Ilmu Tanpa Agama, Lumpuh. Agama Tanpa Ilmu

advertisement
Ilmu Tanpa
Agama, Lumpuh.
Agama Tanpa
Ilmu, Buta
X.2
Kelompok 3 :
Annisa Dewi Pertiwi
Cerli Karisma
Defi Kartika Samantha
William Jonathan
Winaldi Muharrom
Ilmu dan agama dua hal penting bagi manusia
untuk dapat menjalani hidup dengan baik dan
bermartabat, baik selaku pribadi, makhluk Tuhan
dan sebagai masyarakat. Ilmu dan agama
memberikan tuntunan agar manusia dapat
berperilaku, bermasyarakat, berbangsa, bernegara
secara benar.
Albert Einstein, seorang ilmuwan Yahudi pernah mengatakan “ilmu tanpa agama buta, agama
tanpa ilmu lumpuh” Ada dua entry point disini pertama tentang pentingnya agama untuk
melambari ilmu pengetahuan dan yang kedua perlunya ilmu dalam pengamalan agama. Artikel
ini, melihat hubungan agama dengan ilmu pengetahuan dan bagaimana masing-masing dapat
secara sinergi untuk memberikan apresiasi pada pernyataan Agama tanpa ilmu adalah buta,
ilmu tanpa agama adalah lumpuh.
A. Pengertian Ilmu
Menurut S. Hornby mengartikan ilmu sebagai “Science is organized knowledge obtained by
observation and testing of fact. Hal ini menujukkan jelas bahwa ilmu adalah pengetahuan yang
terorganisir yang didasarkan pada observasi dan hasil pengujian. Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia ilmu memiliki dua pengertian, yaitu, Pertama Ilmu diartikan sebagai suatu
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang
(pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
Kedua Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang duniawi, akhirat, lahir,
bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu bathin, ilmu sihir, dan sebagainya.
Pengertian pertama memberikan gambaran bahwa suatu bidang/kajian dapat dikatakan ilmu,
apabila mempunyai sistem atau bagian-bagian pendukung, yang apabila salah satunya hilang,
maka ia tidak dapat dikatakan suatu ilmu. Sedangkan pengertian yang kedua penekanannya
lebih kepada kepandaian/keahlian/pemahaman terhadap obyek ilmu.
Jujun S. Suriasumatri menjelaskan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang digali sejak sekolah
dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti berterus
terang pada diri sendiri tentang ; apa yang diketahui tentang ilmu ? Apa beda ilmu dari
pengetahuan lainnya ? Bagaimana kita mengetahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang
benar ? Kriteria apa yang dipakai untuk menentukan kebenaran ? Mengapa kita mesti belajar
ilmu ? Jujun. S. Suriasumantri dalam pengertian ini, lebih melihat ilmu sebagai suatu proses.
Demikian pula Lexy J. Moleong melihat ilmu sebagai pengetahuan yang didapatkan melalui
proses kegiatan ilmiah. Oleh karena itu menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan ilmiah tidak
sukar untuk diterima sebab pada dasarnya ia dapat diandalkan dengan suatu fakta dan
argumentasi yang komprehenship, meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan
secara keilmuwan. Dengan demikian, ilmu dalam pengertian ini didasarkan pada suatu fakta
dan argumentasi yang berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Alan H. Goldman lebih melihat
bahwa ilmu sesuatu yang diperoleh pada rujukan-rujukan tertentu yang diyakini kebenarannya,
“knowledge is belief that is best explained by reference to its truth”[7]. Dengan demikian, maka
ilmu adalah pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah dan telah teruji
kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang sahih yang berlaku universal. Dalam konteks filsafat,
obyek material ilmu dapat dibagi ke dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan
sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplin ilmunya seperti biologi, kimia, fisika,
farmasi dan lain-lain. Sedangkan yang tercakup ke dalam Ilmu-ilmu sosial berupa sosiologi,
politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.
B. Pengertian Agama
Kata agama yang dalam bahasa Inggris disebut religion diartikan dengan “bilief in and worship of
God or Gods” atau juga diartikan dengan “particular system of faith and worship based on such
belief” Albert Einstein (1879-1955) seperti dikuti oleh Burhanuddin Salam, agama adalah kegiatan
mengagumi dengan rendah hati roh yang tiada terbatas luhurnya, yang menyatakan dirinya
dalam bagian yang kecil-kecil yang dapat disadari dengan akal. Agama juga diartikan dengan
keyakinan yang sangat emosional akan adanya suatu daya pikir yang luhur yang dinyatakan
dalam semesta alam yang tak dapat dipahami. Demikian Alber Einstein tentang agama. Agama
dalam pandangan John Locke (1632-1704) seperti dikutif Qurasih Shihab diartikan sesuatu yang
bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwa seseorang dan mustahil bagi orang lain
memberi petunjuk jika jiwa sendiri tidak memberitahunya. Memperhatikan pendapat tersebut,
jelas bahwa masalah agama dalam perspektif Jhon Locke adalah keyakinan yang bersemayam
dalam jiwa, karena jiwa (bathini) mampu merasakan kebenaran yang mendalam. Muhammad
Syaltut juga dikutif oleh Quraish Shihab menyatakan bahwa “agama adalah ketetapanketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia”.
Mencermati pengertian tersebut terdapat tiga factor berkenaan dengan agama, yaitu: pertama,
fator Tuhan sebagai pemberi ketetapan, kedua, wahyu sebagai sumber ajaran, ketiga nabi
sebagai perantara antara Tuhan dan manusia, untuk menyampaikan risalah-risalah kebenaran
(wahyu).
Syaikh Muhammad Abdullah Badran mengartikan agama sebagai hubungan antara dua pihak,
yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang kedua. Dengan memperhatikan
pendapat-pendapat itu, Quraish Shihab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan agama
adalah hubungan antara makhluk dan khalik-Nya[10]. Agama dalam pengertian Syaikh
Muhammad Abdullah Badran maupun Quraish Shihab diartikan sebagai dua pihak yang
berbeda kasta. Tuhan, sebagai penguasa, yang berkuasa penuh atas makhluk-makhluknya,
dengan wahyu sebagai the way of life dalam proses pengabdian kepada sang Khalik. Asif Iqbal
Khan mengemukakan bahwa agama yang memberikan penyelesaian sepenuhnya pada semua
masalah kompleks yang berhubungan dengan manusia. Agama bergerak dari individu ke
masyarakat. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi
langsung realitas.[11] Asif Iqbal Khan dalam konteks ini, melihat agama sebagai “obat penenang”
kegalauan manusia dalam menjalani kehidupan. Agama merupakan penuntun arah menuju
tujuan yang hakiki. Untuk memberikan gambaran dan argumentasi yang lebih jelas mengenai
definisi agama, dalam Encyclopedia of Philosophy (dalam Jalaluddin Rahmat)[12] dijelaskan
karakteristik agama, yaitu: Pertama, kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan), Kedua.
pembedaan antara obyek sakral dan profan, Ketiga. tindakan ritual yang berpusat pada obyek.
Keempat tuntutan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan. Kelima perasaan yang khas
agama (ketakjuban, perasaan misteri, rasa bersalah, pemujaan), yang cenderung bangkit di
tengah-tengah obyek sakral atau ketika menjalankan ritual, dan yang dihubungkan dengan
gagasan ketuhanan. Keenam sembahyang dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan
Tuhan, Ketujuh padangan dunia atau gambaran umum tentang dunia, cara keseluruhan dan
tempat individu di dalamnya. Kedelapan pengelolaan kehidupan yang bersifat menyeluruh, yang
didasarkan pada pandangan dunia, dan Kesembilan kelompok sosial yang diikat bersama oleh
hal-hal di atas (1 – 8).
C. Kaitan ilmu dan Agama (Ilmu Tanpa Agama Buta, Agama Tanpa Ilmu
Lumpuh)
Ilmu dan agama merupakan dua instrumen penting bagi manusia untuk menata diri,
berperilaku, bermasyarakat, berbangsa, bernegara serta bagaimana manusia memaknai
hidup dan kehidupan. Keduanya diperlukan dalam mendorong manusia untuk hidup secara
benar. Sebagai makhluk berakal, manusia sangat menyadari kebutuhannya untuk
memperoleh kepastian, baik pada tataran ilmiah maupun ideologi. Melalui sains, manusia
berhubungan dengan realitas dalam memahami keberadaan diri dan lingkungannya.
Sedangkan agama menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas tersebut,
untuk memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran akan kehadiran Tuhan.
Keduanya sama-sama penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran yang
bagaimanakah yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama masih sering
dipertentangkan? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara sains dan agama
dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang dapat terjadi antara sains dan agama.
Demikian, analisa M. Ridwan. Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis lebih
melihat peran dan fungsi ilmu dan agama dalam persepektif kekinian. Dalam era globalisasi
yang ditandai dengan tingkat kecanggihan teknologi, agama mulai terlihat kembali
dibicarakan oleh banyak orang, karena memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk
dikonsumsi oleh masyarakat. Umat manusia tentunya merasa bersyukur, mengingat
pembicaraan agama berarti sebagai pertanda bahwa umat manusia mulai lagi
membicarakan dan mencari tentang makna dan tujuan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa,
orang mulai menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dalam kaitan ini, Yudim mengatakan bahwa kebutaan moral dari ilmu itu mungkin
akan membawa manusia ke jurang malapetaka. Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan
bermuara pada filsafat, relatifitas atau kenisbian ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan
bermuara pada agama. Dengan demikian, agama memegang peranan sentral dalam proses
mencapai tujuan hidup.
Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni (dalam M. Ridwan) mengemukakan
pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia membedakan istilah
sains dan agama dalam banyak definisi, yaitu :
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab
pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan
mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik.
Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal
Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan. Berkenaan dengan sains
Durkheim seperti dikutif Djuretna menegaskan bahwa agama merupakan suatu sistem
pemikiran yang bertujuan menerangkan alam semesta ini, dan menugaskan diri untuk
menterjemahkan realitas dengan bahasa yang dapat dimengerti, yang sebenarnya adalah
bahasa sains. Durkheim tidak memberikan batasan yang jelas antara tugas ilmu dan mana
tugas agama. Bila agama dikatakan dengan sistem pemikiran, maka apa bedanya dengan
ilmu yang juga merupakan suatu proses berpikir yang sistemik/menggunakan kaidah-kaidah
ilmiah. Nico Syukur Dister Ofm mencoba memilah keduanya, menurutnya, tidak juga dapat
dikatakan bahwa keinginan intelek dipuaskan oleh agama. Sebab untuk sebagian intelek
manusia bersifat rasional dan sejauh keinginannya ialah menangkap dan menguasai yang
dikenalnya itu. Namun demikian, agama memang memberi jawaban atas “kesukaran
intelektual kognitif”, sejauh kesukaran ini dilatarbelakangi oleh keinginan eksistensial dan
psikologis, yaitu keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, untuk
dapat menetapkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-tengah kejadian alam
semesta. Nico Syukur Dister Ofm, meletakkan otonomi ilmu yang rasional untuk
mengeksplorasi dan menganalisa sejauh mungkin apa yang ingin diketahui. Sedangkan
agama memberi ruang, hal mana yang tidak terpecahkan oleh pemikiran manusia. Dengan
demikian, logika adalah kendaraan super-exekutif untuk mencapai hakekat, tanpa logika
agama takkan dapat dipahami. Ahmad Mufli Saifuddin, menilai, sekalipun kedua berbeda,
namun ilmu dan agama dipertemukan dalam hal tujuannya. “Meskipun pendekatan yang
digunakan keduanya berbeda (ilmu dan agama) atau bahkan bertentangan, keduanya
memiliki tujuan yang sama yaitu menegaskan makna dan hakekat nilai kemanusiaan dan
kehidupan manusia”. demikian Ahmad Mufli Sulaiman.
Dalam perspektif Smith hubungan agama dan sains sebagai konflik zero sum. Terhadap
pernyataan ini, Gregory R. Peterson (dalam Huston Smith : 2003, 308-401) memberikan
kritiknya terhadap sebuah tulisan, Menyoal Agama dan Sains: Tanggapan terhadap Huston
Smith, ia menegaskan bahwa model hubungan yang baik antara agama dan sains, bukanlah
zero sum seperti ditulis Smith, akan tetapi hubungan agama dan sains bersifat non zero sum
game agar potensi keduanya dapat termanfaatkan dan akan memperkaya perpaduan
keduanya. Dengan kata lain bahwa meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah
saling membatasi dengan jelas, akan tetapi terdapat hubungan dan ketergantungan timbal
balik yang amat kuat di antara keduanya. Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan,
tetapi dia telah belajar dalam arti yang paling luas, dari ilmu, tentang cara-cara apa yang
akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Ilmu hanya dapat
diciptakan oleh mereka yang telah ter-ilhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan
pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga disini
kepercayaan akan kemungkinan bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini
bersifat rasional, yaitu dapat dipahami nalar. Dengan demikian, jelas bahwa ilmu merupakan
penyokong dalam mencapai tujuan hidup yang direfleksikan oleh agama. Demikian
sebaliknya agama memberikan tempat bagi manusia (hamba, pen) yang berilmu dihdapan
Tuhan.
1. Sikap Beragama
Semua yang dilakukan dan dipikirkan manusia adalah berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang amat dirasakannya dan usaha menghindari
perasaan tidak enak. Ini harus tetap diingat jika kita akan memahami gerakangerakan spritual dan perkembangannya. Perasaan dan keinginan adalah kekuatan
pendorong segala upaya dan kreasi manusia, betapapun tersamarnya ia
menampakkan diri kepada kita. Desakan-desakan sosial adalah sumber lain dari
terbentuknya suatu agama. Semua makhluk dapat berbuat salah. Kebutuhan mereka
akan perlindungan, kasih sayang dan dukungan mendorong manusia untuk membuat
konsepsi sosial, atau moral tentang Tuhan. Agama bangsa-bangsa beradab,
khususnya bangsa-bangsa Timur, pada pokoknya adalah agama moral.
Perkembangan dari agama-takut ke agama-moral adalah satu langkah besar dalam
kehidupan umat manusia. Namun, kita tetap harus mewaspadai prasangka bahwa
agama primitif didasarkan sepenuhnya pada rasa takut, dan agama bangsa beradab
sepenuhnya pada moralitas. Yang benar adalah bahwa semua agama merupakan
campuran yang beragam dari kedua tipe tersebut, dengan satu perbedaan: pada
tingkat kehidupan sosial yang lebih tinggi, agama moralitas lebih menonjol. Satu hal
yang ada pada semua tipe ini adalah watak antropomorfis dalam konsepsi tentang
Tuhan.
2. Manusia Religius
Sudah pasti, tak seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu Tuhan personal
yang mahakuasa, adil, dan maha pemurah, dapat memberi bantuan dan pembimbing
manusia. Tapi, di pihak lain, ada kelemahan yang terasa amat menyakitkan sejak
permulaan sejarah. Yaitu bahwa jika Wujud ini mahakuasa, maka setiap peristiwa,
termasuk setiap perbuatan manusia, setiap pikiran manusia, dan setiap perasaan dan
aspirasi manusia adalah juga karya-Nya; bagaimana mungkin kita berpendapat
bahwa manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan pemikirannya di
depan Wujud mahakuasa seperti itu? Dalam memberikan hukuman dan ganjaran, Ia
akan melewati penilaian terhadap diri-Nya sendiri. Bagaimana ini dapat
dikombinasikan dengan kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifat-Nya? Sumber
utama dari pertentangan masa ini antara ilmu dan agama terletak pada konsep
Tuhan yang personal ini.
Orang yang yakin sepenuhnya berlakunya hukum sebab akibat secara unuversal, tak akan
bisa menganut suatu gagasan tentang satu wujud yang ikut campur dalam terjadinya
peristiwa-peristiwa tentunya, dengan syarat ia memperlakukan hipotesis sebab-akibat itu
secara serius. Ia tidak butuh lagi agama-takut, begitu juga agama-moral. Suatu Tuhan
yang memberi ganjaran dan menghukum, tidak dapat lagi dipahaminya, karena alasan
sederhana bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan harus dilakukan, sehingga
di mata Tuhan ia tak dapat bertanggung jawab – persis sama sebagaimana halnya suatu
benda mati tak bertanggung jawab atas gerakan-gerakan yang dijalaninya. Demikianlah,
maka ilmu telah dituduh menghancurkan moralitas, tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku
etis manusia harus didasarkan secara efektif pada simpati, pendidikan, hubungan sosial,
dan kebutuhan-kebutuhan; tak diperlukan dasar agama. Manusia pasti akan menjadi
miskin kalau ia harus dikekang oleh perasaan takut akan hukuman dan harapan akan
ganjaran setelah mati.
Contoh Penyimpangan Ilmu Tanpa Agama & Agama Tanpa Ilmu
Secara harfiah, kata “klon” (Yunani: klon, klonos) berarti cabang atau ranting muda. Kloning
berarti proses pembuatan (produksi) dua atau lebih individu (makhluk hidup) yang identik
secara genetik.” Kloning organisme sebenarnya sudah bcrlangsung selama beberapa ribu tahun
lalu dalam bidang hortikultura. Tanaman baru, misalnya, dapat diciptakan dari sebuah ranting.
Dalam dunia hortikultura (dunia perkebunan), kata “klon” masih digunakan hingga abad ke-20.
Secara mendetail, dapat dibedakan 2 jenis kloning. Jenis pertama adalah pelipatgandaan hidup
sejak awal melalui pembagian sel tunggal menjadi kembar dengan bentuk identik. Secara
kodrati, mereka seperti “anak kembar”. Jenis kedua adalah produksi hewan dari sel tubuh
hewan lain.
Klon pertama manusia dirancang pada bulan November 1998, oleh American Cell Technologies,
yang berasal dari sel kaki seorang manusia, dan sebuah sel lembu yang DNA-nya dipindahkan.
Setelah 12 hari, klon ini rusak. Pada bulan januari 2008, Dr. Samuel Wood dan Andrew French,
kepala pegawai ilmiah laboratoriurn Stemagen Corporation di California AS, mengumumkan
bahwa mereka berhasil menciptakan 5 embrio manusia dewasa dengan menggunakan DNA
dari sel kulit orang dewasa. Tujuannya adalah menvediakan sebuah sumber bagi tangkai sel
embrio yang dapat hidup. Dr. Wood dan seorang temannya menyumbangkan sel kulit dan DNA
dari sel-sel itu untuk dipindahkan ke dalam sel-sel manusia. Tidak jelas apakah embrio yang
dihasilkan akan sanggup berkernbang lebih lanjut. Namun, Dr. Wood menyatakan bahwa
kalaupun mungkin, menggunakan teknologi untuk kloning reproduktif adalah tidak etis dan
illegal. Kelima embrio yang diklon tersebut akhirnya rusak.”
Secara etis, tak ada masalah dalam kloning pada tumbuhan. Praktek kloning ini sudah lazim
dan lama dilakukan. Sementara itu, terdapat perbedaan pendapat tentang kloning pada
hewan. Ada pro dan kontra. Praktek kloning ini dibolehkan sejauh hewan tersebut tidak disiksa
atau disakiti. Sementara itu, muncul pelbagai pendapat tentang kloning manusia. Muncul
pertanyaan dan diskusi etis. Secara etis, apakah dibenarkan kalau kemajuan teknologi
menghasilkan dan/atau menggunakan embrio insani yang hidup untuk menyiapkan sel-sel
induk embrio? Gereja tidak membenarkan tindakan ini karena embrio manusia tidak dapat
dipandang sebagai gumpalan sel. Embrio adalah sesosok pribadi. Embrio berhak hidup sebagai
individu. Embrio semestinya dihorrnati. Dengan demikian, intervensi manusia yang merusak,
melecehkan, atau mengobjekkan embrio tidak dapat diterima. Penolakan terhadap kloning
embrio ini berlaku juga terhadap cloning teraupetik. Campur tangan yang berciri manipulatif ini
tidak dapat diterima.
Di kalangan kelompok yang pro dengan kloning, sering muncul dua pendapat yang sebenarnya
kurang membuktikan kebenaran. Adalah tidak wajar kalau seseorang dijadikan “fotokopi”
atau di-”fotokopi”. Setiap pribadi manusia meiniliki hak atas originalitasnya. Dengan kloning,
tak mungkin seseorang menjadi original. Manusia berhak menjadi makhluk hidup secara penuh.
Kloning pada dasarnya merupakan instruinentalisasi. Manusia diobjekkan atau diperalat.
Martabatnva dilecehkan. Manusia tak hanya dijadikan dengan gen, walaupun peranan gen
memang besar. Namun, peran suasana, pendidikan, dan waktu akan ikut membentuk
kepribadian seseorang. Peran seorang ibu waktu hamil dapat menentukan sikap seorang anak.
Betapa pun, kloning tak pernah menjadikan makhluk baru yang sama persis. Dalam proses
kloning, manusia menjadi tujuan, melainkan sebagai sarana uji coba.
Kloning manusia pada hakikatnva melecehkan manusia sendiri dan berakibat buruk. Kloning
manusia memiskinkan manusia sebab manusia itu hanya berasal dari satu gen. Ini berbeda dari
kepribadian seseorang yang dilahirkan dari proses kehamilan yang biasa. Campuran gen lelaki
dan perempuan tidak ditemukan dalam proses kloning. Kloning membuktikan bahwa gen
manusia begitu terbatas. Kloning berarti melawan secara fundamental persatuan antara pria
dan wanita. Ada bahaya bahwa kloning manusia dipakai sebagai usaha atau cara untuk
mengganti seseorang yang terkenal dalam sejarah atau melestarikan orang-orang dalam
sebuah keluarga. Dengan demikian, muncul wajah-wajah yang sama. Kultus individu akan
terus berlanjut dan manusia akan jatuh ke dalam kesombongan. Manusia dapat menciptakan
homoculus°
Bagaimanakah kita dapat berkatekese tentang penciptaan kepada mereka yang sudah begitu
lama memegang dan menghidupi dogma tentang Tuhan Pencipta langit dan bumi? Bukankah
manusia juga diciptakan oleh Tuhan? Dalam kenyataan, manusia dapat memproduksi manusia
lain dengan mengolah gen manusia? Apakah tindakan ini tidak bertentangan dengan hak
dasar Tuhan yang menciptakan langit dan bumi? Pertanyaan ini agak sejajar dengan apakah
pandangan teori evolusi tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa segala sesuatu
diciptakan oleh Tuhan Pencipta langit dan bumi? Bagaimanapun, bahan dasar yang digunakan
oleh manusia untuk menghasilkan manusia lain berasal dari dan diciptakan oleh Pencipta langit
dan bumi. Dengan akal budinva, manusia mengkloning makhluk hidup lain, termasuk rnanusia.
Dalam hal ini, ajaran Gereja Katolik tetap tidak menerima prosedur objektivisasi manusia, sebab
manusia adalah subjek dalam dirinya yang tidak pernah boleh diobjekkan. Hingga kini, Kode
Etik Internasional tidak menerima teknik kloning manusia karena prosedur yang ditempuh
tidak menghargai manusia sebagai manusia yang seharusnya dikandung dalam rahim seorang
ibu.
III. KESIMPULAN
1. Manusia modern melihat segala sesuatu dari sudut pandang pinggiran eksistensinya, tidak
pada pusat spiritualitasnya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Dengan apa yang
dilakukannya saat ini, mereka mendapat pengetahuan dunia material yang secara kuantitatif
sangat
mengagumkan,
tetapi
secara
kualitatif,
ternyata
sangat
dangkal.
2. Ilmu dan agama dua hal penting bagi manusia untuk dapat menjalani hidup dengan baik
dan bermartabat, baik selaku pribadi, makhluk Tuhan dan sebagai masyarakat. Ilmu dan
agama memberikan tuntunan agar manusia dapat berperilaku, bermasyarakat, berbangsa,
bernegara secara benar.
3. Agama dan ilmu sudah punya batasan yang jelas, akan tetapi terdapat hubungan dan
ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Agama menentukan tujuan,
tetapi agama belajar dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian
tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah
teri-lhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh
dari wilayah agama.
Ikhwan rahimakumullah, betapa banyak dari kita beramal tanpa didasari ilmu pengetahuan
yang cukup, padahal setiap ibadah yang kita lakukan haruslah berada dalam tuntunan ilmu
yang cukup. Makanya mulai sekarang, yuk kita budayakan tradisi beramal dengan dilandasi
tuntunan.
Download