Bab 1 - Widyatama Repository

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Permasalahan penting yang dihadapi oleh hampir semua perusahaan
adalah bagaimana mendapatkan modal guna mendukung kegiatan operasionalnya.
Penambahan dana, misalnya dengan masuknya investor baru, tentu tidak secara
langsung berarti peningkatan likuiditas kepemilikan. Perusahaan yang belum
menjadi perusahaan publik dapat meningkatkan kebutuhan dana dengan
menempuh beberapa alternatif (Jogiyanto, 2003). Pertama, menjual saham
langsung kepada pemegang saham yang sudah ada sebelumnya. Kedua, menjual
saham kepada karyawan melalui Employee Stock Ownership Plan (ESOP).
Ketiga, menambah saham lewat dividen yang tidak dibagi (dividend reinvestment
plan). Keempat, menjual langsung saham kepada pembeli tunggal (misalnya,
investor institusional). Kelima, menjual saham kepada publik melalui pasar
saham. Menjual saham kepada publik melalui pasar modal ini disebut juga dengan
go public. adapun alasan perusahaan melakukan go public agar memperoleh dana
yang digunakan untuk memperbaiki struktur permodalan, meningkatkan investasi
di anak perusahaan, membayar hutang, dan menambah modal kerja. Dalam proses
go public, sebelum saham diperdagangkan di pasar sekunder (bursa efek), saham
dijual terlebih dahulu di pasar perdana. Penawaran saham perdana dikenal dengan
istilah IPO (Initial Public Offering).
Terdapat perbedaan antara tahun 2010 dan 2011 di mana rata-rata return
H+0 pada IPO tahun 2010 lebih tinggi dibanding IPO tahun 2011. Lesunya ratarata kinerja saham IPO di H+0 pada 2011 kemungkinan disebabkan oleh kondisi
bursa saham saat itu yang kurang kondusif karena imbas krisis Eropa yang
mengguncang bursa saham global. Hal itu terlihat pada kinerja IHSG sepanjang
2011 yang hanya menorehkan kenaikan 3,20%.
(https://www.infovesta.com/isd/article/article_read.html diakses pada 15/10/15
jam 19:16)
2
Sepanjang tahun 2012, tercatat 23 emiten yang melakukan kegiatan Initial Public
Offering (IPO), lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2011 yang menacapai 25
emiten. Walaupun jumlah emiten lebih sedikit, nilai emisi tahun 2012 jauh
meningkat dibandingkan nilai emisi tahun sebelumnya. Hal ini karena ketahanan
dan
kesinambungan
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
ditengah
krisis
perekonomian khususnya krisis keuangan global yang tidak menentu, yang
ditopang oleh karakteristik ekonomi nasional yang bertumpu pada konsumsi
domestik dan pembentukan modal tetap bruto (investasi). Selain itu, kenaikan
nilai emisi tahun 2012 dikarenakan perbedaan ukuran perusahaan yang melantai
di Bursa Efek Indonesia, dimana terdapat beberapa perusahaan besar dan BUMN.
(http://www.relitrade.com/product-services diakses 10/16/15 jam 9:50)
Faktor yang menyebabkan IPO menurun pada tahun 2011-2012
dikarenakan adanya krisis perekonomian terutama krisis keuangan global yang
tidak menentu sehingga terjadi penurunan dan kondisi bursa saham saat itu yang
kurang kondusif karena imbas krisis Eropa yang mengguncang bursa saham
global. Masih terdapat beberapa perusahaan besar yang sudah melakukan
persiapan untuk go public, tetapi menunda rencana pelaksanaannya karena masih
menunggu saat yang tepat antara lain melemahnya tekanan-tekanan ekonomi
global khususnya pada komoditas seperti batubara, nikel, dan tembaga. IPO pun
mengalami kenaikan pada tahun 2013, Dikarenakan semakin banyaknya
perusahaan yang membutuhkan dana untuk melakukan ekspansi dan dana untuk
pembayaran hutang perusahaan.
Pada tahun 2014, perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana
saham atau Initial Public Offering (IPO) mengalami penurunan jumlah
perusahaan dan nilai dibandingkan dengan catatan 2013. Faktor utama penurunan
tersebut adalah adanya tahun politik atau pemilihan umum yang membuat
perusahaan menahan diri. Terkait hal tersebut, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar
Modal OJK mengatakan pada tahun ini kondisi pasar modal Indonesia banyak
terpengaruh oleh dinamikaa politik dan perekonomian global.
(http://www.infovesta.com/news/readnews.jsp?id=4158ec59-9537-11e4-a47be41f13c31ba2s diakses pada tanggal 02/10/15 jam 19:24)
3
Hal ini dapat dilihat dari grafik perkembangan IPO (Initial Public
Offering) pada periode 2010-2014 sebagai berikut:
Grafik 1.1
Perkembangan IPO Periode 2010-2014
IPO
35
30
25
20
15
10
5
0
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber: www.sahamok.com (Diolah)
Perkembangan perusahaan yang melakukan go public terjadi pada semua
sektor yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yaitu terdiri dari sektor pertanian,
sektor pertambangan, sektor industri dasar dan kimia, sektor property dan real
estat, sektor infrastruktur utilitas dan transfortasi, sektor keuangan serta sektor
perdagangan, jasa dan investasi. Hal ini ditunjukan oleh perusahaan dalam sektorsektor tersebut selalu ada yang melakukan IPO (Initial Public Offering) selama
periode tahun 2010 hingga tahun 2014.
Menurut Husnan, (2009:15), pembentukan harga di pasar perdana
dipersilahkan
untuk
ditentukan
oleh
pihak-pihak
yang
berkepentingan,
underwriter (penjamin) dan emiten. Sedangkan harga yang terbentuk di pasar
sekunder diserahkan pada kekuatan permintaan dan penawaran. Berdasarkan
perkembangan IPO (Initial Public Offering), sering terjadi perbedaan harga saham
antara pasar perdana dengan pasar sekunder. Apabila harga yang ditunjukkan di
pasar sekunder di hari pertama lebih rendah daripada harga yang telah ditetapkan
4
di pasar perdana maka disebut SSoverpricing. Sebaliknya, apabila harga saham
yang ditunjukkan di pasar sekunder di hari pertama lebih tinggi daripada harga
saham yang ditetapkan di pasar perdana makan disebut sebagai underpricing.
Menurut (Beatty 1989 dalam kristiantari,2013), kondisi underpricing
menimbulkan dampak yang berbeda bagi perusahaan dan investor. Perusahaan
akan tidak diuntungkan apabila terjadi underpricing, karena dana yang diperoleh
dari go public tidak maksimum. Sedangkan bila terjadi overpricing, maka investor
yang akan merugi, karena mereka tidak menerima initial return yaitu keuntungan
yang diperoleh pemegang saham karena perbedaan harga saham yang dibeli di
pasar perdana saat IPO dengan harga jual yang bersangkutan di hari pertama di
pasar sekunder. Pengujian underpricing pada saat IPO dapat digambarkan sebagai
berikut :
Grafik 1.2
Perkembangan Underpricing Pada Periode 2010-2014
Underpricing
30
25
20
15
10
5
0
2010
2011
2012
2013
2014
hhtps://www.e-bursa.com/index.php/ipo/ipo_stock_performance
Fenomena underpricing dalam pelaksanaan IPO (Initial Public Offering)
ini diperkirakan terjadi karena banyaknya permintaan di pasar sekunder atau
karena terlalu rendahnya harga yang ditetapkan perusahaan pada saat di pasar
perdana. Selain itu, fenomena underpricing dapat terjadi karena adanya faktor
eksternal. Salah satu faktor eksternalnya yaitu kondisi pasar, perekonomian dan
5
karakteristik investor. Fenomena underpricing terjadi karena adanya mispriced di
pasar perdana sebagai akibat adanya ketidakseimbangan informasi antara pihak
underwriter dengan pihak emiten, biasanya disebut asimetri informasi. Sebagai
pihak yang membutuhkan dana, emiten meninginkan harga perdana yang tinggi,
dilain pihak underwriter sebagai penjamin emisi menginginkan harga yang
rendah demi meminimalkan resiko yang ditanggungnya. Pihak underwriter
kemungkinan mempunyai informasi lebih banyak tentang pasar dibanding pihak
emiten. Kondisi asimetri informasi inilah yang menyebabkan terjadinya
underpricing, dimana underwriter merupakan pihak yang memiliki banyak
informasi dan menggunakan ketidaktahuan emiten untuk memprkecil resiko.
Underpricing adalah suatu keadaan dimana harga saham pada saat penawaran
perdana lebih rendah dibandingkan ketika diperdagangkan di pasar sekunder.
Penentuan harga saham pada saat penawaran umum ke publik, dilakukan
berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten dan underwriter. Sedangkan
harga saham yang terjadi di pasar sekunder merupakan hasil mekanisme pasar
yaitu hasil dari mekanisme penawaran dan permintaan. Hal inilah yang
menyebabkan masih banyaknya perusahaan go public yang mengalami
underpricing sampai saat ini.
Sebagai pihak yang membutuhkan dana, emiten menginginkan harga
saham perdana yang lebih tinggi. Sebaliknya, underwriter sebagai penjamin emisi
berusaha untuk meminimalkan risiko yang ditanggungnya. Menurut Husnan,
(2009:22) sesuai UU Pasar Modal nomor 8 tahun 1995 menyatakan bahwa
underwriter di pasar modal dapat memberikan jaminan full commitment atau best
effort. Full commitment berarti bahwa apabila saham tersebut tidak seluruhnya
laku terjual, underwriter harus membeli sisanya. Sedangkan Best Effort hanya
menunjukkan bahwa underwriter telah berusaha sebisanya, dan karenannya tidak
perlu membeli saham yang laku terjual.
Dalam tipe penjaminan full commitment, pihak underwriter akan membeli
saham yang tidak laku dijual di pasar perdana, keadaan tersebut membuat
underwriter tidak berkeinginan untuk membeli saham yang tidak laku dijual.
Upaya yang dilakukan adalah dengan bernegosiasi dengan emiten agar saham
6
tersebut tidak terlalu tinggi harganya, bahkan cenderung underpriced. Hal ini
menyebabkan pihak emiten harus menerima harga yang murah bagi penawaran
saham perdananya. Dengan demikian akan terjadi underpricing yang berarti
bahwa harga saham di pasar perdana lebih murah dari harga saham di pasar
sekunder untuk saham yang sama. Tetapi menurut Haymans, (2013:2) bahwa
underpricing tersebut merupakan kesengajaan dan adanya asimetri informasi yang
dimiliki oleh penerbit saham IPO (Initial Public Offering) dan penjamin emisi.
Fenomena underpricing ini menjadi kerugian bagi emiten, karena dana
yang diperoleh pada saat IPO (Initial Public Offering) tidak maksimal. Terdapat
selisih antara harga di pasar sekunder dengan harga yang telah ditetapkan di pasar
perdana, itulah jumlah kerugian yang dialami oleh emiten. Namun hal tersebut
menjadi keuntungan bagi investor atau sering disebut sebagai initial return.
Dengan adannya fenomena underpricing, investor akan memiliki ketertarikan
yang tinggi terhadap suatu saham. Karena semakin tingginya tingkat underpricing
maka semakin tinggi pula initial return yang diharapkan oleh investor.
Terdapat
beberapa
faktor
yang
dapat
mempengaruhi
fenomena
underpricing yaitu terdiri dari rasio likuiditas seperti current ratio, rasio
profitabilitas seperti ROA (return On Asset), ROE (Return On Equity) dan EPS
(Earning Per Share), financial leverage seperti DAR (Debt To Asset Ratio) dan
DER (Debt To Equity Ratio). Selain faktor keuangan ada juga faktor lain yang
dapat memepengaruhi seperti umur perusahaan, ukuran perusahaan, reputasi
underwriter dan presentase saham yang ditawarkan. Terdapat banyak variable
independen yang dapat mempengaruhi underpricing. Dari banyaknya variable
tersebut, peneliti memilih beberapa variable yang sesuai dengan research gap dari
penelitian sebelumnya yaitu yaitu ROA (Return On Asset) dan DER (Debt To
Equity Ratio).
Menurut (Prastica, 2012) ROA merupakan informasi yang penting bagi
investor dalam melakukan investasi di bursa efek. Semakin tinggi ROA, berarti
perusahaan semakin mampu mendayagunakan aset dengan baik untuk
memperoleh keuntungan dan investor akan tertarik membeli atau mencari saham
perusahaan IPO tersebut karena berharap di kemudian hari akan mendapatkan
7
pengembalian yang besar atas investasinya. Semakin tinggi nilai ROA perusahaan
dianggap akan memperkecil tingkat underpricing karena investor maupun
underwriter akan menilai kinerja perusahaan lebih baik dan bersedia membeli
saham perdananya dengan harga yang lebih tinggi. Return On Asset (ROA)
menunjukkan keefektifan operasional perusahaan dalam menghasilkan laba
(profit) dengan asset yang tersedia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Puspita (2010) membuktikan bahwa variable Return On Asset (ROA)
berpengaruh terhadap underpricing. Sedangkan menurut Suyatmin dan Sujadi
(2006) menyatakan variable Return On Asset (ROA) berpengaruh negatif
signifikan terhadap tingkat underpricing.
Selain Return On Asset (ROA) , Debt To Equity Ratio (DER) juga
digunakan para investor untuk melihat seberapa besar hutang perusahaan jika
dibandingkan dengan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan atau para pemegang
saham. Semakin tinggi Debt To Equity Ratio (DER) maka peluang terjadinya
underpricing dianggap akan semakin tinggi, karena financial leverage yang tinggi
menunjukan
resiko
financial
atau
resiko
kegagalan
perusahaan
untuk
mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Sehingga apabila
pemodal menginvestasikan sahamnya akan memungkinkan investor tidak
mendapat return dari saham yang dimilikinya. Menurut Suyatmin dan Sujadi
(2006) menyatakan DER berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat
underpricing Namun hasil penelitian Sulistio (2005) menyatakan variabel Debt
To Equity Ratio (DER) tidak berpengaruh terhadap tingkat underpricing.
Berdasarkan latar belakang dan penelitian terdahulu yang masih
mengalami perbedaan hasil penelitian. Maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh Debt To Equity Ratio Dan Return On Asset
Terhadap Underpricing Pada Perusahaan Manufaktur Yang Melakukan IPO
Di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2014”.
1.2.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
diidentifikasi masalah dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan hasil
penelitian yang terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
8
underpricing. maka penulis dapat mengidentifikasi masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana perkembangan Debt To Equity Ratio, Return On Asset terhadap
Underpricing pada perusahaan manufaktur yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia periode 2010-2014.
2. Bagaiman pengaruh Debt To Equity Ratio dan Return On Asset terhadap
Underpricing secara parsial pada perusahaan manufaktur yang melakukan
IPO di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2014.
3. Bagaiman pengaruh Debt To Equity Ratio dan Return On Asset terhadap
Underpricing secara simultan pada perusahaan manufaktur yang melakukan
IPO di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2014.
1.3.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perkembangan Debt To Equity Ratio, Return On Asset
terhadap Underpricing pada perusahaan manufaktur yang melakukan IPO di
Bursa Efek Indonesia periode 2010-2014.
2. Untuk mengetahui pengaruh Debt To Equity Ratio dan Return On Asset
terhadap Underpricing secara parsial pada perusahaan manufaktur yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2014.
3. Untuk mengetahui pengaruh Debt To Equity Ratio dan Return On Asset
terhadap Underpricing secara simultan pada perusahaan manufaktur yang
melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2014.
1.4.
Kegunaan Penelitian
1. Bagi Emiten
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada emiten
mengenai faktor yang mempengaruhi Underpricing, agar dapat meminimalisir
terjadinya Underpricing dan dapat mendatangkan harga yang sesuai.
2. Bagi Investor
Hasil penelitian ini diharapkam dapat memberikan kontribusi mengenai faktor
yang perlu dipertimbangkan oleh investor dalam membuat keputusan investasi
pada saat membeli saham perdana.
9
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian untuk penelitian berikutnya
mengenai keputusan struktur modal perusahaan.
1.5.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bursa Efek Indonesia, melalui situs internet
www.idx.co.id untuk mendapatkan laporan tahunan (annual report) perusahaan
guna memperoleh data sekunder berupa laporan keuangan selama 5 tahun yaitu
periode 2010-2014. Serta media cetak dan elektronik yang berskala nasional.
Waktu penelitian dimulai dari bulan Oktober 2015.
Jadwal Penelian
No
I
Kegiatan
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Pencarian Data
Pengajuan
Proposal
Pengajuan Bab 1
Revisi Bab 1
Bab II Tinjauan
Pustaka
Revisi Bab II
Bab III
Metodologi
Penelitian
Revisi Bab III
Bab IV
Pembahasan
Revisi Bab IV
Bab V
Kesimpulan dan
Saran
Revisi Bab V
Over ALL
Sidang
2
II
3
4
1
2
III
3
4
1
2
IV
3
4
1
2
V
3
4
1
2
3
4
VI
1 2 3 4
Download