Pemilahan dan Karakterisasi Inhibitor Protease dari

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Spons yang hidup di laut mempunyai metabolit sekunder yang aktif secara
hayati. Di antara organisme yang hidup di laut, spons mengandung komponen
bioaktif terbesar (Mayer dan Lehmann 2000). Beberapa komponen bioaktif yang
ada pada spons meliputi inhibitor enzim, inhibitor pembelahan sel, antiviral,
antifungi, antiimflamatori, antitumor, dan sitotoksik (Lee et al. 2001).
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang berasosiasi dengan spons juga
menghasilkan komponen bioaktif (Webster et al. 2001). Hal ini mungkin karena
jumlah koloni bakteri dan cyanobacteria yang ada di spons, terutama Aplysina
aerophoba, dapat mencapai 40% dari biomasa spons (Ahn et al. 2003).
Mikroorganisme tersebut membentuk suatu simbiotik dengan spons baik di dalam
inti sel (simbiosis intranukleus), di dalam sitoplasama sel tubuh spons (simbiosis
intraseluler), di sisi dalam tubuh spons (endosimbiosis ekstraseluler), dan di bagian
luar tubuh spons (eksosimbiosis ekstraseluler). Hubungan simbiotik ini bisa terjadi
mengingat spons merupakan hewan yang memakan makanan dengan cara filter
feeder, dalam hal ini mikroorganisme dapat menjadi nutrisi bagi spons. Metabolit
yang dihasilkan oleh spons merupakan hasil biosintesis simbionnya sehingga dapat
dimungkinkan bahwa spons mengandung komponen bioaktif yang sama dengan
simbionnya (Lee et al. 2001).
Sebagai contoh Micrococcus sp. menghasilkan
komponen diketopiperazin, yang sebelumnya telah dilaporkan dihasilkan oleh spons
inangnya yaitu Tedania ignis. Simbion bakteri yang lain, yaitu Vibrio sp.
memproduksi bifenil eter bromina, yang juga dihasilkan oleh inangnya yaitu Dysidea
sp. Simbiotik Vibrio sp. menghasilkan komponen bioaktif berupa peptida anti
Bacillus yang juga dihasilkan oleh inangnya yaitu ekstrak spons Hyatella sp. (Stierle
et al. 1988; Elyakov et al. 1991; Oclarit
et al. 1994, diacu dalam Lee et al. 2001).
Flowers et al. (1998) melaporkan bahwa simbion spons Oscillatoria spongeliae,
mengandung senyawa diketopiperazin klorina yang juga dihasilkan oleh inangnya
yaitu Dysidea herbacea .
Foodborne disease yang diperantarai oleh mikroorganisme patogen atau
toksin mikroba merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Penyakit
ini oleh WHO didefinisikan sebagai penyakit infeksi atau keracunan toksin alami
yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau minuman.
Di Amerika, telah
diestimasi bahwa terdapat berjuta-juta mikroorganisme penyebab foodborne
disease, beberapa ribu di antaranya menyebabkan kematian, terutama pada anak-
2
anak dibawah 5 tahun.
Penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi
terkontaminasi oleh bakteri patogen dan toksin yang dihasilkan oleh
bakteri
patogen (WHO 1997, diacu dalam Johnson 2003). Penyakit tersebut diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu infeksi dalam saluran pencernaan dan keracunan
akibat mengkonsumsi racun yang dihasilkan mikroba patogen dalam makanan.
Bakteri patogen dalam menjalankan aksinya menggunakan beberapa
cara, yang dikenal dengan istilah faktor virulensi, di antaranya dengan
mensekresikan protease ke dalam inangnya. Mengingat pentingnya protease dalam
mekanisme terjadinya penyakit maka dalam dasawarsa terakhir ini perhatian
terhadap protease sebagai target senyawa obat bagi penyakit asal bakteri (seperti
pneumonia, kolera, tifus, gonorrhoe), virus (seperti influenza dan HIV), dan malaria
serta kanker, bahkan penyakit degeneratif seperti Alzheimer meningkat pesat
(Suhartono 2000). Saat ini obat-obatan yang beberapa di antaranya mempunyai
mekanisme inhibitor protease telah tersedia luas di pasaran, seperti Elafin (inhibitor
elastase dari kulit manusia), antileuko protease, inhibitor serum ayam, dan inhibitor
protease alkalin dari Streptomyces.
Indonesia mempunyai biodiversitas dan keanekaragaman hayati yang
tinggi, salah satunya adalah spons.
Hampir di tiap wilayah perairan Indonesia
memiliki spons dengan tingkat penutupan dan keragaman yang berbeda. Pulau
Panggang di Kepulauan Seribu, merupakan salah satu pulau yang perairannya
masih cukup baik. Hal ini ditandai dengan penutupan karangnya yang termasuk
kategori sedang sampai baik (34,72-62,86 %) dan indeks keanekaragaman yang
rendah hingga tinggi yaitu berkisar 0,2-2,81 (Mahaza 2003). Oleh karena itu dari
perairan ini, diharapkan akan didapatkan suatu senyawa yang dapat menghambat
aktivitas protease dari bakteri patogen.
