IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan dalam co-composting Sampel Blotong Sludge Kadar Air (%) 47,33 34,07 Nilai C (%) 10,68 6,42 N-NO3 (%) 0,0017 0,0011 N-NO2 (%) 0,00439 0,0000424 Total N (%) 0,76 0,26 Rasio C/N 14,13 24,33 Setelah proses pencampuran, nilai C/N awal tiap perlakuan baik pada aerasi secara aktif maupun pasif dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11. Tabel 10. Komposisi awal bahan pada perlakuan aerasi aktif Aerasi Aktif Konsentrasi Sludge Ulangan K. Air (%) Nilai C (%) Total N (%) 0% 15% 30% 15% 30% C/N 1 49,52 10,75 0,78 13,84 2 43,19 10,59 0,80 13,27 1 48,06 9,09 0,70 13,06 2 45,02 9,28 0,71 13,03 1 47,66 7,97 0,74 10,73 2 45,65 8,65 0,52 16,77 Tabel 11. Komposisi awal bahan pada perlakuan aerasi pasif Aerasi Pasif Konsentrasi Sludge Ulangan K. Air (%) Nilai C (%) Total N (%) 0% Ratio Ratio C/N 1 48,40 10,88 0,77 14,06 2 46,88 10,83 0,76 14,33 1 48,68 9,81 0,62 15,78 2 50,26 8,85 0,70 12,65 1 48,25 8,60 0,70 12,30 2 47,03 9,58 0,44 21,63 20 4.1. Hasil Pengamatan Parameter Uji 4.1.1. Suhu Suhu dapat menjadi indikator adanya proses dekomposisi pada co-composting bahan organik. Adanya aktivitas mikroorganisme yang mendegradasi polimer bahan organik seperti polisakarida, Norganik, P-organik dan S-organik menjadi unsur humus dapat mempengaruhi suhu bahan organik. Hasil pengamatan suhu pada proses aerasi aktif dapat dilihat pada Gambar 7. Secara umum, penambahan suplai udara meningkatkan suhu pada ketiga taraf konsentrasi sludge. Pada ketiga taraf konsentrasi sludge, peningkatan suhu tertinggi terjadi pada pengamatan hari ke-16. Peningkatan suhu pada konsentrasi sludge 0% mencapai 31,25ºC sedangkan pada konsentrasi sludge 15% dan 30%, suhu tertinggi mencapai 31,42ºC. Setelah itu, suhu relatif mengalami penurunan hingga akhir pengamatan. 35 30 Suhu (◦C) 25 20 15 10 5 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Waktu (Hari) Sludge 0% Sludge 15% Sludge 30% Gambar 7. Pengukuran suhu pada perlakuan aerasi aktif Pola penurunan suhu juga terlihat pada grafik hasil pengamatan suhu pada proses aerasi pasif yang dapat dilihat pada Gambar 7. Peningkatan suhu lebih cepat terjadi bila dibandingkan dengan aerasi aktif yaitu terjadi pada hari ke-7. Pada perlakuan aerasi pasif, suhu tertinggi mencapai 32,67ºC pada taraf konsentrasi sludge 15%. Pada konsentrasi sludge 0% dan 30%, suhu tertinggi yang dicapai masing-masing taraf yaitu 31,67ºC dan 32,50ºC. Peningkatan suhu pada kedua perlakuan aerasi hanya mencapai tahap mesofilik yang berkisar 10 - 45ºC tanpa memasuki tahap termofilik. Setelah mencapai titik tertinggi pada kedua perlakuan aerasi, suhu relatif mengalami penurunan dan cenderung stabil. Adapun kehilangan panas ini terjadi karena rendahnya tumpukan kompos dalam reaktor. Tumpukan kompos dapat menjaga energi panas yang dikeluarkan oleh mikroorganisme sehingga panas tersebut terpusat dalam tumpukan kompos yang dapat membunuh mikroba patogen. Pada kasus ini, kehilangan panas yang terjadi akibat dari ketinggian tumpukan kompos yang rendah. Selain itu, rendahnya nilai C/N awal menyebabkan proses perombakan bahan organik yang rendah. Ukuran tumpukan kompos dapat mempengaruhi proses pengomposn. Indrasti dan Elia (2004) menyatakan bahwa tumpukan kompos yang kurang besar tidak bisa mempertahankan panasnya sehingga kondisi termofilik tidak tercapai. 21 Kondisi termofilik harus dicapai pada proses pengomposan yang berjalan dengan baik. Hal ini dapat membantu mematikan mikroorganisme pathogen. Data pengamatan suhu selama co-composting berlangsung pada aerasi aktif dan pasif dapat dilihat pada Lampiran 2. 35 30 Suhu (◦C) 25 20 15 10 5 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Waktu (Hari) Sludge 0% Sludge 15% Sludge 30% Gambar 8. Pengukuran suhu pada perlakuan aerasi pasif 4.1.2. Kadar Air 60 60 50 50 Kadar Air (%) Kadar Air (%) Mikroorganisme membutuhkan kadar air tertentu untuk dapat melangsungkan metabolisme tubuhnya. Kelembaban optimum untuk metabolisme mikroba berkisar antara 40-60%. Bila kelembaban kurang dari 40% aktivitas mikroba akan menurun sedangkan bila kelembaban diatas 60% volume udara berkurang sehingga timbul fermentasi anaerobik yang berdampak turunnya aktivitas mikroorganisme aerobik. Grafik kadar air pada aerasi aktif dapat dilihat pada Gambar 9 (a). Pada perlakuan aerasi aktif, ketiga taraf konsentrasi mengalami kecenderungan penurunan kadar air. Pada konsentrasi sludge 0%, terjadi peningkatan kadar air pada minggu pertama namun selanjutnya kadar air menurun secara bertahap. Pada konsentrasi sludge 15%, kadar air mengalami peningkatan pada minggu ke-2 namun terjadi penurunan kembali hingga pada akhir pengamatan. Pada konsentrasi sludge 30%, kadar air awal mengalami penurunan dari 46,65% hingga terjadi penurunan kadar air hingga pada minggu ke 2 yaitu 43,98%. 40 30 20 10 40 30 20 10 0 0 0 1 2 3 4 0 Sludge 15% 2 3 4 Waktu (Minggu) Waktu (Minggu) Sludge 0% 1 Sludge 30% Sludge 0% Sludge 15% Sludge 30% (a) (b) Gambar 9. (a) Hasil pengamatan kadar air pada aerasi aktif (b) Hasil pengamatan kadar air pada aerasi pasif 22 Pada hasil pengukuran kadar air dengan aerasi pasif yang diperlihatkan Gambar 9(b) menunjukkan adanya penurunan kadar air yang rendah dan kecenderungan kadar air yang stabil. Sama halnya pada hasil pengukuran dengan aerasi aktif, kadar air pada konsentrasi sludge 0% mengalami peningkatan pada minggu pertama yaitu dari 47,64% hingga 48,97%. Pada minggu selanjutnya kadar air mengalami penurunan hingga akhir pengamatan. Kadar air pada konsentrasi sludge 15% mengalami peningkatan dari minggu pertama hingga minggu ketiga yaitu dari 47,43% hingga 48,01%. Setelah itu, kadar air turun hingga 47,15% pada akhir pengamatan. Penurunan kadar air yang signifikan terjadi pada konsentrasi sludge 30% yaitu dari 47,64% hingga 44,36%. Peningkatan kadar air pada grafik konsentrasi sludge 0% baik pada perlakuan aerasi aktif maupun pasif disebabkan terbentuknya air sebagai hasil samping proses penguraian bahan organik. Campuran bahan dengan konsentrasi sludge yang rendah memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sehingga air yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Penurunan kadar air terjadi karena adanya evaporasi air selama co-composting berlangsung. Data pengamatan kadar air selama co-composting berlangsung pada aerasi aktif dan pasif dapat dilihat pada Lampiran 3. 4.1.3. pH 14 14 12 12 10 10 8 8 pH pH Perubahan nilai pH pada proses aerasi aktif dapat dilihat pada Gambar 10 (a). Pada kosentrasi sludge 0% dan 15% pH mengalami perubahan. Grafik pada konsentrasi sludge 0% pH mengalami peningkatan hingga pada titik 8,21 selama dua minggu pertama. Pada minggu ketiga pH menurun hingga titik 7,11. Hal yang sama juga terjadi pada pada grafik konsentrasi sludge 15% yaitu adanya peningkatan pH hingga mencapai 7,61 kemudian pada minggu ketiga pH menurun hingga titik 7,18. Namun, pada grafik konsentrasi sludge 30%, nilai pH cenderung stabil pada kisaran 7,03 – 7,34. 6 6 4 4 2 2 0 0 0 1 2 3 4 0 Sludge 15% 2 3 4 Waktu (Minggu) Waktu (Minggu) Sludge 0% 1 Sludge 30% Sludge 0% Sludge 15% Sludge 30% (a) (b) Gambar 10. (a) Hasil pengamatan pH pada aerasi aktif (b) Hasil pengamatan pH pada aerasi pasif Perubahan nilai pH pada aerasi pasif dapat dilihat pada Gambar 10(b). Kecenderungan perubahan pH yang terjadi memiliki pola yang sama dengan grafik pengamatan pH pada aerasi pasif yaitu adanya peningkatan nilai pH pada minggu ke dua dengan peningkatan tertinggi pada grafik konsentrasi sludge 0%. Peningkatan pH tersebut mencapai 8,31. Peningkatan yang sama juga terjadi pada grafik konsentrasi sludge 15% mencapai 7,61. Nilai pH yang realtif stabil terjadi pada grafik konsentrasi sludge 30%. Data pengamatan pH dapat dilihat pada Lampiran 5. 23 Penurunan bahan organik menyebabkan terbatasya kandungan C sehingga NH4+ yang terbentuk sebagai hasil penguraian N-organik terlepas dalam bentuk gas volatil. Kadar air bahan mempengaruhi pengikatan gas NH4+. Gas tersebut berikatan dengan air pada bahan organik membentuk senyawa NH4OH yang bersifat basa. Senyawa NH4OH menyebabkan pH campuran bahan meningkat. Berdasarkan grafik hasil pengamatan kadar air pada Gambar 9(a) dan 9(b) peningkatan kadar air tertinggi hingga terendah yang terjadi pada minggu ke-2 yaitu kadar air pada konsentrasi sludge 0%, konsentrasi sludge 15%, dan konsentrasi sludge 30%. 4.1.4. Nilai C/N Nilai C/N Selama proses dekomposisi bahan organik, karbon akan terurai menjadi unit rantai yang lebih pendek untuk digunakan mikroorganisme mencukupi energinya sehingga total karbon organik akan berkurang. Gambar 11 dan 12 menunjukkan perubahan nilai C/N terhadap aerasi aktif dan pasif selama proses co-composting berlangsung. Nilai C/N tiap perlakuan konsentrasi selama co-composting dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada Gambar 11 terlihat bahwa grafik nilai C/N mengalami laju penurunan yang rendah pada tiap perlakuan konsentrasi sludge. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 6), perlakuan aerasi tidak berpengaruh terhadap nilai C/N pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini berdasarkan perhitungan bahwa F-Hitung sebesar 1,74 lebih kecil dari F-Tabel sebesar 4,02. Pemberian areasi dengan laju 2,0 L/min/kg (berdasarkan total massa bahan baku awal dalam basis kering) selama satu minggu pertama tidak mencukupi untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme dalam mengurai bahan organik yang ada. Tahapan proses penguraian bahan organik hanya sampai pada tahap mesofilik. Nilai C/N awal yang relatif rendah menjadi salah satu faktor penyebab proses penguraian yang lambat. Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan pula bahwa perbedaan konsentrasi sludge tidak berpengaruh nyata terhadap nilai C/N pada taraf kepercayaan 0,05%. Hal ini berdasarkan perhitungan nilai F-Hitung yang lebih kecil dibandingkan F-Tabel (0,22<3,17). Perubahan nilai C/N yang tidak signifikan pada ketiga taraf konsentrasi sludge dikarenakan nilai C/N awal yang rendah. Nilai C/N yang rendah menunjukkan bahwa kompos sudah mencapai tahap kematangan. Sampel limbah blotong dan sludge yang digunakan merupakan sampel yang sudah dibiarkan selama berbulan-bulan sehingga proses dekomposisi alami pada tempat pembuangan blotong (land filling) sudah menurunkan nilai C/N bahan. Nilai C/N awal untuk konsentrasi sludge 0%, 15% dan 30% pada aerasi aktif secara berurutan yaitu 13,56, 13,04, dan 13,75 sedangkan nilai C/N awal pada aerasi pasif yaitu 14,33, 14,21, dan16,96 pada urutan konsentrasi sludge yang sama. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0 1 Sludge 0% 2 Waktu (Minggu) Sludge 15% 3 4 Sludge 30% Gambar 11. Hasil pengamatan nilai C/N pada aerasi aktif 24 Nilai C/N 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0 1 2 3 4 Waktu (Minggu) Sludge 0% Sludge 15% Sludge 30% Gambar 12. Hasil pengamatan nilai C/N pada aerasi pasif 4.2. Karakteristik Kandungan Kompos Akhir Karakteristik kandungan kompos akhir terlihat dari nilai parameter mutu kompos yang terdiri dari penampakan fisik kompos, kadar air, pH, nilai C/N, kadar fosfor (P), dan kadar kalium (K). 4.2.1. Penampakan Fisik Penampakan fisik kompos terdiri dari warna, tekstur, dan bau kompos. Penampakan fisik tersebut dapat dilhat pada Tabel 12 sedangkan gambar kompos dapat dilihat pada Lampiran 9. Menurut Yang (1998) indikator kematangan kompos yaitu berwarna cokelat tua dan berbau earty(tanah). Berdasarkan Tabel 12, warna dan bau kompos pada setiap perlakuan menunjukkan kompos sudah matang. Aerasi Aktif Pasif Tabel 12. Penampakan fisik kompos hasil co-composting blotong dan sludge Konsentrasi Warna Tekstur Sludge 0% Cokelat Kehitaman Halus Bau Tanah 15 % Cokelat Kehitaman Halus Tanah 30 % Cokelat Kehitaman Halus Tanah 0% Cokelat Kehitaman Agak kasar Tanah 15 % Cokelat Kehitaman Agak kasar Tanah 30 % Cokelat Kehitaman Sangat kasar, ada gumpalan tanah yang keras Tanah 25 4.2.2. Kadar air Menurut SNI 19-7030-2004 , kompos yang matang memiliki batas kadar air maksimum yaitu 50% . Kandungan air pada tiap konsentrasi sludge baik untuk perlakuan aktif maupun pasif sesuai dengan standar SNI 19-7030-2004. Kadar air juga mempengaruhi penampakan fisik dari kompos, bila kompos memiliki kadar air yang tinggi maka tekstur kompos cenderung menggumpal. Menurut Setyorini et al (2003), kompos yang matang mempunyai kemampuan daya ikat air sehingga tanah tidak mudah berderai. Hal ini berhubungan dengan kandungan air pada kompos yang relatif kering sehingga air dapat meresap pada kompos saat diaplikasikan pada lahan perkebunan. Kandungan air akhir kompos pada tiap perlakuan dapt dilihat pada Gambar 13. 60 Kadar Air (%) 50 46,69 47,15 43,68 47,14 45,89 44,36 40 30 Aktif Pasif 20 10 0 0% 15% 30% Konsentrasi Sludge Gambar 13. Kandungan air akhir pada kompos 4.2.3. pH Hasil karakterisasi akhir kompos tiap perlakuan menunjukkan bahwa pH kompos relatif netral dan sesuai dengan SNI 19-7030-2004. Menurut SNI 19-7030-2004, kompos yang matang memiliki kisaran pH yang netral yaitu 6,8 – 7,49. Derajat keasaman (pH) kompos yang ditambahkan akan mempengaruhi kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah. Penambahan bahan organic dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat keasaman tanah. Penambahan bahan organik yang belum matang akan menurunkan pH tanah karena asam organik terbentuk selama proses dekomposisi berlangsung. Namun, bila bahan organik tersebut mengalami proses dekomposisi lebih lanjut maka bahan organik yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya berupa kation basa sehingga terjadi peningkatan pH (Suntoro 2001). Hal tersebut yang memuat pH akhir kompos pada grafik konsentrasi sludge 30% menjadi yang bernilai paling tinggi. Nilai pH akhir kompos dapat dilihat pada Gambar 14. pH seluruh perlakuan relatif netral pada kisaran 7,17 – 7,32. Nilai pH tertinggi ada pada grafik konsentrasi sludge 30%. Keterbatasan kandungan C yang ditunjukkan dengan nilai C/N yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya menyebabkan adanya pelepasan gas volatil NH4+. Pengikatan gas tersebut dengan air menyebabkan terbentuknya NH4OH yang bersifat basa. 26 14 12 pH 10 7,17 8 7,19 7,15 7,19 7,32 7,26 6 Aktif 4 Pasif 2 0 0% 15% 30% Konsentrasi Sludge Gambar 14. Karakteristik pH akhir pada kompos 4.2.4. Nilai C/N Nilai C/N akhir pada tiap perlakuan menunjukkan bahwa kompos sudah matang. Hal ini sesuai kisaran nilai C/N kompos matang pada SNI 19-7030-2004 yaitu 10-20. Kompos dengan nilai C/N tersebut dapat langsung diaplikasikan sebagai penambah unsur hara tanah. Nilai C/N akhir tiap perlakuan dapat dilihat pada gambar 15. Pada konsentrasi sludge 30 baik aerasi aktif maupun pasif, nilai C/N sangat rendah. Pembentukan ammonium akibat pengikatan NH4+ dengan air menjadikan kadar nitrogen bahan menjadi naik. Hal inilah yang membuat nilai C/N turun. Perlakuan aerasi, penambahan sludge maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap pH akhir kompos. 20 18 14,87 16 Nilai C/N 14 13,24 12,68 11,8 12 9,19 10 8,19 8 Aktif Pasif 6 4 2 0 0% 15% 30% Konsentrasi sludge Gambar 15. Nilai C/N akhir pada kompos 4.2.5. Fosfor (P2O5) Fosfor (P2O5) merupakan salah satu zat makro yang dibutuhkan tanaman. Menurut SNI, kualitas kompos yang baik mengandung fosfor dengan kadar minimum 0,1%. Ketersediaan fosfor berperan penting dalam pertumbuhan tanaman seperti merangsang pembungaan, pembuahan, pembelahan sel, perbesaran jaringan, pembentukan biji dan pertumbuhan akar. Bila tanah kekurangan unsur P maka tanaman akan terhambat pertumbuhan sehingga tanaman menjadi kerdil dan daunnya berwarna keunguan. 27 P2O5 (%) Mutu kompos fosfor pada hasil co-composting blotong dengan sludge menunjukan bahwa kompos yang memiliki konsentrasi sludge yang rendah memiliki kandungan fosfor yang tinggi baik pada aerasi aktif maupun pasif. Kandungan fosfor dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku yang digunakan. Pada proses pemurnian nira, sejumlah asam fosfat ditambahkan untuk membantu proses penggumpalan kotoran. Hal ini mempengaruhi kandungan fosfor pada blotong sehingga perlakuan dengan konsentrasi sludge yang rendah memiliki kandungan fosfor yang rendah juga. Nilai kandungan fosfor dalam bahan kompos dapat dilihat dari grafik berikut. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang dapat dilihat pada Lampiran 7, perlakuan aerasi, konsentrasi sludge maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap kadar fosfor. 2.80 2.40 2.00 1.60 1.20 0.80 0.40 0.00 1,68 1,74 0% 1,47 1,55 15% Konsentrasi sludge 1,29 1,36 Aktif Pasif 30% Gambar 16. Kandungan fosfor pada kompos 4.2.6. Kalium K2O (%) Kalium (K) berperan penting dalam meningkatkan daya tahan tubuh tanaman terhadap penyakit. Selain itu, kalium juga berfungsi dalam proses fotosintesa, pengangkutan hasil asimilasi, enzim, dan air (Rio 2009). Kandungan kalium kompos pada tiap perlakuan sesuai dengan SNI yang menyebutkan bahwa kompos yang baik mengandung kalium minimum sebanyak 0,2%. Hasil analisis unsur kalium pada co-composting blotong dan sludge menunjukkan bahwa kompos dengan konsentrasi sludge yang rendah memiliki kandungan kalium yang tinggi. Kandungan kalium pada kompos hasil akhir dapat dilihat pada Gambar 17. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang dapat dilihat pada Lampiran 8, perlakuan aerasi, konsentrasi sludge maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap kadar kalium. Kalium merupakan salah satu unsur makro yang dibutuhkan oleh tanaman. Kandungan fosfor yang tinggi membuat kandungan kalium menjadi sangat rendah. Menurut (Sulistijorini2003) jika salah satu dari ketiga unsur makro yaitu nitrogen, fosfor dan kalium ada dalam jumlah yang tinggi, maka dua unsur yang lain akan berada dalam konsentrasi yang rendah. 2.80 2.40 2.00 1.60 1.20 0.80 0.40 0.00 Aktif Pasif 0,27 0,29 0,25 0,26 0,22 0,25 0% 15% 30% Konsentrasi sludge Gambar 17. Kandungan kalium pada kompos hasil akhir 28