BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. HIPERTENSI 2.1.1. Klasifikasi Nilai tekanan darah bervariasi luas pada populasi dan cenderung meningkat dengan usia. Resiko komplikasi vaskular meningkat secara progresif dan linear dengan nilai tekanan darah yang tinggi, maka diperlukan nilai cut-off untuk menentukan tingkat hipertensi (Lee, Williams & Lilly 2011). Faktor-faktor yang berkontribusi kesulitan dalam mendiagnosis dan pengobatan hipertensi adalah kompleks. Beberapa penyebab hipertensi dapat diidentifikasi, dan beberapa dapat disembuhkan. Berdasarkan definisi, hipertensi berhubungan dengan kondisi-kondisi tersebut dikenal dengan “hipertensi sekunder”. Walaupun aspek patofisiologi hipertensi dapat diidentifikasi pada banyak pasien, penyebab yang tidak diketahui dijumpai pada sekitar 90% populasi hipertensi. Kelompok ini dikenal dengan “hipertensi primer” atau “hipertensi esensial”. Maka diagnosis hipertensi primer dapat ditegakkan setelah penyebab-penyebab yang diketahui untuk hipertensi telah disingkirkan. Proses penyingkiran diagnostik merupakan hal penting, karena penyembuhan atau pengobatan efektif dapat dilakukan pada beberapa penyebab yang diketahui (Blumenfeld, Liu & Laragh 2012). JNC 7 melaporkan pengenalan baru klasifikasi tekanan darah yang meliputi istilah “prehipertensi” untuk individu dengan tekanan darah sistolik berkisar 120-139 mmHg dan atau diastolik 80-89 mmHg. Klasifikasi baru ini ditujukan untuk mengidentifikasi individu yang menjalani intervensi awal dengan gaya hidup sehat dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi laju perjalanan tekanan darah menjadi tingkat hipertensi dengan umur, atau mencegah hipertensi secara keseluruhan. Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 dapat dilihat pada tabel 2.1. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah dewasa (JNC 7 2003) Tekanan darah sistolik (mmHg) Tekanan darah diastolik (mmHg) <120 dan <80 Prehipertensi 120-139 atau 80-89 Hipertensi stage-1 140-159 atau 90-99 Hipertensi stage-2 >160 atau >100 Klasifikasi tekanan darah Normal Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah yang tetap diatas target (140/90 mmHg) disamping penggunaan bersamaan 3 agen anti-hipertensi dari golongan berbeda, salah satunya termasuk diuretik. Hipertensi tidak terkontrol tidak sama dengan hipertensi resisten, dimana hipertensi tidak terkontrol meliputi pasien dengan kontrol tekanan darah yang kurang secara sekunder akibat kurangnya kepatuhan dan atau regimen pengobatan yang inadekuat, seperti pada resistensi pengobatan (Calhoun et al. 2008, Viera 2012). 2.1.2. Prevalensi Menurut analisis NHANES, partisipan dengan hipertensi yang diobati, hanya 53% terkontrol <140/90 mmHg. Pada analisis potong lintang partisipan studi Framingham, hanya 48% partisipan yang diobati terkontrol <140/90 mmHg dan kurang dari 40% partisipan lanjut usia (>75 tahun) mencapat target tekanan darah. Diantara populasi resiko tinggi dan dengan aplikasi penurunan tekanan darah yang direkomendasikan menurut JNC 7 untuk pasien dengan diabetes mellitus dan gagal ginjal kronik, proporsi pasien tidak terkontrol lebih tinggi. Pada partisipan NHANES dengan gagal ginjal kronik, hanya 37% terkontrol <130/80 mmHg dan hanya 25% partisipan dengan diabetes terkontrol <130/85 mmHg (Calhoun et al. 2008). 2.1.3. Patofisiologi Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi dan perannya secara relatif dapat berbeda diantara individu dan dijumpai banyak faktor yang berhubungan. Diantara faktor tersebut yang telah secara luas diteliti adalah asupan garam, obesitas dan resistensi insulin, sistem renin-angiotensin, dan sistem saraf simpatik; faktor-faktor lain Universitas Sumatera Utara yang telah dievaluasi yaitu genetik, disfungsi endotel (dimanifestasikan dengan perubahan endotelin dan nitrit oksida), berat badan lahir rendah dan nutrisi intrauterin, dan anomali neurovaskular (Beevers, Lip & Brien 2001). Tekanan darah (BP) merupakan produk dari curah jantung (CO) dan total resistensi perifer (TPR): BP = CO X TPR Dan CO adalah produk volume sekuncup jantung (SV) dan denyut jantung (HR): CO = SV X HR SV ditentukan oleh kontraktilitas jantung, aliran balik vena ke jantung (preload), dan resistensi ventrikel kiri yang diperlukan untuk memompa darah ke aorta (afterload). Hal ini mengikuti setidaknya 4 sistem yang secara