Data di atas menunjukkan menunjukkan bahwa sudah cukup banyak
simbion yang teridentifikasi positif menghasilkan komponen bioaktif yang sama
dengan inangnya, namun belum pernah dilaporkan tentang inhibitor protease dari
simbion spons yang berupa protein, meskipun telah dilaporkan bahwa spons
menghasilkan inhibitor protease. Dengan demikian penelitian ini dilakukan untuk
mencari simbion spons yang potensial sebagai penghasil inhibitor terhadap
protease bakteri patogen, sehingga diharapkan akan dapat memutus salah satu
jalan bagi bakteri patogen untuk menyebabkan penyakit.
3
Tujuan
Tujuan penelitian ini meliputi :
(1). memilah mikroba yang berasosiasi dengan spons sebagai penghasil inhibitor
protease;
(2). mengoptimasi kondisi produksi inhibitor protease;
(3). memurnikan inhibitor protease dari mikroba yang berasosiasi dengan spons;
(4). mengkarakterisasi inhibitor protease yang dihasilkan.
Luaran
Luaran penelitian ini adalah mendapatkan mikroba yang berasosiasi dengan
spons sebagai penghasil inhibitor protease, kondisi produksi yang tepat untuk
menghasilkan inhibitor protease, metode yang tepat untuk memurnikan inhibitor
protease, dan juga informasi mengenai karakteristik inhibitor enzim yang
mempunyai aktivitas terhadap protease tertentu.
TINJAUAN PUSTAKA
Keterlibatan Protease dalam Mekanisme Patogenisitas
Protease yang dihasilkan oleh mikroorganisme terlibat baik langsung
maupun tidak langsung dalam mekanisme patogenesis baik pada manusia, hewan,
maupun tanaman.
Beberapa bakteri yang menghasilkan protease penyebab
penyakit, diantaranya Clostridium, Staphylococcus spp, Strepcoccus spp. dan
Listeria
spp.
Clostridium
memproduksi
protease
penyebab
penyakit.
C. befermetans menghasilkan protease logam ekstraseluler bersifat toksin dan
merupakan faktor virulensi (Hase dan Finklestein 1993).
C. perfringens
menghasilkan lambda toksin sebagai penyebab penyakit enteritis (Fu Jin et al.
1996). Staphylococcus menghasilkan protease ekstraseluler jenis protease logam
yang
bersifat
toksin.
Streptococcus
sanguis,
Ureaplasma
urealyticum,
Haemophillus influenza, Streptococcus pneumonia memproduksi IgA ekstraseluler
yang digolongkan protease logam.
Listeria monocytogenes sebagai penyebab
penyakit listeriosis juga menghasilkan protease ekstraseluler (Hase dan Finklestein
1993, Johannson et al. 1999, Killian et al. 1979, Stenberg et al. 1996).
Streptococcus pyogenes menghasilkan protease sistein (streptococcal pyrogenic
exotoxin B, SpeB) yang merupakan faktor virulensi (Gubba et al. 2000).
Bakteri gram negatif yang menghasilkan protease adalah Pseudomonas
spp. dan Legionella spp. (Hase dan Finklestein 1993). P. aeruginosa bersifat
patogen, yaitu menginfeksi inang dengan dengan memproduksi elastase (A dan B)
yang dikarakteristik sebagai eksoenzim. Elastase merupakan protease logam yang
mengandung zink, mempunyai kemampuan mendegradasi substansi hayati penting
elastin, lamiarin, fibrin, kolagen manusia dan immunoglobulin.
Selain itu juga
terdapat protease alkalin dan elastase yang dihasilkan dalam paru-paru pasien
dengan cystic fibrosis dan menyebabkan kerusakan epitel respirasi. P. aeruginosa
juga menghasilkan protease IV yang merupakan faktor virulensi di kornea (Engel
et al . 1998). Protease IV merupakan endoprotease (PrpL) (Wilderman et al. 2001).
L. pneumophila merupakan bakteri fakultatif penyebab pneumonitis dengan
mensekresikan protease logam zink netral (Hase dan Finklestein 1993).
Escherichia coli jenis Enteropatogenik yang diisolasi dari penderita diare di
Indonesia ditemukan menghasilkan protease serin yang aktivitasnya berkorelasi
dengan tingkat infeksi yang ditimbulkan. Protease ini mampu mendegradasi musin
(Budiarti dan Suhartono 1999).
Protease sebagai antigen yang dihasilkan oleh
bakteri ini termasuk kelompok protease serin zink (Nurhayati 2000). Protease ini
5
selain dapat mendegradasi musin, juga mampu mendegradasi laktoferin yang telah
dipotong terlebih dahulu oleh tripsin (Suhardi 2004).
Bakteri lain yang
menghasilkan protease sebagai toksin adalah V. cholera (menghasilkan protease
logam yang membutuhkan zink sebagai kofaktor dan kalsium), Aeromonas
hydrophylla (protease logam), Serratia spp. (menghasilkan protease logam zink
ekstraseluler yang berfungsi sebagai antiinflamatori), dan Erwinia spp. (protease
logam) (Hase dan Finklestein 1993).
Parasit Toxoplasma gondii menghasilkan protease logam netral yang
tergantung ion kalsium. Protease ini berperan dalam degradasi membran sel inang
(Song dan Nam 2003).
Sementara itu Entamoeba hystolytica menghasilkan
proteinase sistein yang terlibat dalam pembentukan abses pada hati (Susanto dan
Supali 1999).
Inhibitor dari Spons
Carrol et al. (2002) menemukan dynosin A dari spons Australia yang
termasuk famili Dysideideae.
