BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Keuangan 2.1.1. Pengertian Manajemen Keuangan Manajemen keuangan merupakan segala aktivitas yang terkait dengan pengelolaan keuangan pada suatu perusahaan. Aktivitas manajemen keuangan pada umumnya dimulai dari perencanaan dana untuk aktivitas perusahaan, usaha mencari sumber dana untuk pembiayaan aktivitas perusahaan, pengalokasian dan penggunaan dana yang telah diperoleh untuk aktivitas perusahaan yang bertujuan untuk memaksimalkan nilai perusahaan, yaitu harga. Dimana calon pembeli bersedia membayarnya jika suatu perusahaan membayarnya. Menurut Harjito dan Martono (2011:4) pengertian manajemen keuangan adalah: “Manajemen keuangan (financial management) adalah segala aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan bagaimana memperoleh dana, menggunakan dana, dan mengelola aset sesuai tujuan perusahaan secara menyeluruh”. Sedangkan menurut Sutrisno (2012:3), pengertian manajemen keuangan adalah: “Semua aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan usaha-usaha mendapatkan dana perusahaan dengan biaya yang murah serta usaha untuk menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut secara efisien”. Berdasarkan pengertian di atas mengenai manajemen keuangan, dapat disimpulkan bahwa manajemen keuangan adalah segala aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendapatkan dana, mengelola dana dan mengalokasikan dana tersebut secara efisien guna mencapai tujuan utama perusahaan. 12 13 2.1.2. Fungsi Manajemen Keuangan Manajemen keuangan memiliki aktivitas yang luas dalam bidang keuangan karena setiap perusahaan pasti membutuhkan seorang manajer keuangan yang menangani fungsi-fungsi keuangan. Fungsi manajemen keuangan dari suatu perusahaan itu sendiri adalah salah satu fungsi utama yang sangat penting dalam perusahaan, di samping fungsi-fungsi lainnya. Menurut Sutrisno (2012:5) fungsi manajemen keuangan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Keputusan investasi, yaitu masalah bagaimana manajer keuangan harus mengalokasikan dana dalam bentuk-bentuk investasi yang akan dapat mendatangkan keuntungan di masa yang akan datang. 2. Keputusan pendanaan, pada keputusan ini manajer keuangan dituntut untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari sumbersumber dana yang ekonomis bagi perusahaan guna membelanjai kebutuhan-kebutuhan investasi serta kegiatan usahanya. 3. Keputusan dividen, dividen merupakan bagian keuntungan yang dibayarkan oleh perusahaan kepada para pemegang saham. Oleh karena itu, dividen ini merupakan bagian dari penghasilan yang diharapkan oleh pemegang saham. 2.1.3. Tujuan Manajemen Keuangan Kegiatan atau aktivitas yang terdapat dalam manajemen keuangan dilakukan karena memiliki suatu tujuan atau sasaran yang hendak dicapai. Dimana menurut Harmono (2011:1) tujuan manajemen keuangan adalah: “Memaksimalkan kekayaan para pemegang saham, yang berarti meningkatkan nilai perusahaan yang merupakan ukuran nilai objektif oleh publik dan orientasi pada kelangsungan hidup perusahaan”. Sedangkan menurut Fahmi (2013:4) tujuan dari manajemen keuangan yaitu: 1. Memaksimumkan nilai perusahaan. 2. Menjaga stabilitas finansial dalam keadaan yang selalu terkendali. 14 3. Memperkecil risiko perusahaan di masa sekarang dan yang akan datang. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari manajemen keuangan adalah memaksimalkan kekayaan dan mensejahterakan pemegang saham dengan cara meningkatkan nilai perusahaan. 2.2. Laporan Keuangan 2.2.1. Pengertian Laporan Keuangan Suatu laporan keuangan (financial statement) akan menjadi lebih bermanfaat untuk pengambilan keputusan, apabila dengan informasi tersebut dapat diprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan mendatang. Semakin baik kualitas laporan keuangan yang disajikan maka akan semakin meyakinkan pihak eksternal dalam melihat kinerja keuangan perusahaan tersebut. Menurut Kasmir (2012:7), pengertian laporan keuangan adalah: “Laporan yang menunjukkan kondisi keuangan perusahaan pada saat ini atau dalam suatu periode tertentu”. Sedangkan menurut Fahmi (2013:21), pengertian laporan keuangan adalah: “Suatu informasi yang menggambarkan kondisi keuangan suatu perusahaan, dan lebih jauh informasi tersebut dapat dijadikan sebagai gambaran kinerja keuangan perusahaan tersebut”. Berdasarkan pengertian di atas mengenai laporan keuangan, dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan merupakan informasi mengenai kondisi keuangan suatu perusahaan dan lebih jauh informasi tersebut dapat dijadikan sebagai gambaran kinerja perusahaan. 2.2.2. Tujuan Laporan Keuangan Laporan keuangan dibuat karena memiliki suatu tujuan. Tujuan laporan keuangan berdasarkan PSAK No.1 (Revisi 1998) dalam Sulistiyowati (2010:5) adalah: 15 1. Memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi. 2. Serta menunjukkan pertanggung jawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Menurut Kasmir (2012:10), tujuan laporan keuangan yaitu: “Untuk memberikan informasi keuangan suatu perusahaan, baik pada saat tertentu maupun pada periode tertentu”. Jelasnya Kasmir (2012:10) juga mengungkapkan bahwa: “Laporan keuangan mampu memberikan informasi keuangan kepada pihak dalam dan luar perusahaan yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan”. Sedangkan menurut Fahmi (2013:24), tujuan dari laporan keuangan adalah: “Untuk memberikan informasi kepada pihak yag membutuhkan tentang kondisi suatu perusahaan dari sudut angka-angka moneter”. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah menyediakan informasi keuangan yang menyangkut posisi keuangan, kondisi, arus kas kepada pihak dalam dan luar perusahaan yang bermanfaat bagi pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan. 2.3. Good Corporate Governance 2.3.1. Pengertian Good Corporate Governance Menurut Zarkasyi (2008:36), Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, proses, output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Good 16 Corporate Governance mengatur hubungan-hubungan, mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam Hery (2010) pengertian Corporate Governance yaitu: “Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan Corporate Governance ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders)”. Sedangkan menurut Sutedi (2012:1), pengertian corporate governance adalah: “Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (Pemegang saham/Pemilik Modal, Komisaris/Dewan Pengawas dan Direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika”. Berdasarkan definisi di atas, good corporate governance dapat diartikan sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan. Hal ini disebabkan karena GCG dapat mendorong terbentuknya pola kerja manajemen yang bersih, transparan dan profesional. Penerapan GCG di perusahaan akan menarik minat para investor, baik domestik maupun asing. Hal ini sangat penting bagi perusahaan yang ingin mengembangkan usahanya, seperti melakukan investasi baru. 2.3.2. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Berbagai aturan main dan sistem yang mengatur keseimbangan dalam pengelolaan perusahaan perlu dituangkan dalam bentuk prinsip-prinsip yang harus dipatuhi untuk menuju tata kelola perusahaan yang baik. 17 Menurut KEPMEN BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 pada pasal 3 dalam Hery (2010), prinsip-prinsip Good Corporate Governance, yaitu : 1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan relevan mengenai perusahaan. 2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 3. Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 4. Kemandirian (independency), yaitu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 5. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Prinsip-prinsip GCG mempunyai peran penting antara lain dalam memenuhi informasi yang penting dan berkaitan dengan kinerja perusahaan sebagai bahan pertimbangan bagi para pemegang saham maupun para calon investor yang tertarik untul menanamkan modal. Prinsip-prinsip GCG ini juga merupakan perlindungan terhadap kedudukan pemegang saham dari penyalahgunaan wewenang dan penipuan yang dapat dilakukan oleh direksi. 2.3.3. Tujuan dan Manfaat diterapkannya Good Corporate Governance Good Corporate Governance memiliki arti sangat penting dalam menjalankan organisasi bisnis. Menurut Sutojo dan Aldridge (2008:5), Good Corporate Governance mempunyai lima macam tujuan utama. Kelima tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 18 1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham. 2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non pemegang saham. 3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham. 4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Directors dan manajemen perusahaaan. 5. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen senior perusahaan. Selain tujuan diberlakukannya corporate governance tersebut, penerapan good corporate governance juga akan memberikan manfaat, baik bagi perusahaan 30 itu sendiri maupun bagi para stakeholders. Setidak-tidaknya ada 4 (empat) manfaat praktis dalam penerapan good corporate governance menurut Tjager et al. (2003:96) dalam Naja (2007:44) yaitu: 1. Untuk meminimalkan agency cost, yaitu biaya yang timbul sebagai akibat dari pendelegasian kewenangan kepada manajemen, termasuk biaya penggunaan sumber daya perseroan oleh manajemen untuk kepentingan pribadi maupunm dalam rangka pengawasan terhadap perilaku manajemen itu sendiri. 2. Untuk meminimalkan cost of capital, yaitu biaya modal yang harus ditanggung bila perusahaan mengajukan pinjaman kepada kreditur. 3. Untuk meningkatkan nilai saham perusahaan, dengan pengelolaan perusahaan tentu akan dapat menarik minat dan kepercayaan para investor sehingga sangat membantu usaha perseroan. 4. Untuk mengangkat citra perusahaan, dengan berhasilnya peningkatan harga saham maka akan menimbulkan image positif terhadap opini yang berkembang di masyarakat. 2.3.4. Mekanisme Corporate Governance Menurut Purwantini (2011), penelitian mengenai corporate governance menghasilkan berbagai mekanisme yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa tindakan tim manajemen benar-benar untuk kepentingan shareholder (terutama 19 minority interest). Menurut Barnhart dan Rosenstein dalam Purwantini (2011), mekanisme corporate governance dibagi menjadi dua kelompok. Pertama berupa internal mechanism (mekanisme internal), seperti komposisi dewan direksi/ komisaris, kepemilikan manajerial, dan komposisi eksekutif. Kedua, external mechanism (mekanisme eksternal), seperti pengendalian oleh pasar dan level debt financing. Sedangkan menurut Iskandar dan Chamlou dalam Purwantini (2011), mekanisme pengawasan dalam corporate governance dibagi menjadi dua kelompok yaitu internal dan external mechanism. 1. Internal mechanism adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang saham, komposisi dewan komisaris, komposisi dewan direksi dan pertemuan dengan board of directors. Struktur kepemilikan perusahaan dibedakan menjadi dua: a. Tingkat konsentrasi kepemilikan Tingkat konsentrasi kepemilikan dapat dikategorikan menjadi struktur kepemilikan terkonsentrasi dan perusahaan yang struktur kepemilikannya tidak terkonsentrasi. Perusahaan dikatakan memiliki struktur kepemilikan terkonsentrasi apabila sebagian besar saham dimiliki oleh sebagian kecil individu atau institusi. Kontrol mereka atas perusahaan begitu besar sehingga segala tindakan merupakan cerminan dari kehendak pemilik. Sedangkan perusahaan dikatakan memiliki struktur kepemilikan yang tidak terkonsentrasi apabila kepemilikan saham menyebar secara merata ke publik, jadi tidak ada yang memiliki saham dalam jumlah yang sangat besar dibanding lainnya (Swandari dalam Purwantini, 2011). b. Kepemilikan perusahaan Suatu perusahaan dapat dimiliki oleh instansi maupun non institusi. Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Sehingga biasanya institusi menyerahkan tanggung jawab pada divisi tertentu untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi 20 memantau secara profesional perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan. 2. External mechanism adalah cara mempengaruhi perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal perusahaan seperti pengendalian oleh perusahaan dan pengendalian oleh pasar. 2.3.5. Aspek Mekanisme Corporate Governance Penelitian ini menggunakan empat aspek mekanisme corporate governance yaitu proporsi kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen dan ukuran dewan direksi. 2.3.5.1. Kepemilikan Institusional Jensen and Meckling dalam Wiranata dan Nugrahati (2013) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi diantara pemegang saham dengan manajer. Kepemilikan institusional menurut Nuraina (2012:116) adalah: “Kepemilikan institusional adalah proporsi saham yang dimiliki oleh pihak institusi pada akhir tahun yang diukur dalam persentase”. Insitusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan, termasuk investasi saham sehingga basanya institusi menyerahkan tanggung jawab kepada divisi tertentu untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara profesional perkembangan investasinya, maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan (Murwaningsari, 2009 dalam Widyati, 2013). Keberadaaan investor institusional dianggap mampu mengoptimalkan pengawasan kinerja manajemen dengan memonitoring setiap keputusan yang diambil oleh pihak manajemen selaku pengelola perusahaan. Kepemilikan institusional pada umumnya memiliki proporsi kepemilikan dalam jumlah yang 21 besar sehingga proses monitoring terhadap manajer menjadi lebih baik. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Institutional shareholders memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Hal ini akan berpengaruh positif bagi perusahaan tersebut, baik dari segi peningkatan nilai perusahaan maupun peningkatan kinerja usaha. (Jensen and Meckling dalam Wiranata dan Nugrahati, 2013). Menurut Faizal dalam Senda (2013), kepemilikan institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Kepemilikan institusional diukur dengan membagi jumlah saham yang dimiliki oleh institusi dengan jumlah saham yang beredar. Kepemilikan institusional dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kepemilikan Institusional = x 100% 2.3.5.2. Kepemilikan Manajerial Direksi perusahaan merupakan bagian penting yang melaksanakan fungsi-fungsi manajemen perusahaan tersebut. Para pemegang saham yang memiliki kedudukan manajemen/direksi di perusahaan disebut sebagi pemilik dari kepemilikan manajerial. Haruman (2008) menjelaskan kepemilikan manajerial sebagai berikut: “Kepemilikan manajerial adalah tingkat kepemilikan saham pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan, diukur oleh proporsi saham yang dimiliki manajer pada akhir tahun yang dinyatakan dalam persen”. Menurut Melinda dan Bertha (2008), kepemilikan manajerial merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah keagenan, hal ini dikarenakan kepemilikan manajerial merupakan alat pengawas terhadap kinerja manajer yang bersifat internal. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa 22 dengan semakin besarnya kepemilikan manajemen dalam suatu perusahaan maka manajemen akan berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri. Kepemilikan manajerial diukur dari presentase kepemilikan saham oleh manajemen yaitu dengan rumus: Kepemilikan Manajerial = x 100% 2.3.5.3. Komisaris Independen Pengertian komisaris independen menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) adalah: “Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau semata-mata demi kepentingan perusahaan.” Teori keagenan menyatakan bahwa konflik kepentingan antara agent dengan principal dapat dikurangi dengan 5 pengawasan yang tepat. Adanya Dewan Komisaris yang independen akan meningkatkan kualitas fungsi pengawasan dalam perusahaan. Semakin besar proporsi Komisaris Independen menunjukkan bahwa fungsi pengawasan akan lebih baik (Noviawan dan Septiani, 2013). Pihak independen ini dapat berperan sebagai agen pengawas yang efektif untuk mengurangi masalah keagenan, karena mereka dapat mengendalikan perilaku oportunistik manajer. Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 8/14/PBI/2006 pasal 5 disebutkan bahwa paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan komisaris adalah komisaris independen. Komisaris Independen diukur berdasarkan persentase jumlah Komisaris Independen terhadap jumlah total Komisaris yang ada dalam susunan Dewan Komisaris perusahaan (Ningrum dan Rahardjo, 2012). Komisaris Independen dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Komisaris Independen = x 100% 23 2.4. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori agensi mulai berkembang berawal dari adanya penelitian oleh Jensen dan Meckling (1976) yang mengacu pada tujuan utama dari manajemen keuangan yaitu memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memeberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama. Agency theory memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Menurut Gudono (2015:146), teori keagenan atau teori agensi dibangun sebagai upaya untuk memahami dan memecahkan masalah yang muncul manakala ada ketidaklengkapan informasi pada saat melakukan kontrak (perikatan). Kontrak yang dimaksud adalah kontrak antara prinsipal (pemberi kerja, misalnya pemegang saham atau pimpinan perusahaan) dengan agen (penerima perintah, misalnya manajemen atau bawahan). Sebagai pengelola perusahaan, manajer akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan, namun informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya, sehingga hal ini memacu terjadinya konflik keagenan (agency conflict). Investor sebagai pemilik, mempercayakan pengelolaan perusahaan kepada manajemen. Mereka tidak memiliki jaminan bahwa modal yang ditanamkan pasti disalurkan untuk investasi atau proyek yang menguntungkan. Manajer memiliki hak untuk mengelola perusahaan dan dengan demikian, manajer memiliki hak diskresioner dalam mengelola dana investor (Darmawati, dkk 2005). Menurut Jensen (1986), masalah agensi timbul karena orang cenderung untuk mementingkan dirinya sendiri dan konflik akan timbul ketika beberapa kepentingan yang berbeda bertemu dalam aktivitas bersama. Konflik menciptakan 24 masalah (agency cost) sehingga masing-masing pihak akan berusaha untuk mengurangi besarnya agency cost. Selain itu berkaitan dengan masalah keagenan, corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Menurut Sleifer dan Vishy (dalam Purwantini, 2011) corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer. 2.4.1. Agency Cost Adanya pemisahan antara pemilik perusahaan (principal) dan pengelola manajemen (agent) cenderung menimbulkan konflik keagenan. Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena agen tidak selalu berbuat sesuai dengan keinginan principal, sehingga menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Biaya keagenan menurut Ross, et al. (2009:16) adalah: “Biaya keagenan merupakan biaya-biaya akibat dari adanya konflik perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan dengan manajemen. Sedangkan menurut Williandri (2012:96) menjelaskan bahwa pengertian biaya agensi (agency cost) adalah: “Biaya yang berkaitan dengan pemantauan tindakan manajemen guna menjamin agar tindakan tersebut konsisten dengan kesepakatan kontrak diantara manajer, pemegang saham dan kreditur”. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perusahaan perlu mengeluarkan agency cost untuk keperluan perusahaan itu sendiri sehingga 25 manajemen perusahaan bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual perusahaan dengan kreditur dan pemegang saham. Untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan dalam teori agensi seperti konflik kepentingan makan perusahaan harus mengeluarkan biaya agensi (agency cost). Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Sudana (2012:33) ada tiga macam agency cost, yaitu: 1. The monitoring expenditure by the principal, merupakan biaya yang harus dikeluarkan dan ditanggung oleh prinsipal (pemilik) untuk memonitoring perilaku agen. 2. The bonding cost, merupakan biaya yang harus ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan memenuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan prinsipal. 3. The residual loss, merupakan pengorbanan sebagai akibat berkurangnya kemakmuran prinsipal dari perbedaan keputusan antara prinsipal dan agen. Menurut Jensen dan Meckling (1976), bahwa dalam teori agensi siapapun yang menimbulkan biaya agensi, biaya yang timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham. Semakin besar peluang timbulnya biaya agensi semakin rendah nilai perusahaan bagi pemegang saham. Dalam penelitian ini, agency cost diukur dengan menggunakan rasio aliran kas bebas atau free cash flow (FCF). Menurut Jensen (1986) FCF memberikan implikasi penting dalam masalah keagenan. Manajemen bisa terdorong untuk berinvestasi yang tidak perlu, atau pada proyek yang memiliki NPV negatif. Hal ini dikarenakan ketika sebuah perusahaan telah menghasilkan surplus berlebihan terhadap FCF, dan tidak tersedia proyek yang menguntungkan, manajemen cenderung menyalahgunakan FCF dibawah kendali mereka (perilaku oportusinustik) bukan untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Contoh dari perilaku oportunistik yaitu mengalokasikan sumber daya yang tidak efisin, perilaku konsumtif yang berlebihan, berinvestasi yang tidak perlu atau dengan NPV negatif sehingga membebankan pemegang saham. Free cash flow (FCF) menurut (Mollah et al, 2000 dalam Djumahir, 2009) ialah arus kas yang bersifat bebas yaitu arus kas bersih yang tidak dapat 26 diinvestasikan kembali karena tidak tersedia investasi yang profitable, sehingga dapat digunakan oleh manajemen perusahaan dan dapat berdampak pada biaya agensi yang besar yang akan ditanggung oleh pemegang saham. Rasio arus kas bebas merupakan perbandingan antara besarnya aliran kas bebas perusahaan (kas perusahaan yang dapat didistribusikan kepada kreditor atau pemegang saham yang tidak diperlukan untuk modal kerja atau investasi) dan total aktiva dianggap sebagai wakil arus kas bebas. FCF dihitung dalam satuan persen dengan menggunakan rumus: Free Cash Flow = 2.5. Nilai Perusahaan 2.5.1. Pengertian Nilai Perusahaan Menurut Sujoko dan Soebiantoro dalam Mardasari (2014) menyatakan bahwa nilai perusahaan adalah persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham. Sejalan dengan pernyataan sebelumnya, menurut Fakhruddin dan Hadianto (2001) dalam Martatilova (2012), nilai perusahaan didefinisikan sebagai persepsi investor yang sering dikaitkan dengan harga saham, harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Berdasarkan kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham dan terkait dengan keberhasilan perusahaan mengelola perusahaan. 2.5.2. Mengukur Nilai Perusahaan Nilai perusahaan menggambarkan seberapa baik atau buruknya kekayaan perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat dari kinerja keuangan yang didapat. Suatu perusahaan akan berusaha untuk memaksimalkan nilai perusahaannya. Peningkatan nilai perusahaan ditandai dengan harga saham yang ikut meningkat juga di pasar. 27 Menurut Brigham dan Houston (2010:105) bahwa: “Memaksimalkan nilai perusahaan sangat penting bagi suatu perusahaan karena dengan memaksimalkan nilai perusahaan berarti juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang menerapkan tujuan utama perusahaan”. Sedangkan menurut Hanaswati (2005), yang mengatakan bahwa: “Secara harafiah nilai perusahaan itu sendiri diamati melalui kemakmuran pemegang saham yang dapat diukur melalui harga saham perusahaan di pasar modal”. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai perusahaan dapat diukur dengan harga saham. Harga saham di pasar terbentuk berdasarkan kesepakatan antara pemintaan dan penawaran investor, sehingga harga saham merupakan fair price yang dapat dijadikan proksi nilai perusahaan. Dengan harga saham yang tinggi, maka nilai perusahaan pun akan tinggi, yang berarti kemakmuran pemegang saham saham juga semakin meningkat. Dalam penelitian ini, nilai perusahaan diukur dengan price to book value (PBV). Syamsuddin (2007:75), menjelaskan bahwa pengertian Price Book Value adalah rasio yang menggambarkan seberapa besar pasar menghargai nilai buku saham suatu perusahaan. Rasio ini untuk mengetahui seberapa besar harga saham yang ada di pasar di bandingkan dengan nilai buku sahamnya. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan perusahaan semakin dipercaya, artinya nilai perusahaan menjadi lebih tinggi (Sutrisno, 2012:224). Secara matematis PBV dapat ditulis: PBV = Untuk menentukan posisi saham menggunakan metode Price Book Value tidak mencari nilai intrinsik dari saham yang diteliti, melainkan menghitung nilai PBV kemudian mengukur harga saham mahal atau murah dengan cut off 1 yang berarti jika nilai PBV diatas 1 menunjukkan bahwa nilai pasar saham lebih besar 28 dari nilai bukunya (overvalued), sebaliknya jika nilai PBV dibawah 1 berarti nilai pasar saham lebih kecil dari nilai bukunya (undervalued) (Permata dkk, 2013:4). 2.6. Hubungan Good Corporate Governance dengan Nilai Perusahaan Corporate governance merupakan mekanisme untuk mengatur dan mengelola bisnis, serta untuk meningkatkan kemakmuran perusahaan. Tujuan utama good corporate governance (GCG) adalah untuk meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Selain itu, corporate governance pun bertujuan untuk mengurangi konflik kepentingan antara pemegang saham dan manajer. Dengan adanya prinsip-prinsip corporate governance (transparansi, akuntabilitas, kemandirian, pertanggungjawaban dan kewajaran) dan mekanisme corporate governance yang dilakukan perusahaan, maka dapat meminimalisasi konflik kepentingan tersebut. Keberhasilan GCG dipengaruhi adanya mekanisme corporate governance di dalam perusahaan pada sudut pandang internal perusahaan, maka keberhasilan GCG dipengaruhi oleh proporsi kepemilikan saham, dewan direksi dan komisaris dan peran komite audit dalam mekanisme GCG. Pelaksanaan good corporate governance dan sesuai dengan peraturan berlaku, akan membuat investor memeberikan respon positif terhadap kinerja perusahaan, bahwa dana yang diinvestasikan dalam perusahaan yang bersangkutan akan dikelola dengan baik dan kepentingan investor publik akan aman. Kepercayaan investor publik pada manajemen perusahaan memberikan manfaat kepada perusahaan dalam bentuk pengurangan cost of capital (biaya modal). Kinerja perusahaan yang baik dengan biaya modal yang rendah akan mendorong para investor melakukan investasi di perusahaan tersebut. Banyaknya investor yang tertarik akan meningkatkan permintaan investasi, sehingga berpengaruh terhadap harga saham perusahaan dan meningkatkan kemakmuran stakeholders, sehingga akan meningkatkan nilai perusahaan. Penjelasan tersebut sejalan dengan Retno dan Priantinah (2012), bahwa hal ini membuktikan terdapat pengaruh positif antara good corporate governance terhadap nilai perusahaan. 29 2.7. Hubungan Kepemilikan Institusional terhadap Nilai Perusahaan Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Dengan adanya kepemilikan institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, sehingga manajemen akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham. Kepemilikan institusional menurut Nuraina (2012:116) adalah proporsi saham yang dimiliki oleh pihak institusi pada akhir tahun yang diukur dalam presentase. Kepemilikan institusional memiliki peranan yang penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi diantara pemegang saham dengan manajer (Jensen and Meckling dalam Wiranata dan Nugrahati, 2013). Berkaitan dengan kepemilikan institusional, terdapat hasil penelitian menurut Naini dan Wahidahwati (2014), bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Begitu pula menurut Murwaningsari (2009) menyatakan bahwa terdapat pengaruh kepemilikan institusional dengan nilai perusahaan. Hal ini berarti menunjukkan bahwa kepemilikan institusional menjadi mekanisme yang handal sehingga mampu memotivasi manajer dalam meningkatkan kinerjanya yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai perusahaan. 2.8. Hubungan Kepemilikan Manajerial terhadap Nilai Perusahaan Kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan. Hal tersebut didasarkan pada logika bahwa peningkatan proporsi saham yang dimiliki oleh manajer akan menurunkan kecenderungan manajer untuk melakukan tindakan mengkonsumsi yang berlebihan, dengan demikian akan menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Menurut Melinda dan Bertha (2008), kepemilikan manajerial merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah keagenan, hal ini 30 dikarenakan kepemilikan manajerial merupakan alat pengawas terhadap kinerja manajer yang bersifat internal. Berkaitan dengan kepemilikan manajerial, terdapat hasil penelitian Jensen dan Meckling (1976) yang membuktikan bahwa variabel struktur kepemilikan saham oleh manajerial mempunyai pengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Selain itu, penelitian menurut Saputra (2010) kepemilikan manajerial pun secara positif mempengaruhi nilai perusahaan. Maka dari itu permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah sekaligus seorang pemilik juga. Manajer sekaligus pemegang saham akan meningkatkan nilai perusahaan, sehingga nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga. 2.9. Hubungan Komisaris Independen terhadap Nilai Perusahaan Komisaris independen bertindak sebagai pengawas manajemen dalam suatu perusahaan. Komisaris independen dapat mengontrol manajer untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan perusahaan. Semakin besar jumlah komisaris independen, maka pengawasan terhadap manajer perusahaan akan semakin baik, sehingga akan meningkatkan nilai perusahaan. Dewan komisaris memegang peran penting dalam perusahaan terutama dalam pelaksanaan GCG. Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin strategi perusahaan, mengawasi manajer dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Karena dewan komisaris bertanggung jawab untuk mengawasi manajemen yang bertugas meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan (Lastanti, 2004). Dewan komisaris independen merupakan proporsi anggota dewan komisaris independen yang ada di dalam perusahaan. Jumlah dewan komisaris independen yang semakin banyak menandakan bahwa dewan komisaris yang melakukan fungsi pengawasan dan koordinasi dalam perusahaan semakin baik. Oleh karena semakin banyak anggota dewan komisaris independen, maka tingkat integritas pengawasan terhadap dewan direksi yang dihasilkan semakin tinggi, 31 sehingga mewakili kepentingan stakeholders lainnya selain daripada kepentingan pemegang saham mayoritas dan dampaknya akan semakin baik terhadap nilai perusahaan. Dengan adanya komisaris independen, maka akan dapat mengurangi konflik agensi dalam perusahaan sehingga perusahaan dapat lebih berfokus dalam meningkatkan nilai perusahaan (Susanto dan Subekti, 2013). Harjoto dan Jo (2011), menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara komisaris independen dengan nilai perusahaan. Begitu pula menurut penelitian Susanto dan Subekti (2013) komisaris independen memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan dengan arah positif. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan komisaris independen dalam perusahaan dapat memantau dan meningkatkan perusahaan dalam melaksanakan good corporate governance. Proporsi dewan komisaris independen dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas. 2.10. Hubungan Agency Cost terhadap Nilai Perusahaan Pada agency theory yang disebut prinsipal adalah pemegang saham dan yang dimaksud agen adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Dalam manajemen keuangan, tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan nilai perusahaan yang berarti juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Untuk itu maka manajer yang diangkat oleh pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham, tetapi ternyata sering ada konflik antara manajemen dan pemegang saham. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham yang akan menyebabkan adanya agency cost. Agency cost menurut Ross, et al. (2009:16) merupakan biaya-biaya akibat dari adanya konflik perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan dengan manajemen. Menurut Jensen dan Meckling (1976), bahwa dalam teori agensi siapapun yang menimbulkan biaya agensi, biaya yang timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham. Semakin besar peluang timbulnya biaya agensi semakin rendah nilai perusahaan bagi pemegang saham. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Mardasari (2014) dan Wang (2010) bahwa biaya agensi 32 berpengaruh terhadap nilai perusahaan, dimana biaya agensi yang tinggi akan menurunkan nilai perusahaan. 2.11. Peneliti Terdahulu Tabel 2.1 Peneliti Terdahulu No. Peneliti Judul Variabel Penelitian Hasil Penelitian Penelitian 1 Susanto dan Pengaruh CSR, GCG Pengungkapan Subekti Corporate (kepemilikan corporate social (2013) Social manajerial, responsibility tidak Responsibility kepemilikan memiliki pengaruh dan Good institusi, komisaris signifikan terhadap nilai Corporate independen dan perusahaan, Komisaris Governance komite audit), Nilai independen dan Terhadap Nilai Perusahaan (Tobin’s kepemilikan manajerial Perusahaan Q) memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan dengan arah positif, Komite audit dan kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. 2 Purwantini, Pengaruh GCG (Independensi Independensi dewan V. Titi Mekanisme Dewan Komisaris, komisaris berpengaruh (2011) Good Kepemilikan negatif tidak signifikan Corporate Institusional, terhadap nilai Governance Struktur perusahaan dan tidak Terhadap Nilai Kepemilikan berpengaruh terhadap 33 Perusahaan Terkonsentrasi), kinerja keuangan, Dan Kinerja Nilai Perusahaan kepemilikan Keuangan (Tobin’n Q), institusional Perusahaan Kinerja Keuangan berpengaruh negatif Perusahaan (ROA terhadap nilai dan ROE). perusahaan dan tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan, kepemilikan terkonsentrasi berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan dan kinerja keuangan. 3 Saputra, Pengaruh Mulia (2010) Corporate Governance GCG (kepemilikan Kepemilikan manajerial manajerial, secara positif kepemilikan mempengaruhi nilai Terhadap Nilai institusional, perusahaan, Perusahaan di kepemilikan asing, kepemilikan Bursa institusional dan Efek kepemilikan Indonesia keluarga), Nilai kepemilikan asing tidak Perusahaan (Tobin’s memiliki pengaruh Q). signifikan terhadap nilai perusahaan, dan tidak terdapat hubungan antara kepemilikan keluarga dengan nilai perusahaan. 4 Haryanti Pengaruh Agency Cost Secara simultan (2012) Agency Cost (Kepemilikan saham pengaruh agency cost 34 Terhadap Nilai oleh insider, rasio (kepemilikan saham Perusahaan arus kas bebas, rasio oleh insider, rasio aliran dengan aktiva yang dapat kas bebas, dan rasio Kebijakan dijaminkan), Nilai aktiva yang dapat Dividen dan Perusahaan (PBV), dijaminkan), kebijakan Struktur Modal Kebijakan Dividen dividen dan struktur Sebagai (DPR), Struktur modal terhadap nilai Variabel Modal (DER). perusahaan signifikan. Intervening Agency cost dengan proksi kepemilikan saham oleh insider (INSD) berpengaruh negatif signifikan terhadap nilai perusahaan. Agency cost dengan proksi rasio aktiva yang dapat dijaminkan (Collas) berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Agency cost dengan proksi rasio aliran kas bebas (FCF), berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. 5 Naini dan Pengaruh Free Free cash flow, Free cash flow Wahidahwati Cash Flow dan kepemilikan berpengaruh positif (2014) Kepemilikan institusional, terhadap kebijakan Institusional Kebijakan Hutang hutang, kepemilikan 35 Terhadap (DER), Nilai institusional tidak Kebijakan Perusahan (Tobin’s berpengaruh terhadap Hutang dan Q). kebijakan hutang, free Nilai cash flow tidak Perusahaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan, kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, kebijakan hutang berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. 6 Mardasari, Pengaruh Variabel dependen IO tidak berpengaruh Rizky Budi Insider adalah nilai terhadap nilai (2014) Ownership, perusahaan, variabel perusahaan. Kebijakan Kebijakan intervening adalah Hutang berpengaruh Hutang Dan kebijakan dividen, positif terhadap nilai Free Cash serta variabel perusahaan. FCF Flow Terhadap independen adalah berpengaruh negatif Nilai insider ownership terhadap nilai Perusahaan (IO), kebijakan perusahaan. Kebijakan Melalui hutang dan free cash dividen tidak Kebijakan flow (FCF). Dividen berpengaruh terhadap nilai perusahaan. IO tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen sebagai variabel 36 intervening. Kebijakan hutang berpengaruh terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen sebagai variabel intervening. FCF tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen sebagai variabel intervening. 7 Fadah, (2010) Isti Faktor Penentu Struktur Struktur kepemilikan Dividen dan Kepemilikan, tidak berpengaruh Biaya Risiko, Free Cash terhadap dividen kas, Keagenan serta Flow, Dividen, struktur kepemilikan Pengaruhnya Biaya Agensi, Nilai tidak berpengaruh pada Nilai Perusahaan, terhadap biaya agensi, Perusahaan Konsistensi Model. risiko tidak berpengaruh terhadap dividen kas, risiko tidak berpengaruh terhadap biaya agensi. Risiko berpengaruh terhadap nilai perusahaan, FCF tidak berpengaruh terhadap dividen kas dan biaya agensi. Dividen kas berpengaruh terhadap nilai perusahaan, biaya agensi tidak 37 berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 8 Silveira dan Corporate Kualitas corporate Adanya pengaruh Barros Governance governance diukur kualitas corporate (2006) Quality and dengan governance governance yang positif Firm Value in index, Market value dan signifikan terhadap Brazil perusahaan diukur nilai pasar perusahaan. dengan Tobin’s Q dan PBV. 9 Wang (2010) The Impacts of Free cash flow, Agency cost memiliki Free Cash biaya agensi, kinerja pengaruh negatif Flows and perusahaan signifikan terhadap Agency Costs kinerja perusahaan. on Firm Sebaliknya, studi ini Performance menemukan hubungan positif signifikan antara Free cash flow dan kinerja perusahaan. 10 Mohd Corporate GCG, Transparency Independensi dewan Hassan Che Governance, dan Nilai komisaris, cross- Haat, Transparency Perusahaan (Tobin’s directorship dewan, Rashidah And Q). kepemilikan manajerial Abdul Performance of tidak signifikan dan Rahman dan Malaysian berhubungan negatif Sakthi Companies. terhadap voluntary Mahenthiran disclosure maupun (2008) Tobin’s Q. Di samping itu penelitian ini juga menunjukkan hasil tidak signifikan dan 38 berhubungan negatif adanya pengaruh voluntary disclosure yang memediasi hubungan antara mekanisme corporate governance dengan nilai perusahaan. 2.12. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis 2.12.1. Kerangka Pemikiran Sebuah perusahaan selalu mengharapkan bisnis yang dijalankan dapat menguntungkan serta dapat mempertahankan dan meningkatkan nilai karena tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan nilai perusahaan yang berarti juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Salah satu cara untuk memaksimalkan nilai perusahaan adalah dengan menjalankan ketiga fungsi keuangan dengan baik dan salah satu dari ketiga fungsi keuangan tersebut adalah fungsi keputusan pendanaan. Menurut Sutrisno (2012:5) berdasarkan fungsi tersebut keputusan pendanaan ini manajer keuangan dituntut untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari sumber-sumber dana yang ekonomis bagi perusahaan guna membelanjai kebutuhan-kebutuhan investasi serta kegiatan usahanya. Dalam proses memaksimalkan nilai perusahaan, pemegang saham (investor) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada para profesional (manajer). Akan tetapi, dengan adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan, maka kedua belah pihak tersebut memiliki kepentingan yang berbeda. Pada agency theory memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara pemegang saham dan manajer yang sering disebut agency problem. Tidak jarang pihak manajemen yaitu manajer perusahaan mempunyai tujuan dan kepentingan lain yang bertentangan dengan tujuan utama 39 perusahaan dan sering mengabaikan kepentingan pemegang saham. Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict. Dalam dunia investasi, salah satu yang membuat investor menaruh kepecayaan dan memiliki keyakinan terhadap suatu perusahaan adalah dengan diterapkannya good corporate governance pada perusahaan tersebut. Menurut kajian oleh Berle dan Means dalam (Lastanti, 2004) isu corporate governance dilatar belakangi adanya teori agency (agency theory) yang menyatakan bahwa permasalahan agency (agency problem) muncul ketika kepengurusan suatu perusahaan terpisah dari pemiliknya. Dewan komisaris yang berperan sebagai agent dalam suatu perusahaan diberi kewenangan untuk mengurus jalannya perusahaan dan mengambil keputusan atas nama pemilik, namun agent tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda dengan pemegang saham (pemilik). Sedangkan menurut Tjager et al. dalam (Lastanti, 2004), agency problem yang muncul sebagai akibat adanya hubungan antara agent dengan pemilik ketika timbul konflik antara harapan dan tujuan pemilik/pemegang saham dan para direksi. Konflik kepentingan tersebut dapat diminimalkan dengan suatu mekanisme yang mampu mensejajarkan kepentingan pemegang saham selaku pemilik dengan kepentingan manajemen. Mekanisme tersebut dikenal sebagai tata kelola perusahaan yang baik (GCG) yaitu mekanisme untuk mengendalikan, mengatur dan mengelola bisnis untuk meningkatkan kemakmuran dan akuntabilitas perusahaan yang pada akhirnya mewujudkan shareholder value. Indikator mekanisme good corporate governance yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan komisaris independen. Kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki institusi atau lembaga. Investor institusional diyakini mampu memonitor tindakan manajer yang lebih baik. Sedangkan kepemilikan manajerial merupakan presentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh direksi, manajer dan dewan komisaris. Kepemilikan manajerial dalam saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan antara pemegang saham luar dengan manajemen. 40 Komisaris independen merupakan komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi. Aktivitas monitoring oleh pihak independen sangat diperlukan. Jensen dan Meckling (1976) mengungkapkan bahwa semakin banyak jumlah pemonitor maka kemungkinan terjadi konflik semakin rendah dan akhirnya akan menurunkan agency cost. Hal ini dapat menumbuhkan tingkat kepercayaan investor, pihak ketiga terhadap perusahaan. Komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan pengawasan jalan kegiatan usaha dari praktik-praktik kecurangan sehingga pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan. Selain itu, adanya pemisahan antara pemilik perusahaan (principal) dan pengelola manajemen (agent) cenderung menimbulkan agency conflict. Menurut Jensen (1986), masalah agensi timbul karena orang cenderung untuk mementingkan dirinya sendiri dan konflik akan timbul ketika beberapa kepentingan yang berbeda bertemu dalam aktivitas bersama. Konflik menciptakan masalah (agency cost) sehingga masing-masing pihak akan berusaha untuk mengurangi besarnya agency cost. Menurut Jensen dan Meckling (1976), bahwa dalam teori agensi siapapun yang menimbulkan biaya agensi, biaya yang timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham. Semakin besar peluang timbulnya biaya agensi semakin rendah nilai perusahaan bagi pemegang saham. Agency cost ini diproksi dengan dengan rasio arus kas bebas (free cash flow ratio). Menurut Jensen (1986) free cash flow (FCF) memberikan implikasi penting dalam masalah keagenan. Manajemen bisa terdorong untuk berinvestasi yang tidak perlu, atau pada proyek yang memiliki NPV negatif. Hal ini dikarenakan ketika sebuah perusahaan telah menghasilkan surplus berlebihan terhadap FCF, dan tidak tersedia proyek yang menguntungkan, manajemen cenderung menyalahgunakan FCF dibawah kendali mereka (perilaku oportusinustik) bukan untuk memaksimalkan nilai perusahaan Nilai perusahaan merupakan persepsi atau penilaian investor terhadap suatu perusahaan, dimana sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi akan membuat nilai perusahaan tinggi. Peningkatan nilai perusahaan biasanya ditandai dengan naiknya harga saham di pasar. Nilai perusahaan yang tinggi akan meningkatkan minat investor untuk menanamkan modalnya. Hal ini 41 dikarenakan tingginya nilai perusahaan merupakan indikator kemakmuran para pemegang saham. Penelitian ini menggunakan Price to Book Value (PBV) untuk mengukur nilai perusahaan. PBV menunjukkan seberapa besar suatu perusahaan mampu menciptakan nilai yang relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. Rasio ini untuk mengetahui seberapa besar harga saham yang ada di pasar dibandingkan dengan nilai buku sahamnya. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan perusahaan semakin dipercaya, artinya nilai perusahaan menjadi lebih tinggi (Sutrisno, 2012:224). Maka dari itu, jika nilai PBV diatas 1 menunjukkan bahwa nilai pasar saham lebih besar dari nilai bukunya (overvalued), sebaliknya jika nilai PBV dibawah 1 berarti nilai pasar saham lebih kecil dari nilai bukunya (undervalued) (Permata dkk, 2013:4). 42 Perusahaan Fungsi Keuangan Keputusan Investasi Keputusan Pendanaan Keputusan Dividen Investor Manajer Agency Theory (Agency Conflict) Good Corporate Governance Kepemilikan Institusional Agency Cost Kepemilikan Manajerial Komisaris Independen Nilai Perusahaan Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 43 2.12.2. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, maka penulis mengambil suatu hipotesis yang akan diuji kebenarannya sebagai berikut: H1: Kepemilikan Institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen dan agency cost secara simultan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. H2: Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. H3: Kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. H4: Komisaris independen berpengaruh terhadap nilai perusahaan. H5: Agency cost berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.