empat. Diakses tanggal 16 Dessember 2009. 2 Selain untuk memberikan ketenangan lahir bathin, menikah juga berguna untuk memperoleh keturunan dan melanjutkan kehidupannya. Karena itu, Rasulullah Saw dalam sebuah hadits bersabda: "Nikahilah wanita-wanita yang subur dan penyayang, karena aku adalah nabi yang paling banyak ummatnya kelak pada hari Kiamat" (HR. Abu Dawud) Dalam Islam perkawinan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling mencintai) dan rahmah (saling berkasih sayang) antara suami isteri. Dan perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang suami dan isteri yang seakidah, seakhlak dan satu tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.2 Allah bersabda didalam firmannya : "Dan di antara tanda-tandanya, bahwa Dia menciptakan untuk kamu dari dirimu istri-istri, agar kamu menjadi tenang dengannya, dan menjadikan antara kamu kemesraan dan kasih sayang. Sungguh yang demikian itu menjadi tanda bagi kaum yang berfikir." (Al-Rum 21). Dalam kaitan inilah, Islam mengatur adanya perkawinan, yang merupakan perintah dan ajaran serta kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang telah dewasa dan mampu. Dengan melakukan perkawinan, pergaulan antara laki- 2 ibid 3 laki dan perempuan menjadi halal dan terhormatsesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk yang paling mulia.3 Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah akad yang diberkahi, dimana seorang lelaki menjadi halal bagi seorang wanita. Mereka memulai perjalanan hidup berkeluarga yang panjang, dengan saling cinta, tolong menolong dan toleransi. Al-Qur’an menggambarkan hubungan yang sah itu dengan suasana yang penuh menyejukkan, mesra, akrab, kepedulian yang tinggi, saling percaya, pengertian dan penuh kasih sayang. Pernikahan merupakan sesuatu hal yang sangat dianjurkan oleh agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk melangsungkan pernikahan. Dalam suatu riwayat hadits Rasulullah mengatakan, bahwa: "nikah adalah sunnahku, dan barang siapa yang tidak menyukai sunnahku (menikah), maka ia bukan termasuk ummat dan golonganku" (HR. Abu Dawud) Di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang-Undang nomor 1/ 1974 tentang Perkawinan, sebagai peraturan pokok yang mengatur tentang perkawinan, yang berlaku unifikatif bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai peraturan pokok yang mengatur tentang perkawinan, maka peraturan tersebut dilengkapi pula dengan peraturan lain bersifat khusus baik megenai tata caranya maupun aturan yang menyangkut golongan tertentu. Aturan secara khusus ini di antaranya aturan perkawinan untuk Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam PP nomor 10 tahun 1983 yang diperbarui dengan PP nomor 45 tahun 1990. Bagi anggota 3 Soemiyati, Hukum perkawinan Islam dan Undang-undang perkawinan, Yogyakarta, Liberty, 1990, hal 4 4 Militer mengacu pada Keputusan Menteri Pertahanan Keamana/Panglima Angkatan Bersenjata Nomor Kep./01/I/1980 tentang Peraturan Perceraian dan ujuk Anggota ABRI, sedangkan bagi anggota Polisi diatur dalam Petunjuk Teknis Nomor Pol.JUKNIS/01/III/1981 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk bagi Anggota POLRI. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun sebagian masyarakat menganggap pencatatan perkawinan bukan persoalan fundamental, asal perkawinan tersebut telah mendapatkan pengesahan dari pemuka agama (kiai), maka perkawinan tersebut sudah sah. Menurut Drs. Ahmad Rofiq, MA, hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang memahami ketentuan perkawinan lebih menekankan perspektif fiqih sentries, yaitu perkawinan dianggap cukup apabila syarat dan rukunnya menurut ketentuan fiqih terpenuhi tanpa diikuti pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak sekali masyarakat yang mempraktikkan kawin sirri tanpa melibatkan Petugas Pegawai Pencatat Nikah sebagai petugas resmi yang diserahi tugas tersebut.4 Akibatnya, dengan adanya anggapan bahwa perkawinan sudah sah walaupun tidak dicatatkan menimbulkan model perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan di bawah tangan yang dalam masyarakat dikenal dengan istilah 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1995. 5 perkawinan sirri. Sejak diundangkannya Undang-Undang No.1 tahun 1974 persoalan nikah sirri masih menjadi permasalahan dalam hukum yang belum juga terselesaikan hingga kini. Padahal, jika suatu aturan hukum telah diundangkan, maka seluruh lapisan masyarakat dianggap telah mengetahui dan harus tunduk terhadap aturan hukum tersebut. Di Kecamatan Tawangmangu ternyata perkawinan sirri cukup marak dilakukan oleh masyarakat.5 Padahal peneliti beranggapan bahwa masyarakat Tawangmangu adalah masyarakat yang taat hukum. Hal ini dibuktikan dengan minimnya tingkat kriminalitas yang terjadi di daerah Kecamatan Tawangmangu. Atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai perkawinan sirri di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar dalam skripsi penulis yang kemudian diberi judul “Perkawinan Sirri Pada Masyarakat Di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perkawinan di Indonesia”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat ditarik pokok permasalahan yaitu : 1. Apa yang melatarbelakangi masyarakat Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar melakukan perkawinan sirri? 2. Bagaimana Hukum Perkawinan di Indonesia memandang perkawinan sirri yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar tersebut? 5 Setidaknya dalam kurun waktu 2008-2009 ada 12 pasangan yang mengaku telah melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan (sirri) kepada peneliti, 6 C. Tujuan Penelitian Mengacu pada masalah yang dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1. Untuk menemukan faktor apa yang melatarbelakangi masyarakat di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar melakukan perkawinan sirri. 2. Untuk mengetahui sejauh mana Hukum Perkawinan di Indonesia memandang pelaksanaan perkawinan sirri yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar tersebut. D. Telaah Pustaka Kata nikah dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab yang berasal dari kata nakaaha, yankihu, nikaahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nikah atau perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi.6 Islam mengatur agar dalam perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki. Dengan demikian, dapat diperoleh sutu pengertian bahwa perkawinan menurut Hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan yang menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah. 7 Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 memberi pengertian 6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta, Balai Pustaka, 1990, hlm.614 7 KH. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2000, hal.14 7 bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa Sirri merupakan kata yang berasal dari infinitif sirra dan sirriyun. Secara Estimologi Sirran berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin atau di dalam hati. Sedangkan kata sirriyun berarti secara sembunyi-sembunyi atau misterius. 8 Sehingga dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud perkawinan sirri adalah perkawinan yang disembunyikan atau dirahasiakan pada pihak lain karena ada maksud atau tujuan tertentu, Jadi tidak semata-mata suatu perkawinan yang tidak dicatatkan pada Pegawai pencatat nikah sebagaimana yang difahami masyarakat pada umumnya. Dalam Agama Islam juga dikenal dengan adanya nikah sirri. Adapun pengertian nikah sirri tersebut mempunyai arti sama dengan nikah bawah tangan. Yaitu nikah yang dilakukan atau dilangsungkan secara tertutup tanpa diketahui masyarakat luas. Tanpa adanya bukti berupa akta perkawinan. Karena nikah sirri tersebut dilakukan berdasarkan aturan agama, atau adapt istiadat tanpa di catatkan dikantor Pegawai Pencatat Nikah.9 Dalam sejarah perjalanan terbentuknya masyarakat dimulai dari hubungan personal diantara manusia, baik laki-laki maupun perempuan, hubungan tersebut diwujudkan dengan adanya ikatan perkawinan. Perkawinan tersebut awalnya tidak terlembaga seperti ini, kemudian dilembagakan dengan aturan-aturan adat, dimana 8 Munawwir A.W, Kamus al-Munawwir , Surabaya. Pustaka Progresif,1997, hlm.667 A.Zuhdi Mudlor, Memahami Hukum Perkawinan : Nikah, Cerai dan Rujuk, Bandung, Al Bayan, 1994, Hal.2 9 8 antara komunitas masyarakat satu dengan yang lainnya tidak mempunyai kesamaan, misalnya dalam hal pemilihan jodoh, calon suami menggunakan kekuatan fisik sebagai dasar untuk menentukan pasangannya, sedangkan pada masyarakat lainnya menggunakan kekuatan hartanya sebagai pijakannya. Hal tersebut dapat diambil contoh dalam kehidupan masyarakat Jawa. Mereka sebagian masih menggunakan parameter tertentu untuk menentukan pasangannya itu, misalnya keturunan siapa, bagaimana kondisi/derajat keluarganya dan seberapa besar kekayaan orang tuanya atau yang lebih dikenal dengan istilah bibit, bobot dan bebet. Ketiga pijakan tersebut nampaknya masih sangat sulit untuk dihapuskan, mengingat masyarakar Jawa masih dominan kultur feodalismenya. Sedangkan dalam ajaran Islam, untuk menentukan calon pasangannya menggunakan kriteria yang berbeda dengan masyarakat adat diatas. Namun perbedaan tersebut kalau dikaji lebih mendalam akan ditemuan beberapa kesamaan antara keduanya. Kriteria tersebut antara lain seperti yang di kemukakan Rasulullah SAW dalam salah satu hadis : “Perempuan itu dikawini karena empat perkara; karena cantiknya atau karena ketururunannya, atau karena hartanya atau karena agamanya, tetapi pilihlah yang beragama, agar selamatlah dirimu.” Berdasarkan hadis diatas mampak sekali bahwa agama merupakan persyaratan yang mendasar dalam sebuah perkawinan dalam pandangan Islam. Untuk memahami hakekat sebuah perkawinan, maka terlebih dahulu bisa dilihat dari segi bahasa maupun istilah. Dari segi bahasa, perkawinan berasal dari kata 9 kawin yang merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”. Kata nikah mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti yang sebenarnya kata nikah itu berarti berkumpul, sedangakan dalam arti kiasan berarti aqad atau mangadakan perjanjian perkawinan, dalam penggunaan sehari-hari kata nikah lebih banyak dipakai dalam pengertian terakhir, yaitu arti kiasan.10 Dalam hukum Islam suatu perkawinan merupakan perbuatan hukum yang dianjurkan. Penegasan ini dapat dilihat dalam surat an-Nur ayat 32 yang artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin maka Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya.”. Begitu pula banyak hadits Nabi yang berisi suruhan kepada ummatnya untuk melaksanakan perkawinan, diantaranya dalam hadits Nabi dari Anas bin Malik yang artinya: “Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur karena sesungguhnya aku akan berbangga karena banyaknya kaum di hari kiamat”. Apabila dilihat dari hakekatnya perkawinan merupakan perbuatan muamalah yang memiliki hukum asal mubah, akan tetapi apabila dilihat dari sifanya sebagai sunnatullah maka perkawinan jumhur ulama menetapkan hukum asal dari suatu perkawinan adalah sunnah.11 Dasar hukum penetapan sunnah ini didapat dari begitu banyaknya suruhan Allah dalam al-Quran dan suruhan nabi 10 11 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Mulia,2006, hlm. 44 10 dalam hadits untuk melaksanakan perkawinan. Suruhan dalam al-Quran tersebut tidak dimaknai wajib karena tidak dijumpainya satu ketentuan pun mengenai ancaman hukuman bagi orang yang tidak melaksanakan perkawinan, meskipun ada sabda Nabi yang menegaskan bahwa “ Siapa yang tidak mengikuti sunnahku tidak termasuk kelompokku” akan tetapi yang demikian itu tidak cukup dijadikan landasan hukum menetapkan wajibnya suatu perkawinan. 12 Golongan Ulama yang berbeda dengan Jumhur Ulama adalah golongan Zhahiriyah yang menyatakan bahwa hukum perkawinan adalah wajib bagi orang yang mampu dari segi nafkah dan mampu melakukan hubungan suami istri. Dasar dari adanya pendapat tersebut adalah perintah Allah dan Rasul yang begitu banyak dalam nash sebagaimana tersebut di atas. Perintah atau al- amr dalah konteks Islam haruslah difahami sebagai perintah yang wajib selama tidak diketemukan dalil yang menyatakan sebaliknya bahkan adanya beberapa ancaman dalam hadits Nabi bagi yang tidak mau menikah adalah menunjukkan adanya hukum yang wajib yang turut memperkuat pendapat golongan zhahiriyah. Hukum asal yang berlaku bagi dua golongan di atas baik wajib maupun sunnah berlaku secara umum tanpa memperhatikan keadaan tertentu dari orang tertentu. Mengingat adanya tujuan mulia yang hendak dicapai serta adanya hikmah yang akan di dapat bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan, maka pelaksanaan perkawinan haruslah mempertimbangkan kondisi, situasi dan keadaan tertentu yang melingkupi suasna perkawinan itu. Tujuan mulia dalam perkawinan di antaranya (1) untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi 12 Ibid. 11 kelanjutan generasi yang akan datang, sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. Annisa’ ayat 1 yang artinya: “wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhannu yang menjadikan kamu dari diri yang satu dari padanya Allah menjadikan istri-istri, dan dari keduanya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak laki-lakidan perempuan”. Keinginan untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri atau garizah setiap manusia, dan untuk maksud tersebut Allah telah memberikan nafsu syahwah pada manusia yang mendorongnya untuk mencari pasangan hidup sebagai media penyaluran nafsu shawat tersebut. Untuk memberi saluran yang sah dan legal maka dibutuhkas lembaga perkawinan. (2) Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan kasih sayang, sebagaimana termaksud dalam Q.S. Arrum ayat 21: “dan di antara tanda-tanda kekeuasanNya ialah Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri, supaya kamu menemukan ketenangan padanya dan menjadikan di antaramurasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar menjadi tanda-tanda bagi orang yang mau berfikir”.13 Adapun hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawinan adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal yang tidak diijinkan syara’ dan menjaga kehormatan diri agar tidak jatuh dalam kerusakan seksual. Hal ini dapat diambil dari maksud hadits Nabi yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud: “Wahai para pemuda siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan untuk menikah maka menikahlah, karena menikah itu dapat menghalangi penglihatan 13 Quran dan Terjemahan, Arrum : 21 12 dari maksiat dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan seksual) siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa karena puasa itu baginya dapat mengekang syahwat”. Dengan memperhatikan tujuan dan hikmah perkawinan tersebut maka hukum melaksanakan perkawinan berbeda-beda. Dalam konteks yang demikian Ulama Syafi’i membagi hukum melaksanakan perkawinan sebagai berikut:14 1. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melaksanakan perkawinan. 2. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin sedangkan perbekalan perkawinan juga belum ada, atau telah mempunyai perlengkapan untuk kawin akan tetapi kemampuan fisik tidak dimilinya. Ulama Hanafiyah menambahkan hukum melaksanakan perkawinan secara khusus bagi orang dalam keadaan tertentu sebagai berikut:15 1. Wajib bagi orang yang telah pantas untuk kawin berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin ia takut akan terjerumus pada perbuatan dosa apabila ia tidak kawin. 2. Makruh bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasa akan berbuat curang dalam perkawinan tersebut. 14 Al-Mahalliy, Syarh Minhaj al-Thalibin, hlm 206 sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin dalam ibid hlm.46 22 Ibnu al-Hummam, Syarah fath al-Qadir, III, Cairo: Musthafa al-Baniy al-Halaby, 1970,hlm.87, 13 Sejalan dengan Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah, Azhar Basyir16 menyatakan bahwa untuk melihat hukum dari suatu perkawinan haruslah melihat pada orang yang akan melaksanakannya. Dengan demikian hukum melaksanakan perkawinan bisa wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Wajib, yaitu bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk menikah dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinannya serta ada kekhawatiran apabila tidak menikah akan tergelincir pada perbuatan zina. Sunnah, yaitu bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk menikah dan telah mempunayi kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban dalam perkawinannya, tetapi apabila tidak menikah tidak ada kekhawatiran untuk berbuat zina. Mubah, yaitu bagi orang yang mempunyai harta tetapi ababila tidak menikah tidak ada kekhawatiran untuk berbuat zina dan andaikata menikah pun tidak merasa khawatir akan menyianyiakan kewajibannya terhadap istri. Makruh, yaitu bagi orang yang mampu dari segi materi, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama sehingga tidak khawatir akan tersesat dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapa memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istri. Haram, yaitu bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunya kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila menikah akan menyusahkan istrinya. Hukum perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tata cara pelaksanaan perkawinan, melainkan segala persoalan yang erat hubungannya 16 hlm.14 KH Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, 2000, Yogyakarta: UII Pres, 14 dengan perkawinan, misalnya hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalm perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkawinan dan lain-lain. 17 Agar suatu perkawinan tersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mensyaratkan untuk mencatatkan perkawinan tersebut pada pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dicatat oleh petugas yang berwenang dikategorikan sebagai perkawinan sirri. Istilah perkawinan sirri ini mengalami pergeseran makna, semula yang disebut dengan perkawinan sirri adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan syari’at Islam tetapi tidak diikuti dengan perayaan perkawinan (walimatul ursy) atau tanpa mengundang sanak famili. Dalam sejarahnya konsep perkawinan sirri pernah dirumuskan oleh Mahmud Syakthut18 sebagai salah satu jenis perkawinan dimana akad atau transaksi yang dilakukan laki-laki dan perempuan itu tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan (i’lan), tidak tercatat secara resmi dan sepasang suamiistri itu hidup secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui selain mereka berdua. Konsep perkawinan sirri sebagaimana dikemukakan syalthut tersebut berangkat dari fenomena perkawinan di Mesir. Dalam kontek hukum Islam di Indonesia perkawinan sirri yang demikian ini 17 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta, Liberty, 1988. 