Komponen tersebut berperan untuk menghambat
faktor kaskade VIIa dan merupakan inhibitor
protease serin trombin. Inhibitor
tersebut menghambat faktor VIIa dengan konstanta penghambatan (Ki) 10 8 nM
dan trombin dengan konstanta penghambatan (Ki) 452 nM.
Spons dari New Zealand, Tethya ingalii, mengandung protein yang aktif
secara hayati yaitu inhibitor protease tethya (Tethya Protease Inhibitor, TPI),
bersifat toksik terhadap sel terutama sel tumor tertentu, dengan cara melisis sel
darah merah. Komponen tersebut diekstrak dengan menggunakan air (O’Keefe
et al. 1997).
Pada tahun 1998 peneliti yang sama menemukan protein yang
berfungsi sebagai inhibitor HIV, yaitu adociavirin, yang diekstrak dengan
menggunakan air (O’Keefe et al. 1998). Komponen tersebut diekstrak dari spons
Adocia sp. Mekanismenya yaitu mempunyai aktivitas antisitopatik dalam sel CEMSS yang diinfeksi oleh HIV-1 dan 2 dengan nilai EC50 0,4 mM sampai > 400 nM.
Potensi HIV ini tergantung pada tipe sel inang, bersifat sangat sensitif terhadap
kultur makrofag dan sangat resisten terhadap sel darah putih.
Spons yang hidup di laut, Aplysinella shax, menghasilkan inhibitor kitinase,
yaitu psammaplin A, dengan komponen penyusunnya yaitu tirosin bromina.
Komponen tersebut menghambat endokitinase dari Streptomyces dengan IC50
50 µM, menghambat kitinase B dari Serratia marcescens dengan nilai IC50 100 µM.
Dengan demikian, inhibitor tersebut menghambat Serratia marcescens secara
moderat (Tabudravu et al. 2002). Hori et al. (1993) menemukan inhibitor spesifik
terhadap aktomyosin ATPase, yaitu mycalolida-B. Inhibitor tersebut berasal dari
6
spons yang hidup di laut. Inhibitor tersebut menghambat kontraksi yang diinduksi
oleh ion Ca2+ di otot halus yang permiabel. Komponen spons laut, genus Stelletta,
yaitu stellettamida-A, dilaporkan mempunyai kemampuan menghambat kontraksi
yang diinduksi ion K+ dalam otot halus dengan nilai IC50 88 µM (Abe et al. 1997).
Tabel 1 Spons dan inhibitor enzim yang dihasilkan
Jenis sponge
Jenis komponen
Aktivitas biologis
Batzella sp.
Diskorhabdin
Sitotoksik, inhibitor
enzim
Halichondria okadai
Asam okadaic
Inhibitor fosfatase
Haliclona asiris
Osirisin
Inhibitor ATPase
Cacospongia
linteiformis
Petrosia sp.
Siklolinteinon,
Sesterpen
Petrosiasetilen
Inhibitor NO sintase
Plakinastrella sp.
Asam elenat
Inhibitor
topoisomerase II
Coscinoderma
mathewsi
Suvanin
Inhibitor protease
serin
Anthoigmella cf.
raromicrosclera
Piridin1
Inhibitor proteinase
sistein
Spongosorites sp.
Indol
Inhibitor fosfatase
Reniera sarai
Irchinia sp.
Polimer alkilpiridinium
Heksaprenilhidrokuinon
Theonella sp.
Peptida
Antikolinesterase
Inhibitor HIV reverse
transkriptase
Inhibitor protease
serin
Xetospongia exigua
Poliketida
halenakuinon
Sesterpen
Manoalida
Luffariella variabilis
Inhibitor ATPase
Inhibitor tirosin
kinase
Inhibitor fosfolipase
Referensi
Gunasekera et al.
(1999), diacu dalam
Lee et al. (2001)
Bialojan dan Takai
(1988)
Shin et al. (1998a),
diacu dalam Lee et
al. (2001)
D’acquisto et al.
(2000)
Seo et al. (1998),
diacu dalam Lee et
al. (2001)
Juagdan
et
al.
(1995), diacu dalam
Lee et al. (2001)
Kimura
et
al.
(1998), diacu dalam
Mayer
dan
Lehmann (2000)
Matsunaga et al.
(1998), diacu dalam
Mayer
dan
Lehmann (2000)
al.
Capon
et
(1998b),
diacu
dalam Mayer dan
Lehmann (2000)
Sepcic et al. (1997)
Loya et al. (1997)
Nakao et al. (1998),
diacu dalam Mayer
dan
Lehmann
(2000)
Haefner (2003)
Haefner (2003)
Tsukamoto et al. (2005) melaporkan bahwa spons laut dari genus Mycale
menghasilkan inhibitor proteasom baru, yaitu secomycalolida A.
tersebut mempunyai nilai IC50 11-45 µg/ml.
Komponen
Proteasom tersebut memainkan
peranan penting untuk mendegradasi protein secara selektif dan mengatur kejadian
berbagai sel termasuk pertumbuhan sel dan apoptosis. Dengan demikian inhibitor
7
proteasom mempunyai aktivitas antitumor pada berbagai sel tumor yang resisten
terhadap kemoterapi konvensional. Inhibitor enzim dari jenis spons lain disajikan
pada Tabel 1.
Inhibitor Protease dari Mikroorganisme
Serratia marcescens menghasilkan protein inhibitor protease logam yang
dikenal dengan nama SmaPI. Inhibitor tersebut dihasilkan dalam jumlah kecil
menunjukkan penghambatan terhadap protease logam S. marcescens yang
mempunyai bobot molekul 50 kDa. Protein tersebut berlokasi di bagian periplasma
sel dalam suhu pertumbuhan sel 25
membawa plasmid PSP2
o
C. Rekombinan S. marcescens yang
yang mengkodekan SMP dan SmaPI menghasilkan
SmaPI pada suhu pertumbuhan sel 25 oC. Namun pada suhu pertumbuhan 37 oC
SmaPI justru dihasilkan secara ekstraseluler. SmaPI tersebut mempunyai pI sekitar
10,0, dan merupakan protein monomer dengan bobot molekul 10.000 Dalton.
SmaPI stabil dalam air rebusan selama 30 menit dan mempunyai penghambatan
yang spesifik terhadap protease logam yang berasal dari S. marcescens (Kim et al.
1995).
Inhibitor protease juga dihasilkan oleh Gliocladium sp. yang disebut
dengan inhibitor proteinase sistein, TMC-52A-D. Berdasarkan hasil analisis
spektrofotometer dan degradasi kimia menunjukkan bahwa TMC-52A-D merupakan
peptida epoksisuksinil. Inhibitor tersebut kuat menghambat protease sistein,
terutama katepsin L dengan IC50 pada konsentrasi 13 nM, 10 nM, dan 6 nM (Isshiki
et al. 1998).
Saruno et al. (1980) menemukan inhibitor nuklease dari Monascus
purpureus. Adapun aktivitasnya mereduksi nuklease monascus dan nuklease P1
dengan substrat RNA atau DNA yang didenaturasi. Model aksi inhibitor itu adalah
penghambatan non kompetitif sehingga dinamakan inhibitor NMP. Murao et al.
(1982) melakukan isolasi inhibitor proteinase logam yang dihasilkan oleh mikroba
yaitu Streptomyces rishiriensis. Inhibitor tersebut dikenal dengan nama Fungal
Metallo-Proteinase Inhibitor (FMPI). Inhibitor tersebut menunjukkan aktivitas yang
baik pada proteinase logam dari Aspergillus oryzae dan mempunyai aktivitas
sedang terhadap mikroba lainnya. FMPI mempunyai bobot molekul yang rendah
dan stabil pada pH alkali (pH > 11).
Inhibitor protease juga telah ditemukan dari mikroba asal laut seperti yang
telah dilaporkan oleh Imada et al. (1985a,b,c) dan Imada (2000). Pencarian inhibitor
dari mikroba laut diawali dengan pemilahan bakteri penghasil inhibitor protease
menggunakan lapisan ganda kasein. Seluruh strain penghasil inhibitor bersifat
8
aerob, mempunyai flagella, gram negatif, mempunyai kandungan G+C yang rendah
pada DNA-nya. Mikroba tersebut membutuhkan NaCl untuk pertumbuhannya.
Seluruh strain menghidrolisis kasein, DNA, gelatin, dan pati. Berdasarkan hasil
identifikasi menunjukkan bahwa mikroba tersebut adalah Alteromonas sp.. Strain
B-10-31 adalah untuk membedakan dari 2 strain lainnya (Imada et al, 1985a;
Imada, 2000).
Imada et al. (1985b) dan Imada (2000) menemukan marinostatin, suatu
inhibitor yang dihasilkan dari Alteromonas sp. B-10-31. Inhibitor tersebut dihasilkan
secara optimal bila bakteri penghasilnya ditumbuhkan dalam medium yang
optimum. Sumber nitrogen dan karbon yang optimum untuk tujuan tersebut adalah
0,6 % polipepton dan 0,05 % glukosa. Produksi maksimum dihasilkan pada pH 6
dalam air laut, suhu 20 oC dan digoyang 24–33 jam. Jenis inhibitor lain yang
dihasilkan oleh Alteromonas sp. adalah jenis monostatin yang mempunyai bobot
molekul tinggi yaitu 20.000 Dalton. Inhibitor tersebut termasuk glikoprotein, stabil
pada suhu sampai 100 oC selama inkubasi 30 menit dengan kehilangan aktivitas
20 %, juga stabil pada pH 2–12. Aktivitasnya dihambat oleh ion Cu2+ dan Fe2+
hingga tidak ada aktivitasnya. Monostatin mempunyai aktivitas penghambatan
terhadap protein tiol, seperti papain dan Ficin (Imada et al. 1985c). Kobayashi et al.
(2003)
melaporkan
Pseudoalteromonas
sagamiensis
menghasilkan
inhibitor
protease yaitu marinostatin, monostatin, dan leupeptin. Perbedaan ketiga nama
menunjukkan perbedaan dalam struktur dan sifat-sifatnya.
Inhibitor protease, microviridin J, yang dihasilkan oleh cyanobacter
Microcystis strain UWOCC, mempunyai kemampuan untuk menyebabkan lethal
molting disruptions pada Daphnia pulicaria. Inhibitor tersebut menghambat enzim
trypsin-like daphnia. Jadi ketika microviridin J ditambahkan ke kultur daphnia maka
akan terjadi pencernaan yang tidak sempurna sehingga akan menyebabkan
berkurangnya asam amino esensial (Rohrlack et al. 2004).
Pseudomonas aeruginosa menghasilkan protease alkalin (serralisin)
inhibitor yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap protease zink yang
dihasilkan oleh beberapa bakteri gram negatif. Inhibitor tersebut memiliki bobot
molekul 11,5 kDa. Fungsi dari inhibitor ini adalah untuk melindungi bakteri dari
proteolisis selama sekresi serralisin.
Senyawa itu diproduksi sebagai prekursor
dengan 125 asam amino dengan urutan signal N-terminal.
Sekuen ini akan
dihilangkan sebanyak 103-106 residu ketika terjadi maturasi inhibitor (Feltzer et al.
2000). Morris et al. (2002) melaporkan pula inhibitor protease yang dihasilkan oleh
Toxoplasma gondii yang berfungsi untuk melindungi parasit dari enzim proteolitik
dalam saluran pencernaan yaitu tripsin dan kimotripsin. Inhibitor protease tersebut
9
mempunyai bobot molekul 43 dan 41 kDa dengan nama TgPI-1 dan termasuk ke
dalam golongan/famili SERPIN, Kunitz dan Kazal.
Streptomyces sp. menghasilkan berbagai inhibitor enzim seperti inhibitor
α-amilase, peptide dan protein protease inhibitor. Komponen-komponen tersebut
mempunyai bobot molekul kurang dari 10 kDa seperti tentamistat, sampai lebih dari
100 kDa seperti ß-galaktosidase.
Streptomyces lividans dan Streptomyces
longisporus mensekresikan protein dengan bobot molekul sekitar 10 kDa. Inhibitor
ini bersifat spesifik terhadap trypsin-like enzyme (Strickler et al. 1992).
YM-254890
merupakan
dipeptida
siklik
yang
diisolasi
dari
Chromohalobacter sp., merupakan inhibitor yang potensial terhadap agregasi
platelet dengan nilai IC50 dibawah 0,4 µM. Inhibitor tersebut juga mempunyai sifat
antitrombotik dan trombilisis. Adapun mekanismenya adalah memblok Gαq/11-yang
merupakan pasangan dari reseptor ADP P2Y1 yang diperantarai oleh mobilisasi
Ca2+ (Takasaki et al. 2004).
Hubungan antara Spons dan Bakteri yang Bersimbiosis
Interaksi antara organisme yang hidup di lingkungan akuatik sangat
beragam. Peran penting pada interaksi tersebut dimainkan oleh mikroorganisme.
Mikroorganisme banyak ditemukan tumbuh secara komensal di permukaan juga di
dalam berbagai binatang akuatik, beberapa diantaranya terdapat di organ
pencernaannya dimana sering terdapat sejumlah bakteri (Rheinhemer 1991).
Mikroorganisme dimakan dan digunakan sebagai makanan oleh sejumlah
hewan yang hidup, baik di sedimen maupun di perairan sehingga merupakan faktor
nutrisi. Beberapa hewan dapat hidup dengan sejumlah tertentu bakteri maupun
fungi. Sebagai contoh, lubang berpori pada spons mengandung sejumlah bakteri
(Bertrand, Vacelet 1971, diacu dalam Reinhemer 1991). Adapun jumlah
mikroorganisme simbion pada spons sangat bervariasi tergantung jenis sponsnya,
pada spons tertentu jumlahnya bisa mencapai 60% dari biomasa spons (Wilkinson
1978c, diacu dalam Lee et al. 2001).
Spons Mediterania Aplysina aerophoba
mengandung mikroorganisme dengan jumlah hingga mencapai 40% biomasa
sponge tersebut (Friedrich et al. 1999, diacu dalam Proksch et al. 2002). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada spons Microcionia prolifera terdapat sejumlah
bakteri,
seperti
genus
Pseudomonas,
Aeromonas,
Vibrio,
Achromobacter,
Flavobacterium, dan Corynebacterium, serta Micrococcus. Jenis bakteri tersebut
biasa terdapat di perairan sekitarnya ( Madri et al. 1980, diacu dalam Rheinhemer
1991).
10
Disisi lain banyak invertebrata yang merupakan filter feeder dan
mengkonsumsi mikroorganisme melalui fagositosis Hubungan antara invertebrata
dan mikroorganisme laut yaitu menyediakan makanan atau yang hidup baik
sementara maupun permanen merupakan hal yang kompleks ( Wilkinson 1992;
Steinert et al. 2000; Hentschel et al. 2000, diacu dalam Proksch et al. 2002).
Mikroorganisme tidak hanya ada sebagai makanan tetapi juga terlibat dalam
biosintesis produk alami pada spons.
Sebagai contoh spons Halichondria sp.
seperti H. okadai dan H. melanodocia menghasilkan asam okadoat.
Ternyata
senyawa ini dihasilkan oleh dinoflagellata dari genus Prorocentrum (Murakami et al.
1982, diacu dalam Proksch
et al. 2002).
Keberadaan simbion pada spons berbeda-beda, ada yang bagian luar
tubuh spons disebut dengan eksosimbiosis ekstraseluler, diluar sel tetapi ada disisi
dalam spons disebut dengan endosimbiosis ekstraseluler, di dalam sitoplasma sel
tubuh spons disebut dengan simbiosis intraseluler, dan ada pula yang di dalam inti
sel disebut dengan simbiosis intranukleus(Lee et al. 2001). Lokasi simbion pada
spons dapat dilihat pada Gambar 1.
amubosit
mikroorgan
isme
mikroorganisme
mikroorga
nisme
nukleus
pori
spikula
mesohil
choanosit
Eksosimbiosis
ekstraseluler
Gambar 1
Endosimbiosis
ekstraseluler
Simbiosis
intraseluler
Simbiosis
intranukleus
Diagram hubungan simbiotik antara spons dan mikroorganisme
(Lee et al. 2001).
Mikroorganisme yang Bersimbiose dengan Spons
Para peneliti melaporkan bahwa simbion mikrobial memainkan peranan
dalam mempertahankan spons inangnya. Spons yang hidup di laut menghasilkan
berbagai produk alami dan metabolit sekunder bioaktif. Komponen ini juga
ditunjukkan oleh bakteri yang berasosiasi dengan spons. Vibrio spp. berasosiasi
dengan spons Dysidea sp. yang menunjukkan sifat ester tetrabromodifenil yang
bersifat sitotoksik dan antibakteri (Eyakov et al. 1991, diacu dalam Webster et al.
2001).
Micrococcus sp. yang berasosiasi dengan spons Tedania ignis
11
menghasilkan komponen diketopiperazin (Stierle et al. 1988, diacu dalam Webster
et al. 2001). Informasi terbaru bahwa δ-proteobacterial yang merupakan simbion
Theonella swinhoei menghasilkan peptida yang bersifat sebagai antifungal yaitu
theopaluamida (Schmidt 2000, diacu dalam Webster et al. 2001). Webster et al.
(2001) menemukan bakteri yang bersimbiose dengan spons adalah actinobacteria,
sub divisi β dan γ protobacteria, cytophaga/flavobacterium, green sulfur bacteria,
green nonsulfur bacteria, dan planktomisetes.
Keterlibatan mikroorganisme dalam sintesis produk alami baru-baru ini
ditunjukkan oleh spons Dysidea herbacea dan Theonella swinhoei. Spesimen dari
Dysidea herbacea mengandung seskuiterpen spirodisin dan herbadisidolida (Unson
dan Faulkner 1993, diacu dalam Proksch et al. 2002). Jaringan spons tersebut diisi
dengan cyanobacteria Oscillatoria spongeliae (Berthold et al. 1982, diacu dalam
Proksch et al. 2002) hingga mencapai 50% dari volume sel (Bewley dan Faulkner
1998, diacu dalam Proksch et al. 2002).
Pekerjaan yang dilakukan untuk
membuktikan bahwa simbion terlibat dalam sintesis produk alami di spons yaitu
pertama-tama jaringan spons dihancurkan dan dilakukan fiksasi terhadap sel yang
terpisah
menggunakan formadehida dan glutaraldehida.
Sel cyanobacteria
dipisahkan dari sel lainnya dengan alat penyaring sel menggunakan fluorescens
klorofil sebagai pendeteksi.
Hasilnya didapatkan komponen utamanya adalah
turunan 13-demetilisodisidenin. Sementara itu yang tidak berfluorescens terdiri atas
spons dan bakteri, mengandung spirodisin dan herbadisidolida
(Unson dan
Faulkner 1993, diacu dalam Proksch et al. 2002).
Spons A. aerophoba kaya akan bakteri.
Berdasarkan hasil analisis, 40%
biomasa spons merupakan bakteri dan cyanobacteria. Namun kurang dari 1% yang
dapat dikultur. Bakteri pada spons tersebut bersifat stabil. Hal ini dibuktikan ketika
spons tersebut ditransplantasi, ternyata komunitas bakteri yang ada sangat mirip
dengan asalnya (Fridrich et al. 2001, diacu dalam Proksch et al. 2002). Kemiripan
komunitas bakteri antara A. aerophoba dan A. cavernicola berkorelasi dengan
bromina kemiripan dalam profil produk alami yang dihasilkan keduanya, yaitu
alkaloid sebagai komponen utamanya (Ebel et al. 1997, diacu dalam Proksch et al.
2002). Jenis-jenis mikroorganisme lain yang merupakan simbion pada spons dapat
dilihat pada Tabel 2.
12
Tabel 2 Spons dan mikroorganisme simbion penghasil produk alami
Spons
Mikroorganisme simbion
Produk alami
Dysidea sp.
Vibrio sp.
Bifenil eter bromina
Halicondria okadai
Alteromonas sp.
Alteramida A
Halicondria panicea
Antarticum vesiculatum
Senyawa neuroaktif
Halicondria panicea
Psychroserpens burtonensis
Senyawa neuroaktif
Homophymia sp.
Pseudomonas sp.
Senyawa antimikroba
Subere creba
Pseudomonas sp.
Kuinolon
Tedania ignis
Microccus sp.
Diketopiperazin
Xetospongia sp.
Microccus luteus
Senyawa antimikroba
Sumber: Lee et al. (2001)
Penggolongan Inhibitor Enzim
Inhibitor enzim dapat digolongkan berdasarkan mekanisme kerjanya dan
spesifisitas kerjanya.
Penggolongan inhibitor enzim berdasarkan mekanisme kerjanya
Berdasarkan mekanisme kerjanya inhibitor enzim dibagi atas inhibitor
kompetitif, non kompetitif, unkompetitif dan penghambatan oleh substrat. Inhibitor
kompetitif akan menyebabkan berubahnya nilai Km, yang nilainya menjadi lebih
besar dari semula, namun tidak mengubah nilai kecepatan maksimumnya (Vmaks).
Nilai Km merupakan nilai yang menunjukkan penggunaan substrat untuk mencapai
setengah kecepatan maksimum. Jenis inhibitor ini mempunyai struktur yang serupa
dengan substrat, sehingga pengaruh aktivitas ini dapat dikurangi dengan cara
meningkatkan konsentrasi substrat. Biasanya inhibitor ini berikatan pada bagian
aktif enzim.
Ikatan yang terjadi meliputi ikatan kovalen, elektrostatik, ikatan
hidrogen, vander walls, atau interaksi hidrofobik.
Inhibitor non kompetitif akan menyebabkan turunnya nilai kecepatan
maksimum (Vmaks), namun tidak mengubah nilai Km.
Inhibitor jenis ini tidak
mempunyai struktur yang sama dengan substrat sehingga tidak akan dapat
diturunkan aktivitasnya melalui peningkatan konsentrasi substrat.
Pengikatan
terhadap enzim terjadi di luar sisi aktifnya.
Inhibitor
unkompetitif
merupakan
senyawa
yang
berikatan
secara
reversibel pada molekul kompleks enzim substrat, membentuk kompleks enzimsubstrat-inhibitor
(ESI) yang bersifat inaktif, artinya tidak dapat menghasilkan
produk. Inhibitor tidak berikatan dengan enzim bebas. Inhibitor enzim jenis ini akan
mengubah nilai Km dan Vmaks.
13
Pada beberapa enzim, sering terjadi penghambatan unkompetitif, yaitu
inhibitornya adalah substrat pada tingkat konsentrasi yang tinggi. Pada keadaan ini,
molekul substrat berinteraksi dengan senyawa komplek ES membentuk ESS yang
bersifat tidak produktif, artinya tidak dapat membentuk produk yang dikehendaki.
Penggolongan inhibitor enzim berdasarkan spesifisitas kerjanya
Berdasarkan spesifisitas kerjanya, inhibitor enzim dibagi atas inhibitor
enzim non spesifik dan spesifik. Inhibitor non spesifik meliputi α-macroglobulin dan
peptida aldehida, sedangkan yang spesifik meliputi inhibitor protease serin,
protease sistein, protease logam, dan protease aspartat.
Inhibitor non spesifik
α-macroglobulin mempunyai bobot molekul yang tinggi dan dapat
menghambat kebanyakan protease.
Inhibitor ini mempunyai kemampuan
menghambat enzim dengan cara memerangkap proteinase secara fisik. Bersifat
irreversibel. Mempunyai kemampuan menghambat substrat berukuran kecil, namun
kebanyakan menghambat protein dengan ukuran > 30 kDa. Inhibitor jenis peptida
aldehida terdiri atas leupeptin dan antipain, merupakan di-, tri-, atau tetrapeptida
yang mengandung aldehida, dan merupakan inhibitor reversibel.
Inhibitor spesifik
Inhibitor protease serin meliputi organofosfat, fenil metil sulfonil fluorida
(PMSF), dan kumarin. Ketiganya bersifat irreversibel. Organofosfat merupakan
komponen yang toksik karena menginaktifkan asetilkolin esterase. PMSF bersifat
kurang selektif, sehingga dapat digunakan secara umum untuk protease serin,
dengan beberapa protease sistein bersifat reversibel. Komponen penyusun kumarin
adalah heterosiklik, bersifat nontoksik, mempunyai reaktifitas yang baik dengan
kebanyakan protease serin, mempunyai kecepatan reaksi yang lebih cepat
dibandingkan dengan DFP atau PMSF sehingga merupakan inhibitor yang paling
banyak direkomendasikan.
Inhibitor protease serin lainnya seperti avian
ovomucoid, kunitz-trypsin inhibitor dan inhibitor tripsin soybean bersifat reversibel,
namun mekanismenya belum seluruhnya dipelajari.
Inhibitor
proteinase
sistein
meliputi
peptida
diazometana,
peptida
epoksida, sistatin, dan peptida klorometil keton. Keempat inhibitor ini bersifat
irreversibel.
Mekanisme penghambatan oleh peptida diazometana melalui
pembentukan sistin teralkilasi. Mekanisme penghambatan oleh peptida epoksida
yaitu dengan terbentuknya gugus alkil pada sisi aktifnya. Peptida klorometil keton
menghambat enzim dengan cara mengikat protein melalui alkilasi pada sisi aktif
(histidin) oleh klorometil.
14
Penghambatan yang dilakukan oleh inhibitor pengkelat logam terhadap
protease
logam
adalah
melalui
pembentukan
zink
monohidroksida
yang
menjembatani katalitik ion zink terhadap rantai samping dalam sisi aktif enzim
sehingga bersifat kompetitif terhadap substrat.
Senyawa yang termasuk dalam inhibitor protease aspartat adalah
pepstatin A.
Inhibitor ini menghambat pepsin, kimosin, katepsin D.
Inhibitor
tersebut menyerupai pentapeptida yang mengandung dua residu dari ß-amino acid
statine [(3S, 4S)-4-amino-3-hydroxy-6-methylheptanoic acid.
Aoyagi
dan
Takeuchi
(1989)
menggolongkan
inhibitor
protease
berdasarkan spesifisitas kerjanya seperti disajikan pada Gambar 2.
Inhibitor
Proteinase
Peptidase
Protease serin
Endo
Leupeptin, antipain,
kimostatin, elastatinal,
leu-Argal, Z-diprotin
Aspartat
Ac-
Pestatin, pepstanon,
hidroksipeptatin,
fosforamidon, steffimisin
Logam
Protease
Peptidase
Exo
Gambar 2
Amino
Amastatin, aktinonin,
bestatin, arfamenin A dan B.
formestin, probestin
Dipeptidilamino
Ac-leu-argal, antipain,
leupeptin, diprotin A dan B
Carboksi-
(S)-α asam benzilmalat ,
histargin
Dipeptidilkarboksi-
EDDS, foroksimitin, histargin
Protease dan inhibitornya yang ber-BM rendah (Aoyagi dan Takeuchi
1989).
Pemurnian Inhibitor Enzim
Pemurnian inhibitor enzim yang merupakan protein pada dasarnya sama
dengan pemurnian enzim. Adapun tahapannya meliputi ekstraksi menggunakan
garam
atau
pelarut
organik,
dilanjutkan
dengan
dialisis,
dan
fraksinasi
menggunakan kolom kromatografi dengan berbagai teknik tergantung pada
15
tujuannya.
Tujuan pemurnian inhibitor enzim adalah agar menjadi murni yang
ditunjukkan oleh aktivitasnya yang jauh lebih tinggi.
Untuk mempelajari struktur
molekul, diperlukan tingkat kemurnian yang sempurna (100 %), namun tidak
demikian halnya bila tujuannya hanya untuk mempelajari sifat hayati dari inhibitor
enzim yang merupakan protein. Oleh karena itu, pelaksanaan pemurnian harus
mempertimbangkan hal-hal tertentu guna mempertahankan fungsi hayati inhibitor
enzim dengan cara mencegah terjadinya denaturasi sehingga aktivitas inhibitor
enzim menjadi turun bahkan tidak aktif sama sekali.
Ekstraksi inhibitor enzim
Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan pengendapan menggunakan
amonium sulfat atau pelarut organik, seperti aseton. Amonium sulfat digunakan
karena bersifat larut air, tidak bersifat toksik dan kadang-kadang menstabilkan
protein (Richardson dan Hyslop 1985). Pengendapan dapat juga dilakukan dengan
pelarut organik, seperti alkohol dan aseton.
Bila menggunakan aseton untuk
mengekstraksi protein, harus digunakan suhu di bawah 4 oC guna mencegah
denaturasi. Guna menyempurnakan proses ekstraksi, protein dibiarkan semalam
pada suhu di bawah 4 oC (Bollag dan Edelstein 1991).
Fraksinasi menggunakan kolom kromatografi
Fraksinasi inhibitor enzim merupakan suatu proses pemurnian untuk
memisahkan protein inhibitor dengan protein lainnya yang terdapat pada ekstrak
kasar inhibitor enzim. Kromatografi kolom merupakan teknik yang efisien dalam
pemisahan protein ekstrak hayati. Metode fraksinasi dengan kolom kromatografi
berbeda-beda tergantung pada tujuan karakter fraksi protein yang difraksinasi
sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Metode kromatografi untuk fraksinasi protein
Sifat protein
Ukuran dan bentuk
Muatan neto dan distribusi grup bermuatan
Titik isoelektrik
Hidrofobisitas
Pengikatan logam
Kandungan thiol yang terbuka
Afinitas biospesifik terhadap ligan, inhibitor,
reseptor, antibody, dan lain-lain
Sumber: Ersson et al. (1998)
Jenis kromatografi
Filtrasi gel
Penukar ion
Kromatofokusing
Interaksi hidrofobik dan fase balik
Afinitas ion logam terimobilisasi
Kovalen
Afinitas
16
Beberapa peneliti telah melakukan pemurnian inhbitor enzim yang
dihasilkan oleh mikroorganisme. Pemilihan jenis proses pemurnian inhibitor enzim
tergantung pada jenis inhibitor enzim yang dimurnikan. Tabel 4 menyajikan jenis
inhibitor enzim yang telah dimurnikan dan metode ekstraksi dan pemurnian yang
digunakan.
Tabel 4 Metode ekstraksi dan pemurnian inhibitor enzim dari mikroorganisme
Jenis mikroba
Jenis inhibitor
Bacillus subtilis
Glucosamin-6-fosfat
isomerase
Alteromonas sp.
B-10-31.
Leupeptin (inhibitor
protease tiol)
Serratia marcescens
SmaPI (protein
inhibitor protease
logam)
Alteromonas sp.
Marinostatin
(inhibitor subtilisin)
Alteromonas sp.
Monostatin (inhibitor
protease tiol)
Microcystis strain
UWOCC
Inhibitor protease
cyanobacteria
(microviridin J)
Inhibitor protease
logam (FMPI)
Inhibitor proteinase
sistein novel
Streptomyces
rishiriensis
Gliocladium sp.
Metode ekstraksi
dan pemurnian
Polimiksin sulfat
DEAE Sepharose
Diaion HP20
CM-Cellulofine
C-500
Middle pressure LC
Ammonium sulfat
Dialisis
Sephadex G-100
Mono Q HR5/5
Ammonium sulfat
Diaion HP-20
CM-Cellulofine
Sephadex G-25
Reverse phase
HPLC
Amonium sulfat
Dialisis
Sephadex G-100
Metanol
Reverse phase
HPLC
Referensi
Chmra et al. (1998)
Hamato et al. (1992)
Kim et al. (1995)
Imada et al. (1986)
Imada et al. (1985b)
Rohrlack et al.
(2004)
Murao et al. (1982)
Isshiki et al. (1998)
Download