BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari kesejahteraan. Mereka mencoba berbagai cara untuk mendapatkan kesejahteraan tersebut baik secara spiritual maupun dengan mencoba menganalisa dan memahami lebih dalam kehidupan pribadinya yang selama ini dijalankannya. Setiap individu mempunyai pengharapan bahwa dengan mendapatkan kesejahteraan tersebut maka individu dapat merasakan kebahagiaan ataupun Happiness dalam hidupnya. Bagaimanakah dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), apakah mereka bisa merasakan kebahagiaan dalam hidupnya seperti individu lainnya ? Seperti diceritakan oleh sebuah blog warna-warni Bali mengenai seorang wanita terinfeksi virus HIV oleh suaminya yang walaupun telah menikah namun masih tetap menjalani pola hidup tidak sehat yaitu suka melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersil. Sebutlah namanya Renti yang tidak pernah membayangkan bila hidupnya akan kembali berwarna seperti sekarang. Sebelumnya Renti mengalami sakit yang luar biasa, ia mengalami diare berkepanjangan selama kurang lebih 2 (dua) bulan yang mengakibatkan cairan tubuhnya menjadi semakin berkurang dan membuat badanya semakin lemah. Selanjutnya, beruntunglah Renti bertemu dengan relawan dari suatu organisasi swadaya masyarakat yang membawanya untuk melakukan pengobatan ke rumah sakit walau akhirnya dalam pengobatan tersebut ia mengetahui dirinya terinfeksi virus HIV. Dengan kekebalan tubuh yang semakin rendah, iapun menjalankan terapi antiretroviral untuk sakitnya tersebut dan dalam keadaannya ia tidak menyalahkan suaminya. Renti memilih untuk bersikap pasrah. Sementara itu, sebagai pasangan yang telah berkeluarga, Renti bersama suaminya tetap melakukan hubungan seksual hingga ia hamil. Hal ini membuatnya bahagia walaupun ada kekhawatiran terhadap bayi yang dikandung akan terpapar oleh virus HIV. Bahkan dengan kehadiran bayinya membuat Renti semakin merasakan kebahagiaan. Cerita dari Renti ini membuktikan bahwa ODHA di dalam kesukaran dan penderitaannya dapat juga merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Subjective Well-Being sendiri merupakan bagian dari Happiness. Aristoteles (dalam Bartens, 1993) menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia di dunia. Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dan ada banyak cara yang ditempuh oleh masing-masing individu. Orang bekerja untuk memperoleh penghasilan dan pencapaian karier. Orang berkeluarga untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang dan begitu pula orang belajar untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan. Semua kegiatan tersebut dilakukan untuk memperoleh satu tujuan yaitu kebahagiaan. Demikian juga dengan Galati (2006) yang menyatakan bahwa kebahagiaan dapat diartikan sebagai sebuah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara melengkap yang meliputi aspek kognitif dan afektif Istilah Happiness dan Subjective Well-Being sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008). Ada peneliti yang menggunakan istilah Emotion WellBeing untuk pengertian sama (Snyder, 2007) akan tetapi lebih banyak peneliti yang menggunakan istilah Subjective Well-Being (Eid & Larsen, 2008). Diener (2000) telah melakukan studi tentang Subjective Well-Being dan menyebutkan bahwa Subjective Well-Being merupakan konstruk yang sama dengan kebahagiaan. Istilah Subjective Well-Being merupakan istilah ilmiah dari kebahagiaan dan lebih sering digunakan dalam penelitian-penelitian ilmiah. Selanjutnya, Jahoda et al (dalam Linley & Joseph, 2004) menyatakan bahwa Subjective Well-Being berkorelasi dengan beberapa hal yang menguntungkan seperti kemampuan yang lebih baik dalam melakukan Coping, meningkatkan kesehatan fisik, dan lamanya usia kehidupan seseorang (Lyubomirsky et al, dalam Linley & Joseph, 2004). Ciri-ciri orang yang bahagia atau memiliki Subjective Well-Being yang tinggi adalah seseorang yang lebih sering ceria, sedih hanya pada waktu-waktu tertentu dan secara umum puas dengan kehidupannya (Biswar-Diener, Diener, & Tamir, 2004). Van Hoorn (2007) secara spesifik menyebutkan bahwa Subjective WellBeing terdiri dari dua komponen yang terpisah yaitu bagian afektif yang merupakan evaluasi hedonis melalui emosi dan perasaan, serta bagian kognitif yang merupakan informasi berdasarkan penilaian seseorang akan harapannya terhadap kehidupan ideal. O’Connor (1993) menyebutkan bahwa istilah kepuasan hidup dapat juga mengacu pada Subjective Well-Being yaitu merupakan penilaian individual akan kebahagiaan atau kepuasan seseorang yang menggambarkan penilaian global atas aspek keseluruhan dalam hidup seseorang. Lebih lanjut, peneliti ingin melihat bagaimana kaitannya Subjective WellBeing pada ODHA, dimana hasil survey menyatakan bahwa ODHA mengalami ketakutan dan keputusasaan ketika mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV/AIDS. Ketakutan tersebut biasa dikaitkan dengan kondisi kesehatan mereka selanjutnya dan muncul karena kurangnya informasi mengenai HIV/AIDS itu sendiri. Berdasarkan beberapa hasil survey dapat diambil kesimpulan bahwa ODHA mengalami ketakutan, putus asa hingga depresi yang menunjukkan ketidakbahagiaan yang mereka rasakan karena mereka lebih merasakan afek negatif. Padahal sedikitnya afek positif (seperti kebahagiaan) yang dirasakan berhubungan dengan banyaknya gangguan psikologis yang ada (Carr, 2004). Namun demikian, di lapangan ditemukan bahwa terdapat ODHA yang meskipun mengalami gangguan psikologis seperti ketakutan dan kecemasan di awal diagnosa HIV, seiring dengan penerimaan diri dan penyesuaian yang dilakukan, mereka dapat kembali merasakan kebahagiaan. Mendukung hasil survey tersebut, Schimoff (2008) menyatakan bahwa tidak jarang, energi ketidakbahagiaan yang dirasakan dapat membuat individu mempertanyakan mengenai kualitas kehidupannya, karena mereka tidak ingin terus menerus berada dalam ketidakbahagiaan. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Frankl (dalam Seligman, 2004) bahwa individu memiliki kebebasan dalam situasi apapun termasuk untuk bahagia atau tidak. Seperti penuturan salah satu ODHA yang telah dapat menerima dirinya dan dapat merasakan sikap positif berikut ini : “Saya tidak kehilangan martabat saya sebagai manusia hanya karena saya terinfeksi HIV. Saya bangga atas diri saya sendiri, atas usaha saya menghadapi hidup sebaik kemampuan saya. Saya sayang pada diri saya sendiri, dan tidak perlu ada rasa malu atau rasa bersalah yang mengikat langkah saya. Dan bagi saya, jika saya meninggal karena HIV, bukan berarti saya lebih hina daripada orang yang meninggal karena sakit jantung atau kanker atau yang lainnya”. (Suzanna Murni, pendiri Yayasan Spiritia) Permasalahan lain yang dihadapi oleh ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) seperti dituturkan oleh Kaunang (Media Indonesia, 2006) adalah stigmatisasi dan diskriminasi. Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS ternyata 30% dilakukan oleh petugas kesehatan dan 70% dilakukan oleh pihak instansi, organisasi pemerintah dan masyarakat tertentu. Hal ini terjadi dari hak untuk memperoleh pengobatan, tempat berobat dan dirawat hingga asuransi kesehatan serta perlakuan-perlakuan diskriminasi dalam masyarakat. Banyak rumah sakit atau petugas kesehatan yang menolak untuk merawat penderita setelah diketahui status medisnya. Berbagai macam alasan terjadinya stigmatisasi dan diskriminasi disebabkan oleh ketidaktahuan, ketakutan berlebihan dan solidaritas yang menipis serta belum terciptanya empati dari masyarakat terhadap ODHA. Hidup seorang ODHA sangat tertekan, karena sudah divonis dari virus yang tidak dapat disembuhkan dan pemberian stigma serta diskriminasi dari masyarakat. Meraka akan merasa hidupnya tidak berarti. Pandangan dan harapan masa depan menjadi suram dan gelap dimana hasil dari usahanya menjadi sangat buruk, sehingga memicu perilaku bunuh diri (Preau, dkk., 2008). Dalam masa seperti itu, seorang ODHA sangat membutuhkan sebuah dukungan sosial, seperti tersedianya bantuan dan hiburan dari keluarga atau teman. Dukungan sosial sangat penting bagi mereka karena adanya pemberian kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima oleh seseorang dari orang lain atau kelompok (Sarafino, 2006). Dukungan ini bisa berasal dari pihak manapun yang merupakan Significant Others bagi orang yang menghadapi masalah atau situasi stress seperti orang tua, pasangan, sahabat, rekan kerja ataupun dokter dan komunitas organisasi (DiMatteo, M. Robin, 1991) Dengan demikian, agar pemberian dukungan sosial