P ENDIDIKAN SENIN, 14 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA 15 Pendidikan dan Jerat Terorisme T E RTA N G K A P N YA beberapa tersangka terorisme oleh Densus 88, di Klaten dan Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng), beberapa waktu lalu membuat miris kita semua. Bagaimana tidak, tersangka terorisme itu masih terbilang belia, yang merupakan alumni dan sebagian masih mengenyam pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK). Dari fenomena tertangkapnya remaja tersangka terorisme itu, paling tidak mengisyaratkan tiga hal penting. Pertama, adanya modus baru perekrutan terorisme yang mengincar alumni atau yang masih menjadi siswa SMK. Kedua, lemahnya pengawasan orang tua akan aktivitas putraputrinya. Adapun ketiga, mulai tersusupinya dunia pendidikan dengan paham terorisme. Tiga hal sebagaimana disebutkan menjadi penting untuk mendapat perhatian serius, tidak saja dari orang tua, sekolah, dan masyarakat, tetapi juga segenap pemangku kepentingan pendidikan. Jika tidak segera mendapat penanganan yang serius, atau tidak dilakukan langkah-langkah strategis, bisa dipastikan akan semakin banyak siswa dan remaja kita pada umumnya yang menjadi ‘kaki tangan’ dan ‘pengantin’ aksi terorisme. Secara pasti, mereka bakal menebar ancaman dan keresahan di lingkungan masyarakat. Menurut Kapolda Jateng Irjen Edward Aritonang (2011), dari bukti tertangkapnya ketujuh tersangka terorisme itu, diketahui bahwa terjadi perubahan model dan strategi perekrutan gembong teroris. Mereka, lanjut Edward, saat ini cenderung mengincar remaja lulusan SMK karena dinilai sudah memiliki kemampuan dasar mengenai jaringan listrik. Lebih dari itu, para lulusan SMK dianggap memiliki sejumlah kelebihan dibanding alumni SMA mau- pun SMEA. Bukan saja mereka sudah mengetahui tentang rangkaian listrik, sambungmenyambung kabel, tetapi juga membuat atau mengoperasikan berbagai komponen mekanik kelistrikan yang erat kaitannya dengan gerakan terorisme. Dangkal pemahaman Menurut pemerhati terorisme Al-Chaidar (2011), remaja atau istilah kerennya ‘anak baru gede’ (ABG) lebih mudah dibentuk atau di-’cuci’ otaknya. Apakah karena para ABG itu tergolong bodoh, sehingga mudah dibelokkan dan direkrut terorisme? Ternyata tidak, mereka tergolong remaja yang cerdas. Bahkan, menurut Kepala SMKN 2 Klaten, Muhamad Soleh, tiga tersangka teroris adalah alumni sekolahnya yang memiliki prestasi cukup menonjol. Rata-rata nilai mereka 7-8 ke atas, bahkan untuk nilai-nilai pelajaran eksak tergolong tinggi. Lantas mengapa mereka bisa dengan mudah ‘didoktrin’? Ternyata, para teroris sengaja melakukan perekrutan kepada remaja atau pelajar di kalangan sekolah dan universitas negeri, yang rata-rata pendidikan dan pemahaman agamanya rendah. Karena pengetahuan agama dangkal dan tidak mendalam, lanjut Al-Chaidar, mereka akan menerima begitu saja doktrin terorisme yang diberikan para perekrutnya. Apalagi, berdasarkan temuan aparat kepolisian pada beberapa kasus, para ‘tukang rekrut’ memiliki banyak akal dan banyak keahlian; seperti menjadi guru (ustaz) ngaji, mubalig, tukang dakwah dan sebagainya. Para perekrut teroris ini, biasanya berusaha membungkus kelompoknya dengan semenarik mungkin, seperti menawari kegiatan out-bond yang bernuansa keislaman. Dari kegiatan out-bond itu, Agus Wibowo Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta diselipkan nilai-nilai terorisme atas nama jihad dengan menyitir ayat-ayat Alquran, hadis, dan sebagainya. Karena pemahaman agama yang dangkal itu, mereka tidak akan banyak bertanya mengenai ayat Quran yang dikutip sang perekrut. Sebenarnya penggunaannya dalam konteks (asbabul nuzul) apa. Begitu pula dengan hadis, mereka tidak akan bertanya banyak mengenai asbabul wurud, kesahihan hadis, serta sanad-nya dari mana saja dan sampai tingkat berapa. Singkat kata, pengetahuan remaja yang direkrut menjadi teroris itu hanya pada tataran rasional yang dangkal. D i l i h a t dari aspek pengasuhan, para t e r sangk a teroris itu umumnya kurang mendapat perhatian dari orang tua. Sebagaimana pengakuan orang tua tersangka—yang sebagian adalah buruh—intensitas pengawasan terhadap anak-anak mereka sangat kurang. Orang tua juga tidak pernah menaruh curiga, karena anak mereka terlihat alim, bahkan sering ke masjid. Padahal, di masjid itulah sebenarnya telah terjadi proses indoktrinasi sang anak oleh para teroris. Akibatnya, para orang tua tidak mengetahui apa saja yang dilakukan anakanak mereka. Karena itu, ketika anak-anak ditangkap Densus 88 atau aparat berwajib lainnya, orang tua ngotot membela. Pendidikan kritis Jika melihat fenomena sebagaimana di- FREDDY sebutkan, dunia pendidikan harus meningkatkan kewaspadaannya dan tidak boleh ‘kecolongan’ lagi. Adapun langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan di antaranya: Pertama, mengoptimal kan penginternalisasian pendidikan kritis, yang sering disebut sebagai pendidikan pembebasan, pendidikan perlawanan dan sejenisnya. Dalam konteks ini, dikaitkan untuk melawan sebuah ideologi yaitu fundamentalisme yang mengarah pada radikalisme dan terorisme. Menurut Edi Subkhan (2010), pendidikan kritis dalam hal ini dipahami sebagai sebuah pendekatan paradigmatik, yang memandang bahwa praksis p e n didikan pada hakikatnya tidaklah netral. Pendidikan penuh dengan tarik ulur kepentingan politik, ekonomi, dan ideologis. Di situlah kemudian, yang dalam bahasa Fraire (2000), telah terjadi hegemoni kultural dan ideologis, melalui pengetahuan, norma, nilai-nilai, dan kultur yang diterima siswa. Tugas pendidikan kritis dalam fenomena terorisme masuk sekolah, adalah menggugah nalar kritis dari pelaku pendidikan (siswa, mahasiswa, guru, dan lainnya), untuk menyadari bahwa telah terjadi hegemoni dan ideologisasi. Cara untuk membangun kesadaran kritis tersebut tiada lain adalah dengan mengkritik praktik pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini dialog dan keterlibatan mendalam dalam praktik sosial adalah pendekatan pembelajaran a yang tepat untuk mengasah nalar kritis dan sensitivitas n sosial. Tanpa nalar kritis dan sensitivitas sosial tersebut, akan relatif sulit untuk mengetahui dan menyadari praktik hegemoni dan ideologisasi. Oleh karena itu, upaya mengkritik secara kritis praktik pendidikan tersebut dapat disebut sebagai upaya dari pendekatan kritis dalam melawan hegemoni ideologis. Dalam konteks melawan logika terorisme dan radikalisme di sini, tugas pendidikan kritis adalah menyadarkan semua orang, bahwa telah terjadi praktik ideologisasi dan hegemoni logika terorisme dan radikalisme dalam praktik pendidikan. Tentu yang dimaksud praktik pendidikan di sini tidak hanya dalam sistem persekolahan seperti sekolah dan kampus, tetapi juga pendidikan di masyarakat dan keluarga. Namun, kritik untuk menumbuhkan kesadaran kritis tersebut hanya dapat digunakan untuk mengetahui dan memetakan praktik hegemoni ideologis saja. Sadar dan tahu praktik hegemoni tersebut belum tentu disertai dengan penolakan atas pengetahuan, nilai dan kultur yang menghegemoni. Dengan kata lain, kesadaran kritis tentang praktik ideologisasi dan hegemoni tersebut belum dapat untuk menumbuhkan kesadaran kritis bahwa logika terorisme adalah tidak tepat atau salah kaprah. Kedua, optimalisasi pendidikan agama. Dalam hal ini, sekolah harus cermat dalam merekrut guru agama. Berdasarkan pengalaman terorisme di Klaten dan Sukoharjo, tidak menutup kemungkinan benih-benih terorisme dan radikalisme juga bisa terinternalisasi melalui pendidikan agama. Maka, sudah saatnya model pembelajaran agama diubah, dari sekadar mene- kankan aspek kognitif kepada pendalaman aspek afektif dan psikomotorik. Pendidikan agama dalam bahasa Saridjo (1996:65) selain sebagai aspek sublimatif (menyucikan dan menjadikan tulus ikhlas) setiap amal perbuatan, juga harus berperan mengantarkan siswanya untuk memahami dan mengamalkan ajaran agamanya secara holistis. Pendidikan agama, tulis Amin Abdullah (2005), juga harus mengajarkan kepada para siswa tentang pentingnya pluralisme, menghargai kelompok yang berbeda, serta menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seru sekalian alam, bukan tempat bersemayamnya para teroris. Di samping itu, metodologi pendidikan agama sudah saatnya gayut (memiliki kaitan) dengan era modernitas bukan malah bersifat kaku dan kolot. Dan yang utama, guru agama benar-benar orang yang profesional sebagai pendidik, bukan sekadar karena memiliki pengetahuan agama dari salah satu ideologi dan lolos seleksi CPNS guru agama. Ketiga, sekolah harus lebih ketat dalam mengawasi siswasiswanya yang berpotensi direkrut terorisme. Dalam hal ini, sekolah mesti bekerja sama dengan OSIS/IPNU atau IPM yang ada, sehingga setiap tindakan siswa yang mencurigakan bisa langsung ditangani atau diberi pembinaan. Sekolah juga perlu menjalin kerja sama yang harmonis baik dengan orang tua, masyarakat, maupun pemilik kepentingan pada umumnya, terkait pengawasan dan pembinaan siswanya. Akhirnya, modus baru perekrutan terorisme yang mengincar para pelaku siswa harus segera dihentikan, demi masa depan siswa dan terciptanya ketenteraman dalam masyarakat dan bangsa pada umumnya. Semoga. sekolah. Yang juga penting adalah bagaimana mengubah cara pandang birokrasi pendidikan kita dalam memandang urgensi pendidikan agama yang terlalu berorientasi kognitif. Hilangkan jauh-jauh untuk menempatkan agama sebagai ‘subjek’ uji terhadap siswa, tetapi lalai dalam mendeterminasikan tumbuhnya budaya sekolah yang sehat, saling menghargai, dan menempatkan agama sebagai dasar dari nilai-nilai yang hidup dan dikembangkan dalam budaya sekolah. Hal itu diperlukan untuk dan dalam rangka menumbuhkan kesadaran siswa bahwa memiliki kebebasan untuk memilih keyakinan (agama), bahkan dalam beberapa hal mengakui fakta ada orang yang tak memiliki agama sekalipun, merupakan bukti autentik bahwa manusia memang diciptakan Tuhan secara berbeda. Selain itu, pendidikan agama di sekolah sangat membutuh- kan sikap dan cara pandang guru yang memiliki sikap terbuka, inklusif, mengedepankan dialog, saling memahami di tengah keanekaragaman budaya dan agama diakui sebagai modal penting bagi kelangsungan kehidupan yang harmonis di Indonesia. Seperti disarankan Brelsford (2003), salah satu tujuan pendidikan agama di sekolah seyogianya ditujukan untuk memberikan pemahaman terhadap siswa tentang keragaman agama dan tradisi yang tumbuh di masyarakat dunia (...to broadly educate students of varying religious and non-religious identities about the human experience of religion or about a spectrum of historic and contemporary religious traditions). Secara normatif, penting juga bagi siswa untuk memahami bahwa agama ternyata punya banyak kelemahan, dan di antara kelemahan yang paling mendasar adalah karena kelemahan manusia itu sendiri. Wallahu a’lam bi al-sawab. CALAK EDU Pendidikan Agama S EBAGAI bangsa yang mengakui, percaya, dan menganut paham bahwa Tuhan ada dan merepresentasi dalam bentuk tradisi dan budaya, masyarakat Indonesia jelas memiliki sandaran teologis yang sangat kuat. Dalam rangka mempertahankan keyakinan tersebut, agama bahkan masuk dan dipaksa masuk ke setiap aspek kehidupan manusia Indonesia. Pendek kata, jika kita percaya pada premis bahwa setiap orang yang percaya pada Tuhan berarti beragama dan memiliki kesempatan untuk menjadi orang baik dan benar, jika ada perilaku yang bertentangan dengan prinsip itu, kita wajib mempertanyakan kadar keberagamaan seseorang. Karena agama sangat penting bagi masyarakat Indonesia, salah satu cara untuk melanggengkan keyakinan beragama seseorang adalah melalui pendidikan. Karena itu, ajaran agama harus hadir dalam bentuk kuriku- PARTISIPASI OPINI lum, untuk dan dalam rangka mempertahankan keyakinan seseorang. Agama yang dihadirkan melalui pendidikan diharapkan dapat mempertahankan kehidupan moral masyarakat, terutama yang paling fundamental adalah menghargai keragaman. Jika proses pendidikan agama fokus untuk mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang faktanya sangat beragam, pendidikan agama pasti akan terhindar dari mentalitas yang memandang kebenaran secara tunggal. Mentalitas yang selalu memandang orang lain secara berbeda dan karena itu harus dimusuhi adalah problem kemanusiaan itu sendiri. Jika mentalitas semacam ini masih tecermin pada cara bagaimana agama diajarkan di sekolah, sesungguhnya kita secara diamdiam sedang mengajarkan kekerasan dan kebencian kepada anak-anak kita. Mentalitas semacam itu harus diasingkan dari pendidikan agama kita karena akan menyebabkan anak didik tidak memiliki empati dalam melihat perbedaan. Situasi sosial-politik akhirakhir ini yang dipenuhi kekerasan dan kebencian seharusnya membuat para pendidik merenung dan menggali banyak pertanyaan tentang pendidikan agama. Apakah agama dalam pendidikan kita dapat menjadi cara untuk menumbuhkan kohesi sosial? Apa ada yang salah dengan pendidikan agama kita sehingga agama justru menjadi pemicu dan pemacu tumbuhnya budaya main hakim sendiri di tengah masyarakat kita? Agar pendidikan agama berada pada jalur yang benar, Robert Jackson (2004) menyarankan empat hal dalam implementasinya. Pertama, materi agama yang diajarkan harus merepresentasi keragaman masyarakat yang memang unik. Kedua, materi agama harus memiliki kedalaman dan kesempatan kepada siswa untuk melakukan interpretasi yang memungkinkan setiap DOK PRIBADI Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta Dan di antara kelemahan yang paling mendasar adalah karena kelemahan manusia itu sendiri.” siswa melakukan perbandingan tentang nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Ketiga, materi agama harus memberi keleluasaan kepada siswa untuk secara reflektif melakukan perenungan tentang makna kebersamaan. Terakhir (keempat), materi agama semestinya dapat dimasukkan ke seluruh bidang studi atau mata ajar selain agama agar dapat mewarnai moralitas setiap bidang ilmu. Dalam konteks kebijakan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional, harus ada kemauan politik dari pemerintah untuk mendorong perubahan kurikulum pendidikan agama ke arah yang lebih terbuka dengan fakta keragaman. Sangat mungkin jika dalam mengajarkan pendidikan agama, sekolah dapat diberi kebebasan dalam menentukan prinsip-prinsip pengajaran yang memiliki orientasi kebersamaan sehingga dapat mengurangi unsur-unsur diskriminatif di lingkungan Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP). Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm) Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryopratomo, Toeti Adhitama Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hutabarat Deputi Direktur Pemberitaan: Usman Kansong Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban Kepala Divisi Artistik, Foto & Produksi: Syahmedi Dean Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahyudi Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kustedja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mochamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelistijono Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, David Tobing, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anugerah, Fardiansah Noor, Gino F. Hadi, Heru Prihmantoro, Heryadi, Ignatius Santirta, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Sumantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, Kennorton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pramono, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zubaedah Hanum Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Bahar- man (Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya) MICOM Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso Staf Redaksi: Heni Rahayu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Wisnu Arto Subari Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Budi Haryanto, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gustiawan, Widjokongko DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING) Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica Huwae Redaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia Novelia, Rahma Wulandari, Regina Panontongan CONTENT ENRICHMENT Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto ARTISTIK Redaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata Areadi Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi PENGEMBANGAN BISNIS Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Sujiyono Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: Joseph (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor: Sohirin (0251) 8349985, Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Pekanbaru: Bambang Irianto 081351738384. Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Per- cetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/ Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Percetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www. mediaindonesia.com, DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN