ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN OTITIS MEDIA AKUT (OMA) (Studi di Poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya) SHOFIA KARIMA NIM. 051211133058 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA DEPARTEMEN FARMASI KLINIS SURABAYA 2016 ii SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan pengajaran melalui petunjuk, ilmu, kemudahan, kesabaran serta kekuatan kepada penulis sehingga skripsi dengan judul “Profil Penggunaan Obat pada Pasien Otitis Media Akut” dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi panutan dan contoh bagi seluruh umat manusia. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dra.Yulistiani, M.Si., Apt., selaku pembimbing utama atas bimbingan, pengarahan, masukan dan motivasi hingga skripsi ini terselesaikan. 2. Titiek Hidayati Ahadiah, dr. Sp. THT KL (K) dan Ibu Ririn Prasetyo U., S.Farm., Sp.FRS., Apt selaku pembimbing serta atas bimbingan, pengarahan, masukan dan motivasi pada skripsi ini. 3. Dr. Budi Suprapti, M.Si., Apt., dan Samirah, S.Si., Sp.FRS., Apt sebagai dosen penguji atas kritik dan saran yang diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya, Dr.Umi Athiyah, MS., Apt atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama peneliti menjalani pendidikan maupun melaksanakan penelitian. 5. Dr. Aty Widyawaruyanti, M.S., Apt selaku dosen wali yang selalu memberikan nasihat, motivasi dan semangat selama menempuh pendidikan Program Sarjana. vi SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 6. Para dosen yang telah mendidik dan membimbing selama menjalani perkuliahan di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. 7. Sekretaris SMF THT dan karyawan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Kedua orang tua penulis, Dr. dr. Cicik Sechah Hasan Ba’agil., M.Kes dan Drs. Nuch Chirid untuk kasih sayang sepanjang masa, dukungan, serta doa yang selalu dipanjatkan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program Sarjana. 9. Kakak penulis Syarif Ahmad Yusuf dan Aisyah Assegaf, atas perhatian, masukan dan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Keluarga Amoksilin Fakultas Farmasi Angkatan 2012, terutama teman-teman kelas C yang telah menemani dan selalu memberikan motivasi pada penulis selama menimba ilmu di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, baik dalam suka maupun duka. 11. Teman seperjuangan skripsi: Ariesta Novly, Afifatun Nisa, Dhita Amalina R.P atas dukungan, semangat dan tekad untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 12. Teman sekaligus keluarga: Dinda, Asa, Nadia, Anggun, Tika, Safa, Liga, serta seluruh teman KKN yang selalu menemani dalam suka dan duka. 13. Kakak angkatan 2011: Fadhil Almasyhur, Edy Santoso, dan Nuzulla Rizka yang telah membantu saya selama menjalani kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. vii SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan demi perbaikan pada skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam penggunaan Obat-obatan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya, Agustus 2016 Penulis viii SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RINGKASAN PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN OTITIS MEDIA AKUT (OMA) (Studi dilakukan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya) SHOFIA KARIMA OMA merupakan infeksi telinga tengah yang mayoritas menyerang anak-anak. Penanganan OMA yang tidak tepat dapat berakibat perkembangan penyakit OMSK. Bakteri yang sering menyebabkan OMA adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, Moraxella catarrhalis, dan Staphylococcus aureus, oleh karena itu antibiotika terpilih sebagai modalitas terapi utama. Analgesik, dekongestan, dan antihistamin juga terpilih sebagai terapi simptomatik. Dalam penggunaan obat tersebut dosis, frekuensi, dan lama terapi bervariasi antar pasien sehingga perlu diperhatikan perbedaan kondisi pasien. Penelitian ini memiliki tujuan menganalisa pola terapi obat pada pasien OMA yang meliputi jenis obat, frekuensi penggunaan, durasi terapi, serta problema obat. Penelitian dilakukan secara retrospektif di RSUD Dr. Soetomo Surabaya terhadap pasien yang menjalani rawat jalan di poli THT dengan diagnosa Otitis Media Akut (OMA) periode Januari sampai dengan Desember 2015 dengan sampel penelitian sebanyak 80 pasien yang diambil dengan menggunakan metode total sampling dan telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa OMA terjadi mayoritas pada wanita dengan prosentase 62% dibandingkan dengan pria 38% dengan rentang usia pasien terbanyak 0-4 tahun 27%. Keluhan yang dialami oleh pasien adalah otorrhea 66%, pendengaran menurun 24%, otalgia 17%, telinga berdengung 7%, dan telinga mengeluarkan cairan berbau 11%. Penelitian ini dilakukan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo, rute antibiotika yang terpilih sebagai terapi OMA adalah per oral. Berdasarkan hasil penelitian terapi antibiotika yang digunakan meliputi amoksisilin (12%), amoksiklav (6%), klindamisin (6%), ofloksasin (2%), siprofloksasin (2%), sefadroksil (2%), dan sefpodoksim (1%). Pasien juga diresepkan antibiotika topikal yaitu tetes telinga ofloksasin (30%). Terapi tambahan lain yang diberikan adalah analgesik untuk mengatasi otalgia meliputi asam mefenamat, parasetamol, ibuprofen, ix SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA dan natrium diklofenak. Dekongestan dan antihistamin diberikan ketika pasien mengalami flu. Antibiotika yang diresepkan pada pasien terdiri dari antibiotika tunggal dan kombinasi antara antibiotika oral dengan antibiotika topikal. Kombinasi antibiotika diberikan pada pasien yang telah mengalami OMA stadium perforasi. Dosis dan frekuensi penggunaan semua obat yang diberikan telah sesuai dengan yang tercantum pada pustaka. Problema obat yang terjadi adalah interaksi obat potensial antara siprofloksasin dengan kafein (2%) dan siprofloksasin dengan diklofenak (1%), selain itu makanan juga dapat menurunkan absorbsi dari siprofloksasin (2%). Berdasarkan uraian diatas, pasien perlu mendapatkan informasi yang tepat tentang penggunaan obat yang benar terutama dalam menggunakan antbiotika agar kepatuhan pasien meningkat serta mencapai outcome terapi dan problema obat dapat diminimalkan. Selain itu perlu dilakukan pencatatan informasi pada DMK yang lengkap sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit. x SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA ABSTRACT DRUG UTILIZATION STUDY IN ACUTE OTITIS MEDIA (AOM) PATIENT (Study at Ambulatory Unit of Ears, Nose, and Throat Department of Dr. Soetomo Teaching Hospital ) SHOFIA KARIMA Background: AOM is an infection that attacking the middle ear through the eustachian tube as main route and usually accompanied by the formation of purulent secretions. Antibiotics is the first line therapy in management of AOM which have variety in dosage, route of administration, frequency, and duration of therapy. Analgesics, decongestant, and antihistamine will be given dependent to patients condition. Objective: The aims of this study was to analyze profile of drug utilization associated with type, route of administration, frequency, duration of therapy, and to identify drug related problems (DRPs). Methods: A retrospective study with descriptive analysis was conducted during period January until December 2015 at Dr. Soetomo Teaching Hospital in patient with AOM. This study had been approved by Ethic Committee in Dr. Soetomo Teaching Hospital. Result: The results of this study on 80 patients showed that first line therapy of AOM was amoxicillin (12%) as an oral antibiotics and ofloxacin otic drop (30%) as a topical antibiotics. Analgesics was given to patient with otalgia, and the majority was mefenamic acid. Drug related problems that found in this study was potential interaction among drugs and food. Conclusion: Dosage of drugs, frequency, duration of therapy associated with AOM had been appropriate with the literature. Pharmacist should give right and detailed informations to patient. Keywords: AOM, antibiotics, drug utilization profile, drug utilization study (DUS), analgesics, dose, oral antibiotics, topical antibiotics. xi SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................. VI HALAMAN RINGKASAN ......................................................... IX HALAMAN ABSTRAK .............................................................. XI DAFTAR ISI ............................................................................... XII DAFTAR GAMBAR ................................................................... XIV DAFTAR TABEL........................................................................ XV DAFTAR LAMPIRAN ................................................................ XVIII DAFTAR SINGKATAN.............................................................. XIX BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .............................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................... 9 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................ 9 1.4 Manfaat Penelitian ...................................................... 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan tentang OMA ................................................ 11 2.1.1 Definisi OMA ..................................................... 11 2.1.2 Stadium OMA..................................................... 11 2.1.3 Klasifikasi OMA ................................................. 15 2.1.4 Etiologi OMA ..................................................... 16 2.1.5 Faktor Risiko ...................................................... 17 2.1.6 Epidemiologi OMA ............................................ 21 2.1.7 Patofisiologi OMA .............................................. 23 2.1.8 Manifestasi Klinis ............................................... 28 2.1.9 Pemeriksaan Data Klinik ..................................... 29 xii SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2.1.10 Manajemen Terapi ............................................ 30 2.2 Tinjauan Obat.............................................................. 35 2.2.1 Analgesik ............................................................ 35 2.2.2 Antibiotika .......................................................... 40 2.2.3 Dekongestan ....................................................... 57 2.3 Drug Related Problem................................................. 59 2.3.1 Definisi ............................................................... 59 2.3.2 Kategori .............................................................. 59 2.3.3 DRP terkait OMA ............................................... 60 BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 3.1 Kerangka Konseptual .................................................. 62 3.2 Kerangka Operasional ................................................. 64 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ............................................................ 65 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................... 65 43. Populasi dan Sampel Penelitian ................................... 65 4.4 Kriteria Inklusi ............................................................ 66 4.5 Definisi Operasional .................................................... 66 4.6 Ethical Clearance........................................................ 67 4.7 Cara Pengumpulan Data .............................................. 67 4.8 Pengolahan dan Hasil Analisa Data ............................. 68 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Data Demografi Pasien ................................................ 69 5.2 Penggolongan Stadium Otitis Media Akut (OMA) ...... 70 5.3 Data Klinik pada Pasien Otitis Media Akut (OMA) ..... 71 5.4 Data Keluhan Pasien dengan Diagnosa Otitis Media Akut (OMA) ................................................................ 73 xiii SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 5.5 Organ Telinga yang Terserang OMA........................... 74 5.6 Terapi Umum untuk Mengatasi OMA ......................... 75 5.7 Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien OMA ......... 78 5.8 Pola Penggunaan Obat-obatan Lain pada Pasien OMA ..80 5.9 Pola Penggunaan Antibiotika Oral dan Antibiotika Topikal pada OMA ..................................................... 84 5.10 Angka Kekambuhan OMA ........................................ 87 5.11 Problema Obat........................................................... 88 5.12 Outcomes Terapi OMA ............................................. 90 BAB VI PEMBAHASAN ........................................................... 91 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ................................................................. 111 7.2 Saran ........................................................................... 112 DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 113 LAMPIRAN ............................................................................... 121 xiv SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Hiperemia pada Stadium Kataral .............................. 13 Gambar 2.2 Sekret Mukopurulen pada Stadium Supurasi ............ 14 Gambar 2.3 Stadium Perforasi..................................................... 15 Gambar 2.4 Prosentase Bakteri OMA.......................................... 17 Gambar 2.5 Perbedaan Anatomi Saluran Eustasius Anak dan Dewasa .................................................................... 18 Gambar 2.6 Alergi yang Berkaitan dengan OMA ........................ 20 Gambar 2.7 Ruang pada Telinga Tengah ..................................... 25 Gambar 2.8 Inflamasi yang Terjadi di Saluran Eustasius ............. 25 Gambar 2.9 Reaksi Inflamasi yang Melibatkan Pirogen Endogen 27 Gambar 2.10 Reaksi Inflamasi yang Melibatkan TLR-2 pada OMA .............................................................. 27 Gambar 2.11 Telinga Tengah yang Mengalami Inflamasi ............. 28 Gambar 2.12 Pemeriksaan Otoskopik yang Dilakukan terhadap Membran Timpani .................................................. 30 Gambar 2.13 Skema Algoritma Terapi ......................................... 32 Gambar 2.14 Reaksi Antipiretik dalam Mengurangi Produksi PGE2 dengan Hambatan pada Siklooksigenase ....... 38 Gambar 2.15 Langkah Sintesis Protein Bakteri dan Mekanisme Kerja Klindamisin .................................................. 55 Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ............................................... 62 Gambar 3.2 Kerangka Operasional .............................................. 64 Gambar 5.1 Sebaran Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin .............. 70 Gambar 5.2 Sebaran Pasien Berdasarkan Usia ............................. 70 xv SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Gambar 5.3 Jenis Sekret pada Pasien OMA ................................. 72 Gambar 5.4 Hasil Pemeriksaan Hidung dan Tenggorokan pada Pasien OMA........................................................... 73 Gambar 5.5 Prosentase Outcomes Terapi Pasien OMA ................ 90 xvi SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR TABEL Halaman Tabel II.1 Penggolongan OMA Berdasarkan Pemeriksaan........... 15 Tabel II.2 Penyebab Otitis Media Akut (OMA) ........................... 16 Tabel II.3 Perbedaan Saluran Eustasius pada Anak dan Dewasa .. 18 Tabel II.4 Contoh Hasil Pemeriksaan Membran Timpani ............ 30 Tabel II.5 Manajemen Terapi Otalgia pada OMA ........................ 31 Tabel II.6 Terapi Antibiotika pada OMA..................................... 34 Tabel II.7 Dosis Parasetamol pada Anak ..................................... 36 Tabel II.8 Antibiotika yang Digunakan untuk OMA .................... 40 Tabel II.9 Efek Samping pada Amoksisilin ................................. 43 Tabel II.10 Interaksi Obat terhadap Amoksisilin .......................... 43 Tabel II.11 Interaksi Obat terhadap Amoksiklav .......................... 46 Tabel II.12 Interaksi Obat terhadap Sefuroksim ........................... 50 Tabel II.13 Interaksi Obat terhadap Seftriakson ............................ 52 Tabel II.14 Interaksi Obat terhadap Klindamisin .......................... 54 Tabel V.1 Penggolongan Stadium Otitis Media Akut (OMA) ...... 71 Tabel V.2 Data Klinis Hasil Pemeriksaan Telinga pada Pasien OMA ............................................................... 72 Tabel V.3 Data Keluhan Pasien terkait Infeksi Telinga OMA ...... 73 Tabel V.4 Organ Telinga yang Terinfeksi OMA.......................... 74 Tabel V.5 Terapi Antibiotika pada Pasien OMA ......................... 75 Tabel V.6 Terapi Analgesik Pasien OMA ................................... 76 Tabel V.7 Terapi Dekongestan Pasien OMA ............................... 77 Tabel V.8 Terapi Antihistamin Pasien OMA ............................... 77 xvii SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Tabel V.9 Terapi Obat Lain Pasien OMA.................................... 77 Tabel V.10 Terapi Tindakan Medis Pasien OMA ......................... 78 Tabel V.11 Pemberian Antibiotika pada Pasien OMA .................. 78 Tabel V.12 Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien OMA ........ 79 Tabel V.13 Pola Penggunaan Obat Lain pada Pasien OMA .......... 81 Tabel V.14 Pola Penggunaan Kombinasi Antibiotika Oral dan Topikal pada Pasien OMA ........................................ 86 Tabel V.15 Pola Pergantian Antibiotika pada Pasien OMA .......... 87 Tabel V.16 Perkembangan Pasien OMA ...................................... 88 Tabel V.17 Perkembangan Kondisi Pasien OMA ......................... 88 Tabel V.18 Interaksi Obat yang Terjadi pada OMA ..................... 89 Tabel V.19 Interaksi Obat-makanan yang terjadi pada OMA........ 89 xviii SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Tabel Induk ............................................................... 121 Lampiran 2 Lembar Kelaikan Etik ............................................... 131 xix SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR SINGKATAN AAP : American Academy of Pediatrics AAFP : American Academy Family Physicians AOM : Acute Otitis Media BUN : Blood Urea Nitrogen CDC : Center for Disease Control Cl : Clearance CHF : Chronic Heart Failure COX : Cyclo-oxygenase CSF : Cerebro Spinal Fluid DUS : Drug Utilization Study DRPs : Drug Related Problems GIT : Gastro Intestinal Tract ICC : Intra Cranial Complications IL : Interleukin IM : Intra Muskular ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut IV : Intra Vena MEE : Middle Ear Effusion MRSA : Methicillin-resistant Staphlococcus aureus MT : Membran timpani NSAID : Non Steroid Anti Inflammatory Drug OM : Otitis Media OMA : Otitis Media Akut OME : Otitis Media Efusi OMSK : Otitis Media Supuratif Kronik xx SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA PCT : Parasetamol PG : Prostaglandin PGE2 : Prostaglandin E2 PDT : Pedoman Diagnosis dan Terapi PMN : Polymorphonuclear POAH : Preoptic Area of Anterior Hypothalamus PPK : Pusat Pelayanan Kesehatan SR : Sustained Release THT : Telinga Hidung dan Tenggorokan TNF : Tumor Necrosis Factor TLR : Toll Like Receptor URJ : Unit Rawat Jalan Vd : Volume Distribusi WHO : World Health Organization xxi SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otitis Media adalah salah satu infeksi yang terjadi pada telinga bagian tengah dan sering menyerang anak-anak, ditandai dengan otalgia, otore, insomnia, demam, penurunan nafsu makan, inflamasi pada membran timpani, dan gangguan pendengaran (Isla, 2011 ; Levi and O’reilly, 2013). Otitis media yang menyerang telinga tengah dibagi menjadi tiga : Otitis Media Akut (OMA), Otitis Media Serosa (OMS), dan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). Penyebab utama otitis media adalah adanya infeksi dari bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemophillus Influenzae, Moraxella catarrhalis (Sinha et al., 2011). Beberapa bakteri yang ditemukan pada OMA setelah dilakukan kultur 82% didominasi oleh S.pneumoniae dan 52% H.influenzae (Dagan, 2007). Otitis Media Akut (OMA) merupakan infeksi akut yang mengenai mukoperiosteum kavum timpani dengan disertai pembentukan sekret purulen. Awal dari penyakit ini umumnya dapat disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), gangguan pada sistem kekebalan tubuh, serta gangguan pada saluran Eustasius (Zhang, 2015). Mukosa saluran pernafasan atas mengalami hiperemia dan udema, termasuk juga pada mukosa saluran Eustasius. Hiperemia dan udema menyebabkan gangguan fungsi drainase dan ventilasi saluran Eustasius. Membran timpani menjadi vakum dan akan menyebabkan infiltrasi kuman patogen ke dalam mukosa membran timpani (Dhingra, 2011). 