PENDAHULUAN Latar Belakang Taeniasis dan sistiserkosis akibat infeksi cacing pita babi Taenia solium merupakan salah satu zoonosis di daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi lingkungannya masih rendah, seperti di Asia Tenggara, India, Afrika Selatan, dan Amerika Latin. Taeniasis adalah infeksi cacing pita dewasa Taenia solium dalam usus halus manusia. Infeksi stadium larva atau metacestoda (sistiserkus) pada inang antara menyebabkan sistiserkosis. Cysticercus cellulosae adalah bentuk metacestoda dari T.solium pada babi. Adanya sistiserkus pada otot-otot babi akan menyebabkan degradasi sel-sel disekitarnya. Apabila jumlah parasit itu cukup banyak maka sebagian atau seluruh karkas babi tersebut harus dimusnahkan, karena akan menjadi sumber penularan T.solium pada manusia (Soulsby 1982; Dharmawan 1990). Manusia juga dapat menderita sistiserkosis apabila menelan telur atau proglotida Taenia yang mengkontaminasi makanan atau melalui proses autoinfeksi. Kasus taeniasis dan sistiserkosis di Indonesia ditemukan terutama di empat provinsi yaitu Sumatra Utara, Bali, Papua dan Papua Barat. Dari keempat provinsi tersebut, jumlah kasus pada manusia paling banyak ditemukan di Provinsi Papua sehingga penyakit ini merupakan salah satu masalah serius dalam bidang kesehatan masyarakat yang dihadapi Provinsi Papua (Margono et al. 2001). Penyebaran kasus tersebut di Provinsi Papua meliputi Kabupaten Jayawijaya, Paniai, serta beberapa kabupaten pemekaran dari Jayawijaya (Yahukimo, Tolikara dan Pegunungan Bintang) (Subahar et al. 2000; Wandra et al. 2003; Dinkes Kab. Jayawijaya 2006). Studi tentang taeniasis dan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya lebih banyak dilakukan pada manusia sebagai inang definitif dari cacing tersebut. Menurut laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua (2004) dari 356 orang penduduk Kabupaten Jayawijaya yang diperiksa, 4 orang menderita taeniasis dan 124 orang sistiserkosis. Pada tahun 2005 dilaporkan, bahwa dari 38 orang yang diperiksa 12 orang ditemukan terinfeksi taeniasis (Dinkes Papua 2005). Di sisi 2 lain studi tentang peran babi dalam transmisi penyakit ini belum pernah dilakukan. Selama ini belum pernah ada catatan dan laporan secara sistematik kepada Dinas Peternakan Provinsi Papua tentang kejadian sistiserkosis yang terjadi setiap tahun pada babi di Kabupaten Jayawijaya. Ternak babi di Provinsi Papua, khususnya bagi masyarakat Lembah Balliem Kabupaten Jayawijaya, merupakan salah satu komoditas unggulan dan memiliki nilai adat dan budaya yang sangat tinggi. Hampir sebagian besar masyarakat Jayawijaya beternak babi secara turun-temurun sejak dahulu kala. Kepemilikan babi juga dijadikan sebagai alat pengukur kekayaan (status sosial) seseorang, sehingga semakin banyak babi yang dimiliki seseorang berarti semakin tinggi status sosialnya di tengah masyarakat (Pattiselano 2005). Program pengendalian taeniasis/sistiserkosis pada manusia tidak akan efektif tanpa diikuti upaya pemutusan siklus hidup Taenia solium. Stadium larva (Cysticercus cellulosae) dalam daging babi merupakan sumber infeksi bagi manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan studi untuk mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi serta kondisi faktor-faktor lain seperti sanitasi lingkungan, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat di Kabupaten Jayawijaya. Tujuan Penelitian 1. Mempelajari tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dipotong dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua. 2. Mempelajari kondisi sanitasi lingkungan, sistem peternakan, dan perilaku masyarakat yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi dan masukan bagi Pemerintah Provinsi Papua, dan khususnya Pemerintah Kabupaten Jayawijaya dalam rangka pemberantasan penyakit sistiserkosis pada babi dan menusia serta taeniasis solium pada manusia di Kabupaten Jayawijaya Papua. 3 Hipotesis Penelitian 1. Ditemukan sistiserkus pada babi yang dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya. 2. Kondisi sanitasi lingkungan, budaya, sistem peternakan dan perilaku masyarakat mendukung terjadinya sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya.