PENDIDIKAN

advertisement
P ENDIDIKAN
SENIN, 14 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA
15
Pendidikan dan Jerat Terorisme
T
E RTA N G K A P N YA
beberapa tersangka
terorisme oleh Densus
88, di Klaten dan Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng),
beberapa waktu lalu membuat
miris kita semua. Bagaimana
tidak, tersangka terorisme itu
masih terbilang belia, yang merupakan alumni dan sebagian
masih mengenyam pendidikan
sekolah menengah kejuruan
(SMK). Dari fenomena tertangkapnya remaja tersangka terorisme itu, paling tidak mengisyaratkan tiga hal penting.
Pertama, adanya modus baru
perekrutan terorisme yang
mengincar alumni atau yang
masih menjadi siswa SMK.
Kedua, lemahnya pengawasan
orang tua akan aktivitas putraputrinya. Adapun ketiga, mulai
tersusupinya dunia pendidikan
dengan paham terorisme.
Tiga hal sebagaimana disebutkan menjadi penting untuk
mendapat perhatian serius,
tidak saja dari orang tua, sekolah, dan masyarakat, tetapi
juga segenap pemangku kepentingan pendidikan. Jika tidak
segera mendapat penanganan
yang serius, atau tidak dilakukan langkah-langkah strategis,
bisa dipastikan akan semakin
banyak siswa dan remaja kita
pada umumnya yang menjadi
‘kaki tangan’ dan ‘pengantin’
aksi terorisme. Secara pasti, mereka bakal menebar ancaman
dan keresahan di lingkungan
masyarakat.
Menurut Kapolda Jateng Irjen
Edward Aritonang (2011), dari
bukti tertangkapnya ketujuh
tersangka terorisme itu, diketahui bahwa terjadi perubahan
model dan strategi perekrutan
gembong teroris. Mereka, lanjut
Edward, saat ini cenderung
mengincar remaja lulusan SMK
karena dinilai sudah memiliki
kemampuan dasar mengenai
jaringan listrik. Lebih dari itu,
para lulusan SMK dianggap
memiliki sejumlah kelebihan
dibanding alumni SMA mau-
pun SMEA. Bukan saja mereka
sudah mengetahui tentang
rangkaian listrik, sambungmenyambung kabel, tetapi juga
membuat atau mengoperasikan
berbagai komponen mekanik
kelistrikan yang erat kaitannya
dengan gerakan terorisme.
Dangkal pemahaman
Menurut pemerhati terorisme Al-Chaidar (2011), remaja
atau istilah kerennya ‘anak
baru gede’ (ABG) lebih mudah dibentuk atau di-’cuci’
otaknya. Apakah karena para
ABG itu tergolong bodoh, sehingga mudah dibelokkan dan
direkrut terorisme? Ternyata
tidak, mereka tergolong remaja
yang cerdas. Bahkan, menurut
Kepala SMKN 2 Klaten, Muhamad Soleh, tiga tersangka
teroris adalah alumni sekolahnya yang memiliki prestasi
cukup menonjol. Rata-rata nilai
mereka 7-8 ke atas, bahkan untuk nilai-nilai pelajaran eksak
tergolong tinggi.
Lantas mengapa mereka bisa
dengan mudah ‘didoktrin’?
Ternyata, para teroris sengaja
melakukan perekrutan kepada
remaja atau pelajar di kalangan
sekolah dan universitas negeri, yang rata-rata pendidikan
dan pemahaman agamanya
rendah. Karena pengetahuan agama dangkal
dan tidak mendalam,
lanjut Al-Chaidar, mereka akan menerima begitu
saja doktrin terorisme yang
diberikan para perekrutnya.
Apalagi, berdasarkan temuan
aparat kepolisian pada beberapa kasus, para ‘tukang
rekrut’ memiliki banyak akal
dan banyak keahlian; seperti
menjadi guru (ustaz) ngaji,
mubalig, tukang dakwah dan
sebagainya. Para perekrut teroris ini, biasanya berusaha membungkus kelompoknya dengan
semenarik mungkin, seperti
menawari kegiatan out-bond
yang bernuansa keislaman.
Dari kegiatan out-bond itu,
Agus Wibowo
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
diselipkan nilai-nilai terorisme
atas nama jihad dengan menyitir ayat-ayat Alquran, hadis,
dan sebagainya.
Karena pemahaman agama
yang dangkal itu, mereka tidak
akan banyak bertanya mengenai ayat Quran yang dikutip
sang perekrut. Sebenarnya
penggunaannya dalam konteks
(asbabul nuzul) apa. Begitu pula
dengan hadis, mereka tidak
akan bertanya banyak mengenai asbabul wurud, kesahihan
hadis, serta sanad-nya dari
mana saja dan sampai tingkat berapa. Singkat kata,
pengetahuan remaja yang
direkrut menjadi teroris
itu hanya pada tataran
rasional yang dangkal.
D i l i h a t
dari aspek
pengasuhan, para
t e r sangk a
teroris
itu umumnya kurang
mendapat perhatian
dari orang tua. Sebagaimana
pengakuan orang tua tersangka—yang sebagian adalah
buruh—intensitas pengawasan
terhadap anak-anak mereka
sangat kurang. Orang tua juga
tidak pernah menaruh curiga,
karena anak mereka terlihat
alim, bahkan sering ke masjid.
Padahal, di masjid itulah sebenarnya telah terjadi proses
indoktrinasi sang anak oleh
para teroris. Akibatnya, para
orang tua tidak mengetahui
apa saja yang dilakukan anakanak mereka. Karena itu, ketika
anak-anak ditangkap Densus
88 atau aparat berwajib lainnya,
orang tua ngotot membela.
Pendidikan kritis
Jika melihat fenomena sebagaimana di-
FREDDY
sebutkan,
dunia pendidikan
harus meningkatkan kewaspadaannya dan tidak boleh
‘kecolongan’ lagi. Adapun
langkah-langkah strategis yang
bisa dilakukan di antaranya:
Pertama, mengoptimal kan
penginternalisasian pendidikan kritis, yang sering disebut
sebagai pendidikan pembebasan, pendidikan perlawanan
dan sejenisnya. Dalam konteks
ini, dikaitkan untuk melawan
sebuah ideologi yaitu fundamentalisme yang mengarah
pada radikalisme dan terorisme.
Menurut Edi Subkhan (2010),
pendidikan kritis dalam hal
ini dipahami sebagai sebuah
pendekatan paradigmatik,
yang memandang
bahwa
praksis
p e n didikan pada
hakikatnya tidaklah
netral.
Pendidikan penuh
dengan tarik
ulur kepentingan politik, ekonomi,
dan ideologis.
Di situlah kemudian, yang dalam
bahasa Fraire (2000),
telah terjadi hegemoni
kultural dan ideologis,
melalui pengetahuan,
norma, nilai-nilai, dan kultur yang diterima siswa.
Tugas pendidikan kritis
dalam fenomena terorisme
masuk sekolah, adalah menggugah nalar kritis dari pelaku
pendidikan (siswa, mahasiswa,
guru, dan lainnya), untuk menyadari bahwa telah terjadi hegemoni dan ideologisasi. Cara
untuk membangun kesadaran
kritis tersebut tiada lain adalah
dengan mengkritik praktik
pendidikan itu sendiri. Dalam
hal ini dialog dan keterlibatan
mendalam dalam praktik sosial
adalah pendekatan pembelajaran
a yang tepat untuk mengasah
nalar
kritis dan sensitivitas
n
sosial. Tanpa nalar kritis dan
sensitivitas sosial tersebut, akan
relatif sulit untuk mengetahui
dan menyadari praktik hegemoni dan ideologisasi.
Oleh karena itu, upaya mengkritik secara kritis praktik pendidikan tersebut dapat disebut
sebagai upaya dari pendekatan
kritis dalam melawan hegemoni ideologis. Dalam konteks
melawan logika terorisme dan
radikalisme di sini, tugas pendidikan kritis adalah menyadarkan semua orang, bahwa telah
terjadi praktik ideologisasi dan
hegemoni logika terorisme dan
radikalisme dalam praktik pendidikan. Tentu yang dimaksud
praktik pendidikan di sini tidak
hanya dalam sistem persekolahan seperti sekolah dan kampus, tetapi juga pendidikan di
masyarakat dan keluarga.
Namun, kritik untuk menumbuhkan kesadaran kritis tersebut hanya dapat digunakan
untuk mengetahui dan memetakan praktik hegemoni ideologis saja. Sadar dan tahu praktik
hegemoni tersebut belum tentu
disertai dengan penolakan atas
pengetahuan, nilai dan kultur yang menghegemoni. Dengan kata lain, kesadaran kritis
tentang praktik ideologisasi
dan hegemoni tersebut belum
dapat untuk menumbuhkan
kesadaran kritis bahwa logika
terorisme adalah tidak tepat
atau salah kaprah.
Kedua, optimalisasi pendidikan agama. Dalam hal ini,
sekolah harus cermat dalam
merekrut guru agama. Berdasarkan pengalaman terorisme di Klaten dan Sukoharjo,
tidak menutup kemungkinan
benih-benih terorisme dan
radikalisme juga bisa terinternalisasi melalui pendidikan
agama. Maka, sudah saatnya
model pembelajaran agama
diubah, dari sekadar mene-
kankan aspek kognitif kepada
pendalaman aspek afektif dan
psikomotorik. Pendidikan
agama dalam bahasa Saridjo
(1996:65) selain sebagai aspek
sublimatif (menyucikan dan
menjadikan tulus ikhlas) setiap
amal perbuatan, juga harus berperan mengantarkan siswanya
untuk memahami dan mengamalkan ajaran agamanya
secara holistis.
Pendidikan agama, tulis
Amin Abdullah (2005), juga
harus mengajarkan kepada
para siswa tentang pentingnya pluralisme, menghargai
kelompok yang berbeda, serta
menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin atau rahmat
bagi seru sekalian alam, bukan tempat bersemayamnya
para teroris. Di samping itu,
metodologi pendidikan agama
sudah saatnya gayut (memiliki
kaitan) dengan era modernitas
bukan malah bersifat kaku dan
kolot. Dan yang utama, guru
agama benar-benar orang yang
profesional sebagai pendidik,
bukan sekadar karena memiliki
pengetahuan agama dari salah
satu ideologi dan lolos seleksi
CPNS guru agama.
Ketiga, sekolah harus lebih
ketat dalam mengawasi siswasiswanya yang berpotensi
direkrut terorisme. Dalam hal
ini, sekolah mesti bekerja sama
dengan OSIS/IPNU atau IPM
yang ada, sehingga setiap tindakan siswa yang mencurigakan bisa langsung ditangani
atau diberi pembinaan. Sekolah juga perlu menjalin kerja
sama yang harmonis baik dengan orang tua, masyarakat,
maupun pemilik kepentingan pada umumnya, terkait
pengawasan dan pembinaan
siswanya. Akhirnya, modus
baru perekrutan terorisme yang
mengincar para pelaku siswa
harus segera dihentikan, demi
masa depan siswa dan terciptanya ketenteraman dalam
masyarakat dan bangsa pada
umumnya. Semoga.
sekolah.
Yang juga penting adalah
bagaimana mengubah cara
pandang birokrasi pendidikan
kita dalam memandang urgensi pendidikan agama yang
terlalu berorientasi kognitif.
Hilangkan jauh-jauh untuk
menempatkan agama sebagai
‘subjek’ uji terhadap siswa,
tetapi lalai dalam mendeterminasikan tumbuhnya budaya
sekolah yang sehat, saling
menghargai, dan menempatkan agama sebagai dasar dari
nilai-nilai yang hidup dan
dikembangkan dalam budaya
sekolah.
Hal itu diperlukan untuk dan
dalam rangka menumbuhkan
kesadaran siswa bahwa memiliki kebebasan untuk memilih
keyakinan (agama), bahkan
dalam beberapa hal mengakui fakta ada orang yang tak
memiliki agama sekalipun, merupakan bukti autentik bahwa
manusia memang diciptakan
Tuhan secara berbeda.
Selain itu, pendidikan agama
di sekolah sangat membutuh-
kan sikap dan cara pandang
guru yang memiliki sikap terbuka, inklusif, mengedepankan dialog, saling memahami
di tengah keanekaragaman
budaya dan agama diakui
sebagai modal penting bagi
kelangsungan kehidupan yang
harmonis di Indonesia. Seperti
disarankan Brelsford (2003),
salah satu tujuan pendidikan
agama di sekolah seyogianya
ditujukan untuk memberikan
pemahaman terhadap siswa
tentang keragaman agama
dan tradisi yang tumbuh di
masyarakat dunia (...to broadly
educate students of varying religious and non-religious identities
about the human experience of
religion or about a spectrum of historic and contemporary religious
traditions).
Secara normatif, penting juga
bagi siswa untuk memahami
bahwa agama ternyata punya
banyak kelemahan, dan di
antara kelemahan yang paling
mendasar adalah karena kelemahan manusia itu sendiri.
Wallahu a’lam bi al-sawab.
CALAK EDU
Pendidikan Agama
S
EBAGAI bangsa yang
mengakui, percaya,
dan menganut paham
bahwa Tuhan ada dan
merepresentasi dalam bentuk
tradisi dan budaya, masyarakat
Indonesia jelas memiliki sandaran teologis yang sangat
kuat. Dalam rangka mempertahankan keyakinan tersebut,
agama bahkan masuk dan
dipaksa masuk ke setiap aspek kehidupan manusia Indonesia. Pendek kata, jika kita
percaya pada premis bahwa
setiap orang yang percaya pada
Tuhan berarti beragama dan
memiliki kesempatan untuk
menjadi orang baik dan benar,
jika ada perilaku yang bertentangan dengan prinsip itu, kita
wajib mempertanyakan kadar
keberagamaan seseorang.
Karena agama sangat penting bagi masyarakat Indonesia, salah satu cara untuk
melanggengkan keyakinan
beragama seseorang adalah
melalui pendidikan. Karena itu, ajaran agama harus
hadir dalam bentuk kuriku-
PARTISIPASI OPINI
lum, untuk dan dalam rangka
mempertahankan keyakinan
seseorang. Agama yang dihadirkan melalui pendidikan
diharapkan dapat mempertahankan kehidupan moral
masyarakat, terutama yang
paling fundamental adalah
menghargai keragaman. Jika
proses pendidikan agama fokus
untuk mengajarkan nilai-nilai
kemanusiaan yang faktanya
sangat beragam, pendidikan
agama pasti akan terhindar dari
mentalitas yang memandang
kebenaran secara tunggal.
Mentalitas yang selalu memandang orang lain secara
berbeda dan karena itu harus
dimusuhi adalah problem kemanusiaan itu sendiri. Jika
mentalitas semacam ini masih
tecermin pada cara bagaimana
agama diajarkan di sekolah, sesungguhnya kita secara diamdiam sedang mengajarkan kekerasan dan kebencian kepada
anak-anak kita. Mentalitas
semacam itu harus diasingkan
dari pendidikan agama kita karena akan menyebabkan anak
didik tidak memiliki empati
dalam melihat perbedaan.
Situasi sosial-politik akhirakhir ini yang dipenuhi kekerasan dan kebencian seharusnya membuat para pendidik
merenung dan menggali banyak pertanyaan tentang pendidikan agama. Apakah agama
dalam pendidikan kita dapat
menjadi cara untuk menumbuhkan kohesi sosial? Apa ada
yang salah dengan pendidikan
agama kita sehingga agama
justru menjadi pemicu dan
pemacu tumbuhnya budaya
main hakim sendiri di tengah
masyarakat kita?
Agar pendidikan agama
berada pada jalur yang benar, Robert Jackson (2004) menyarankan empat hal dalam
implementasinya. Pertama,
materi agama yang diajarkan
harus merepresentasi keragaman masyarakat yang memang
unik. Kedua, materi agama
harus memiliki kedalaman
dan kesempatan kepada siswa
untuk melakukan interpretasi
yang memungkinkan setiap
DOK PRIBADI
Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma, Jakarta
Dan di antara
kelemahan
yang paling mendasar
adalah karena
kelemahan manusia
itu sendiri.”
siswa melakukan perbandingan tentang nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Ketiga,
materi agama harus memberi
keleluasaan kepada siswa untuk secara reflektif melakukan
perenungan tentang makna
kebersamaan. Terakhir (keempat), materi agama semestinya
dapat dimasukkan ke seluruh
bidang studi atau mata ajar
selain agama agar dapat mewarnai moralitas setiap bidang
ilmu.
Dalam konteks kebijakan
pendidikan agama dalam
sistem pendidikan nasional,
harus ada kemauan politik
dari pemerintah untuk mendorong perubahan kurikulum
pendidikan agama ke arah
yang lebih terbuka dengan
fakta keragaman. Sangat mungkin jika dalam mengajarkan
pendidikan agama, sekolah
dapat diberi kebebasan dalam
menentukan prinsip-prinsip
pengajaran yang memiliki orientasi kebersamaan sehingga
dapat mengurangi unsur-unsur
diskriminatif di lingkungan
Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP).
Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)
Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad
Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat
Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus
Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana
Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni
Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryopratomo, Toeti Adhitama
Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hutabarat
Deputi Direktur Pemberitaan: Usman Kansong
Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban
Kepala Divisi Artistik, Foto & Produksi: Syahmedi Dean
Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi
Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar
Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahyudi
Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana
Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing
Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto
Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kustedja, Cri Qanon Ria Dewi,
Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo
Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mochamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani,
Soelistijono
Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana,
Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy,
Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti,
Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, David Tobing, Denny Parsaulian
Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairullah, Eni Kartinah,
Eri Anugerah, Fardiansah Noor, Gino F. Hadi, Heru Prihmantoro,
Heryadi, Ignatius Santirta, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra,
Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Sumantri, Jerome Eugene
W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, Kennorton Hutasoit, M.
Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad
Fauzi, Nurulia Juwita, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini,
Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pramono,
Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani,
Tutus Subronto, Usman Iskandar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zubaedah Hanum
Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Bahar-
man (Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)
MICOM
Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan
Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami,
Widhoroso
Staf Redaksi: Heni Rahayu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita
Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Wisnu Arto Subari
Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Budi Haryanto, Charles Silaban,
M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gustiawan, Widjokongko
DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING)
Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica Huwae
Redaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe
Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian,
Nia Novelia, Rahma Wulandari, Regina Panontongan
CONTENT ENRICHMENT
Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada
Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S
Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto
ARTISTIK
Redaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy
Pata Areadi
Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette
Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Permana, Hari Syahriar,
Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir,
Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono,
Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi
PENGEMBANGAN BISNIS
Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri
Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Sujiyono
Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R
Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto
Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: Joseph
(061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor:
Sohirin (0251) 8349985, Semarang: Desijhon (024) 7461524;
Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 523167; Palembang: Andi
Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Pekanbaru: Bambang Irianto 081351738384.
Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/
Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021)
5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Per-
cetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per
bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri
- Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab.
Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media
Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/
Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon:
(021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105
(Redaksi) e-mail: [email protected], Percetakan:
Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.
mediaindonesia.com,
DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS
DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN
Download