langsung bertanggung jawab terhadap regulasi tekanan darah: (1) jantung, yang menyediakan tekanan pompa; (2) tonus pembuluh darah, yang secara luas menentukan resistensi sistemik; (3) ginjal, yang meregulasi volume intravaskular; dan (4) hormon, yang memodulasi fungsi ketiga sistem diatas (Lee, Williams & Lilly 2011). Beberapa patofisiologi mekanisme hipertensi yaitu: - Remodeling pembuluh darah dan perubahan patologik (Clark & Geithman 2005; Blumenfeld, Liu & Laragh 2012). Peningkatan resistensi vaskular, yang merupakan karakteristik utama hipertensi diastolik, berhubungan dengan vasokonstriksi otot polos arteriolar secara berlebihan, yang dapat menyebabkan perubahan struktural arteriol ini, peningkatan viskositas darah, atau bahkan meningkatkan tekanan ekstravaskular (interstisial). Pada hipertensi primer, diameter luar dan lumen pembuluh darah lebih kecil, dan rasio media/ lumen bertambah, tetapi area potong lintang media tidak berbeda dengan subjek normotensif. Perubahan patologik ini dikenal dengan remodeling eutropik. Remodeling pembuluh darah, dibandingkan dengan pertumbuhan, merupakan perubahan predominan yang muncul pada pembuluh darah resisten. Peningkatan rasio media/lumen pembuluh darah resisten muncul dengan penambahan material kepada baik permukaan dalam atau luar dinding pembuluh darah. Restrukturisasi dinding pembuluh darah merupakan Universitas Sumatera Utara konsekuensi beberapa kejadian, yang timbul untuk meningkatkan vasokonstriksi, meningkatkan deposisi matriks, meningkatkan apoptosis pada perifer pembuluh darah dengan meningkatkan pertumbuhan menuju lumen, dan perubahan motilitas sel otot polos. - Gangguan tekanan natriuresis (Blumenfeld, Liu & Laragh 2012). Gangguan hubungan tekanan-natriuresis merupakan aspek fundamental hipertensi. Hubungan mekanisme volume cairan-ginjal dan sistem reninangiotensin-aldosteron dalam patogenesis hipertensi telah diteliti secara mendalam. Peningkatan tekanan sistemik diakibatkan secara awal oleh retensi natrium karena efek langsung aldosteron ginjal dan dipertahankan oleh terganggunya tekanan natriuresis karena ketidaksanggupan meneruskan peningkatan tekanan kepada sirkulasi ginjal. Ketika konstriksi suprarenal berkurang dan tekanan perfusi ginjal mengijinkan peningkatan nilai tekanan sistemik, natriuresis dan diuresis secara cepat timbul, dan tekanan sistemik berkurang. - Sistem saraf simpatik (Beevers, Lip & Brien 2001; Blumenfeld, Liu & Laragh 2012). Rangsangan sistem saraf autonomik dapat menimbulkan baik konstriksi dan dilatasi arteriolar, yang menunjukkan perannya dalam mempertahankan tekanan darah normal. Hipertensi merupakan ekspresi dari gangguan sistem saraf pusat. Studi hewan percobaan menunjukkan hipertensi berat dengan kerusakan ginjal pada tikus yang diberikan stressor psikososial, hal serupa juga dijumpai pada primata dan anjing, dan akan menurun apabila stimulus dihentikan. Pada model eksperimental, kerusakan bilateral nukleus traktus solitarius dapat menimbulkan hipertensi fulminan akut. Namun, kesulitan untuk pengukuran aktivitas saraf simpatik manusia menyebabkan keterbatasan mengidentifikasi kontribusinya terhadap patogenesis hipertensi. Karena itu, kemungkinan gangguan saraf sentral atau perifer dapat terlibat dalam hipertensi pada manusia, walaupun belum terbukti, tetap menjadi subjek yang menarik. Aktivitas saraf simpatik berlebihan merupakan gambaran obesitas dan dilaporkan timbul pada individu dengan obesitas visceral dibandingkan dengan periferal. Irama jantung istirahat yang tinggi berhubungan dengan mortalitas kardiovaskular pada pasien Universitas Sumatera Utara hipertensi. Hubungan signifikan yang terbalik antara irama jantung dan tekanan nadi dan sistolik aorta telah dilaporkan pada studi yang menilai pengobatan dengan penghambat beta. Gambar 2.1. Abnormalitas primer yang potensial pada hipertensi esensial. CNS, sistem saraf pusat; RAA, sistem renin-angiotensin-aldosteron (Lee, Williams & Lilly 2011). 