Tenofovir terkait dengan peningkatan risiko penyakit ginjal Oleh: Michael Carter, 13 Februari 2012 Pengobatan dengan tenofovir dikaitkan dengan risiko peningkatan tiga penanda kunci penyakit ginjal, para peneliti AS melaporkan dalam edisi online AIDS. Penelitian besar ini melibatkan lebih dari 10.000 pasien yang memulai ART antara 1997 dan 2007. Pasien yang diobati dengan tenofovir secara bermakna lebih mungkin untuk mengembangkan proteinuria (tingginya kadar protein dalam urin), mengalami penurunan yang cepat dalam fungsi ginjal dan memiliki estimasi laju filtrasi glomerulus di bawah 60 mL/min/1.73 m3 (penyakit ginjal kronis) . Risiko penyakit ginjal juga tetap tinggi bagi pasien yang telah menghentikan terapi tenofovir. “Bahkan setelah memperhitungkan faktor demografi, faktor terkait HIV, komorbiditas, dan obat antiretroviral lain, tenofovir tetap terkait dengan peningkatan risiko untuk hasil penyakit ginjal,” tulis para peneliti. Para penulis menekankan hubungan obat tersebut dengan proteinuria dan penyakit ginjal kronis dengan menyatakan bahwa”keduanya terkait dengan penyakit kardiovaskular dan kematian dalam pengaturan infeksi HIV.” Namun, mereka juga menekankan pentingnya tenofovir dalam pengobatan HIV dan bahwa risiko penyakit ginjal yang terkait dengan obat seimbang terhadap potensi manfaat dari obat tersebut. Selain itu, penulis tidak menganggap penelitian mereka sebagai definitif dan mendorong penelitian lebih lanjut. Pasien dengan HIV memiliki peningkatan risiko penyakit ginjal. Penyebab pasti dari risiko ini masih kontroversial, tapi tampaknya mencakup dampak HIV itu sendiri, faktor risiko tradisional seperti hipertensi dan diabetes, koinfeksi dengan hepatitis C, dan mungkin efek samping dari beberapa obat antiretroviral. Penelitian yang menjelajahi hubungan antara tenofovir dengan penyakit ginjal adalah bertentangan. Meskipun beberapa studi menemukan hubungan antara obat dan disfungsi ginjal, beberapa studi lain tidak menemukan hubungan ini. Perbedaan dalam populasi pasien, ukuran sampel yang terbatas dan kurangnya akses ke data laboratorium yang sesuai dapat menjadi alasan untuk kurangnya kesesuaian antara studi. Penting untuk membuktikan apakah obat ini meningkatkan risiko penyakit ginjal. Tenofovir banyak digunakan dalam terapi antiretroviral lini pertama dan juga memiliki peran penting dalam rejimen profilaksis prapajanan. Selain itu, disfungsi ginjal merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung, yang merupakan penyebab semakin penting penyakit dan kematian pada pasien dengan HIV. Oleh karena itu peneliti dari US Department of Veterans Affairs merancang penelitian untuk menentukan dampak paparan tenofovir terhadap risiko penyakit ginjal. Populasi penelitian mereka terdiri 10.841 pasien yang memulai ART untuk pertama kalinya selama sepuluh tahun antara tahun 1997 dan 2007. Sebanyak 4.303 orang menggunakan tenofovir. Tidak ada perbedaan antara pasien yang diobati dengan tenofovir dan pasien yang diobati dengan obat antiretroviral lain dalam hal prevalensi diabetes dan hipertensi, koinfeksi hepatitis C, jumlah CD4 dan viral load. Prevalensi proteinuria pada awal adalah sebanding di antara kedua kelompok pasien. Usia rata-rata adalah 46 tahun dan 98% orang adalah laki-laki. Durasi rata-rata dari terapi tenofovir adalah 1,3 tahun. Para peneliti mengakui bahwa periode yang singkat pengobatan adalah batasan dari studi mereka. Studi ini tidak melaporkan risiko absolut penyakit ginjal. Penting untuk diingat bahwa studi sebelumnya telah secara konsisten menunjukkan bahwa masalah ginjal berkembang dalam kurang dari satu dari 20 orang yang menggunakan obat, dan gangguan serius diamati dari kurang dari satu dari 100 orang. Faktor-faktor risiko klasik, seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan infeksi HIV yang tidak diobati, terus menjadi penyebab yang lebih penting dari penyakit ginjal kronis pada orang yang hidup dengan HIV. Sama seperti orang lain, orang dengan HIV juga rentan terhadap cedera ginjal akut karena Dokumen ini diunduh dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/ Tenofovir terkait dengan peningkatan risiko penyakit ginjal peradangan, infeksi atau obat yang dapat merusak ginjal. Dalam populasi penelitian keseluruhan, terdapat 3.400 kejadian proteinuria dari 38.132 orang-tahun masa tindak lanjut; 3.078 penurunan fungsi ginjal yang cepat dari 51.589 orang-tahun, dan 533 kejadian penyakit ginjal kronis dari 56.416 orang-tahun. Dalam semua model para peneliti, penggunaan tenofovir dan pajanan kumulatif terhadap obat sangat terkait dengan peningkatan yang signifikan dalam risiko dari ketiga penanda penyakit ginjal (p = 0,0033 dengan p <0,0001). Terapi dengan tenofovir juga dikaitkan dengan proteinuria dan penyakit ginjal kronis (p = 0,0014), ukuran dari penyakit ginjal. Analisis multivariat yang dikendalikan untuk variabel lain yang dapat mempengaruhi risiko pengembangan penyakit ginjal menunjukkan bahwa setiap tahun pengobatan tenofovir dikaitkan dengan risiko 34% dalam peningkatan proteinuria (95% interval kepercayaan 25% – 45%, p <0,0001), 11 % risiko percepatan penurunan fungsi ginjal (95% CI 3% – 18%, p = 0,0033) dan peningkatan risiko 33% dari penyakit ginjal kronis (95% CI 18% – 51%, p <0,0001). Pasien yang menghentikan terapi tenofovir tetap memiliki peningkatan risiko penyakit ginjal kronis pada ambang batas signifikansi (HR = 1,22 per tahun, 95% CI, 0,99-1,50, p = 0,055). “Dampak tenofovir terhadap risiko penyakit ginjal tidak dapat dibalikkan setelah menghentikan penggunaannya,’ para peneliti berkomentar. Namun adanya faktor risiko lain untuk penyakit ginjal tidak meningkatkan risiko penyakit ginjal sementara menggunakan tenofovir; namun hubungan antara pengobatan dengan tenofovir dan penyakit ginjal secara signifikan lebih lemah pada orang yang lebih tua, orang yang memiliki diabetes dan orang dengan penyakit kardiovaskular atau hipertensi ketika dibandingkan dengan orang yang lebih muda atau dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki kondisi ini. Tenofovir adalah obat anti HIV satu-satunya yang memiliki hubungan yang signifikan untuk tiga ukuran penyakit ginjal yang digunakan dalam studi ini. Namun demikian, beberapa obat lain meningkatkan risiko ukuran disfungsi ginjal. Misalnya, ritonavir meningkatkan risiko proteinuria (p <0,0001). Atazanavir dikatikan dengan penurunan yang cepat dari fungsi ginjal (p = 0,0035), dan indinavir memiliki hubungan yang signifikan dengan penyakit ginjal kronis (p = 0,0019). Para penulis menyadari signifkansi dari hasil studi ini dan potensinya untuk menyebabkan kekhawatiran di antara pasien. Oleh karena itu mereka percaya bahwa sangat penting untuk menyeimbangkan manfaat dan risiko dari terapi dengan obat ini. “Meskipun hubungan tenofovir dengan penyakit ginjal progresif, tenofovir tetap merupakan komponen penting dari terapi antiretroviral yang mungkin diperlukan pada banyak pasien untuk mengendalikan viral load,” para peneliti menyimpulkan. “Diperlukan studi yang lebih lanjut untuk mengetahui keseimbangan antara manfaat dan risiko dari obat ini.” Ringkasan: Tenofovir associated with increased risk of kidney disease Sumber: Scherzer R et al. Association of tenofovir exposure with kidney disease risk in HIV infection. AIDS, online edition. DOI: 10.1097/QAD.0b013e328351f68f, 2012. –2–