1 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Prevalensi otitis media akut 2 terbesar terjadi pada anak-anak terutama yang berusia di bawah 3 tahun sebesar 81%. Anak-anak di bawah 5 tahun yang mengalami OMA sebesar 51% (Takei et al., 2013). Data OMA di Eropa menunjukkan bahwa setiap tahun dari 1000 orang, yang mengalami OMA adalah 268 orang (Marchisio et al., 2010). OMA terjadi pada 8,8 juta anak (11,8%) berusia di bawah 18 tahun (E.Rettig et al., 2014). Penelitian yang dilakukan pada lima negara di Eropa seperti Jerman, Italia, Inggris, Swedia, Spanyol pada tahun 2008-2010 melaporkan bahwa prevalensi OMA pada anak-anak usia 0-5 tahun (N=1000 orang) menunjukkan angka kejadian 11,9 - 26,3 % (Liese et al., 2014). Di Indonesia prevalensi terbesar penderita OMA pada anak sebesar 75%, sedangkan dewasa 20% (Mahasty, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa OMA adalah penyakit masyarakat yang membutuhkan perhatian dan manajemen terapi yang tepat. Prinsip dari manajemen terapi OMA adalah untuk mengurangi tingkat keparahan terutama mengurangi rasa nyeri (otalgia) dan demam, menghasilkan outcomes yang baik pada pendengaran, dan menghindari terjadinya komplikasi yaitu mastoiditis, meningitis, dan abses otak (E.Rettig et al., 2014). Manajemen terapi obat pada OMA dapat diberikan analgesik, antibiotika, dan dekongestan (rute oral dan topikal). Obat dapat menuju telinga tengah melalui rute topikal dengan cara menembus membran paling luar dari koklea kemudian menuju membran timpani dan menyebar ke seluruh bagian telinga. Keuntungan dari rute ini salah satunya adalah dengan jumlah obat minimal yang diberikan dapat menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada cairan telinga dibandingkan rute per oral sehingga rute ini lebih efektif dibandingkan rute oral. Disamping itu efek samping obat rute topikal lebih kecil SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 3 dibandingkan rute oral karena paparan sistemik minimal pada GIT (Salt and Plontke, 2005). Analgesik yang diberikan diharapkan memiliki potensi anti inflamasi karena pada kasus ini terjadi reaksi inflamasi akibat peningkatan tekanan pada telinga tengah dan mengakibatkan timbulnya rasa nyeri (otalgia) (Wood et al.,2012). Berdasarkan guideline Finlandia, analgesik harus segera diberikan selama 24 jam setelah ditetapkan diagnosis OMA karena menimbulkan otalgia yang sangat mengganggu aktivitas pasien (Toll and Nunez, 2012). Analgesik yang digunakan dapat dikombinasi dengan anastesi lokal untuk mengurangi rasa nyeri (otalgia). Penelitian pada pasien anak di Australia tahun 2003-2004 melaporkan bahwa adanya OMA perforasi pada usia 3 hingga 12 tahun dengan penggunaan tetes telinga yang mengandung larutan lidokain atau normal saline dikombinasi dengan penggunaan asetaminofen per oral dapat mengurangi 50% rasa sakit (AAP guidelines, 2013). Selain itu asetaminofen dapat dikombinasi dengan ibuprofen yang merupakan terapi lini pertama pada beberapa negara seperti di Amerika, Eropa, dan Asia untuk mengatasi otalgia level ringan hingga sedang, sedangkan analgesik narkotik digunakan untuk mengatasi otalgia level akut (AAP guidelines, 2013). Pemberian analgesik ini dapat dilakukan hingga tujuh hari untuk mengatasi otalgia (Dickson, 2014). Ibuprofen sebagai analgesik merupakan golongan obat Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) dengan mekanisme kerja menghambat sintesis prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi dengan cara memblok enzim cyclo-oxygenase (COX-1 dan COX-2) (Katzung, 2010), sehingga reaksi inflamasi yang menyebabkan SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 4 otalgia tidak terjadi. Ibuprofen mudah diabsorbsi dari gastrointestinal. Dosis ibuprofen yang digunakan untuk mengatasi OMA pada anak adalah 10 mg/kg BB dan digunakan secara per oral (Paul et al., 2010), sedangkan dosis obat OMA untuk dewasa 600 mg diberikan sehari tiga kali dengan penggunaan maksimal < 2400 mg sehari (Fuller and Sajatovic, 2002). Efek samping yang ditimbulkan dari ibuprofen adalah perdarahan pada lambung, namun efek samping tersebut dapat dihindari dengan mengkonsumsi ibuprofen bersama makanan (Katzung, 2010), sedangkan asetaminofen merupakan golongan obat analgesik dengan mekanisme kerja memblok impuls nyeri dan menghambat prostaglandin pada CNS (Aronoff, 2001). Pedoman terapi analgesik di Belanda mengklasifikasikan pemberian analgesik secara per oral dan per rektal. Mula kerja dari rute per oral lebih cepat dibandingkan rute per rektal namun durasi kerja rute per rektal lebih lama dibanding rute per oral (NHG guidelines, 2011). Hal ini dibuktikan oleh penelitian di Amerika yang memberikan hasil terdapat perbedaan bioavailibilitas antara kedua rute dengan nilai Cmax rute oral lebih besar (7,65µg/ml) dibandingkan rute rektal (5,68µg/ml), AUC rute oral 23,36 µg/ml, dan rute topikal 20,45 µg/ml (Walson et al., 2013). Dosis obat asetaminofen untuk mengtasi OMA pada dewasa adalah 500 mg tiga hingga empat kali sehari (Fuller and Sajatovic, 2002), sedangkan untuk anak-anak dosis asetaminofen yang diberikan adalah 10 mg/kg untuk rute per oral dan 20 mg/kg untuk rute per rektal (NHG guidelines, 2011). Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan asetaminofen sangat sedikit sehingga relatif aman terutama untuk anak-anak, kecuali bila dikonsumsi pada jangka panjang akan menyebabkan hepatotoksik pada dosis > 4g/hari (Katzung, 2010). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 5 Selain analgesik untuk terapi OMA dapat diberikan antibiotika. Tujuan pemberian antibiotika adalah untuk mengatasi infeksi akibat infiltrasi kuman patogen ke dalam telinga tengah. Dalam hal ini antibiotika yang terpilih memiliki kemampuan penetrasi hingga ke dalam telinga tengah. Antibiotika yang umumnya digunakan antara lain amoksisilin, sefalosporin, aminoglikosida, klindamisin, kotrimoksasol, dan ciprofloksasin, (NHG guidelines, 2011 ; Beldfield et al., 2015). Hal yang perlu diperhatikan pada pemberian antibiotika pada anak adalah aspek keamanan dan efek samping obat, contohnya aminoglikosida yang dapat bersifat toksik terhadap sel sensori pada sistem keseimbangan tubuh, sehingga dapat dinyatakan tidak aman untuk anak (Salt and Plontke, 2005). Antibiotika lain seperti golongan makrolida hanya digunakan sebagai terapi lini kedua terhadap OMA bila pasien mengalami alergi dengan golongan amoksisilin karena CDC melaporkan pada tahun 2007 resistensi antibiotika golongan makrolida terhadap bakteri Streptococcus pneumoniae 22,7%, sedangkan golongan amoksisilin memiliki tingkat resistensi lebih rendah sebesar 10,5% (Courter et al., 2010). Bakteri pada OMA terdiri dari bakteri gram positif (Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus), dan bakteri gram negatif (Moraxella catarrhalis, Haemophilus influenzae) oleh karena itu dibutuhkan antibiotika spektrum luas untuk dapat mengeradikasi kuman tersebut (Takei, 2013). Di negara lain seperti Belanda penggunaan antibiotika untuk mengatasi OMA hanya mencapai 31%, sedangkan pada negara Australia dan Amerika penggunaan antibiotika mencapai 95% (Maria S. and Ferro B., 2008). Pedoman terapi di Inggris merekomendasikan penggunaan antibiotika yang tertunda dan hanya SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 6 memberikan terapi simptomatik sebagai terapi OMA tergantung pada tingkat keparahan OMA (Toll and Nunez, 2012). Antibiotika dapat digunakan secara langsung pada anak dengan usia di bawah 2 tahun dan mengalami OMA bilateral atau terjadi otore. Pusat penelitian resistensi mikroba di Polandia menemukan tingkat kegagalan terapi antibiotika untuk OMA pada anak usia 6 bulan hingga 7 tahun sebanyak 66% (sekitar 104 orang) dikarenakan peningkatan resistensi beberapa bakteri seperti Streptococcus Pneumoniae (39,69%), Staphylococcus aureus (16,03%), Haemophilus influenzae (16,03%), dan Staphylococcus haemoliticus (6,9%). (Jurkiewicz and Bielicka, 2015). Resistensi tersebut juga terjadi terhadap antibiotika golongan kotrimoksazol (78,8%), eritromisin (69,2%), dan penisilin (65,4%), sedangkan resistensi streptococcus pneumoniae rendah terhadap antibiotika klindamisin (61,5%), dan seftriakson (17,3%) (Jurkiewicz and Bielicka, 2015). Penelitian yang dilakukan di India menemukan bahwa 85% masyarakat memilih menggunakan antibiotika kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat karena dapat mempercepat waktu penyembuhan yaitu sekitar 4 hari, selain itu kombinasi antibiotika amoksisilin dan asam klavulanat dengan spektrum luas tergolong sensitif terhadap berbagai macam bakteri gram positif dan bakteri gram negatif OMA (D’silva et al., 2013 ; Levi and O’reilly, 2013). Pada beberapa negara di Asia seperti Palestina, Pakistan, Nepal, Korea Selatan, Ethiopia, dan Nigeria bakteri OMA yang mendominasi adalah bakteri gram negatif sebesar 58,3% dan bakteri gram positif 39,2%, oleh karena itu antibiotika yang digunakan adalah siprofloksasin, seftazidim, sefiksim, seftriakson, dan gentamisin, sedangkan untuk bakteri gram positif SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 7 digunakan antibiotika kloramfenikol, metisilin, dan sefaklor (Elmanama et al., 2014). Pedoman di Eropa dan US tidak merekomendasikan penggunaan antibiotika secara langsung karena dapat meningkatkan resistensi pasien terhadap antibiotika dan menyebabkan kegagalan terapi OMA (Takahashi, 2011 ; Sinha et al., 2012), namun penggunaan antibiotika yang terlambat juga dapat menyebabkan komplikasi pada OMA yang meliputi mastoiditis dan komplikasi intrakranial (ICC) seperti meningitis dan abses otak (Toll et al., 2012). Kasus komplikasi intrakranial (ICC) dengan OMA yang terjadi di Amerika menyebabkan angka kematian 7% hingga 18% (Pasha et al., 2015). Persatuan dokter anak di Amerika mengatakan Antibiotika diberikan bila terjadi gejala akut seperti otalgia selama 48 jam sehingga perlu pemberian antibiotika pada anak-anak berusia di bawah enam bulan yang mengalami OMA, dan anak-anak berusia diatas enam bulan dengan OMA bilateral (Toll et al., 2012 ; Marchisio et al., 2010 ; Dickson, 2014). Pemberian antibiotika juga dilakukan segera bila telah terjadi gejala yang akut seperti demam tinggi atau timbul rasa nyeri(otalgia) yang sangat parah. Indikasi pemberian antibiotika berdasarkan pada faktor resiko pasien, pemeriksaan fisik, gejala, dan guideline yang berlaku (Isla et al., 2011). Beberapa negara memilih terapi antibiotika yang berbeda seperti contohnya di Jepang antibiotika yang digunakan sebagai terapi OMA untuk golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefditoren pivoksil dan seftriakson, dikarenakan dari hasil kultur bakteri didapatkan hasil bakteri gram negatif Haemophilus influenzae lebih mendominasi sebesar 50-70%, sedangkan di Italia digunakan sefalosporin generasi kedua yaitu Sefaklor dan Sefuroksim karena bakteri gram negatif Moraxella SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 8 catarrhalis dan Haemophilus influenzae yang ditemukan prosentasenya lebih kecil yaitu 20-40% (Takahashi, 2011 ; Marchisio et al., 2010) . Di UK penyebaran bakteri gram negatif dan gram positif cukup merata, sehingga terapi antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum luas seperti amoksisilin dan sefaklor. Penelitian yang dilakukan di UK menunjukkan amoksisilin memiliki nilai MIC yang lebih tinggi dibanding sefaklor dan siprofloksasin. Nilai MIC ini berkaitan terhadap sensitifitas terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Semakin kecil nilai MIC, maka semakin poten antibiotika tersebut. Hal inilah yang menyebabkan sefaklor (golongan sefalosporin) (MIC 0,32 µg/ml) dan siprofloksasin (0,125 µg/ml) lebih poten dibandingkan amoksisilin (MIC 2µg/ml) karena dengan konsentrasi yang lebih kecil dapat menghambat bakteri (Beldfield et al., 2015). Amoksisilin merupakan antibiotika yang paling sedikit efek sampingnya dibandingkan antibiotika yang lain (Katzung, 2010). Pada penelitian yang dilakukan di Amerika tentang pola penggunaan antibiotika pada pasien OMA yang mengalami peningkatan dari tahun 2000-2011, yang digunakan paling banyak yaitu amoksisilin dan sefalosporin. Antibiotika yang digunakan sebagai terapi lini pertama adalah amoksisilin dengan dosis 3x 500mg/hari untuk dewasa dan 50mg/kg untuk anak-anak (Marchisio et al., 2010) namun karena resistensi telah sering terjadi (resistensi yang terjadi di Polandia), digunakan kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat atau antibiotika golongan sefalosporin seperti sefotaksim dan seftazidim (Rubino et al., 2007 ; Jurkiewicz et al., 2015). Dosis yang sering digunakan untuk antibiotika amoksisilin dan asam klavulanat adalah 80-90 mg/kg BB diberikan 2-3 kali sehari, sedangkan untuk dewasa dosisnya adalah SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 9 500mg diberikan dua kali sehari (Marchisio et al., 2010). Terapi ini diberikan selama 7-10 hari (AAP guidelines, 2013). Antibiotika yang digunakan di Indonesia untuk mengatasi OMA diantaranya adalah amoksisilin, amoksisilin + asam klavulanat, sefuroksim asetil, seftriakson, dan klindamisin (Mahasty, 2010). Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka menarik untuk diteliti tentang pola penggunaan obat pada pasien otitis media akut di Poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang meliputi jenis obat yang diberikan, dosis, frekuensi, lama penggunaan, dan interaksi obat. Studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi tambahan terapi OMA dan sebagai acuan peningkatan pengelolaan obat di rumah sakit serta dapat digunakan oleh praktisi kesehatan sebagai bahan evaluasi terapi dan pengawasan penggunaan obat pada kasus otitis media akut. 1.1 Rumusan Masalah Bagaimanakah profil penggunaan obat pada pasien otitis media akut (OMA) di poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya? 1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan Umum Mengkaji profil penggunaan obat pada pasien otitis media akut di poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya 1.2.2 Tujuan Khusus 1. Mengkaji jenis, rute pemberian, dosis, dan frekuensi penggunaan obat yang dikaitkan dengan data klinik pada pasien otitis media akut. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2. 10 Mengidentifikasi interaksi potensial obat pada pasien otitis media akut. 1.3 Manfaat Penelitian Memberikan gambaran pemilihan dan penggunaan obat pada pasien otitis media akut (OMA) serta memberikan informasi mengenai masalah terkait obat yang muncul sehingga dapat digunakan sebagai upaya peningkatan mutu pelayanan kefarmasian pada pasien OMA. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Otitis Media Akut 2.1.1 Batasan klinis Otitis media akut (OMA) merupakan infeksi akut yang mengenai kavum timpani, saluran Eustasius, dan mastoid antrum disertai dengan pembentukan sekret purulen, dan biasanya terjadi secara bilateral (pada kedua telinga) ( Bull, 2002 ; Scott, 2007). Durasi maksimal terjadinya OMA adalah tiga minggu (NHG Guidelines, 2011). Pada penelitian yang dilakukan di Kanada, anak-anak yang berusia dibawah tiga tahun dengan prosentase 50% akan mengalami OMA (Saux et al., 2005). OMA memiliki persamaan dengan OME yaitu terjadi efusi pada telinga tengah, sedangkan hal yang membedakannya adalah efusi yang terjadi pada OME yang berlokasi di kavum timpani tanpa disertai inflamasi , selain itu pasien OME tidak mengalami gejala-gejala seperti yang terjadi pada OMA seperti otalgia, dan demam (Djafaar., 2001; AAP guidelines, 2013). 2.1.2 Stadium Otitis Media Akut (OMA) OMA terdiri dari beberapa stadium diantaranya stadium kataral, stadium supurasi, stadium perforasi, dan stadium resaolui (Herawati dan Rukmini, 2003). 11 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 12 2.1.2.1 Stadium Kataral Stadium kataral diawali dengan ISPA serta ditandai dengan retraksi membran timpani dan telinga terasa penuh. ISPA menyebabkan terjadinya keradangan yang mengenai mukosa hidung dan nasofaring kemudian berlanjut ke mukosa saluran Eustasius dan mukosa membran timpani. Kondisi lain yang terjadi adalah hiperemia pada membran timpani, dan saluran Eustasius (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.1). Akibat kondisi tersebut, lumen saluran Eustasius menjadi tertutup dan menyebabkan fungsi saluran Eustasius terganggu (fungsi sebagai ventilasi dan drainase), gangguan fungsi ini menyebabkan pemberian oksigen kedalam kavum timpani berkurang, akibatnya tekanan dalam kavum timpani berkurang menjadi kurang dari satu atmosfer (vakum) diikuti dengan perubahan tekanan udara pada telinga tengah. Pengaruh dari tekanan udara yang tidak seimbang pada membran timpani menyebabkan timbulnya rasa penuh pada telinga serta pada beberapa kasus terjadi gangguan pendengaran. Perubahan yang terjadi pada kavum timpani mengakibatkan perembesan cairan kedalam kavum timpani (transudasi), kondisi tersebut dikenal dengan hydrops ex vacuo. Terapi penanganan stadium kataral adalah pengembalian fungsi saluran Eustasius dengan pemberian tetes hidung yang berfungsi sebagai vasokonstriktor yang dapat mengatasi penyempitan saluran Eustasius akibat udem. Tetes hidung yang dapat diberikan mengandung efedrin 1% untuk dewasa, dan 0,25-0,5% untuk anak-anak (Herawati dan Rukmini, 2003). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 13 A B Gambar 2.1 Hiperemia pada stadium kataral. (A) Hiperemia pada ujung membran timpani; (B) Hiperemia pada ujung dan postosuperior pada membran timpani (Metin, 2009). 2.1.2.2 Stadium Supurasi (Bombans) Stadium yang terjadi selanjutnya adalah stadium eksudasi. Hiperemia berkelanjutan yang terjadi pada membran timpani, epitimpani, dan antrum diikuti dengan dilatasi kapiler serum, fibrin, eritrosit, dan PMN leukosit. Pada saat yang bersamaan sel-sel epitel yang berasal dari membran timpani menjadi lendir atau dikenal dengan istilah eksudat. Eksudat ini akan terakumulasi pada membran timpani dan menyebabkan membran timpani menebal. Pada stadium ini terjadi inflamasi pada membran timpani, peningkatan gangguan pendengaran, serta nyeri pada telinga yang semakin parah, selain itu akibat terjadinya inflamasi menyebabkan bakteri semakin mudah masuk membran timpani dan menyebar menuju sitemik sehingga menimbulkan infeksi yang ditandai dengan suhu tubuh meningkat. Stadium supurasi ditandai perforasi pada membran timpani disertai terbentuknya sekret mukopurulen (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.2). Hal ini dapat menyebabkan suhu tubuh dan rasa nyeri yang ditimbulkan semakin meningkat. Pada stadium ini perlu dilakukan drainase mukopus dari SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 14 kavum timpani, selain itu pemberian antibiotika harus diberikan (Herawati dan Rukmini, 2003). Gambar 2.2 Sekret mukopurulen pada stadium supurasi di telinga tengah (Metin, 2009). 2.1.2.3 Stadium Perforasi Tekanan yang tinggi pada kavum timpani akibat kumpulan mukopus, dapat menimbulkan perforasi pada membran timpani, mukopus akan mengalir menuju meatus eksterna sehingga tekanan di dalam kavum timpani menurun dan rasa nyeri yang ditimbulkan akan berkurang (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.3). Pada stadium akhir, yaitu stadium resolusi membran timpani akan kembali normal dan terlihat transparan, masih terdapat lubang perforasi tetapi sekret purulen tidak terbentuk, gejala-gejala pada stadium awal seperti otalgia dan otore mulai berkurang (Herawati dan Rukmini, 2003). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 15 A B Gambar 2.3 Stadium perforasi pada telinga tengah. (A) Perforasi kecil yang nampak setelah pembersihan;(B) Stadium resolusi (Metin, 2009). 2.1.3 Klasifikasi OMA Takahashi membagi OMA berdasarkan tingkat keparahannya yang terdiri dari tingkat ringan, sedang, dan berat (dapat dilihat pada tabel II.1). Penggolongan tersebut dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan pada telinga (Takahashi, 2012). Tabel II.1 Penggolongan OMA berdasarkan pemeriksaan (Takahashi, 2012). Usia Pemeriksaan Otalgia Demam Menangis karena otalgia Hiperemia MT Tonjolan pada MT Otore Refleks cahaya MT SKRIPSI Uraian Pasien berusia < 24 bulan ( 3 poin) Poin 0 = tidak ada ; 1 = otalgia ringan ; 2 = otalgia berat Suhu < 37,5oC = 0 ; > 37,5 namun < 38,5oC = 1 ; > 38,5oC = 2 0 = tidak ; 1 = iya 0 = tidak ada ; 2 = ada pada manubrium atau sebagian gendang telinga ; 4 = ada pada seluruh MT 0 = tidak ; 4 = ada pada sebagian MT ; 8 = ada pada seluruh MT 0 = tidak ada ; 4 = ada, namun MT masih terlihat ; 8= ada, MT tidak terlihat jelas 0 = normal ; 4 = tidak terlihat jelas PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 16 Hasil pemeriksaan tersebut dijumlahkan dan didapatkan hasil penggolongan dari OMA tingkat ringan (< 9), tingkat sedang (10-15), dan tingkat berat (> 16) (Takahashi,2012). 2.1.4 Etiologi Tabel II.2 Penyebab Otitis Media Akut (OMA) (Bull, 2002). Penyebab Otitis Media Akut Mayor Minor Flu Sinusitis Tonsilitis akut Terjadi trauma pada membran timpani Batuk yang tidak kunjung sembuh Barotrauma (saat menaiki pesawat) Menyelam Fraktur pada tulang tengkorak 2.1.4.1 Bakteri dan Virus Penyebab utama dari OMA adalah infeksi dari bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemophillus Influenzae, Moraxella catarrhalis (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.4), selain itu Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) juga menjadi salah satu pemicu timbulnya OMA (Sinha et al., 2011). Setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan 66% infeksi berasal dari bakteri dan virus, 27% berasal dari bakteri, dan 4 % berasal dari virus (Rettig and David, 2014). Bakteri yang berkoloni akan menuju ke nasofaring dan menyebabkan terjadinya refluks menuju telinga tengah melalui saluran Eustasius (Scott, 2007). Kombinasi bakteri dan virus akan meningkatkan rangsangan aktifnya mediator inflamasi dibandingkan dengan bakteri tunggal (Rovers et al., 2004). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 18 membentuk horizontal, pendek , dan lemah (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.5 dan tabel II.3) (Rovers et al., 2004). Gambar 2.5 Perbedaan anatomi saluran Eustasius anak-anak dan dewasa (Djaafar., 2001). Tabel II.3 Perbedaan saluran Eustasius pada anak dan dewasa (Dhingra, 2010). Karakteristik Anak-anak Dewasa Panjang Sudut Bagian tulang dan kartilago Tubal kartilago Lemak pada bantalan oslmann SKRIPSI 13-18 mm pada bayi Lebih horizontal. Pada bayi baru lahir membentuk sudut 10o Bagian tulang 1/3 kali lebih panjang dari total panjang saluran dan lebih luas 36 mm (31-38mm) Pada arah horizontal membentuk sudut 45o Lebih lunak, dapat terjadi refluks nasofaring yang menyebabkan sekresi cairan Sedikit Lebih kaku, menutupi dan melindungi telinga tengah dari refluks Bagian tulang 1/3 dan bagian kartilago 2/3 Jumlahnya banyak dan membantu saluran tertutup PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 19 2.1.5.2 Reaksi Imunologi Sekresi antibodi merupakan mekanisme pertahanan kekebalan terhadap saluran pernafasan atas. Sekret IgA yang disekresikan oleh nasofaring berfungsi sebagai pertahanan terhadap patogen (virus dan bakteri) untuk melawan OMA dan mengurangi kolonisasi bakteri pada nasofaring. Anak-anak yang mengalami kekambuhan OM salah satunya dikarenakan kekurangan sekresi IgA, selain itu IgG juga berperan dalam pertahanan terhadap OMA terutama dalam melawan bakteri pneumococci. Faktor spesifik IgG2 yang jumlahnya rendah dapat memicu timbulnya OMA kembali. Inflamasi yang disebabkan oleh bakteri dan virus patogen mengawali regulasi kompleks produksi sitokin yang berperan penting terhadap patogenesis OMA. Produksi sitokin meningkatkan regulasi mucin yang menyebabkan sekresi berlebih dari mucin pada telinga bagian tengah. Faktor lain yang mempengaruhi inflamasi adalah faktor nekrosis tumor, interleukin 1, dan interleukin 8 berperan penting terhadap terjadinya inflamasi kronis (Rovers et al., 2004). Invasi jaringan mikroba memicu respon inflamasi dan mengaktifkan pembuluh darah lokal sel endotel dan leukosit. Aktivasi sel darah putih ke area peradangan tergantung pada interaksi dengan sel endotel yang diatur oleh berbagai sitokin, kemokin, dan molekul adhesi. Leukosit yang diaktifkan melepaskan pirogenik sitokin interleukin-1β (IL-1 β), tumor necrosis factor (TNF), dan interleukin-6 (IL-6), serta merangsang produksi sel endotel vaskular prostaglandin E2 (PGE2) dalam sistem saraf pusat yang menyebabkan peningkatan titik termoregulasi (Aronoff and Neilson, 2001). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 21 2.1.5.5 Penyebab lain terjadi OMA Beberapa faktor internal yang menyebabkan OMA diantaranya adalah umur, gangguan sistem kekebalan tubuh, tempat penitipan anak, perokok. Tempat penitipan anak merupakan faktor risiko terbanyak karena anak-anak yang mengalami ISPA jumlahnya tinggi dan dapat menularkan kepada anak yang lain sehingga dapat terjadi infiltrasi patogen potensial dari nasofaring menuju saluran Eustasius, selain itu kurangnya frekuensi pemberian ASI pada bayi dapat menjadi faktro risiko OMA berkaitan dengan kadungan dalam ASI yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Rovers et al., 2004). Beberapa kondisi medis seperti down syndrome, craniofacial, imunodefisiensi, fungsi silia yang terganggu, gangguan pada hidung dan tenggorok, pengaruh anatomi telinga, riwayat operasi telinga, dan bibir sumbing juga merupakan faktor risiko timbulnya OMA (Cunningham et al., 2012 ; NHG Guidelines., 2011). Perilaku seseorang yang kurang memperhatikan kebersihan juga dapat mempengaruhi terjadinya OMA (Scott, 2007). Penelitian lain yang dilakukan oleh karma et al menyebutkan bahwa anak-anak yang menderita ISPA dan telah mengalami OME, maka kemungkinan untuk terjadi nya OMA semakin meningkat (AAP Guidelines, 2013). 2.1.6 Epidemiologi Penderita OMA didominasi oleh bayi hingga anak-anak usia dibawah lima tahun. Insiden OMA yang terjadi di Belanda didominasi oleh anak-anak usia dibawah lima tahun dengan angka kejadian 175 setiap 1000 pasien setiap tahun (NHG Guidelines, 2011). Penderita SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 22 OMA pada Amerika mencapai 11,8%. Angka kejadian OMA meningkat sebanyak 33 % selama satu dekade terakhir. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penurunan kunjungan dokter terhadap pasien OMA (Rettig and David, 2014) . Prevalensi anak-anak yang terserang OMA di Amerika minimal satu kali sebelum usia tiga tahun dengan kisaran usia dari 6-11 bulan sebesar 50-85% (Saux et al., 2005 ; Rovers et al., 2004). Penelitian yang dilakukan pada lima negara di Eropa seperti Jerman, Italia, Inggris, Swedia, Spanyol tentang prevalensi OMA pada anak-anak usia 0-5 tahun yang berjumlah 1000 orang, menunjukkan angka kejadian yang terjadi dalam periode 2008-2010 untuk kategori usia 0-2 tahun, OMA tertinggi terdapat di Spanyol 223 dari 1000 kejadian, Swedia 204 dari 1000 kejadian, Jerman 182 dari 1000 kejadian), Italia 119 dari 1000 kejadian, serta Inggris 108 dari 1000 kejadian). OMA yang terjadi pada kategori usia 3-5 tahun menunjukkan angka kejadian tertinggi terdapat di Spanyol 263 dari 1000 kejadian, Jerman 218 dari 1000 kejadian, Inggris 202 dari 1000 kejadian, Italia 197 dari 1000 kejadian, serta Swedia 174 dari 1000 kejadian (Liese et al., 2014). Di poliklinik THT RS Dr. Soetomo Surabaya, OMA merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak. Pada tahun 2003, dari 10.083 pasien di poliklinik THT, pasien OMA mencapai 836 (8,29%) dan menempati urutan ketiga penyakit terbanyak di poliklinik THT (Laporan tahunan URJ THT 2003 dikutip oleh Roesbiantoro, 2007), sedangkan pada tahun 2004, dari 8.937 pasien, jumlah pasien OMA mengalami peningkatan menjadi 947 (10,6%) dan menempati urutan kedua penyakit terbanyak di poliklinik THT (Laporan tahunan URJ THT 2004 dikutip oleh Roesbiantoro, 2007). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 23 2.1.7 Patofisiologi Saluran Eustasius memiliki tiga fungsi dasar yaitu mengatur keseimbangan tekanan pada telinga tengah agar sesuai dengan tekanan atmosfer (ventilasi), melindungi telinga tengah dari sekresi cairan pada nasofaring (proteksi), dan membersihkan sekret yang berasal dari telinga tengah menuju nasofaring (drainase) (Ludman and Bradley, 2007). Pada kasus OMA mukosa saluran pernafasan atas mengalami inflamasi akut berupa hiperemia dan udema, termasuk juga pada mukosa saluran Eustasius. Beberapa sel seperti leukosit polimorfonuklear dan imunoglobulin akan memproduksi plasma sel dan makrofag sehingga jumlah makrofag mengalami peningkatan dan menyebabkan terjadinya inflamasi (Zorab, 1991). Reaksi inflamasi ini memicu pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, dan leukotrien. Histamin dilepaskan dari sel mast yang berada pada sub epitel mukoperiosteum timpani dan jumlahnya meningkat saat terjadi efusi pada telinga tengah (Zorab, 1991). Hiperemia dan udema menyebabkan terjadi penyumbatan pada ostium yang akan diikuti dengan gangguan fungsi drainase dan ventilasi saluran Eustasius (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.8). Gangguan yang terjadi pada saluran Eustasius dapat menyebabkan terjadinya tekanan negatif dan akumulasi cairan pada telinga tengah. Telinga tengah terdiri dari ruang tertutup yang berisi udara pada kondisi normal (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.7). Ketika kondisi hiperemia terjadi, mukosa telinga tengah akan mengabsorbsi udara dan nitrogen perlahan-lahan dari telinga tengah dan menyebabkan tekanan udara dalam telinga menurun, selain itu tuba Eustasius akan terbuka secara periodik, sehingga udara akan masuk dan menyeimbangkan lagi tekanan telinga tengah. (Djaafar, 2001). Kavum SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 24 timpani menjadi vakum karena saluran Eustasius hanya membuka secara periodik sehingga terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler dan limfe. Peningkatan permebailitas dinding sel dan proliferasi sel-sel kelenjar mukosa menyebabkan pertukaran gas pada telinga tengah menjadi kecil dan menimbulkan tekanan disusul dengan masuknya cairan kedalam kavum timpani (transudasi) yang disebut hydrops ex vacuo (Djafaar, 2001). Kondisi ini mengakibatkan infiltrasi kuman patogen ke dalam mukosa kavum timpani yang berasal dari hidung dan nasofaring menimbulkan supurasi. (Herawati, dan Rukmini 2003). Patogenesis lain yang dapat terjadi adalah karena virus yang menyerang saluran pernafasan atas dan menyebabkan tersumbatnya mukosa saluran pernafasan atas termasuk nasofaring dan saluran Eustasius (Rovers et al., 2004). Sumbatan tersebut menyebabkan perubahan fungsi saluran Eustasius serta gangguan pembersihan dan regulasi tekanan pada telinga tengah, sehingga menyebabkan semakin mudahnya patogen potensial (virus dan bakteri) dari nasofaring masuk menuju telinga tengah. Bakteri akan merangsang sel-sel kekebalan tubuh serta menyebabkan timbulnya manifestasi klinis yaitu reaksi inflamasi (Rovers et al., 2004). OMA dapat menimbulkan nyeri karena terjadi tekanan kuat yang mempengaruhi ruang pada telinga tengah yang mengandung udara dan terdiri dari saluran Eustasius, rongga telinga tengah, mastoid antrum, serta sel udara yang letaknya berdekatan dengan mastoid (Ludman and Bradley, 2007). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 25 Gambar 2.7 Ruang pada telinga tengah (Ludman and Bradley, 2007). Gambar 2.8 Inflamasi yang terjadi pada saluran Eustasius (Bluestone, 2001). 2.1.7.1 Reaksi Inflamasi dan Demam pada OMA Invasi kuman kedalam tubuh menyebabkan respon tubuh berupa reaksi inflamasi dengan mengaktifkan leukosit dan sel endotel menuju area inflamasi. Aktivasi tersebut diregulasi oleh kemokin, sitokin, dan molekul adhesi serta menghasilkan pelepasan endogen pirogen seperti Interleukin-1β (IL-1β), Tumor Necrosis Factor (TNF), dan Interleukin-6 (IL-6) (Aronoff and Neilson, 2001). Endogen pirogen juga menstimulasi sel endotel pembuluh untuk memproduksi PGE 2 pada sistem saraf pusat. Neuron didalam POAH akan membentuk reseptor SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 26 yang akan berikatan dengan PGE2 dan akan menghasilkan peningkatan suhu tubuh (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.9) ( Aronoff and Neilson, 2001). Reaksi inflamasi yang terjadi pada OMA melibatkan suatu reseptor yang disebut Toll Like Receptor 2 (TLR-2). TLR-2 berperan dalam regulasi patogenesis otitis media (Zhang, 2015). TLR-2 mengaktifkan sistem kekebalan tubuh alami dengan cara mengenali Peptidoglikan polisakarida (PGPS) dari dinding sel bakteri yang merupakan penyebab timbulnya inflamasi pada OMA. Selain itu adanya PGPS akan menyebabkan sekresi LTB4 yang menyebabkan pelepasan netrofil sehingga terjadi inflamasi. Glukokortikoid dapat mengaktifkan NF-kB serta melepaskan kemokin, mucin, dan sitokin untuk mengatasi inflamasi yang muncul ketika terjadi OMA (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.10) (Zhang, 2015). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 27 Gambar 2.9 Reaksi inflamasi yang melibatkan pirogen endogen (Aronoff and Neilson, 2001). Gambar 2.10 Reaksi inflamasi yang melibatkan TLR-2 pada OMA (Zhang, 2015). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 28 Gambar 2.11 Telinga tengah yang mengalami inflamasi (Ludman and Braidley, 2007). 2.1.8 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang pertama kali muncul sebelum timbulnya OMA adalah reaksi inflamasi dan infeksi yang menyebabkan pelepasan beberapa mediator inflamasi seperti histamin, PG, leukotrien. Hal ini akan menyebabkan timbulnya hiperemia dan udema pada nasal cavity (Gray and Hawthorne, 1992). Rasa nyeri pada telinga (otalgia), otore, serta gangguan pendengaran yang diikuti dengan tinnitus terjadi karena pertumbuhan bakteri pada telinga bagian tengah dan transudasi cairan pada kavum timpani (NHG Guidelines, 2011 ; Bull, 2002). Otalgia berdampak pada perubahan perilaku terutama pada anak-anak seperti menangis berlebihan, kegelisahan dalam tidur, nafsu makan menurun, mual, serta diare (AAP Guidelines, 2013). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 29 Penanganan OMA yang tidak tepat selama 48-72 jam setelah dilakukan diagnosa dapat menyebabkan timbulnya komplikasi tingkat ringan hingga berat salah satunya adalah kekambuhan terhadap OMA yang dapat terjadi bila pemberian terapi antibiotika tidak adekuat. OMA dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural. Rata-rata penurunan fungsi pendengaran terjadi sekitar 25 dB.Komplikasi dapat terjadi ketika infeksi pada telinga tengah menyebar melalui tulang temporal dan cranial cavity sehingga menyebabkan abses otak, trombosis sinus lateral, meningitis, paralisis wajah, dan trombosis arteri karotid (Cunningham et al, 2012 ; Scott, 2007). 2.1.9 Pemeriksaan Data Klinik Pemeriksaan data klinik yang dilakukan untuk mendiagnosa OMA meliputi pemeriksaan otoskopik yang dilakukan terhadap membran timpani. Dalam pemeriksaan tersebut, ditentukan beberapa kriteria yang meliputi warna merah yang terlihat pada membran timpani, posisi membran timpani yang menonjol serta pergerakannya, selain itu dilakukan pemeriksaan suhu tubuh dengan termometer berkaitan dengan infeksi yang terjadi pada OMA (keterangan dapat dilihat pada tabel II.4 dan gambar 2.12) (AAP guidelines, 2013). Beberapa tanda yang akan muncul pada membran timpani yang positif OMA diantaranya membran timpani berwarna merah yang dapat berkembang menjadi bengkak, selanjutnya dapat terjadi nekrosis yang akan mengakibatkan perforasi dan diikuti oleh otore (Bull, 2002). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 31 golongan narkotik dengan risiko efek samping yang lebih tinggi dibandingkan analgesik golongan lain(keterangan dapat dilihat pada tabel II.5) (Wood et al., 2012). Manajemen terapi otalgia selain dengan pemberian analgesik juga dengan pemberian ototopic agents seperti antipyrine, golongan NSAID yang memiliki efek analgesik dan antipiretik, serta benzokain yang merupakan anastetik lokal golongan ester dengan onset of action yang cepat dan duration of action singkat (Wood et al., 2012). Tabel II.5 Manajemen terapi otalgia pada OMA (AAP guidelines, 2013). Terapi OMA Komentar Parasetamol dan ibuprofen Analgesik yang efektif untuk otalgia tingkat ringan hingga sedang. Analgesik yang tergolong terapi utama pada OMA Pengobatan alternatif (tidak Jenis pengobatan seperti ini dikontrol), digunakan pada menghasilkan banyak keterbatasan pemakaian topikal contohnya tetes telinga Anestetik lokal (benzokain, Terapi tambahan yang dapat diberikan lidokain, prokain) untuk pasien berusia > 5 tahun Analgesik narkotik Analgesik yang efektif untuk otalgia tingkat sedang hingga berat, memiliki efek samping sesak nafas, konstipasi, dan perubahan kondisi mental Timpanostomi/ miringotomi Dilakukan oleh profesional SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... tenaga kesehatan SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 32 Timbul gejala OMA : otalgia, insomnia, otore OMA dengan nyeri ringan hingga sedang Usia > 2 tahun Usia < 2 tahun Terapi simptomatik: analgesik parasetamol 325-650 mg (3-4 kali) ; 10mg/kg (4-6 kali) untuk anak, atau ibuprofen 600 mg (3-4 kali), 10 mg/kg untuk anak. Dekongestan 2-3 tetes (2 kali) Dilakukan pengamatan 2-3 hari Terapi antibiotika Amoksisilin 3x 500mg/hari untuk dewasa dan 80-90 mg/kg/hari untuk anak-anak (2-3 dosis terbagi) - Bila tidak merespon Terapi antibiotika amoksiklav 3 x 625 mg/hari untuk dewasa dan 90 mg/kg/hari untuk anak/-anak (2-3 dosis terbagi) OMA dengan nyeri akut Terapi antibiotika Amoksisilin 3x 500mg/hari untuk dewasa dan 80-90 mg/kg /hari untuk anak-anak (2-3 dosis terbagi) -Bila tidak merespon Terapi antibiotika amoksiklav 3 x 625 mg/hari untuk dewasa dan 90 mg/kg/hari untuk anak-anak (23 dosis terbagi) - Bila alergi dengan penisilin Dewasa sefuroksim 250-500 mg (3 kali) Untuk anak-anak sefuroksim 30 mg/kg (2 dosis terbagi). - Bila alergi dengan penisilin Dewasa sefuroksim 250-500 mg (3 kali) Untuk anak-anak sefuroksim 30 mg/kg (2 dosis terbagi). Gambar 2.13 Skema algoritma terapi OMA (AAP guidelines, 2013). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 33 Pemberian antibiotika dapat dilakukan setelah melalui beberapa pertimbangan seperti umur pasien, tingkat keakuratan diagnosa OMA, serta level OMA yang diderita (Wood et al., 2012). Antibiotika akan langsung diberikan pada pasien OMA yang berusia < 6 bulan, sedangkan untuk pasien OMA usia > 6 bulan dan setelah dilakukan pemeriksaan diketahui diagnosanya OMA level ringan hingga sedang dapat diberikan terapi simptomatik terlebih dahulu seperti pemberian analgesik dan dekongestan. Hal tersebut dikenal dengan istilah watchful waiting (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.14 dan tabel II.6). Antibiotika akan diberikan setelah dilakukan observasi selama dua hari dan kondisi pasien tidak mengalami kemajuan atau semakin memburuk. Terapi watchful waiting dilakukan untuk menghindari resistensi terhadap antibiotika terlalu dini, namun pada penelitian yang dilakukan pada Amerika membuktikan bahwa banyak orang tua yang tidak setuju dilakukan terapi watchful waiting karena dianggap semakin menambah biaya yang harus dikeluarkan dan memperpanjang waktu pasien dalam melakukan observasi (AAP guidelines, 2013; Marchisio et al., 2010 ; Toll et al., 2012 ; Thornton et al., 2011). Penggunaan antibiotika yang menyebabkan resistensi dapat terjadi karena pada beberapa kasus klinisi susah membedakan OMA dan OME yang memiliki gejala hampir sama (Thornton et al., 2011). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 34 Tabel II.6 Terapi antibiotika pada OMA (Marchisio et al., 2010). Diagnosis Bilateral Monolateral Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat berat ringan berat ringan Usia < 6 Pemberian Pemberian Pemberian Pemberian bulan antibiotika antibiotika antibiotika antibiotika segera segera segera segera Usia 6-24 Pemberian Pemberian Pemberian Pemberian bulan antibiotika antibiotika antibiotika antibiotika segera segera segera tertunda Usia > 24 Pemberian Pemberian Pemberian Pemberian bulan antibiotika antibiotika antibiotika antibiotika segera tertunda tertunda tertunda Pada beberapa negara di Asia seperti Palestina, Pakistan, Nepal, Korea Selatan, Ethiopia, dan Nigeria bakteri OMA yang mendominasi adalah bakteri gram negatif sebesar 58,3% dan bakteri gram positif 39,2%, oleh karena itu antibiotika yang digunakan untuk bakteri gram negatif adalah siprofloksasin, seftazidim, sefiksim, seftriakson, dan gentamisin, sedangkan untuk bakteri gram positif digunakan antibiotika seftriakson, kloramfenicol, metisilin, dan sefaklor (Elmanama et al., 2014). Resistensi antibiotika dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya penggunaan dosis yang tidak tepat (dosis terlalu kecil sehingga tidak dapat mencapa efek terapi yang diinginkan), penggunaan antibiotika dalam waktu singkat, dan penetrasi yang buruk dikarenakan banyaknya sekret purulen yang menutupi telinga (Jurkiewicz and Bielicka, 2015). Resistensi antibiotika sering terjadi pada golongan penisilin. Pemberian dekongestan hanya dilakukan apabila didapatkan gejala ISPA atau pasien mengalami buntu pada hidung, serta apabila SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 35 pasien mengalami OMA stadium oklusi tuba Eustasius dan stadium hiperemis/presupurasi (Djaafar, 2001 ; Shambaugh and Girgis, 1991). 2.2 Tinjauan Obat 2.2.1 Analgesik 2.2.1.1 Parasetamol Sediaan parasetamol terdiri dari bentuk konvensional dan non konvensional. Bentuk konvensional meliputi kapsul, kapsul gel, tablet kunyah, sirup, dan eliksir (Anderson et al., 2001). Sediaan non konvensional dari parasetamol berbentuk tablet sustained release. i. Aspek Farmakokinetika Absorbsi cepat pada GIT dan tidak dipengaruhi oleh makanan, Vd 0,95 ± 0,12 L/kg; Cl 0,3 ± 0,084 L/jam/kg. Bila digunakan secara per oral, terdistribusi ke berbagai jaringan seperti sekresi bronchial, mukus, paru-paru, dan cairan pada telinga tengah. Metabolisme terjadi pada hati oleh CYP1A2 dan CYP2E1, sedangkan t1/2 nya adalah 2 + 0,5 jam (Anderson et al., 2001). Parasetamol akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk konjugat (McEvoy, 2011). Dosis parasetamol yang digunakan untuk dewasa : Non SR 325–1000 mg, setiap 4–6 jam, maksimum 4 g/hari; SR Tab 1300 mg setiap 8 jam ; Per rektal 650 mg q 4–6 hr, maksimum 4g/hari (Anderson et al., 2001). Konsentrasi serum puncak mencapai 10-60 menit untuk sediaan konvensional, dan 1-2 jam untuk sediaan non konvensional. Parasetamol memiliki bioavailibilitas yang baik bila diabsorbsi secara oral serta kemampuan berikatan dengan protein plasma sebesar 25 % (McEvoy, 2011). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 36 Tabel II.7 Dosis Parasetamol pada anak (NHG Guidelines, 2011). Tabel Dosis Parasetamol Usia 3-12 bulan Dosis Oral 2,5 ml sirup (24 mg/ml), diberikan 4-6 kali dalam sehari 1-2 tahun 5 ml sirup (24 mg/ml), diberikan 4-6 kali dalam sehari 2-4 tahun 6-7 ml sirup (24 mg/ml), atau 1 tablet 120mg diberikan 4-6 kali dalam sehari Dosis Rektal 1 suppositoria (120 mg), diberikan 2-3 kali dalam sehari 1 suppositoria (240 mg), diberikan 2-3 kali dalam sehari 1 suppositoria (240 mg), diberikan 3 kali dalam sehari 4-6 tahun 8 ml sirup (24 mg/ml), atau 1,5 tablet 120 mg diberikan 4-6 kali dalam sehari 1 suppositoria (240 mg), diberikan 4 kali dalam sehari 6-9 tahun 10 ml sirup (24 mg/ml), atau 0,5 tablet 500 mg diberikan 46 kali dalam sehari 1 suppositoria (500 mg), diberikan 2-3 kali dalam sehari 9-12 tahun 0,75 tablet (500 mg) diberikan 4-6 kali dalam sehari > 12 tahun 1 tablet (500 mg) diberikan 46 kali dalam sehari 1 suppositoria (500 mg), diberikan 3 kali dalam sehari 1 suppositoria (1000 mg), diberikan 2-3 kali dalam sehari ii. Aspek farmakodinamika Parasetamol merupakan analgesik dengan mekanisme kerja menghambat sintesis prostaglandin pada sistem saraf pusat, namun hambatan terhadap PG sangat minimal pada bagian perifer (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.15). Parasetamol kurang efektif sebagai anti inflamasi (Anderson et al., 2001). Mekanisme lain dari asetaminophen adalah hambatan terhadap stimulasi NF –kB, protein heterodimer yang menstimulasi pelepasan siklo-oksigenase dan menginduksi sintesis nitric SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 37 oxide (Aronoff and Neilson and Neilson, 2001). Parasetamol memiliki aktivitas hambatan terhadap siklooksigenase yang terbatas sehingga hanya digunakan untuk mengatasi rasa nyeri tingkat ringan hingga sedang. Fungsi lainnya adalah sebagai anti piretik. Parasetamol tidak memiliki aktivitas hambatan terhadap fungsi platelet (McEvoy, 2011). Penggunaan aman selama dalam rentang terapi dosis yang dianjurkan. Bila digunakan lebih dari 10g akan menyebabkan nekrosis hati atau nekrosis ginjal. Toksik hepatitis dapat terjadi dalam penggunaan jangka panjang yaitu 5-8g/hari selama beberapa minggu atau 3-4g/hari selama satu tahun. Efek samping yang jarang terjadi (< 1 %) diantaranya anemia, neutropenia, agranulositosis, trombositopenia, dan leukopenia (Rudzinski and Bennes, 2001). Parasetamol kontradindikasi terhadap penderita defisiensi G6PD (Anderson et al., 2001). Penderita alkoholik kronis, dan pengguna obat isoniazid dapat meningkatkan toksisitas hepar. Obat-obatan yang menjadi inducer dan digunakan dalam jangka waktu lama seperti carbamazepin, barbiturat, fenitoin, rifampin, dan sulfinpirazon juga dapat meningkatkan risiko hepatotoksik (Anderson et al., 2001). Kolestiramin dapat mengurangi proses absorbsi parasetamol (interval pemberian minimal 1 jam) (Fuller and Sajatovic, 2002). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 38 Gambar 2.14 Reaksi antipiretik dalam mengurangi produksi PGE2 dengan hambatan pada siklooksigenase (Aronoff and Neilson and Neilson, 2001). 2.2.1.2 Ibuprofen Sediaan ibuprofen yang beredar di pasaran berbentuk sediaan konvensional contohnya kapsul, kaplet, suspensi, suspensi tetes untuk anak-anak, tablet, dan tablet kunyah (Fuller and Sajatovic, 2002). i. Aspek Farmakokinetika Ibuprofen terabsorbsi dengan baik ketika diberikan melalui rute oral, Vd ibuprofen 0,15 ± 0.02 L/kg ; Cl 0,045 ± 0,012 L/jam/kg. Mula kerja sebagai analgesik dan anti piretik selama 1 jam. Ekresi ibuprofen melalui urin dalam bentuk metabolit, t1/2 Ibuprofen 2 + 0,5 jam (Anderson et al., 2001 ; McEvoy, 2011). Absorbsi cepat pada GIT dengan bioavailibilitas 80% . Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam 1-2 jam. Makanan dapat menurunkan konsentrasi puncak plasma hingga 30-50 % dan menunda waktu untuk mencapai konsentrasi tersebut SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 39 selama 30-60 menit. Kemampuan ikatan protein plasma pada ibuprofen > 99 % (McEvoy, 2011). Dosis ibuprofen yang diberikan untuk dewasa 400 mg diminum setiap 4-6 jam bila perlu. dosis anak-anak dibagi menjadi dua sebagai anti piretik dan analgesik. Per oral sebagai anti piretik (6 bulan– 12 th) 5 mg/kg untuk demam dengan suhu < 38 oC, dan 10 mg/kg untuk demam dengan suhu > 38 oC diberikan setiap 6–8 jam. Pemberian maksimal 40 mg/kg/hari. Per oral sebagai analgesik (6 bulan–12 th) 10 mg/kg diberikan setiap 6–8 jam bila perlu. Pemberian maksimal 40 mg/kg/hari (Anderson et al., 2001). ii. Aspek Farmakodinamik Ibuprofen bekerja dengan cara menghambat enzim cylooxygenase-1 (COX-1) dan cylo-oxygenase-2 (COX-2) sehingga terjadi hambatan pada sintesis PG, selain itu Ibuprofen mengubah fungsi platelet dan memperpanjang bleeding time (Anderson et al., 2001 ; Katzung, 2012). Ibuprofen merupakan golongan NSAID dan berasal dari turunan asam propionat yang diindiasikan sebagai anti inflamasi, mengatasi rematik termasuk artritis, demam, mengurangi rasa nyeri tingkat ringan hingga sedang termasuk nyeri ketika menstruasi, gout, spondilitis, dan migrain (McEvoy, 2011 ; Fuller and Sajatovic, 2001). Efek samping yang dapat terjadi diantaranya adalah diare dan mual (3%), pusing (1%), kulit kemerahan (5%), serta yang paling akut adalah terjadinya ulcer pada GIT. Efek samping jangka panjang yang dapat terjadi adalah gangguan ginjal, CHF, serta sirosis. Ibuprofen memiliki kontraindikasi terhadap angioedema, sindrom nasal polip, SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 40 bronkospastic reaktif terhadap aspirin atau NSAID lain (Anderson et al., 2001). NSAID menghambat respon beberapa obat hipertensi seperti ACE inhibitor, β-bloker, hidralazin, dan diuretik. Efek NSAID sebagai antiplatelet dan risiko efek samping GI bleeding mampu meningkatkan risiko perdarahan selama terapi dengan menggunakan anti koagulan. NSAID dapat mengurangi clearance renal lithium. Indometazin dan beberapa NSAID lain dapat mengurangi fungsi ginjal (Anderson et al., 2001). Pemberian ibuprofen harus diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit gagal jantung kongestif, gangguan ginjal dan liver, dehidrasi, hipertensi, perdarahan pada GIT termasuk ulcer, dan pasien yang menerima terapi pengobatan antikoagulan dalam waktu yang bersamaan (Fuller and Sajatovic, 2002). 2.2.2 Antibiotika Tabel II.8 Antibiotika yang digunakan untuk OMA (AAP guidelines, 2013). Penggunaan antibiotika segera Terapi antibiotika setelah 48-72 jam bila atau tertunda terjadi kegagalan terapi Rekomendasi Terapi alternatif Rekomendasi Terapi alternatif terapi lini terapi lini pertama pertama Amoksisilin Eritromisin AmoksisilinSeftriakson, (80-90 (17mg/kg) klavulanat (90 klindamisin (30-40 mg/kg) diberikan setiap 8 mg/kg per hari mg/kg) diberikan diberikan jam untuk amoksisilin, dalam 3 dosis dalam 2 dosis dan 6,4 mg/kg untuk terbagi/hari terbagi/hari klavulanat) , diberikan dalam 2 dosis terbagi/hari SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 41 Tabel II.8 Antibiotika yang digunakan untuk OMA (AAP guidelines, 2013) (lanjutan) Penggunaan antibiotika segera atau Terapi antibiotika setelah 48-72 tertunda jam bila terjadi kegagalan terapi Rekomendasi terapi Terapi Rekomendasi Terapi alternatif lini pertama alternatif terapi lini pertama Amoksisilin-klavulanat -Sefuroksim Seftriakson Klindamisin (30(90 mg/kg per hari untuk (30 mg/kg) (50 mg IV 40 mg/kg) amoksisilin, dan 6,4 diberikan atau IM) diberikan dalam 3 mg/kg untuk klavulanat) dalam 2 dosis diberikan dosis terbagi/hari , diberikan dalam 2 dosis terbagi/hari dalam 3 kali dikombinasi terbagi/hari atau dengan sefalosporin -Sefpodoksim generasi ketiga (10 mg/kg) dalam 2 dosis terbagi./hari Seftriakson (50 mg IV atau IM) diberikan dalam 1-3 kali Timpanosentesis 2.2.2.1 Amoksisilin Amoksisilin memiliki bentuk sediaan konvensional yang meliputi kapsul, tablet kunyah, tablet selaput film, dan sirup kering (Anderson et al., 2001 ; Fuller and Sajatovic, 2002). i. Aspek Farmakokinetika Amoksisilin mudah terabsorbsi pada GIT dengan t 1/2 1-1.4 jam. Amoksisilin didistribusikan hampir keseluruh tubuh dan sekitar 10% yang mengalami metabolisme, sekitar 50-80% amoksisilin di ekskresikan dalam bentuk tetap melalui urin (Anderson et al., 2001 ; SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 42 McEvoy, 2011). Dosis yang diberikan pada anak-anak melalui rute oral 80-90mg/kg diberikan satu atau dua kali dalam dosis terbagi. Antibiotika ini diberikan selama 10 hari untuk anak-anak usia dibawah 6 tahun dengan diagnosa OMA level akut, sedangkan untuk anak-anak berusia lebih dari 6 tahun dengan diagnosa OMA level ringan hingga sedang terapi diberikan selama 5-7 hari (McEvoy, 2011). Dosis dewasa yang diberikan 250-500mg dan digunakan tiga kali dalam sehari. Penggunaan dalam sehari tidak melebihi 4.5g/hari (Anderson et al., 2001). Absorbsi pada GIT 74-92%. Kadar puncak dalam serum sebesar 6-8mcg/ml, kadar ini dicapai 1-2 jam setelah pemberian amoksisilin 500mg per oral. Bioavailibilitas mencapai 85%. Konsentrasi 400mg tablet kunyah setara dengan 5ml suspensi oral yang mengandung 400mg/5mL. Ikatan dengan protein plasma 17-20% (McEvoy, 2011). ii. Aspek Farmakodinamika Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara mengikat satu atau lebih Penicilline- binding proteins (PBPs) ; menghambat perjalanan transpeptidase dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri ; menghambat biosintesis dinding sel (Rudzinski and Bennes, 2001). Amoksisilin merupakan first-line therapy untuk pasien OMA yang disarankan oleh AAP guidelines yang efektif untuk OMA level ringan hingga sedang (McEvoy, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saux dkk di Amerika Serikat sebanyak 250 penderita pasien OMA diberikan terapi antibiotika amoksisilin dan didapatkan angka kesembuhan sebanyak 92,8% (Saux et al., 2005). Terdapat perbedaan kepekaan bakteri terhadap antibiotika tergantung pada perbedaan struktur dinding sel, kemampuan penetrasi melewati SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 43 dinding sel, dan kemampuan membentuk ikatan dengan reseptor penicilline-binding proteins. Streptococcus pneumoniae dapat mengubah reseptor penicilline-binding proteins pada dinding selnya untuk mencegah efek dari obat golongan penisilin (Tiggers and Baldwin, 2007). Amoksisilin memiliki kontraindikasi terhadap pasien yang hipersensitivitas pada golongan penisilin (Fuller and Sajatovic, 2002). Pengaturan dosis terapi amoksisilin diperlukan pada pasien dengan gangguan ginjal. Pasien yang memiliki riwayat mononukleosis bila diberi terapi amoksisilin akan mengalami ruam pada kulit (Fuller and Sajatovic, 2002). Tabel II.9 Efek samping pada amoksisilin (Fuller and Sajatovic, 2002). Sistem Saraf Kulit GIT Hematologi Hepar Pusat Hiperaktivitas, Urtikaria, Mual, Anemia, Peningkatan gelisah, insomnia, eritema, diare, trombositopen SGOT dan pusing, dan dermatitis hemoragi ia, leukopenia SGPT, perubahan eksfoliatif k kolitis jaundice, perilaku kolestasis hepatik Tabel II.10 Interaksi obat-obat terhadap amoksisilin (McEvoy, 2011). Obat Interaksi Allopurinol Meningkatkan insiden kulit kemerahan, hal ini lebih sering terjadi pada ampicillin Kloramfenikol Menimbulkan efek antagonis Asam klavulanat Kombinasi akan menghaslkan efek bakterisid yang sinergis. Makrolid Menimbulkan efek antagonis SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 44 Tabel II.10 Interaksi obat-obat terhadap amoksisilin (McEvoy, 2011) (lanjutan) Obat Interaksi Methotrexate Berpotensi menurunkan fungsi ginjal, meningkatkan efek toksik pada GIT sehingga penggunaan harus dimonitor Probenesid Mengurangi ekskresi amoksisilin melalui ginjal 2.2.2.2 Amoksisilin + Asam klavulanat (Amoksiklav) Kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat yang beredar di pasaran terdiri dari bentuk sediaan konvensional seperti tablet, tablet kunyah (Anderson et al., 2001). i. Aspek Farmakokinetika Antibiotika ini diabsorbsi dengan baik pada GIT. Metabolisme keseluruhan klavulanat di hati. t 1/2 klavulanat 0.78-1.2 jam (McEvoy, 2011). Dosis yang diberikan pada dewasa adalah 250-500 mg diberikan tiga kali dalam sehari (Anderson et al., 2001). Dosis anakanak usia < 3bulan: Suspensi oral 30 mg/kg setiap hari diberikan dalam dosis terbagi dalam 12 jam selama 10 hari menggunakan suspensi oral 125 mg/5 mL (McEvoy, 2011). Dosis untuk anak-anak usia > 3 bulan dengan berat badan < 40 kg: Suspensi oral 45mg/kg setiap hari diberikan dalam dosis terbagi setiap 12 jam selama 10 hari menggunakan suspensi oral 200 atau 400mg/mL, selain itu suspensi oral juga dapat diberikan 40mg/kg diberikan dalam dosis terbagi setiap 8 jam menggunakan suspensi oral 125 atau 250mg/5mL (McEvoy, 2011). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 45 Dosis untuk anak-anak usia dengan berat badan > 40 kg: tablet selaput film 250 mg diberikan tiga kali dalam sehari, atau 500mg diberikan dua kali dalam sehari. Penggunaan antibiotika ini diberikan dalam durasi 10 hari.Suspensi oral 500 mg diberikan tiga kali dalam sehari, selama 10 hari dalam suspensi yang mengandung 125 atau 250mg/5mL (McEvoy, 2011). Dosis untuk pasien anak-anak OMA level akut adalah 90mg/kg diberikan dua kali dalam sehari sesuai AAP guidelines (McEvoy, 2011). Konsentrasi puncak plasma mencapai 2.6 mg/L 40-60 menit setelah mengkonsumsi amoksisilin dan asam klavulanat 250 atau 500 mg (Anderson et al., 2001). Protein plasma yang berikatan dengan amoksisilin sebesar 17-20%, sedangkan protein plasma yang berikatan dengan asam klavulanat 22-30%.. Bioavailibilitas asam klavulanat dan tablet extended release dapat meningkat bila dikonsumsi dengan makanan (McEvoy, 2011). ii. Aspek Farmakodinamik Memiliki mekanisme kerja yang sama dengan amokisilin, namun lebih poten dalam menghambat enzim β-laktamase pada bakteri (Anderson et al., 2001). Kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat diindikasikan sebagai terapi otitis media, sinusitis, ISPA ayang menyerang saluran pernafasan bawah, saluran kandung kemih, dan kulit. Spektrum antibiotika ini sama dengan amoksisilin namun memiliki tambahan cincin beta laktam sehingga efektif terhadap produksi bakteri B. catarrhalis, H. influenzae, N. gonorrhoeae, dan S. aureus (bukan MRSA). Dapat digunakan sebagai terapi alternatif bila telah resisten terhapa amoksisilin (Fuller and Sajatovic, 2002). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 46 Efek samping yang ditimbulkan sama dengan amoksisilin, namun efek terhadap GIT terjadi > 10 % contohnya diare yang merupakan salah satu efek samping antibiotika tersebut, timbul lebih sering dengan adanya kombinasi dengan klavulanat. Selain itu efek terhadap kulit seperti urtikaria dan ruam, mual, dan muntah terjadi sekitar 1-10%. Antibiotika ini kontraindikasi terhadap penggunaan bersama dengan disulfiram, serta riwayat penyakit gangguan liver (Anderson et al., 2001 ; Fuller and Sajatovic, 2002). Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan infeksi akut, pengaturan dosis harus dilakukan pada pasien dengan gangguan ginjal dan gangguan liver. Dapat menyebabkan ruam pada kulit bila digunakan pada pasien dengan riwayat infeksi mononukleosis (Fuller and Sajatovic, 2002). Tabel II.11 Interaksi obat-obat terhadap amoksisilin+klavulanat (McEvoy, 2011). Obat atau uji Interaksi Allopurinol Meningkatkan insiden kulit kemerahan, hal ini lebih sering terjadi pada ampicillin namun belum ada laporan yang jelas mengenai insiden tersebut Antasida Hormon kontrasepsi Probenesid SKRIPSI Tidak ada efek terhadap farmakokinetika amoksisilin + klavulanat yang diberikan bersamaan dengan antasida atau 2 jam setelah pemberian antibiotika Mengurangi efektivitas kontrasepsi yang diberikan per oral Penurunan sekresi tubulus ginjal terhadap amoksisilin, meningkatkan serta memperlama konsentrasi plasma amoksisilin Disarankan tidak diberikan secara bersamaan PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 47 2.2.2.3 Sefadroksil Sediaan sefadroksil yang beredar di pasaran terdiri dari bentuk sediaan konvensional seperti tablet, kapsul, dan suspensi (McEvoy et al., 2011). i. Aspek Farmakokinetika Sefadroksil terabsorbsi dengan baik pada GIT dengan konsentrasi puncak plasma 1-2 jam. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Sefadroksil terdistribusi secara merata ke jaringan dan cairan tubuh dengan ikatan protein 20%. Ekskresi obat ini sebesar >70% dikeluarkan dalam bentuk tidak berubah melalui urin dengan t 1/2 1,1-2 jam (McEvoy, 2011). Dosis yang digunakan untuk dewasa 2x 500 mg selama 10 hari, sedangkan pada anak-anak 30mg/kg dalam 2 dosis terbagi selama 10 hari. ii. Aspek Farmakodinamika Mekanisme kerja sefadroksil sama dengan golongan sefalosporin lain yaitu mengikat PBPs, sehingga menyebabkan perubahan struktur dan fungsi dinding sel bakteri. Sefadroksil dapat menyebabkan pseudomembran kolitis dan kulit kemerahan (Anderson et al., 2001). 2.2.2.4 Sefuroksim Sediaan sefuroksim yang beredar di pasaran terdiri dari bentuk sediaan konvensional seperti tablet, suspensi, dan injeksi (Anderson et al., 2001). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 48 i. Aspek Farmakokinetika Sefuroksim terabsorbsi pada GIT dalam bentuk 1- (asetiloksi) etil ester, kemudian terhidrolisis secara cepat. Bentuk lain sefuroksim yaitu sefuroksim sodium tidak dapat digunakan secara oral melainkan secara parenteral. Distribusi obat ini dapat menembus berbagai jaringan termasuk plasenta dan ASI. Bila diberikan secara oral, sefuroksim asetil terhidrolisis menjadi sefuroksim dengan proses esterase yang terjadi pada mukosa intestinal dan darah. Sefurksim dieliminasi dalam bentuk tidak berubah melalui urin. t 1/2 untuk sediaan oral 1,2-1,6 jam dan 1-2 jam untuk sediaan prenteral (McEvoy, 2011). Dosis dewasa yang diberikan melalui rute oral 125 mg-500 mg diberikan dua kali dalam sehari, IM atau IV 750mg-1.5g diberikan tiga kali dalam sehari (Anderson et al., 2001). Dosis anak-anak usia 3 bulan hingga 12 tahun: Tablet (Jika dapat menelan) 250 mg diberikan dua kali dalam sehari selama 10 hari. Suspensi oral 30 mg/kg dibagi dalam dua dosis, diberikan selama 10 hari (McEvoy, 2011). Konsentrasi puncak plasma yang dicapai ketika pemberian rute oral pada dewasa mencapai 2-3 jam, sedangkan pada anak-anak pemberian dengan susu atau tanpa susu memberikan konsentrasi puncak plasma 2,7-3,6 jam. Bioavailibilitas tablet selaput film yang diberikan melalui rute oral pada dewasa mencapai 37% ketika puasa dan meningkat 52 % ketika dikonsumsi bersama makanan. Kemampuan ikatan dengan protein plasma mencapai 33-50% (McEvoy, 2011). ii. Aspek Farmakodinamika Antibiotika ini bersifat bakterisid dengan cara mengikat PBPs, sehingga menyebabkan perubahan struktur dan fungsi dinding sel SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 49 bakteri (Anderson et al., 2001). Sefuroksim merupakan sefalosporin generasi kedua yang memiliki aktivitas lebih poten dibandingkan sefazolin, bakterisid yang poten terutama untuk H. Influenzae namun memiliki aktivitas yang lemah terhadap bakteri anaerob (Anderson et al., 2001). Sefuroksim diindikasikan untuk mengatasi ISPA, infeksi saluran kandung kemih, otitis media, tulang dan persendian, serta sepsis dan gonorrhea (Fuller and Sajatovic, 2002). Efek samping sefuroksim memiliki kesamaan dengan antibiotika golongan sefalosporin lain yaitu dapat ditoleransi, untuk beberapa kasus dengan prosentase 1-10% dapat menimbulkan beberapa hal seperti reaksi hipersensitivitas yaitu kulit kemerahan, demam, granulositopenia, dapat menyebabkan eusinofilia (7%), penurunan hemaglobin dan hematokrit (10%), peningkatan transaminase (4%) dan alkohol peptidase (2%) pada liver. Efek samping yang jarang terjadi pada pemberian sefuroksim (< 1%) diantaranya peningkatan BUN, kolestasis, dan angioedema (Katzung, 2012 ; Fuller and Sajatovic, 2002). Pemberian terapi yang tidak dikontrol pada pasien dengan riwayat alergi terhadap penisilin dapat menyebabkan urtikaria dan anafilatik. Terapi jangka panjang antibiotika ini dapat menyebabkan Clostridium Dificile-Associated Diarhhea and colitis (CDAD) (Fuller and Sajatovic, 2002). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 50 Tabel II.12 Interaksi obat-obat terhadap Sefuroksim (McEvoy, 2011). Obat atau Uji Interaksi Aminoglikosida Risiko nefrotoksik semakin meningkat bila digunakan bersamaan dengan golongan sefalosporin, secara in vitro bersifat aditif atau sinergis sebagai bakterisid dalam melawan bakteri enterobacteriaceae Hindari pemberian secara bersamaan Diuretik Risiko nefrotoksik semakin meningkat bila digunakan bersamaan diuretik yang poten. Digunakan bersamaan dengan berhati-hati Estrogen atau progestin Dapat memepengaruhi flora normal, menurunkan reabsorbsi estrogen dan menurunkan efektivitas dari penggunaan oral estrogen dan progestin Probenesid Meningkatkan konsentrasi serum dan t1/2 dari sefuroksim 2.2.2.5 Seftriakson Sediaan seftriakson hanya terdiri atas injeksi yang merupakan salah satu bentuk sediaan konvensional (McEvoy, 2011). i. Aspek Farmakokinetika Seftriakson tidak dapat diabsorbsi dalam GIT, sehingga harus diberikan secara parenteral. Distribusi obat ini merata hampir keseluruh jaringan tubuh, selain itu dapat menembus CSF, plasenta, dan ASI. Metabolisme terjadi dalam jumlah kecil pada usus setelah eliminasi pada bilier. Ekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin sebesar 33- SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 51 67%. t1/2 distribusi 0,12-0,7 jam dan t1/2 eliminasi 5,4-10,9 jam, pada bayi 16,2 jam dalam 1-4 hari dan 9,2 jam dalam 9-30 hari. Anak-anak berusia 2-42 bulan t1/2 distribusi 0,25 jam dan t1/2 eliminasi 4 jam (McEvoy, 2011). Dosis dewasa diberikan 1-2g/hari(single dose) secara IM atau IV. Dosis untuk anak-anak single dose 50 mg/kg, maksimum pemberian 1g dalam sehari (McEvoy, 2011 ; Anderson et al., 2001). Konsentrasi puncak plasma akan dicapai 1,5-4 jam setelah pemberian. Ikatan dengan protein tergantung konsentrasi obat. Ikatan protein-obat pada anak lebih kecil dibandingkan pada dewasa. Hal ini dikarenakan penurunan konsentrasi plasma albumin, kasus ini juga terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati. Ikatan protein plasma pada konsentrasi <70 mcg/mL 93-96%, 84-87% ikatan protein plasma pada konsentrasi 300 mcg/mL, dan ≤58% ikatan protein plasma pada konsentrasi 600 mcg/mL (McEvoy, 2011). ii. Aspek Farmakodinamika Antibiotika ini bersifat bakterisid sama seperti golongan sefalosporin yang lain dengan cara mengikat PBPs, sehingga menyebabkan perubahan struktur dan fungsi dinding sel bakteri (Anderson et al., 2001). Seftriakson merupakan Sefalosporin generasi ketiga yang memiliki aktivitas lebih poten dan lebih selektif terhadap bakteri gram negatif dibandingkan dengan sefalosporin generasi pertama dan kedua. Aktivitasnya terhadap bakteri gram positif seperti staphylococcus kurang efektif dibandingkan sefalosporin generasi pertama dan kedua ( McEvoy, 2011; Anderson et al., 2001). Efek samping seftiakson salah satunya dapat menyebabkan Clostridium SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 52 Dificile-Associated Diarhhea and colitis (CDAD) bila digunakan dalam jangka panjang, selain itu ketika menggunakan antibiotika ini dilakukan pengawasan terhadap PT pada pasien yang mengalami defisiensi vitamin K. Reaksi hipersensitifitas seperti kulit kemerahan juga terjadi dalam beberapa kasus (McEvoy, 2011). Terapi jangka panjang antibiotika ini dapat menyebabkan Clostridium Dificile-Associated Diarhhea and colitis (CDAD), pankreatitis, infeksi akut sehingga perlu dilakukan pengawasan saat penggunaan terapi (McEvoy, 2011). Tabel II.13 Interaksi obat-obat terhadap Seftriakson (McEvoy, 2011). Obat atau uji Interaksi Aminoglikosida Risiko nefrotoksik semakin meningkat bila digunakan bersamaan dengan golongan sefalosporin dan aminoglikosida, secara in vitro bersifat aditif atau sinergis sebagai bakterisid dalam melawan bakteri enterobacteriaceae, pseudomonas aeruginosa Kloramfenikol Dalam penelitian in vitro bersifat antagonis Probenesid Bila digunakan secara bersamaan dengan probenesid 500 mg per oral tidak mempengaruhi absorbsi seftriakson karena seftriakson di eksresikan melalui filtrasi glomerular dan mekanisme non ginjal. Dalam penggunaan dosis besar (1-2 g dalam sehari) dapat menghambat sebagian sekresi bilier dari seftriakson sehingga menurunkan t 1/2 seftriakson Bersifat sinergis sebagai anti bakteri dalam melawan S.pneumoniae yang resisten terhadap penicillin dan dalam beberapa kasus mengalami resisten terhadap seftriakson Quinolon SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 53 2.2.2.6 Klindamisin Sediaan yang beredar pada pasaran untuk antibiotika klindamisin adalah bentuk konvensional contohnya kapsul, larutan, injeksi, serta krim dan gel (topikal) (McEvoy, 2011). i. Aspek Farmakokinetika Klindamisin palmitat klorida terhidrolisis pada GIT dan berubah menjadi klindamisin. Distribusi obat sangat luas ke seluruh cairan tubuh dan jaringan tubuh. Ekskresi klindamisin melalui urin, empedu, dan feses. t1/2 sekitar 2-3 jam untuk anak-anak dan dewasa dengan fungsi hati normal (McEvoy, 2011). Digunakan secara per oral untuk anak-anak 30-40mg/kg/hari terbagi menjadi tiga dosis sesuai petunjuk dari AAP (McEvoy, 2011). Dosis untuk IV dan IM 20-40 mg/kg/hari terbagi menjadi tiga hingga empat dosis (Fuller and Sajatovic, 2002). Dosis dewasa 150-450 mg per oral diberikan setiap 6-8 jam, maksimum dosis yang diberikan dalam sehari adalah 1,8 g, sedangkan bila diberikan secara IV dan IM 1,2 g – 1,8 g/hari diberikan dalam 2-4 dosis terbagi. Pemberian dosis maksimum 4,8 g/hari (Fuller and Sajatovic, 2002). Bioavailibilitas klindamisin rute oral mencapai 90% dengan konsentrasi puncak plasma 45-60 menit serta tidak dipengaruhi makanan. Kemampuan berikatan dengan protein plasma sebesar 93% (McEvoy, 2011). ii. Aspek Farmakodinamika Mengikat ribosom subunit 50s secara reversible dengan cara membentuk kompleks inisiasi dan reaksi aminoasil translokasi serta menghindari pembentukan ikatan peptida, dengan demikian sintesis SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 54 protein bakteri akan terhambat (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.15) (Fuller and Sajatovic, 2002 ; Katzung, 2011). Antibiotika yang digunakan sebagai terapi perlawanan terhadap streptococci aerob dan anaerob (kecuali enterococci). Digunakan sebagai terapi OMA apabila pasien mengalami hipersensitivitas atau resisten terhadap antibiotika golongan Penisilin (McEvoy, 2011). Diare terjadi sebesar > 10% setelah pemberian obat klindamisin, sedangkan sebesar 1% - 10% terjadi reaksi dermatologik seperti kulit kemerahan dan pada GIT mengalami kolitis pseudomembran (biasanya karena penggunaan secara oral), mual, dan muntah (Fuller and Sajatovic, 2002). Tabel II.14 Interaksi Obat terhadap Klindamisin (McEvoy, 2011). Obat atau Uji Interaksi Komentar Aminoglikosida Dalam penelitian in vitro Sebaikya dihindari bersifat antagonis penggunaan secara bersamaan Dalam penelitian in vitro Sebaikya dihindari bersifat antagonis penggunaan secara bersamaan Agen Dapat meningkatkan efek Digunakan secara hati-hati penghambat potensial dalam menghambat pada pasien yang neuromuskular neuromuskular menggunakan agen Eritromisin penghambat neuromuskular SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 55 Gambar 2.15 Langkah sintesis protein bakteri dan rmekanisme kerja klindamisin (C) (Katzung, 2011). 2.2.2.6 Ofloksasin Ofloksasin yang tersedia di pasaran dalam bentuk tablet dan tetes telinga. Antibiotika ini efektif dalam mengeradikasi kuman penyebab OMA, otitis eksterna, dan OMSK (McEvoy, 2011). i. Aspek Farmakokinetika Konsentrasi maksimal ofloksasin dalam plasma adalah 10 ng/ml setelah pemberian ofloksasin 0,3%. Pada pasien yang mengalami otore konsentrasi ofloksasin 0,3% dapat meningkat hingga 389-2850 µg/g setelah pemberian selama 30 menit (FDA, 2003). Pemberian tetes telinga ofloksasin untuk anak (usia 1-12 tahun) 2x 5 tetes dalam sehari, sedangkan untuk dewasa diberikan tetes telinga 2x10 tetes dalam sehari. Durasi terapi untuk anak dan dewasa adalah 10 hari, jika selama 7 hari penggunaan ofloksasin namun pasien belum mengalami perbaikan kondisi atau otore masih terjadi, maka kultur bakteri harus dilakukan. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 56 ii. Aspek Farmakodinamika Ofloksasin yang bersifat bakterisid memiliki mekanisme kerja sama dengan golongan florokuinolon lain yaitu menghambat DNA girase dan topoisomerase IV yang berpengaruh terhadap replikasi bakteri (FDA, 2003). Efek samping yang dapat ditimbulkan dari penggunaan ofloksasin adalah sakit telinga, pruritus, dan pusing (masing-masing 1%) (FDA, 2003). 2.2.2.7 Siprofloksasin Siprofloksasin merupakan antibiotika golongan kuinolon yang sensitif terhadap bakteri OMA. Sediaan yang tersedia di pasaran adalah tablet dan infus. i. Aspek Farmakokinetika Siprofloksasin dapat diabsorbsi dengan baik pada GIT. Bioavailibilitas tablet mencapai 50-85% pada orang dewasa dengan konsentrasi puncak plasma dicapai pada 0,5-2,3 jam. Makanan dapat menurunkan absorbsi siprofloksasin. Siprofloksasin terdistribusi secara merata keseluruh jaringan dan cairan tubuh dengan ikatan protein 1643% dan t1/2 3-7 jam setelah pemberian oral. Dosis yang digunakan untuk dewasa adalah 2x 500mg selama 7 hari (McEvoy, 2011). ii. Aspek Farmakodinamika Siprofloksasin memiliki mekanisme kerja menghambat DNA girase dan topoisomerase IV yang berpengaruh terhadap replikasi bakteri (FDA, 2003). Efek samping yang dapat terjadi diantaranya sakit kepala, nyeri pada GIT, palpitasi, serta nyeri pada kulit, selain itu SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 57 siprofloksasin juga dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obatan seperti antibiotika golongan aminoglikosida, antasida, kafein, NSAID, kortikosteroid, omeprazole, dan suplemen multivitamin (McEvoy, 2011). 2.2.3 Dekongestan Obat dekongestan dapat dibagi menjadi dua golongan: (1) Golongan derivat feniletilamin yang memiliki efek dekongestan yang singkat dan efek sistemik yang besar. Contoh obat golongan ini adalah efedrin, dan fenilperin. (2) Golongan derivat imidasolin yang memiliki efek dekongestan yang lebih lama dan efek sistemik yang lebih ringan. Contoh obatnya adalah oksimetasolin, dan silometasolin (Soetomo, 1998). Pemberian dekongestan sebaiknya hanya selama 3-5 hari, karena penggunaan yang berlebihan dapat menurunkan efektivitas terapi dan menyebabkan timbulnya rhinitis (Soetomo, 1998). 2.2.3.1 Pseudoefedrin Pseudoefedrin merupakan salah satu dekongestan yang berasal dari efedrin, sehingga reaksi yang ditimbulkan relatif sama dengan golongan efedrin lainnya tetapi rangsangan terhadap saraf pusat dan peningkatan tekanan darah lebih ringan (American Medical Association, 1991). Sediaan Pseudoefedrin yang beredar di pasaran terdiri dari bentuk konvensional contohnya tablet salut film, kapsul, bubuk, dan larutan, selain itu terdapat bentuk non konvensional yang contohnya tablet extended release (McEvoy, 2011). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 58 i. Aspek Farmakokinetika Pseudoefedrin mudah diabsorbsi pada GIT ketika digunakan melalui rute oral dengan mula kerja obat 30 menit dan durasi obat bertahan selama 8 jam setelah pemberian 60 mg atau 12 jam bila pemberian dengan dosis 120 mg melalui kapsul extended release. Metabolisme tidak sempurna pada liver menghasilkan metabolit inaktif, dieksresikan melalui urin dan sebesar 55-96% tereliminasi dalam bentuk yang tidak berubah. t 1/2 3-6 jam pada kondisi PH urin 5 dan 9-16 jam pada kondisi PH urin 8 (McEvoy, 2011). Pada penggunaan oral untuk dewasa dosis maksimal yang diperbolehkan 240mg, sedangkan untuk anak-anak dosis maksimalnya 120 mg (McEvoy, 2011). Konsentrasi puncak plasma mencapai 1,39-2,4 atau 3,8-6,1 jam setelah pemberian oral. ii. Aspek Farmakodinamika Merupakan vasodilator yang bekerja langsung pada reseptor α dan β adrenergik, melepaskan epinefrin, meningkatkan fungsi drainase sinus, serta pertukaran udara pada hidung, dan dapat membantu mengatasi memperbaiki fungsi saluran Eustasius sebagai ventilasi yang mengatur keseimbangan tekanan udara pada telinga tengah, sehingga akan mengurangi gejala simptomatik yang disebabkan oleh OMA (McEvoy, 2011). Pseudoefedrin dapat digunakan sebagai terapi swamedikasi untuk mengatasi hidung tersumbat karena ISPA. Obat ini dapat dikombinasi dengan beberapa obat lain seperti loratadin, ibuprofen, dan klorfeniramin. Pseudoefedrin kurang efektif sebagai bronkodilator (McEvoy, 2011). Pseudoefedrin Memiliki efek terhadap stimulasi CNS, SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 59 dapat menyebabkan pusing, insomnia, selain itu Pseudoefedrin memiliki efek terhadap kardiovaskular yaitu perubahan fungsi ritme ventrikel, peningkatan kerentanan otot jantung, takikardia, serta palpitasi (McEvoy, 2011). Interaksi obat dengan metildopa dapat mengurangi indikasi sebagai antihipertensi, dan berinteraksi dengan MAO inhibitor serta β- bloker adrenergik dalam meningkatkan efek tekanan (McEvoy, 2011). 2.3 Drug Related Problem 2.3.1 Definisi Drug Related Problem (DRP) adalah peristiwa yang tidak diharapkan terjadi, dialami oleh pasien dan diduga memiliki keterkaitan demgam terapi obat yang diberikan. Hal tersebut dapat mempengaruhi tujuan terapi serta membutuhkan pertimbangan profesional dalam menyelesaikannya (Cipolle, 2007). 2.3.2 Kategori DRP dibagi menjadi beberapa kategori dasar yang meliputi : (1) Pemberian terapi obat yang tidak dibutuhkan, (2) Pemberian terapi obat tambahan, (3) Pemberian obat yang tidak efektif dalam memberikan respon, (4) Pemberian dosis obat yang terlalu rendah, (5) Pemberian obat yang dapaat menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki, (6) Pemberian dosisi obat yang terlalu tinggi, (7) Ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat (Cipolle, 2007). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 60 2.3.3 Drug Related Problem (DRP) terkait OMA Manajemen terapi OMA terdiri dari terapi simptomatik berupa pemberian analgesik dan pemberian antibiotika untuk mengeradikasi kuman patogen penyebab OMA (Sinha et al., 2011). Analgesik yang digunakan untuk mengatasi otalgia terdiri dari 2 terapi yaitu golongan NSAID untuk mengatasi otalgia tingkat ringan hinga sedang dan golongan analgesik narkotik untuk mengatasi otalgia tingkat berat (AAP guidelines, 2013). Analgesik golongan NSAID memiliki contoh efek samping perdarahan pada GIT.Hal ini dapat dikurangi dengan mengkonsumsi analgesik tersebut dengan makanan (McEvoy, 2007). Efek samping yang ditimbulkan analgesik golongan narkotik adalah depresi nafas, mual, hingga muntah (McEvoy, 2007). Terapi analgesik diberikan hingga otalgia hilang (+ 10 hari) sehingga perlu dilakukan pengawasan terhadap pasien selama menerima analgesik sebagai salah satu terapi OMA. Antibiotika yang digunakan untuk mengeradikasi bakteri gram positif dan gram negatif pada kasus OMA sering mengalami permasalahan yaitu timbulnya kekambuhan OMA akibat resistensi terhadap salah satu golongan antibiotika (Jurkiewicz dan Bielicka, 2015). Antibiotika yang tidak tepat sasaran dapat menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi sperti mastoiditis dan ICC (NHG Guidelines, 2011). Masalah lain yang diperhatikan adalah mayoritas penderita OMA adalah anak-anak, sehingga antibiotika yang digunakan harus aman yang salah satunya ditandai dengan efek samping yang minimal contohnya antibitoik golongan aminoglikosida tidak dipilih sebagai terapi utama OMA karena memiliki efek samping ototoksik dan bersifat toksik terhadap sel sensori pada sistem keseimbangan tubuh, SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 61 sehingga dapat dinyatakan tidak aman untuk anak (Salt and Plontke, 2005 ; McEvoy, 2011). Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut penggunaan terapi antibiotika juga harus dilakukan pengawasan terkait dengan jenis antibiotika, dosis yang diberikan, dan frekuensi penggunaan. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 3.1 Skema Kerangka Konseptual Profil Penggunaan Obat pada Pasien Otitis Media Akut (OMA) Gambar 3.1 Kerangka Konseptual 62 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 63 Otitis Media Akut merupakan infeksi yang menyerang telinga tengah pada bagian mukoperiosteum kavum timpani disertai pembentukan sekret purulen. Faktor resiko terjadinya OMA adalah ISPA dan infeksi beberapa bakteri patogen seperti Streptococcus Pneumoniae, Staphylococcus auereus, Moraxella catarrhalis, Haemophillus influenzae, dan virus (Zhang, 2015). ISPA akan berdampak langsung terhadap terganggunya fungsi saluran eustasius dan menyebabkan obstruksi terhadap saluran eustasius sehingga terjadi kondisi vasokontriksi (Herawati dan Rukmini, 2003). Karena terganggunya fungsi saluran eustasius, akan timbul tekanan negatif pada telinga tengah disertai perubahan fisiologis pada kavum timpani yang beruba perembesan cairan kedalam kavum timpani (transudasi cairan) (Ballenger, 2009). Pada saat yang bersamaan, terjadi perubahan sel-sel epitel yang terletak pada membran timpani dan menyebabkan kondisi inflamasi (Herawati dan Rukmini, 2003). Inflamasi dapat meningkatkan infiltrasi bakteri patogen ke dalam telinga tengah sehingga timbul manifestasi klinis dari OMA berupa otalgia, otore, dan demam. Selain itu OMA dipengaruhi faktor sistem kekebalan tubuh (Rovers et al., 2004). Ketika sistem kekebalan tubuh terganggu, bakteri komensal dapat berubah menjadi bakteri patogen dan memicu pelepasan mediator inflamasi diantaranya PG, leukotrien, histamin yang menghasilkan manifestasi klinis hiperemia dan udema pada nasal cavity. Salah satu pelepasan mediator inflamasi yaitu histamin dapat meningkatkan permeabilitas mukosa, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan inflamasi, infeksi, dan menghasilkan manifestasi klinis serupa dengan OMA yang berasal dari ISPA. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 64 Manajemen terapi untuk mengatasi OMA adalah pemberian analgesik, antibiotika, dan dekongestan bila terjadi sumbatan pada hidung (AAP guidelines, 2013). Analgesik yang digunakan memiliki potensi sebagai anti inflamasi untuk mengatasi reaksi inflamasi yang terjadi pada patofisiologi OMA, selain itu analgesik juga digunakan untuk mengurangi otalgia yang timbul akibat manifestasi klinis dari OMA. Antibiotika yang dipilih diharapkan memiliki kemampuan penetrasi yang tinggi ke telinga tengah dan memiliki aktivitas spektrum yang luas karena bakteri patogen yang menginvasi telinga tengah merupakan bakteri gram positif dan gram negatif (Sinha et al., 2011). 3.2 Kerangka Operasional Gambar 3.2 Kerangka Operasional SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional dengan metode total sampling. Peneliti tidak memberikan perlakuan pada subyek yang diteliti tetapi hanya mengamati fenomena yang sudah terjadi. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif yang artinya menggunakan data terapi pasien pada masa lampau. Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengkaji profil penggunaan obat pada pasien otitis media akut di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Analisis hasil penelitian dilakukan secara deskriptif. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada Poli THT RSUD Dr.Soetomo Surabaya pada bulan Maret-Mei 2016. 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosa otitis media akut (OMA) yang disertai komorbid serta sedang menjalani rawat jalan pada Poli THT RSUD Dr.Soetomo Surabaya. 4.3.2 Sampel Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pasien dengan diagnosa otitis media akut yang memenuhi kriteria inklusi dan 65 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA 66 ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA dibatasi oleh waktu (time limited) selama periode Januari sampai dengan Desember 2015. 4.4 Kriteria Inklusi Pasien dengan diagnosa otitis media akut (OMA) disertai komorbid dan komplikasi yang menjalani terapi rawat jalan pada Poli THT RSUD Dr.Soetomo Surabaya dengan Dokumen Medik Kesehatan (DMK) yang lengkap seperti profil terapi obat antibiotik, analgesik,dekongestan, identitas pasien, dan data klinik. 4.5 Definisi Operasional - Pasien Otitis Media Akut adalah semua pasien pada berbagai usia dengan diagnosa otitis media akut yang ditandai dengan adanya rasa nyeri pada telinga (otalgia), demam, otore, dan saat dilakukan pemeriksaan otoskopik membran timpani tampak bengkak, serta hasil kultur bakteri positif (Rettig, 2014). - Data klinik adalah data yang berhubungan dengan tanda klinik pasien otitis media akut meliputi berat badan, tekanan darah, nadi, adanya otalgia, demam, otore, dan pemeriksaan otoskopik (Lee et al., 2013 ). - Profil Penggunaan Obat adalah suatu pola yang menggambarkan atau mendeskripsikan penggunaan antibiotik dan analgesik pada pasien yang didiagnosa otitis media akut. - Interaksi obat adalah perubahan farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh yang terjadi karena kehadiran satu zat atau lebih yang berinteraksi. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA - 67 Dosis adalah takaran obat yang digunakan untuk sekali pemakaian, dapat melalui rute oral, rektal, parenteral, dll dalam jangka waktu tertentu. - Hasil terapi (outcomes) adalah penilaian kesembuhan setelah mendapat terapi obat OMA yang ditentukan yaitu analgesik dan antibiotik berdasarkan diagnosa dan pemeriksaan klinis dengan parameter antara lain pemeriksaan otoskopik. - Frekuensi penggunaan obat adalah jumlah penggunaan obat OMA yang diberikan dalam waktu tertentu. - Rute pemakaian adalah jalur yang digunakan untuk pemberian obat OMA agar dapat mencapai efek terapi yang diinginkan. 4.6 Ethical Clearance Penelitian ini telah di review oleh Komite Etik Penelitian RSUD Dr.Soetomo Surabaya dengan bukti sertifikat No.64/Panke.KKE/II/2016 (Lampiran II). 4.7 Cara Pengumpulan Data Sampel penelitian akan didapatkan dari Dokumen Medis Kesehatan (DMK) dan selanjutnya menentukan sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan DMK dan pemindahan data yang diperlukan dilakukan dari tiap DMK ke lembar pengumpulan data lalu dipindahkan ke tabel induk. Data yang dicatat terdiri dari demografi pasien yaang meliputi Nomor DMK, inisial pasien, jenis kelamin, berat badan, usia, keluhan utama, hasil diagnosa, penyakit penyerta, dan riwayat penggunaan obat. Data klinik meliputi suhu tubuh, pemeriksaan SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 68 membran timpani, serta terapi obat yang diterima contohnya jenis, rute, dosis, frekuensi penggunaan, serta efek samping yang muncul. 4.8 Pengolahan dan Analisa Data Dari data yang diperoleh dilakukan pengolahan dan analisis data, meliputi: 1. Analisa secara deskriptif antara terapi yang diperoleh dengan hasil pemeriksaan membran timpani yang diterima oleh pasien serta disajikan dalam bentuk uraian. 2. Analisa hasil prosentase penggunaan obat meliputi jenis obat, rute pemakaian, dosis, dan frekuensi pemberian obat. Data disajikan dalam bentuk uraian, tabel, dan diagram. 3. Analisa kemungkinan adanya DRP meliputi interaksi obat yang potensial yang disajikan dalam bentuk uraian dan tabel. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian mengenai profil penggunaan obat pada pasien otitis media akut (OMA) telah dilakukan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo. Penelitian ini dilakukan pada periode Januari sampai dengan Desember 2015, dan telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr. Soetomo dengan bukti sertifikat no.64/Panke.KKE/II/2016 (Lampiran II). Dari data rekam medik yang telah dikumpulkan dan direkapitulasi diperoleh pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 80 pasien. Data tersebut diambil dengan metode total sampling dan dibatasi oleh waktu (time limited). Sampel yang diambil yaitu semua pasien dengan diagnosa OMA yang menjalani terapi rawat jalan dengan penggunaan antibiotika, analgesik, dekongestan, dan antihistamin pada tahun 2015. 5.1 Data Demografi Pasien Demografi pasien yang menjalani terapi rawat jalan pada Poli THT RSUD Dr. Soetomo periode Januari sampai dengan Desember 2015 terdiri dari jenis kelamin dan usia pasien. Pengelompokan usia pasien berdasarkan WHO tahun 2001 yang ditunjukkan pada gambar 5.2 dengan prosentase pasien terbanyak anak berusia 0-4 tahun. Distribusi jenis kelamin pada pasien otitis media akut yang melakukan terapi rawat jalan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo ditunjukkan pada gambar 5.1 dengan hasil perempuan lebih banyak terserang OMA dibandingkan laki-laki. 69 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA 70 ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Laki-laki 38% Perempuan 62% Prosentase pasien Gambar 5.1 Sebaran Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin 30 27 20 20 9 10 18 12 11 1 0 0-4 5-9 10-24 25-39 40-54 55-69 >69 Rentang Usia (tahun) Gambar 5.2 Sebaran Pasien Berdasarkan Usia Data demografi lain seperti alamat rumah pasien dan riwayat pekerjaan tidak tertera pada rekam medis. Terdapat 3 pasien yang memiliki riwayat mengorek telinga sehingga memicu terjadinya OMA. 5.2 Penggolongan Stadium Otitis Media Akut (OMA) Pada tabel V.1 menunjukkan penggolongan stadium OMA pada pasien di Poli THT RSUD Dr. Soetomo berdasarkan data klinis hasil pemeriksaan telinga. Penggolongan ini didapatkan dari data klinis hasil pemeriksaan telinga pasien berdasarkan adanya sekret yaitu stadium perforasi, sedangkan ketika tidak ada sekret dan hanya terjadi SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 71 hiperemi digolongkan stadium kataral. Stadium bombans ditandai dengan adanya hiperemi dan bombans (supurasi). Stadium resolusi ditandai dengan telah hilangnya hiperemi dan sekret serta ketika terapi antibiotika telah dihentikan. Tabel V.1 Penggolongan Stadium Otitis Media Akut (OMA) Karakteristik Jumlah Prosentase Keterangan OMA (%) 64 80 Terdapat sekret di Stadium telinga tengah atau Perforasi terlihat perforasi ketika pemeriksaan otoskopik 7 8 Telinga tengah Stadium mengalami supurasi Bombans 4 5 MT Hiperemia dan Stadium Kataral tidak ada sekret 5 6 Tidak diketahui** 80 100 Total Keterangan **= Penggolongan tidak dapat diketahui karena data klinis yang tersedia kurang lengkap sehingga tidak dapat memberi kesimpulan stadium OMA. 5.3 Data klinis Pasien Otitis Media Akut (OMA) Data klinis hasil pemeriksaan pada telinga pasien dengan diagnosa Otitis Media Akut (OMA) dijelaskan melalui prosentase pasien dengan karakteristik adanya jenis sekret pada telinga yang terdapat pada gambar 5.3. Hasil pemeriksaan otoskopik menunjukkan sekret tidak selalu ditemukan pada pasien. Kondisi lain seperti jenis perforasi membran timpani, hiperemia, dan serumen terdapat pada tabel V.2. Beberapa data tidak dapat dianalisa dikarenakan data klinis tidak tercantum pada Dokumen Medis Kesehatan (DMK). SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA Jenis Sekret ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Mukoid 72 11 Mukopus 56 6 Serous 0 10 20 30 40 Jumlah Pasien (%) Gambar 5.3 Jenis Sekret pada Pasien OMA 50 60 Tabel V.2 Data Klinis Hasil Pemeriksaan Telinga pada Pasien OMA Karakteristik Frekuensi Pasien** Prosentase (%) Jenis Perforasi 25 31 Perforasi Sentral Kecil 8 10 Perforasi Sentral Besar 2 2 Perforasi Sentral Total Kondisi lain 12 15 Hiperemia 7 8 Serumen 9 11 Tidak ada data* Keterangan * = Data tidak dapat dianalisa karena data klinis pada DMK tidak lengkap ** = Data Klinis dapat terjadi pada lebih dari satu pasien Pemeriksaan juga dilakukan pada organ lain seperti hidung dan tenggorokan karena bakteri penyebab OMA dapat berasal dari kedua organ tersebut. Hasil pemeriksaan terdapat pada gambar 5.4 dimana data klinis tersebut dapat terjadi pada lebih dari satu pasien. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA 73 Jenis Pemeriksaan ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Sekret Serous (tenggorokan) 2 6 Hiperemia (tenggorokan) 8 Sekret Serous (hidung) Udema (hidung) 8 11 Hiperemia (hidung) 0 5 10 Jumlah Pasien (%) 15 Gambar 5.4 Hasil Pemeriksaan Hidung dan Tenggorokan pada Pasien OMA 5.4 Data Keluhan Pasien dengan diagnosa Otitis Media Akut (OMA) Pada tabel V.3 ini berisi tentang keluhan telinga dan beberapa keluhan lain seperti batuk, pilek, dan demam yang dialami oleh pasien hingga memutuskan untuk periksa ke dokter di Poli THT RSUD Dr. Soetomo dan mendapatkan terapi terkait obat-obatan OMA. Tabel V.3 Data Keluhan Pasien terkait Infeksi Telinga OMA Karakteristik Frekuensi Prosentase Keterangan Keluhan Pasien (%) Telinga mengeluarkan 53 66 Penumpukan cairan cairan (otorea) pada telinga tengah Telinga buntu/pendengaran 19 24 Tidak seimbangnya menurun tekanan pada telinga tengah Nyeri telinga (otalgia) 14 17 Tekanan besar pada telinga tengah SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 74 Tabel V.3 Data Keluhan Pasien terkait Infeksi Telinga OMA (lanjutan) Karakteristik Frekuensi Prosentase Keterangan Keluhan Pasien (%) Telinga berdengung 6 7 Penumpukan sekret di telinga Telinga 9 11 Terjadi mengeluarkan cairan produksi berbau bakteri pada telinga Keluhan Lain Batuk dan Pilek 33 41 Pilek 25 31 Demam 16 20 Keterangan= Setiap pasien dapat mengalami lebih dari satu keluhan *Dihitung terhadap jumlah total pasien (N= 80) 5.5 Organ Telinga yang Terserang OMA Pada umunya OMA dapat menyerang kedua organ telinga (multilateral) atau salah satu telinga (unilateral). Hal ini tergantung pada kecepatan penyebaran infeksi yang terjadi pada telinga, kecepatan penyebaran infeksi dapat meningkat dengan adanya penyakit penyerta (komorbid). Tabel V.4 ini menunjukkan prosentase organ telinga yang terinfeksi OMA. Tabel V.4 Organ Telinga Terinfeksi OMA Karakteristik Jumlah Pasien Prosentase (%) Unilateral 59 74 Bilateral 10 12 Tidak Diketahui*** 11 14 80 100 Total Keterangan *** = Data yang tergolong tidak diketahui merupakan data yang tidak lengkap pada rekam medis pasien SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 5.6 75 Terapi Umum untuk Mengatasi OMA Terapi untuk OMA terdiri dari obat oral dan tindakan utama. Tindakan utama untuk terapi OMA adalah parasintesis, tindakan ini dilakukan terutama untuk OMA stadium kataral dan bombans, sedangkan untuk terapi tambahan yang sering dilakukan adalah hisap lendir. Parasintesis merupakan tindakan insisi pada membran timpani dengan tujuan untuk mengurangi tekanan pada membran timpani. Obat utama yang digunakan untuk terapi OMA adalah antibiotika. AAP Guidelines menyatakan beberapa golongan antibiotika yang sering digunakan seperti penisilin, sefalosporin, dan klindamisin. Terapi tambahan yang diberikan untuk mengatasi nyeri (otalgia) adalah golongan NSAID, bila OMA diikuti dengan gejala lain (pada umumnya flu) maka dapat diberi terapi tambahan dekongestan dan antihistamin. Tabel V.6 hingga V.9 berisi tentang daftar golongan obat-obatan serta tindakan yang dilakukan untuk mengatasi OMA. Indikasi obat-obatan tersebut didapatkan dari pustaka AHFS Drug Information Handbook serta informasi obat yang diakses dari situs resmi Food and Drug Associations (FDA). Golongan Obat Tabel V.5 Terapi Antibiotika Pasien OMA Indikasi* Antibiotika gol.