2.1.4. Komplikasi Komplikasi target organ akibat hipertensi menggambarkan derajat elevasi tekanan darah kronis. Kerusakan organ tersebut dapat berhubungan dengan (1) peningkatan kerja jantung dan (2) kerusakan arterial menghasilkan efek kombinasi peningkatan tekanan itu sendiri (kelemahan dinding pembuluh darah). Abnormalitas pembuluh darah yang disebabkan peningkatan tekanan termasuk hipertrofi otot polos, disfungsi sel endotel, dan kelelahan serat elastik. Trauma kronik hipertensi terhadap endotelium mencetuskan aterosklerosis dengan mengganggu mekanisme perlindungan normal, seperti sekresi nitrit oksida. Plak aterosklerotik dapat menyumbat ujung pembuluh darah, menyebabkan infark organ (seperti penyumbatan serebrovaskular, menimbulkan stroke). Target organ utama komplikasi hipertensi kronik adalah jantung, sistem serebrovaskular, aorta dan sistem vaskular perifer, ginjal, dan retina. Bila tidak diobati, sekitar 50% pasien hipertensi meninggal akibat penyakit jantung koroner atau gagal jantung Universitas Sumatera Utara kongestif, sekitar 33% mengalami stroke, dan 10-15% meninggal dari komplikasi gagal ginjal (Lee, Williams & Lilly 2011). Gambar 2.2. Patogenesis komplikasi mayor hipertensi arterial. LVH, hipertrofi ventrikel kiri (Lee, Williams & Lilly 2011). 2.1.5. Pengobatan Pendekatan terapeutik pasien hipertensi dipengaruhi oleh dua pertimbangan. Pertama, peningkatan tekanan darah pada pengukuran tunggal tidak menegakkan diagnosis hipertensi karena tekanan darah bervariasi dari hari ke hari. Pengukuran tekanan darah di rumah sakit atau praktek dokter dapat dipengaruhi juga oleh efek “white coat” karena kecemasan pasien. Rerata pembacaan berulang yang diambil pada dua atau tiga kunjungan lebih dipercaya untuk mendiagnosa pasien sebagai hipertensi. Kedua, walaupun hipertensi ringan merupakan masalah kesehatan publik utama karena tingginya prevalensi, untuk individu dengan hipertensi stage 1, resikonya kecil. Pemantauan berkala untuk menentukan apakah hipertensi ringan menetap, atau perubahan gaya hidup dapat mengurangi tekanan, sering direkomendasikan sebagai alternatif dari terapi obat segera dan hal ini semakin nyata pada ketiadaan faktor resiko kardiovaskular lain seperti merokok, diabetes, atau kolesterol serum tinggi (Lee, Williams & Lilly 2011). Target pengobatan antihipertensi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan ginjal. Karena kebanyakan individu dengan hipertensi, terutama usia >50 tahun, akan mencapai target tekanan diastolik saat Universitas Sumatera Utara target sistolik tercapai, perhatian secara primer untuk memperoleh target tekanan sistolik. Pengobatan tekanan sistolik dan diastolik mencapai target <140/90 mmHg berhubungan dengan penurunan komplikasi penyakit kardiovaskular. Pada pasien dengan hipertensi dan diabetes atau gangguan ginjal, target tekanan darah adalah <130/80 mmHg (JNC 7 2003). Algoritma pengobatan hipertensi ditunjukkan pada gambar 2.3. Terapi dimulai dengan modifikasi gaya hidup, dan bila target tekanan darah tidak tercapai, diuretik tiazid dapat digunakan sebagai terapi awal pada kebanyakan pasien, baik tersendiri atau dikombinasikan dengan satu dari golongan lain (ACEI, ARB, BB, CCB) (JNC 7 2003). Gambar 2.3. Algoritma pengobatan hipertensi (JNC 7 2003). Hipertensi dapat timbul bersamaan dengan kondisi lain, misalnya akibat komplikasi seperti gagal jantung, penyakit jantung iskemik, gagal ginjal kronik; Universitas Sumatera Utara atau berhubungan dengan hipertensi seperti diabetes, resiko penyakit jantung koroner tinggi. Keputusan pengobatan pada individu tersebut ditujukan pada mengatasi penyakit tersebut dan penurunan tekanan darah (JNC 7 2003). Tabel 2.2. Komorbiditas penyakit dan kelas pengobatan individual (JNC 7 2003) Komorbiditas Pilihan terapi awal Gagal jantung THIAZ, BB, ACEI, ARB, ALDO ANT Post infark miokard BB, ACEI, ALDO ANT Resiko tinggi penyakit kardiovaskular THIAZ, BB, ACEI, CCB Diabetes THIAZ, BB, ACEI, ARB, CCB Gagal ginjal kronik ACEI, ARB Pencegahan stroke berulang THIAZ, ACEI THIAZ= diuretik thiazide, ACEI= penghambat ACE, ARB= penghambat ARB, BB= penghambat beta, CCB= penghambat saluran kalsium, ALDO ANT = antagonis aldosterone. 2.2. KREATIN KINASE (CK) Proses produksi dan penggunaan ATP (adenosine trifosfat) intraselular secara dinamis sangat diperlukan dalam bio-energi organisme hidup. Sistem kreatin kinase (CK) memiliki peranan penting dalam homeostasis energi intraselular. Sistem CK menghubungkan proses produksi ATP selular dan proses konsumsi ATP selular, dengan mengkatalisasi transfer fosfat inorganik berenergi tinggi (Pi) antara kreatin dan ADP (adenosine difosfat) (Oudman 2013). Walaupun ATP merupakan satuan energi universal pada seluruh organisme dan sel, kadar ATP tidak secara mudah diregulasi naik pada sel dengan kebutuhan energi yang tinggi dan berfluktuasi. Peningkatan konsentrasi ATP intraselular, sebagai pemenuhan energi yang segera, diikuti dengan hidrolisisnya, berdampak pada akumulasi ADP dan Pi, dan melepaskan H+, mengasidifikasi sitosol, yang akan menginhibisi ATP-ase, seperti miofibrilar akto-miosin ATP-ase dan berdampak pada kontraksi otot dan banyak proses selular lainnya, maka tubuh memiliki mekanisme untuk mengatasi pemenuhan kembali cadangan ATP dengan segera, yang tidak mengganggu metabolisme primer yaitu fosfokreatin (PCr) bersamaan dengan CK (Wallimann, Schlattner MT & Schlattner U 2011). Universitas Sumatera Utara Enzim CK mengkatalisasi transfer reversibel kelompok fosforil-N dari PCr kepada ADP untuk meregenerasi ATP, merupakan peran utama dalam homeostasis energi sel-sel yang memiliki kebutuhan energi yang tinggi dan berfluktuasi, seperti sistem otot rangka, kardiovaskular, ginjal, sel neuron, fotoreseptor retina, dan spermatozoa (Wallimann et al. 1998). CK ditemukan dalam 4 isoform yang berbeda: tiga sitosolik dan satu mitokondrial. Seluruh isoform CK disandikan oleh gen nukleus yang berbeda, dan pada sebagian besar jaringan, isoform tunggal CK sitosolik diekspresikan bersama dengan isoform tunggal CK mitokondrial (MtCK). CK sitosolik tipe muscle (M) dan tipe brain (B) membentuk homodimer atau heterodimer seperti MM-CK pada otot rangka, MM-, MB-, dan BB-CK pada jantung, atau BB-CK pada otak, ginjal, spermatozoa, kulit, otot polos dan jaringan lain. MtCK terletak pada kompartemen luar mitokondrial dan muncul sebagai sarkomerik mtCK (smtCK) yang diekspresikan terutama pada jaringan otot dan sebagai ubiquitous mtCK (umtCK) yang diekspresikan dalam jumlah besar pada sel dan jaringan lainnya (Clark 1994; Wallimann, Schlattner MT, Schlattner U 2011). Dengan menggunakan fraksionasi biokimia dan lokalisasi insitu, CK isoenzim, yang awalnya dipertimbangkan sulit larut, ternyata memiliki terbagi secara subselular dan berpasangan secara fungsional dan atau struktural baik terhadap situs produksi energi (glikolisis dan mitokondria) atau konsumsi energi (ATP-ase selular, seperti akto-miosin ATP-ase dan SR-Ca2+-ATP-ase), yang membentuk jaringan kompleks distribusi energi yang diregulasi secara tinggi, sirkuit PCr. Bagian besar CK sitosolik (CKcyt) yang dapat larut, mengatur keseimbangan ATP/ADP global dan rasio PCr/Cr pada reaksi kesetimbangan. Salah satu fungsi dari CKcyt untuk mempertahankan konsentrasi global ADP bebas agar tetap rendah dan mempertahankan ATP global tetap stabil selama aktivasi sel. Bagian model sirkuit PCr ini merupakan fungsi CK sebagai penyanggah energi sementara, yang didukung oleh adenilat kinase sebagai pelindung kedua melawan penurunan kadar ATP dan peningkatan ADP. Sebagian CKcyt secara fungsional bergandeng terhadap glikolisis dan selama periode kerja anaerobik dan penyembuhan, secara khusus menerima ATP glikolitik untuk mengisi kembali kolam PCr yang besar. Namun, beberapa fraksi Universitas Sumatera Utara CKcyt secara spesifik berhubungan (CKa) dengan proses ATP pada situs konsumsi energi, seperti CKa berhubungan dengan apparatus kontraktil dan retikulum sarkoplasma, dimana secara fungsional membentuk mikrokompartemen bergandengan dengan akto-miosin ATP-ase dan SR-Ca2+ATP-ase. Disana, ATP secara langsung diregenerasi insitu oleh CKa melalui PCr, yang mempertahankan rasio ATP/ADP lokal tetap tinggi disekitar ATP-ase tersebut. MtCK terikat pada sisi luar membran dalam mitokondria dan terlokalisir disekeliling membran krista, pada daerah kontak mitokondria dimana membran dalam dan membran luar terletak sangat dekat. Pada daerah ini, oktamer MtCK membentuk mikrokompartemen dengan porin dan adenine nukleotid translokase (ANT) untuk transfer energi dari ATP kepada Cr, diikuti dengan transpor vektorial PCr kepada sitosol. ATP yang dibentuk oleh fosforilasi oksidatif secara khusus diterima oleh oktamer MtCK, transfosforilasi kepada Cr, yang masuk melalui pori-pori, untuk membentuk PCr yang kemudian diekspor kedalam sitosol. Dalam kondisi kerja berat, fosfat berenergi tinggi akan dibawa dari mitokondria ke daerah konsumsi energi (ATP-ase), yang menggunakan CKa meregenerasi ATP secara lokal insitu untuk memenuhi kebutuhan ATP dan mempertahankan rasio ATP/ADP lokal tetap tinggi (Wallimann et al. 1998). Gambar 2.4. Sistem kreatin kinase. CM, membran selular; MEM, membran luar mitokondrial; MIM, membran dalam mitokondrial; Matrix, mitokondrial matriks; Cr; kreatin; CT, kreatin transporter; CKcyt, isoform CK sitosolik; CKmt, isoform CK mitokondrial; SER, retikulum sarkoplasmik (Oudman 2013). Universitas Sumatera Utara Pada otot polos, kadar PCr sangat rendah dibandingkan dengan otot lurik, berkisar dari 0.5 hingga 4.4 mM. Karena kadar PCr yang sangat rendah, konsep PCr sebagai kolam energi (untuk menyanggah ATP) mungkin kurang bermanfaat dibandingkan pada otot rangka. Dengan demikian, bila peran utama sistem kreatin kinase untuk menyanggah dan mempertahankan ATP, maka diharapkan tersedianya kolam PCr yang besar. Namun demikian, apabila peran CK pada otot polos secara khusus terlibat dalam kontraksi dan relaksasi, maka dapat diprediksi bahwa CK dapat secara spesifik terikat pada filamen kontraktil dan berhubungan dengan unsur pokok siklus jembatan silang yang menyingkirkan perlunya kadar PCr yang tinggi. Kreatin kinase berperan sebagai transduser energi pada kontraktil protein dengan adanya nukleotid, dimana pada mikrokompartemen ini, kreatin kinase menyediakan ATP kepada rantai ringan miosin kinase (MLCK) untuk memfosforilasi rantai ringan miosin (MLC) dengan memfosforilasi ADP yang diproduksi oleh kontraktil protein. Nukleotid yang terikat dan secara energetic tersedia dapat bermanfaat pada kompartemen ini karena ADP yang diproduksi dapat mengalami refosforilasi dan defosforilasi pada tingkat yang cukup cepat untuk mempertahankan mikrokompartemen fungsional (Clark 1994). Gambar 2.5. Diagram skematik kreatin kinase sebagai transduser energi pada kontraksi otot polos (Clark 1994). Kreatin (Cr) diperoleh baik dari sintesis endogen dari tubuh atau dari sumber tambahan, seperti daging dan ikan, ditranspor kedalam otot dan sel target lainnya yang memerlukan energi tinggi dan berfluktuasi oleh kreatin transporter yang spesifik (CRT). Sistem PCr berperan mengurangi pembentukan reaktif oksigen spesies (ROS) dan menginhibisi transisi permeabilitas mitokondria, suatu tanda awal apoptosis. Cr sendiri dapat berperan sebagai anti oksidan Universitas Sumatera Utara langsung dan atau tidak langsung, dimana PCr dapat berinteraksi dengan melindungi membran selular. Secara keseluruhan, faktor-faktor ini dapat dapat menjelaskan efek menguntungkan suplementasi Cr. Efek stimulasi Cr untuk otot dan pertumbuhan tulang dan pemeliharaan, dan terutama neuroproteksi, sudah dikenal. Penggunaan aplikasi baru suplementasi Cr yang sedang berkembang seperti untuk orang tua, pasien unit perawatan intensif, dan dialisis, yang dikenal sering kekurangan Cr, dan juga dapat bermanfaat untuk infan prematur, wanita hamil dan menyusui (Wallimann, Schlattner MT, Schlattner U 2011). Kreatinin (Crn) merupakan produk dari degradasi siklik Cr yang dibentuk dari konversi non-enzimatik Cr, hingga sekitar 2/3-1/3 kesetimbangan kimia antara Crn dan Cr dicapai. Crn diukur sebagai penanda fungsi ginjal dari serum pasien karena mudah diukur secara kimiawi. Akumulasi Crn pada serum secara normal mengindikasikan fungsi ginjal yang terganggu, hal ini tidak berhubungan sama sekali dengan peningkatan konsentrasi serum Cr dan atau konsentrasi Crn selama suplementasi Cr, yang pada kasus ini, tidak mengindikasikan malfungsi ginjal atau toksisitas lainnya. CK dan Cr sangat penting untuk fungsi ginjal. CK diekspresi secara tinggi pada sel epitel ginjal dan sistem CK/PCr mendukung fungsi pompa ion Na+/K+ ATP-ase pada ginjal, dan sel epitel tubulus proksimal ginjal juga mengekspresikan Cr transporter (CRT) yang bertanggung jawab pada resorpsi dan mempertahankan Cr dari urine (Wallimann, Schlattner MT, Schlattner U 2011). 2.3. HUBUNGAN KREATIN KINASE (CK) DENGAN HIPERTENSI Sistem CK sangat penting pada jaringan yang memiliki tingkat variabel pergantian ATP yang tinggi; termasuk otot rangka, sistem kardiovaskular, otak, dan ginjal. Pada jaringan tersebut enzim CK menyediakan ATP untuk kontraksi otot dan transpor ion. Dijumpai variabilitas interindividual yang luas terhadap aktivitas enzim, dimana aktivitas CK jaringan dan serum relatif tinggi timbul biasanya pada populasi, namun secara tipikal dijumpai pada laki-laki, obesitas, keturunan kulit hitam dari Afrika. Keadaan CK yang tinggi merupakan kondisi menyeluruh dengan efek-efek morfologik dan fungsional pada sistem organ yang berbeda (Brewster et al. 2012; Oudman 2013). Universitas Sumatera Utara Aktivitas CK serum yang tinggi sebagai faktor genetik yang dapat menjelaskan tekanan darah lebih tinggi dijumpai pada kulit hitam, suatu subgroup populasi dengan prevalensi hipertensi dan komplikasinya yang lebih besar. Respons kontraksi diperkirakan ditingkatkan melalui peningkatan ketersediaan ATP untuk kontraktilitas kardiovaskular, retensi natrium ginjal, dan penipisan kapiler otot rangka (Brewster, Clark & van Montfrans 2000). Studi-studi pada populasi menunjukkan bahwa aktivitas CK serum berhubungan dengan tekanan darah, independen terhadap usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh (IMT), dan ras, serta dilaporkan meningkatkan kontraktilitas vaskular (Brewster et al. 2006; Johnsen et al. 2010). A. PEMBULUH DARAH DAN OTOT POLOS Peningkatan tekanan darah arterial dicapai dengan konstriksi arteriol menyebabkan turunnya kapasitas volume atau dengan pengisian cairan melebihi kapasitas jaringan arterial, yang menghasilkan peningkatan tekanan melawan dinding arterial. Pada pasien hipertensi, peningkatan tekanan secara predominan merupakan hasil dari peningkatan resistensi perifer total pembuluh darah, yang ditentukan dengan jumlah vasokonstriksi arteri kecil dan arteriol, atau “arteri yang resisten”. Pembuluh darah ini dikarakteristik dengan adanya tonus miogenik, seperti kemampuan intrinsiknya untuk berkontraksi sebagai respon dari peningkatan tekanan transmural yang mendadak dan tonus miogenik ini menjadi lebih hebat dengan penurunan ukuran pembuluh darah. Pada arteri ini, CK secara ketat terikat dekat dengan protein kontraktil otot polos, termasuk miosin ATP-ase dan MLCK, dimana enzim menyediakan ATP untuk kontraksi otot polos. Aktivitas enzim CK yang tinggi diperkirakan mempertahankan kadar ADP sekitar protein kontraktil tetap rendah. Kontraksi otot polos terdiri dari komponen pembentukan yang kuat dan cepat dengan nilai energi yang tinggi, dan tonus lambat pemeliharaan tekanan dengan nilai energi yang rendah yang tergantung pada kemampuan untuk melekat tetapi defosforilasi jembatan silang. Untuk pemeliharaan ini, diperlukan ADP, bila ADP pada protein kontraktil tidak mencapai kadar yang dibutuhkan, pemendekan berlebihan dapat timbul sebelum pembentukan jembatan silang, menyebabkan peningkatan vasokonstriksi, dan Universitas Sumatera Utara kontraktilitas mikrovaskular juga dapat mengurangi inhibisi CK intravaskular (Brewster et al. 2006; Oudman 2013). Pada hipertensi kronis tonus vaskular hanya modulator jangka pendek, dimana adaptasi struktural pembuluh darah resisten merupakan persyaratan mutlak untuk peningkatan tekanan darah yang didapatkan dalam jangka waktu yang lama. Dengan hipertensi yang berkepanjangan otot polos pembuluh darah mengalami hipertrofi yang menimbulkan peningkatan ketebalan dinding dan penyempitan lumen. Aktivitas CK dilaporkan meningkat pada respon tropik jaringan pembuluh darah untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi, dan dapat meningkatkan proliferasi otot polos pada hipertensi (Oudman 2013). Peningkatan aktivitas CK serum yang paling sering adalah latihan fisik. Periode istirahat 3 hari dapat secara cukup mengurangi efek latihan terhadap CK serum, tetapi aktivitas CK dapat meningkat hingga 3 minggu setelah aktivitas muscular eksentrik (dimana otot berkontraksi dan memanjang pada saat bersamaan). Hubungan antara tekanan darah dan aktivitas CK pada istirahat dengan tidak adanya kerusakan jaringan atau disfungsi, aktivitas CK serum merupakan gambaran konsentrasi CK jaringan, pelepasan CK dari jaringan, aliran limfatik, dan pembersihan CK oleh hepar. Jaringan normal kehilangan fraksi kecil CKcys kedalam ruang interstisial, dimana pada keadaan fisiologis dan patofisiologis pelepasan dari jaringan proporsional dengan aktivitas CK jaringan. CK interstisial selanjutnya ditranspor melalui pembuluh limfe dan memasuki aliran darah. Dengan demikian, perbedaan aktivitas CK jaringan yang dijumpai pada subgrup populasi sehat juga terdeteksi pada serum (Brewster et al. 2006). Pada arteri yang resisten, sedikit peningkatan aktivitas CK dapat menandakan peningkatan kontraktilitas, dengan pengaruh besar yang potensial terhadap nilai tekanan darah. RhoA/Rho kinase bergantung kalsium dan jalur nitrit oksida (NO)- guanosin 3,5- siklik monofosfat, efektor utama intraselular tekanan darah mengatur sistem pada otot polos pembuluh darah yang memusatkan proses metabolik bertenaga CK. Selain efek langsung CK terhadap kontraktilitas, aktivitas CK yang tinggi dapat menghambat fungsi-fungsi bergantung-NO, dengan mengurangi bioavailabilitas L-arginin. CK dan NO Universitas Sumatera Utara merupakan sistem antagonistik: CK meningkatkan kapasitas penyanggah ATP dan kontraktilitas, seperti respon pertumbuhan dan retensi natrium, sedangkan NO menghambat fungsi tersebut. Peningkatan kebutuhan kreatin yang bersamaan dengan aktivitas tinggi CK dapat mengurangi ketersediaan L-arginin dan mengurangi laju sintesis NO. Kreatin dan NO keduanya dibentuk dari L-arginin, tetapi sintesis kreatin yang terjadi pada ginjal dan hati, memerlukan lebih dari 10 kali lipat plasma L-arginin yang direpresentasikan oleh sintesis NO. Walaupun konsentrasi L-arginin intraselular yang seharusnya mensaturasi NO-sintase endothelial, laju sintesis NO terbatas oleh laju pengambilan L-arginin endothelial (Brewster et al. 2006; Guoyao & Morris 1998). Gambar 2.6. CK dan jalur regulasi utama kontraksi otot polos pembuluh darah. cGMP, guanosine siklik 3,5-hidrogen fosfat; MLCP, rantai ringan miosin fosfatase; NO, nitrit oksida; SER, retikulum sarkoplasmik (Brewster et al. 2006). B. OTOT RANGKA Resistensi vaskular perifer sebagian berhubungan dengan karakteristik morfologik otot rangka. Otot adalah jaringan heterogenus yang terbuat dari serat yang bervariasi dalam metaboliknya dan kontraktilitas dan terdapat pada proporsi yang bervariasi pada otot individu. Serat otot diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama; tipe I dan tipe II. Aktivitas CK tertinggi pada semua jaringan dijumpai pada serat tipe II. Serat ini secara tipikal cocok untuk latihan fisik berat dengan waktu yang singkat untuk mencapai tekanan puncak, dengan CK sebagai Universitas Sumatera Utara penyanggah utama ATP. CKcys secara ketat bergandengan dengan glikolisis anaerobik, dimana oksidasi asam lemak mitokondria dan pengambilan glukosa terbatas, dikenal dengan resistensi insulin. Aktivitas tinggi CK pada serat ini berhubungan dengan penipisan kapiler dan resistensi vaskular yang relatif tinggi. Berlawanan dengan ini, serat tipe I atau serat “denyut lambat” memiliki waktu yang lama untuk mencapai tekanan puncak, kaya akan miokondria, memperoleh ATP terutama dari oksidasi asam lemak, dan pengambilan glukosa yang tinggi. Sejalan dengan hal tersebut, aktivitas tinggi CK seperti pada serat tipe II, dapat berkontribusi meningkatkan resistensi perifer dan peningkatan tekanan darah. Lebih lanjut, CK bergandengan dengan glikolisis anaerobik dapat membatasi kapasitas otot untuk mengoksidasi asam lemak dan glukosa, menyebabkan penimbunan lemak. Dengan demikian, fenotip tinggi CK cenderung dapat hipertensi dan obesitas (Brewster et al. 2008; Hernelahti et al. 2005; Oudman 2013). Hubungan antara tipe serat otot dan hipertensi telah diketahui hampir 30 tahun lalu, tetapi sering diabaikan, walaupun beberapa studi telah menunjukkan dukungan terhadap temuan ini. Perbedaan ini juga berhubungan dengan obesitas dan diabetes tipe-2 membuat hal ini semakin penting. Penentuan variasi genetik pada komposisi serat otot dipertimbangkan untuk memahami kombinasi mematikan dari hipertensi, obesitas, dan diabetes tipe-2 (Pickering 2008). C. OTOT JANTUNG Jantung terdiri atas 20-40% aktivitas CK otot rangka. Untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat, miokardium mengkonsumsi lebih banyak energi dibandingkan organ lain. Karena jumlah ATP yang sedikit (10 mM, cukup hanya untuk beberapa denyutan) dibandingkan dengan permintaan (10,000 kali lebih besar), sel miokard harus secara terus-menerus mensintesis ulang ATP untuk mempertahankan fungsi pompa jantung. Pada jantung, sistem CK memiliki kepentingan untuk mempertahankan kadar ATP lokal yang konstan dan berkontribusi terhadap kapasitas kontraktil miokard. CK miofibrillar, secara fungsional bergandengan dengan miosin ATP-ase, mempertahankan rasio ATP/ADP tetap tinggi dan membatasi laju pelepasan ADP, yang mencegah penurunan kecepatan pemendekan maksimum myofibril. Aktivitas CK dan Universitas Sumatera Utara komponen lain sistem CK berkurang pada gagal jantung, dan intervensi sistem CK diteliti sebagai pengobatan pasien gagal jantung (Oudman 2013). D. GINJAL Curah jantung cukup dipengaruhi dan bergantung pada homeostasis natrium dan volume, dengan ginjal sebagai regulator utama. Natrium berperan penting dalam regulasi tekanan darah. Namun dijumpai variabilitas interindividual yang luas perlakuan natrium ginjal dan efek tekanan darah. Jumlah natrium yang diekskresi ginjal bergantung pada keseimbangan antara filtrasi oleh glomeruls dan reabsorpsi di tubulus. Setelah filtrasi lebih dari 99% natrium yang difiltrasi mengalami reabsorpsi. Proses ini diperoleh melalui koordinasi pertukaran, transporter, dan saluran ion pada nefron. Perlakuan natrium di tubulus proksimal berkisar 60-70% dari reabsorpsi keseluruhan natrium yang difiltrasi, 20-30% natrium diabsorbsi pada lengkung asendens Henle, dan 5-10% pada tubulus distal. Pada keseluruhan nefron, Na+/K+ ATP-ase terletak di permukaan basolateral, yang menyediakan kekuatan transpor vektorial natrium dari lumen tubular kepada kompartemen darah, dengan menggandeng hidrolisis ATP kepada perpindahan aktif tiga ion Na+ intraselular untuk dua ion K+. Pada ginjal, CK secara fungsional bergandeng dengan Na+/K+ ATP-ase ginjal dan ATP yang diproduksi oleh CK terlokalisir yang secara khusus digunakan untuk transpor natrium yang memerlukan ATP tinggi dan berfluktuasi melintasi sel epitel tubuler. Maka itu, aktivitas CK yang tinggi pada sel tubulus ginjal dapat menyebabkan peningkatan ketersediaan ATP untuk proses aktif reabsorpsi natrium, yang mendasari penurunan kemampuan untuk ekskresi natrium dan prevalensi yang lebih besar dari hipertensi yang sensitif natrium pada kulit hitam (Oudman 2013). Studi yang dilakukan Johnsen pada tahun 2010 yang melibatkan 12,776 pasien menunjukkan peningkatan 1 unit log CK berhubungan dengan peningkatan 3.3 mmHg tekanan darah sistolik dan 1.3 mmHg tekanan darah diastolik. Hubungan antara CK dan tekanan darah independen terhadap pengobatan anti-hipertensi dan tetap tidak berubah setelah menyesuaikan dengan obesitas dan eksklusi pasien diabetes mellitus. Bila kreatin kinase secara genetik merupakan penyebab dan bukan respon terhadap peningkatan tekanan darah, Universitas Sumatera Utara maka dapat diperkirakan aktivitas tinggi CK tetap bertahan walaupun setelah penurunan tekanan darah. Pada kelompok dengan pengobatan anti-hipertensi tidak dijumpai perbedaan kadar CK antara pasien dengan tekanan darah terkontrol (<140/90 mmHg) dan dengan tekanan darah melebihi target. Peningkatan resistensi vaskular perifer merupakan metode utama dimana tekanan darah dipertahankan selama stress ortostatik, dan kemampuan mentoleransi stress ortostatik secara langsung berhubungan dengan kemampuan untuk meningkatkan resistensi vaskular, yang kontraktilitasnya bergantung-CK. CK jaringan yang tinggi dapat menambah kapasitas energetik selular untuk melawan gravitasional dan stress lainnya yang dapat menyebabkan sinkop, melalui peningkatan tonus vaskular dan pencapaian vasokonstriksi. Subjek dengan CK yang tinggi dapat memiliki cadangan energi yang lebih besar yang secara cepat berespon dari hipotensi, terutama melalui kemampuan yang lebih baik untuk meningkatkan resistensi vaskular perifer secara mendadak, menghasilkan proteksi yang lebih baik terhadap tekanan perfusi serebral. Karena itu, CK dapat meningkatkan kontraktilitas kardiovaskular dan otot rangka dan retensi garam yang ditunjukkan dengan studi bahwa aktivitas CK yang rendah merupakan faktor resiko baru yang potensial untuk sinkop vasovagal (Brewster et al. 2009). Pemberian suatu analog kreatin asam beta-guanidinopropionik (β-GDPA) yang menginhibisi sistem CK secara reversibel pada studi hewan percobaan memodulasi metabolisme terhadap peningkatan fungsi mitokondria dan kapasitas oksidatif di otot rangka, dengan perubahan yang dapat dijumpai pada otot jantung, diakibatkan karena β-GDPA tidak digunakan oleh mitokondria CK di miokard. Modulasi ini mengakibatkan peningkatan kapasitas ketahanan dan sensitivitas insulin di otot rangka, mengubah kontraktilitas jantung secara minimal, dan toleransi yang lebih besar terhadap kekurangan energi serebral selama kejang dan hipoksia. Variasi adaptasi metabolik dan fungsional pada jaringan menunjukkan regulasi metabolisme energi spesifik jaringan dan reaksi fisiologis CK (Oudman, Clark & Brewster 2013). Universitas Sumatera Utara