18 Mahmud Syalthut,Al-Fatwa: Dirasat li Musykilat al-Mu’asir fi Hayatihi al-Yaumiyah wajib al-‘Ammah (Dar al-Qalam: tt), hlm.286 sebagaimana dikutip oleh Dadi Nurhaedi, op.cit, hlm.14 15 dianggap tidak sah (batal)19 karena tidak dipenuhinya salah satu syarat sahnya perkawinan yaitu tidak adanya kesaksian. Di Indonesia perkawinan sirri merupakan perpanjangan dari kawin gantung atau gantung kawin yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.20 Praktek ini bermula ketika perempuan yang menikah masih belum dewasa bahkan belum menstruasi, sehingga mereka masih tinggal bersama orang tuanya. Setelah dewasa barulah mereka boleh memisahkan diri atau mentas. Adapun yang menjadi wali dalam perkawinan tersebut harus ayah kandung mempelai perempuan jika tidak maka perkawinan menjadi batal Perkawinan yang demikian hanya diketahui oleh kerabat dekat dan tidak ada walimatul ursy. Di daerah Sulawesi Selatan kawin gantung yang demikian umumnya dilakukan akad nikah ulang dengan upacara adat.21 Sejak diberlakukannya Undang-Undang (hukum positif), istilah kawin sirri ini berubah maknanya, yaitu suatu perkawinan yang tidak dicatat oleh Pejabat yang berwenang, walaupun perkawinan tersebut dirayakan dengan sangat meriah. Pencatatan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9/1975 pasal 2 ayat (1),(2),dan (3) sebagai berikut: 1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana 19 Ibid, hlm.15 20 Istilah kawin gantung biasa dijumpai pada masyarakat Sulawesi Utara sementara untuk wilayah Jawa dikenal istilah gantung kawin. Lihat A. Fadilah, Menikah di Usia Dini, dalam http://www.pesantrenvirtual.com/Rahimah/InfoIslam, diakses tanggal 12 maret 2008. 21 Ibid 16 dimaksud dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. 2. Pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Pernikahan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. 3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus bagi tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah. Sejak diundangkannya Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974, Departemen Agama RI dalam hal ini Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam telah mengambil peranan secara langsung dan aktif untuk melaksanakan UndangUndang tersebut, yang melibatkan Direktorat Urusan Agama Islam dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 18 Tahun 1975. E. Defenisi Operasional Yang dimaksud perkawinan sirri dalam penelitian ini adalah perkawinan yang dilangsungkan diluar pengetahuan resmi Pegawai Pencatat NIkah (PPN), sehingga suami istri tersebut tdak mempunyai surat nikah yang sah. Hukum Perkawinan Indonesia dalam penelitian ini adalah Hukum positif yang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai perkawinan, dalam hal ini 17 mengacu kedapa Undang –Undang No. 1 Tahun 1974 serta peraturan-peraturan lainnya. F. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian Ojek penelitian dalam Skripsi ini adalah Perkawinan Sirri Pada Masyarakat di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. 2. Subjek Penelitian a. Para pihak yang pernah melakukan perkawinan sirri. b. Ketua Pengadilan Agama di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. c. Pemuka Agama di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. 3. Sumber Data a. Data primer ; Yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara terhadap subjek penelitian di lapangan yang terkait mengenai objek penelititan. b. Data skunder ; Yaitu data yang diperoleh mengenai hal-hal yang berhubungan erat dengan objek penelitian yang didapat dari literatur-literatur peraturan perundang-undangan, dokumentasi, buku-buku hukum, kitab fikih serta buku-buku lainnya. 18 4. Teknik Pengumpulkan Data a. Wawancara Yaitu cara pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab langsung dengan subyek penelitian tentang Pelaksanaan Perkawinan Sirri di Tinjau dari Perspektif Hukum Perkawinan di Indonesia. b. Studi Kepustakaan Yaitu yang didapat dengan cara menggali data dari buku-buku literatur ilmiah, peraturan perundang yang berlaku, dokumendokumen, majalah, surat kabar dan kepustakaan yang berhubungan dengan objek penelitian. 5. Analisa data Setelah memperoleh data, baik melalui wawancara maupun melaluistudi kepustakaan, maka penulis akan menganalisa dengan metode kualitatif, yaitu data-data hasil penelitian akan dijabarkan dan diuraikan secara sistematis hingga sampai pada kesimpulan yang jelas agar didapat gambaran / penjelasan atas permasalahan yang dikehendaki dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis.