Transfer Dana Pusat, Mobilisasi PAD dan Demokrasi Lokal

advertisement
1
TRANSFER DANA PUSAT, MOBILISASI PAD
DAN DEMOKRASI LOKAL
Lely Indah Mindarti
Staf Pengajar Administrasi Publik & Divisi Media pada RCCP FIA-Unibraw Malang
Abstrak
Peningkatan transfer dana bantuan pusat yang tidak disertai penguatan demokrasi lokal, bukan hanya
tidak efektif untuk mendorong pola-pola mobilisasi PAD yang konstruktif bagi pemberdayaan ekonomi
daerah, tetapi juga akan sekedar menularkan wabah korupsi dari pusat ke daerah itu sendiri. Untuk
mewujudkan demokrasi lokal yang efektif, sesungguhnya dibutuhkan tingkatan desentralisasi yang jauh
lebih besar dari yang diperkirakan selama ini, yakni desentralisasi yang secara fundamental mampu
mengubah tatanan kekuasaan politik dan manajemen kepemerintahan di daerah.
Keyword: transfer dana pusat, mobilisasi PAD & demokrasi lokal
Pengantar
Salah satu misi sentral diintrodusirnya otonomi luas berdasarkan UU No. 22/1999
dan UU No. 25/1999 adalah demi memberdayakan dan meningkatkan kemampuan
perekonomian daerah itu sendiri (Hardjosoekarto, 2002:9). Dua UU tersebut kini telah
diganti dengan UU No 32 dan 33 Tahun 2004, namun pada intinya misi yang diemban tetap
belum bergeser dari Undang-Undang sebelumnya. Misi tersebut akan tercapai, apabila
mobilisasi pendapatan daerah tidak sekedar berorientasi pada kepentingan memaksimalkan
pendapatan daerah akan tetapi justru lebih pada kepentingan mendukung pemberdayaan
dan penciptaan ruang yang lebih besar bagi peranserta masyarakat dan swasta dalam
pengembangan ekonomi daerah itu sendiri.
Namun seiring diberlakukannya otonomi luas, telah diikuti maraknya gejala
pelaksanaan otonomi yang lebih dimaknai sebagai automoney. Berbagai daerah berlombalomba menciptakan pungutan baru yang makin memberatkan masyarakat dan pelaku dunia
2
usaha. Sejak tahun 2001 hingga awal 2003 saja, pihak Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah - Depkeu telah mengajukan usulan ke pihak Mendagri untuk dilakukan
pencabutan terhadap 206 Perda yang dinilai bermasalah. Di luar 206 perda tersebut, masih
ada ratusan perda bermasalah yang masih dalam tahap pengkajian yang nantinya juga akan
diusulkan untuk dicabut (Surya: 13/08/2003).
Artikel ini secara ringkas mencoba melakukan refleksi teoritik atas gejala mobilisasi
PAD yang nggedabyah pada kurun pelaksanaan otonomi luas. Adapun argumen utama
yang dikembangkan adalah mobilisasi PAD akan efektif mendukung pemberdayaan
ekonomi daerah, apabila kebijakan transfer dana bantuan dari pusat dipadukan (matching)
dengan penguatan demokrasi lokal. Peningkatan transfer dana bantuan pusat yang tidak
disertai penguatan demokrasi lokal, bukan hanya tidak efektif untuk mendorong pola-pola
mobilisasi PAD yang konstruktif bagi pemberdayaan ekonomi daerah, tetapi juga akan
sekedar menularkan wabah korupsi di pusat ke daerah itu sendiri.
Pola-Pola Mobilisasi PAD
Banyak studi yang dilakukan para pakar yang menegaskan bahwa pelaksanaan
desentralisasi yang efektif, akan tercapai apabila mobilisasi pendapatan daerah lebih
menekankan pada sumber-sumber PAD daripada non-PAD. Demikian pula desentralisasi
akan efektif bagi peningkatan pelayanan publik, apabila mobilisasi PAD lebih menekankan
pada sumber pendapatan non-pajak daerah. Studi empirik de Mello dan Berenstein (2002)
menunjukkan bahwa governance meningkat ketika pengeluaran lokal lebih dibiayai oleh
mobilisasi pendapatan non-pajak, khususnya yang berupa retribusi daerah (Abed and
Gupta, 2002: 356).
3
Penekanan mobilisasi pendapatan daerah pada sumber PAD, terutama demi
mendukung penguatan akuntabilitas pejabat lokal dan tanggungjawab masyarakat lokal.
Seperti ditegaskan Oates (1972), International American Development Bank (1997) dan
Bahl (1999), keseimbangan yang lebih baik antara penyediaan layanan publik dan
kebutuhan penduduk, akan tercapai sepanjang biaya yang dibutuhkan terkait dengan
mobilisasi pendapatan yang dilakukan di wilayah yang sama. Keterkaitan erat pengeluaran
dan mobilisasi pendapatan lokal, akan dapat mendorong membaiknya akuntabilitas
tindakan pemerintah (Abed and Gupta, 2002:335).
Weisner (1995) mengemukakan alasan serupa, pentingnya memperhatikan upaya
fiskal daerah adalah berakar pada arti pentingnya warga membayar pajak, apa yang mereka
peroleh, sehingga pihak-pihak yang membuat keputusan pengeluaran lokal akan terjaga
akuntabilitasnya, melalui lembaga politik lokal. Wold Bank (1995) menekankan pula bahwa
apabila kenaikan transfer tidak diimbangi kenaikan kontribusi lokal, betapa pun kecil
jumlahnya, kecil sekali kemungkinan manfaat penuh desentralisasi dapat terwujud. Tanpa
rasa memiliki dan tanggungjawab dari masyarakat setempat, efisiensi pengeluaran
kelihatannya sangat tidak mungkin ditingkatkan (Bird dan Vaillancourt, 2000: 265).
Versi yang lain, menyatakan bahwa setiap transfer dari pusat pada dasarnya
merupakan sedekah yang tidak diperlukan pemerintah daerah, jika mereka tidak terlalu
boros dalam pengeluaran dan lebih tekun menarik pajak dari penduduknya. Transfer dana
dari pusat justru akan mudah mengundang munculnya intervensi pusat kepada daerah yang
akhirnya justru menimbulkan ketergantungan daerah kepada pusat itu sendiri (Davey, 1988:
259).
4
Secara teoritik, upaya mobilisasi PAD dapat dilakukan melalui pola intensifikasi
dan ekstensifikasi
(Halim, 2002:75-76). Pola intensifikasi, peningkatan pendapatan
dilakukan dengan lebih menekankan pada penerapan nilai atau prinsip-prinsip perpajakan
yang baik. Baik itu pada sumber pendapatan yang berupa pajak daerah, retribusi daerah,
badan usaha milik daerah, dan usaha-usaha lainnya yang sah. Davey (1988)
mengidentifikasikan prinsip utama perpajakan yang baik mencakup: kecukupan, elastisitas,
pemerataan, kemampuan administratif, dan penerimaan politik (Davey, 1988:40). Devas
(1989) menyatakan prinsip perpajakan yang baik itu mencakup: tingkat hasil, keadilan,
dayaguna ekonomi, kemampuan melaksanakan, dan kecocokan sebagai sumber
penerimaan daerah (Devas, dkk 1989:61-62). Kemudian Musgrave (1993) pemungutan
pajak hendaknya memenuhi syarat-syarat: keadilan, yuridis, ekonomis, efisien dan
sederhana (Halim, ed., 2002:146).
Sedangkan pola ekstensifikasi, peningkatan pendapatan pemda dilakukan dengan
lebih menekankan pada perluasaan sumber-sumber pendapatan baru. Baik yang berupa
pajak daerah dan retribusi daerah, maupun usaha-usaha lainnya yang sah. Kalaupun
dilakukan, upaya ekstensifikasi ini hendaknya lebih menekankan pada retribusi daripada
yang bersifat pajak. Bahkan idealnya, upaya ekstensifikasi ini dilakukan pemda dengan
jalan mengembangkan sumberdaya ekonomi daerah yang masih bersifat potensial menjadi
lebih fungsional dan produktif. Sehingga tidak saja mampu berfungsi sebagai sumber
pendapatan baru bagi pemda, tetapi juga mampu mengerakkan ekonomi daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah sendiri. Atau kalau perlu, sudah saatnya
mencari sumber pembiayaan alternatif dari pasar modal, seperti yang dilakukan Pemprov
5
Sulawesi Utara melalui program reksadana Sulut Fund. Tujuan otonomi untuk
menumbuhkan kreativitas pemda, dengan demikian akan benar-benar terwujud secara
konstruktif dalam rangka memberdayakan ekonomi daerah.
Pratikno (2002) mengidentifikasikan sejumlah kriteria penting dalam menentukan
jenis dan besaran sumber pendapatan dan belanja, yaitu: memfasilitasi dan memacu
pertumbuhan
ekonomi,
meningkatkan
dan
menjamin
pemerataan
pembangunan,
memberdayakan masyarakat, dan menjaga sustainabilitas pembangunan ekonomi dan
pelayanan kepada masyarakat (Pratikno, 2002:22). Kriteria ini membawa konsekwensi
dimana pajak dan retribusi harus bisa menjamin bahwa investasi tetap jauh lebih besar dan
menarik dibanding konsumsi. Pajak dan retribusi daerah perlu lebih menekankan
pemungutan dan pembebanan pada output kegiatan ekonomi dan bukan membebani
proccess kegiatan ekonomi. Pajak dan retribusi harus menekankan pada kelompok dan
wilayah yang lebih kaya. Kegiatan pemerintah harus menyeimbangkan kesejahteraan masa
kini dengan masa akan datang, pemerataan antara generasi kini dan akan datang. Jenis-jenis
pelayanan yang terlalu mengandalkan pada satu kekuatan (pemerintah saja) maupun
didanai oleh satu jenis sumber pendapatan, akan sangat rentan terhadap perubahan. Karena
itu, pola-pola multi-aktor dan multi sumber pendanaan, lebih menjamin keberlangsungan
sebuah pelayanan (Pratikno, 2002: 22-23).
Studi empirik yang dilakukan Mitchell (1969) menunjukkan bahwa semakin
demokratis sistem politik, kebijakan perpajakan akan semakin lebih menekankan pada
pajak langsung (direct tax) daripada pajak tidak langsung (indirext tax), dan pada tarif
pajak progresif (progresive tax) daripada tarif pajak regresif (regresive tax) (Heidenheimer,
6
ed., 1975:229). Mardiasmo (2002) selanjutnya menegaskan bahwa kebijakan tidak
menambah pajak dan lebih meningkatkan retribusi ini didasarkan atas pertimbangan:
Pertama, pungutan retribusi langsung berhubungan dengan masyarakat pengguna
layanan publik. Peningkatan retribusi secara otomatis akan dapat mendorong
peningkatan kualitas pelayanan publik karena masyarakat tentu tidak mau
membayar lebih tinggi bila pelayanan yang diterima sama saja kualitas dan
kuantitasnya.
Kedua, investor akan lebih bergairah melakukan investasi di daerah apabila
terdapat kemudahan sistem perpajakan di daerah. Penyederhanaan sistem
perpajakan di daerah perlu dilakukan misalnya melalui penyederhanaan tarif dan
jenis pajak daerah (Mardiasmo, 2002:149).
Penekanan pada intensifikasi tersebut, sangat sejalan dengan fungsi pajak yang
tidak sekedar sebagai instrumen budgeter, namun sekaligus sebagai instrumen regulatory
(Halim, ed., 2001:145). Perpajakan merupakan instrumen mendasar untuk menjalankan
peran-peran ekonomi pemerintah (Pratikno, 2002:39). Baik itu berupa peran alokatif,
distributif, regulatori, dan stabilisasi (Bailey, 1999:6). Disamping itu juga sangat relevan
dengan kepatuhan membayar pajak masyarakat Indonesia yang masih rendah. Hal ini
terlihat pada relatif rendahnya tax ratio yang hanya sebesar 12%, sedangkan tax ratio
negara-negara ASEAN rata-rata sudah berkisar 25% (Mardiasmo, 2002:147). Demikian
pula pada sisi petugas pajak, seperti ditegaskan Stone (1995) dari survei yang dilakukan
terhadap dunia usaha, mengindikasikan bahwa aparat pajak cenderung lebih antusias
mengumpulkan suap daripada pajak itu sendiri (Bird dan Vaillancourt, 2000:188).
Kebijakan Transfer Dana Pusat
Davey (1989) menegaskan hubungan keuangan pusat dan daerah, pada prinsipnya
lebih menyangkut persoalan tentang pembagian kekuasaan. Terutama hak mengambil
7
keputusan mengenai anggaran, yaitu bagaimana memperoleh dan membelanjakannya.
Tujuannya adalah mencapai adanya kesesuaian dengan peranan yang dimainkan oleh
pemerintah daerah (Devas, 1989:179). Davey (1989) mengidentifikasikan 2 bentuk utama
peranan Pemda yang masing-masing membutuhkan dukungan format kebijakan keuangan
yang berbeda. Kedua peranan dan format kebijakan keuangan yang sesuai dengan masingmasing peranan tersebut yakni sebagai berikut:
“Pertama, pandangan yang menekankan peranan pemerintah sebagai ungkapan
kemauan dan indentitas masyarakat setempat. Pemerintah daerah merupakan
wadah bagi penduduk setempat untuk mengemukakan keinginan mereka dan untuk
menyelenggarakan urusan setemapt sesuai dengan keinginan dan prioritas mereka.
Adapun peralatan keuangan yang dibutuhkan mencakup: (1) kekuasaan untuk
menghimpun sendiri pajak yang dapat banyak menghasilkan pemasukan dan
menentukan sendiri tarif pajak; (2) bagi hasil pajak nasional antara pemerintah
pusat dan daerah; dan (3)bBantuan umum dari pemerintah pusat tanpa
pengendalian oleh pemerintah pusat atas penggunaannya.
Kedua, pandangan yang menekankan peranan pemerintah daerah sebagai lembaga
yang menyelenggarakan layanan-layanan tertentu untuk daerah dan sebagai alat
yang tepat untuk menebus biaya memberikan layanan yang bermanfaat untuk
daerah. Sedangkan peralatan keuangan yang sesuai untuk peran ini adalah
peralatan yang tidak menuntut wewenang tersendiri bagi pemerintah daerah untuk
mengambil keputusan di bidang keuangan. Peralatan semacam ini mencakup: (1)
Wewenang mengenakan pajak atau pungutan tetapi tanpa hak menetapkan tarif
pajak atau pungutan; (2) Bantuan untuk layanan atau program tertentu; dan (3)
Bantuan untuk menyamakan jumlah atau mengimbangi kekurangan, berdasarkan
perkiraan yang dibuat pusat dan bukan berdasarkan perkiraan kebutuhan
setempat” (Devas, 1989:180-181).
Penegasan tersebut, pada intinya menekankan pentingnya keseimbangan antara
beban urusan yang menjadi tanggungjawab pemda dan kewenangan finansialnya. Semakin
luas urusan yang menjadi tanggungjawab pemda, semakin besar pula kewenangan finansial
yang dibutuhkannya. Sebagai konsekwensinya, seperti ditegaskan Hun Cho dan Meinardus
(1996) if decentralizacion of power is the aim, then logically decentralization public
8
finances must go with it (Hun Cho dan Meinardus, 1996:175). Argumen dasar ini
selanjutnya mendorong munculnya prinsip baru dalam politik pembiayaan desentralisasi.
Prinsip baru ini tercemin pada adagium no mandate wihtout funding atau money follow
functions menggantikan prinsip kuno yang dikemukan Wayong (1956) yaitu functions
follow money yang dinilai tidak realistik dan menyesatkan (Gaffar,dkk, 2002:189).
Undang-undang baru tentang Pemerintahan Daerah, merupakan undang-undang
tentang pelaksanaan desentralisasi yang mendasarkan pada prinsip keseimbangan.
Ditegaskan bahwa kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam
rangka desentralisasi, harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan
tersebut. Namun operasionalisasinya, prinsip ini masih banyak mengundang kontroversi.
Gaffar, dkk (2002) menilai bahwa peraturan tentang masalah keuangan daerah yang ada
masih bersifat setengah hati, karena titik beratnya masih tetap pada pembagian proporsi,
bukan kepada pemberian kewenangan yang luas sebagaimana yang dinyatakan dalam UU
No. 22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 (Gaffar, dkk, 2002:203).
Uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun uang bukan satu-satunya alat
menggerakkan roda pemerintahan. Kata kunci otonomi adalah kewenangan. Dengan
kewenangan, uang akan dapat dicari (Gaffar, dkk, 2002: 213).
Pada sisi perpajakan, sistem perpajakan nasional yang ada dinilai masih cenderung
sentralistik. Pajak langung dan tidak langsung yang penting dan produktif, tetap ditangani
pusat. Tidak ada pajak tambahan (hak opsi) yang dapat dikenakan pemda atas pajak-pajak
yang diadministrasikan pusat (Yuworo, 2002:18). Demikian pula dalam bidang perpajakan
9
daerah yang diatur dalam UU No. 34/2000 dan PP No. 65/2001. Tarif pajak daerah telah
ditentukan pusat, terutama dalam bentuk tarif pajak tetap dan tarif pajak maksimal. Dalam
peraturan ini, pemda diijinkan melakukan ekstensifikai sepanjang memperoleh persetujuan
DPRD. Namun hal ini tidak berarti pemda memiliki kewenangan yang mandiri untuk
menetapkannya. Pemerintah pusat tetap memiliki hak veto untuk menolak (mencabut)
pajak yang dibuat daerah (Brojonegoro, 2002:19). Berbagai persoalan krusial ini
mengindikasikan, perangkat peraturan yang ada belum memberikan kepada pemda
sejumlah instrumen perpajakan yang signifikan dan independen (Alms, 2002: 88).
Demikian pula dalam persoalan dana perimbangan. Pada sisi kebijakan bagi hasil,
pola bagi hasil masih dilakukan basis per basis pajak dan belum mencakup setiap sumber
pendapatan pusat yang ada di daerah. Penekanan lebih besar pada bagi hasil sumberdaya
alam (SDA), dinilai lebih menguntungkan daerah yang kaya SDA dan tidak
menguntungkan daerah yang bukan penghasil kekayaan alam tersebut (Pratikno, 2002:66).
Sedangkan sumberdana alokasi umum, meskipun didasarkan formula yang lebih obyektif
dan transparan, tetapi cenderung lebih mengutamakan pemerataan dan kurang
memperhatikan sisi keadilan. Bahkan cenderung bersifat disinsentif karena tidak
memperhitungkan kontribusi daerah kepada pendapatan pusat. Demikian pula pendekatan
25% dari pendapatan dalam negeri, belum dikembangkan untuk mencapai sufficiency
pembiayaan daerah (Soekarwo, 2002).
Secara umum, transfer keuangan intra-pemerintahan hendaknya mampu mendorong
peningkatan manajemen fiskal yang baik dan menghidari parktek yang tidak efisien (Syah,
1994:71). Bahkan mampu mengurangi beban perpajakan lokal yang relatif tinggi (Bailey,
10
1999:207). Upaya seperti ini akan dapat dilakukan pemda, apabila pemda memiliki
kewenangan memadai di bidang pengelolaan sumberdaya ekonomi. Terutama kewenangan
pemda dalam mengendalikan tarif pajak daerah (local tax power) (Bird dan Vaillancourt,
2000:49). Pemda juga perlu memiliki dana memadai, sehingga memiliki fleksibilitas untuk
lebih menekankan pada intensifikasi. Bahkan kemungkinan memberikan tax holidy demi
merangsang investasi di daerahnya (Mardiasmo, 2002:153). Studi yang dilakukan de Mello
dan Berenstein (2002) menunjukkan semakin besar bagian dana yang dibelanjakan daerah,
semakin besar keterkaitan positip antara desentralisasi dan perwujudan governance (Abed
and Gupta, 2002:360).
Agar tidak terjadi pelemahan upaya fiskal daerah, setiap desain perimbangan
keuangan harus bersendikan elemen potensi kapasitas penerimaan daerah (Bird dan
Vaillancourt, 2000:45). Misalnya di Spanyol, 25% dana perimbangan daerah dialokasikan
menurut penerimaan pajak daerah dan 70% menurut jumlah penduduk. Denmark dan
Swedia, seperi Kanada dan Australia, secara eksplisit mengkalkulasikan dana perimbangan
dengan mengasumsikan penerapan tarif pajak daerah menurut rata-rata nasional. Daerah
yang menetapkan tarif pajak di atas rata-rata tarif pajak daerah, tidak diberi sangsi dengan
pengurangan dana perimbangan. Sementara yang menerapkan tarif di bawah rata-rata,
diberi insentif kenaikan dana perimbangan yang diterimanya.
Demikian pula, keuangan intra pemerintahan tidak seharusnya mengandung
kompleksitas yang tidak perlu. Di semua negara, kompleksitas hunbungan fiskal antar
pemerintahan tidak dapat dihindari dan biasanya tidak memuaskan bagi pihak-pihak yang
terkait. Jika apa yang dikerjakan pusat adalah mesukseskan suatu tujuan khusus, lakukanlah
11
tanpa menambah kerumitan atas keuangan intra-pemerintahan. Bilamana mungkin, transfer
langsung ke kelompok masyarakat miskin lebih baik daripada transfer tidak langsung
melalui daerah.
Kebijakan keuangan intra pemerintah, karenanya perlu dirancang lebih cermat.
Devas (1988) mengemukakan tujuh kriteria dasar yang perlu diperhitungkan yaitu:
simplicity (kesederhanaan, formula alokasi mudah dimengerti), adequacy (cukup untuk
membiayai kebutuhan dasar daerah), elasticity (menyesuaikan diri terhadap inflasi, dll),
stability and predictability (jumlah alokasi relatif stabil dan mudah diprediksi), equity
(unsur pemerataan daerah), economic efficiency (menjamin efisiensi penggunaan dana),
serta decentralization and local accountability (menjamin otonomi daerah dan akuntabilitas
lokal) (Pratikno, 2002:61). Kriteria serupa ditegaskan oleh Syah (1994) yang
mengemukakan sejumlah kriteri dasar yang perlu dipertimbangkan dalam merancang
transfer keuangan intra-pemerintahan yaitu: autonomy, revenue adequacy, equity,
predictability, efficiency (neutrality), simplicity, incentive, and safeguard of grantor’s
objectives (Syah, 1994:30).
Disamping PAD dan dana transfer pusat, sumber dana pemda lainnya yang
potensial adalah “pinjaman daerah” (local borrowing). Berdasarkan Undang-undang,
daerah diberikan kewenangan melakukan pinjaman. Baik itu pinjaman pada pusat, bank
komersial, dan institusi keuangan lainnya. Termasuk melakukan pinjaman ke luar negeri.
Akan tetapi melalui peraturan No. 107/2000, kewenangan ini oleh pusat diatur sangat ketat
sekali yang pada akhirnya justru mempersulit kemungkinan pemda melakukan pinjaman.
12
Bahkan berkat tekanan IMF kesempatan pemda melakukan pinjaman ini tertutup paling
tidak sampai terselesaikannya krisis ekonomi nasional (Brojonegoro, 2002:21).
Pelarangan kepada pemda melakukan pinjaman ini, dapat menimbulkan kondisi
kurang mendukung bagi percepatan perbaikan kinerja pemda. Bahkan merupakan bentuk
patronase lama untuk melindungi kinerja pemda yang tidak efektif. Seperti dikemukakan
Bird dan Vaillancourt (2000):
“Pemberlakuan batasan utang untuk mencegah kesalahan fiskal pada pemda dapat
berakibat buruk. Karena dapat membendung terjadinya sangsi pasar secara
alamiah. Kreditur potensial pemerintah, dapat memiliki kemampuan dan motivasi
untuk membuat evaluasi kemungkinan risiko pada uangnya. Dari perspektif ini,
kekhawatiran atas keteledoran pemda yang dapat menyebabkan mereka terjebak
dalam posisi sulit, merupakan contoh lain dari paternalisme yang tidak tepat atau
keliru, sikap “orangtua lebih tahu” yang umum terjadi pada pemerintah pusat
dalam menghadapi kemungkinan tidak enaknya kehilangan kontrol akibat
desentralisasi. Dan pemda sulit berkinerja dengan baik jika mereka selalu
diamankan dari kemungkinan berbuat salah dengan memberlakukan batasan yang
sembarang atau jika mereka yakin bahwa pusat selalu siap memberikan bantuan.
Jika pusat ingin menghidari permasalahan, dapat dilakukan denagan tidak
memberikan subsidi atas utang pemda dan merelakan pemda yang dililit utang
terlalu banyak itu bangkrut seperti dipraktekkan di Maroko” (Bird dan
Vaillancourt, 2000:10).
Sejumlah persoalan krusial tersebut, banyak ditengarai telah menjadi faktor penting
yang mendorong otonomi seolah-olah identik dengan automoney. Meningkatkan PAD
dengan cara menambah jenis dan meningkatkan tarif pajak/retribusi. Munculnya berbagai
konflik perebutan sumber pendapatan antar pemerintahan. Seperti kengototan sejumlah
Pemkab/Pemkot untuk mendapatkan bagi hasil lebih besar dari pajak kendaraan bermontor.
Tuntutan pengalihan kewenangan pengelolaan uji kir kendaraan yang selama ini tangani
Pemprov. Hal serupa juga ditujukan pada sumber pajak yang selama ini dikuasai pusat.
Seperti cukai rokok, bandara, pelabuhan, BUMN dan sebagainya.
13
Urgensi Penguatan Demokrasi Lokal
Pola-pola mobilisasi PAD, tidak semata-mata dipengaruhi kebijakan keuangan intra
pemerintahan. Syah (1994) menegaskan bahwa desentralisasi tanggungjawab dan
rasionalisasi transfer dana intra pemerintahan, hendaknya didukung penguatan kapasitas
kelembagaan politik lokal (Syah, 1994:3-4). Bird dan Jenkins (1993) menegaskan bahwa
desentralisasi akan berjalan lebih baik jika dikaitkan erat ke struktur masyarakat dan
organisasi lokal (Bird dan Vaillancourt, 2000:51). Penegasan serupa dikemukakan Bird dan
Vaillancourt (2000) sendiri yang menyatakan bahwa:
“Pengalaman di berbagai situasi mengisyaratkan adanya 2 persyaratan yang
sangat penting untuk kesuksesan desentralisasi. Pertama, proses pengambilan
keputusan di daerah harus demokratis, yaitu pengambilan keputusan tentang
manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-pihak yang terkait memiliki
kesempatan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kedua, biayabiaya dari keputusan yang diambil, sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat
setempat. Maksudnya pemda perlu memiliki kontrol atas tarif (dan mungkin basis
pajak, obyek) dari paling tidak beberpa jenis pajak. Jika peryaratan-persyaratan
yang agak ketat ini dapat dipenuhi, devolusi atau otonomi barulah berarti.
Sebaliknya, bila tidak dapat diwujudkan maka desentralisasi mungkin tidak akan
mencapai sasaran dan tujuannya” (Bird dan Vaillancourt, 2000:17).
Konsekwensi tidak terpenuhinya persyaratan tersebut, seperti ditegaskan Bardhan
dan Mookherjee (1998) jika akuntabilitas lokal adalah terbatas, desentralisasi dapat hanya
sekedar memindahkan kekuasaan dan korupsi dari para elit nasional ke elit lokal (de Mello
and Berenstein, 2002:336). Kondisi yang sebaliknya, ditegaskan Weingast (1995), Breton
(1996) dan Triesman (2000), korupsi dapat dikurangi di dalam pemerintahan yang
desentralistis, sepanjang di wilayah tersebut terdapat lembaga-lembaga yang sama-sama
relatif otonom, mampu saling bertindak dan saling bereaksi (de Mello and Berenstein,
2002:335).
14
Smoke (2001) lebih spesifik menyatakan bahwa mekanisme fiskal tidak dapat
diharapkan berfungsi jika tidak ada tingkat pengembangan politik dan akuntabilitas lokal
yang memadai (Smoke, 2001:32). Penegasan yang sama dikemukaan Syah (2000) dimana
pengalaman di Indonesia dan Pakistan, telah memberikan pelajaran penting dalam
melakukan reformasi fiskal di Negara Berkembang seperti berikut:
1. Kelembagaan partisipasi masyarakat dan akuntabilitasnya harus digiring ke arah
reformasi sistem fiskal yang sungguh-sungguh. Meskipun dalam masyarakat yang
primitif, seperti India sebelum dijajah Inggris, sistem pemerintahan lokal berjalan
efektif untuk memberikan pelayanan dan pengumpulan pajak lokal, sebab ada
pemahaman yang baik atas mekanisme partisipasi dan akuntabilitas masyarakat.
Sistem pemerintahan lokal yang lebih modern, telah gagal karena ketiadaan suara
masyarakat dan pengendalian akuntabilitas.
2. Kemampuan kelembagaan (administratif/manajemen) merupakan hal kedua
terpenting, dan seharusnya mendapat prioritas yang lebih rendah dalam usaha
reformasi. Kapasitas kelembagaan untuk membangun dan mengembangkan praktek
organisasi modern, memang penting, namun seharusnya tidak dipandang sebagai
kendala untuk desentralisasi. Kemampuan teknis dapat dipinjam dari dukungan
tingkatan pemerintah yang lebih tinggi di berbagai tempat.
3. Pemisahan yang demikian jauh antara keputusan pembelanjaan dan perpajakan
menyebabkan kurangnya akuntabilitas sektor pemerintah.
4. Bagi hasil atas dasar basis per basis pajak mendistorsi insentif efisiensi
pemungutan pajak. Di Pakistan, bagi hasil pajak demi pajak atas penerimaan dan
penjualan telah menyembunyikan pajak perdagangan dari reformasi, sebab pajak
tersebut tidak dibagi dengan propinsi.
5. Desentralisasi yang berhasil tidak dapat dicapai tanpa keberadaan program
transfer fiskal yang terancang baik.
6. Lingkungan kelembagaan negara berkembang membutuhkan tingkatan
desentralisasi yang lebih besar daripada yang dibutuhkan negara industri.
Lingkungan sektor pemerintah yang lebih terbelakang lebih sesuai dengan bentuk
pemerintahan yang terdesentralisasi, sebab kebutuhan informasi dan biaya
transaksi dapat diminimalkan dengan cara menggeser pengambilan keputusan
lebih dekat ke masyarakat yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut (Bird dan
Vaillancourt, 2000: 204-209).
Penegasan tersebut menekankan pentingnya reformasi fiskal yang secara sungguhsungguh dipadukan (matching) dengan pelembagaan demokrasi lokal. Pelembagaan
demokrasi lokal ini, sudah saatnya memperoleh perhatian serius. Sebab ada kecenderungan
15
umum, desentralisasi seringkali gagal mencapai tujuan yang diharapkan, karena transfer
kekuasaan yang dilakukan tidak mampu mengubah distribusi kekuasaan yang mengarah
pada terwujudnya kesamaan derajad antara komponen pemerintah dan non-pemerintah.
Seperti ditegaskan Bailey (1999):
“Desentralisasi merupakan sesuatu yang sangat diperlukan (necessary) tetapi
bukan kondisi yang mencukupi (unsufficient) untuk mempromosikan kepentingan
publik, baik melalui peningkatan untuk dapat melakukan pilihan publik maupun
penguatan suara publik….. Desentralisasi hanya menciptakan kesempatan
(opportunity) untuk meningkatkan responsivitas dalam pemberian pelayanan
publik, tetapi tidak mesti menjaminnya. Hasil nyata dari desentralisasi akan lebih
tergantung pada distribusi kekuasaan (distribution of power) di antara berbagai
kelompok yang ada di dalam dan di sekitar institusi pemerintahan lokal (Bailey,
1999:77).
Pada bagian selanjutnya, Bailey (1999) menyatakan bahwa:
“Desentralisasi umumnya hanya memperluas bentuk-bentuk tradisional demokrasi
perwakilan (representative democracy), daripada demokrasi partisipatoris
(participatory democracy) pada tingkat lokal. Manajemen desentraliasi lebih
banyak terjadi di dalam lingkungan departemen daripada melintasi antar
departemen. Desentralisasi lebih berkaitan dengan masalah access daripada
decesion-making. Desentralisasi lebih terkait dengan pembuatan keputusan di
dalam struktur lembaga pemerintah daripada penyebaran kekuasaan (devolution of
power) kepada komunitas di suatu wilayah. Dan ini terjadi karena desentralisasi
tidak secara fundamental mengubah tatanan kekuasaan politik dan manajemen”
(Bailey, 1999:77-79).
Undang-undang baru tentang Pemerintahan Daerah, secara formal mendasarkan diri
pada prinsip demokrasi dan peranserta masyarakat. Namun secara substansial, tranfer
kekuasaan yang terjadi masih terbatas pada lingkungan internal pemerintahan daerah.
Terutama pada eksekutif dan legislatif daerah. Sehingga proses politik pemerintahan
daerah, cenderung lebih menekankan pada mekanisme demokrasi perwakilan daripada
demokrasi partisipatoris. Sementara itu, tidak ada satu pun pasal yang mengatur hak-hak
penduduk, baik itu hak-hak untuk memperoleh pelayanan, hak pengawasan terhadap
16
eksekutif maupun legislatif daerah, baik secara individu maupun institusi (Hardjosoekarto,
2002:12). Kontruksi kekuasaan yang tidak seimbang ini, menjadi faktor krusial yang
menyebabkan proses penentuan kebijakan publik, dimonopoli dan didominasi kepentingan
eksekutif dan legislatif daerah. Termasuk dalam kebijakan pendapatan dan belanja daerah.
Berbagai penegasan tersebut sangat relevan dengan apa yang dikemukan Smith
(1985) bahwa persoalan keuangan lokal tidak bisa dipisahkan dari politik, baik dalam arti
idiologi maupun dampak deferensial kebijakan fiskal terhadap kepentingan berbagai
kelompok masyarakat yang berbeda (Smith, 1985:120). Lebih spesifik lagi, Pratikno (2002)
menegaskan APBD merupakan kebijakan politik paling mendasar dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Melalui kebijakan ini para pembuat keputusan dapat menentukan
siapa atau masyarakat mana yang lebih diuntungkan dibandingkan kelompok masyarakat
lainnya (Pratikno, 2002:21). Sejauhmana keputusan tentang who gets what ini diambil,
akan sangat tergantung pada persoalan krusial bagaimana keputusan itu dibuat, siapa yang
terlibat, apa kepentingnya dan bagaimana distribusi kekuasaan di antara aktor yang terlibat
tersebut. Penegasan serupa dikemukan Grindle (1980) bahwa keputusan tentang who gets
what ini, akan sangat dipengaruhi oleh persoalan krusial tentang strategi, sumberdaya dan
posisi kekuasaan dari masing-masing aktor yang terlibat itu sendiri (Grindle, 1980:12).
Penutup
Dari kajian ringkas di atas, ada sejumlah isu krusial yang sangat urgen diperhatikan
dalam upaya mendesain kebijakan pembiayaan desentralisasi. Pertama, kebijakan
desentralisasi akan efektif apabila didukung adanya pola-pola mobilisasi PAD yang lebih
bertumpu pada upaya intensifikasi daripada ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan
17
daerah. Kalaupun ekstensifikasi dilakukan, hendaknya lebih menekankan pada sektor
retribusi daripada perpajakan daerah. Demikian pula apabila sektor perpajakan akan
dijadikan pilihan, hendaknya lebih berorientasi pada sisi output kegiatan ekonomi daripada
sisi proccess kegiatan ekonomi agar tidak menambah beban dunia usaha maupun
masyarakat.
Kedua, pola-pola mobilisasi PAD yang mendukung efektifitas desentralisasi, akan
tercapai apabila kebijakan transfer dana bantuan pusat, tidak semata-mata perlu dirancang
lebih cermat. Akan tetapi sekaligus perlu diserasikan atau dipadukan (matching) dengan
kebijakan untuk memperkuat demokrasi lokal. Pola-pola mobilisasi PAD yang
menghambat pelaksanaan desentralisasi yang efektif, terjadi karena kebijakan transfer dana
pusat, tidak diimbangi penguatan demokrasi lokal yang sebanding dengan tingkat
desentralisasi fiskal yang dilakukan. Desentralisasi politik yang dilakukan, masih
cenderung bersifat desentralisasi setengah hati, atau desentraliasi tanpa kuasa rakyat..
Sebuah tipe desentralisasi yang hanya terfokus pada penguatan demokrasi perwakilan dan
bukan pada demokrasi partisipatoris. Dan implikasinya bisa dilihat dimana-mana.
Desentralisasi setengah hati ini, telah memunculkan disorientasi berupa maraknya koalisi
eksploitatif yang dilakukan eksekutif dan legislatif untuk saling memaksimalkan
kepentingan ekonomi istitusi dan pribadinya.
Ketiga, persoalan mobilisasi PAD dan kebijakan keuangan intra pemerintah (pusatdaerah), sekaligus merupakan persoalan politik yang melibatkan masalah paling krusial
yaitu persoalan distribusi kekuasaan. Karena itu, redistribusi kekuasaan yang lebih
seimbang dalam sistem pengambilan keputusan, tidak hanya dibutuhkan pada tingkal lokal,
18
namun juga sangat dibutuhkan pada tingkat nasional. Redistribusi kekuasaan yang
seimbang ini, makin urgen dan relevan apabila melihat kenyataan empirik di berbagai
negara. Pada Negara-negara Berkembang, kebijakan fiskal intra pemerintahan cenderung
bergerak dari pola-pola sentralistik menuju ke pola-pola yang makin bercorak
desentralistik. Sedangkan di Negara-negara Maju, kebijakan fiskal intra-pemerintahan
justru bergerak dari pola-pola yang desentralistik menuju ke arah kebutuhan bagi adanya
pola-pola kebijakan fiskal yang bercorak sentralistik. Kenyataan empirik yang saling
bertolak belakang ini mengisyaratkan bahwa kebijakan fiskal yang desentralistik dan
sentralistik, hanyalah relevan dalam konteks yang bersifat temporer. Dinamika yang terjadi
dalam dunia empirik justru menunjukkan makin pentingnya kebutuhan bagi adanya polapola keseimbangan antara kebijakan fiskal yang desentralistik dan sentralistik. Pola-pola
keseimbangan ini akan tercapai, apabila sistem pengambilan keputusan di tingkat nasional,
benar-benar dilandasi adanya distribusi kekuasaan yang seimbang antara pusat dan daerah
itu sendiri.
Kebijakan fiskal intra-pemerintahan, merupakan persoalan yang sangat komplek.
Baik secara teknis maupun politik. Kajian kritis pada tataran teoritik dan empirik, sangat
urgen dilakukan. Terutama untuk menguji apakah fakta empirik memang memperkuat
validitas proposisi teoritik yang banyak dikembangkan para akademisi dan dianut para
praktisi di Negara Berkembang. Atau sebaliknya, banyak proposisi yang sebenarnya lebih
layak diklasifikasikan sebagai provokasi yang dapat menjerumuskan berbagai pihak
terkungkung dalam euforia di tengah-tengah keterbelakangan diri.
19
Daftar Pustaka
Abed, George T., and Gupta, Sanjeev, 2002, Governance, Corruption & Economic
Performance, IMF: Washington, D.C.
Alm, James, 2002, Decentralization and Local Government Borrowing in Indonesia, FEUI: Jakarta. (Makalah).
---------, 2002, Can Indonesia Decentralise Successfully?: Plans, Problems and Prospects,
Bulletin of Indonesia Economic Studies: Vo. 37.
Anuar, Abdul Rahim, 2000, Fiscal Decentralization in Malaysia, Hitotsubashi Journal of
Economics Vol. 14.
Bailey, Stephen J., 1999, Local Government Economics: Principles and Practice,
Macmillan Press Ltd.: London.
Bird, Richard M. dan Vaillancourt, Francois, 2000, Desentralisasi Fiskal di Negara-negara
Berkembang, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solikin, 2002, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,.
Brojonegoro, Bambang, 2002, Indonesian Intergovernmental Transfer in Decentralization
Era: The Clash of General Allocation Fund, Mini-Economica FE-UI: Jakarta.
Cho, Chang-hyun, and Meinardus, 1996, Local Autonomy and Local Finance, CLAHanyang University: South Korea.
Davey, K.J., 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek Internasional dan
Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, UI Press: Jakarta.
Devas, Nick., dkk., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI-Press: Jakarta.
Ditjen Pajak, 2002, Menkaji Format Pengelolaan PBB: Suatu Tinjauan atas Isu
Desentralisasi PBB, Jakarta.
Halim, Abdul, (ed.), 2001, Manajemen Keuangan Daerah, UPP-AMP YKPN: Yogyakarta.
Hardjosoekarto, 2002, Hubungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Kebijakan
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 2.
Mardiasmo, 2002, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, ANDI: Yogyakarta.
Muluk, M.R. Khairul, Desentralisasi: Teori, Cakupan dan Elemen, Jurnal Administrasi
Negara Vol. II. No. 2.
Pratikno, 2002, Keuangan Daerah: Manajemen dan Kebijakan, MAP-UGM: Yogyakarta.
(Pointers Kuliah).
Sidik, Machfud, 1998, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, Jakarta. (Makalah).
Shah, Anwar, and Qureshi, Zia, 1994, Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia,
The World Bank: Washington, D.C.
Smoke, Paul, 2001, Fiscal Decentralization in Developing Countries: A Review of Current
Concepts and Practice, UNRISD: Switzerland.
Gaffar, Afan, dkk, 2002, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustakan Pelajar :
Yogyakarta.
***
Download