Menyusui bayi dengan HIV dapat mengembangkan resistansi dari ARV dalam ASI Oleh: aidsmap.com, 31 Maret 2011 Dua pertiga dari bayi yang menyusui terinfeksi setelah lahir, lahir dari ibu yang menggunakan terapi antiretroviral (ART) mengembangkan resistansi terhadap satu atau lebih obat ART. Hal ini disampaikan oleh Clement Zeh dan rekan dalam analisis sekunder dari Kisumu Breastfeeding Study (KiBS) yang diterbitkan di PloS Medicine. Namun, resistansi obat tampaknya telah dikembangkan sebagai hasil dari paparan ARV dalam ASI atau pajanan profilaksis antiretroviral segera setelah infeksi, bukan melalui penularan virus yang resistan terhadap obat dari ibunya. Mutasi resistansi obat pada anak yang terinfeksi HIV dikembangkan antara dua bulan dan enam bulan setelah lahir meningkat dari waktu ke waktu: dari 30% pada minggu ke enam, sampai 63% pada minggu ke 14 dan 67% pada enam bulan. Tidak ada resistansi yang ditemukan di antara bayi yang terinfeksi sebelum usia dua minggu atau setelah enam bulan ketika ibu berhenti ART dan berhenti menyusui. Para penulis mencatat pola ini menyarankan resistansi yang ditularkan melalui pajanan terhadap ART ibu melalui ASI, bukan melalui penularan dari ibu ke anak dari virus yang sudah resistan. Di rangkaian miskin sumber daya, MTCT terus menyebabkan kematian dan kesakitan yang signifikan. Sekitar sepertiga dari 450.000 anak yang terinfeksi diperkirakan setiap tahun terinfeksi melalui menyusui, Alternatif yang aman sering kali tidak layak bagi sebagian besar perempuan dalam pengaturan tersebut. Risiko kematian dan kesakitan bayi terkait dengan tidak menyusui lebih besar dari risiko yang terkait dengan infeksi HIV. Dalam pengaturan ini, memberikan ASI adalah suatu norma. Strategi yang terbukti untuk mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak melalui ASI termasuk memberikan ART pada ibu selama enam bulan periode menyusui. Yang terjadi adalah viral load dalam Asi berkurang, dan bayi juga mendapatkan profilaksis tidak langsung dari ART melalui ASI. Penelitian telah menunjukkan bahwa ART (termasuk AZT, 3TC, nevirapine dan efavirenz) ketika diberikan kepada ibu menyusui, obat tersebut juga ditemukan dalam ASI. Namun, obat antiretroviral dalam ASI juga dapat memiliki efek negatif bagi bayi yang terinfeksi sesaat sebelum atau selama masa menyusui. Rendahnya tingkat obat pada bayi dapat mendorong evolusi virus yang resistan terhadap obat jika infeksi terjadi meskipun sudah melakukan profilaksis. Para penulis menilai risiko ini dalam analisis sekunder dari temuan studi KiBS dengan melihat bayi mereka yang menjadi terinfeksi HIV selama waktu ini. Percobaan label terbuka satu lengan untuk pencegahan dari ibu ke anak, melihat keamanan dan kemanjuran dari pemberian AZT, 3TC, dan nevirapine atau nelfinavir terhadap perempuan yang terinfeksi HIV dari 34 minggu kehamilan sampai enam bulan menyusui. 500 perempuan yang terdaftar antara Juli 2003 dan November 2006 dan melahirkan 502 bayi. Pada akhir dua tahun, 32 bayi (6%) terinfeksi HIV. 24 bayi (75%) diantaranya terinfeksi selama enam bulan kehidupan. Dari 24 bayi, sembilan terpajan melalui ibu dari rejimen berbasis nelfinavir dan 15 bayi lainnya terpajan kepada ibu dari rejimen berbasis nevirapine selama periode menyusui. Semua bayi (n=9) yang terpajan dengan rejimen berbasis nelfinavir dan tujuh (47%) dari mereka yang terpajan dengan rejimen berbasis nevirapine mengembangkan resistansi obat (95% CI: 28-78%, p = 0,0095). Mutasi paling umum, M184V dan K103N, memberikan resistansi terhadap lamivudine dan nevirapine, Dokumen ini diunduh dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/ Menyusui bayi dengan HIV dapat mengembangkan resistansi dari ARV dalam ASI masing-masing. Semua bayi diberi nevirapine dosis tunggal dalam 48 jam setelah lahir. Contoh darah dari ibu dan bayi dilakukan pada berbagai tahap dan dianalisis untuk resistansi obat. Tak satu pun dari delapan (dari 24 anak yang terinfeksi HIV) yang memiliki hasil positif pada usia dua minggu memiliki tanda perkembangan resistansi obat. Demikian pula tidak ada mutasi yang terlihat pada delapan bayi yang terinfeksi selama masa menyusui enam bulan. Di antara ibu dari 24 anak, mayoritas (84%) tidak memiliki mutasi resistansi obat. Hanya satu pasangan ibu-anak yang memiliki pola mutasi yang tumpang tindih yang mungkin menyiratkan penularan dari virus yang resistan terhadap obat. Para penulis mencatat bahwa waktu pengembangan resistansi obat menunjukkan ini terjadi baik melalui penggunaan nevirapine dosis tunggal yang diberikan kepada bayi atau secara tidak langsung melalui ART dalam ASI. Temuan dari studi Swen mendukung saran ini. Bayi yang diberikan profilaksis nevirapine semenara ibu menggunakan ART mengembangkan resistansi NNRTI dalam studi tersebut. Satu keterbatasan, para penulis mencatat, adalah bahwa resistansi HIV genotipe obat dilakukan pada isolat virus dari plasma ibu dan bukan pada isolat ASI. Mengingat meningkatkan penggunaan profilaksis bayi selama menyusui, kemungkinan resistansi obat akan terlihat lebih sering. Para penulis menyarankan perbaikan diagnosis dan pengobatan bayi dalam membantu mengatasi masalah. Para penulis menyimpulkan bahwa pemantauan dekat untuk perkembangan resistansi pada bayi dalam program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi yang terpajan ART melalui ASI diperlukan, sehingga perawatan dapat disesuaikan. Ringkasan: Breastfeeding infants with HIV may develop drug resistance from ARVs in breast milk Sumber: Zeh C et al. HIV-1 drug resistance emergence among breastfeeding infants born to HIV-infected mothers during a single-arm trial of triple-antiretroviral prophylaxis for prevention of mother-to-chid transmission: a secondary analysis. PLoS Med 8(3): e1000430 doi:10.1371/journal.pmed.1000430, 2011. –2–