tersebut bermanfaat bagi ODHA, maka perlu diperhatikan lima dimensi yang terdapat pada dukungan sosial menurut Schwarzer dan Schulz (dalam Schwarzer, et.,al 2004), yaitu persepsi akan dukungan sosial yang tersedia, dukungan yang diterima, kebutuhan akan dukungan, upaya pencarian dukungan dan memperkuat perlindungan dari dukungan yang tersedia. Sehubungan dengan adanya dukungan tersebut, ODHA menumbuhkan sikap positif dari dalam dirinya untuk mampu bertahan dengan tetap memiliki harapan-harapan yang baik akan masa depan, bahkan dengan penyakit yang dihadapinya. Individu yang memiliki pola pandang positif akan memiliki kepercayaan dan pengharapan terhadap masa depan yang lebih baik meskipun mengalami banyak tantangan dan kemalangan hingga sikap optimisme muncul (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002). Optimisme dapat mengarahkan seseorang untuk mengatasi stress dengan lebih efektif dan bisa menurunkan resiko jatuh sakit (Scheiver, dkk,.1994, dalam Taylor, 2009). Fakta lain mengungkapkan bahwa keuntungan dan manfaat dukungan sosial juga muncul dari persepsi bahwa dukungan sosial tersebut dibutuhkan dan tepat bagi ODHA. Dukungan sosial memiliki peranan penting pada ODHA agar dapat merasakan kebahagiaan karena tidak semua individu memiliki persepsi yang sama akan dukungan yang tersedia. Dukungan yang diterima serta kebutuhan akan dukungan tiap individupun berbeda, mereka juga memiliki cara dan upaya yang berbeda dalam mencari dukungan. Oleh karena itu, sangat diperhatikan dukungan sosial yang akan diberikan agar sesuai dengan kebutuhan ODHA sehingga menghindarkan ODHA dari pesimis. Melihat banyaknya penelitian dan fenomena yang menunjukkan hubungan erat antara dukungan sosial dan Subjective Well-Being pada ODHA, peneliti tertarik untuk menelaah lebih lanjut tentang hubungan tersebut pada individu, lembaga-lembaga yang mempunyai klien maupun staf pendamping yang mempunyai status ODHA. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah : “Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan Subjective-Well Being pada ODHA ?” 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dan tujuan yang ingin dicapai adalah “Untuk mengetahui hubungan antara Dukungan Sosial dengan Subjective Well-Being pada ODHA.” 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kajian dan referensi dalam ilmu psikologi guna memperkaya pengetahuan menyangkut hubungan dukungan sosial dan Subjective Well-Being pada ODHA. 1.4.2 Manfaat Praktis Memberikan gambaran dan pemahaman kepada komunitas pemerhati ODHA seperti para tenaga professional (seperti psikolog, konselor, guru dan lain sebagainya) yang terlibat dalam penanganan dan memberikan dukungan pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) bagaimana hubungan antara dukungan sosial dan Subjective Well-Being. 1.5 Sistematika Penulisan 1. Pendahuluan Pada bab ini, penulis menjelaskan latar belakang masalah atau alasan yang menyebabkan penulis memilih hal ini sebagai topik penelitian. Kemudian terdapat perumusan masalah yang ingin diteliti, tujuan diadakannya penelitian, manfaat yang diharapkan dapat diperoleh melalui hasil penelitian, dan sistematika penulisan penelitian. 2. Kajian Pustaka Bab ini berisi teori atau studi literatur yang dapat menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, mencakup teori dukungan sosial, Subjective-Well-Being dan HIV/AIDS, hipotesis penelitian dan kerangka pemikiran. 3. Metode Penelitian Pada bab ini, jenis dan desain penelitian, variabel penelitian, hubungan antara variabel penelitian, Subjek penelitan, definisi operasional variabel penelitian, motode pengumpulan data, instrumen penelitian, pengolahan dan analisis data dan prosedur penelitian dukungan sosial dan Subjective Well-Being, tipe serta desain penelitian kuantitatif. 4. Hasil Penelitian Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran umum subjek, hasil penelitian dan pembahasan. 5. Kesimpulan, Diskusi dan Saran. Bab ini berisi kesimpulan–kesimpulan yang dapat ditarik penulis dari hasil analisis penelitian. Kemudian penulis juga mengemukakan diskusi, yang berisi hal–hal menarik yang ditemukan penulis selama penelitian dilakukan. Terakhir, penulis memberikan saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya