PENDAHULUAN Latar Belakang Spons yang hidup di laut mempunyai metabolit sekunder yang aktif secara hayati. Di antara organisme yang hidup di laut, spons mengandung komponen bioaktif terbesar (Mayer dan Lehmann 2000). Beberapa komponen bioaktif yang ada pada spons meliputi inhibitor enzim, inhibitor pembelahan sel, antiviral, antifungi, antiimflamatori, antitumor, dan sitotoksik (Lee et al. 2001). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang berasosiasi dengan spons juga menghasilkan komponen bioaktif (Webster et al. 2001). Hal ini mungkin karena jumlah koloni bakteri dan cyanobacteria yang ada di spons, terutama Aplysina aerophoba, dapat mencapai 40% dari biomasa spons (Ahn et al. 2003). Mikroorganisme tersebut membentuk suatu simbiotik dengan spons baik di dalam inti sel (simbiosis intranukleus), di dalam sitoplasama sel tubuh spons (simbiosis intraseluler), di sisi dalam tubuh spons (endosimbiosis ekstraseluler), dan di bagian luar tubuh spons (eksosimbiosis ekstraseluler). Hubungan simbiotik ini bisa terjadi mengingat spons merupakan hewan yang memakan makanan dengan cara filter feeder, dalam hal ini mikroorganisme dapat menjadi nutrisi bagi spons. Metabolit yang dihasilkan oleh spons merupakan hasil biosintesis simbionnya sehingga dapat dimungkinkan bahwa spons mengandung komponen bioaktif yang sama dengan simbionnya (Lee et al. 2001). Sebagai contoh Micrococcus sp. menghasilkan komponen diketopiperazin, yang sebelumnya telah dilaporkan dihasilkan oleh spons inangnya yaitu Tedania ignis. Simbion bakteri yang lain, yaitu Vibrio sp. memproduksi bifenil eter bromina, yang juga dihasilkan oleh inangnya yaitu Dysidea sp. Simbiotik Vibrio sp. menghasilkan komponen bioaktif berupa peptida anti Bacillus yang juga dihasilkan oleh inangnya yaitu ekstrak spons Hyatella sp. (Stierle et al. 1988; Elyakov et al. 1991; Oclarit et al. 1994, diacu dalam Lee et al. 2001). Flowers et al. (1998) melaporkan bahwa simbion spons Oscillatoria spongeliae, mengandung senyawa diketopiperazin klorina yang juga dihasilkan oleh inangnya yaitu Dysidea herbacea . Foodborne disease yang diperantarai oleh mikroorganisme patogen atau toksin mikroba merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Penyakit ini oleh WHO didefinisikan sebagai penyakit infeksi atau keracunan toksin alami yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau minuman. Di Amerika, telah diestimasi bahwa terdapat berjuta-juta mikroorganisme penyebab foodborne disease, beberapa ribu di antaranya menyebabkan kematian, terutama pada anak- 2 anak dibawah 5 tahun. Penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi terkontaminasi oleh bakteri patogen dan toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen (WHO 1997, diacu dalam Johnson 2003). Penyakit tersebut diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu infeksi dalam saluran pencernaan dan keracunan akibat mengkonsumsi racun yang dihasilkan mikroba patogen dalam makanan. Bakteri patogen dalam menjalankan aksinya menggunakan beberapa cara, yang dikenal dengan istilah faktor virulensi, di antaranya dengan mensekresikan protease ke dalam inangnya. Mengingat pentingnya protease dalam mekanisme terjadinya penyakit maka dalam dasawarsa terakhir ini perhatian terhadap protease sebagai target senyawa obat bagi penyakit asal bakteri (seperti pneumonia, kolera, tifus, gonorrhoe), virus (seperti influenza dan HIV), dan malaria serta kanker, bahkan penyakit degeneratif seperti Alzheimer meningkat pesat (Suhartono 2000). Saat ini obat-obatan yang beberapa di antaranya mempunyai mekanisme inhibitor protease telah tersedia luas di pasaran, seperti Elafin (inhibitor elastase dari kulit manusia), antileuko protease, inhibitor serum ayam, dan inhibitor protease alkalin dari Streptomyces. Indonesia mempunyai biodiversitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi, salah satunya adalah spons. Hampir di tiap wilayah perairan Indonesia memiliki spons dengan tingkat penutupan dan keragaman yang berbeda. Pulau Panggang di Kepulauan Seribu, merupakan salah satu pulau yang perairannya masih cukup baik. Hal ini ditandai dengan penutupan karangnya yang termasuk kategori sedang sampai baik (34,72-62,86 %) dan indeks keanekaragaman yang rendah hingga tinggi yaitu berkisar 0,2-2,81 (Mahaza 2003). Oleh karena itu dari perairan ini, diharapkan akan didapatkan suatu senyawa yang dapat menghambat aktivitas protease dari bakteri patogen. Data di atas menunjukkan menunjukkan bahwa sudah cukup banyak simbion yang teridentifikasi positif menghasilkan komponen bioaktif yang sama dengan inangnya, namun belum pernah dilaporkan tentang inhibitor protease dari simbion spons yang berupa protein, meskipun telah dilaporkan bahwa spons menghasilkan inhibitor protease. Dengan demikian penelitian ini dilakukan untuk mencari simbion spons yang potensial sebagai penghasil inhibitor terhadap protease bakteri patogen, sehingga diharapkan akan dapat memutus salah satu jalan bagi bakteri patogen untuk menyebabkan penyakit. 3 Tujuan Tujuan penelitian ini meliputi : (1). memilah mikroba yang berasosiasi dengan spons sebagai penghasil inhibitor protease; (2). mengoptimasi kondisi produksi inhibitor protease; (3). memurnikan inhibitor protease dari mikroba yang berasosiasi dengan spons; (4). mengkarakterisasi inhibitor protease yang dihasilkan. Luaran Luaran penelitian ini adalah mendapatkan mikroba yang berasosiasi dengan spons sebagai penghasil inhibitor protease, kondisi produksi yang tepat untuk menghasilkan inhibitor protease, metode yang tepat untuk memurnikan inhibitor protease, dan juga informasi mengenai karakteristik inhibitor enzim yang mempunyai aktivitas terhadap protease tertentu. TINJAUAN PUSTAKA Keterlibatan Protease dalam Mekanisme Patogenisitas Protease yang dihasilkan oleh mikroorganisme terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam mekanisme patogenesis baik pada manusia, hewan, maupun tanaman. Beberapa bakteri yang menghasilkan protease penyebab penyakit, diantaranya Clostridium, Staphylococcus spp, Strepcoccus spp. dan Listeria spp. Clostridium memproduksi protease penyebab penyakit. C. befermetans menghasilkan protease logam ekstraseluler bersifat toksin dan merupakan faktor virulensi (Hase dan Finklestein 1993). C. perfringens menghasilkan lambda toksin sebagai penyebab penyakit enteritis (Fu Jin et al. 1996). Staphylococcus menghasilkan protease ekstraseluler jenis protease logam yang bersifat toksin. Streptococcus sanguis, Ureaplasma urealyticum, Haemophillus influenza, Streptococcus pneumonia memproduksi IgA ekstraseluler yang digolongkan protease logam. Listeria monocytogenes sebagai penyebab penyakit listeriosis juga menghasilkan protease ekstraseluler (Hase dan Finklestein 1993, Johannson et al. 1999, Killian et al. 1979, Stenberg et al. 1996). Streptococcus pyogenes menghasilkan protease sistein (streptococcal pyrogenic exotoxin B, SpeB) yang merupakan faktor virulensi (Gubba et al. 2000). Bakteri gram negatif yang menghasilkan protease adalah Pseudomonas spp. dan Legionella spp. (Hase dan Finklestein 1993). P. aeruginosa bersifat patogen, yaitu menginfeksi inang dengan dengan memproduksi elastase (A dan B) yang dikarakteristik sebagai eksoenzim. Elastase merupakan protease logam yang mengandung zink, mempunyai kemampuan mendegradasi substansi hayati penting elastin, lamiarin, fibrin, kolagen manusia dan immunoglobulin. Selain itu juga terdapat protease alkalin dan elastase yang dihasilkan dalam paru-paru pasien dengan cystic fibrosis dan menyebabkan kerusakan epitel respirasi. P. aeruginosa juga menghasilkan protease IV yang merupakan faktor virulensi di kornea (Engel et al . 1998). Protease IV merupakan endoprotease (PrpL) (Wilderman et al. 2001). L. pneumophila merupakan bakteri fakultatif penyebab pneumonitis dengan mensekresikan protease logam zink netral (Hase dan Finklestein 1993). Escherichia coli jenis Enteropatogenik yang diisolasi dari penderita diare di Indonesia ditemukan menghasilkan protease serin yang aktivitasnya berkorelasi dengan tingkat infeksi yang ditimbulkan. Protease ini mampu mendegradasi musin (Budiarti dan Suhartono 1999). Protease sebagai antigen yang dihasilkan oleh bakteri ini termasuk kelompok protease serin zink (Nurhayati 2000). Protease ini 5 selain dapat mendegradasi musin, juga mampu mendegradasi laktoferin yang telah dipotong terlebih dahulu oleh tripsin (Suhardi 2004). Bakteri lain yang menghasilkan protease sebagai toksin adalah V. cholera (menghasilkan protease logam yang membutuhkan zink sebagai kofaktor dan kalsium), Aeromonas hydrophylla (protease logam), Serratia spp. (menghasilkan protease logam zink ekstraseluler yang berfungsi sebagai antiinflamatori), dan Erwinia spp. (protease logam) (Hase dan Finklestein 1993). Parasit Toxoplasma gondii menghasilkan protease logam netral yang tergantung ion kalsium. Protease ini berperan dalam degradasi membran sel inang (Song dan Nam 2003). Sementara itu Entamoeba hystolytica menghasilkan proteinase sistein yang terlibat dalam pembentukan abses pada hati (Susanto dan Supali 1999). Inhibitor dari Spons Carrol et al. (2002) menemukan dynosin A dari spons Australia yang termasuk famili Dysideideae. Komponen tersebut berperan untuk menghambat faktor kaskade VIIa dan merupakan inhibitor protease serin trombin. Inhibitor tersebut menghambat faktor VIIa dengan konstanta penghambatan (Ki) 10 8 nM dan trombin dengan konstanta penghambatan (Ki) 452 nM. Spons dari New Zealand, Tethya ingalii, mengandung protein yang aktif secara hayati yaitu inhibitor protease tethya (Tethya Protease Inhibitor, TPI), bersifat toksik terhadap sel terutama sel tumor tertentu, dengan cara melisis sel darah merah. Komponen tersebut diekstrak dengan menggunakan air (O’Keefe et al. 1997). Pada tahun 1998 peneliti yang sama menemukan protein yang berfungsi sebagai inhibitor HIV, yaitu adociavirin, yang diekstrak dengan menggunakan air (O’Keefe et al. 1998). Komponen tersebut diekstrak dari spons Adocia sp. Mekanismenya yaitu mempunyai aktivitas antisitopatik dalam sel CEMSS yang diinfeksi oleh HIV-1 dan 2 dengan nilai EC50 0,4 mM sampai > 400 nM. Potensi HIV ini tergantung pada tipe sel inang, bersifat sangat sensitif terhadap kultur makrofag dan sangat resisten terhadap sel darah putih. Spons yang hidup di laut, Aplysinella shax, menghasilkan inhibitor kitinase, yaitu psammaplin A, dengan komponen penyusunnya yaitu tirosin bromina. Komponen tersebut menghambat endokitinase dari Streptomyces dengan IC50 50 µM, menghambat kitinase B dari Serratia marcescens dengan nilai IC50 100 µM. Dengan demikian, inhibitor tersebut menghambat Serratia marcescens secara moderat (Tabudravu et al. 2002). Hori et al. (1993) menemukan inhibitor spesifik terhadap aktomyosin ATPase, yaitu mycalolida-B. Inhibitor tersebut berasal dari 6 spons yang hidup di laut. Inhibitor tersebut menghambat kontraksi yang diinduksi oleh ion Ca2+ di otot halus yang permiabel. Komponen spons laut, genus Stelletta, yaitu stellettamida-A, dilaporkan mempunyai kemampuan menghambat kontraksi yang diinduksi ion K+ dalam otot halus dengan nilai IC50 88 µM (Abe et al. 1997). Tabel 1 Spons dan inhibitor enzim yang dihasilkan Jenis sponge Jenis komponen Aktivitas biologis Batzella sp. Diskorhabdin Sitotoksik, inhibitor enzim Halichondria okadai Asam okadaic Inhibitor fosfatase Haliclona asiris Osirisin Inhibitor ATPase Cacospongia linteiformis Petrosia sp. Siklolinteinon, Sesterpen Petrosiasetilen Inhibitor NO sintase Plakinastrella sp. Asam elenat Inhibitor topoisomerase II Coscinoderma mathewsi Suvanin Inhibitor protease serin Anthoigmella cf. raromicrosclera Piridin1 Inhibitor proteinase sistein Spongosorites sp. Indol Inhibitor fosfatase Reniera sarai Irchinia sp. Polimer alkilpiridinium Heksaprenilhidrokuinon Theonella sp. Peptida Antikolinesterase Inhibitor HIV reverse transkriptase Inhibitor protease serin Xetospongia exigua Poliketida halenakuinon Sesterpen Manoalida Luffariella variabilis Inhibitor ATPase Inhibitor tirosin kinase Inhibitor fosfolipase Referensi Gunasekera et al. (1999), diacu dalam Lee et al. (2001) Bialojan dan Takai (1988) Shin et al. (1998a), diacu dalam Lee et al. (2001) D’acquisto et al. (2000) Seo et al. (1998), diacu dalam Lee et al. (2001) Juagdan et al. (1995), diacu dalam Lee et al. (2001) Kimura et al. (1998), diacu dalam Mayer dan Lehmann (2000) Matsunaga et al. (1998), diacu dalam Mayer dan Lehmann (2000) al. Capon et (1998b), diacu dalam Mayer dan Lehmann (2000) Sepcic et al. (1997) Loya et al. (1997) Nakao et al. (1998), diacu dalam Mayer dan Lehmann (2000) Haefner (2003) Haefner (2003) Tsukamoto et al. (2005) melaporkan bahwa spons laut dari genus Mycale menghasilkan inhibitor proteasom baru, yaitu secomycalolida A. tersebut mempunyai nilai IC50 11-45 µg/ml. Komponen Proteasom tersebut memainkan peranan penting untuk mendegradasi protein secara selektif dan mengatur kejadian berbagai sel termasuk pertumbuhan sel dan apoptosis. Dengan demikian inhibitor 7 proteasom mempunyai aktivitas antitumor pada berbagai sel tumor yang resisten terhadap kemoterapi konvensional. Inhibitor enzim dari jenis spons lain disajikan pada Tabel 1. Inhibitor Protease dari Mikroorganisme Serratia marcescens menghasilkan protein inhibitor protease logam yang dikenal dengan nama SmaPI. Inhibitor tersebut dihasilkan dalam jumlah kecil menunjukkan penghambatan terhadap protease logam S. marcescens yang mempunyai bobot molekul 50 kDa. Protein tersebut berlokasi di bagian periplasma sel dalam suhu pertumbuhan sel 25 membawa plasmid PSP2 o C. Rekombinan S. marcescens yang yang mengkodekan SMP dan SmaPI menghasilkan SmaPI pada suhu pertumbuhan sel 25 oC. Namun pada suhu pertumbuhan 37 oC SmaPI justru dihasilkan secara ekstraseluler. SmaPI tersebut mempunyai pI sekitar 10,0, dan merupakan protein monomer dengan bobot molekul 10.000 Dalton. SmaPI stabil dalam air rebusan selama 30 menit dan mempunyai penghambatan yang spesifik terhadap protease logam yang berasal dari S. marcescens (Kim et al. 1995). Inhibitor protease juga dihasilkan oleh Gliocladium sp. yang disebut dengan inhibitor proteinase sistein, TMC-52A-D. Berdasarkan hasil analisis spektrofotometer dan degradasi kimia menunjukkan bahwa TMC-52A-D merupakan peptida epoksisuksinil. Inhibitor tersebut kuat menghambat protease sistein, terutama katepsin L dengan IC50 pada konsentrasi 13 nM, 10 nM, dan 6 nM (Isshiki et al. 1998). Saruno et al. (1980) menemukan inhibitor nuklease dari Monascus purpureus. Adapun aktivitasnya mereduksi nuklease monascus dan nuklease P1 dengan substrat RNA atau DNA yang didenaturasi. Model aksi inhibitor itu adalah penghambatan non kompetitif sehingga dinamakan inhibitor NMP. Murao et al. (1982) melakukan isolasi inhibitor proteinase logam yang dihasilkan oleh mikroba yaitu Streptomyces rishiriensis. Inhibitor tersebut dikenal dengan nama Fungal Metallo-Proteinase Inhibitor (FMPI). Inhibitor tersebut menunjukkan aktivitas yang baik pada proteinase logam dari Aspergillus oryzae dan mempunyai aktivitas sedang terhadap mikroba lainnya. FMPI mempunyai bobot molekul yang rendah dan stabil pada pH alkali (pH > 11). Inhibitor protease juga telah ditemukan dari mikroba asal laut seperti yang telah dilaporkan oleh Imada et al. (1985a,b,c) dan Imada (2000). Pencarian inhibitor dari mikroba laut diawali dengan pemilahan bakteri penghasil inhibitor protease menggunakan lapisan ganda kasein. Seluruh strain penghasil inhibitor bersifat 8 aerob, mempunyai flagella, gram negatif, mempunyai kandungan G+C yang rendah pada DNA-nya. Mikroba tersebut membutuhkan NaCl untuk pertumbuhannya. Seluruh strain menghidrolisis kasein, DNA, gelatin, dan pati. Berdasarkan hasil identifikasi menunjukkan bahwa mikroba tersebut adalah Alteromonas sp.. Strain B-10-31 adalah untuk membedakan dari 2 strain lainnya (Imada et al, 1985a; Imada, 2000). Imada et al. (1985b) dan Imada (2000) menemukan marinostatin, suatu inhibitor yang dihasilkan dari Alteromonas sp. B-10-31. Inhibitor tersebut dihasilkan secara optimal bila bakteri penghasilnya ditumbuhkan dalam medium yang optimum. Sumber nitrogen dan karbon yang optimum untuk tujuan tersebut adalah 0,6 % polipepton dan 0,05 % glukosa. Produksi maksimum dihasilkan pada pH 6 dalam air laut, suhu 20 oC dan digoyang 24–33 jam. Jenis inhibitor lain yang dihasilkan oleh Alteromonas sp. adalah jenis monostatin yang mempunyai bobot molekul tinggi yaitu 20.000 Dalton. Inhibitor tersebut termasuk glikoprotein, stabil pada suhu sampai 100 oC selama inkubasi 30 menit dengan kehilangan aktivitas 20 %, juga stabil pada pH 2–12. Aktivitasnya dihambat oleh ion Cu2+ dan Fe2+ hingga tidak ada aktivitasnya. Monostatin mempunyai aktivitas penghambatan terhadap protein tiol, seperti papain dan Ficin (Imada et al. 1985c). Kobayashi et al. (2003) melaporkan Pseudoalteromonas sagamiensis menghasilkan inhibitor protease yaitu marinostatin, monostatin, dan leupeptin. Perbedaan ketiga nama menunjukkan perbedaan dalam struktur dan sifat-sifatnya. Inhibitor protease, microviridin J, yang dihasilkan oleh cyanobacter Microcystis strain UWOCC, mempunyai kemampuan untuk menyebabkan lethal molting disruptions pada Daphnia pulicaria. Inhibitor tersebut menghambat enzim trypsin-like daphnia. Jadi ketika microviridin J ditambahkan ke kultur daphnia maka akan terjadi pencernaan yang tidak sempurna sehingga akan menyebabkan berkurangnya asam amino esensial (Rohrlack et al. 2004). Pseudomonas aeruginosa menghasilkan protease alkalin (serralisin) inhibitor yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap protease zink yang dihasilkan oleh beberapa bakteri gram negatif. Inhibitor tersebut memiliki bobot molekul 11,5 kDa. Fungsi dari inhibitor ini adalah untuk melindungi bakteri dari proteolisis selama sekresi serralisin. Senyawa itu diproduksi sebagai prekursor dengan 125 asam amino dengan urutan signal N-terminal. Sekuen ini akan dihilangkan sebanyak 103-106 residu ketika terjadi maturasi inhibitor (Feltzer et al. 2000). Morris et al. (2002) melaporkan pula inhibitor protease yang dihasilkan oleh Toxoplasma gondii yang berfungsi untuk melindungi parasit dari enzim proteolitik dalam saluran pencernaan yaitu tripsin dan kimotripsin. Inhibitor protease tersebut 9 mempunyai bobot molekul 43 dan 41 kDa dengan nama TgPI-1 dan termasuk ke dalam golongan/famili SERPIN, Kunitz dan Kazal. Streptomyces sp. menghasilkan berbagai inhibitor enzim seperti inhibitor α-amilase, peptide dan protein protease inhibitor. Komponen-komponen tersebut mempunyai bobot molekul kurang dari 10 kDa seperti tentamistat, sampai lebih dari 100 kDa seperti ß-galaktosidase. Streptomyces lividans dan Streptomyces longisporus mensekresikan protein dengan bobot molekul sekitar 10 kDa. Inhibitor ini bersifat spesifik terhadap trypsin-like enzyme (Strickler et al. 1992). YM-254890 merupakan dipeptida siklik yang diisolasi dari Chromohalobacter sp., merupakan inhibitor yang potensial terhadap agregasi platelet dengan nilai IC50 dibawah 0,4 µM. Inhibitor tersebut juga mempunyai sifat antitrombotik dan trombilisis. Adapun mekanismenya adalah memblok Gαq/11-yang merupakan pasangan dari reseptor ADP P2Y1 yang diperantarai oleh mobilisasi Ca2+ (Takasaki et al. 2004). Hubungan antara Spons dan Bakteri yang Bersimbiosis Interaksi antara organisme yang hidup di lingkungan akuatik sangat beragam. Peran penting pada interaksi tersebut dimainkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme banyak ditemukan tumbuh secara komensal di permukaan juga di dalam berbagai binatang akuatik, beberapa diantaranya terdapat di organ pencernaannya dimana sering terdapat sejumlah bakteri (Rheinhemer 1991). Mikroorganisme dimakan dan digunakan sebagai makanan oleh sejumlah hewan yang hidup, baik di sedimen maupun di perairan sehingga merupakan faktor nutrisi. Beberapa hewan dapat hidup dengan sejumlah tertentu bakteri maupun fungi. Sebagai contoh, lubang berpori pada spons mengandung sejumlah bakteri (Bertrand, Vacelet 1971, diacu dalam Reinhemer 1991). Adapun jumlah mikroorganisme simbion pada spons sangat bervariasi tergantung jenis sponsnya, pada spons tertentu jumlahnya bisa mencapai 60% dari biomasa spons (Wilkinson 1978c, diacu dalam Lee et al. 2001). Spons Mediterania Aplysina aerophoba mengandung mikroorganisme dengan jumlah hingga mencapai 40% biomasa sponge tersebut (Friedrich et al. 1999, diacu dalam Proksch et al. 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada spons Microcionia prolifera terdapat sejumlah bakteri, seperti genus Pseudomonas, Aeromonas, Vibrio, Achromobacter, Flavobacterium, dan Corynebacterium, serta Micrococcus. Jenis bakteri tersebut biasa terdapat di perairan sekitarnya ( Madri et al. 1980, diacu dalam Rheinhemer 1991). 10 Disisi lain banyak invertebrata yang merupakan filter feeder dan mengkonsumsi mikroorganisme melalui fagositosis Hubungan antara invertebrata dan mikroorganisme laut yaitu menyediakan makanan atau yang hidup baik sementara maupun permanen merupakan hal yang kompleks ( Wilkinson 1992; Steinert et al. 2000; Hentschel et al. 2000, diacu dalam Proksch et al. 2002). Mikroorganisme tidak hanya ada sebagai makanan tetapi juga terlibat dalam biosintesis produk alami pada spons. Sebagai contoh spons Halichondria sp. seperti H. okadai dan H. melanodocia menghasilkan asam okadoat. Ternyata senyawa ini dihasilkan oleh dinoflagellata dari genus Prorocentrum (Murakami et al. 1982, diacu dalam Proksch et al. 2002). Keberadaan simbion pada spons berbeda-beda, ada yang bagian luar tubuh spons disebut dengan eksosimbiosis ekstraseluler, diluar sel tetapi ada disisi dalam spons disebut dengan endosimbiosis ekstraseluler, di dalam sitoplasma sel tubuh spons disebut dengan simbiosis intraseluler, dan ada pula yang di dalam inti sel disebut dengan simbiosis intranukleus(Lee et al. 2001). Lokasi simbion pada spons dapat dilihat pada Gambar 1. amubosit mikroorgan isme mikroorganisme mikroorga nisme nukleus pori spikula mesohil choanosit Eksosimbiosis ekstraseluler Gambar 1 Endosimbiosis ekstraseluler Simbiosis intraseluler Simbiosis intranukleus Diagram hubungan simbiotik antara spons dan mikroorganisme (Lee et al. 2001). Mikroorganisme yang Bersimbiose dengan Spons Para peneliti melaporkan bahwa simbion mikrobial memainkan peranan dalam mempertahankan spons inangnya. Spons yang hidup di laut menghasilkan berbagai produk alami dan metabolit sekunder bioaktif. Komponen ini juga ditunjukkan oleh bakteri yang berasosiasi dengan spons. Vibrio spp. berasosiasi dengan spons Dysidea sp. yang menunjukkan sifat ester tetrabromodifenil yang bersifat sitotoksik dan antibakteri (Eyakov et al. 1991, diacu dalam Webster et al. 2001). Micrococcus sp. yang berasosiasi dengan spons Tedania ignis 11 menghasilkan komponen diketopiperazin (Stierle et al. 1988, diacu dalam Webster et al. 2001). Informasi terbaru bahwa δ-proteobacterial yang merupakan simbion Theonella swinhoei menghasilkan peptida yang bersifat sebagai antifungal yaitu theopaluamida (Schmidt 2000, diacu dalam Webster et al. 2001). Webster et al. (2001) menemukan bakteri yang bersimbiose dengan spons adalah actinobacteria, sub divisi β dan γ protobacteria, cytophaga/flavobacterium, green sulfur bacteria, green nonsulfur bacteria, dan planktomisetes. Keterlibatan mikroorganisme dalam sintesis produk alami baru-baru ini ditunjukkan oleh spons Dysidea herbacea dan Theonella swinhoei. Spesimen dari Dysidea herbacea mengandung seskuiterpen spirodisin dan herbadisidolida (Unson dan Faulkner 1993, diacu dalam Proksch et al. 2002). Jaringan spons tersebut diisi dengan cyanobacteria Oscillatoria spongeliae (Berthold et al. 1982, diacu dalam Proksch et al. 2002) hingga mencapai 50% dari volume sel (Bewley dan Faulkner 1998, diacu dalam Proksch et al. 2002). Pekerjaan yang dilakukan untuk membuktikan bahwa simbion terlibat dalam sintesis produk alami di spons yaitu pertama-tama jaringan spons dihancurkan dan dilakukan fiksasi terhadap sel yang terpisah menggunakan formadehida dan glutaraldehida. Sel cyanobacteria dipisahkan dari sel lainnya dengan alat penyaring sel menggunakan fluorescens klorofil sebagai pendeteksi. Hasilnya didapatkan komponen utamanya adalah turunan 13-demetilisodisidenin. Sementara itu yang tidak berfluorescens terdiri atas spons dan bakteri, mengandung spirodisin dan herbadisidolida (Unson dan Faulkner 1993, diacu dalam Proksch et al. 2002). Spons A. aerophoba kaya akan bakteri. Berdasarkan hasil analisis, 40% biomasa spons merupakan bakteri dan cyanobacteria. Namun kurang dari 1% yang dapat dikultur. Bakteri pada spons tersebut bersifat stabil. Hal ini dibuktikan ketika spons tersebut ditransplantasi, ternyata komunitas bakteri yang ada sangat mirip dengan asalnya (Fridrich et al. 2001, diacu dalam Proksch et al. 2002). Kemiripan komunitas bakteri antara A. aerophoba dan A. cavernicola berkorelasi dengan bromina kemiripan dalam profil produk alami yang dihasilkan keduanya, yaitu alkaloid sebagai komponen utamanya (Ebel et al. 1997, diacu dalam Proksch et al. 2002). Jenis-jenis mikroorganisme lain yang merupakan simbion pada spons dapat dilihat pada Tabel 2. 12 Tabel 2 Spons dan mikroorganisme simbion penghasil produk alami Spons Mikroorganisme simbion Produk alami Dysidea sp. Vibrio sp. Bifenil eter bromina Halicondria okadai Alteromonas sp. Alteramida A Halicondria panicea Antarticum vesiculatum Senyawa neuroaktif Halicondria panicea Psychroserpens burtonensis Senyawa neuroaktif Homophymia sp. Pseudomonas sp. Senyawa antimikroba Subere creba Pseudomonas sp. Kuinolon Tedania ignis Microccus sp. Diketopiperazin Xetospongia sp. Microccus luteus Senyawa antimikroba Sumber: Lee et al. (2001) Penggolongan Inhibitor Enzim Inhibitor enzim dapat digolongkan berdasarkan mekanisme kerjanya dan spesifisitas kerjanya. Penggolongan inhibitor enzim berdasarkan mekanisme kerjanya Berdasarkan mekanisme kerjanya inhibitor enzim dibagi atas inhibitor kompetitif, non kompetitif, unkompetitif dan penghambatan oleh substrat. Inhibitor kompetitif akan menyebabkan berubahnya nilai Km, yang nilainya menjadi lebih besar dari semula, namun tidak mengubah nilai kecepatan maksimumnya (Vmaks). Nilai Km merupakan nilai yang menunjukkan penggunaan substrat untuk mencapai setengah kecepatan maksimum. Jenis inhibitor ini mempunyai struktur yang serupa dengan substrat, sehingga pengaruh aktivitas ini dapat dikurangi dengan cara meningkatkan konsentrasi substrat. Biasanya inhibitor ini berikatan pada bagian aktif enzim. Ikatan yang terjadi meliputi ikatan kovalen, elektrostatik, ikatan hidrogen, vander walls, atau interaksi hidrofobik. Inhibitor non kompetitif akan menyebabkan turunnya nilai kecepatan maksimum (Vmaks), namun tidak mengubah nilai Km. Inhibitor jenis ini tidak mempunyai struktur yang sama dengan substrat sehingga tidak akan dapat diturunkan aktivitasnya melalui peningkatan konsentrasi substrat. Pengikatan terhadap enzim terjadi di luar sisi aktifnya. Inhibitor unkompetitif merupakan senyawa yang berikatan secara reversibel pada molekul kompleks enzim substrat, membentuk kompleks enzimsubstrat-inhibitor (ESI) yang bersifat inaktif, artinya tidak dapat menghasilkan produk. Inhibitor tidak berikatan dengan enzim bebas. Inhibitor enzim jenis ini akan mengubah nilai Km dan Vmaks. 13 Pada beberapa enzim, sering terjadi penghambatan unkompetitif, yaitu inhibitornya adalah substrat pada tingkat konsentrasi yang tinggi. Pada keadaan ini, molekul substrat berinteraksi dengan senyawa komplek ES membentuk ESS yang bersifat tidak produktif, artinya tidak dapat membentuk produk yang dikehendaki. Penggolongan inhibitor enzim berdasarkan spesifisitas kerjanya Berdasarkan spesifisitas kerjanya, inhibitor enzim dibagi atas inhibitor enzim non spesifik dan spesifik. Inhibitor non spesifik meliputi α-macroglobulin dan peptida aldehida, sedangkan yang spesifik meliputi inhibitor protease serin, protease sistein, protease logam, dan protease aspartat. Inhibitor non spesifik α-macroglobulin mempunyai bobot molekul yang tinggi dan dapat menghambat kebanyakan protease. Inhibitor ini mempunyai kemampuan menghambat enzim dengan cara memerangkap proteinase secara fisik. Bersifat irreversibel. Mempunyai kemampuan menghambat substrat berukuran kecil, namun kebanyakan menghambat protein dengan ukuran > 30 kDa. Inhibitor jenis peptida aldehida terdiri atas leupeptin dan antipain, merupakan di-, tri-, atau tetrapeptida yang mengandung aldehida, dan merupakan inhibitor reversibel. Inhibitor spesifik Inhibitor protease serin meliputi organofosfat, fenil metil sulfonil fluorida (PMSF), dan kumarin. Ketiganya bersifat irreversibel. Organofosfat merupakan komponen yang toksik karena menginaktifkan asetilkolin esterase. PMSF bersifat kurang selektif, sehingga dapat digunakan secara umum untuk protease serin, dengan beberapa protease sistein bersifat reversibel. Komponen penyusun kumarin adalah heterosiklik, bersifat nontoksik, mempunyai reaktifitas yang baik dengan kebanyakan protease serin, mempunyai kecepatan reaksi yang lebih cepat dibandingkan dengan DFP atau PMSF sehingga merupakan inhibitor yang paling banyak direkomendasikan. Inhibitor protease serin lainnya seperti avian ovomucoid, kunitz-trypsin inhibitor dan inhibitor tripsin soybean bersifat reversibel, namun mekanismenya belum seluruhnya dipelajari. Inhibitor proteinase sistein meliputi peptida diazometana, peptida epoksida, sistatin, dan peptida klorometil keton. Keempat inhibitor ini bersifat irreversibel. Mekanisme penghambatan oleh peptida diazometana melalui pembentukan sistin teralkilasi. Mekanisme penghambatan oleh peptida epoksida yaitu dengan terbentuknya gugus alkil pada sisi aktifnya. Peptida klorometil keton menghambat enzim dengan cara mengikat protein melalui alkilasi pada sisi aktif (histidin) oleh klorometil. 14 Penghambatan yang dilakukan oleh inhibitor pengkelat logam terhadap protease logam adalah melalui pembentukan zink monohidroksida yang menjembatani katalitik ion zink terhadap rantai samping dalam sisi aktif enzim sehingga bersifat kompetitif terhadap substrat. Senyawa yang termasuk dalam inhibitor protease aspartat adalah pepstatin A. Inhibitor ini menghambat pepsin, kimosin, katepsin D. Inhibitor tersebut menyerupai pentapeptida yang mengandung dua residu dari ß-amino acid statine [(3S, 4S)-4-amino-3-hydroxy-6-methylheptanoic acid. Aoyagi dan Takeuchi (1989) menggolongkan inhibitor protease berdasarkan spesifisitas kerjanya seperti disajikan pada Gambar 2. Inhibitor Proteinase Peptidase Protease serin Endo Leupeptin, antipain, kimostatin, elastatinal, leu-Argal, Z-diprotin Aspartat Ac- Pestatin, pepstanon, hidroksipeptatin, fosforamidon, steffimisin Logam Protease Peptidase Exo Gambar 2 Amino Amastatin, aktinonin, bestatin, arfamenin A dan B. formestin, probestin Dipeptidilamino Ac-leu-argal, antipain, leupeptin, diprotin A dan B Carboksi- (S)-α asam benzilmalat , histargin Dipeptidilkarboksi- EDDS, foroksimitin, histargin Protease dan inhibitornya yang ber-BM rendah (Aoyagi dan Takeuchi 1989). Pemurnian Inhibitor Enzim Pemurnian inhibitor enzim yang merupakan protein pada dasarnya sama dengan pemurnian enzim. Adapun tahapannya meliputi ekstraksi menggunakan garam atau pelarut organik, dilanjutkan dengan dialisis, dan fraksinasi menggunakan kolom kromatografi dengan berbagai teknik tergantung pada 15 tujuannya. Tujuan pemurnian inhibitor enzim adalah agar menjadi murni yang ditunjukkan oleh aktivitasnya yang jauh lebih tinggi. Untuk mempelajari struktur molekul, diperlukan tingkat kemurnian yang sempurna (100 %), namun tidak demikian halnya bila tujuannya hanya untuk mempelajari sifat hayati dari inhibitor enzim yang merupakan protein. Oleh karena itu, pelaksanaan pemurnian harus mempertimbangkan hal-hal tertentu guna mempertahankan fungsi hayati inhibitor enzim dengan cara mencegah terjadinya denaturasi sehingga aktivitas inhibitor enzim menjadi turun bahkan tidak aktif sama sekali. Ekstraksi inhibitor enzim Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan pengendapan menggunakan amonium sulfat atau pelarut organik, seperti aseton. Amonium sulfat digunakan karena bersifat larut air, tidak bersifat toksik dan kadang-kadang menstabilkan protein (Richardson dan Hyslop 1985). Pengendapan dapat juga dilakukan dengan pelarut organik, seperti alkohol dan aseton. Bila menggunakan aseton untuk mengekstraksi protein, harus digunakan suhu di bawah 4 oC guna mencegah denaturasi. Guna menyempurnakan proses ekstraksi, protein dibiarkan semalam pada suhu di bawah 4 oC (Bollag dan Edelstein 1991). Fraksinasi menggunakan kolom kromatografi Fraksinasi inhibitor enzim merupakan suatu proses pemurnian untuk memisahkan protein inhibitor dengan protein lainnya yang terdapat pada ekstrak kasar inhibitor enzim. Kromatografi kolom merupakan teknik yang efisien dalam pemisahan protein ekstrak hayati. Metode fraksinasi dengan kolom kromatografi berbeda-beda tergantung pada tujuan karakter fraksi protein yang difraksinasi sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Metode kromatografi untuk fraksinasi protein Sifat protein Ukuran dan bentuk Muatan neto dan distribusi grup bermuatan Titik isoelektrik Hidrofobisitas Pengikatan logam Kandungan thiol yang terbuka Afinitas biospesifik terhadap ligan, inhibitor, reseptor, antibody, dan lain-lain Sumber: Ersson et al. (1998) Jenis kromatografi Filtrasi gel Penukar ion Kromatofokusing Interaksi hidrofobik dan fase balik Afinitas ion logam terimobilisasi Kovalen Afinitas 16 Beberapa peneliti telah melakukan pemurnian inhbitor enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pemilihan jenis proses pemurnian inhibitor enzim tergantung pada jenis inhibitor enzim yang dimurnikan. Tabel 4 menyajikan jenis inhibitor enzim yang telah dimurnikan dan metode ekstraksi dan pemurnian yang digunakan. Tabel 4 Metode ekstraksi dan pemurnian inhibitor enzim dari mikroorganisme Jenis mikroba Jenis inhibitor Bacillus subtilis Glucosamin-6-fosfat isomerase Alteromonas sp. B-10-31. Leupeptin (inhibitor protease tiol) Serratia marcescens SmaPI (protein inhibitor protease logam) Alteromonas sp. Marinostatin (inhibitor subtilisin) Alteromonas sp. Monostatin (inhibitor protease tiol) Microcystis strain UWOCC Inhibitor protease cyanobacteria (microviridin J) Inhibitor protease logam (FMPI) Inhibitor proteinase sistein novel Streptomyces rishiriensis Gliocladium sp. Metode ekstraksi dan pemurnian Polimiksin sulfat DEAE Sepharose Diaion HP20 CM-Cellulofine C-500 Middle pressure LC Ammonium sulfat Dialisis Sephadex G-100 Mono Q HR5/5 Ammonium sulfat Diaion HP-20 CM-Cellulofine Sephadex G-25 Reverse phase HPLC Amonium sulfat Dialisis Sephadex G-100 Metanol Reverse phase HPLC Referensi Chmra et al. (1998) Hamato et al. (1992) Kim et al. (1995) Imada et al. (1986) Imada et al. (1985b) Rohrlack et al. (2004) Murao et al. (1982) Isshiki et al. (1998)