adln - perpustakaan universitas airlangga skripsi profil penggunaan

advertisement
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT
PADA PASIEN OTITIS MEDIA AKUT (OMA)
(Studi di Poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
SHOFIA KARIMA
NIM. 051211133058
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DEPARTEMEN FARMASI KLINIS
SURABAYA
2016
ii
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
pengajaran melalui petunjuk, ilmu, kemudahan,
kesabaran serta
kekuatan kepada penulis sehingga skripsi dengan judul “Profil
Penggunaan Obat pada Pasien Otitis Media Akut” dapat terselesaikan
dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam ditujukan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang menjadi panutan dan contoh bagi seluruh umat
manusia.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1.
Dra.Yulistiani, M.Si., Apt., selaku pembimbing utama atas
bimbingan, pengarahan, masukan dan motivasi hingga skripsi ini
terselesaikan.
2.
Titiek Hidayati Ahadiah, dr. Sp. THT KL (K) dan Ibu Ririn
Prasetyo U., S.Farm., Sp.FRS., Apt selaku pembimbing serta atas
bimbingan, pengarahan, masukan dan motivasi pada skripsi ini.
3.
Dr. Budi Suprapti, M.Si., Apt., dan Samirah, S.Si., Sp.FRS., Apt
sebagai dosen penguji atas kritik dan saran yang diberikan untuk
perbaikan skripsi ini.
4.
Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya, Dr.Umi
Athiyah, MS., Apt atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
selama peneliti menjalani pendidikan maupun melaksanakan
penelitian.
5.
Dr. Aty Widyawaruyanti, M.S., Apt selaku dosen wali yang selalu
memberikan nasihat, motivasi dan semangat selama menempuh
pendidikan Program Sarjana.
vi
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6.
Para dosen yang telah mendidik dan membimbing selama
menjalani perkuliahan di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
7.
Sekretaris SMF THT dan karyawan di Poli THT RSUD Dr.
Soetomo Surabaya yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini.
8.
Kedua orang tua penulis, Dr. dr. Cicik Sechah Hasan Ba’agil.,
M.Kes dan Drs. Nuch Chirid untuk kasih sayang sepanjang masa,
dukungan, serta doa yang selalu dipanjatkan sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan Program Sarjana.
9.
Kakak penulis Syarif Ahmad Yusuf dan Aisyah Assegaf, atas
perhatian, masukan dan dorongan dalam menyelesaikan skripsi
ini.
10. Keluarga Amoksilin Fakultas Farmasi Angkatan 2012, terutama
teman-teman kelas C yang telah menemani dan selalu memberikan
motivasi pada penulis selama menimba ilmu di Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga, baik dalam suka maupun duka.
11. Teman seperjuangan skripsi: Ariesta Novly, Afifatun Nisa, Dhita
Amalina R.P atas dukungan, semangat dan tekad untuk
menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
12. Teman sekaligus keluarga: Dinda, Asa, Nadia, Anggun, Tika,
Safa, Liga, serta seluruh teman KKN yang selalu menemani dalam
suka dan duka.
13. Kakak angkatan 2011: Fadhil Almasyhur, Edy Santoso, dan
Nuzulla Rizka yang telah membantu saya selama menjalani kuliah
di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
vii
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan
demi perbaikan pada skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam penggunaan
Obat-obatan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Surabaya, Agustus 2016
Penulis
viii
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RINGKASAN
PROFIL PENGGUNAAN OBAT
PADA PASIEN OTITIS MEDIA AKUT (OMA)
(Studi dilakukan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
SHOFIA KARIMA
OMA merupakan infeksi telinga tengah yang mayoritas
menyerang anak-anak. Penanganan OMA yang tidak tepat dapat
berakibat perkembangan penyakit OMSK. Bakteri yang sering
menyebabkan OMA adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
Influenzae, Moraxella catarrhalis, dan Staphylococcus aureus, oleh
karena itu antibiotika terpilih sebagai modalitas terapi utama. Analgesik,
dekongestan, dan antihistamin juga terpilih sebagai terapi simptomatik.
Dalam penggunaan obat tersebut dosis, frekuensi, dan lama terapi
bervariasi antar pasien sehingga perlu diperhatikan perbedaan kondisi
pasien.
Penelitian ini memiliki tujuan menganalisa pola terapi obat
pada pasien OMA yang meliputi jenis obat, frekuensi penggunaan,
durasi terapi, serta problema obat. Penelitian dilakukan secara
retrospektif di RSUD Dr. Soetomo Surabaya terhadap pasien yang
menjalani rawat jalan di poli THT dengan diagnosa Otitis Media Akut
(OMA) periode Januari sampai dengan Desember 2015 dengan sampel
penelitian sebanyak 80 pasien yang diambil dengan menggunakan
metode total sampling dan telah mendapatkan persetujuan dari Komite
Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa OMA terjadi
mayoritas pada wanita dengan prosentase 62% dibandingkan dengan
pria 38% dengan rentang usia pasien terbanyak 0-4 tahun 27%. Keluhan
yang dialami oleh pasien adalah otorrhea 66%, pendengaran menurun
24%, otalgia 17%, telinga berdengung 7%, dan telinga mengeluarkan
cairan berbau 11%.
Penelitian ini dilakukan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo, rute
antibiotika yang terpilih sebagai terapi OMA adalah per oral.
Berdasarkan hasil penelitian terapi antibiotika yang digunakan meliputi
amoksisilin (12%), amoksiklav (6%), klindamisin (6%), ofloksasin
(2%), siprofloksasin (2%), sefadroksil (2%), dan sefpodoksim (1%).
Pasien juga diresepkan antibiotika topikal yaitu tetes telinga ofloksasin
(30%). Terapi tambahan lain yang diberikan adalah analgesik untuk
mengatasi otalgia meliputi asam mefenamat, parasetamol, ibuprofen,
ix
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dan natrium diklofenak. Dekongestan dan antihistamin diberikan ketika
pasien mengalami flu. Antibiotika yang diresepkan pada pasien terdiri
dari antibiotika tunggal dan kombinasi antara antibiotika oral dengan
antibiotika topikal. Kombinasi antibiotika diberikan pada pasien yang
telah mengalami OMA stadium perforasi. Dosis dan frekuensi
penggunaan semua obat yang diberikan telah sesuai dengan yang
tercantum pada pustaka.
Problema obat yang terjadi adalah interaksi obat potensial
antara siprofloksasin dengan kafein (2%) dan siprofloksasin dengan
diklofenak (1%), selain itu makanan juga dapat menurunkan absorbsi
dari siprofloksasin (2%).
Berdasarkan uraian diatas, pasien perlu mendapatkan informasi
yang tepat tentang penggunaan obat yang benar terutama dalam
menggunakan antbiotika agar kepatuhan pasien meningkat serta
mencapai outcome terapi dan problema obat dapat diminimalkan. Selain
itu perlu dilakukan pencatatan informasi pada DMK yang lengkap
sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi untuk meningkatkan pelayanan
rumah sakit.
x
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
ABSTRACT
DRUG UTILIZATION STUDY
IN ACUTE OTITIS MEDIA (AOM) PATIENT
(Study at Ambulatory Unit of Ears, Nose, and Throat Department
of Dr. Soetomo Teaching Hospital )
SHOFIA KARIMA
Background: AOM is an infection that attacking the middle
ear through the eustachian tube as main route and usually
accompanied by the formation of purulent secretions.
Antibiotics is the first line therapy in management of AOM
which have variety in dosage, route of administration,
frequency, and duration of therapy. Analgesics, decongestant,
and antihistamine will be given dependent to patients condition.
Objective: The aims of this study was to analyze profile of
drug utilization associated with type, route of administration,
frequency, duration of therapy, and to identify drug related
problems (DRPs).
Methods: A retrospective study with descriptive analysis was
conducted during period January until December 2015 at Dr.
Soetomo Teaching Hospital in patient with AOM. This study
had been approved by Ethic Committee in Dr. Soetomo
Teaching Hospital.
Result: The results of this study on 80 patients showed that
first line therapy of AOM was amoxicillin (12%) as an oral
antibiotics and ofloxacin otic drop (30%) as a topical
antibiotics. Analgesics was given to patient with otalgia, and
the majority was mefenamic acid. Drug related problems that
found in this study was potential interaction among drugs and
food.
Conclusion: Dosage of drugs, frequency, duration of therapy
associated with AOM had been appropriate with the literature.
Pharmacist should give right and detailed informations to
patient.
Keywords: AOM, antibiotics, drug utilization profile, drug utilization
study (DUS), analgesics, dose, oral antibiotics, topical antibiotics.
xi
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................. VI
HALAMAN RINGKASAN ......................................................... IX
HALAMAN ABSTRAK .............................................................. XI
DAFTAR ISI ............................................................................... XII
DAFTAR GAMBAR ................................................................... XIV
DAFTAR TABEL........................................................................ XV
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................ XVIII
DAFTAR SINGKATAN.............................................................. XIX
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................ 9
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan tentang OMA ................................................ 11
2.1.1 Definisi OMA ..................................................... 11
2.1.2 Stadium OMA..................................................... 11
2.1.3 Klasifikasi OMA ................................................. 15
2.1.4 Etiologi OMA ..................................................... 16
2.1.5 Faktor Risiko ...................................................... 17
2.1.6 Epidemiologi OMA ............................................ 21
2.1.7 Patofisiologi OMA .............................................. 23
2.1.8 Manifestasi Klinis ............................................... 28
2.1.9 Pemeriksaan Data Klinik ..................................... 29
xii
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.1.10 Manajemen Terapi ............................................ 30
2.2 Tinjauan Obat.............................................................. 35
2.2.1 Analgesik ............................................................ 35
2.2.2 Antibiotika .......................................................... 40
2.2.3 Dekongestan ....................................................... 57
2.3 Drug Related Problem................................................. 59
2.3.1 Definisi ............................................................... 59
2.3.2 Kategori .............................................................. 59
2.3.3 DRP terkait OMA ............................................... 60
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Konseptual .................................................. 62
3.2 Kerangka Operasional ................................................. 64
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian ............................................................ 65
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................... 65
43. Populasi dan Sampel Penelitian ................................... 65
4.4 Kriteria Inklusi ............................................................ 66
4.5 Definisi Operasional .................................................... 66
4.6 Ethical Clearance........................................................ 67
4.7 Cara Pengumpulan Data .............................................. 67
4.8 Pengolahan dan Hasil Analisa Data ............................. 68
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Data Demografi Pasien ................................................ 69
5.2 Penggolongan Stadium Otitis Media Akut (OMA) ...... 70
5.3 Data Klinik pada Pasien Otitis Media Akut (OMA) ..... 71
5.4 Data Keluhan Pasien dengan Diagnosa Otitis Media
Akut (OMA) ................................................................ 73
xiii
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5.5 Organ Telinga yang Terserang OMA........................... 74
5.6 Terapi Umum untuk Mengatasi OMA ......................... 75
5.7 Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien OMA ......... 78
5.8 Pola Penggunaan Obat-obatan Lain pada Pasien OMA ..80
5.9 Pola Penggunaan Antibiotika Oral dan Antibiotika
Topikal pada OMA ..................................................... 84
5.10 Angka Kekambuhan OMA ........................................ 87
5.11 Problema Obat........................................................... 88
5.12 Outcomes Terapi OMA ............................................. 90
BAB VI PEMBAHASAN ........................................................... 91
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan ................................................................. 111
7.2 Saran ........................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 113
LAMPIRAN ............................................................................... 121
xiv
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Hiperemia pada Stadium Kataral .............................. 13
Gambar 2.2 Sekret Mukopurulen pada Stadium Supurasi ............ 14
Gambar 2.3 Stadium Perforasi..................................................... 15
Gambar 2.4 Prosentase Bakteri OMA.......................................... 17
Gambar 2.5 Perbedaan Anatomi Saluran Eustasius Anak dan
Dewasa .................................................................... 18
Gambar 2.6 Alergi yang Berkaitan dengan OMA ........................ 20
Gambar 2.7 Ruang pada Telinga Tengah ..................................... 25
Gambar 2.8 Inflamasi yang Terjadi di Saluran Eustasius ............. 25
Gambar 2.9 Reaksi Inflamasi yang Melibatkan Pirogen Endogen 27
Gambar 2.10 Reaksi Inflamasi yang Melibatkan TLR-2
pada OMA .............................................................. 27
Gambar 2.11 Telinga Tengah yang Mengalami Inflamasi ............. 28
Gambar 2.12 Pemeriksaan Otoskopik yang Dilakukan terhadap
Membran Timpani .................................................. 30
Gambar 2.13 Skema Algoritma Terapi ......................................... 32
Gambar 2.14 Reaksi Antipiretik dalam Mengurangi Produksi
PGE2 dengan Hambatan pada Siklooksigenase ....... 38
Gambar 2.15 Langkah Sintesis Protein Bakteri dan Mekanisme
Kerja Klindamisin .................................................. 55
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ............................................... 62
Gambar 3.2 Kerangka Operasional .............................................. 64
Gambar 5.1 Sebaran Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin .............. 70
Gambar 5.2 Sebaran Pasien Berdasarkan Usia ............................. 70
xv
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Gambar 5.3 Jenis Sekret pada Pasien OMA ................................. 72
Gambar 5.4 Hasil Pemeriksaan Hidung dan Tenggorokan pada
Pasien OMA........................................................... 73
Gambar 5.5 Prosentase Outcomes Terapi Pasien OMA ................ 90
xvi
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel II.1 Penggolongan OMA Berdasarkan Pemeriksaan........... 15
Tabel II.2 Penyebab Otitis Media Akut (OMA) ........................... 16
Tabel II.3 Perbedaan Saluran Eustasius pada Anak dan Dewasa .. 18
Tabel II.4 Contoh Hasil Pemeriksaan Membran Timpani ............ 30
Tabel II.5 Manajemen Terapi Otalgia pada OMA ........................ 31
Tabel II.6 Terapi Antibiotika pada OMA..................................... 34
Tabel II.7 Dosis Parasetamol pada Anak ..................................... 36
Tabel II.8 Antibiotika yang Digunakan untuk OMA .................... 40
Tabel II.9 Efek Samping pada Amoksisilin ................................. 43
Tabel II.10 Interaksi Obat terhadap Amoksisilin .......................... 43
Tabel II.11 Interaksi Obat terhadap Amoksiklav .......................... 46
Tabel II.12 Interaksi Obat terhadap Sefuroksim ........................... 50
Tabel II.13 Interaksi Obat terhadap Seftriakson ............................ 52
Tabel II.14 Interaksi Obat terhadap Klindamisin .......................... 54
Tabel V.1 Penggolongan Stadium Otitis Media Akut (OMA) ...... 71
Tabel V.2 Data Klinis Hasil Pemeriksaan Telinga pada
Pasien OMA ............................................................... 72
Tabel V.3 Data Keluhan Pasien terkait Infeksi Telinga OMA ...... 73
Tabel V.4 Organ Telinga yang Terinfeksi OMA.......................... 74
Tabel V.5 Terapi Antibiotika pada Pasien OMA ......................... 75
Tabel V.6 Terapi Analgesik Pasien OMA ................................... 76
Tabel V.7 Terapi Dekongestan Pasien OMA ............................... 77
Tabel V.8 Terapi Antihistamin Pasien OMA ............................... 77
xvii
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Tabel V.9 Terapi Obat Lain Pasien OMA.................................... 77
Tabel V.10 Terapi Tindakan Medis Pasien OMA ......................... 78
Tabel V.11 Pemberian Antibiotika pada Pasien OMA .................. 78
Tabel V.12 Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien OMA ........ 79
Tabel V.13 Pola Penggunaan Obat Lain pada Pasien OMA .......... 81
Tabel V.14 Pola Penggunaan Kombinasi Antibiotika Oral dan
Topikal pada Pasien OMA ........................................ 86
Tabel V.15 Pola Pergantian Antibiotika pada Pasien OMA .......... 87
Tabel V.16 Perkembangan Pasien OMA ...................................... 88
Tabel V.17 Perkembangan Kondisi Pasien OMA ......................... 88
Tabel V.18 Interaksi Obat yang Terjadi pada OMA ..................... 89
Tabel V.19 Interaksi Obat-makanan yang terjadi pada OMA........ 89
xviii
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Tabel Induk ............................................................... 121
Lampiran 2 Lembar Kelaikan Etik ............................................... 131
xix
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR SINGKATAN
AAP
: American Academy of Pediatrics
AAFP
: American Academy Family Physicians
AOM
: Acute Otitis Media
BUN
: Blood Urea Nitrogen
CDC
: Center for Disease Control
Cl
: Clearance
CHF
: Chronic Heart Failure
COX
: Cyclo-oxygenase
CSF
: Cerebro Spinal Fluid
DUS
: Drug Utilization Study
DRPs
: Drug Related Problems
GIT
: Gastro Intestinal Tract
ICC
: Intra Cranial Complications
IL
: Interleukin
IM
: Intra Muskular
ISPA
: Infeksi Saluran Pernafasan Akut
IV
: Intra Vena
MEE
: Middle Ear Effusion
MRSA
: Methicillin-resistant Staphlococcus aureus
MT
: Membran timpani
NSAID
: Non Steroid Anti Inflammatory Drug
OM
: Otitis Media
OMA
: Otitis Media Akut
OME
: Otitis Media Efusi
OMSK
: Otitis Media Supuratif Kronik
xx
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
PCT
: Parasetamol
PG
: Prostaglandin
PGE2
: Prostaglandin E2
PDT
: Pedoman Diagnosis dan Terapi
PMN
: Polymorphonuclear
POAH
: Preoptic Area of Anterior Hypothalamus
PPK
: Pusat Pelayanan Kesehatan
SR
: Sustained Release
THT
: Telinga Hidung dan Tenggorokan
TNF
: Tumor Necrosis Factor
TLR
: Toll Like Receptor
URJ
: Unit Rawat Jalan
Vd
: Volume Distribusi
WHO
: World Health Organization
xxi
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Otitis Media adalah salah satu infeksi yang terjadi pada telinga
bagian tengah dan sering menyerang anak-anak, ditandai dengan otalgia,
otore, insomnia, demam,
penurunan nafsu makan, inflamasi pada
membran timpani, dan gangguan pendengaran (Isla, 2011 ; Levi and
O’reilly, 2013). Otitis media yang menyerang telinga tengah dibagi
menjadi tiga : Otitis Media Akut (OMA), Otitis Media Serosa (OMS),
dan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). Penyebab utama otitis
media adalah adanya infeksi dari bakteri Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus Influenzae, Moraxella catarrhalis (Sinha et al., 2011).
