TB BTA-negatif: protein C-reaktif mungkin menyediakan metode skrining yang berguna Oleh: Lesley Odendal, aidsmap.com, 14 April 2009 Menskrining Odha dengan TB paru BTA-negatif terhadap protein C-reaktif dengan tingkat tinggi dapat mendeteksi keberadaan TB aktif dengan tingkat keakuratan yang cukup tinggi. Hal itu memberi kesan bahwa protein C-reaktif dapat menyediakan dasar untuk tes di tempat perawatan untuk mendeteksi TB aktif pada kasus BTA-negatif di rangkaian beban tinggi. Hal itu berdasarkan sebuah penelitian yang dipresentasikan dalam South African AIDS Conference keempat di Durban pada awal April 2009. Mikroskopi BTA adalah diagnosis lini pertama untuk orang yang diduga TB. Dahak dioleskan pada piringan kaca mikroskop, dinodai oleh pewarna yang menunjukkan basil TB dan kemudian diamati dengan mikroskop untuk menentukan keberadaan basil TB. Namun pada Odha, infeksi paru dengan TB lebih mungkin menghasilkan BTA-negatif, mengakibatkan penundaan pengobatan sementara tes diagnosis selanjutnya dilakukan, atau gagal mengobati TB aktif pada beberapa kasus. Keduanya mengakibatkan peningkatan mortalitas pada Odha. Tes diagnosis sederhana di tempat perawatan yang dapat menangani masalah itu dibutuhkan secara mendesak. Tingkat protein C-reaktif, tanda peradangan yang dapat diukur secara mudah dalam contoh darah, menjadi lebih tinggi pada TB paru BTA-negatif yang tidak diobati. Penelitian sebelumnya pada pasien HIV-negatif memberi kesan bahwa protein C-reaktif lebih mungkin meningkat apabila terjadi kerusakan jaringan yang lebih berat terjadi pada paru akibat TB. Untuk menyelidiki hubungan antara tingkat protein C-reaktif dan keberadaan TB aktif pada orang BTA-negatif yang diduga TB paru, Douglas Wilson dari Universitas KwaZulu Natal dan rekan melakukan analisis subkelompok secara prospektif terhadap kohort yang diduga TB paru dengan BTA-negatif yang dilibatkan dari klinik kesehatan primer di Rumah Sakit Edendale Hospital antara 2005 dan 2007. Untuk setiap pasien yang ditunjuk ke dalam penelitian, dilakukan biakan mikobakteri pada dahak dan unsur klinis penting lain. Kedua kelompok itu dibagi menjadi kelompok dengan TB paru yang dikonfirmasi dan yang dipastikan tidak TB paru. Kriteria yang dimasukkan untuk kedua kelompok itu adalah bahwa orang tersebut harus HIV-positif atau memiliki bukti klinis terhadap infeksi HIV, batuk selama lebih dari dua minggu, memiliki dua kali hasil BTA-negatif serta dinilai oleh petugas klinis di pusat layanan kesehatan primer termasuk rontgen dada. Untuk kelompok TB paru yang dikonfirmasi, harus ada bukti TB berdasarkan hasil tes biakan di laboratorium dan pasien mulai pengobatan TB. Untuk kelompok yang dipastikan tidak TB paru, seluruh hasil laboratorium harus mengonfirmasi bahwa tidak ada TB paru. Di antara 504 orang yang diduga TB yang diskrining, 421 didaftarkan ke dalam kohort. Ada 105 pasien (24,9%) yang dikonfirmasi dengan TB paru BTA-negatif. Sejumlah 102 pasien dikonfirmasi biakan-positif sementara dua pasien memiliki hasil tes BTA-positif. Satu pasien memiliki hasil tes histologi kelenjar getah bening positif terhadap TB. Ada 67 pasien (63,8%) menerima antibiotik oral, 46 pasien (10,9%) didiagnosis dengan TB paru BTA-negatif. Pada awal, 88% kasus TB paru mengalami keringat di malam hari dan 89% mengalami penurunan berat badan berat, dibandingkan 61% yang mengalami keringat di malam hari dan 76% yang mengalami penurunan berat badan berat pada kelompok yang dipastikan tidak TB paru. Median tingkat protein C-reaktif pada kelompok TB paru yang dikonfirmasi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok yang dipastikan tidak TB-paru (86,5 mg/L (CI 95 %; 47,7-126) pada kelompok TB-paru banding 5,5 (CI 95 %; 2,9–31,1) pada kelompok yang dipastikan tidak TB paru). Peningkatan protein C-reaktif ditemukan memiliki 79% sensitivitas dan 85% spesifisitas untuk Dokumen ini diunduh dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/ TB BTA-negatif: protein C-reaktif mungkin menyediakan metode skrining yang berguna mendeteksi TB paru, menunjukkan bahwa tes itu akan melewatkan TB aktif pada kurang lebih seperlima orang dan salah mendiagnosis seseorang sebagai memiliki TB aktif pada kurang lebih satu di antara tujuh kasus. Sementara temuan itu memiliki dampak positif terhadap diagnosis TB paru pada populasi HIV-positif, karena penelitian ini adalah sub-analis yang perlu dibuktikan, lebih banyak penelitian tentang ini diperlukan. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan tentang diagnosis TB luar paru pada Odha. Ringkasan: Smear-negative TB: C-reactive protein may provide useful screening method Sumber: Wilson, D. Performance of C-reactive protein (CRP) as a screening tool for smear-negative pulmonary TB in HIV positive adults. Fourth South African AIDS Conference, Durban, South Africa. Abstract 413. 2009 –2–