β Laktam Amoksisilin Terapi lini pertama OMA yang sensitif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif Amoksisilin + Terapi OMA yang resisten terhadap enzim βAsam laktamase klavulanat SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... Frekuensi Pasien (%) 10 (12) 5 (6) SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 76 Tabel V.5 Terapi Antibiotika Pasien OMA (lanjutan) Golongan Obat Indikasi* Frekuensi Pasien (%) Antibiotika gol. Sefalosporin Sefadroksil Mengatasi infeksi yang diakibatkan 2 (2) bakteri S.pyogenes (grup A β-hemolitik streptococci) Sefpodoksim Terapi alternatif OMA yang resisten 1 (1) terhadap amoksisilin dan amoksiklav Antibiotika gol. Florokuinolon Ofloksasin Otic Terapi OMA yang diakibatkan bakteri 25 (31) drop S.pneumoniae, St.aureus, H.Influenzae, M.Catarrhalis, dan Ps.aeruginosa Siprofloksasin Mengatasi bakteri penyebab OMA 2 (2) terutama sensitif terhadap Pseudomonas aeruginosa Antbiotika gol. Makrolida Klindamisin Terapi alternatif OMA untuk bakteri 5 (6) S.pneumoniae yang alergi terhadap penisilin *Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011 Golongan Obat Tabel V.6 Terapi Analgesik Pasien OMA Indikasi* Asam mefenamat Parasetamol Ibuprofen Analgesik untuk mengatasi nyeri ringan hingga sedang pada pasien usia > 14 tahun Analgesik dan antipiretik Mengatasi nyeri dan demam pada anak-anak dan dewasa serta sebagai anti inflamasi Natrium Mengatasi nyeri dan demam pada anak-anak dan diklofenak dewasa serta sebagai anti inflamasi *Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... Frekuensi Pasien (%) 7 (8) 5 (6) 3 (4) 3 (4) SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Golongan Obat Tabel V.7 Terapi Dekongestan Pasien OMA Indikasi* Oksimetazolin HCl Tetes hidung yang bertujuan untuk meringankan hidung tersumbat karena rhinitis akut atau kronik, flu, serta alergi saluran pernafasan lain Pseudoefedrin + Mengatasi gejala alergi pada hidung seperti Triprolidin rhinorrhea dan bersin Pseudoefedrin Mengatasi hidung tersumbat karena alergi pada saluran pernafasan atas, menghindari kondisi (otalgia dan gangguan pendengaran) *Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011 Golongan Obat Tabel V.8 Terapi Antihistamin Pasien OMA Indikasi* Cetirizine Mengatasi alergi seperti rhinitis dan urtikaria CTM Mengatasi alergi seperti rhinitis dan urtikaria Loratadin Mengatasi alergi seperti rhinitis dan urtikaria *Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011 Golongan Obat H2O2 3% Salbutamol Ambroksol Vitamin B1, B6, dan B12 Metil Prednison Tabel V.9 Terapi Obat Lain Pasien OMA Indikasi Tetes telinga yang bertujuan mengeluarkan serumen pada telinga Pengobatan dan pencegahan asma Mengatasi sekresi bronkus abnormal Mengatasi kekakuan pada otot Mengatasi alergi yang parah pada rhinitis dan asma bronkial *Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... 77 Frekuensi Pasien (%) 9(11) 2 (2) 1 (1) Frekuensi Pasien (%) 3 (4) 1 (1) 1 (1) Frekuensi Pasien (%) 12 (15) 1 (1) 1 (1) 1 (1) 1 (1) SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Jenis Tindakan Tabel V.10 Terapi Tindakan Medis Pasien OMA Indikasi Hisap lendir Irigasi telinga Mengeluarkan serumen pada telinga Mengeluarkan serumen pada telinga dengan mengguanakan air Parasintesis Mengurangi tekanan pada membran timpani *Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011 5.7 78 Frekuensi Pasien (%) 30 (37) 9 (11) 5 (6) Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien OMA Antibiotika merupakan terapi utama yang diberikan pada pasien OMA sesuai dengan AAP Guidelines tahun 2013 dan PDT tahun 2008 yang berlaku di RSUD Dr. Soetomo. Rute pemberian antibiotika terdiri dari oral dan topikal. Bentuk sediaan oral terdiri dari tablet dan sirup yang dikaitkan dengan frekuensi penggunaan dan lama terapi dibandingkan dengan pustaka. Hasil penelitian menunjukkan dari 80 pasien hanya beberapa yang mendapatkan terapi antibiotika. Pasien yang tidak mendapatkan terapi antibiotika tetap termasuk dalam sampel penelitian. Hasil tersebut ditunjukkan dalam tabel V.11, sedangkan tabel V.12 menunjukkan pola terapi antibiotika yang berkaitan dengan hal-hal tersebut. Tabel V.11 Pemberian Antibiotika pada Pasien OMA Pasien yang Mendapat Pasien yang Tidak Mendapat Antibiotika (%) Antibiotika (%) 38 (47%) 42 (53%) * Dihitung terhadap jumlah total pasien (N= 80) SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 79 Pasien yang tidak mendapatkan antibiotika dapat disebabkan karena pasien tersebut merupakan rujukan PPK 2 yang masih memiliki persediaan antibiotika dirumah. Tabel V.12 Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien OMA Frekuensi Durasi Frekuensi Pustaka** pengguna terapi pasien an (%) Amoksisilin 3x 500 mg 5 hari 6 (7) 3x 500 mg sehari tab sehari untuk durasi 5-10 hari Terapi Ketera ngan + Amoksisilin + asam klavulanat tab 3x 625 mg sehari 5 hari 2 (2) 3x 625 mg sehari untuk durasi 5-10 hari + Sefadroksil tab 2x 500 mg sehari 5 hari 1 (1) 2x 500 mg sehari untuk durasi 7 hari + Sefpodoksi m tab 2x 100 mg sehari 10 hari 1 (1) 2x 100 mg sehari untuk durasi 5-10 hari + Siprofloksas in tab 2x500 mg sehari 2 (2) 2x 500 mg sehari untuk durasi 10 hari + Klindamisin tab 3x150 mg sehari 5 hari dan 7 hari 5 hari 1 (1) 4x 150-300 mg sehari untuk durasi 10 hari + 10 hari 5 hari 2 (2) 2 (2) 2x300 sehari 3x300 sehari SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... + SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 80 Tabel V.12 Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien OMA (lanjutan) Terapi Frekuensi Durasi Frekuensi Pustaka** Keterangan penggunaan terapi pasien (%) Amoksisilin 3x 125 mg 7 hari 3 (4) 80-90 mg/kg + dry dry syrup cth sehari 7 hari 2 (2) dalam 2-3 3x 250 mg dosis terbagi cth sehari maksimal 10 hari Amoksisilin+ 40 mg/kg + asam 3x 125 mg 7 hari 3 (4) dalam 2 dosis klavulanat atau 3x 250 terbagi untuk dry syrup mg cth durasi 10 hari sehari Sefadroksil 3x 125 mg 7 hari 1 (1) 30 mg/kg + dry syrup cth sehari terbagi dalam 2 dosis untuk durasi 10 hari Ofloksasin 3x3 tetes 1 (1) Anak-anak: + otic drop 3x1 tetes 2 (2) sehari 2 kali 2x5 tetes 1 (1) 3-5 tetes 2x4 tetes 7 hari 1 (1) Dewasa: 2x3 tetes 3 (4) sehari 2 kali 2x2 tetes 9 (11) 6-10 tetes 2x1 tetes 3 (4) 1x1 tetes 3 (4) Keterangan **: Pustaka diambil dari AHFS Drug information,2011. + : Frekuensi penggunaan dan durasi terapi obat yang diresepkan telah sesuai dengan pustaka - : Frekuensi penggunaan dan durasi terapi obat yang diresepkan tidak sesuai dengan pustaka 5.8 Pola Penggunaan Obat-obatan Lain pada Pasien OMA Obat-obatan lain yang digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien OMA diantaranya adalah obat golongan analgesik, dekongestan, antiseptik, dan antihistamin, selain itu terdapat beberapa obat-obatan untuk mengatasi komorbid OMA seperti ambroksol, salbutamol, dan SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA 81 ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA vitamin B kompleks. Tabel V.13 akan menunjukkan terapi tambahan pada pasien OMA di Poli THT RSUD Dr. Soetomo. Tabel V.13 Pola Penggunaan Obat lain pada Pasien OMA Frekuensi Durasi Frekuen Pustaka** penggunaan terapi si pasien (%) Analgesik (NSAID) Parasetamol 3x 500 mg 5 hari 1 (1) Anak-anak > 2 Terapi tab sehari tahun 3x 250 mg 5 hari 1 (1) sehari 4 hari 1 (1) sehari mg digunakan sehari Dosis dewasa: 500 mg 4x 500 mg 5 hari 1 (1) (racikan) Parasetamol 3x 125 mg syrup 125 atau atau 3x 250 250 mg mg cth sehari Asam 3x 500 mg Mefenamat sehari tab 3x 500 mg SKRIPSI + 4 kali bila perlu 2x 500 mg sehari 160 Ketera ngan diminum sehari 4 kali bila perlu 5 hari 1 (1) 5 hari 5 (6) 3 hari 2 (2) + 3x1 tab sehari, tidak boleh digunakan > + 1 minggu PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 82 Tabel V.13 Pola Penggunaan Obat lain pada Pasien OMA (lanjutan) Terapi Frekuensi Durasi Frekuen Pustaka** Ketera penggunaan terapi si pasien ngan (%) Ibuprofen 3x 200 mg 2 hari 1 (1) Anak (6 bulan-12 + 200 mg tab sehari tahun): 10 mg/kg 2x 200 mg 5 hari 1 (1) sehari setiap 6-8 jam + Dewasa: 400 mg + bila perlu Ibuprofen 3x 100 mg syrup 100 cth sehari - 1 (1) setiap mg 4-6 jam bila perlu Na 2x 25 mg diklofenak sehari 5 hari 1 (1) 25-50 mg tab (2-3 + kali sehari). Pada tab beberapa pasien dewasa Na 3x 50 mg diklofenak sehari 5 hari 2 (2) digunakan dosis + awal 100 mg lalu tab dilanjutkan dengan dosis 50 mg H2O2 3% SKRIPSI 3x5 tetes 3x3 tetes 3x2 tetes 3x1 tetes 2x5 tetes 2x3 tetes 2x2 tetes 2x1 tetes 1x1 tetes 5 hari 1 (1) 1 (1) 1 (1) 1 (1) 1 (1) 1 (1) 1 (1) 1 (1) 4 (5) Diteteskan 5-10 tetes dalam 3-5 hari PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... + SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 83 Tabel V.13 Pola Penggunaan Obat lain pada Pasien OMA (lanjutan) Terapi Frekuensi Durasi Frekuen Pustaka** Ketera penggunaan terapi si pasien ngan (%) Oksimetazolin 3x2 tetes 2 (2) Digunakan 2-3 + HCl 0,05 % 3x1 tetes 1 (1) tetes setiap 10-12 nasal spray 2x2 tetes 1 (1) jam (2 kali sehari) 1x2 tetes 1 (1) 1x1 tetes 2 (2) Pseudoefedrin 3x 120 mg 4 hari 1 (1) Dosis dewasa 60 + tab sehari mg, digunakan setiap 4-6 jam dalam sehari (maksimal penggunaan 7 hari) Tremenza (PSE 60 mg+ TPO 2,5 mg) Tremenza syrup (tiap 5 ml mengandung PSE 30 mg+ TPO 1,25 mg) Cetirizine tab SKRIPSI 3x1 tab 7 hari 1 (1) 2x1 cth 5 hari 1 (1) 1x 10 mg sehari 3x 10 mg sehari (racikan) 5 hari 2 (2) 6 hari 1 (1) Dewasa 60 mg setiap 4-6 jam dalam sehari (maksimal 7 hari). FDA tidak mengizinkan PSE digunakan untuk anak usia < 1 tahun. Dosis TPO anak (4 bulan- < 2 tahun ): 0.313 mg setiap 4-6 jam. Dewasa: 2,5 mg setiap 4-6 jam (tidak boleh > 10 mg dalam 24 jam) Anak (2 th- < 6 th): 5 mg diberikan 1x sehari. Dewasa: 510 mg 1x sehari PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... + + + SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 84 Tabel V.13 Pola Penggunaan Obat lain pada Pasien OMA (lanjutan) Terapi Frekuensi Duras Frekuens Pustaka** Keteran penggunaa i i pasien gan n terapi (%) CTM tab 3x 4 mg 5 hari 1 (1) Anak (2- < 6 + sehari th): 1mg setiap 4-6 jam dalam sehari Loratadi 1x 10 mg 5 hari 1 (1) Dewasa: 10 + n tab sehari mg 1x dalam sehari Keterangan **: Pustaka diambil dari AHFS Drug information, 2011, dan Buku ajar Kesehatan THT, 2006. + : Frekuensi penggunaan dan durasi terapi obat yang diresepkan telah sesuai dengan pustaka - : Frekuensi penggunaan dan durasi terapi obat yang diresepkan tidak sesuai dengan pustaka 5.9 Pola Penggunaan Antibiotika Oral dan Antibiotika Topikal pada OMA Menurut AAP Guidelines Terapi untuk mengatasi OMA adalah pemberian antibiotika tunggal yang diberikan secara per oral, namun pada hasil penelitian di Poli THT RSUD Dr.Soetomo pada tabel V.14 didapatkan hasil bahwa ada beberapa pasien yang mendapatkan kombinasi antibiotika oral dan topikal. Pola penggunaan antibiotika tersebut berkaitan dengan keluhan yang dirasakan pasien serta hasil pemeriksaan otoskopik pada telinga. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Tabel V.14 Pola Penggunaan Kombinasi pada Pasien OMA Jenis Keluhan dan Usia Antibiotika Pasien Oral dan Topikal Siprofloksasin Nyeri pada telinga. 500mg tab Usia = 41 tahun + Ofloksasin otic drop 3% Klindamisin Telinga kanan 300mg tab mengeluarkan cairan + setelah pilek (sering Ofloksasin otic terjadi). Usia= 34 drop 3% tahun Siprofloksasin 250mg tab + Ofloksasin otic drop 3% Amoksisilin 500mg kap + Ofloksasin otic drop 3% Sefadroksil 500mg kap + Ofloksasin otic drop 3% Sefpodoksim 100mg kap + Ofloksasin otic drop 3% SKRIPSI Telinga kanan mengeluarkan cairan. Riwayat operasi telinga 4 tahun sebelumnya. Usia= 53 tahun Telinga kiri berdengung. Riwayat otorea saat anak-anak. Usia= 5 tahun Telinga kanan mengeluarkan cairan, berdengung, disertai pilek. Usia= 65 tahun Nyeri pada telinga kanan. Usia= 48 tahun 85 Antibiotika Oral dan Topikal Hasil Pemeriksaan Otoskopik Frekuensi Pasien (%) Kontrol post insersi grommet 1 (1) Terdapat sekret mukopurulen pada telinga kanan. OMA stadium perforasi Sekret minimal namun telah terjadi perforasi sentral kecil OMA stadium perforasi Terdapat sekret mukopus dan perforasi sentral kecil pada telinga kiri OMA stadium perforasi Terdapat sekret mukopus dan perforasi sentral kecil pada telinga kanan Terdapat sekret mukopus pada telinga kanan 1 (1) PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... 1 (1) 1 (1) 1 (1) 1 (1) SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 86 Tabel V.14 Pola Penggunaan Kombinasi Antibiotika Oral dan Topikal pada Pasien OMA (lanjutan) Jenis Keluhan dan Usia Hasil Pemeriksaan Frekuensi Antibiotika Oral Pasien Otoskopik Pasien dan Topikal (%) Siprofloksasin Telinga kiri Terdapat sekret 1 (1) 500mg tab mengeluarkan mukopus pada + cairan berbau. telinga kiri. Ofloksasin otic Usia= 63 tahun OMA stadium drop 3% perforasi Amoksisilin dry Nyeri hidung Terdapat perforasi 1 (1) syrup sebelah kanan. sentral kecil ada + Usia=7 tahun telinga kanan. Ofloksasin otic OMA stadium drop 3% perforasi Klindamisin Telinga kanan Terdapat sekret 1 (1) 150mg tab mengeluarkan mukoid dan + cairan putih dan perforasi pada Ofloksasin otic kental, telinga telinga kanan. drop 3% buntu dan OMA stadium berdenging.Riwayat perforasi otorea 1 bulan lalu. Usia= 46 tahun Amoksisilin Kontrol nyeri Terdapat sekret 1 (1) 500mg kap telinga kanan. mukopus pada + Usia= 17 tahun telinga kanan. Ofloksasin otic OMA stadium drop 3% perforasi Amoksisilin dan Telinga kiri Terdapat sekret 1 (1) asam klavulanat mengeluarkan mukoid pada kedua dry syrup cairan (batuk dan telinga. + pilek sebelumnya), OMA stadium Ofloksasin otic disertai demam. perforasi drop 3% Usia= 4 tahun Amoksisilin dan Telinga kanan MT peforasi. 1 (1) asam klavulanat mengeluarkan OMA stadium dry syrup cairan. Usia= 2 perforasi + tahun Ofloksasin otic drop 3% SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Selain penggunaan kombinasi 87 antibiotika terdapat pola pergantian antibiotika pada salah satu pasien yang menjalani terapi rawat jalan di Poli THT RSUD Dr.Soetomo yang ditunjukkan pada tabel V.15. Tabel V.15 Pola Pergantian Antibiotika pada Pasien OMA Kunjungan Kunjungan Alasan Pergantian Frekuensi Pertama Selanjutnya Pasien (30/01/15) (13/07/15) (%) Sefadroksil Amoksisilin Selisih waktu kontrol 1 (1) 500mg 500mg panjang sehingga ketika diagnosa OMA yang kedua kembali dipilih antibiotika lini pertama yaitu amoksisilin 5.10 Angka Kekambuhan OMA Pasien dengan diagnosa OMA yang menjalani terapi rawat jalan pada Poli THT RSUD Dr. Soetomo pada umumnya hanya melakukan satu kali terapi (tidak kembali untuk kontrol), namun ada beberapa pasien yang melakukan kontrol kembali ke Poli THT dan mendapatkan diagnosa OMA lagi, dan pada beberapa pasien OMA berkembang menjadi OMSK tubotimpani. Kegagalan terapi antibiotika karena ketidakpatuhan pasien merupakan penyebab terjadinya hal tersebut. Tabel V.16 menjelaskan tentang jumlah pasien yang mengalami kekambuhan OMA serta pasien yang mengalami perkembangan diagnosa dari OMA menjadi OMSK. Tabel V.17 akan menjelaskan tentang perkembangan kondisi pasien OMA yang telah mendapat terapi. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 88 Tabel V.16 Perkembangan Pasien OMA Pasien Selama Terapi Jumlah Pasien Prosentase (%) Tetap OMA 67 84 Mengalami OMA 1 1 > 1 kali**` OMA menjadi OMSK 2 2 tubotimpani OMSK dari awal 10 12 Total 80 100 Keterangan= Pasien yang mengalami kekambuhan OMA serta yang mengalami perkembangan diagnosis menjadi OMSK adalah pasien yang kunjungan nya > 1 kali Kunjungan Pertama Tabel V.17 Perkembangan Kondisi Pasien OMA Jenis Antibiotika Frekuensi dan Kunjungan atau Obat Lain yang Durasi Penggunaan Selanjutnya Diterima 19/01/15 diagnosa OMA Hisap lendir - 18/03/15 diagnosa OMA 23/02/15 diagnosa OMA Ofloksasin otic drop Klindamisin 150mg tab 2x2 tetes sehari 3x1 tab sehari 13/03/15 diagnosa OMSK Tubotimpani 19/01/15 diagnosa OMA Hisap lendir - 20/03/15 diagnosa OMSK Tubotimpani 5.11 Problema Obat Terapi yang digunakan pada kasus OMA berdasarkan AAFP Guidelines yaitu antibiotika tunggal, namun pada beberapa pasien ditemukan terapi antibiotika yang dikombinasi dengan terapi lain seperti obat golongan analgesik, dekongestan, antihistamin, dll sehingga dapat menimbulkan DRP berupa interaksi obat. Tabel V.18 menjelaskan SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 89 tentang berbagai interaksi obat potensial yang dapat terjadi pada antar obat yang digunakan pada terapi OMA. Obat Siprofloksa sin dan kafein Tabel V.18 Interaksi Obat yang terjadi pada OMA Interaksi Saran Jumlah Penyelesaian Pasien (%) Kebermakna an Interaksi Meningkatkan konsentrasi kafein Selama terapi 2 (2) Ringan siprofloksasin, dilakukan pembatasan konsumsi kafein (dari makanan dan obat) Siprofloksa Menimbulkan Penggunaan secara 1 (1) Signifikan sin+ bahaya bersamaan harus diklofenak potensial dimonitor secara ketat Keterangan: Pustaka Interaksi Obat diambil dari AHFS Drug Information Handbook, 2011 dan Drug Interaction Facts, 2009. Selain interaksi dengan antar obat potensial, obat juga dapat berinteraksi dengan makanan yang dijelaskan dalam tabel V.19 Tabel V.19 Interaksi Obat-makanan yang terjadi pada OMA Interaksi Saran Jumlah Kebermakna Penyelesaian Pasien an Interaksi (%) Siprofloks Makanan Memberi interval 2 (2) Sedang asin + menurunkan waktu antara makanan absorbsi konsumsi Siprofloksasin siprofloksasin dan susu Keterangan: Pustaka Interaksi Obat diambil dari AHFS Drug Information Handbook, 2011 dan Drug Interaction Facts, 2009. Obat SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 5.12 90 Outcome Terapi OMA Tujuan terapi yang diinginkan pada OMA adalah mengatasi gejala klinis dan menghindari terjadinya kekambuhan serta komplikasi OMA. Umumnya terapi OMA merupakan terapi rawat jalan dengan satu kali kunjungan pasien dapat sembuh bila pasien memiliki kepatuhan yang tinggi. Gambar 5.5 menunjukkan outcome terapi yang dicapai di Poli THT RSUD Dr.Soetomo selama pasien menjalani terapi rawat jalan. Pasien OMA Pasien OMA menjadi yang OMSK; 2 kambuh; 1 Pasien OMA 84 Gambar 5.5 Prosentase Outcome Terapi Pasien OMA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB VI PEMBAHASAN Penelitian profil penggunaan obat pada pasien OMA bertujuan untuk memberikan gambaran tentang pola obat-obatan yang digunakan berkaitan dengan jenis obat, frekuensi penggunaan, durasi terapi, serta problema obat sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan bagi instansi dalam mencegah atau mengatasi masalah terkait terapi OMA. Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya terhadap pasien yang menjalani rawat jalan di poli THT dengan diagnosa Otitis Media Akut (OMA) periode Januari sampai dengan Desember 2015. Sampel yang didapatkan sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 80 pasien yang diambil dengan menggunakan metode total sampling. Data diambil dari rekam medis elektronik pasien. Dari hasil penelitian didapatkan data demografi pasien yang terdiri dari jenis kelamin dan sebaran usia pasien yang mengalami OMA. Distribusi pasien OMA berdasarkan gambar 5.1 menunjukkan prosentase perempuan (62%) lebih banyak daripada laki-laki (38%). Menurut penelitian yang dilakukan di lima negara yaitu Jerman, Italia, Spanyol, Swedia, dan UK perbandingan antara pasien laki-laki dan pasien perempuan yang mengalami OMA seimbang dengan rasio 1:1, sedangkan pada penelitian yang dilakukan di India menyatakan perbandingan antara pasien laki-laki dan perempuan 1.4:1 (Kumari et al., 2016; Liese et al., 2014). Penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan pasien OMA sedikit lebih didominasi laki-laki dibanding perempuan (Munilson et al., 2012). Dari beberapa penelitian tersebut 91 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 92 dapat diketahui bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap banyaknya pasien OMA. Distribusi usia pada pasien OMA yang dikelompokkan berdasarkan WHO (2001) terdapat pada gambar 5.2. Dari hasil penelitian diperoleh prosentase tertinggi terjadi pada anak usia 0-4 tahun (27 %) dibandingkan dengan usia lain antara 5-9 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Hoberman dan Munilson menyatakan sebaran usia pasien yang mengalami OMA 70% dialami oleh anak-anak sebelum usia 3 tahun, dan paling rentan terjadi pada anak usia 6-11 bulan (Hoberman et al., 2011; Munilson et al., 2012). Hal tersebut dikarenakan struktur tulang pada saluran eustasius yang belum bisa membuka secara sempurna dan dapat menimbulkan tekanan negatif yang mengakibatkan OMA (Bealy, 2003 ; Elmanama et al., 2014). Saluran eustasius pada anak lebih pendek daripada orang dewasa sehingga lebih mudah terjadi infiltrasi kuman patogen (Elmanama et al., 2014), selain itu kurangnya sekresi IgA pada anak merupakan faktor imunologi penyebab OMA (Rovers et al., 2004). Prosentase terbesar kedua terjadi pada usia 25-39 tahun. Hal ini dikarenakan riwayat ISPA yang menyerang pasien terlebih dahulu. OMA merupakan infeksi yang menyerang telinga tengah melalui jalur utamanya yaitu saluran eustasius biasanya disertai pembentukan sekret purulen (Bull, 2002; Scott, 2007; Sinha et al., 2012). Berdasarkan durasi penyakit OMA terjadi secara cepat dan singkat (Houten, 2011). Penyebab utama OMA berasal dari bakteri dan virus. Bakteri yang sering menyebabkan OMA adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, Moraxella catarrhalis, dan Staphylococcus aureus, sedangkan virus yang dapat menyebabkan OMA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 93 diantaranya human enterovirus (HEV) (Daleno et al., 2013; Snow et al., 2003). Berdasarkan tabel V.1 penggolongan OMA dikategorikan menjadi tiga stadium diantaranya stadium perforasi (81%), stadium bombans (7%), dan stadium kataral (6%). Herawati dan Rukmini membagi OMA menjadi empat stadium diantaranya stadium kataral, stadium supurasi atau bombans, stadium perforasi, dan stadium resolusi (Herawati dan Rukmini, 2003). Stadium tersebut ditentukan berdasarkan kondisi membran timpani pasien meliputi adanya hiperemia, sekret dan perforasi. Pada stadium kataral dan supurasi (bombans) belum ditemukan adanya sekret karena sekret akan nampak ketika perforasi terjadi. Stadium kataral merupakan awal dari terjadinya gangguan pada saluran eustasius (Herawati dan Rukmini, 2003; Munilson et al., 2012). Penyebab dari stadium ini adalah pelebaran pembuluh darah pada membran timpani sehingga akan tampak udem dan hiperemia oleh karena itu pada pemeriksaan otoskopik akan nampak hiperemia pada mebran timpani, sedangkan pada stadium supurasi (bombans) terjadi udema dan hancurnya sel epitel superfisial yang mengakibatkan timbulnya nyeri yang semakin parah pada pasien OMA (Munilson et al., 2012). Dalam hasil penelitian stadium bombans ditandai dengan adanya keterangan bombans pada rekam medis pasien yang menandakan pasien telah mengalami supurasi atau pembentukan sekret mukopurulen yang membuat membran timpani tampak menonjol ke arah liang telinga luar. Stadium perforasi merupakan stadium yang paling sering terjadi di Poli THT (81%) disebabkan oleh kumpulan mukopus pada kavum timpani sehingga mengakibatkan terjadinya tekanan tinggi (Herawati dan Rukmini, 2003). Stadium perforasi ditandai dengan SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 94 kondisi membran timpani mengeluarkan sekret atau terjadi perforasi pada membran timpani. Sekret yang dikeluarkan dapat berupa sekret mukopus yang memiliki tekstur kental dan warna kuning (55%), sekret mukoid yang memiliki tekstur kental dan warna putih (11%), dan sekret serous dengan tekstur encer dan berwarna putih(6%) seperti yang tertera pada gambar 5.3. Bahaya dari stadium ini bila dibandingkan dengan stadium lain adalah sekret yang dihasilkan mengandung pus (nanah) serta dapat menyebabkan OMA berkembang menjadi OMSK (Bluestone, 2001), selain itu pus (nanah) merupakan tanda terjadinya pertumbuhan bakteri. Pus yang berwarna kuning menandakan adanya bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Pus yang berwarna hijau kebiruan menandakan adanya Pseudomonas aeruginosa, selain itu bila sekret mengeluarkan bau busuk menandakan adanya bakteri anaerob. Hasil pemeriksaan klinis pada pasien OMA menunjukkan adanya sekret mukopus atau mukopurulen yang hanya mendapatkan tindakan medis seperti hisap lendir dan irigasi telinga, seharusnya pada kondisi ini pemberian antibiotika yang tepat sangat diperlukan seperti yang dijelaskan pada tabel V.5. Stadium akhir pada OMA adalah stadium resolusi yang ditandai dengan telah hilangnya hiperemia serta sekret di membran timpani pada hasil pemeriksaan otoskopik. Lubang perforasi masih nampak namun gejalagejala yang menyertai OMA seperti otalgia dan otore telah hilang (Herawati dan Rukmini, 2003). Stadium resolusi pada hasil penelitian tidak dapat ditentukan karena data klinis yang tertulis pada rekam medis pasien tidak ada, selain itu pasien yang telah mengalami perbaikan kondisi jarang melakukan kontrol ke Poli THT RSUD Dr. Soetomo. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 95 OMA ditandai dengan beberapa gejala seperti nyeri pada telinga (otalgia), pengeluaran cairan dari telinga (otore), insomnia, pendengaran menurun, serta kadang disertai demam (Rettig and Tunkel, 2014). Otore terjadi karena adanya tekanan negatif yang menyebabkan akumulasi cairan di telinga tengah, sedangkan otalgia terjadi akibat adanya tekanan kuat pada ruang telinga tengah. Nyeri yang ditimbulkan dapat mengganggu aktifitas pasien dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan insomnia (Ludman and Bradley, 2007). Penurunan pendengaran dapat disebabkan karena inflamasi akibat bakteri atau virus yang terjebak di telinga tengah (Thornton et al., 2011). Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada tabel V.3 diketahui bahwa mayoritas pasien OMA mengeluhkan telinganya mengeluarkan cairan (65%), terjadi penurunan pendengaran (23%), otalgia (17%), dan beberapa keluhan lain seperti batuk dan pilek (41%), pilek (31%), serta demam (20%). Setiap pasien dapat mengalami lebih dari satu keluhan yang dapat dikaitkan dengan data klinis dari hasil pemeriksaan diantaranya jenis perforasi, adanya hiperemia, dan serumen yang dapat dilihat pada gambar tabel V.2. Jenis perforasi yang terjadi mayoritas sentral kecil (31%), sentral besar (7%), dan sentral total (2%) seperti yang tercantum pada tabel V.3. Kondisi lain yang terjadi diantaranya hiperemia (17%), dan serumen (8%). Pilek dan demam yang menyertai OMA dikaitkan dengan hasil pemeriksaan hidung dan tenggorokan pada gambar 5.4 yang menunjukkan terjadi hiperemia di hidung (11%), udema (9%), dan sekret serous (9%), sedangkan pada tenggorokan terjadi hiperemia (6%), serta adanya sekret (2%). Terjadinya batuk dan pilek yang menyertai OMA memiliki keterkaitan dengan patogenesis OMA yaitu gangguan SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 96 yang terjadi pada saluran eustasius dan menyebabkan infiltasi kuman patogen pada telinga tengah dapat menyebar menuju nasofaring dan tenggorokan. Demam dapat terjadi ketika invasi kuman menuju sistemik yang menghasilkan pelepasan endogen pirogen seperti Interleukin-1β (IL-1β) yang menstimulasi sel endotel pembuluh untuk memproduksi PGE2. Neuron didalam POAH akan membentuk reseptor yang berikatan dengan PGE2 dan menghasilkan peningkatan suhu tubuh. Golongan NSAID seperti parasetamol, ibuprofen, dan asam mefenamat memiliki mekanisme aksi antipiretik dengan cara menekan inflamasi pada bagian perifer jaringan dan pusat pengaturan suhu tubuh di sistem syaraf pusat sehingga dapat menurunkan suhu tubuh (AAP Guidelines, 2013; Aronoff and Neilson, 2001; Cunningham et al., 2012). Pasien yang mengalami OMA di poli THT terjadi pada satu telinga (73%) maupun keduanya (bilateral) (12%). Penelitian yang dilakukan di India menyatakan OMA dapat menyebabkan kemampuan pendengaran menjadi < 40 dB (Kumari et al., 2016) sehingga bila OMA terjadi pada kedua telinga resiko penurunan pendengaran yang terjadi akan semakin meningkat. Tujuan dari terapi OMA adalah mengeradikasi kuman patogen penyebab OMA dari telinga tengah (Takei et al., 2013), mengurangi atau menyembuhkan tanda dan gejala OMA dalam waktu 11-14 hari setelah diberi terapi. Terapi digolongkan gagal jika tanda dan gejala OMA tidak berkurang setelah pemberian antibiotika sehingga dibutuhkan antibiotika tambahan (Casey et al., 2012). Tabel V.6 hingga tabel V.9 berisi tentang terapi umum yang digunakan untuk mengatasi OMA terdiri dari antibiotika, analgesik, dekongestan, antihistamin, dan beberapa obat lain yang terkait dengan keluhan pasien. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 97 Antibiotika merupakan terapi utama yang diberikan pada pasien OMA menurut AAP Guidelines untuk semua stadium kecuali pada stadium resolusi. Pertimbangan antibiotika yang dipilih adalah berdasakan kemampuannya dalam penetrasi hingga menuju telinga tengah. Salah satu kuman penyebab OMA yaitu Nontypeable Haemophilus influenzae (NTHi) dapat membentuk biofilm. Biofilm merupakan sekelompok bakteri yang melekat pada mukus atau mukosa telinga tengah, dikelilingi oleh matriks eksopolisakarida dan untuk dapat mengeradikasi bakteri tersebut dibutuhkan antibiotika dengan tingkat MIC yang lebih tinggi dibandingkan tingkat MIC pada umumnya, selain itu antibiotika harus memiliki kemampuan minimal untuk dapat menghambat bakteri biofilm atau yang biasa disebut Minimum Biofilm Eradicating Concentrations (MBEC) (Beldfield et al., 2015). Penelitian ini dilakukan di poli THT RSUD Dr. Soetomo oleh karena itu rute antibiotika yang dipilih adalah per oral. Antibiotika dengan rute topikal lebih dipilih ketika membran timpani mengalami perforasi karena konsentrasi yang dicapai pada telinga tengah akan lebih tinggi pada pemakain oral (Beldfield et al., 2015). Beberapa antibiotika yang dapat digunakan adalah golongan beta laktam, aminoglikosida, makrolida, serta florokuinolon sebagai pilihan antibiotika topikal. Aminoglikosida dapat digunakan sebagai alternatif antibiotika topikal, namun pada penelitian yang dilakukan oleh Chee et al membuktikan bahwa efek ototoksik nya leih tinggi dibandingkan florokuinolon sehingga akan lebih membahayakan digunakan terutama pada anak-anak sebagai mayoritas pasien OMA (Chee et al., 2016; Salt and Plontke, 2005). Golongan beta laktam dipilih karena merupakan antibiotika spektrum luas SKRIPSI yang dapat mengeradikasi bakteri gram PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... positif seperti SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 98 Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae serta gram negatif Haemophilus Influenzae dan Moraxella catarrahlis, sedangkan golongan makrolida yang digunakan yaitu klindamisin dipilih sebagai terapi alternatif untuk pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap beta laktam (McEvoy, 2011). Hasil penelitian menunjukkan dari 80 pasien hanya beberapa yang mendapatkan terapi antibiotika. Pasien yang tidak mendapatkan terapi antibiotika (53%) tetap termasuk dalam sampel penelitian. Hasil tersebut ditunjukkan dalam tabel V.11. Pasien yang tidak mendapatkan antibiotika dapat disebabkan karena pasien tersebut merupakan rujukan PPK 2 yang masih memiliki persediaan antibiotika dirumah Berdasarkan parameter farmakodinamika antibiotika dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok yang pertama adalah time dependent bactericidal action. Kelompok ini tidak tergantung pada konsentrasi antibiotika yang tinggi. Konsentrasi dari antibiotika harus tetap berada diatas MIC agar tidak terjadi pertumbuhan bakteri sehingga agar tetap efektif diperlukan durasi paparan antibiotika yang maksimal. Amoksisilin, amoksiklav, sefadroksil, dan sefpodoksim termasuk dalam kelompok ini (Connors et al., 2013; Levison and Levison, 2009). Kelompok kedua adalah concentration dependent bactericidal action and prolonged persistent effects dimana pada konsentrasi yang tinggi akan lebih efektif membunuh bakteri sehingga konsentrasi puncak dan AUC merupakan parameter farmakokinetika yang berpengaruh. Florokuinolon merupakan contoh dari kelompok ini (Connors et al., 2013). Kelompok ketiga adalah time dependent bactericidal action and prolonged persistent effects dimana kelompok ini sama dengan kelompok pertama namun memiliki efek persisten yang lebih panjang. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 99 Parameter yang berpengaruh adalah AUC. Klindamisin termasuk dalam kelompok ini (Connors et al., 2013). . Tabel V.5 menunjukkan antibiotika yang diresepkan untuk pasien OMA pada penelitian ini adalah golongan β laktam yang terdiri dari amoksisilin (12%) dan amoksiklav (6%), golongan sefalosporin yang terdiri dari sefadroksil (2%) dan sefpodoksim (1%), golongan kuinolon terdiri dari ofloksasin otic drop (30%), ofloksasin tablet (2%), dan siprofloksasin (2%), serta golongan makrolida yaitu klindamisin (6%). Tabel V.12 menunjukkan jenis antibiotika yang diresepkan beserta dosis penggunaan, frekuensi pemakaian, dan lama terapi. Umumnya terapi OMA dilakukan selama 14 hari (Casey et al., 2012). Amoksisilin merupakan antibiotika dengan rute per oral yang paling banyak diresepkan (12%) dengan mekanisme kerja menghambat perjalanan transpeptidase dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Penelitian yang dilakukan di Jepang juga menunjukkan bahwa amoksisilin merupakan terapi lini pertama untuk mengatasi OMA sesuai dengan guideline yang dikeluarkan oleh AAP (AAP Guidelines; Takei et al., 2013). Bentuk sediaan yang digunakan di Poli THT adalah sirup kering dan kaplet masing-masing dengan dosis 125 mg/5ml dan 500 mg. Amoksisilin mudah terabsorbsi pada GIT dan stabil pada PH lambung. Waktu paruh amoksisilin 1-1.4 jam. Penggunaan amoksisilin pada anak usia < 3 bulan hanya digunakan pada dosis 30 mg/kg terbagi dalam dua dosis dalam sehari karena fungsi ginjal yang belum sempurna sehingga dapat menyebabkan ekskresi obat tidak baik (FDA, 2003). Dosis yang digunakan untuk dewasa 250-500 mg digunakan tiga kali dalam sehari, sedangkan dosis khusus untuk anak dengan OMA 85-90 mg/kg terbagi dalam dua dosis dalam sehari (McEvoy, 2011). Hasil penelitian SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 100 menunjukkan dosis amoksisilin yang digunakan telah sesuai seperti pada tabel V.12. Antibiotika amoksiklav memiliki mekanisme aksi yang sama dengan amoksisilin hanya saja pada antibiotika tersebut terdapat senyawa asam klavulanat yang mencegah degradasi enzim β laktamase dari β lactam bakteri (Siswandono, 2000). Dosis yang digunakan untuk anak dengan sediaan suspensi 125 mg/5 ml atau 250 mg/5ml (mengandung 500 mg) dua kali dalam sehari selama 10 hari, sedangkan untuk dewasa 500 mg dua kali dalam sehari atau 250 mg tiga kali dalam sehari (McEvoy, 2011). Bentuk sediaan yang digunakan pada poli THT adalah kaplet dengan dosis 625 mg (500 mg amoksisilin + 125 mg asam klavulanat) yang digunakan tiga kali dalam sehari selama lima hari dan sirup kering dengan dosis 125 atau 250 mg tiga kali dalam sehari selama tujuh hari. Dosis tersebut telah sesuai dengan dosis yang tercantum di pustaka, namun frekuensi penggunaan amoksisilin dan asam klavulanat pada pustaka hanya dua kali dalam sehari. Amoksisilin dan asam klavulanat dapat diabsorbsi dengan baik dengan t1/2 1-1,4 jam untuk amoksisilin serta 1,2 jam untuk asam klavulanat (McEvoy, 2011). Pada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap beta laktam antibiotika yang dipilih adalah klindamisin. Mekanisme kerja klindamisin mengikat ribosom subunit 50s secara reversible dengan cara membentuk kompleks inisiasi dan reaksi aminoasil translokasi serta menghindari pembentukan ikatan peptida. Klindamisin efektif melawan bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureua dan Streptococcus pneumoniae, dan bakteri anaerob (FDA, 2003). t1/2 klindamisin sekitar 2-3 jam untuk anak-anak dan dewasa dengan fungsi hati normal (McEvoy, 2011). Klindamisin bersifat bakterisid. Dosis untuk dewasa 150-300 mg digunakan 3-4 kali dalam sehari selama 10 hari, dalam hal ini terdapat SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 101 ketidaksesuaian frekuensi penggunaan klindamisin dengan pustaka yaitu digunakan dua kali sehari. Golongan sefalosporin yang paling banyak diresepkan untuk mengatasi OMA adalah generasi kedua dan ketiga sebesar 96% (McGrath et al., 2013). Sefalosporin memiliki aktivitas antibakteri yang lebih kuat dibandingkan golongan penisilin karena memiliki gugus pendorong elektron oleh karena itu antibiotika ini digunakan sebagai terapi lini kedua ketika pasien tidak mengalami perbaikan kondisi ketika diberi terapi amoksisilin. Semakin tinggi generasi dari sefalosoporin kemampuan untuk membunuh bakteri gram negatif semakin meningkat (Siswandono, 2000). Mekanisme kerja dari sefadroksil adalah menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikataan satu atau lebih ikatan protein-penisilin (McEvoy, 2011). Sefadroksil dan sefpodoksim merupakan antibiotika golongan sefalosporin yang diresepkan di Poli THT dengan masing-masing dosis 500 mg untuk sefadroksil yang digunakan dua kali dalam sehari selama lima hari, sedangkan untuk anak diberikan sefadroksil sirup kering yang diminum tiga kali dalam sehari. Kedua dosis tersebut telah sesuai dengan pustaka yaitu untuk anak 30 mg/kg diberikan dalam dua dosis terbagi, sedangkan untuk dewasa 1g diberikan dua kali dalam sehari (McEvoy, 2011). Dosis yang diberikan untuk sefpodoksim adalah 100 mg digunakan dua kali dalam sehari selama 10 hari. Dosis tersebut telah sesuai menurut pustaka yaitu 100 mg diberikan dua kali dalam sehari selama 10 hari (FDA, 2003). Sefadroksil dapat diabsorbsi dengan baik. Waktu paruh sefadroksil lebih singkat (1,3-1,6 jam) bila dibandingkan dengan waktu paruh sefpodoksim (2,1-3,3 jam). Konsentrasi plasma puncak dari sefadroksil dicapai 1 jam lebih singkat dibandingkan dengan konsentrasi SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 102 plasma puncak sefpodoksim yaitu 2-3 jam setelah pemberian secara oral (Siswandono, 2000). Siprofloksasin merupakan golongan kuinolon dengan mekanisme menghambat enzim topoisomerase II dan topoisomerase IV yang dibutuhkan oleh DNA bakteri untuk bereplikasi (FDA, 2003). Konsentrasi serum puncak dicapai 1-2 jam setelah pemberian oral dengan t1/2 3-7 jam (McEvoy, 2011). Dari hasil penelitian diketahui dosisi yang digunakan 500 mg diberikan dua kali dalam sehari selama 57 hari. Dosis siprofloksasin di pustaka adalah 500 mg diberikan dalam dua kali sehari (McEvoy, 2011), sehingga dalam hal ini dosis yang digunakan di poli THT telah sesuai dengan dosis yang tertera di pustaka. Ofloksasin otic drop dengan rute topikal terpilih menjadi antibiotika terbanyak yang diresepkan untuk pasien OMA di poli THT RSUD Dr.Soetomo (30%). Keunggulan antibiotika topikal adalah dalam segi efektivitas adalah lebih cepat berpenetrasi dan menuju target organ dengan cara obat akan menembus membran paling luar dari koklea dan menuju membran timpani, selain itu efek samping yang dihasilkan lebih sedikit daripada antibiotika yang digunakan per oral (Salt and Plontke, 2005). Ofloksasin otic drop juga mampu mencapai konsentrasi yang tinggi pada telinga yang mengalami otore (FDA, 2003). Ofloksasin merupakan antibiotika golongan kuinolon spektrum luas yang sensitif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif yang menghambat DNA girase. Konsentrasi ofloksasin otic drop yang digunakan di poli THT adalah 0,3% (3 mg/ml). Dari aspek farmakokinetika ofloksasin otic drop mencapai konsentrasi maksimum serum 10 ng/ml setiap pemberian ofloksasin 0,3% pada orang dewasa dengan kondisi perforasi pada membran timpani. Penggunaan ofloksasin otic drop yang berlebihan SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 103 dapat menyebabkan pertumbuhan jamur, sehingga penggunaannya harus dimonitor. Jika pasien tidak mengalami perbaikan kondisi dalam`2 seminggu atau otore yang terjadi 2 kali dalam durasi 6 bulan maka dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (FDA, 2003). Dosis penggunaan ofloksasin untuk anak adalah 5 tetes digunakan hingga 10 hari dan dosis dewasa yang digunakan 10 tetes digunakan hingga 14 hari, masingmasing penggunaannya 2 kali dalam sehari (FDA, 2003). Dosis yang digunakan pada pasien poli THT bervariasi dengan jumlah terbanyak 2x2 tetes dalam sehari dengan durasi penggunaan 7 hari (11%). Dosis yang digunakan pada anak dan dewasa dinyatakan telah sesuai dengan pustaka tergantung pada banyaknya pus serta serous di telinga tengah. Cara penggunaan tetes telinga ofloksasin dengan terlebih dahulu memegang botol dengan kedua tangan selama 1-2 menit lalu meneteskannya pada telinga pasien dalam posisi pasien berbaring dan telinga menghadap keatas, tekan tragus 4 kali untuk membantu penetrasi obat kedalam telinga tengah, pertahankan posisi berbaring selama 5 lima menit, dan terakhir lakukan hal yang sama pada telinga lain (FDA, 2003). Selain antibiotika tunggal, beberapa pasien mendapatkan kombinasi terapi antibiotika oral dan topikal sesua dengan yang tertera pada tabel V.14. Mayoritas pasien yang mendapatkan kombinasi antibiotika adalah orang dewasa yang pada pemeriksaan otoskopik telah nampak sekret mukopus disertai perforasi. Kombinasi antibiotika diberikan untuk menghindari komplikasi dan kekambuhan yang terjadi bila digunakan antibiotika tunggal per oral. Selain kombinasi, terdapat pola perubahan antibiotika yang diresepkan pada satu pasien yang terdapat pada tabel V.15. Pasien yang sebelumnya menerima antibiotika SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 104 sefadroksil, satu bulan kemudian ketika pasien tersebut kontrol pasien mendapatkan antibiotika amoksisilin. Hal tersebut dapat disebabkan interval waktu yang cukup lebar memungkinkan kondisi pasien sebelumnya telah sembuh dengan penggunaan sefadroksil sehingga satu bulan setelahnya pasien diberikan amoksisilin kembali. Terapi tambahan lain yang digunakan diantaranya adalah analgesik, dekongestan, dan antihistamin. Terapi tambahan tersebut berfungsi untuk mengatasi gejala-gejala yang ditimbulkan berkaitan dengan OMA serta digunakan hingga gejala simptomatik tersebut hilang (McEvoy, 2011). Dosis, frekuensi pemakaian serta lama pemakaian terapi tambahan dapat dilihat pada tabel V.13. Analgesik digunakan untuk mengatasi nyeri pada telinga (otalgia) dari tingkat nyeri ringan hingga nyeri berat dengan mekanisme kerja menghambat sintesis prostaglandin dengan hambatan pada COX-1 dan COX-2 (FDA, 2003). Pemberian terapi analgesik dinilai penting dilakukan 24 jam setelah pasien terdiagnosa OMA, karena nyeri dapat menimbulkan kegelisahan sampai insomnia (Rettig and Tunkel, 2014; Taylor and Jacob, 2011). Parasetamol dan ibuprofen merupakan analgesik yang paling sering digunakan untuk mengatasi nyeri tingkat ringan hingga sedang, sedangkan untuk mengatasi nyeri tingkat berat dibutuhkan analgesik golongan narkotik (Wood et al., 2012). Hasil penelitian pada tabel V.6 menunjukkan penggunaan analgesik pada poli THT adalah asam mefenamat (9%), parasetamol (6%), ibuprofen (4%), dan Na diklofenak (4%). Pasien OMA yang didominasi oleh anak-anak menjadi pertimbangan pemilihan analgesik. Anak yang berusia < 14 tahun tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi asam mefenamat (McEvoy, 2011). Parasetamol merupakan terapi analgesik yang paling aman untuk anak- SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 105 anak (Sumanth, 2010). Tabel V.6 menunjukkan frekuensi penggunaan analgesik yang variatif. Asam mefenamat merupakan analgesik yang paling sering diresepkan di Poli THT dalam bentuk tablet dan digunakan dengan frekuensi yang berbeda setiap pasien. Dosis asam mefenamat yang diberikan telah sesuai dengan dosis pada pustaka yaitu 250 mg atau 500 mg diberikan tiga kali dalam sehari jika diperlukan namun tidak boleh digunakan >1 minggu karena dapat meningkatkan resiko ulcer (McEvoy, 2011). Bentuk sediaan parasetamol yang diresepkan terdiri dari tablet dan sirup dengan dosis 500 mg untuk sediaan tablet, dan 125 atau 250 mg untuk sediaan sirup. Dosis yang diberikan pada pasien bervariasi namun keseluruhannya telah sesuai dengan dosis pada pustaka yaitu 500 mg diminum empat kali sehari untuk dewasa, sedangkan untuk anak 160 mg diminum empat kali sehari (McEvoy, 2011). Ibuprofen juga merupakan pilihan analgesik di Poli THT RSUD Dr. Soetomo dengan bentuk yang diresepkan terdiri dari tablet dengan dosis 200 mg yang diberikan 2 dan 3 kali dalam sehari, serta sirup dengan dosis 100 mg yang diberikan tiga kali dalam sehari. Terdapat ketidaksesuaian pada frekuensi penggunaan ibuprofen pada satu pasien yang hanya diberikan 2 kali dalam sehari, namun hal tersebut tidak bermasalah karena penggunaannya tergantung pada kondisi pasien. Natrium diklofenak merupakan analgesik yang jumlah penggunanya sama dengan ibuprofen (4%). Dosis natrium diklofenak pada pustaka adalah 50 mg digunakan 3 kali dalam sehari, sedangkan untuk dosis 25 mg digunakan 2-3 kali dalam sehari. Penggunaan natrium diklofenak di poli THT telah sesuai dengan pustaka. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 106 H2O2 atau larutan perhidrol berfungsi sebagai larutan antiseptik yang dapat mengangkat debris dan cairan menumpuk yang terdapat pada telinga. Pada beberapa kasus penggunaannya dikombinasi antibiotika baik oral maupun topikal dengan tujuan agar antibiotika dapat menempel di mukosa sehingga penetrasinya semakin bagus. H2O2 berfungsi sebagai bakterisid dengan mekanisme kerja berinteraksi dengan ion Fe di dalam sel bakteri dan membentuk radikal hidroksil yang akan membunuh bakteri. H2O2 3% merupakan larutan antiseptik yang digunakan pada poli THT RSUD Dr.Soetomo dengan frekuensi pengunaan 2-3 tetes pada umumnya. Pasien yang menggunakan H2O2 sebanyak 12 orang (15%). Cara penggunaannya adalah mencampur larutan air hangat dan H2O2 dengan perbandingan 1:1, setelah itu memasukkan cotton bud kedalam membersihkan serumen dalam telinga. campuran larutan untuk Terapi dekongestan yang diresepkan bertujuan untuk melegakan saluran pernafasan pada pasien OMA. Dekongestan terbagi menjadi dua rute yaitu oral yang terdiri dari pseudoefedrin dan fenil propanolamin, serta topikal yaitu oksimetazolin HCl. Dekongestan yang digunakan di Poli THT berdasarkan tabel V.7 adalah tetes hidung oksimetazolin HCl (11%), kombinasi pseudoefedrin dan tripolidin tablet (2%), serta pseudoefedrin tablet (1%). Pseudoefedrin merupakan golongan obat yang bekerja pada reseptor β adrenergik sebagai vasokonstriktor yang dapat mengatasi udema pada membran mukosa hidung serta dapat menyeimbangkan tekanan pada telinga tengah sehingga dapat membantu penyembuhan OMA. Penggunaannya dapat dikombinasi dengan triprolidin bila diindikasikan adanya reaksi alergi yang terjadi pada pasien karena triprolidin merupakan salah satu contoh golongan obat antihistamin generasi SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA pertama 107 (McEvoy, 2011). Tetes hidung oksimetazolin memiliki mekanisme aksi menstimulasi reseptor α adrenergik sehingga berdampak pada membukanya tulang saluran estasius, selain dapat melegakan hidung tersumbat, tetes hidung ini juga mampu membantu terapi OMA (McEvoy, 2011). Antihistamin dengan mekanisme aksi memblok histamin pada reseptor H1 menyebabkan vasokontriksi pada nasofaring sehingga sekresi dapat berhenti dan tidak terjadi transudasi cairan (Bluestone, 2001; McEvoy, 2011). Golongan antihistamin yang diperoleh pasien seperti pada tabel V.9 adalah cetirizine (4%), CTM (1%), serta loratadin (1%). Cetirizine dan CTM diresepkan pada pasien dengan kondisi batuk dan pilek lebih dari satu hari. Dosis masing-masing yang digunakan telah sesuai dengan pustaka yaitu 10 mg tablet diminum satu kali dalam sehari untuk cetirizine, serta terdapat satu resep racikan yang berisi cetirizine dan salbutamol yang diminum tiga kali dalam sehari. Dosis CTM yang digunakan adlah 10 mg tablet diminum tiga kali dalam sehari. Loratadin diresepkan pada pasien yang mengalami kondisi alergi setelah pulang dari luar kota. Dosis yang digunakan telah sesuai dengan pustaka yaitu 10 mg tablet diminum satu kali dalam sehari. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa obat yang diresepkan pada pasien OMA selain terapi utama dan terapi tambahan yaitu salbutamol (1%) yang berfungsi sebagai bronkodilator dan diindikasikan untuk pasien asma, vitamin B1,B6, dan B12 yang berfungsi sebagai nutrisi untuk syaraf-syaraf diresepkan pada satu pasien (1%), serta metil prednisolon yang merupakan golongan obat kortikosteroid (1%). Ketiga obat tersebut seharusnya diberikan sesuai dengan keluhan pasien, namun SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 108 hal tersebut tidak tertulis pada rekam medis elektronik yang terdapat pada poli THT. Terapi OMA tidak hanya berupa obat yang digunakan per oral dan topikal melainkan dapat berupa tindakan medis lain seperti hisap lendir (37%), irigasi telinga (11%), dan parasintesis (6%) seperti pada tabel V.11. Hisap lendir bertujuan untuk mengurangi cairan berlebih pada telinga tengah yang dapat menimbulkan menurunnya gangguan pendengaran, telinga berdenging, serta telinga buntu. Irigasi telinga yang dilakukan dengan cara menyemprotkan air kedalam telinga bertujuan untuk menghilangkan serumen yang terdapat pada telinga, sedangkan parasintesis merupakan salah satu tindakan utama yang dilakukan dengan cara insisi pada membran timpani dengan tujuan untuk menurunkan tekanan pada membran timpani. Tabel V.16 menunjukkan perkembangan penyakit pada pasien OMA, dari data tersebut diketahui bahwa pasien yang hanya mengalami OMA saja sebanyak 84%, pasien yang mengalami perkembangan menjadi OMSK sebanyak 2%, serta pasien yang mengalami kekambuhan OMA sebanyak 1%. Pasien yang mengalami OMSK sejak awal 12%. Kekambuhan OMA terjadi karena ketidakpatuhan pasien yang seharusnya mengkonsumsi antibiotika hingga habis (McGrath et al., 2013). Kegagalan terapi yang dapat terjadi pada pasien OMA ditunjukkan pada tabel V.17. Terdapat 3 pasien yang tidak mengalami perbaikan kondisi setelah terdiagnosa OMA, terdiri dari 2 pasien yang terdiagnosa OMA kemudian berubah menjadi OMSK tubotimpani serta 1 pasien mengalami kekambuhan OMA. OMA dapat berkembang menjadi OMSK dikarenakan otore akut yang terjadi, selain itu bakteri penyebab OMA yang resisten terhadap antibiotika mengakibatkan SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 109 terjadinya refluks kembali menuju telinga tengah lalu timbul inflamasi dengan kumpulan pus yang terperangkap didalam kantong mukosa dalam telinga tengah dan mengakibatkan perforasi (Bluestone, 2001; Herawati dan Rukmini, 2003). Waktu perkembangan penyakit bervariasi (satu minggu, dua minggu, dan satu bulan). Pada kunjungan pasien yang pertama ada beberapa pasien yang telah mendapatkan antibiotika oral maupun topikal, namun ada pula yang mendapatkan tindakan medis seperti irigasi telinga dan parasentesis, selain itu pasien juga mendapatkan terapi simptomatik seperti antihistamin dan analgesik. Pada beberapa kasus terjadi perkembangan OMA menjadi OMSK dalam kurun waktu 1 minggu. Hal tersebut bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa durasi terjadinya OMA adalah 3 minggu (Houten, 2011), kemungkinan yang dapat terjadi adalah pasien telat untuk periksa ke Poli THT sehingga sebenarnya OMA telah dial ami oleh pasien tersebut selama beberapa minggu. Dokter dapat pula melakukan kesalahan ketika melakukan history taking pada pasien sehingga seharusnya dari awal kunjungan pasien telah mengalami OMSK. Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap problema obat yaitu interaksi antar obat potensial yang dapat dilihat pada tabel V.18. Interaksi antar obat yang terjadi adalah antara siprofloksasin dengan kafein yang dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi kofein karena metabolisme kofein di hepar akan terhambat dengan adanya antibiotika golongan kuinolon. Interaksi tersebut dapat diatasi dengan membatasi konsumsi kafein yang berasal dari makanan, minuman, dan obat selama terapi berlangsung. Siprofloksasin dan natrium diklofenak dapat menimbulkan bahaya potensial seperti peningkatan stimulasi CNS dan kejang sehingga penggunaan kedua obat tersebut harus SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 110 dimonitor secara ketat. Mekanisme interaksi kedua obat tersebut terjadi karena penghambatan siprofloksasin terhadap ikatan GABA dengan reseptornya akibatnya dapat mempengaruhi aktivitas konvulsif pada CNS (Stockley, 2010). Selain interaksi antar obat, interaksi juga dapat terjadi antara obat dengan makanan. Makanan dapat menurunkan absorbsi siprofloksasin sehingga disarankan untuk diminum 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Outcome terapi dapat dilihat melalui parameter seperti perkembangan sekret yang menjadi semakin sedikit, lubang perforasi yang semakin menutup, serta tidak nampaknya hiperemia ketika pemeriksaan otoskopik, namun hal tersebut tidak tertulis pada rekam medis elektronik pasien sehingga dapat disimpulkan pasien yang mengalami OMA dan hanya menjalani satu kali terapi rawat jalan di poli THT sebanyak 84%. Pasien OMA yang mengadakan kunjungan ke poli THT lebih dari sekali sebanyak 2% dan mengalami perkembangan penyakit dari OMA menjadi OMSK, sedangkan sebanyak 1% pasien mengalami kekambuhan OMA lebih dari satu kali. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terapi OMA lini pertama adalah antibiotika oral dan antibiotika topikal bila terjadi perforasi. Terapi lini keduanya adalah analgesik, dekongestan, dan antihistamin disesuaikan dengan kondisi pasien. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa banyak hal yang menjadi perhatian farmasis dalam penggunaan obat OMA berkaitan dengan jenis obat yang dipilih, rute penggunaan, dosis, frekuensi penggunaan, dan lama terapi. Farmasis juga berperan dalam melakukan konseling terhadap pasien untuk memberikan penjelasan yang tepat sehingga dapat memimalisir problema obat (DRP) yang terjadi. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo periode Januari sampai dengan Desember 2015 dengan menggunakan 80 pasien dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola penggunaan obat untuk mengatasi OMA diantaranya yaitu: a. Antibiotika dengan rute per oral yang terdiri dari amoksisilin (12%) dengan dosis 3x 500 mg selama 5 hari, amoksiklav (6%) dengan dosis 3x 625 mg selama 5 hari , sefadroksil (2%) dengan dosis 2x 500 mg selama 5 hari, sefpodoksim (2%) 2x 100 mg selama 5 hari, siprofloksasin (2%) dengan dosis 2x 500 mg selama 5-7 hari, dan klindamisin (6%) dengan dosis 150-300 mg selama 5-10 hari , b. Antibiotika dengan rute topikal yaitu tetes telinga ofloksasin (30%) dengan pemberian tergantung pada kondisi pasien . 2. Pola penggunaan obat tambahan lain untuk mengatasi gejala simptomatik OMA diantaranya: a. Analgesik yang terdiri dari asam mefenamat 3x 500 mg selama 5 hari, parasetamol 3x 500 mg selama 5 hari, ibuprofen 3x 200 mg selama 2-5 hari, dan natrium diklofenak 25-50 mg digunakan 2-3 kali dalam sehari selama 5 hari. b. Antiseptik H202 dengan pemberian tergantung pada kondisi pasien. 111 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA c. 112 Dekongestan yang terdiri dari oksimetazolin HCl, kombinasi pseudoefedrin dan triprolidin, dan pseudoefedrin. d. Antihistamin yang terdiri dari cetirizine, loratadin, dan CTM. Dosis, frekuensi penggunaan, dan lama terapi masing-masing pasien bervariasi disesuaikan dengan kondisi pasien. 3. Pemberian obat pada OMA dikaitkan dengan data klinik pasien seperti jenis serumen, jenis perforasi, kondisi hiperemia, serta pemeriksaan penunjang pada hidung dan tenggorokan. 4. Interaksi potensial obat pada pasien OMA yang terjadi adalah siprofloksasin dengan kafein dan siprofloksasin dengan natrium diklofenak, selain itu makanan juga dapat menurunkan absorbsi siprofloksasin. 7.2 Saran Dari hasil penelitian disarankan: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait penggunaan terapi OMA dengan periode waktu yang lebih lama agar dapat mengetahui respon perkembangan pasien. 2. Peran farmasis diperlukan dalam memberikan konseling kepada pasien terkait penggunaan antibiotika pada pasien OMA untuk menghindari ketidakpatuhan minum obat. 3. Perlu dilakukan pencatatan DMK pasien yang lengkap terkait terapi (dosis, frekuensi, dan lama terapi) dan data klinik dengan lengkap untuk memudahkan evaluasi. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DAFTAR PUSTAKA American Academy of Pediatrics. 2013. The diagnosis and management of acute otitis media. Pediatrics, Vol.131 No.3, pp. 964-990 American Medical Association. 1991. Drug evaluation. 6th Ed. Milwaukee: AMA Publisher, pp. 14-18 Aronoff, David M, and Eric G Neilson. n.d. 2001. Antipyretics : Mechanisms of action and clinical use in fever suppression. American Journal of Medicine, Vol. 111, pp. 305-311 Baxter, K. Eds. 2010. Stockley’s Drug Interaction. 9th Ed. London: Pharmaceutical Press, pp. 149-218 Beldfield, K., Bayston, R., Birchall, J.P., Daniel, M., 2015. Do orally administered antibiotics reach concentrations in the middle ear to sufficient eradicate planktonic and biofilm bacteria. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, Vol. 79, pp. 296-300 Bluestone, C.D., 2004. Studies in otitis media : Children’s hospital of Pittsburgh. Laryngoscope, Vol. 114 No. 13, pp. 1-26 Brook, P., Conell, J., Pickering, T., Oxford Handbook of Pain Management. 1st Ed. New York: Oxford University Press. pp. 6-8 Bull, P.D., 2002. Disease of The Ear, Nose, and Throat. 9th Ed. Oxford: Blackwell Science, Ltd. pp. 35-39 Casey, R.J., Block, J.L., Hedrick, J., Almudevar, A., Pichichero, M.E., 2012. Comparison of amoxicillin / clavulanic acid high dose with cefdinir in the treatment of acute otitis media. Drugs, Vol. 72 No. 15, pp. 1991–1997 Chee, J., Pang, K.W., Yong, J.M., Ho, R.C., Ngo, R., 2016. Topical versus oral antibiotics, with or without corticosteroids , in the 113 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 114 treatment of tympanostomy tube otorrhea. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, Vol. 86, pp. 183–88 Connors, K.P., Kuti, J.L., Nicolau, D.P., 2013. Optimizing antibiotic pharmacodynamics for clinical practice. Pharmaceutica Analytica Acta, Vol. 4 No. 3 Courter, Joshua D., Baker, W.L., Nowak, K.S., Smogowicz, L.A., Desjardins, L., Coleman, C., Girotto, J., 2010. Increased clinical failures when treating acute otitis media with macrolides: A metaanalysis. The Annals of Pharmacotherapy, Vol. 44, pp. 471-8 Cunningham, M., Guardiani, E., Kim Jeffrey, H., Brook, I., 2012. Otitis media. Future Microbiol, Vol. 7 No. 6, pp. 733-753 D’silva, L., Parikh, R., Nanihvadekar, A., Joglekar, S., 2013. Survey of Indian pediatricians : Clinic-prevalence, diagnostic and management strategies for acute otitis media. Pediatric Infectious Disease, Vol. 5, pp. 165-171 Dagan, Ron., 2007. The use of pharmacokinetic/pharmacodynamic principles to predict clinical outcome in paediatric acute otitis media. International Journal of Antimicrobial Agent, Vol. 30, pp. 127-130 Daleno, Cristina, Greenberg, D., Piralla, A., Scala, A., Baldanti, F., Principi, N., Esposito, S., 2013. Case report a novel human enterovirus C ( EV-C118 ) identified in two children hospitalised because of acute otitis media and community-acquired pneumonia in Israel. Journal of Clinical Virology, Vol. 56 No.2, pp. 159-162 Dhingra, P.L., 2010. Disease of Ear, Nose, and Throat. 4th Ed. India: Elsevier India Pvt, Ltd. pp. 56-62 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 115 Dickson, G., 2014. Acute otitis media. Primary Care Clinical Office Practical, Vol. 41, pp. 11-18 Djaafar, Z.A., 2001. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5th Ed. Jakarta: FKUI, p. 49-50 Elmanama, A.A., 2014. The bacterial etiology of otitis media and their antibiogram among children in gaza strip , Palestine. Egyptian Society of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences, Vol. 15, pp. 87–91 FDA Study of ofloxacin otic drop. Diakses dari http://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2003/20799s lr012_floxin_lbl.pdf , pada tanggal 01 Agustus 2016 Fuller, M.A., Sajatovic, M., 2002. Drug Information Handbook for Psychiatry. 3rd Ed. Ohio : Lexi-Comp Inc, pp. 78-200 Foxlee R., Johansson A., Wejfalk J., Dawkins J., Doolye L., Del mar C. Topical analgesia for acute otitis media. Diakses dari www.ncbi.nlm.nih.gov, pada tanggal 13 Desember 2015 Gray, R.F., and Hawthorne, M., 1992. Synopsis of Otolaryngology. 5th Ed. Oxford : Butterworth-Heinemann Ltd, pp. 106-109 Hasan, M.I., 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Edisi ke-1. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia Healy, B.G., Rosbe, W.K., 2003. Otitis media and middle ear effusions. In: Snow Jr., J.B. (Eds.). Ballenger’s Otorhinology Head and Neck Surgery, 16th Ed, Ontario: BC Decker, Inc., pp. 249-251 Hoberman, A., Wald, E.R, Kearney, D.H., Balentine, T.L., Barbadora, K.A., 2011. Treatment of acute otitis media in children under 2 years of age. New England Journal of Medicine, Vol. 364 No. 2, pp. 105–15 SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 116 Herawati, S., Rukmini, S., 2003. Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. 1st Ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp. 26-28 Houten. NHG 2011. Clinical Practice Guidelines. 1st Ed. Netherlands : Bohn Stafleu van Loghum, p. 9-11 Isla, A., Troconiz, I.F., Canut, A., Labora, A., Herrero, J.E., Pedraz, J.L., Gascon, A.R., 2011. Pharmacokinetic/pharmacodynamic evalluation of Amoxcicillin, Amoxcicillin/clavulanate and Ceftriaxone in the treatment of paediatric acute otitis media in Spain. Enfermeddades Infecciosas y Microbiologia Clinica, Vol. 29 No. 3, pp. 167-173 Ismayati, Shadiah, N., 2010. Evaluasi antibiotika pada pasien infeksi saluran pernafasan atas dewasa di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Repositori Universitas Sumatera Utara Johnson, J.T., and Yu, V.L. Eds. 1997. Infectious Disease and Antimicrobial Therapy of the Ears, Nose and Throat. 1st Ed. Philadelphia : W.B. Saunders Company, pp. 279-280 Jurkiewicz, B., Bielicka, A., 2015. Antibiotic resistance of Streptococcus pneumoniae in children with acute otitis media treatment failure. International Journal of Otolaryngology, Vol. 65, pp. 5-9 Katzung, B., Master, S.B., Trevor, J.A., 2012. Basic and Clinical Pharmacology. 12th Ed. San Fransisco : McGraw-Hill Kumari, M.K., Madhavi, J., Krisna, N.B., Meganadh, K.R., Jyothy, A., 2016. Prevalence and associated risk factors of otitis media and SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 117 its subtypes in South Indian population. Egyptian Society of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences Laporan Tahunan Unit Rawat Jalan THT. 2003. Lab/SMF Ilmu Penyakit THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya Laporan Kegiatan Pelayanan Unit Rawat Jalan THT. 2004. Lab/SMF Ilmu Penyakit THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya Lee, H., Kim, J., Nguyen, V., 2013. Ear infections otitis externa and otitis media. Primary Care Clinical Office Practical, Vol. 40, pp. 671-686 Levi, J.R., O’Reilly, R., 2013. Complementary and integrative treatment otitis media. Otolaryngology Clinical N Am, Vol. 46, pp. 309327 Liese, J G, S A Silfverdal, C Giaquinto, and A Carmona. 2014. Incidence and clinical presentation of acute otitis media in children aged < 6 Years in European medical practices. Epidemiology Infection, Vol. 142, pp. 1778-1788 Lucente, F.E., and Har-el, Gady . Eds. 1999. Essentials of Otolaryngology. 4th Ed. Brooklyn : Wolter Kluwer Company, pp. 2-4 Ludman, H., and Bradley, J.P., 2007. ABC of Ear, Nose, and Throat. 5th Ed. Oxford: Blackwell Science, Ltd. pp. 3-9 Mahasty, D., 2010. Evaluasi penggunaan antibiotika pada anak dengan penyakit infeksi saluran pernafasan akut di puskesmas I Gatak. Repositori Universitas Sumatera Utara Marchisio, P., Bellusi, L., Mauro, G.D., Doria, M., Felisati, G., Longhi, R., Novelli, A., Speciale, A., Mansi, N., Principi, N., 2010. Acute otitis media : from diagnosis to prevention. Summary of SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 118 the Italian guideline. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, Vol. 74, pp. 1209-1216 McEvoy, G.K., 2011. AHFS Drug Information Essentials. 27th Ed. New York: Pharmacopeial Convention Mcgrath, L.J., Becker-dreps, S., Pate, Virginia, and Brookhart, M.A., 2013. Trends in antibiotic treatment of acute otitis media and treatment failure in children , 2000 – 2011. Plos One, Vol. 8 No. 12 Metin, Onerci.T., 2009. Diagnosis in Otorhinolaryngology. 1st Ed. Berlin: Springer-verlag Berlin Heldelberg. pp. 28-33 Munilson, J., Edward, Y., Yolazenia. 2012. Penatalaksanaan Otitis Media Akut. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Rettig, E., and Tunkel, D.E., 2014. Contemporary concepts in management of acute otitis media in children. Otolaryngol Clin N Am, Vol. 47, pp. 651-672 Rovers, M., Schielder, A., Zielhuis, G.A., Rosenfeld, R.M., 2004. Otitis media. The Lancet, Vol 363, pp. 465 Rubino, C.M., Ambrose, P., Cirincione, B., Arguedas, A., Sher, L., Lopez, E., Llorens, X., Gracela, D.M., 2007. Pharmokinetics and pharmacodynamics of gatifloxacin in children with recurrent otitis media : Application of sparse sampling in clinical development. Diagnostic Microbiologic and Infectious Disease, Vol. 59, pp. 67-74 Rudzinski, M.J., and Bennes, J.F., Eds. 2001. Drug Information Handbook for Physician Assistants. 2nd Ed. New York: LexiComp, Inc. SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 119 Salt, A.N., and Plontke, S.K.R., 2005. Local inner-ear drug delivery and pharmacokinetics. Drug Discovery Today, Vol. 10 No. 19 Saux, N., Gaboury, I., Baird, M., Klassen, T., MacCormick, J., Blanchard, C., Pitters, C., Sampson, M., Moher, D., 2005. A Randomized, double-blind, placebo controlled, noninferiority trial of amoxcicillin for clincally diagnosed acute otitis media in children 6 months to 5 years of age. Canadian Medical Association Journal, Vol. 172 No. 3, pp. 335 Shambough, G.E., Girgis, T.F., 1991. Acute otitis media and mastoiditis. Otolaryngology. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders, Co. pp. 1445-1450 Sinha, MN., Siddiqui, VA., Nayak, C., Singh, V., Dixit, R., Dewan, D., Mishra, A., 2012. Randomized controlled pilot study to compare homeopathy and conventional therapy in acute otitis media. Homeopathy, Vol. 101, pp. 5-12 Snow Jr., J.B. Eds. 2003. Ballenger’s Otorhinology Head and Neck Surgery. 16th Ed. Ontario: BC Decker, Inc. Soetomo, W., 1998. Peranan oksimetazolin sebagai dekongestan hidung. Media Perhati, Vol. 4 No. 2, pp. 74 Susilo, W.H. 2012. Statistika dan Aplikasi untuk Penelitian Ilmu Kesehatan. Jakarta: Trans Info Media, hal. 44-46 Takahashi, H., 2012. Clinical practice guidelines for the diagnosis and management of acute otitis media (AOM) in children in Japan. Auris Nasus Larynx, Vol. 39, pp. 1-8 Takei, S., Hotomi, M., Yamanaka, N., 2013. Minimal biofilm eradication concentration of antimicrobial against nontypeable Haemophillus influenzae isolated from middle ear fluids of SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 120 intractable acute otitis media. Journal Infect Chemotherapy, Vol. 19, pp. 504-509 Toll, E.C., and Nunez, D.A., 2012. Diagnosis and treatment of acute otitis media : review. The Journal of Laryngology & Otology, No. 126, pp. 976-983 Thornton, K., Parrish, F., and Swords, C., 2011. Topical vs. systemic treatments for acute otitis media. Pediatric Nursing, Vol. 37 No. 5, p. 263-267 Tiggers, Baldwin, B., 2007. Acute otitis media and pneumococcal resistance: making judicious management decisions. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, pp. 179-180 Wood, D.N., Narkas, N., Gregory, C.W.,2012. Clinical trial assesing ototopical agent in the treatment of pain associated with acute otitis media in children., International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, Vol. 76, pp. 1229-1235 Zhang, X., Zheng, T., Sang, Lu, Apisa, L., Zhao, H., Fu, F., Wang, Q., Wang, Y., and Zheng, Q., 2015. Otitis media induced by Peptidoglycan-Polysaccharide (PGPS) in TLR2-Deficient (Tlr2−/−) mice for developing drug therapy. Infection, Genetics and Evolution, Vol. 35, pp. 194–203 Zorab, R., Eds. 1991. Otolaryngology. 3rd Ed, Vol. II. Philadelphia : W.B Saunders Company SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PROFIL PENGGUNAAN OBAT ... SHOFIA KARIMA