Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Manajemen Keuangan
2.1.1.
Pengertian Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan merupakan segala aktivitas yang terkait dengan
pengelolaan keuangan pada suatu perusahaan. Aktivitas manajemen keuangan
pada umumnya dimulai dari perencanaan dana untuk aktivitas perusahaan, usaha
mencari sumber dana untuk pembiayaan aktivitas perusahaan, pengalokasian dan
penggunaan dana yang telah diperoleh untuk aktivitas perusahaan yang bertujuan
untuk memaksimalkan nilai perusahaan, yaitu harga. Dimana calon pembeli
bersedia membayarnya jika suatu perusahaan membayarnya.
Menurut Harjito dan Martono (2011:4) pengertian manajemen
keuangan adalah:
“Manajemen keuangan (financial management) adalah segala aktivitas
perusahaan yang berhubungan dengan bagaimana memperoleh dana,
menggunakan dana, dan mengelola aset sesuai tujuan perusahaan secara
menyeluruh”.
Sedangkan menurut Sutrisno (2012:3), pengertian manajemen keuangan
adalah:
“Semua aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan usaha-usaha
mendapatkan dana perusahaan dengan biaya yang murah serta usaha
untuk menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut secara efisien”.
Berdasarkan pengertian di atas mengenai manajemen keuangan, dapat
disimpulkan bahwa manajemen keuangan adalah segala aktivitas yang dilakukan
oleh perusahaan untuk mendapatkan dana, mengelola dana dan mengalokasikan
dana tersebut secara efisien guna mencapai tujuan utama perusahaan.
12
13
2.1.2.
Fungsi Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan memiliki aktivitas yang luas dalam bidang
keuangan karena setiap perusahaan pasti membutuhkan seorang manajer
keuangan yang menangani fungsi-fungsi keuangan. Fungsi manajemen keuangan
dari suatu perusahaan itu sendiri adalah salah satu fungsi utama yang sangat
penting dalam perusahaan, di samping fungsi-fungsi lainnya.
Menurut Sutrisno (2012:5) fungsi manajemen keuangan dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu:
1. Keputusan investasi, yaitu masalah bagaimana manajer keuangan harus
mengalokasikan dana dalam bentuk-bentuk investasi yang akan dapat
mendatangkan keuntungan di masa yang akan datang.
2. Keputusan pendanaan, pada keputusan ini manajer keuangan dituntut
untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari sumbersumber dana yang ekonomis bagi perusahaan guna membelanjai
kebutuhan-kebutuhan investasi serta kegiatan usahanya.
3. Keputusan dividen, dividen merupakan bagian keuntungan yang
dibayarkan oleh perusahaan kepada para pemegang saham. Oleh karena
itu, dividen ini merupakan bagian dari penghasilan yang diharapkan oleh
pemegang saham.
2.1.3.
Tujuan Manajemen Keuangan
Kegiatan atau aktivitas yang terdapat dalam manajemen keuangan
dilakukan karena memiliki suatu tujuan atau sasaran yang hendak dicapai.
Dimana menurut Harmono (2011:1) tujuan manajemen keuangan adalah:
“Memaksimalkan kekayaan para pemegang saham, yang berarti
meningkatkan nilai perusahaan yang merupakan ukuran nilai objektif
oleh publik dan orientasi pada kelangsungan hidup perusahaan”.
Sedangkan menurut Fahmi (2013:4) tujuan dari manajemen keuangan yaitu:
1. Memaksimumkan nilai perusahaan.
2. Menjaga stabilitas finansial dalam keadaan yang selalu terkendali.
14
3. Memperkecil risiko perusahaan di masa sekarang dan yang akan datang.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari manajemen
keuangan adalah memaksimalkan kekayaan dan mensejahterakan pemegang
saham dengan cara meningkatkan nilai perusahaan.
2.2.
Laporan Keuangan
2.2.1.
Pengertian Laporan Keuangan
Suatu laporan keuangan (financial statement) akan menjadi lebih
bermanfaat untuk pengambilan keputusan, apabila dengan informasi tersebut
dapat diprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan mendatang. Semakin
baik kualitas laporan keuangan yang disajikan maka akan semakin meyakinkan
pihak eksternal dalam melihat kinerja keuangan perusahaan tersebut.
Menurut Kasmir (2012:7), pengertian laporan keuangan adalah:
“Laporan yang menunjukkan kondisi keuangan perusahaan pada saat ini
atau dalam suatu periode tertentu”.
Sedangkan menurut Fahmi (2013:21), pengertian laporan keuangan
adalah:
“Suatu informasi yang menggambarkan kondisi keuangan suatu
perusahaan, dan lebih jauh informasi tersebut dapat dijadikan sebagai
gambaran kinerja keuangan perusahaan tersebut”.
Berdasarkan pengertian di atas mengenai laporan keuangan, dapat
disimpulkan bahwa laporan keuangan merupakan informasi mengenai kondisi
keuangan suatu perusahaan dan lebih jauh informasi tersebut dapat dijadikan
sebagai gambaran kinerja perusahaan.
2.2.2.
Tujuan Laporan Keuangan
Laporan keuangan dibuat karena memiliki suatu tujuan. Tujuan laporan
keuangan berdasarkan PSAK No.1 (Revisi 1998) dalam Sulistiyowati (2010:5)
adalah:
15
1. Memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, arus kas perusahaan
yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan
dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi.
2. Serta menunjukkan pertanggung jawaban (stewardship) manajemen atas
penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
Menurut Kasmir (2012:10), tujuan laporan keuangan yaitu:
“Untuk memberikan informasi keuangan suatu perusahaan, baik pada
saat tertentu maupun pada periode tertentu”.
Jelasnya Kasmir (2012:10) juga mengungkapkan bahwa:
“Laporan keuangan mampu memberikan informasi keuangan kepada
pihak dalam dan luar perusahaan yang memiliki kepentingan terhadap
perusahaan”.
Sedangkan menurut Fahmi (2013:24), tujuan dari laporan keuangan
adalah:
“Untuk memberikan informasi kepada pihak yag membutuhkan tentang
kondisi suatu perusahaan dari sudut angka-angka moneter”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari laporan
keuangan adalah menyediakan informasi keuangan yang menyangkut posisi
keuangan, kondisi, arus kas kepada pihak dalam dan luar perusahaan yang
bermanfaat bagi pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan.
2.3.
Good Corporate Governance
2.3.1.
Pengertian Good Corporate Governance
Menurut Zarkasyi (2008:36), Good Corporate Governance pada
dasarnya merupakan suatu sistem (input, proses, output) dan seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholder) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham,
dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Good
16
Corporate Governance mengatur hubungan-hubungan, mencegah terjadinya
kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan dan untuk memastikan
bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam Hery
(2010) pengertian Corporate Governance yaitu:
“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang
saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,
karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau
dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan
Corporate Governance ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders)”.
Sedangkan menurut Sutedi (2012:1), pengertian corporate governance
adalah:
“Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan
(Pemegang saham/Pemilik Modal, Komisaris/Dewan Pengawas dan
Direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas
perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika”.
Berdasarkan definisi di atas, good corporate governance dapat diartikan
sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk
menciptakan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan. Hal ini disebabkan
karena GCG dapat mendorong terbentuknya pola kerja manajemen yang bersih,
transparan dan profesional. Penerapan GCG di perusahaan akan menarik minat
para investor, baik domestik maupun asing. Hal ini sangat penting bagi
perusahaan yang ingin mengembangkan usahanya, seperti melakukan investasi
baru.
2.3.2.
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Berbagai aturan main dan sistem yang mengatur keseimbangan dalam
pengelolaan perusahaan perlu dituangkan dalam bentuk prinsip-prinsip yang harus
dipatuhi untuk menuju tata kelola perusahaan yang baik.
17
Menurut KEPMEN BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 1
Agustus 2002 pada pasal 3 dalam Hery (2010), prinsip-prinsip Good Corporate
Governance, yaitu :
1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi
materil dan relevan mengenai perusahaan.
2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana
secara efektif.
3. Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
4. Kemandirian (independency), yaitu keadaan dimana perusahaan dikelola
secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari
pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi
hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Prinsip-prinsip GCG mempunyai peran penting antara lain dalam
memenuhi informasi yang penting dan berkaitan dengan kinerja perusahaan
sebagai bahan pertimbangan bagi para pemegang saham maupun para calon
investor yang tertarik untul menanamkan modal. Prinsip-prinsip GCG ini juga
merupakan
perlindungan
terhadap
kedudukan
pemegang
saham
dari
penyalahgunaan wewenang dan penipuan yang dapat dilakukan oleh direksi.
2.3.3.
Tujuan dan Manfaat diterapkannya Good Corporate Governance
Good Corporate Governance memiliki arti sangat penting dalam
menjalankan organisasi bisnis. Menurut Sutojo dan Aldridge (2008:5), Good
Corporate Governance mempunyai lima macam tujuan utama. Kelima tujuan
tersebut adalah sebagai berikut:
18
1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham.
2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang
saham.
3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham.
4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of
Directors dan manajemen perusahaaan.
5. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen
senior perusahaan.
Selain tujuan diberlakukannya corporate governance tersebut, penerapan
good corporate governance juga akan memberikan manfaat, baik bagi perusahaan
30 itu sendiri maupun bagi para stakeholders. Setidak-tidaknya ada 4 (empat)
manfaat praktis dalam penerapan good corporate governance menurut Tjager et
al. (2003:96) dalam Naja (2007:44) yaitu:
1. Untuk meminimalkan agency cost, yaitu biaya yang timbul sebagai akibat
dari pendelegasian kewenangan kepada manajemen, termasuk biaya
penggunaan sumber daya perseroan oleh manajemen untuk kepentingan
pribadi maupunm dalam rangka pengawasan terhadap perilaku manajemen
itu sendiri.
2. Untuk meminimalkan cost of capital, yaitu biaya modal yang harus
ditanggung bila perusahaan mengajukan pinjaman kepada kreditur.
3. Untuk meningkatkan nilai saham perusahaan, dengan pengelolaan
perusahaan tentu akan dapat menarik minat dan kepercayaan para investor
sehingga sangat membantu usaha perseroan.
4. Untuk mengangkat citra perusahaan, dengan berhasilnya peningkatan harga
saham maka akan menimbulkan image positif terhadap opini yang
berkembang di masyarakat.
2.3.4.
Mekanisme Corporate Governance
Menurut Purwantini (2011), penelitian mengenai corporate governance
menghasilkan berbagai mekanisme yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa
tindakan tim manajemen benar-benar untuk kepentingan shareholder (terutama
19
minority interest). Menurut Barnhart dan Rosenstein dalam Purwantini (2011),
mekanisme corporate governance dibagi menjadi dua kelompok. Pertama berupa
internal mechanism (mekanisme internal), seperti komposisi dewan direksi/
komisaris, kepemilikan manajerial, dan komposisi eksekutif. Kedua, external
mechanism (mekanisme eksternal), seperti pengendalian oleh pasar dan level debt
financing.
Sedangkan menurut Iskandar dan Chamlou dalam Purwantini (2011),
mekanisme pengawasan dalam corporate governance dibagi menjadi dua
kelompok yaitu internal dan external mechanism.
1. Internal mechanism adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan
menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang
saham, komposisi dewan komisaris, komposisi dewan direksi dan pertemuan
dengan board of directors. Struktur kepemilikan perusahaan dibedakan
menjadi dua:
a. Tingkat konsentrasi kepemilikan
Tingkat konsentrasi kepemilikan dapat dikategorikan menjadi struktur
kepemilikan terkonsentrasi dan perusahaan yang struktur kepemilikannya
tidak terkonsentrasi. Perusahaan dikatakan memiliki struktur kepemilikan
terkonsentrasi apabila sebagian besar saham dimiliki oleh sebagian kecil
individu atau institusi. Kontrol mereka atas perusahaan begitu besar
sehingga segala tindakan merupakan cerminan dari kehendak pemilik.
Sedangkan perusahaan dikatakan memiliki struktur kepemilikan yang
tidak terkonsentrasi apabila kepemilikan saham menyebar secara merata
ke publik, jadi tidak ada yang memiliki saham dalam jumlah yang sangat
besar dibanding lainnya (Swandari dalam Purwantini, 2011).
b. Kepemilikan perusahaan
Suatu perusahaan dapat dimiliki oleh instansi maupun non institusi.
Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar
terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Sehingga
biasanya institusi menyerahkan tanggung jawab pada divisi tertentu
untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi
20
memantau secara profesional perkembangan investasinya maka tingkat
pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga
potensi kecurangan dapat ditekan.
2. External mechanism adalah cara mempengaruhi perusahaan selain dengan
menggunakan mekanisme internal perusahaan seperti pengendalian oleh
perusahaan dan pengendalian oleh pasar.
2.3.5.
Aspek Mekanisme Corporate Governance
Penelitian ini menggunakan empat aspek mekanisme corporate
governance yaitu proporsi kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
komisaris independen dan ukuran dewan direksi.
2.3.5.1. Kepemilikan Institusional
Jensen and Meckling dalam Wiranata dan Nugrahati (2013)
menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang penting
dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi diantara pemegang saham
dengan manajer. Kepemilikan institusional menurut Nuraina (2012:116) adalah:
“Kepemilikan institusional adalah proporsi saham yang dimiliki oleh
pihak institusi pada akhir tahun yang diukur dalam persentase”.
Insitusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar
terhadap investasi yang dilakukan, termasuk investasi saham sehingga basanya
institusi menyerahkan tanggung jawab kepada divisi tertentu untuk mengelola
investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara profesional
perkembangan investasinya, maka tingkat pengendalian terhadap tindakan
manajemen
sangat
tinggi
sehingga
potensi
kecurangan
dapat
ditekan
(Murwaningsari, 2009 dalam Widyati, 2013).
Keberadaaan investor institusional dianggap mampu mengoptimalkan
pengawasan kinerja manajemen dengan memonitoring setiap keputusan yang
diambil oleh pihak manajemen selaku pengelola perusahaan. Kepemilikan
institusional pada umumnya memiliki proporsi kepemilikan dalam jumlah yang
21
besar sehingga proses monitoring terhadap manajer menjadi lebih baik. Tingkat
kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang
lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku
opportunistic manajer. Institutional shareholders memiliki insentif untuk
memantau pengambilan keputusan perusahaan. Hal ini akan berpengaruh positif
bagi perusahaan tersebut, baik dari segi peningkatan nilai perusahaan maupun
peningkatan kinerja usaha. (Jensen and Meckling dalam Wiranata dan
Nugrahati, 2013).
Menurut Faizal dalam Senda (2013), kepemilikan institusional umumnya
bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Kepemilikan institusional
diukur dengan membagi jumlah saham yang dimiliki oleh institusi dengan jumlah
saham yang beredar. Kepemilikan institusional dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Kepemilikan Institusional =
x 100%
2.3.5.2. Kepemilikan Manajerial
Direksi perusahaan merupakan bagian penting yang melaksanakan
fungsi-fungsi manajemen perusahaan tersebut. Para pemegang saham yang
memiliki kedudukan manajemen/direksi di perusahaan disebut sebagi pemilik dari
kepemilikan manajerial. Haruman (2008) menjelaskan kepemilikan manajerial
sebagai berikut:
“Kepemilikan manajerial adalah tingkat kepemilikan saham pihak
manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan, diukur
oleh proporsi saham yang dimiliki manajer pada akhir tahun yang
dinyatakan dalam persen”.
Menurut Melinda dan Bertha (2008), kepemilikan manajerial
merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah keagenan, hal ini
dikarenakan kepemilikan manajerial merupakan alat pengawas terhadap kinerja
manajer yang bersifat internal. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa
22
dengan semakin besarnya kepemilikan manajemen dalam suatu perusahaan maka
manajemen akan berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang
saham yang juga adalah dirinya sendiri. Kepemilikan manajerial diukur dari
presentase kepemilikan saham oleh manajemen yaitu dengan rumus:
Kepemilikan Manajerial =
x 100%
2.3.5.3. Komisaris Independen
Pengertian komisaris independen menurut Komite Nasional Kebijakan
Governance (2006) adalah:
“Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak
terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan
pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau
hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk
bertindak independen atau semata-mata demi kepentingan perusahaan.”
Teori keagenan menyatakan bahwa konflik kepentingan antara agent
dengan principal dapat dikurangi dengan 5 pengawasan yang tepat. Adanya
Dewan Komisaris yang independen akan meningkatkan kualitas fungsi
pengawasan dalam perusahaan. Semakin besar proporsi Komisaris Independen
menunjukkan bahwa fungsi pengawasan akan lebih baik (Noviawan dan
Septiani, 2013). Pihak independen ini dapat berperan sebagai agen pengawas
yang efektif untuk mengurangi masalah keagenan, karena mereka dapat
mengendalikan perilaku oportunistik manajer.
Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 8/14/PBI/2006 pasal 5
disebutkan bahwa paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota
dewan komisaris adalah komisaris independen. Komisaris Independen diukur
berdasarkan persentase jumlah Komisaris Independen terhadap jumlah total
Komisaris yang ada dalam susunan Dewan Komisaris perusahaan (Ningrum dan
Rahardjo, 2012). Komisaris Independen dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Komisaris Independen =
x 100%
23
2.4.
Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori agensi mulai berkembang berawal dari adanya penelitian oleh
Jensen dan Meckling (1976) yang mengacu pada tujuan utama dari manajemen
keuangan yaitu memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Prinsip utama teori
ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memeberi wewenang
(prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu
manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama. Agency theory memiliki asumsi bahwa
tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri
sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent.
Menurut Gudono (2015:146), teori keagenan atau teori agensi dibangun
sebagai upaya untuk memahami dan memecahkan masalah yang muncul
manakala ada ketidaklengkapan informasi pada saat melakukan kontrak
(perikatan). Kontrak yang dimaksud adalah kontrak antara prinsipal (pemberi
kerja, misalnya pemegang saham atau pimpinan perusahaan) dengan agen
(penerima perintah, misalnya manajemen atau bawahan).
Sebagai pengelola perusahaan, manajer akan lebih banyak mengetahui
informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan pemilik (pemegang
saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan
kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan,
namun informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan
kondisi perusahaan sebenarnya, sehingga hal ini memacu terjadinya konflik
keagenan
(agency
conflict).
Investor
sebagai
pemilik,
mempercayakan
pengelolaan perusahaan kepada manajemen. Mereka tidak memiliki jaminan
bahwa modal yang ditanamkan pasti disalurkan untuk investasi atau proyek yang
menguntungkan. Manajer memiliki hak untuk mengelola perusahaan dan dengan
demikian, manajer memiliki hak diskresioner dalam mengelola dana investor
(Darmawati, dkk 2005).
Menurut Jensen (1986), masalah agensi timbul karena orang cenderung
untuk mementingkan dirinya sendiri dan konflik akan timbul ketika beberapa
kepentingan yang berbeda bertemu dalam aktivitas bersama. Konflik menciptakan
24
masalah (agency cost) sehingga masing-masing pihak akan berusaha untuk
mengurangi besarnya agency cost.
Selain itu berkaitan dengan masalah keagenan, corporate governance
yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa
berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa
mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Menurut
Sleifer dan Vishy (dalam Purwantini, 2011) corporate governance berkaitan
dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan
keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri atau
menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan
dengan dana yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan
bagaimana para investor mengontrol para manajer.
2.4.1.
Agency Cost
Adanya pemisahan antara pemilik perusahaan (principal) dan pengelola
manajemen (agent) cenderung menimbulkan konflik keagenan. Konflik
kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena agen tidak selalu berbuat
sesuai dengan keinginan principal, sehingga menimbulkan biaya keagenan
(agency cost).
Biaya keagenan menurut Ross, et al. (2009:16) adalah:
“Biaya keagenan merupakan biaya-biaya akibat dari adanya konflik
perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan dengan manajemen.
Sedangkan
menurut
Williandri
(2012:96)
menjelaskan
bahwa
pengertian biaya agensi (agency cost) adalah:
“Biaya yang berkaitan dengan pemantauan tindakan manajemen guna
menjamin agar tindakan tersebut konsisten dengan kesepakatan kontrak
diantara manajer, pemegang saham dan kreditur”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perusahaan perlu
mengeluarkan agency cost untuk keperluan perusahaan itu sendiri sehingga
25
manajemen perusahaan bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual
perusahaan dengan kreditur dan pemegang saham.
Untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan dalam teori agensi seperti
konflik kepentingan makan perusahaan harus mengeluarkan biaya agensi (agency
cost). Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Sudana (2012:33) ada tiga
macam agency cost, yaitu:
1. The monitoring expenditure by the principal, merupakan biaya yang harus
dikeluarkan dan ditanggung oleh prinsipal (pemilik) untuk memonitoring
perilaku agen.
2. The bonding cost, merupakan biaya yang harus ditanggung oleh agen untuk
menetapkan dan memenuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen akan
bertindak untuk kepentingan prinsipal.
3. The residual loss, merupakan pengorbanan sebagai akibat berkurangnya
kemakmuran prinsipal dari perbedaan keputusan antara prinsipal dan agen.
Menurut Jensen dan Meckling (1976), bahwa dalam teori agensi
siapapun yang menimbulkan biaya agensi, biaya yang timbul pasti merupakan
tanggungan pemegang saham. Semakin besar peluang timbulnya biaya agensi
semakin rendah nilai perusahaan bagi pemegang saham. Dalam penelitian ini,
agency cost diukur dengan menggunakan rasio aliran kas bebas atau free cash
flow (FCF). Menurut Jensen (1986) FCF memberikan implikasi penting dalam
masalah keagenan. Manajemen bisa terdorong untuk berinvestasi yang tidak
perlu, atau pada proyek yang memiliki NPV negatif. Hal ini dikarenakan ketika
sebuah perusahaan telah menghasilkan surplus berlebihan terhadap FCF, dan tidak
tersedia proyek yang menguntungkan, manajemen cenderung menyalahgunakan
FCF
dibawah
kendali
mereka
(perilaku
oportusinustik)
bukan
untuk
memaksimalkan nilai perusahaan. Contoh dari perilaku oportunistik yaitu
mengalokasikan sumber daya yang tidak efisin, perilaku konsumtif yang
berlebihan, berinvestasi yang tidak perlu atau dengan NPV negatif sehingga
membebankan pemegang saham.
Free cash flow (FCF) menurut (Mollah et al, 2000 dalam Djumahir,
2009) ialah arus kas yang bersifat bebas yaitu arus kas bersih yang tidak dapat
26
diinvestasikan kembali karena tidak tersedia investasi yang profitable, sehingga
dapat digunakan oleh manajemen perusahaan dan dapat berdampak pada biaya
agensi yang besar yang akan ditanggung oleh pemegang saham. Rasio arus kas
bebas merupakan perbandingan antara besarnya aliran kas bebas perusahaan (kas
perusahaan yang dapat didistribusikan kepada kreditor atau pemegang saham
yang tidak diperlukan untuk modal kerja atau investasi) dan total aktiva dianggap
sebagai wakil arus kas bebas. FCF dihitung dalam satuan persen dengan
menggunakan rumus:
Free Cash Flow =
2.5.
Nilai Perusahaan
2.5.1.
Pengertian Nilai Perusahaan
Menurut Sujoko dan Soebiantoro dalam Mardasari (2014) menyatakan
bahwa nilai perusahaan adalah persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan
perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham. Sejalan dengan pernyataan
sebelumnya, menurut Fakhruddin dan Hadianto (2001) dalam Martatilova
(2012), nilai perusahaan didefinisikan sebagai persepsi investor yang sering
dikaitkan dengan harga saham, harga saham yang tinggi membuat nilai
perusahaan juga tinggi.
Berdasarkan kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang sering
dikaitkan dengan harga saham dan terkait dengan keberhasilan perusahaan
mengelola perusahaan.
2.5.2.
Mengukur Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan menggambarkan seberapa baik atau buruknya kekayaan
perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat dari kinerja keuangan yang didapat. Suatu
perusahaan
akan
berusaha
untuk
memaksimalkan
nilai
perusahaannya.
Peningkatan nilai perusahaan ditandai dengan harga saham yang ikut meningkat
juga di pasar.
27
Menurut Brigham dan Houston (2010:105) bahwa:
“Memaksimalkan nilai perusahaan sangat penting bagi suatu perusahaan
karena
dengan
memaksimalkan
nilai
perusahaan
berarti
juga
memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang menerapkan tujuan
utama perusahaan”.
Sedangkan menurut Hanaswati (2005), yang mengatakan bahwa:
“Secara
harafiah
nilai
perusahaan
itu
sendiri
diamati
melalui
kemakmuran pemegang saham yang dapat diukur melalui harga saham
perusahaan di pasar modal”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai perusahaan
dapat diukur dengan harga saham. Harga saham di pasar terbentuk berdasarkan
kesepakatan antara pemintaan dan penawaran investor, sehingga harga saham
merupakan fair price yang dapat dijadikan proksi nilai perusahaan. Dengan harga
saham yang tinggi, maka nilai perusahaan pun akan tinggi, yang berarti
kemakmuran pemegang saham saham juga semakin meningkat.
Dalam penelitian ini, nilai perusahaan diukur dengan price to book value
(PBV). Syamsuddin (2007:75), menjelaskan bahwa pengertian Price Book Value
adalah rasio yang menggambarkan seberapa besar pasar menghargai nilai buku
saham suatu perusahaan. Rasio ini untuk mengetahui seberapa besar harga saham
yang ada di pasar di bandingkan dengan nilai buku sahamnya. Semakin tinggi
rasio ini menunjukkan perusahaan semakin dipercaya, artinya nilai perusahaan
menjadi lebih tinggi (Sutrisno, 2012:224). Secara matematis PBV dapat ditulis:
PBV =
Untuk menentukan posisi saham menggunakan metode Price Book Value
tidak mencari nilai intrinsik dari saham yang diteliti, melainkan menghitung nilai
PBV kemudian mengukur harga saham mahal atau murah dengan cut off 1 yang
berarti jika nilai PBV diatas 1 menunjukkan bahwa nilai pasar saham lebih besar
28
dari nilai bukunya (overvalued), sebaliknya jika nilai PBV dibawah 1 berarti nilai
pasar saham lebih kecil dari nilai bukunya (undervalued) (Permata dkk, 2013:4).
2.6.
Hubungan Good Corporate Governance dengan Nilai Perusahaan
Corporate governance merupakan mekanisme untuk mengatur dan
mengelola bisnis, serta untuk meningkatkan kemakmuran perusahaan. Tujuan
utama good corporate governance (GCG) adalah untuk meningkatkan nilai
tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Selain itu,
corporate governance pun bertujuan untuk mengurangi konflik kepentingan
antara pemegang saham dan manajer. Dengan adanya prinsip-prinsip corporate
governance (transparansi, akuntabilitas, kemandirian, pertanggungjawaban dan
kewajaran) dan mekanisme corporate governance yang dilakukan perusahaan,
maka dapat meminimalisasi konflik kepentingan tersebut.
Keberhasilan
GCG
dipengaruhi
adanya
mekanisme
corporate
governance di dalam perusahaan pada sudut pandang internal perusahaan, maka
keberhasilan GCG dipengaruhi oleh proporsi kepemilikan saham, dewan direksi
dan komisaris dan peran komite audit dalam mekanisme GCG. Pelaksanaan good
corporate governance dan sesuai dengan peraturan berlaku, akan membuat
investor memeberikan respon positif terhadap kinerja perusahaan, bahwa dana
yang diinvestasikan dalam perusahaan yang bersangkutan akan dikelola dengan
baik dan kepentingan investor publik akan aman. Kepercayaan investor publik
pada manajemen perusahaan memberikan manfaat kepada perusahaan dalam
bentuk pengurangan cost of capital (biaya modal).
Kinerja perusahaan yang baik dengan biaya modal yang rendah akan
mendorong para investor melakukan investasi di perusahaan tersebut. Banyaknya
investor yang tertarik akan meningkatkan permintaan investasi, sehingga
berpengaruh terhadap harga saham perusahaan dan meningkatkan kemakmuran
stakeholders, sehingga akan meningkatkan nilai perusahaan. Penjelasan tersebut
sejalan dengan Retno dan Priantinah (2012), bahwa hal ini membuktikan
terdapat pengaruh positif antara good corporate governance terhadap nilai
perusahaan.
29
2.7.
Hubungan Kepemilikan Institusional terhadap Nilai Perusahaan
Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme
monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer.
Dengan adanya kepemilikan institusional akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, sehingga
manajemen akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Monitoring
tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham.
Kepemilikan institusional menurut Nuraina (2012:116) adalah proporsi
saham yang dimiliki oleh pihak institusi pada akhir tahun yang diukur dalam
presentase. Kepemilikan institusional memiliki peranan yang penting dalam
meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi diantara pemegang saham dengan
manajer (Jensen and Meckling dalam Wiranata dan Nugrahati, 2013).
Berkaitan dengan kepemilikan institusional, terdapat hasil penelitian
menurut Naini dan Wahidahwati (2014), bahwa kepemilikan institusional
berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Begitu pula menurut
Murwaningsari (2009) menyatakan bahwa terdapat pengaruh kepemilikan
institusional dengan nilai perusahaan.
Hal ini berarti menunjukkan bahwa
kepemilikan institusional menjadi mekanisme yang handal sehingga mampu
memotivasi manajer dalam meningkatkan kinerjanya yang pada akhirnya dapat
meningkatkan nilai perusahaan.
2.8.
Hubungan Kepemilikan Manajerial terhadap Nilai Perusahaan
Kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat digunakan untuk
mengurangi masalah keagenan. Hal tersebut didasarkan pada logika bahwa
peningkatan proporsi saham yang dimiliki oleh manajer akan menurunkan
kecenderungan manajer untuk melakukan tindakan mengkonsumsi yang
berlebihan, dengan demikian akan menyatukan kepentingan antara manajer
dengan pemegang saham.
Menurut Melinda dan Bertha (2008), kepemilikan manajerial
merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah keagenan, hal ini
30
dikarenakan kepemilikan manajerial merupakan alat pengawas terhadap kinerja
manajer yang bersifat internal.
Berkaitan dengan kepemilikan manajerial, terdapat hasil penelitian
Jensen dan Meckling (1976) yang membuktikan bahwa variabel struktur
kepemilikan saham oleh manajerial mempunyai pengaruh positif terhadap nilai
perusahaan. Selain itu, penelitian menurut Saputra (2010) kepemilikan
manajerial pun secara positif mempengaruhi nilai perusahaan. Maka dari itu
permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah
sekaligus seorang pemilik juga. Manajer sekaligus pemegang saham akan
meningkatkan nilai perusahaan, sehingga nilai kekayaannya sebagai pemegang
saham akan meningkat juga.
2.9.
Hubungan Komisaris Independen terhadap Nilai Perusahaan
Komisaris independen bertindak sebagai pengawas manajemen dalam
suatu perusahaan. Komisaris independen dapat mengontrol manajer untuk tidak
melakukan perbuatan yang dapat merugikan perusahaan. Semakin besar jumlah
komisaris independen, maka pengawasan terhadap manajer perusahaan akan
semakin baik, sehingga akan meningkatkan nilai perusahaan.
Dewan komisaris memegang peran penting dalam perusahaan terutama
dalam pelaksanaan GCG. Dewan komisaris merupakan inti dari corporate
governance yang ditugaskan untuk menjamin strategi perusahaan, mengawasi
manajer
dalam
mengelola
perusahaan,
serta
mewajibkan
terlaksananya
akuntabilitas. Karena dewan komisaris bertanggung jawab untuk mengawasi
manajemen yang bertugas meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan
(Lastanti, 2004).
Dewan komisaris independen merupakan proporsi anggota dewan
komisaris independen yang ada di dalam perusahaan. Jumlah dewan komisaris
independen yang semakin banyak menandakan bahwa dewan komisaris yang
melakukan fungsi pengawasan dan koordinasi dalam perusahaan semakin baik.
Oleh karena semakin banyak anggota dewan komisaris independen, maka tingkat
integritas pengawasan terhadap dewan direksi yang dihasilkan semakin tinggi,
31
sehingga mewakili kepentingan stakeholders lainnya selain daripada kepentingan
pemegang saham mayoritas dan dampaknya akan semakin baik terhadap nilai
perusahaan. Dengan adanya komisaris independen, maka akan dapat mengurangi
konflik agensi dalam perusahaan sehingga perusahaan dapat lebih berfokus dalam
meningkatkan nilai perusahaan (Susanto dan Subekti, 2013).
Harjoto dan Jo (2011), menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif
antara komisaris independen dengan nilai perusahaan. Begitu pula menurut
penelitian Susanto dan Subekti (2013) komisaris independen memiliki pengaruh
signifikan terhadap nilai perusahaan dengan arah positif. Dapat disimpulkan
bahwa keberadaan komisaris independen dalam perusahaan dapat memantau dan
meningkatkan perusahaan dalam melaksanakan good corporate governance.
Proporsi dewan komisaris independen dapat memberikan kontribusi yang efektif
terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas.
2.10.
Hubungan Agency Cost terhadap Nilai Perusahaan
Pada agency theory yang disebut prinsipal adalah pemegang saham dan
yang dimaksud agen adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Dalam
manajemen keuangan, tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan nilai
perusahaan yang berarti juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham.
Untuk itu maka manajer yang diangkat oleh pemegang saham harus bertindak
untuk kepentingan pemegang saham, tetapi ternyata sering ada konflik antara
manajemen dan pemegang saham. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan
kepentingan antara manajer dan pemegang saham yang akan menyebabkan
adanya agency cost.
Agency cost menurut Ross, et al. (2009:16) merupakan biaya-biaya akibat
dari adanya konflik perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan dengan
manajemen. Menurut Jensen dan Meckling (1976), bahwa dalam teori agensi
siapapun yang menimbulkan biaya agensi, biaya yang timbul pasti merupakan
tanggungan pemegang saham. Semakin besar peluang timbulnya biaya agensi
semakin rendah nilai perusahaan bagi pemegang saham. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian Mardasari (2014) dan Wang (2010) bahwa biaya agensi
32
berpengaruh terhadap nilai perusahaan, dimana biaya agensi yang tinggi akan
menurunkan nilai perusahaan.
2.11.
Peneliti Terdahulu
Tabel 2.1
Peneliti Terdahulu
No.
Peneliti
Judul
Variabel Penelitian
Hasil Penelitian
Penelitian
1
Susanto dan Pengaruh
CSR, GCG
Pengungkapan
Subekti
Corporate
(kepemilikan
corporate social
(2013)
Social
manajerial,
responsibility tidak
Responsibility
kepemilikan
memiliki pengaruh
dan Good
institusi, komisaris
signifikan terhadap nilai
Corporate
independen dan
perusahaan, Komisaris
Governance
komite audit), Nilai
independen dan
Terhadap Nilai
Perusahaan (Tobin’s
kepemilikan manajerial
Perusahaan
Q)
memiliki pengaruh
signifikan terhadap nilai
perusahaan dengan arah
positif, Komite audit
dan kepemilikan
institusional tidak
memiliki pengaruh
signifikan terhadap nilai
perusahaan.
2
Purwantini,
Pengaruh
GCG (Independensi
Independensi dewan
V. Titi
Mekanisme
Dewan Komisaris,
komisaris berpengaruh
(2011)
Good
Kepemilikan
negatif tidak signifikan
Corporate
Institusional,
terhadap nilai
Governance
Struktur
perusahaan dan tidak
Terhadap Nilai
Kepemilikan
berpengaruh terhadap
33
Perusahaan
Terkonsentrasi),
kinerja keuangan,
Dan Kinerja
Nilai Perusahaan
kepemilikan
Keuangan
(Tobin’n Q),
institusional
Perusahaan
Kinerja Keuangan
berpengaruh negatif
Perusahaan (ROA
terhadap nilai
dan ROE).
perusahaan dan tidak
berpengaruh terhadap
kinerja keuangan,
kepemilikan
terkonsentrasi
berpengaruh positif
signifikan terhadap nilai
perusahaan dan kinerja
keuangan.
3
Saputra,
Pengaruh
Mulia (2010) Corporate
Governance
GCG (kepemilikan
Kepemilikan manajerial
manajerial,
secara positif
kepemilikan
mempengaruhi nilai
Terhadap Nilai institusional,
perusahaan,
Perusahaan di kepemilikan asing,
kepemilikan
Bursa
institusional dan
Efek kepemilikan
Indonesia
keluarga), Nilai
kepemilikan asing tidak
Perusahaan (Tobin’s
memiliki pengaruh
Q).
signifikan terhadap nilai
perusahaan, dan tidak
terdapat hubungan
antara kepemilikan
keluarga dengan nilai
perusahaan.
4
Haryanti
Pengaruh
Agency Cost
Secara simultan
(2012)
Agency Cost
(Kepemilikan saham pengaruh agency cost
34
Terhadap Nilai
oleh insider, rasio
(kepemilikan saham
Perusahaan
arus kas bebas, rasio
oleh insider, rasio aliran
dengan
aktiva yang dapat
kas bebas, dan rasio
Kebijakan
dijaminkan), Nilai
aktiva yang dapat
Dividen dan
Perusahaan (PBV),
dijaminkan), kebijakan
Struktur Modal
Kebijakan Dividen
dividen dan struktur
Sebagai
(DPR), Struktur
modal terhadap nilai
Variabel
Modal (DER).
perusahaan signifikan.
Intervening
Agency cost dengan
proksi kepemilikan
saham oleh insider
(INSD) berpengaruh
negatif signifikan
terhadap nilai
perusahaan. Agency
cost dengan proksi rasio
aktiva yang dapat
dijaminkan (Collas)
berpengaruh negatif
tetapi tidak signifikan
terhadap nilai
perusahaan. Agency cost
dengan proksi rasio
aliran kas bebas (FCF),
berpengaruh positif
signifikan terhadap nilai
perusahaan.
5
Naini
dan Pengaruh Free
Free cash flow,
Free cash flow
Wahidahwati Cash Flow dan
kepemilikan
berpengaruh positif
(2014)
Kepemilikan
institusional,
terhadap kebijakan
Institusional
Kebijakan Hutang
hutang, kepemilikan
35
Terhadap
(DER), Nilai
institusional tidak
Kebijakan
Perusahan (Tobin’s
berpengaruh terhadap
Hutang dan
Q).
kebijakan hutang, free
Nilai
cash flow tidak
Perusahaan
berpengaruh terhadap
nilai perusahaan,
kepemilikan
institusional
berpengaruh positif
terhadap nilai
perusahaan, kebijakan
hutang berpengaruh
negatif terhadap nilai
perusahaan.
6
Mardasari,
Pengaruh
Variabel dependen
IO tidak berpengaruh
Rizky Budi Insider
adalah nilai
terhadap nilai
(2014)
Ownership,
perusahaan, variabel
perusahaan. Kebijakan
Kebijakan
intervening adalah
Hutang berpengaruh
Hutang Dan
kebijakan dividen,
positif terhadap nilai
Free Cash
serta variabel
perusahaan. FCF
Flow Terhadap
independen adalah
berpengaruh negatif
Nilai
insider ownership
terhadap nilai
Perusahaan
(IO), kebijakan
perusahaan. Kebijakan
Melalui
hutang dan free cash dividen tidak
Kebijakan
flow (FCF).
Dividen
berpengaruh terhadap
nilai perusahaan. IO
tidak berpengaruh
terhadap nilai
perusahaan melalui
kebijakan dividen
sebagai variabel
36
intervening. Kebijakan
hutang berpengaruh
terhadap nilai
perusahaan melalui
kebijakan dividen
sebagai variabel
intervening. FCF tidak
berpengaruh terhadap
nilai perusahaan melalui
kebijakan dividen
sebagai variabel
intervening.
7
Fadah,
(2010)
Isti Faktor Penentu
Struktur
Struktur kepemilikan
Dividen dan
Kepemilikan,
tidak berpengaruh
Biaya
Risiko, Free Cash
terhadap dividen kas,
Keagenan serta
Flow, Dividen,
struktur kepemilikan
Pengaruhnya
Biaya Agensi, Nilai
tidak berpengaruh
pada Nilai
Perusahaan,
terhadap biaya agensi,
Perusahaan
Konsistensi Model.
risiko tidak berpengaruh
terhadap dividen kas,
risiko tidak berpengaruh
terhadap biaya agensi.
Risiko berpengaruh
terhadap nilai
perusahaan, FCF tidak
berpengaruh terhadap
dividen kas dan biaya
agensi. Dividen kas
berpengaruh terhadap
nilai perusahaan, biaya
agensi tidak
37
berpengaruh terhadap
nilai perusahaan.
8
Silveira dan Corporate
Kualitas corporate
Adanya pengaruh
Barros
Governance
governance diukur
kualitas corporate
(2006)
Quality and
dengan governance
governance yang positif
Firm Value in
index, Market value
dan signifikan terhadap
Brazil
perusahaan diukur
nilai pasar perusahaan.
dengan Tobin’s Q
dan PBV.
9
Wang (2010) The Impacts of
Free cash flow,
Agency cost memiliki
Free Cash
biaya agensi, kinerja
pengaruh negatif
Flows and
perusahaan
signifikan terhadap
Agency Costs
kinerja perusahaan.
on Firm
Sebaliknya, studi ini
Performance
menemukan hubungan
positif signifikan antara
Free cash flow dan
kinerja perusahaan.
10
Mohd
Corporate
GCG, Transparency
Independensi dewan
Hassan Che
Governance,
dan Nilai
komisaris, cross-
Haat,
Transparency
Perusahaan (Tobin’s
directorship dewan,
Rashidah
And
Q).
kepemilikan manajerial
Abdul
Performance of
tidak signifikan dan
Rahman dan
Malaysian
berhubungan negatif
Sakthi
Companies.
terhadap voluntary
Mahenthiran
disclosure maupun
(2008)
Tobin’s Q. Di samping
itu penelitian ini juga
menunjukkan hasil tidak
signifikan dan
38
berhubungan negatif
adanya pengaruh
voluntary disclosure
yang memediasi
hubungan antara
mekanisme corporate
governance dengan nilai
perusahaan.
2.12.
Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
2.12.1. Kerangka Pemikiran
Sebuah perusahaan selalu mengharapkan bisnis yang dijalankan dapat
menguntungkan serta dapat mempertahankan dan meningkatkan nilai karena
tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan nilai perusahaan yang berarti
juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Salah satu cara untuk
memaksimalkan nilai perusahaan adalah dengan menjalankan ketiga fungsi
keuangan dengan baik dan salah satu dari ketiga fungsi keuangan tersebut adalah
fungsi keputusan pendanaan. Menurut Sutrisno (2012:5) berdasarkan fungsi
tersebut
keputusan
pendanaan
ini
manajer
keuangan
dituntut
untuk
mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari sumber-sumber dana yang
ekonomis bagi perusahaan guna membelanjai kebutuhan-kebutuhan investasi serta
kegiatan usahanya.
Dalam proses memaksimalkan nilai perusahaan, pemegang saham
(investor) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada para profesional
(manajer). Akan tetapi, dengan adanya pemisahan antara kepemilikan dan
pengelolaan perusahaan, maka kedua belah pihak tersebut memiliki kepentingan
yang berbeda. Pada agency theory memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu
semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan
konflik kepentingan antara pemegang saham dan manajer yang sering disebut
agency problem. Tidak jarang pihak manajemen yaitu manajer perusahaan
mempunyai tujuan dan kepentingan lain yang bertentangan dengan tujuan utama
39
perusahaan dan sering mengabaikan kepentingan pemegang saham. Perbedaan
kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya
konflik yang biasa disebut agency conflict.
Dalam dunia investasi, salah satu yang membuat investor menaruh
kepecayaan dan memiliki keyakinan terhadap suatu perusahaan adalah dengan
diterapkannya good corporate governance pada perusahaan tersebut. Menurut
kajian oleh Berle dan Means dalam (Lastanti, 2004) isu corporate governance
dilatar belakangi adanya teori agency (agency theory) yang menyatakan bahwa
permasalahan agency (agency problem) muncul ketika kepengurusan suatu
perusahaan terpisah dari pemiliknya. Dewan komisaris yang berperan sebagai
agent dalam suatu perusahaan diberi kewenangan untuk mengurus jalannya
perusahaan dan mengambil keputusan atas nama pemilik, namun agent tersebut
mempunyai kepentingan yang berbeda dengan pemegang saham (pemilik).
Sedangkan menurut Tjager et al. dalam (Lastanti, 2004), agency
problem yang muncul sebagai akibat adanya hubungan antara agent dengan
pemilik ketika timbul konflik antara harapan dan tujuan pemilik/pemegang saham
dan para direksi. Konflik kepentingan tersebut dapat diminimalkan dengan suatu
mekanisme yang mampu mensejajarkan kepentingan pemegang saham selaku
pemilik dengan kepentingan manajemen. Mekanisme tersebut dikenal sebagai tata
kelola perusahaan yang baik (GCG) yaitu mekanisme untuk mengendalikan,
mengatur dan mengelola bisnis untuk meningkatkan kemakmuran dan
akuntabilitas perusahaan yang pada akhirnya mewujudkan shareholder value.
Indikator mekanisme good corporate governance yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan
komisaris independen. Kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan
yang dimiliki institusi
atau lembaga. Investor institusional diyakini mampu
memonitor tindakan manajer yang lebih baik. Sedangkan kepemilikan manajerial
merupakan presentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh direksi, manajer dan
dewan komisaris. Kepemilikan manajerial dalam saham perusahaan dipandang
dapat menyelaraskan potensi perbedaan antara pemegang saham luar dengan
manajemen.
40
Komisaris independen merupakan komisaris yang tidak berasal dari
pihak terafiliasi. Aktivitas monitoring oleh pihak independen sangat diperlukan.
Jensen dan Meckling (1976) mengungkapkan bahwa semakin banyak jumlah
pemonitor maka kemungkinan terjadi konflik semakin rendah dan akhirnya akan
menurunkan agency cost. Hal ini dapat menumbuhkan tingkat kepercayaan
investor, pihak ketiga terhadap perusahaan. Komisaris independen diharapkan
mampu meningkatkan pengawasan jalan kegiatan usaha dari praktik-praktik
kecurangan sehingga pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan.
Selain itu, adanya pemisahan antara pemilik perusahaan (principal) dan
pengelola manajemen (agent) cenderung menimbulkan agency conflict. Menurut
Jensen (1986), masalah agensi timbul karena orang cenderung untuk
mementingkan dirinya sendiri dan konflik akan timbul ketika beberapa
kepentingan yang berbeda bertemu dalam aktivitas bersama. Konflik menciptakan
masalah (agency cost) sehingga masing-masing pihak akan berusaha untuk
mengurangi besarnya agency cost.
Menurut Jensen dan Meckling (1976), bahwa dalam teori agensi
siapapun yang menimbulkan biaya agensi, biaya yang timbul pasti merupakan
tanggungan pemegang saham. Semakin besar peluang timbulnya biaya agensi
semakin rendah nilai perusahaan bagi pemegang saham. Agency cost ini diproksi
dengan dengan rasio arus kas bebas (free cash flow ratio). Menurut Jensen (1986)
free cash flow (FCF) memberikan implikasi penting dalam masalah keagenan.
Manajemen bisa terdorong untuk berinvestasi yang tidak perlu, atau pada proyek
yang memiliki NPV negatif. Hal ini dikarenakan ketika sebuah perusahaan telah
menghasilkan surplus berlebihan terhadap FCF, dan tidak tersedia proyek yang
menguntungkan, manajemen cenderung menyalahgunakan FCF dibawah kendali
mereka (perilaku oportusinustik) bukan untuk memaksimalkan nilai perusahaan
Nilai perusahaan merupakan persepsi atau penilaian investor terhadap
suatu perusahaan, dimana sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham
yang tinggi akan membuat nilai perusahaan tinggi. Peningkatan nilai perusahaan
biasanya ditandai dengan naiknya harga saham di pasar. Nilai perusahaan yang
tinggi akan meningkatkan minat investor untuk menanamkan modalnya. Hal ini
41
dikarenakan tingginya nilai perusahaan merupakan indikator kemakmuran para
pemegang saham.
Penelitian ini menggunakan Price to Book Value (PBV) untuk mengukur
nilai perusahaan. PBV menunjukkan seberapa besar suatu perusahaan mampu
menciptakan nilai yang relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. Rasio
ini untuk mengetahui seberapa besar harga saham yang ada di pasar dibandingkan
dengan nilai buku sahamnya. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan perusahaan
semakin dipercaya, artinya nilai perusahaan menjadi lebih tinggi (Sutrisno,
2012:224). Maka dari itu, jika nilai PBV diatas 1 menunjukkan bahwa nilai pasar
saham lebih besar dari nilai bukunya (overvalued), sebaliknya jika nilai PBV
dibawah 1 berarti nilai pasar saham lebih kecil dari nilai bukunya (undervalued)
(Permata dkk, 2013:4).
42
Perusahaan
Fungsi Keuangan
Keputusan
Investasi
Keputusan
Pendanaan
Keputusan Dividen
Investor
Manajer
Agency Theory
(Agency Conflict)
Good Corporate
Governance
Kepemilikan
Institusional
Agency Cost
Kepemilikan
Manajerial
Komisaris
Independen
Nilai Perusahaan
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
43
2.12.2. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, maka penulis
mengambil suatu hipotesis yang akan diuji kebenarannya sebagai berikut:
H1: Kepemilikan Institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen dan
agency cost secara simultan berpengaruh signifikan terhadap nilai
perusahaan.
H2: Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.
H3: Kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.
H4: Komisaris independen berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
H5: Agency cost berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.
Download