5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Temulawak 1. Arti Penting Temulawak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan salah satu tanaman obat yang termasuk dalam kategori orang Madura mengenal temulawak dengan nama temu labak. Namun temu-temuan (Zingiberaceae). Pada dasarnya nama temulawak digunakan oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Sunda mengenal temulawak dengan nama koneng gede sedangkan, perbedaan nama tidak berpengaruh pada khasiat tanaman temulawak. Temulawak banyak ditemukan di dataran rendah hingga tinggi di Pulau Jawa. Temulawak memerlukan tanah yang gembur dan subur agar dapat menghasilkan rimpang yang besar (Sina 2013). Menurut Subagya (2014), klasifikasi dari tanaman temulawak adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb. Salah satu komponen yang terkandung dalam rimpang temulawak yaitu xanthorrhizol. Choi et al. (2005) menyatakan bahwa xanthorrhizol adalah suatu komponen yang diisolasi dari rimpang Curcuma xanthorrhiza. Aktivitas xanthorrhizol dapat menghambat pembentukan tumor pada jaringan paru-paru dan tumor perut bagian dalam. Pernyataan ini didukung hasil penelitian Musfiroh et al. (2013) yang menyatakan xanthorrhizol memiliki pengaruh sitotoksik terhadap sel kanker payudara. Semakin tinggi konsentrasi xanthorrhizol maka pengaruh sitotoksik semakin tinggi juga. Kim et al. (2014) 6 menambahkan bahwa xanthorrhizol dan ekstrak temulawak dapat menekan perkembangan lemak hati dengan menurunkan penimbunan lemak hati. Aktivitas antihyperglicemic dan anti peradangan pada Curcuma xanthorrhiza berpotensi sebagai antidiabeti untuk treatmen diabetes tipe dua. Anjusha dan Gangaprasad (2014) menganalisis ekstrak rimpang Curcuma aromatica dan Curcuma xanthorrhiza menggunakan methanol dan ekstrak air dari rimpang, fitokimia utama yang terkandung dalam kedua spesies tersebut adalah flavonoid, tannin, saponin, sterol dan terpenoid. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Halim et al. (2012) yang menunjukkan bahwa ekstrak C. xanthorrhiza yang diuji dengan pemeriksaan fitokimia kualitatif terdiri dari terpenoid, fenol, flavonoid, saponin, glikosida jantung, alkaloid, dan 5 kumarin. Jumlah saponin dan alkaloid yang terkandung dalam rimpang Curcuma xanthorrhiza 80,9 mg/g dan 14,06 mg/g. Selain itu, ekstrak temulawak mengandung kurkuminoid. Ambarsari et al. (2012) menyatakan ekstrak kurkuminoid temulawak terdiri dari curcumin dan demethoxycurcumin. Kurkumin secara signifikan dapat melawan kanker dan gangguan imunologis. Kurkumin dapat memodulasi respon pertumbuhan dan seluler sel-sel dari system kekebalan tubuh (Singhal et al. 2009). Mangunwardoyo et al. (2012) menambahkan bahwa ekstrak rimpang Curcuma efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri gram positif seperti Staphylococcus aurens dan Streptococcus mutans. 2. Budidaya Temulawak Temulawak biasanya ditanam pada musim hujan. Pada musim kemarau, temulawak mengalami senescen dimana batang dan daunnya mengering dan siap untuk dipanen. Umur temulawak siap panen berkisar 10-12 bulan setelah tanam (Rahardjo 2010). Budidaya temulawak diawali dengan persiapan benih, pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, pemeliharaan dan panen. Benih dapat berasal dari rimpang induk atau rimpang anak. Rimpang tersebut dipotong-potong kemudian disemaikan pada tanah yang dihampar mulsa jerami selama 2-4 minggu. Setelah tunas tumbuh sekitar 0,5 cm, bibit siap dipindahkan ke lapang. Bibit ditanam pada bedengan selebar 120-200 cm 7 dengan tinggi 30 cm dan jarak antar bedengan 30-40 cm. Pupuk kandang matang 0,5-1 kg per lubang tanam sebagai pupuk dasar yang diberikan 1-2 minggu sebelum tanam. Pemeliharaan tanaman temulawak meliputi penyulaman, penyiangan, penyiraman, pembubunan dan pengendalian hama penyakit. Panen dapat dilakukan 9-10 bulan setelah tanam (Subagya 2014). Pemupukan temulawak dianjurkan menggunakan pupuk urea, SP 36 dan KCl masing-masing 200 kg/ha, 100 kg/ha dan 100 kg/ha karena lebih efisien dalam hal teknis dan ekonomi. Produksi rimpang temulawak pada pemberian dosis pupuk anorganik diatas sebesar 2277 kg/1000 m2 (Pribadi dan Rahardjo 2008). Selain itu, pemupukan temulawak juga dapat menggunakan pupuk organik. Kamal dan Yousuf (2012) menyatakan bahwa aplikasi kotoran sapi, kotoran unggas, mustard cake dan neem cake mempengaruhi pertumbuhan dan hasil rimpang secara signifikan. Pengaplikasian neem cake 20 ton/ha dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil rimpang. Produksi rimpang dapat mencapai 5,59 ton/ha dengan tinggi tanaman 79,3 cm. B. Kultur Jaringan Sebagai Teknik Perbanyakan Tanaman 1. Teknik Perbanyakan Tanaman Perbanyakan tanaman dapat secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara generatif melalui biji. Perbanyakan secara vegetatif dapat melalui sambungan, okulasi, penyusuan, pencangkokan dan setek (Prastowo et al. 2006). Selain itu, perbanyakan vegetatif dapat dilakukan melalui kultur jaringan. Menurut Rai (2007) perbanyakan tanaman secara vegetatif melalui kultur jaringan menghasilkan tanaman yang mempunyai genetik sama atau sering disebut mikropropagasi. Perbanyakan secara generatif menghasilkan tanaman yang heterogen sedangkan perbanyakan vegetatif menghasilkan tanaman yang genetiknya sama dengan tanaman induk. Metode perbanyakan vegetatif secara tradisional termasuk dalam mikropropagasi dimana tanaman baru diproduksi dalam kondisi aseptik. Mikropropagasi dalam kultur jaringan sangat dimungkinkan (Soulange et al. 2009). Pemanfaatan kultur jaringan sebagai perbanyakan bibit memiliki beberapa kelebihan daripada dengan cara konvensional. Kelebihan kultur 8 jaringan meliputi faktor perbanyakan tinggi, tidak tergantung musim, bahan tanam yang digunakan sedikit, tanaman yang dihasilkan bebas dari penyakit dan tidak membutuhkan tempat yang luas untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak (Sukmadjaja dan Mariska 2003). Taskin et al. (2013) menambahkan bahwa kultur jaringan meristem digunakan untuk produksi tanaman bebas virus. Menurut Neumann et al. (2009), perbanyakan secara kultur jaringan dapat menjadi pilihan jika menginginkan perbanyakan tanaman sepanjang tahun (tidak tergantung cuaca), menghindari penyakit, tanaman dengan sifat genetic yang sulit dikembangkan, tanaman bebas pathogen dan perbanyakan secara cepat. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan merupakan alternatif yang tepat. Kultur jaringan adalah penanaman bagian tanaman dalam media buatan dan lingkungan terkendali sehingga menjadi tanaman sempurna. 2. Kultur Jaringan Kultur jaringan didefinisikan sebagai suatu metode mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma sel, sekelompok sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya dalam media yang sesuai dan kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dikembangkan berdasarkan teori sel yang dikembangkan oleh Schleiden dan Schwan yaitu totipotensi. Totipotensi sel adalah suatu kemampuan sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu sempurna jika ditempatkan pada suatu lingkungan yang bagi pertumbuhannya dan lingkungan yang terkendali (Suliansyah 2013). Kultur sel memiliki manfaat antara lain lingkungan dapat dikontrol, bebas dari mikroorganisme dan serangga yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder, dapat memilih kultivar dengan produksi metabolit sekunder tertinggi serta pertumbuhan tanaman dapat terkontrol (Mulabagal dan Tsay 2004). Singh dan Satty (2011) melaporkan penggantian metode konvensional dengan kultur jaringan dapat meningkatkan produktivitas tanaman pada area yang sama. Sebelum penggantian metode, pisang di India 9 hanya mempunyai pasar ekspor 1%. Setelah menggunakan kultur jaringan, produktivitas tanaman per areal meningkat dan kemampuan untuk mengekspor semakin meningkat. Hasil perbanyakan Curcuma xanthorrhiza dengan kultur jaringan dan konvensional berbeda secara signifikan. Tanaman temulawak hasil kultur jaringan mempunyai tinggi, jumlah daun, lebar daun, berat rimpang lebih tinggi dibandingkan dengan cara konvesional. Berat rimpang temulawak hasil kultur jaringan yaitu 76 gram sedangkan berat rimpang temulawak dengan konvensional sekitar 52,9 gram (Yusuf et al. 2007). Keberhasilan teknik kultur jaringan dapat dipengaruhi beberapa hal salah satunya zat pengatur tumbuh. C. Penambahan ZPT Dalam Kultur Jaringan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) ditambahkan dalam media kultur jaringan untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik. ZPT yang banyak digunakan yaitu kelompok auksin, sitokinin dan giberelin. Auksin digunakan untuk pembelahan sel dan diferensiasi akar. Selain itu, auksin menyebabkan perpanjangan batang, internode, apical dominan, absisi. Jenis auksin yang sering digunakan yaitu IBA, NAA, NOA, 2,4,5-T, p-CPA dan 2,4 D. IBA dan NAA digunakan untuk perakaran dan berinteraksi dengan sitokinin untuk prolimerasi tunas. Selain auksin, ZPT yang sering digunakan adalah sitokinin. Sitokinin berperan untuk pembelahan sel, dominansi apical dan diferensiasi tunas. Jenis sitokinin yang sering digunakan yaiu BAP, 2-ip dan kinetin (Abbas 2011). Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan tergantung pada jenis tanaman dan tujuan kegiatan. Penggunaan sitokinin umumnya untuk pembentukan tunas. Pembentukan akar dapat dirangsang dengan pemberian auksin. Kombinasi antara kedua ZPT ini dapat mengarah ke proses morfogenesis (Lestari 2011). Hasil penelitian Mohajer el al. (2012) menunjukkan bahwa untuk mendapatkan jumlah tunas terbanyak dapat dipropagasi dengan mengoptimalisasi kombinasi auksin dan sitokinin pada media selama 3-4 minggu. 1. BAP Salah satu jenis sitokinin yang sering digunakan yaitu BAP (6benzylaminopurine). Hasil penelitian Marlin (2005) menunjukkan bahwa 10 peningkatan pemberian taraf konsentrasi sitokinin (BAP) ke dalam media kultur akan mempercepat pertumbuhan tunas. Pertumbuhan yang dipacu oleh BAP mencakup pembelahan dan pembesaran sel yang lebih cepat. BAP 2 mg/l merupakan konsentrasi yang efektif untuk memperoleh jumlah tunas nanas yang lebih banyak (Al-Saif et al. 2011). Hasil ini didukung oleh Gomathy et al. (2014) bahwa pemberian BAP 2 mg/l pada media MS menghasilkan tunas Curcuma longa terbanyak yaitu 5,28 tunas. Seyyedyousefi et al. (2013) menyatakan media MS yang dicampurkan dengan BAP 2,5 mg/l menghasilkan panjang tunas terpendek yaitu 3,09 cm). Peningkatan konsentrasi BAP dapat menurunkan panjang tunas akibat dominansi apical. Namun, Shabbir et al. (2009) menemukan bahwa kisaran konsentrasi BAP yang sesuai untuk multiplikasi tunas in vitro adalah 0,5-2,5 mg/l. 2. NAA NAA merupakan auksin sintetik yang tidak mengalami oksidasi enzimatik seperti IAA (Indole-3 Asetic Acid). NAA dapat diberikan pada medium kultur dalam konsentrasi rendah yaitu antara 0,1-2,0 mg/l (Zurkarnain 2009). Ezeibekwe et al. (2009) menyatakan bahwa penambahan NAA 0,5 mg/l menghasilkan rata-rata berat segar tanaman Dioscorea rotundata tertinggi yaitu 0,55 gram. Hasil penelitian Al-Maliki dan Elmeer (2009) menemukan bahwa penambahan NAA 0,5-2,0 mg/l pada media menyebabkan tingkat pembentukan akar menjadi rendah. Penambahan NAA sebesar 0,1 mg/l mampu menghasilkan jumlah tunas terbanyak (12,47 tunas). Pada konsentrasi NAA 10 mg/l menghasilkan panjang tunas tertinggi (Saetiew 2011). Sebaliknya, penambahan 1 mg/l NAA dapat meningkatkan berat segar tanaman, jumlah daun dan akar tertinggi serta berat kering tanaman Acacia (Negahdar et al 2012). Hal ini didukung hasil penelitian Sobardini et al. (2006) justru penambahan NAA 0,01 mg/l dan 1 mg/l cenderung menurunkan jumlah tunas. Namun, pemberian NAA 0,1 mg/l yang dikombinasikan dengan 1 mg/l BAP menghasilkan jumlah tunas nilam tertinggi mencapai 61 tunas. Pemberian auksin tanpa sitokinin pada eksplan mata tunas menghasilkan 11 jumlah tunas yang relatif lebih rendah daripada jumlah tunas yang dihasilkan dengan kombinasi keduanya. Kombinasi BAP dan NAA dalam media akan menginduksi kallus yang rapat pada eksplan daun transgenik. Penambahan BAP 0,1 mg/l dan peningkatan konsentrasi NAA (0,5-2,0 mg/l) menghasilkan kalus (Mohammad et al. 2014). Penambahan BAP 7,5 mg/l dan NAA 0,5 mg/l menunjukkan jumlah tunas mencapai 6,25 tunas per eksplan pada 30 hari setelah penanaman (Al-Amin et al 2009). D. Hipotesis Penambahan BAP dan NAA yang tepat dapat meningkatkan multiplikasi temulawak secara in vitro.