Liberalisasi Pengadaan Barang Dan Jasa: Konflik Kepentingan

advertisement
Liberalisasi Pengadaan Barang dan Jasa: Konflik Kepentingan Negara Maju Versus Negara Berkembang
LIBERALISASI PENGADAAN BARANG DAN JASA: KONFLIK
KEPENTINGAN NEGARA MAJU VERSUS NEGARA BERKEMBANG
Oleh:
ADE MAMAN SUHERMAN
Fakultas Hukum Universitas INDONUSA Esa Unggul, Jakarta
Jl. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510
[email protected]
ABSTRACT
Liberalization of government procurement has become a major issue in Doha Round. Basically,
developed countries try to insert Government procurement as multilateral agreement and
developing countries should apply international trade principle in government procurement.
Those are transparency and non discrimination principles. Legal consequence of non discrimination principle leads to no different treatment between foreign and domestic bidder. This effect
considerably endanger national interest all developing countries and this issue has no binding
forces. Due to that fact, finally WTO established a Working Group on Transparency in
Government procurement as initial step in liberalizing government procurement which supported
by several international organizations.
Keywords:
Trade Liberalization, Government Procurement and Conflict of Interest Between
Developed and Developing Countries.
1997). Keempat, terdapat polarisasi yang perlu
Pendahuluan
Pengadaan barang dan jasa pemerintah
ditelaah yakni terdesentralisasinya ketentuan-keten-
dewasa ini merupakan isu strategis dan penting,
tuan pengadaan barang dan jasa pemerintah dari
baik dalam perspektif perdagangan internasional,
norma hukum internasional ke dalam norma hukum
maupun dari perspektif hukum nasional dan impli-
yang bersifat regional maupun bilateral yang telah
kasinya terhadap hukum Indonesia dengan menda-
banyak dirumuskan dalam berbagai ketentuan
sarkan alasan-alasan sebagai berikut: Pertama,
organisasi internasional (Martin Dischendorfer,
Organisasi Perdagangan Dunia secara aktif meng-
2000). Kelima, Kesepakatan dalam forum interna-
upayakan terjadinya transparansi dan perlakuan
sional memiliki implikasi normatif maupun ekonomi
non-diskrimnatif dalam pengadaan barang dan jasa
yang signifikan terhadap kebijakan regulasi penga-
pemerintah sesuai dengan persaingan dan liberali-
daan suatu negara (Frank J.Gracia, 1998).
sasi perdagangan (www.wto.org), Kedua, negara
berkembang sebaliknya mengambil sikap defensif
Permasalahan
dan melakukan upaya protektif dan preferensi
Dari latar belakang penulisan tersebut di
dalam pelaksanaan pengadaan barang atau jasa
atas, maka kita dapat melihat inti permasalahan dari
pemerintah (Paul J. Carrier, 1997), Ketiga, libera-
penulisan ini adalah:
lisasi dalam pengadaan barang dan jasa merupakan
1. Bagaimana konflik kepentingan antara negara
perdebatan panjang dan kontroversial antara negara
maju dengan negara berkembang?
maju dan negara berkembang (Paul J. Carrier,
Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007
19
Liberalisasi Pengadaan Barang dan Jasa: Konflik Kepentingan Negara Maju Versus Negara Berkembang
2. Bagaimana arti penting pengadaan barang dan
1.
jasa bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.
This Agreement applies to any law, regulation, procedure or practice regarding any
procurement by entities covered by this
Tujuan Penulisan
Agreement, as specified in Appendix I.
Berdasarkan hal tersebut tulisan ini bertu-
2.
This Agreement applies to procurement by
juan membahas serta menjawab atas suatu proble-
any contractual means, including through
matika yang muncul mengenai bagaimana konflik
such methods as purchase or as lease, rental
kepentingan antara negara maju dengan negara
or hire purchase, with or without an option to
berkembang dan bagaimana arti penting pengadaan
buy, including any combination of products
barang dan jasa bagi pembangunan ekonomi di
and services.
Indonesia.
3.
Where entities, in the context of procurement
Penulisan ini menggunakan metode
covered under this Agreement, require enter-
penelitian hukum normatif atau yang sering
prises not included in Appendix I to award
disebut juga dengan penelitian kepustakaan
contracts in accordance with particular
(Library Research). Hal ini dikarenakan bahwa
requirements, Article III shall apply mutatis
dalam membuat tulisan ini, yang dilakukan oleh
mutandis to such requirements.
penulis adalah dengan cara menelusuri atau
menelaah dan menganalisis bahan pustaka atau
bahan dokumen siap pakai. Kegiatan yang dila-
4.
This Agreement applies to any procurement
contract of a value of not less than the relevant threshold specified in Appendix I.
(Robert Gilpin, 2001)
kukan penulis adalah menelusuri dan menganalisis peraturan (Valerine, 1996)
Persetujuan tentang GPA–WTO dalam
regim WTO diklasifikasikan sebagai
plurilateral
agreement, yakni persetujuan yang tidak mengikat
bagi anggota WTO sebagaimana dituangkan dalam
Pembahasan
annex 4 WTO. Liberalisasi pengadaan, investasi,
Perekonomian dunia yang global, yang
dan kompetisi internasional merupakan agenda
ditandai dengan ekspansif dan masifnya perda-
paling sensitif yang selalu ditentang oleh negara-
gangan dunia, peningkatan kompetisi internasional
negara berkembang. Ketentuan mengenai transpa-
secara ketat dan terbuka ternyata telah meng-
ransi dan perlakuan non-diskriminatif dalam pelak-
akibatkan persaingan antara pelaku usaha asing
sanaan tender didasarkan pada ketentuan Artikel III-
yang efisien dan efektif dengan pelaku usaha
1 GPA-WTO. Sedangkan persyaratan adanya
domestik. (Robert Gilpin, 2001)
transparansi dalam pengadaan barang dan jasa
Berlakunya ketentuan GPA-WTO menge-
pemerintah, telah dijelaskan dalam GPA-WTO
nai pengadaan barang dan jasa pemerintah bagi
meliputi dalam putuan kualifikasi, dan penanda-
negara yang telah melakukan aksesi ketentuan
tanganan kontrak (Report: 1999). Transparansi
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dijelaskan
dalam kualifikasi harus memenuhi kriteria sebagai
sebagai berikut:
berikut:
20
Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007
Liberalisasi Pengadaan Barang dan Jasa: Konflik Kepentingan Negara Maju Versus Negara Berkembang
The transparency of criteria for qualification should
Asia (Dalam guideline tersebut bahwa tender
reinforce the objective of an open, transparent,
dilaksanakan secara internasional dan kompetitif).
efficient and equitable selection process; ensure
Demikian halnya dalam konteks kerjasama regional,
uniform provision of information to potential
seperti Masyarakat Ekonomi Eropa, Zona Perda-
suppliers; and encourage the receipt of sufficient
gangan Bebas Amerika Utara atau North America
information from suppliers. The key principle of
Free Trade Area (NAFTA) dan organisasi ekonomi
transparency as regards this issue was that
regional lainnya telah mengagendakan isu penga-
decisions on registration and qualification of sup-
daan barang dan jasa pemerintah sebagai bagian dari
pliers should be taken only on the basis of criteria
perdagangan. Kerjasama antara WGTGP-WTO
that had been identified early in the process and pre
dengan organisasi tersebut di atas telah berjalan
disclosed to suppliers sufficiently in advance. Any
sebagaimana dalam laporan WGTGP disebutkan
changes in qualification requirements should be
bahwa:
made known to all interested suppliers. Qualification decisions should be taken in a manner that
would build a two way confidence between the
procuring entity and the market including potential
suppliers.
mengikat seluruh anggota WTO, yakni terbatas
pada negara-negara yang telah melakukan aksesi
terhadap ketentuan tersebut (Terdapat sejumlah 37
negara yaitu 25 negara dari Uni Eropa ditambah
Amerika, Cina, Korea, Israel, Hongkong dan
Singapura), tetapi pada kenyataannya pengadaan
barang dan jasa pemerintah juga diatur dalam
berbagai ketentuan organisasi internasional (act of
(Peter
Malanczuk,
Akehurst.S, 1998) sebagai soft law
(F.Snyder,
organization)
1994) dengan tujuan agar diadopsi oleh negara-anggota
organisasi
tersebut.
Pengaturan
tersebut
terdapat dalam sejumlah lembaga internasional
seperti; United Nation Commission on International
Trade
Law
represented by the United Nations Commission for
International Trade Law (UNCITRAL), UNCTAD
and the ITC have observer status in the Working
Group. During the period covered in this report,
Walaupun ketentuan GPA – WTO tidak
international
The IMF, the World Bank, the United Nations
(UNCITRAL),
United
Nations
Conference on Trade and Development (UNTAD),
Bank Dunia (menentukan guidelines secara khusus
dalam melaksanakan proyek-proyek yang didanai
oleh lembaga tersebut), dan Bank Pembangunan
the Working Group considered requests for
observer status from OECD, SELA and OIC (the
Organization for Islamic Conference) and agreed to
revert to these requests in light of the consultations
that are being held on this matter by the Chairman
of the General Council.
Di sisi lain, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan lembaga keuangan internasional
lainnya telah mengadopsi prinsip transparansi dan
nondiskriminasi sebagai syarat pemberian utang
atau bantuan bagi negara berkembang.
Dengan
demikian,
negara
berkembang
ketika menjadi anggota dari salah satu dari lembaga
internasional tersebut menjadi terikat atau legally
binding. Hal ini sebagaimana diatur dalam Konvensi
Wina Tahun 1986 yaitu persetujuan untuk terikat
(consent to be bound).
Dalam konteks Regional Eropa, pengadaan
merupakan bagian penting dari hukum persaingan di
Eropa dalam meningkatkan daya saing dan bagian
Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007
21
Liberalisasi Pengadaan Barang dan Jasa: Konflik Kepentingan Negara Maju Versus Negara Berkembang
terpisahkan dari kebijakan industri (WTO News,
tifikasi GPA-WTO (Doha Development Report,
2004). Menurut C.P.Bovis, dalam bukunya “Euro-
1996), GPA tersebut pertama kali dinegosiasikan
pean Public Procurement” dijelaskan bahwa:
pada Putaran Tokyo dan berlaku sejak 1 Januari
“Public procurement has been considered as one of
1996. Maksud dari GPA adalah bagaimana agar
the most important non-tariff barriers for the
tercipta suatu atmosfir persaingan usaha interna-
completion of the common market, and its
sional yang memungkinkan. GPA dirancang untuk
regulation has received priority by the European
membuat hukum, regulasi, prosedur dan praktik-
Union Institutions and the member states. The
praktik yang berkaitan dengan pengadaan
liberalization of public market reflects the attempts
dilaksanakan secara transparan dan memastikan
of the European Union to enhance competitiveness
tidak melindungi produksi dalam negeri atau para
in the public sector and industrial efficiency in
suplier serta tidak melakukan diskriminasi terhadap
order to achieve a uniform pattern of industrial
produk atau suplier asing. (www.wto.org)
policy”. (C.P.Bovis, 1997)
agar
Suatu hal yang menarik dalam perdagangan
Dampak positif dari promulgasi European
internasional, adalah terjadinya upaya meliberalisasi
Public Procurement secara efektif berlaku 31
agenda perdagangan yang semula merupakan pluri-
Januari 2006, menunjukkan kontribusi yang signi-
lateral agreement menjadi formulasi ketentuan
fikan terhadap kompetisi antar negara anggota dan
mengikat sebagaimana beberapa agenda yang
mengurangi harga yang dibelanjakan oleh otoritas
dikualifikasikan menjadi multilateral agreement.
publik untuk pengadaan barang atau jasa sebesar
Dalam perkembangannya, Putaran Doha telah mem-
30% (Nicholas Purboix, 2004). Tujuan dari public
bentuk tim kerja tentang transparansi yang mem-
procurement tidak lain adalah untuk meningkatkan
punyai tugas memfokuskan pada aspek transparansi
efisiensi dan fleksibilitas dalam prosesnya dewasa
dan kemungkinan dilakukannya multilateral agree-
ini masih merupakan proses panjang dan kompleks
ment. Transparansi sebagai syarat untuk kelompok
sehingga memakan biaya tinggi dan tidak efisien
baik firm-rent seeking maupun prilaku birokrat da-
(Nicholas Purboix, 2004). Liberalisasi sistem
lam government procurement.
pengadaan tidak lepas dari peranan organisasi inter-
kesungguhan dari negosiasi tersebut telah didirikan
nasional, seperti GATT-WTO (Severyn T.Bruyn,
sebuah kelompok kerja
2003).
Transparency
in
Sebagai bentuk
Working Group on
Government
procurement
Melalui lembaga perdagangan internasional
(WGTGP). Badan ini membahas beberapa agenda
tersebut, negara maju menggunakan “sattelite
diantaranya masalah transparansi dan perlakuan
agreement” dalam memainkan peranannya dan
secara adil dan non diskriminatif.
memberikan tekanan-tekanan tertentu pada negara
berkembang.(Robert L.Rothstein, 1977)
Persetujuan yang disepakati dalam Putaran
Doha menekankan
pada aspek transparansi dan
Berbagai bukti mengenai kelebihan peda-
perlakuan nondiskriminasi antara para peserta ten-
gangan bebas termasuk pengadaan barang dan jasa
der dalam pengadaan. Di samping itu, Putaran Doha
pemerintah telah menunjukan peningkatan yang
menyepakati sejumlah agenda diantaranya pada isu
signifikan, sehigga sejumlah negara telah mera-
sebagai berikut: investasi, kebijakan persaingan,
22
Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007
Liberalisasi Pengadaan Barang dan Jasa: Konflik Kepentingan Negara Maju Versus Negara Berkembang
pengadaan, masalah perdagangan dan lingkungan.
“On trade liberalisation, the issue is even more
Berdasarkan laporan WGTG, bahwa
penerapan
complex. There is a strong paradox or contradiction
prinsip-prinsip transparansi dan nondiskriminasi
in the manner developing countries in general and
dalam pengadaan barang dan jasa akan mengha-
many scholars take towards this issue. On one hand
silkan: efisiensi dan meningkatkan inovasi; mengha-
it is almost invariably repeated that "we are
silkan nilai uang yang lebih baik, aturan main yang
committed to trade liberalisation which is positive
transparan membangkitkan investasi domestik dan
for and essential to growth and development." On
asing serta partnership antara pelaku usaha dalam
the other hand, many developing countries also
negeri dan mancanegara, mempunyai efek terhadap
notice and are now actively complaining that trade
pemberantasan korupsi, sebagai kunci dalam good
liberalisation has net negative results for their
governance dan mendasar bagi terciptanya pertum-
economies, or has marginalised them”, (Martin
buhan ekonomi, serta persetujuan dalam pengadaan
Khor, 1999)
akan menghasilkan aturan-aturan yang sederhana
(minimum set of applicable rule).
Pendapat Martin Khor di atas sesungguhnya
mempunyai sisi kebenaran. Hal ini terbukti dengan
Perdagangan bebas termasuk bidang penga-
beberapa aksi yang menentang konsep perdagangan
daan barang dan jasa pemerintah diyakini mampu
bebas. Kebijakan perdagangan oleh WTO banyak
menciptakan pertumbuhan ekonomi sebagaimana
mendapat kecaman dalam setiap pertemuan WTO,
ditegaskan dalam Deklarasi Tingkat Menteri di
termasuk di Seattle, Amerika. Kebijakan WTO tidak
Doha bahwa:
saja ditentang keras oleh negara-negara berkem-
“The multilateral trading system embodied in the
bang, tetapi aktivis di negara maju sekalipun
World Trade Organization has contributed signi-
memprotes keras atas bahaya-bahaya yang ditim-
ficantly to economic growth, development and
bulkan. Lebih jauh ditegaskan bahwa The WTO not
employment, to maintain the process of reform and
only will interfere with members' ability to govern
liberalization of trade policies, thus ensuring that
themselves as they think best, but will also place
the system plays its full part in promoting recovery,
people around the world at serious risk”. (John O.
growth and development. We therefore strongly
McGinnis and Mark L. Movsesian, 2000)
reaffirm the principles and objectives set out in the
Dampak ketentuan hukum perdagangan
Marrakesh Agreement Establishing the World
internasional terhadap hukum nasional telah menjadi
Trade Organization, and pledge to reject the use of
perhatian bahkan menjadi kekhawatiran negara
protectionism. (Aaditya Mattoo, 1996)
berkembang semakin meningkat dengan menda-
Disisi lain, terdapat pandangan yang ber-
sarkan pada asumsi bahwa terdapat
hubungan
sifat antitesis terhadap konsep di atas yang secara
antara ketentuan hukum internasional dengan
mayoritas disuarakan oleh negara-negara berkem-
hukum nasional, bahkan hukum lokal. Hal tersebut
bang. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh
sesuai dengan pendapatnya Jan Michiel Otto yang
Martin Khor dalam suatu essay “A Rethink on Trade
menyatakan bahwa ketentuan hukum di negara
Liberalisation and its Effects “ dengan menyatakan
berkembang dalam konteks abad ke-21 merupakan
bahwa:
bagian dari konsep tri-tunggal yaitu hukum interLex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007
23
Liberalisasi Pengadaan Barang dan Jasa: Konflik Kepentingan Negara Maju Versus Negara Berkembang
nasional, hukum nasional dan hukum lokal (Jan
Berdasarkan pendapat tersebut, implikasi
Michiel Otto, 2003). Walaupun Hukum Intrerna-
dan implementasi normatifnya bagi negara berkem-
sional tidak mengatur persoalan internal seperti
bang perlu dipertimbangkan secara seksama. Negara
hukum lokal suatu negara, namun pada kenyata-
berkembang atau negara yang kurang berkembang
annya pemerintah daerah harus mampu menerima
menghadapi berbagai permasalahan kompleks, baik
konsekuensi dari diratifikasinya suatu perjanjian
dalam menata pranata hukum dalam negeri sendiri
internasional dengan suatu organisasi internasional
maupun ketika berurusan dengan aturan-aturan
atau negara lain. (Keputusan Menteri Luar Negeri
internasional. Beban negara berkembang benar-
RI Nomor SK.03/A/OT/X/2003/01 Tentang Pan-
benar diuji dalam menghadapi tuntutan global,
duan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh
sebagaimana
Pemerintah Daerah)
Rothstein (1977) bahwa:
Demikian
halnya
regulasi
dikemukakan
oleh
Robert
L.
pengadaan
“The underdeveloped countries thus face a double
barang jasa yang melibatkan para pelaku usaha
burden. They must deal with an international system
sebagai bidder baik asing maupun domestik bahkan
of increasing complexity, but they must do so from a
lokal dalam pengadaan merupakan concern masya-
domestic base that is less secure and less mana-
rakat internasional (ADB & OECD Report, 2003),
geable. Nationalism and felt sense of injustice”.
negara-negara dan pemerintahan lokal. Hal ini
Berbagai agenda dari Negara Maju yang
sesuai dengan perubahan lingkungan-lingkungan
dituangkan dalam ketentuan hukum internasional
strategis dalam regulasi pengadaan barang dan jasa
dipandang oleh negara berkembang sebagai
pemerintah yang diatur dalam Keppres 80 Tahun
soalan kedaulatan yang terusik, tetapi disisi lain
2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Peme-
posisi negara berkembang banyak bergantung kepa-
rintah yang berkaitan dengan isu demokratisasi,
da bantuan dan utang dari Negara-negara Maju.
otonomi daerah, dan liberalisasi perdagangan.
Dalam persoalan keterikatan negara berkembang
per-
Substansi hukum perdagangan internasional
dengan berbagai ketentuan dalam perjanjian inter-
secara simultan dikonstruksi dalam upaya mereali-
nasional membawa dampak yang dilematis dan
sasikan perdagangan bebas. Pada saat suatu norma
menimbulkan kesulitan tersendiri bagi Negara
internasional diformulasikan, dan negara–negara
berkembang seperti Indonesia.
anggota yang menandatanganinya menjadi terikat
Beberapa hal yang seharusnya dipertim-
didalamnya. Menurut Frank J. Garcia,(1998):
bangkan dalam menuju liberalisasi pengadaan di
“the greater the scope of and importance of
Indonesia yaitu: National competitiveness, pelaku
international economic law as a feature of inter-
usaha Indonesia belum dapat diandalkan untuk
national economic relationships, and the deeper its
bersaing secara global. (Sri Adiningsih, 2003) Pela-
impact throughout the societies of trading state
ku usaha yang tidak terbiasa dengan lingkungan
beyond traditional economic issues such as tariff
yang mengedepankan persaingan yang sehat, tidak
rates and investment rules, the more we must be
akan dapat menghasilkan barang atau jasa yang
concerned with its normative impact and impli-
berdaya saing, karena usaha tumbuh dari inefisiensi
cations”.
yang dibebankan kepada masyarakat. Dengan sistem
24
Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007
Liberalisasi Pengadaan Barang dan Jasa: Konflik Kepentingan Negara Maju Versus Negara Berkembang
pengadaan yang menjamin terciptanya persaingan
pun asing) untuk berpartisipasi dalam tender.
sehat, pelaku usaha akan dituntut untuk secara terus
Dengan demikian negara tidak memperoleh harga,
menerus meningkatkan kompetensinya menghasil-
barang, pekerjaan dan kualitas hidup yang lebih
kan barang atau jasa yang berdaya saing dan meme-
baik. Sementara Bank Pembangunan Asia, mene-
nangkan persaingan (Severyn T.Bruyn, 2003). Pada
kankan kepada tujuan utama dari pengadaan tidak
akhirnya, interaksi positif kedua pelaku utama
lain adalah efisiensi, transparansi dan keadilan. Hal
pengadaan akan menghasilkan manfaat lebih kepada
tersebut sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan
masyarakat luas. Kedua adalah masalah korupsi
Pasal 14 of the Charter states ADB's operating
yang menimbulkan berbagai ekses negatif, baik bagi
principles, disebutkan bahwa prinsip-prinsip yang
proses pelaksanaan tender maupun pemborosan
harus dijadikan pedoman dalam procurement adalah
keuangan Negara sehingga memperburuk perekono-
economy and efficiency, fairness dan transparency.
mian Negara, yang pada akhirnya juga melemahkan
daya saing.
Sedangkan kegiatan pengadaan barang dan
jasa pemerintah
ditinjau dari perspektif hukum
Dalam pada itu, laporan Bank Dunia
Indonesia, memilki arti penting dengan argumentasi
mengenai Country Assesment terhadap public
sebagai berikut: Pertama; pengadaan memiliki arti
procurement di Indonesia memberikan peringatan
strategis dalam proteksi dan preferensi bagi pelaku
dan rekomendasi sebagai berikut:
usaha dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari
“an effective public procurement system is an
besaran alokasi anggaran pengadaan
essential for good governance,. A poor procurement
pemerintah yang mencapai persentase signifikan
system result as in higher costs to government and
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
the public. It delays project implementation which
(APBN). Setiap tahun, sektor pengadaan mem-
further increase costs, leads to poor project
belanjakan dana yang cukup besar. Anggaran untuk
performance and delays the delivery of benefits to
sektor ini dalam APBN tahun anggaran 2001, tidak
the beneficiaries. Procurement problems also
kurang dari Rp.66,57 triliun atau (20% dari APBN),
increase scope for corruption, generate more
tahun 2002 sekitar Rp. 78,15 Triliun (23% dari
complaints and raise concerns about the integrity of
APBN), dibelanjakan melalui proses pengadaan.
the procurement process. And finally, they discou-
Nilai tersebut belum termasuk belanja oleh Badan
rage good firms(both national and foreign) from
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
participating in bidding, thus deprive the country
Daerah (BUMN/BUMD) maupun Anggaran Penda-
from receiving better prices and goods, works and
patan dan Belanja Daerah (APBD). Belanja Peme-
services of better quality”.
rintah tahun 2005 berdasarkan Laporan Sementara
barang/jasa
Masalah lain yang disoroti dalam penga-
Realisasi APBN Tahun Anggaran 2005, Periode 1
daan adalah meningkatkan ruang lingkup atau area
Januari 2005 sampai dengan 30 Desember 2005
korupsi, menghasilkan banyak pengaduan dan
mencapai 97 triliun (25% dari APBN) (Dirjen
meningkatnya keperdulian terhadap integritas dari
Perbendaharaan Depkeu RI, 2006). Sementara itu,
proses pengadaan yang pada akhirnya menyurutkan
Rancangan APBN 2007, pendapatan negara dipre-
semangat pelaku usaha yang baik (domestik mau-
diksikan sebesar 693 triliun rupiah dan belanja
Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007
25
Liberalisasi Pengadaan Barang dan Jasa: Konflik Kepentingan Negara Maju Versus Negara Berkembang
negara mencapai 726, 3 triliun rupiah (Iman
internasional dimana mayoritas negara-negara maju
Sugema, 2006). Kedua; pengadaan merupakan sek-
telah menjadikan government procurement sebagai
tor signifikan dalam upaya pertumbuhan ekonomi,
multilateral agreement sehingga tidak mengenal
Ketiga, sistem pengadaan yang mampu menerap-
diskriminasi antara bidder asing dengan bidder
kan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik
nasional dan mendasarkan pada prinsip transparansi
akan mendorong efesiensi dan efektifitas belanja
dan efisiensi dengan didasarkan pada indikator-
publik sekaligus tata prilaku tiga pilar (pemerintah,
indikator ekonomi. Di sisi lain negara berkembang
swasta dan masyarakat) penyelenggaraan good
memandang liberalisasi pengadaan barang dan jasa
governance. Dengan kata lain, pengadaan merupa-
sebagai suatu langkah awal menuju pada pengua-
kan kegiatan strategis berkenaan dengan jumlah
saan pasar pengadaan barang dan jasa baik dinegara
anggaran belanja negara dan kebijakan ekonomi,
maju maupun dinegara berkembang. Sikap negara
dan pilar terciptanya good governance dan Keempat
berkembang mempertahankan posisinya bahwa
bahwa ruang lingkup pengadaan meliputi berbagai
government procurement merupakan plurilateral
sektor dalam berbagai aspek dalam pembangunan
agreement dan tetap mengedepankan kepentingan
bangsa.
nasional.
Tujuan
kegiatan pengadaan barang dan
Arti penting pengadaan barang dah jasa bagi
adalah suatu upaya pihak peng-
Indonesia merupakan suatu hal yang perlu mendapat
guna untuk memperoleh barang dan jasa yang
pengaturan secara komprehensif mengingat hampir
diinginkan dari penyedia (supplier) melalui proses
30% anggaran pemerintah dialokasikan melalui
dan mekanisme tertentu untuk mencapai kese-
belanja pemerintah melalui pengadaan barang dan
pakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya.
jasa yang bersumber dari APBN maupun APBD.
Bagaimana untuk mencapai tujuan tersebut, maka
Suatu hal terpenting bagaimana hukum pengadaan
kedua belah pihak tunduk pada etika, dan norma
barang dan jasa pemerintah diatur secara kompre-
hukum pengadaan yang berlaku, mengikuti prinsip-
hensif sehingga tercapai efisiensi dan mampu
prinsip, metoda dan proses pengadaan barang dan
menjadi instrument pertumbuhan ekonomi serta
jasa yang baku. Dengan kata lain, tujuan penga-
kesejahteraan sosial yang berkeadilan. Namun,
daan adalah untuk mendapatkan barang dan jasa
perubahan dan tantangan kondisi regional pada
yang
dasar
tinggkat ASEAN perlu dijajaki sebagaimana hal ini
pemikiran yang logis dan sistematis (the system of
telah dilakukan oleh negara-negara anggota masya-
thought), mengikuti norma dan etika yang berlaku
rakat Uni Eropa.
jasa pemerintah
diinginkan
yang
dilakukan
atas
berdasarkan prosedur dan proses pengadaan yang
baku. (Panduan Pengadaan Barang dan Jasa Peme-
Daftar Pustaka
rintah; BAPPENAS & UNDIP, 2005)
Asian Development Bank, “ADB Standard Bidding
Document:
Kesimpulan
Goods
and
Services”, 2002.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah telah
menjadi agenda penring dalam konteks perdagangan
26
Procurement
Bank
Dunia,
“Country
Public
Procurement
Assesment terhadap Indonesia”, 1998.
Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007
Liberalisasi Pengadaan Barang dan Jasa: Konflik Kepentingan Negara Maju Versus Negara Berkembang
Carrier, Paul J., “Sovereignty Under The Agreement
John O. McGinnis
On Government procurement Minnesota”,
“Commentary
Journal of Global Trade, Winter 1997.
Constitution”,
Christopher Bovis, “EC Public Procurement Law”,
Longeman, 1997.
The
World
Trade
Law
Review,
Harvard
Harvard, 2000.
Jan Michiel Otto, “Kepastian Hukum di Negara
Dirjen Perbendaharaan Depkeu RI, ”Laporan
Sementara
and Mark L Movsesian,
Realisasi
APBN
Tahun
Berkembang”, KHN, 2003.
Keputusan
Menteri
Luar
Negeri
RI
Nomor
Anggaran 2005, Periode 1 Januari 2005
SK.03/A/OT/X/2003/01 Tentang Panduan
sampai
Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri
dengan
30
Desember
2005”,
Jakarta, 2006.
Dischendorfer,
oleh Pemerintah Daerah, Jakarta, 2001.
Martin.,
And
Konperensi Antikorupsi: ADB dan OECD Report,
Development Of Multilateral Rules On
Disponsori oleh Asian Development Bank
Government
procurement
dan Organisasi Untuk Kerjasama Ekonomi
Framework
Of
Procurement
“The
The
Law
Existence
Under
WTO”,
Review
The
Public
dan
Article
Lumpur.”, Kuala Lumpur, 2003.
Copyright (c) 2000 Sweet & Maxwell
Limited and Contributors, 2000.
Pembangunan
(OECD)
di
Kuala
Konvensi Wina Tahun 1969 mengatur tentang
Hukum Perjanjian yang mengatur perjanjian
Document WT/MIN(96)/DEC, “isu pada pertemuan
pertama Konferensi tingkat Menteri WTO”,
antara Negara dengan Negara.
Malanczuk,
Peter,
Akehurst,s,
tentang Pemberian Mandat WTO melalui
Introduction
The Singapore Ministerial Declaration
Routledge, 1998.
kepada WGTGP, Singapore, 1996.
to
“Modern
International
Law”,
Martin Khor, “Why Developing Countries Cannot
Document of The World Bank, “Indonesia Country
Afford New Issues In The WTO Seattle
Procurement Assessment Report, Reforming
Conference”, Presentation made by Martin
the Public Procurement System, East Asia
Khor, Director, Third World Network, at the
and Pacific Region World Bank Office”,
9th Ministerial Meeting of the Group of 77,
Jakarta, 2001.
Marrakech, 1999.
Gracia Frank.J, “Trade And Justice: Linking The
Trade Linkage Debates”, University of
Pennsylvania
Journal
of
International
Economic Law, Pennsylvania, 1998.
Gilpin,
Robert.,
“Global
Political
Economy:
Understanding the International Economic
Order”, Princeton University Press, 2001.
Iman Sugema, INDEF "Anggaran tidak memberi
ruang untuk menstimulasi pertumbuhan
ekonomi”, 2006.
Ministerial
Conference,
Fourth
Session,
“Ministerial Declaration”, Doha, 2001.
Nicholas Purboix, “The New Public Procurement
Directives of European Union”, Business
Law Review, 2004.
Raj Bhala, “International Trade Law: Theory and
Practice”,
Lexis-Nexis
Publishing,
Washington.
Robert L.Rothstein, “The Weak in The World of
Strong, The Developing Countries in the
Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007
27
Liberalisasi Pengadaan Barang dan Jasa: Konflik Kepentingan Negara Maju Versus Negara Berkembang
International
System”,
Columbia
Valerine J.L. Kriekhoff, “Penelitian Kepustakaan
University Press, New York Guilford,
Dan Lapangan Dalam Penulisan Skripsi.”
Surey, 1977.
Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum,
Severyn T.Bruyn, “A Civil Economy Transforming
The Market in The Twenty First Century”,
The
University
of
Michigan
UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara,
Jakarta, 1996.
Press,
Michigan, 2003.
Snyder, F., “Soft Law and Institutional Practice in
the EC” in S Martin (ed.) The Construction
of Europe, Kluwer Academic Publishers,
1994.
----------., “The Effectiveness of EC Law,” in T
Daintith (Ed.) Implementing EC Law in the
UK (1995) and KC Wellens and GM
Borchart,“Soft Law in EC Law” European
Law Review, 1989.
Sri Adiningsih, “Indonesian Business Online”,
Harvest International Journal For Decision
Makers, Vol.V,No.3 , 2003.
UNTAD/EDM/Misc.232/Add.27,
“Dispute
Settlement”, World Trade Organization,
3.12 Government procurement, New York
and Geneva, 2003.
http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e
/agrm10_e.htm#govt.
WTO
Legal
Document, February, 2007.
http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e
/agrm10_e.htm#govt.
WTO
Legal
Document, 26 February, 2007.
World
Trade
Organization
Government
procurement: The Plurilateral Agreement
Overview of the Agreement of Government
procurement., 2005.
28
Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007
Download