BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati berupa ratusan jenis tanaman obat dan telah banyak dimanfaatkan dalam proses penyembuhan berbagai penyakit. Namun sampai sekarang baru sejumlah kecil obat tradisional yang dapat dibuktikan manfaatnya (Sudewo, 2004; Tjokronegoro, 1992). Salah satu tumbuhan yang memiliki antioksidan tinggi berasal dari spesies zingiberaceae, yaitu Curcuma mangga (Temu Mangga). Senyawa fenolik pada ekstrak etanol temu mangga mampu menginduksi aktivitas glutation-Stransverase (GST) yaitu suatu enzim yang berperan dalam proses detoksifikasi senyaw a-senyawa asing di dalam tubuh, dan mampu menekan terjadinya stres oksidatif (Tedjo, dkk., 2005). Temu mangga merupakan salah satu dari banyak jenis temu-temuan yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan (Hadad, 2001). Rimpang dan daun temu mangga mengandung saponin, flavonoid dan polifenol juga mengandung antioksidan alamiah, yaitu kurkuminoid, minyak atsiri, tanin, amilum, gula dan damar (Hutapea,1993; Sudewo, 2004). Minyak atsiri temu mangga adalah golongan monoterpen hidrokarbon, terdiri dari 4 komponen utama yang teridentifikasi sebagai mirsen (78,6%), β-osimen (5,1%), β-pinen (3,7%), dan αpinen (2,9%) (Wong, et al.,1999), dan senyawa yang memberikan aroma seperti mangga adalah δ-3-karen dan (Z)-β-osimen (Hernani dan Suhirman, 2001). Rimpang temu mangga berkhasiat untuk mengecilkan rahim dan untuk penambah nafsu makan (Hutapea, 1993), mengatasi nyeri lambung dan menghambat 61 Universitas Sumatera Utara pertumbuhan sel kanker (Sudewo, 2004). Kurkumin merupakan komponen aktif sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas dan mencegah terjadinya stres oksidatif (Rosidi, dkk., 2013). Kurkumin dapat mencegah kerusakan ginjal pada tikus yang diinduksi parasetamol (Cekmen, dkk., 2009). Tumbuhan Curcuma longa terbukti dapat digunakan sebagai nefroprotektif pada ginjal mencit yang telah diinduksi paracetamol (Khorshandi, 2008). Ginjal berfungsi vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dengan mengekskresikan bahan-bahan terlarut dan air (Price, 1995). Menurut World Health Organization (WHO), secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik (Ratnawati, 2014). Tingginya prevalensi gagal ginjal kronis juga terjadi di Indonesia, karena angka ini dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Jumlah penderita gagal ginjal kronis di Indonesia pada tahun 2011 tercatat 22.304 dengan 68,1% kasus baru dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 28.782 dengan 68,8% kasus baru (PERNEEFRI, 2012). Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevelensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 0,2%. Prevalensi kelompok umur ≥ 75 tahun dengan 0,6% lebih tinggi dari kelompok umur lainnya. Gagal ginjal akut menjadi kurang lebih 2% dari seluruh kejadian keracunan parasetamol dan 10% dari pasien dengan keracunan parah. Pada dosis terapi, keracunan parasetamol di ginjal terjadi setelah habisnya glutation (akibat konsumsi alkohol kronis, kelaparan atau puasa) atau akibat konsumsi obat yang menstimulasi enzim oksidase mikrosomal P-450 (misalnya obat antikonvulsan). Gagal ginjal akut akibat parasetamol terjadi dalam bentuk Acute Tubular Necrosis 62 Universitas Sumatera Utara (ATN). ATN dapat terjadi secara tunggal atau bersamaan dengan nekrosis hati (Blakely, 1995). Parasetamol merupakan obat bebas dan sangat mudah didapatkan, sehingga risiko penyalahgunaan parasetamol menjadi lebih besar. Pada tahun 2006, setidaknya di Indonesia terdapat 305 jenis obat yang mengandung parasetamol sebagai salah satu komposisinya, data ini sangat jauh meningkat dibanding pada tahun 2002 yang hanya 60 jenis obat saja. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan, di Indonesia jumlah kasus keracunan akibat parasetamol sejak tahun 2002-2005 yang dilaporkan ke sentra informasi keracunan BPOM adalah sebanyak 201 kasus dengan 175 kasus diantaranya merupakan upaya bunuh diri (Mayasari, 2007). Parasetamol dimetabolisme di hepar oleh enzim mikrosomal dan dimetabolisme secara parsial. Hasil metabolismenya berupa asetaminofen sulfat dan glukoronat, namun kurang dari 5% diekskresikan berupa metabolit aktif yaitu N-acetyl-p-benzoquinone (NAPQI) yang bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik (Katzung, 2006). Pada pemakaian dosis yang tepat hepar dapat mengubah NAPQI menjadi zat yang tidak toksik terhadap hepatosit maupun sel tubuh lain. Keterbatasan kemampuan hepar pada kasus over dosis parasetamol, baik akut maupun kronis, dapat menyebabkan penimbunan NAPQI di hepar yang merusak hepatosit dan sel-sel lain dalam tubuh karena terlepas ke dalam sirkulasi darah (Roberts, 2007). NAPQI menyebabkan kerusakan tubular yang ditandai meningkatnya kadar kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) yang pada akhirnya dapat menimbulkan kegagalan ginjal (Ikawati, 2010). Enzim mikrosom P-450 yang terlibat ditemukan di hati dan ginjal, meskipun agak berbeda di setiap 63 Universitas Sumatera Utara organ. Tingkat keparahan kerusakan ginjal dan kuantitas dari reaksi di jaringan dapat berkurang secara signifikan bila inhibitor dari sitokrom P-450 tersedia (Mazer dan Perone, 2008). Beberapa peneliti sebelumnya telah menguji aktivitas nefroprotektif dengan tumbuhan yang lain seperti rimpang kunyit dan temulawak (Sanubari, 2013), peneliti lain sebelumnya juga sudah membuat ekstrak etanol temu mangga tetapi sejauh ini belum ada penelitian tentang aktivitas nefroprotektif dari temu mangga (Curcuma mangga Val) tersebut, sehingga peneliti ingin melanjutkan penelitian tentang aktivitas nefroprotektif dari ekstrak etanol temu mangga (Curcuma mangga Val) terhadap mecit jantan yang diinduksi parasetamol dengan melihat parameter fungsi ginjal yaitu kreatinin dan histologi ginjal. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian, maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut: a. Apakah EETM memiliki aktivitas neproprotektif pada mencit jantan yang diinduksi parasetamol? b. Apakah peningkatan dosis EETM dapat meningkatkan aktivitas nefroprotektif pada mencit jantan yang diinduksi parasetamol? 1.3 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: a. EETM memiliki aktivitas nefroprotektif b. Peningkatan dosis EETM dapat meningkatkan aktivitas neproprotektif. 64 Universitas Sumatera Utara 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: a. Aktivitas nefroprotektif EETM terhadap mencit jantan yang diinduksi parasetamol. b. Peningkatkan dosis EETM dapat meningkatkan aktivitas nefroprotektif 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah: a. Pengembangan temu mangga menjadi salah satu sediaan herbal terstandar dengan aktivitas nefroprotektif. b. Menambah inventaris tanaman obat yang berkhasiat sebagai nefroprotektif. 1.6 Kerangka Pikir Penelitian Subjek dalam penelitian adalah mencit jantan. Untuk menginduksi kerusakan ginjal diberikan parasetamol dengan dosis 1,05 g/kg BB, terdapat 6 variabel bebas yaitu EETM dosis 100; 200; dan 400 mg/kg BB; Na CMC 0,5% sebagai kontrol pembawa, Na CMC 0,5% yang diinduksi parasetamol sebagai kontrol negatif dan Curcuma dengan dosis 58 mg/kg bb sebagai kontrol positif. Variable terikat dalam penelitian adalah kreatinin dan histopatologi ginjal pada mencit jantan (Gambar 1.1). 65 Universitas Sumatera Utara Variabel bebas Variabel terikat Parameter Simplisia temu mangga Ekstrak etanol temu mangga Ekstrak etanol temu mangga dosis 100 mg/kg bb Ekstrak etanol temu mangga dosis 200 mg/kg bb Ekstrak etanol temu mangga dosis 400 mg/kg bb Mencit diinduksi parasetamol 1,05 g/kg bb Meningkatkan NAPQI (elektrofilik) Terjadi Nefrotoksik Pengujian Aktivitas Nefroprotektif Serum Kreatinin Histopatologi Organ Ginjal Gambar 1.1 Kerangka Pikir 66 Universitas Sumatera Utara