Beberapa bakteri yang ditemukan pada OMA setelah dilakukan kultur
82% didominasi oleh S.pneumoniae dan 52% H.influenzae (Dagan,
2007).
Otitis Media Akut (OMA) merupakan infeksi akut yang
mengenai mukoperiosteum kavum timpani dengan disertai pembentukan
sekret purulen. Awal dari penyakit ini umumnya dapat disebabkan oleh
Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), gangguan pada sistem
kekebalan tubuh, serta gangguan pada saluran Eustasius (Zhang, 2015).
Mukosa saluran pernafasan atas mengalami hiperemia dan udema,
termasuk juga pada mukosa saluran Eustasius. Hiperemia dan udema
menyebabkan gangguan fungsi drainase dan ventilasi saluran Eustasius.
Membran timpani menjadi vakum dan akan menyebabkan infiltrasi
kuman patogen ke dalam mukosa membran timpani (Dhingra, 2011).
1
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Prevalensi otitis media akut
2
terbesar terjadi pada anak-anak
terutama yang berusia di bawah 3 tahun sebesar 81%. Anak-anak di
bawah 5 tahun yang mengalami OMA sebesar 51% (Takei et al., 2013).
Data OMA di Eropa menunjukkan bahwa setiap tahun dari 1000 orang,
yang mengalami OMA adalah 268 orang (Marchisio et al., 2010). OMA
terjadi pada 8,8 juta anak (11,8%) berusia di bawah 18 tahun (E.Rettig et
al., 2014). Penelitian yang dilakukan pada lima negara di Eropa seperti
Jerman, Italia, Inggris, Swedia, Spanyol pada tahun 2008-2010
melaporkan bahwa prevalensi OMA pada anak-anak usia 0-5 tahun
(N=1000 orang) menunjukkan angka kejadian 11,9 - 26,3 % (Liese et
al., 2014). Di Indonesia prevalensi terbesar penderita OMA pada anak
sebesar 75%, sedangkan dewasa 20% (Mahasty, 2010). Hal ini
menunjukkan
bahwa
OMA
adalah
penyakit
masyarakat
yang
membutuhkan perhatian dan manajemen terapi yang tepat.
Prinsip dari manajemen terapi OMA adalah untuk mengurangi
tingkat keparahan terutama mengurangi rasa nyeri (otalgia) dan demam,
menghasilkan outcomes yang baik pada pendengaran, dan menghindari
terjadinya komplikasi yaitu mastoiditis, meningitis, dan abses otak
(E.Rettig et al., 2014). Manajemen terapi obat pada OMA dapat
diberikan analgesik, antibiotika, dan dekongestan (rute oral dan topikal).
Obat dapat menuju telinga tengah melalui rute topikal dengan cara
menembus membran paling luar dari koklea kemudian menuju membran
timpani dan menyebar ke seluruh bagian telinga. Keuntungan dari rute
ini salah satunya adalah dengan jumlah obat minimal yang diberikan
dapat menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada cairan telinga
dibandingkan rute per oral sehingga rute ini lebih efektif dibandingkan
rute oral. Disamping itu efek samping obat rute topikal lebih kecil
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3
dibandingkan rute oral karena paparan sistemik minimal pada GIT (Salt
and Plontke, 2005).
Analgesik yang diberikan diharapkan memiliki potensi anti
inflamasi karena pada kasus ini terjadi reaksi inflamasi akibat
peningkatan tekanan pada telinga tengah dan mengakibatkan timbulnya
rasa nyeri (otalgia) (Wood et al.,2012). Berdasarkan guideline Finlandia,
analgesik harus segera diberikan selama 24 jam setelah ditetapkan
diagnosis OMA karena menimbulkan otalgia yang sangat mengganggu
aktivitas pasien (Toll and Nunez, 2012).
Analgesik yang digunakan dapat dikombinasi dengan anastesi
lokal untuk mengurangi rasa nyeri (otalgia). Penelitian pada pasien anak
di Australia tahun 2003-2004
melaporkan bahwa adanya OMA
perforasi pada usia 3 hingga 12 tahun dengan penggunaan tetes telinga
yang mengandung larutan lidokain atau normal saline dikombinasi
dengan penggunaan asetaminofen per oral dapat mengurangi 50% rasa
sakit (AAP guidelines, 2013). Selain itu asetaminofen dapat dikombinasi
dengan ibuprofen yang merupakan terapi lini pertama pada beberapa
negara seperti di Amerika, Eropa, dan Asia untuk mengatasi otalgia
level ringan hingga sedang, sedangkan analgesik narkotik digunakan
untuk mengatasi otalgia level akut (AAP guidelines, 2013). Pemberian
analgesik ini dapat dilakukan hingga tujuh hari untuk mengatasi otalgia
(Dickson, 2014).
Ibuprofen
sebagai
analgesik
merupakan
golongan
obat
Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) dengan mekanisme
kerja menghambat sintesis prostaglandin yang merupakan mediator
inflamasi dengan cara memblok enzim cyclo-oxygenase (COX-1 dan
COX-2) (Katzung, 2010), sehingga reaksi inflamasi yang menyebabkan
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4
otalgia tidak terjadi. Ibuprofen mudah diabsorbsi dari gastrointestinal.
Dosis ibuprofen yang digunakan untuk mengatasi OMA pada anak
adalah 10 mg/kg BB dan digunakan secara per oral (Paul et al., 2010),
sedangkan dosis obat OMA untuk dewasa 600 mg diberikan sehari tiga
kali dengan penggunaan maksimal < 2400 mg sehari (Fuller and
Sajatovic, 2002). Efek samping yang ditimbulkan dari ibuprofen adalah
perdarahan pada lambung, namun efek samping tersebut dapat dihindari
dengan mengkonsumsi ibuprofen bersama makanan (Katzung, 2010),
sedangkan asetaminofen merupakan golongan obat analgesik dengan
mekanisme kerja memblok impuls nyeri dan menghambat prostaglandin
pada CNS (Aronoff, 2001). Pedoman terapi analgesik di Belanda
mengklasifikasikan pemberian analgesik secara per oral dan per rektal.
Mula kerja dari rute per oral lebih cepat dibandingkan rute per rektal
namun durasi kerja rute per rektal lebih lama dibanding rute per oral
(NHG guidelines, 2011). Hal ini dibuktikan oleh penelitian di Amerika
yang memberikan hasil terdapat perbedaan bioavailibilitas antara kedua
rute dengan nilai Cmax rute oral lebih besar (7,65µg/ml) dibandingkan
rute rektal (5,68µg/ml), AUC rute oral 23,36 µg/ml, dan rute topikal
20,45 µg/ml (Walson et al., 2013). Dosis obat asetaminofen untuk
mengtasi OMA pada dewasa adalah 500 mg tiga hingga empat kali
sehari (Fuller and Sajatovic, 2002), sedangkan untuk anak-anak dosis
asetaminofen yang diberikan adalah 10 mg/kg untuk rute per oral dan 20
mg/kg untuk rute per rektal (NHG guidelines, 2011). Efek samping
yang ditimbulkan dari penggunaan asetaminofen sangat sedikit sehingga
relatif aman terutama untuk anak-anak, kecuali bila dikonsumsi pada
jangka panjang akan menyebabkan hepatotoksik pada dosis > 4g/hari
(Katzung, 2010).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5
Selain analgesik untuk terapi OMA dapat diberikan antibiotika.
Tujuan pemberian antibiotika adalah untuk mengatasi infeksi akibat
infiltrasi kuman patogen ke dalam telinga tengah. Dalam hal ini
antibiotika yang terpilih memiliki kemampuan penetrasi hingga ke
dalam telinga tengah. Antibiotika yang umumnya digunakan antara lain
amoksisilin, sefalosporin, aminoglikosida, klindamisin, kotrimoksasol,
dan ciprofloksasin, (NHG guidelines, 2011 ; Beldfield et al., 2015). Hal
yang perlu diperhatikan pada pemberian antibiotika pada anak adalah
aspek keamanan dan efek samping obat, contohnya aminoglikosida yang
dapat bersifat toksik terhadap sel sensori pada sistem keseimbangan
tubuh, sehingga dapat dinyatakan tidak aman untuk anak (Salt and
Plontke, 2005). Antibiotika lain seperti golongan makrolida hanya
digunakan sebagai terapi lini kedua terhadap OMA bila pasien
mengalami alergi dengan golongan amoksisilin karena CDC melaporkan
pada tahun 2007 resistensi antibiotika golongan makrolida terhadap
bakteri Streptococcus
pneumoniae
22,7%,
sedangkan golongan
amoksisilin memiliki tingkat resistensi lebih rendah sebesar 10,5%
(Courter et al., 2010).
Bakteri
pada
OMA
terdiri
dari
bakteri
gram
positif
(Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus), dan bakteri gram
negatif (Moraxella catarrhalis, Haemophilus influenzae) oleh karena itu
dibutuhkan antibiotika spektrum luas untuk dapat mengeradikasi kuman
tersebut (Takei, 2013). Di negara lain seperti Belanda penggunaan
antibiotika untuk mengatasi OMA hanya mencapai 31%, sedangkan
pada negara Australia dan Amerika penggunaan antibiotika mencapai
95% (Maria S. and Ferro B., 2008). Pedoman terapi di Inggris
merekomendasikan penggunaan antibiotika yang tertunda dan hanya
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6
memberikan terapi simptomatik sebagai terapi OMA tergantung pada
tingkat keparahan OMA (Toll and Nunez, 2012). Antibiotika dapat
digunakan secara langsung pada anak dengan usia di bawah 2 tahun dan
mengalami OMA bilateral atau terjadi otore. Pusat penelitian resistensi
mikroba di Polandia menemukan tingkat kegagalan terapi antibiotika
untuk OMA pada anak usia 6 bulan hingga 7 tahun sebanyak 66%
(sekitar 104 orang) dikarenakan peningkatan resistensi beberapa bakteri
seperti Streptococcus Pneumoniae (39,69%), Staphylococcus aureus
(16,03%), Haemophilus influenzae (16,03%), dan Staphylococcus
haemoliticus (6,9%). (Jurkiewicz and Bielicka, 2015). Resistensi
tersebut juga terjadi terhadap antibiotika golongan kotrimoksazol
(78,8%), eritromisin (69,2%), dan penisilin (65,4%), sedangkan
resistensi streptococcus pneumoniae rendah terhadap antibiotika
klindamisin (61,5%), dan seftriakson (17,3%) (Jurkiewicz and Bielicka,
2015).
Penelitian yang dilakukan di India menemukan bahwa 85%
masyarakat memilih menggunakan antibiotika kombinasi amoksisilin
dan asam klavulanat karena dapat mempercepat waktu penyembuhan
yaitu sekitar 4 hari, selain itu kombinasi antibiotika amoksisilin dan
asam klavulanat dengan spektrum luas tergolong sensitif terhadap
berbagai macam bakteri gram positif dan bakteri gram negatif OMA
(D’silva et al., 2013 ; Levi and O’reilly, 2013). Pada beberapa negara di
Asia seperti Palestina, Pakistan, Nepal, Korea Selatan, Ethiopia, dan
Nigeria bakteri OMA yang mendominasi adalah bakteri gram negatif
sebesar 58,3% dan bakteri gram positif
39,2%, oleh karena itu
antibiotika yang digunakan adalah siprofloksasin, seftazidim, sefiksim,
seftriakson, dan gentamisin, sedangkan untuk bakteri gram positif
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
7
digunakan antibiotika kloramfenikol, metisilin, dan sefaklor (Elmanama
et al., 2014).
Pedoman di Eropa dan US tidak merekomendasikan penggunaan
antibiotika secara langsung karena dapat meningkatkan resistensi pasien
terhadap antibiotika dan menyebabkan kegagalan terapi OMA
(Takahashi, 2011 ; Sinha et al., 2012), namun penggunaan antibiotika
yang terlambat juga dapat menyebabkan komplikasi pada OMA yang
meliputi mastoiditis dan komplikasi intrakranial (ICC) seperti meningitis
dan abses otak (Toll et al., 2012). Kasus komplikasi intrakranial (ICC)
dengan OMA yang terjadi di Amerika menyebabkan angka kematian 7%
hingga 18% (Pasha et al., 2015). Persatuan dokter anak di Amerika
mengatakan Antibiotika diberikan bila terjadi gejala akut seperti otalgia
selama 48 jam sehingga perlu pemberian antibiotika pada anak-anak
berusia di bawah enam bulan yang mengalami OMA, dan anak-anak
berusia diatas enam bulan dengan OMA bilateral (Toll et al., 2012 ;
Marchisio et al., 2010 ; Dickson, 2014). Pemberian antibiotika juga
dilakukan segera bila telah terjadi gejala yang akut seperti demam tinggi
atau timbul rasa nyeri(otalgia) yang sangat parah. Indikasi pemberian
antibiotika berdasarkan pada faktor resiko pasien, pemeriksaan fisik,
gejala, dan guideline yang berlaku (Isla et al., 2011).
Beberapa negara memilih terapi antibiotika yang berbeda seperti
contohnya di Jepang antibiotika yang digunakan sebagai terapi OMA
untuk golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefditoren pivoksil
dan seftriakson, dikarenakan dari hasil kultur bakteri didapatkan hasil
bakteri gram negatif Haemophilus influenzae lebih mendominasi sebesar
50-70%, sedangkan di Italia digunakan sefalosporin generasi kedua
yaitu Sefaklor dan Sefuroksim karena bakteri gram negatif Moraxella
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8
catarrhalis dan Haemophilus influenzae yang ditemukan prosentasenya
lebih kecil yaitu 20-40% (Takahashi, 2011 ; Marchisio et al., 2010) . Di
UK penyebaran bakteri gram negatif dan gram positif cukup merata,
sehingga terapi antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum
luas seperti amoksisilin dan sefaklor. Penelitian yang dilakukan di UK
menunjukkan amoksisilin memiliki nilai MIC yang lebih tinggi
dibanding sefaklor dan siprofloksasin. Nilai MIC ini berkaitan terhadap
sensitifitas terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.
Semakin kecil nilai MIC, maka semakin poten antibiotika tersebut. Hal
inilah yang menyebabkan sefaklor (golongan sefalosporin) (MIC 0,32
µg/ml) dan siprofloksasin (0,125 µg/ml) lebih poten dibandingkan
amoksisilin (MIC 2µg/ml) karena dengan konsentrasi yang lebih kecil
dapat menghambat bakteri (Beldfield et al., 2015). Amoksisilin
merupakan
antibiotika
yang
paling
sedikit
efek
sampingnya
dibandingkan antibiotika yang lain (Katzung, 2010).
Pada penelitian yang dilakukan di Amerika tentang pola
penggunaan antibiotika pada pasien OMA yang mengalami peningkatan
dari tahun 2000-2011, yang digunakan paling banyak yaitu amoksisilin
dan sefalosporin. Antibiotika yang digunakan sebagai terapi lini pertama
adalah amoksisilin dengan dosis 3x 500mg/hari untuk dewasa dan
50mg/kg untuk anak-anak (Marchisio et al., 2010) namun karena
resistensi telah sering terjadi (resistensi yang terjadi di Polandia),
digunakan kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat atau antibiotika
golongan sefalosporin seperti sefotaksim dan seftazidim (Rubino et al.,
2007 ; Jurkiewicz et al., 2015). Dosis yang sering digunakan untuk
antibiotika amoksisilin dan asam klavulanat adalah 80-90 mg/kg BB
diberikan 2-3 kali sehari, sedangkan untuk dewasa dosisnya adalah
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9
500mg diberikan dua kali sehari (Marchisio et al., 2010). Terapi ini
diberikan selama 7-10 hari (AAP guidelines, 2013). Antibiotika yang
digunakan di Indonesia untuk mengatasi OMA diantaranya adalah
amoksisilin, amoksisilin + asam klavulanat, sefuroksim asetil,
seftriakson, dan klindamisin (Mahasty, 2010).
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka menarik
untuk diteliti tentang pola penggunaan obat pada pasien otitis media
akut di Poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang meliputi jenis obat
yang diberikan, dosis, frekuensi, lama penggunaan, dan interaksi obat.
Studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi tambahan
terapi OMA dan sebagai acuan peningkatan pengelolaan obat di rumah
sakit serta dapat digunakan oleh praktisi kesehatan sebagai bahan
evaluasi terapi dan pengawasan penggunaan obat pada kasus otitis
media akut.
1.1 Rumusan Masalah
Bagaimanakah profil penggunaan obat pada pasien otitis media
akut (OMA) di poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya?
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan Umum
Mengkaji profil penggunaan obat pada pasien otitis media
akut di poli THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya
1.2.2 Tujuan Khusus
1.
Mengkaji jenis, rute pemberian, dosis, dan frekuensi
penggunaan obat yang dikaitkan dengan data klinik pada
pasien otitis media akut.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.
10
Mengidentifikasi interaksi potensial obat pada pasien otitis
media akut.
1.3 Manfaat Penelitian
Memberikan gambaran pemilihan dan penggunaan obat pada
pasien otitis media akut (OMA) serta memberikan informasi mengenai
masalah terkait obat yang muncul sehingga dapat digunakan sebagai
upaya peningkatan mutu pelayanan kefarmasian pada pasien OMA.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Otitis Media Akut
2.1.1 Batasan klinis
Otitis media akut (OMA) merupakan infeksi akut yang mengenai
kavum timpani, saluran Eustasius, dan mastoid antrum disertai dengan
pembentukan sekret purulen, dan biasanya terjadi secara bilateral (pada
kedua telinga) ( Bull, 2002 ; Scott, 2007). Durasi maksimal terjadinya
OMA adalah tiga minggu (NHG Guidelines, 2011). Pada penelitian
yang dilakukan di Kanada, anak-anak yang berusia dibawah tiga tahun
dengan prosentase 50% akan mengalami OMA (Saux et al., 2005).
OMA memiliki persamaan dengan OME yaitu terjadi efusi pada telinga
tengah, sedangkan hal yang membedakannya adalah efusi yang terjadi
pada OME yang berlokasi di kavum timpani tanpa disertai inflamasi ,
selain itu
pasien OME tidak mengalami gejala-gejala seperti yang
terjadi pada OMA seperti otalgia, dan demam (Djafaar., 2001; AAP
guidelines, 2013).
2.1.2 Stadium Otitis Media Akut (OMA)
OMA terdiri dari beberapa stadium diantaranya stadium kataral,
stadium supurasi, stadium perforasi, dan stadium resaolui (Herawati dan
Rukmini, 2003).
11
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12
2.1.2.1 Stadium Kataral
Stadium kataral diawali dengan ISPA serta ditandai dengan
retraksi membran timpani dan telinga terasa penuh. ISPA menyebabkan
terjadinya keradangan yang mengenai mukosa hidung dan nasofaring
kemudian berlanjut ke mukosa saluran Eustasius dan mukosa membran
timpani. Kondisi lain yang terjadi adalah hiperemia pada membran
timpani, dan saluran Eustasius (keterangan dapat dilihat pada gambar
2.1). Akibat kondisi tersebut, lumen saluran Eustasius menjadi tertutup
dan menyebabkan fungsi saluran Eustasius terganggu (fungsi sebagai
ventilasi dan drainase), gangguan fungsi ini menyebabkan pemberian
oksigen kedalam kavum timpani berkurang, akibatnya tekanan dalam
kavum timpani berkurang menjadi kurang dari satu atmosfer (vakum)
diikuti dengan perubahan tekanan udara pada telinga tengah. Pengaruh
dari tekanan udara yang tidak seimbang pada membran timpani
menyebabkan timbulnya rasa penuh pada telinga serta pada beberapa
kasus terjadi gangguan pendengaran. Perubahan yang terjadi pada
kavum timpani mengakibatkan perembesan cairan kedalam kavum
timpani (transudasi), kondisi tersebut dikenal dengan hydrops ex vacuo.
Terapi penanganan stadium kataral adalah pengembalian fungsi saluran
Eustasius dengan pemberian tetes hidung yang berfungsi sebagai
vasokonstriktor yang dapat mengatasi penyempitan saluran Eustasius
akibat udem. Tetes hidung yang dapat diberikan mengandung efedrin
1% untuk dewasa, dan 0,25-0,5% untuk anak-anak (Herawati dan
Rukmini, 2003).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13
A
B
Gambar 2.1 Hiperemia pada stadium kataral. (A) Hiperemia pada ujung
membran timpani; (B) Hiperemia pada ujung dan
postosuperior pada membran timpani (Metin, 2009).
2.1.2.2 Stadium Supurasi (Bombans)
Stadium yang terjadi selanjutnya adalah stadium eksudasi.
Hiperemia
berkelanjutan
yang
terjadi pada
membran timpani,
epitimpani, dan antrum diikuti dengan dilatasi kapiler serum, fibrin,
eritrosit, dan PMN leukosit. Pada saat yang bersamaan sel-sel epitel
yang berasal dari membran timpani menjadi lendir atau dikenal dengan
istilah eksudat. Eksudat ini akan terakumulasi pada membran timpani
dan menyebabkan membran timpani menebal. Pada stadium ini terjadi
inflamasi pada membran timpani, peningkatan gangguan pendengaran,
serta nyeri pada telinga yang semakin parah, selain itu akibat terjadinya
inflamasi menyebabkan bakteri semakin mudah masuk membran
timpani dan menyebar menuju sitemik sehingga menimbulkan infeksi
yang ditandai dengan suhu tubuh meningkat. Stadium supurasi ditandai
perforasi
pada
membran
timpani
disertai
terbentuknya
sekret
mukopurulen (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.2). Hal ini dapat
menyebabkan suhu tubuh dan rasa nyeri yang ditimbulkan semakin
meningkat. Pada stadium ini perlu dilakukan drainase mukopus dari
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14
kavum timpani, selain itu pemberian antibiotika harus diberikan
(Herawati dan Rukmini, 2003).
Gambar 2.2 Sekret mukopurulen pada stadium supurasi di telinga
tengah (Metin, 2009).
2.1.2.3 Stadium Perforasi
Tekanan yang tinggi pada kavum timpani akibat kumpulan
mukopus, dapat menimbulkan perforasi pada membran timpani,
mukopus akan mengalir menuju meatus eksterna sehingga tekanan di
dalam kavum timpani menurun dan rasa nyeri yang ditimbulkan akan
berkurang (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.3).
Pada stadium akhir, yaitu stadium resolusi membran timpani
akan kembali normal dan terlihat transparan, masih terdapat lubang
perforasi tetapi sekret purulen tidak terbentuk, gejala-gejala pada
stadium awal seperti otalgia dan otore mulai berkurang (Herawati dan
Rukmini, 2003).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15
A
B
Gambar 2.3 Stadium perforasi pada telinga tengah. (A) Perforasi kecil
yang nampak setelah pembersihan;(B) Stadium resolusi
(Metin, 2009).
2.1.3 Klasifikasi OMA
Takahashi membagi OMA berdasarkan tingkat keparahannya
yang terdiri dari tingkat ringan, sedang, dan berat (dapat dilihat pada
tabel II.1). Penggolongan tersebut dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
pada telinga (Takahashi, 2012).
Tabel II.1 Penggolongan OMA berdasarkan pemeriksaan (Takahashi,
2012).
Usia
Pemeriksaan
Otalgia
Demam
Menangis karena otalgia
Hiperemia MT
Tonjolan pada MT
Otore
Refleks cahaya MT
SKRIPSI
Uraian
Pasien berusia < 24 bulan ( 3 poin)
Poin 0 = tidak ada ; 1 = otalgia
ringan ; 2 = otalgia berat
Suhu < 37,5oC = 0 ; > 37,5 namun <
38,5oC = 1 ; > 38,5oC = 2
0 = tidak ; 1 = iya
0 = tidak ada ; 2 = ada pada
manubrium atau sebagian gendang
telinga ; 4 = ada pada seluruh MT
0 = tidak ; 4 = ada pada sebagian MT ;
8 = ada pada seluruh MT
0 = tidak ada ; 4 = ada, namun MT
masih terlihat ; 8= ada, MT tidak
terlihat jelas
0 = normal ; 4 = tidak terlihat jelas
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16
Hasil pemeriksaan tersebut dijumlahkan dan didapatkan hasil
penggolongan dari OMA tingkat ringan (< 9), tingkat sedang (10-15),
dan tingkat berat (> 16) (Takahashi,2012).
2.1.4 Etiologi
Tabel II.2 Penyebab Otitis Media Akut (OMA) (Bull, 2002).
Penyebab Otitis Media Akut
Mayor
Minor
Flu
Sinusitis
Tonsilitis akut
Terjadi trauma pada membran timpani
Batuk yang tidak kunjung
sembuh
Barotrauma (saat menaiki pesawat)
Menyelam
Fraktur pada tulang tengkorak
2.1.4.1 Bakteri dan Virus
Penyebab utama dari OMA adalah infeksi dari bakteri
Streptococcus
pneumoniae,
Haemophillus
Influenzae,
Moraxella
catarrhalis (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.4), selain itu Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) juga menjadi salah satu pemicu
timbulnya OMA (Sinha et al., 2011). Setelah dilakukan pemeriksaan,
ditemukan 66% infeksi berasal dari bakteri dan virus, 27% berasal dari
bakteri, dan 4 % berasal dari virus (Rettig and David, 2014). Bakteri
yang berkoloni akan menuju ke nasofaring dan menyebabkan terjadinya
refluks menuju telinga tengah melalui saluran Eustasius (Scott, 2007).
Kombinasi bakteri dan virus akan meningkatkan rangsangan aktifnya
mediator inflamasi dibandingkan dengan bakteri tunggal (Rovers et al.,
2004).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18
membentuk horizontal, pendek , dan lemah (keterangan dapat dilihat
pada gambar 2.5 dan tabel II.3) (Rovers et al., 2004).
Gambar 2.5 Perbedaan anatomi saluran Eustasius anak-anak dan
dewasa (Djaafar., 2001).
Tabel II.3 Perbedaan saluran Eustasius pada anak dan dewasa
(Dhingra, 2010).
Karakteristik
Anak-anak
Dewasa
Panjang
Sudut
Bagian tulang
dan kartilago
Tubal
kartilago
Lemak pada
bantalan
oslmann
SKRIPSI
13-18 mm pada bayi
Lebih horizontal. Pada bayi
baru lahir membentuk
sudut 10o
Bagian tulang 1/3 kali
lebih panjang dari total
panjang saluran dan lebih
luas
36 mm (31-38mm)
Pada arah horizontal
membentuk sudut 45o
Lebih lunak, dapat terjadi
refluks nasofaring yang
menyebabkan
sekresi
cairan
Sedikit
Lebih kaku, menutupi
dan melindungi telinga
tengah dari refluks
Bagian tulang 1/3 dan
bagian kartilago 2/3
Jumlahnya banyak dan
membantu
saluran
tertutup
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19
2.1.5.2 Reaksi Imunologi
Sekresi antibodi merupakan mekanisme pertahanan kekebalan
terhadap saluran pernafasan atas. Sekret IgA yang disekresikan oleh
nasofaring berfungsi sebagai pertahanan terhadap patogen (virus dan
bakteri) untuk melawan OMA dan mengurangi kolonisasi bakteri pada
nasofaring. Anak-anak yang mengalami kekambuhan OM salah satunya
dikarenakan kekurangan sekresi IgA, selain itu IgG juga berperan dalam
pertahanan
terhadap
OMA
terutama
dalam
melawan
bakteri
pneumococci. Faktor spesifik IgG2 yang jumlahnya rendah dapat
memicu timbulnya OMA kembali.
Inflamasi yang disebabkan oleh bakteri dan virus patogen
mengawali regulasi kompleks produksi sitokin yang berperan penting
terhadap patogenesis OMA. Produksi sitokin meningkatkan regulasi
mucin yang menyebabkan sekresi berlebih dari mucin pada telinga
bagian tengah. Faktor lain yang mempengaruhi inflamasi adalah faktor
nekrosis tumor, interleukin 1, dan interleukin 8 berperan penting
terhadap terjadinya inflamasi kronis (Rovers et al., 2004).
Invasi jaringan mikroba memicu respon inflamasi dan
mengaktifkan pembuluh darah lokal sel endotel dan leukosit. Aktivasi
sel darah putih ke area peradangan tergantung pada interaksi dengan sel
endotel yang diatur oleh berbagai sitokin, kemokin, dan molekul adhesi.
Leukosit yang diaktifkan melepaskan pirogenik sitokin interleukin-1β
(IL-1 β), tumor necrosis factor (TNF), dan interleukin-6 (IL-6), serta
merangsang produksi sel endotel vaskular prostaglandin E2 (PGE2)
dalam sistem saraf pusat yang menyebabkan peningkatan titik
termoregulasi (Aronoff and Neilson, 2001).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21
2.1.5.5 Penyebab lain terjadi OMA
Beberapa faktor internal yang menyebabkan OMA diantaranya
adalah umur, gangguan sistem kekebalan tubuh, tempat penitipan anak,
perokok. Tempat penitipan anak merupakan faktor risiko terbanyak
karena anak-anak yang mengalami ISPA jumlahnya tinggi dan dapat
menularkan kepada anak yang lain sehingga dapat terjadi infiltrasi
patogen potensial dari nasofaring menuju saluran Eustasius, selain itu
kurangnya frekuensi pemberian ASI pada bayi dapat menjadi faktro
risiko OMA berkaitan dengan kadungan dalam ASI yang dapat
meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Rovers et al., 2004). Beberapa
kondisi medis seperti down syndrome, craniofacial, imunodefisiensi,
fungsi silia yang terganggu, gangguan pada hidung dan tenggorok,
pengaruh anatomi telinga, riwayat operasi telinga, dan bibir sumbing
juga merupakan faktor risiko timbulnya OMA (Cunningham et al., 2012
;
NHG
Guidelines.,
2011).
Perilaku
seseorang
yang
kurang
memperhatikan kebersihan juga dapat mempengaruhi terjadinya OMA
(Scott, 2007).
Penelitian lain yang dilakukan oleh karma et al menyebutkan
bahwa anak-anak yang menderita ISPA dan telah mengalami OME,
maka kemungkinan untuk terjadi nya OMA semakin meningkat (AAP
Guidelines, 2013).
2.1.6 Epidemiologi
Penderita OMA didominasi oleh bayi hingga anak-anak usia
dibawah lima tahun. Insiden OMA yang terjadi di Belanda didominasi
oleh anak-anak usia dibawah lima tahun dengan angka kejadian 175
setiap 1000 pasien setiap tahun (NHG Guidelines, 2011). Penderita
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22
OMA pada Amerika mencapai 11,8%. Angka kejadian OMA meningkat
sebanyak 33 % selama satu dekade terakhir. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh penurunan kunjungan dokter terhadap pasien OMA
(Rettig and David, 2014) . Prevalensi anak-anak yang terserang OMA di
Amerika minimal satu kali sebelum usia tiga tahun dengan kisaran usia
dari 6-11 bulan sebesar 50-85% (Saux et al., 2005 ; Rovers et al., 2004).
Penelitian yang dilakukan pada lima negara di Eropa seperti
Jerman, Italia, Inggris, Swedia, Spanyol tentang prevalensi OMA pada
anak-anak usia 0-5 tahun yang berjumlah 1000 orang, menunjukkan
angka kejadian yang terjadi dalam periode 2008-2010 untuk kategori
usia 0-2 tahun, OMA tertinggi terdapat di Spanyol 223 dari 1000
kejadian, Swedia 204 dari 1000 kejadian, Jerman 182 dari 1000
kejadian), Italia 119 dari 1000 kejadian, serta Inggris 108 dari 1000
kejadian). OMA yang terjadi pada kategori usia 3-5 tahun menunjukkan
angka kejadian tertinggi terdapat di Spanyol 263 dari 1000 kejadian,
Jerman 218 dari 1000 kejadian, Inggris 202 dari 1000 kejadian, Italia
197 dari 1000 kejadian, serta Swedia 174 dari 1000 kejadian (Liese et
al., 2014).
Di poliklinik THT RS Dr. Soetomo Surabaya, OMA
merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak. Pada tahun 2003, dari
10.083 pasien di poliklinik THT, pasien OMA mencapai 836 (8,29%)
dan menempati urutan ketiga penyakit terbanyak di poliklinik THT
(Laporan tahunan URJ THT 2003 dikutip oleh Roesbiantoro, 2007),
sedangkan pada tahun 2004, dari 8.937 pasien, jumlah pasien OMA
mengalami peningkatan menjadi 947 (10,6%) dan menempati urutan
kedua penyakit terbanyak di poliklinik THT (Laporan tahunan URJ THT
2004 dikutip oleh Roesbiantoro, 2007).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23
2.1.7 Patofisiologi
Saluran Eustasius memiliki tiga fungsi dasar yaitu mengatur
keseimbangan tekanan pada telinga tengah agar sesuai dengan tekanan
atmosfer (ventilasi), melindungi telinga tengah dari sekresi cairan pada
nasofaring (proteksi), dan membersihkan sekret yang berasal dari telinga
tengah menuju nasofaring (drainase) (Ludman and Bradley, 2007).
Pada kasus OMA mukosa saluran pernafasan atas mengalami
inflamasi akut berupa hiperemia dan udema, termasuk juga pada mukosa
saluran Eustasius. Beberapa sel seperti leukosit polimorfonuklear dan
imunoglobulin akan memproduksi plasma sel dan makrofag sehingga
jumlah makrofag mengalami peningkatan dan menyebabkan terjadinya
inflamasi (Zorab, 1991). Reaksi inflamasi ini memicu pelepasan
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, dan leukotrien.
Histamin dilepaskan dari sel mast yang berada pada sub epitel
mukoperiosteum timpani dan jumlahnya meningkat saat terjadi efusi
pada telinga tengah (Zorab, 1991). Hiperemia dan udema menyebabkan
terjadi penyumbatan pada ostium yang akan diikuti dengan gangguan
fungsi drainase dan ventilasi saluran Eustasius (keterangan dapat dilihat
pada gambar 2.8). Gangguan yang terjadi pada saluran Eustasius dapat
menyebabkan terjadinya tekanan negatif dan akumulasi cairan pada
telinga tengah. Telinga tengah terdiri dari ruang tertutup yang berisi
udara pada kondisi normal (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.7).
Ketika kondisi hiperemia terjadi, mukosa telinga tengah akan
mengabsorbsi udara dan nitrogen perlahan-lahan dari telinga tengah dan
menyebabkan tekanan udara dalam telinga menurun, selain itu tuba
Eustasius akan terbuka secara periodik, sehingga udara akan masuk dan
menyeimbangkan lagi tekanan telinga tengah. (Djaafar, 2001). Kavum
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24
timpani menjadi vakum karena saluran Eustasius hanya membuka secara
periodik sehingga terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler
dan limfe. Peningkatan permebailitas dinding sel dan proliferasi sel-sel
kelenjar mukosa menyebabkan pertukaran gas pada telinga tengah
menjadi kecil dan menimbulkan tekanan disusul dengan masuknya
cairan kedalam kavum timpani (transudasi) yang disebut hydrops ex
vacuo (Djafaar, 2001). Kondisi ini mengakibatkan infiltrasi kuman
patogen ke dalam mukosa kavum timpani yang berasal dari hidung dan
nasofaring menimbulkan supurasi. (Herawati, dan Rukmini 2003).
Patogenesis lain yang dapat terjadi adalah karena virus yang
menyerang saluran pernafasan atas dan menyebabkan tersumbatnya
mukosa saluran pernafasan atas termasuk nasofaring dan saluran
Eustasius (Rovers et al., 2004). Sumbatan tersebut menyebabkan
perubahan fungsi saluran Eustasius serta gangguan pembersihan dan
regulasi tekanan pada telinga tengah, sehingga menyebabkan semakin
mudahnya patogen potensial (virus dan bakteri) dari nasofaring masuk
menuju telinga tengah. Bakteri akan merangsang sel-sel kekebalan tubuh
serta menyebabkan timbulnya manifestasi klinis yaitu reaksi inflamasi
(Rovers et al., 2004). OMA dapat menimbulkan nyeri karena terjadi
tekanan kuat yang mempengaruhi ruang pada telinga tengah yang
mengandung udara dan terdiri dari saluran Eustasius, rongga telinga
tengah, mastoid antrum, serta sel udara yang letaknya berdekatan
dengan mastoid (Ludman and Bradley, 2007).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25
Gambar 2.7 Ruang pada telinga tengah (Ludman and Bradley, 2007).
Gambar 2.8 Inflamasi yang terjadi pada saluran Eustasius
(Bluestone, 2001).
2.1.7.1 Reaksi Inflamasi dan Demam pada OMA
Invasi kuman kedalam tubuh menyebabkan respon tubuh
berupa reaksi inflamasi dengan mengaktifkan leukosit dan sel endotel
menuju area inflamasi. Aktivasi tersebut diregulasi oleh kemokin,
sitokin, dan molekul adhesi serta menghasilkan pelepasan endogen
pirogen seperti Interleukin-1β (IL-1β), Tumor Necrosis Factor (TNF),
dan Interleukin-6 (IL-6) (Aronoff and Neilson, 2001). Endogen pirogen
juga menstimulasi sel endotel pembuluh untuk memproduksi PGE 2 pada
sistem saraf pusat. Neuron didalam POAH akan membentuk reseptor
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26
yang akan berikatan dengan PGE2 dan akan menghasilkan peningkatan
suhu tubuh (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.9) ( Aronoff and
Neilson, 2001).
Reaksi inflamasi yang terjadi pada OMA melibatkan suatu
reseptor yang disebut Toll Like Receptor 2 (TLR-2). TLR-2 berperan
dalam regulasi patogenesis otitis media (Zhang, 2015). TLR-2
mengaktifkan sistem kekebalan tubuh alami dengan cara mengenali
Peptidoglikan polisakarida (PGPS) dari dinding sel bakteri yang
merupakan penyebab timbulnya inflamasi pada OMA. Selain itu adanya
PGPS akan menyebabkan sekresi LTB4 yang menyebabkan pelepasan
netrofil sehingga terjadi inflamasi. Glukokortikoid dapat mengaktifkan
NF-kB serta melepaskan kemokin, mucin, dan sitokin untuk mengatasi
inflamasi yang muncul ketika terjadi OMA (keterangan dapat dilihat
pada gambar 2.10) (Zhang, 2015).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27
Gambar 2.9 Reaksi inflamasi yang melibatkan pirogen endogen
(Aronoff and Neilson, 2001).
Gambar 2.10 Reaksi inflamasi yang melibatkan TLR-2 pada OMA
(Zhang, 2015).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28
Gambar 2.11 Telinga tengah yang mengalami inflamasi
(Ludman and Braidley, 2007).
2.1.8 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang pertama kali muncul sebelum
timbulnya OMA adalah reaksi inflamasi dan infeksi yang menyebabkan
pelepasan beberapa mediator inflamasi seperti histamin, PG, leukotrien.
Hal ini akan menyebabkan timbulnya hiperemia dan udema pada nasal
cavity (Gray and Hawthorne, 1992). Rasa nyeri pada telinga (otalgia),
otore, serta gangguan pendengaran yang diikuti dengan tinnitus terjadi
karena pertumbuhan bakteri pada telinga bagian tengah dan transudasi
cairan pada kavum timpani (NHG Guidelines, 2011 ; Bull, 2002).
Otalgia berdampak pada perubahan perilaku terutama pada anak-anak
seperti menangis berlebihan, kegelisahan dalam tidur, nafsu makan
menurun, mual, serta diare (AAP Guidelines, 2013).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29
Penanganan OMA yang tidak tepat selama 48-72 jam setelah
dilakukan diagnosa dapat menyebabkan timbulnya komplikasi tingkat
ringan hingga berat salah satunya adalah kekambuhan terhadap OMA
yang dapat terjadi bila pemberian terapi antibiotika tidak adekuat. OMA
dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif dan pada
beberapa
kasus
dapat
menyebabkan
gangguan
pendengaran
sensorineural. Rata-rata penurunan fungsi pendengaran terjadi sekitar 25
dB.Komplikasi dapat terjadi ketika infeksi pada telinga tengah menyebar
melalui tulang temporal dan cranial cavity sehingga menyebabkan abses
otak, trombosis sinus lateral, meningitis, paralisis wajah, dan trombosis
arteri karotid (Cunningham et al, 2012 ; Scott, 2007).
2.1.9 Pemeriksaan Data Klinik
Pemeriksaan data klinik yang dilakukan untuk mendiagnosa
OMA meliputi pemeriksaan otoskopik yang dilakukan terhadap
membran timpani. Dalam pemeriksaan tersebut, ditentukan beberapa
kriteria yang meliputi warna merah yang terlihat pada membran timpani,
posisi membran timpani yang menonjol serta pergerakannya, selain itu
dilakukan pemeriksaan suhu tubuh dengan termometer berkaitan dengan
infeksi yang terjadi pada OMA (keterangan dapat dilihat pada tabel II.4
dan gambar 2.12) (AAP guidelines, 2013). Beberapa tanda yang akan
muncul pada membran timpani yang positif OMA diantaranya membran
timpani berwarna merah yang dapat berkembang menjadi bengkak,
selanjutnya dapat terjadi nekrosis yang akan mengakibatkan perforasi
dan diikuti oleh otore (Bull, 2002).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
31
golongan narkotik dengan risiko efek samping yang lebih tinggi
dibandingkan analgesik golongan lain(keterangan dapat dilihat pada
tabel II.5) (Wood et al., 2012). Manajemen terapi otalgia selain dengan
pemberian analgesik juga dengan pemberian ototopic agents seperti
antipyrine, golongan NSAID yang memiliki efek analgesik dan
antipiretik, serta benzokain yang merupakan anastetik lokal golongan
ester dengan onset of action yang cepat dan duration of action singkat
(Wood et al., 2012).
Tabel II.5 Manajemen terapi otalgia pada OMA (AAP guidelines, 2013).
Terapi OMA
Komentar
Parasetamol dan ibuprofen
Analgesik yang efektif untuk otalgia
tingkat
ringan
hingga
sedang.
Analgesik yang tergolong terapi utama
pada OMA
Pengobatan
alternatif
(tidak Jenis
pengobatan
seperti
ini
dikontrol),
digunakan
pada menghasilkan banyak keterbatasan
pemakaian topikal contohnya tetes
telinga
Anestetik
lokal
(benzokain, Terapi tambahan yang dapat diberikan
lidokain, prokain)
untuk pasien berusia > 5 tahun
Analgesik narkotik
Analgesik yang efektif untuk otalgia
tingkat sedang hingga berat, memiliki
efek samping sesak nafas, konstipasi,
dan perubahan kondisi
mental
Timpanostomi/ miringotomi
Dilakukan oleh
profesional
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
tenaga
kesehatan
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
32
Timbul gejala OMA :
otalgia, insomnia, otore
OMA dengan nyeri
ringan hingga sedang
Usia > 2 tahun
Usia < 2 tahun
Terapi simptomatik: analgesik parasetamol
325-650 mg (3-4 kali) ; 10mg/kg (4-6 kali)
untuk anak, atau ibuprofen 600 mg (3-4 kali),
10 mg/kg untuk anak. Dekongestan 2-3 tetes (2
kali)
Dilakukan pengamatan 2-3 hari
Terapi antibiotika Amoksisilin 3x
500mg/hari untuk dewasa dan 80-90
mg/kg/hari untuk anak-anak (2-3 dosis
terbagi)
- Bila tidak merespon Terapi antibiotika
amoksiklav 3 x 625 mg/hari untuk dewasa
dan 90 mg/kg/hari untuk anak/-anak (2-3
dosis terbagi)
OMA dengan nyeri
akut
Terapi antibiotika
Amoksisilin 3x
500mg/hari untuk
dewasa dan 80-90 mg/kg
/hari untuk anak-anak
(2-3 dosis terbagi)
-Bila tidak merespon Terapi
antibiotika amoksiklav 3 x 625
mg/hari untuk dewasa dan 90
mg/kg/hari untuk anak-anak (23 dosis terbagi)
- Bila alergi dengan penisilin
Dewasa sefuroksim 250-500
mg (3 kali) Untuk anak-anak
sefuroksim 30 mg/kg (2 dosis
terbagi).
- Bila alergi dengan penisilin Dewasa
sefuroksim 250-500 mg (3 kali) Untuk
anak-anak sefuroksim 30 mg/kg (2 dosis
terbagi).
Gambar 2.13 Skema algoritma terapi OMA (AAP guidelines, 2013).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
33
Pemberian antibiotika dapat dilakukan setelah melalui beberapa
pertimbangan seperti umur pasien, tingkat keakuratan diagnosa OMA,
serta level OMA yang diderita (Wood et al., 2012). Antibiotika akan
langsung diberikan pada pasien OMA yang berusia < 6 bulan,
sedangkan untuk pasien OMA usia > 6 bulan dan setelah dilakukan
pemeriksaan diketahui diagnosanya OMA level ringan hingga sedang
dapat diberikan terapi simptomatik terlebih dahulu seperti pemberian
analgesik dan dekongestan. Hal tersebut dikenal dengan istilah watchful
waiting (keterangan dapat dilihat pada gambar 2.14 dan tabel II.6).
Antibiotika akan diberikan setelah dilakukan observasi selama dua hari
dan kondisi pasien tidak mengalami kemajuan atau semakin memburuk.
Terapi watchful waiting dilakukan untuk menghindari resistensi
terhadap antibiotika terlalu dini, namun pada penelitian yang dilakukan
pada Amerika membuktikan bahwa banyak orang tua yang tidak setuju
dilakukan terapi watchful waiting karena dianggap semakin menambah
biaya yang harus dikeluarkan dan memperpanjang waktu pasien dalam
melakukan observasi (AAP guidelines, 2013; Marchisio et al., 2010 ;
Toll et al., 2012 ; Thornton et al., 2011). Penggunaan antibiotika yang
menyebabkan resistensi dapat terjadi karena pada beberapa kasus klinisi
susah membedakan OMA dan OME yang memiliki gejala hampir sama
(Thornton et al., 2011).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
34
Tabel II.6 Terapi antibiotika pada OMA (Marchisio et al., 2010).
Diagnosis
Bilateral
Monolateral
Tingkat
Tingkat
Tingkat
Tingkat
berat
ringan
berat
ringan
Usia < 6 Pemberian
Pemberian
Pemberian
Pemberian
bulan
antibiotika
antibiotika
antibiotika
antibiotika
segera
segera
segera
segera
Usia 6-24 Pemberian
Pemberian
Pemberian
Pemberian
bulan
antibiotika
antibiotika
antibiotika
antibiotika
segera
segera
segera
tertunda
Usia > 24 Pemberian
Pemberian
Pemberian
Pemberian
bulan
antibiotika
antibiotika
antibiotika
antibiotika
segera
tertunda
tertunda
tertunda
Pada beberapa negara di Asia seperti Palestina, Pakistan,
Nepal, Korea Selatan, Ethiopia, dan Nigeria bakteri OMA yang
mendominasi adalah bakteri gram negatif sebesar 58,3% dan bakteri
gram positif 39,2%, oleh karena itu antibiotika yang digunakan untuk
bakteri gram negatif adalah siprofloksasin, seftazidim, sefiksim,
seftriakson, dan gentamisin, sedangkan untuk bakteri gram positif
digunakan antibiotika seftriakson, kloramfenicol, metisilin, dan sefaklor
(Elmanama et al., 2014).
Resistensi antibiotika dapat terjadi karena beberapa hal
diantaranya penggunaan dosis yang tidak tepat (dosis terlalu kecil
sehingga tidak dapat mencapa efek terapi yang diinginkan), penggunaan
antibiotika dalam waktu singkat, dan penetrasi yang buruk dikarenakan
banyaknya sekret purulen yang menutupi telinga (Jurkiewicz and
Bielicka, 2015). Resistensi antibiotika sering terjadi pada golongan
penisilin.
Pemberian dekongestan hanya dilakukan apabila didapatkan
gejala ISPA atau pasien mengalami buntu pada hidung, serta apabila
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
35
pasien mengalami OMA stadium oklusi tuba Eustasius dan stadium
hiperemis/presupurasi (Djaafar, 2001 ; Shambaugh and Girgis, 1991).
2.2 Tinjauan Obat
2.2.1 Analgesik
2.2.1.1 Parasetamol
Sediaan parasetamol terdiri dari bentuk konvensional dan non
konvensional. Bentuk konvensional meliputi kapsul, kapsul gel, tablet
kunyah, sirup, dan eliksir (Anderson et al., 2001). Sediaan non
konvensional dari parasetamol berbentuk tablet sustained release.
i. Aspek Farmakokinetika
Absorbsi cepat pada GIT dan tidak dipengaruhi oleh makanan,
Vd 0,95 ± 0,12 L/kg; Cl 0,3 ± 0,084 L/jam/kg. Bila digunakan secara
per oral, terdistribusi ke berbagai jaringan seperti sekresi bronchial,
mukus, paru-paru, dan cairan pada telinga tengah. Metabolisme terjadi
pada hati oleh CYP1A2 dan CYP2E1, sedangkan t1/2 nya adalah 2 + 0,5
jam (Anderson et al., 2001). Parasetamol akan diekskresikan melalui
urin dalam bentuk konjugat (McEvoy, 2011). Dosis parasetamol yang
digunakan untuk dewasa : Non SR 325–1000 mg, setiap 4–6 jam,
maksimum 4 g/hari; SR Tab 1300 mg setiap 8 jam ; Per rektal 650 mg q
4–6 hr, maksimum 4g/hari (Anderson et al., 2001). Konsentrasi serum
puncak mencapai 10-60 menit untuk sediaan konvensional, dan 1-2 jam
untuk sediaan non konvensional. Parasetamol memiliki bioavailibilitas
yang baik bila diabsorbsi secara oral serta kemampuan berikatan dengan
protein plasma sebesar 25 % (McEvoy, 2011).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
36
Tabel II.7 Dosis Parasetamol pada anak (NHG Guidelines, 2011).
Tabel
Dosis Parasetamol
Usia
3-12 bulan
Dosis Oral
2,5 ml sirup (24 mg/ml),
diberikan 4-6 kali dalam sehari
1-2 tahun
5 ml sirup (24 mg/ml),
diberikan 4-6 kali dalam sehari
2-4 tahun
6-7 ml sirup (24 mg/ml), atau
1 tablet 120mg diberikan 4-6
kali dalam sehari
Dosis Rektal
1 suppositoria (120 mg),
diberikan 2-3 kali dalam
sehari
1 suppositoria (240 mg),
diberikan 2-3 kali dalam
sehari
1 suppositoria (240 mg),
diberikan 3 kali dalam
sehari
4-6 tahun
8 ml sirup (24 mg/ml), atau 1,5
tablet 120 mg diberikan 4-6
kali dalam sehari
1 suppositoria (240 mg),
diberikan 4 kali dalam
sehari
6-9 tahun
10 ml sirup (24 mg/ml), atau
0,5 tablet 500 mg diberikan 46 kali dalam sehari
1 suppositoria (500 mg),
diberikan 2-3 kali dalam
sehari
9-12 tahun
0,75 tablet (500 mg) diberikan
4-6 kali dalam sehari
> 12 tahun
1 tablet (500 mg) diberikan 46 kali dalam sehari
1 suppositoria (500 mg),
diberikan 3 kali dalam
sehari
1 suppositoria (1000
mg), diberikan 2-3 kali
dalam sehari
ii. Aspek farmakodinamika
Parasetamol merupakan analgesik dengan mekanisme kerja
menghambat sintesis prostaglandin pada sistem saraf pusat, namun
hambatan terhadap PG sangat minimal pada bagian perifer (keterangan
dapat dilihat pada gambar 2.15). Parasetamol kurang efektif sebagai anti
inflamasi (Anderson et al., 2001). Mekanisme lain dari asetaminophen
adalah hambatan terhadap stimulasi NF –kB, protein heterodimer yang
menstimulasi pelepasan siklo-oksigenase dan menginduksi sintesis nitric
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
37
oxide (Aronoff and Neilson and Neilson, 2001). Parasetamol memiliki
aktivitas hambatan terhadap siklooksigenase yang terbatas sehingga
hanya digunakan untuk mengatasi rasa nyeri tingkat ringan hingga
sedang. Fungsi lainnya adalah sebagai anti piretik. Parasetamol tidak
memiliki aktivitas hambatan terhadap fungsi platelet (McEvoy, 2011).
Penggunaan aman selama dalam rentang terapi dosis yang
dianjurkan. Bila digunakan lebih dari 10g akan menyebabkan nekrosis
hati atau nekrosis ginjal. Toksik hepatitis dapat terjadi dalam
penggunaan jangka panjang yaitu 5-8g/hari selama beberapa minggu
atau 3-4g/hari selama satu tahun. Efek samping yang jarang terjadi (< 1
%) diantaranya anemia, neutropenia, agranulositosis, trombositopenia,
dan
leukopenia
(Rudzinski
and
Bennes,
2001).
Parasetamol
kontradindikasi terhadap penderita defisiensi G6PD (Anderson et al.,
2001).
Penderita alkoholik kronis, dan pengguna obat isoniazid dapat
meningkatkan toksisitas hepar. Obat-obatan yang menjadi inducer dan
digunakan dalam jangka waktu lama seperti carbamazepin, barbiturat,
fenitoin, rifampin, dan sulfinpirazon juga dapat meningkatkan risiko
hepatotoksik (Anderson et al., 2001). Kolestiramin dapat mengurangi
proses absorbsi parasetamol (interval pemberian minimal 1 jam) (Fuller
and Sajatovic, 2002).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
38
Gambar 2.14 Reaksi antipiretik dalam mengurangi produksi PGE2 dengan
hambatan pada siklooksigenase (Aronoff and Neilson and
Neilson, 2001).
2.2.1.2 Ibuprofen
Sediaan ibuprofen yang beredar di pasaran berbentuk sediaan
konvensional contohnya kapsul, kaplet, suspensi, suspensi tetes untuk
anak-anak, tablet, dan tablet kunyah (Fuller and Sajatovic, 2002).
i. Aspek Farmakokinetika
Ibuprofen terabsorbsi dengan baik ketika diberikan melalui rute
oral, Vd ibuprofen 0,15 ± 0.02 L/kg ; Cl 0,045 ± 0,012 L/jam/kg. Mula
kerja sebagai analgesik dan anti piretik selama 1 jam. Ekresi ibuprofen
melalui urin dalam bentuk metabolit, t1/2 Ibuprofen 2 + 0,5 jam
(Anderson et al., 2001 ; McEvoy, 2011). Absorbsi cepat pada GIT
dengan bioavailibilitas 80% . Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam
1-2 jam. Makanan dapat menurunkan konsentrasi puncak plasma hingga
30-50 % dan menunda waktu untuk mencapai konsentrasi tersebut
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
39
selama 30-60 menit. Kemampuan ikatan protein plasma pada ibuprofen
> 99 % (McEvoy, 2011).
Dosis
ibuprofen yang diberikan untuk dewasa 400 mg
diminum setiap 4-6 jam bila perlu. dosis anak-anak dibagi menjadi dua
sebagai anti piretik dan analgesik. Per oral sebagai anti piretik (6 bulan–
12 th) 5 mg/kg untuk demam dengan suhu < 38 oC, dan 10 mg/kg untuk
demam dengan suhu
> 38 oC diberikan setiap 6–8 jam. Pemberian
maksimal 40 mg/kg/hari. Per oral sebagai analgesik (6 bulan–12 th) 10
mg/kg diberikan setiap 6–8 jam bila perlu. Pemberian maksimal 40
mg/kg/hari (Anderson et al., 2001).
ii. Aspek Farmakodinamik
Ibuprofen bekerja dengan cara menghambat enzim cylooxygenase-1 (COX-1) dan cylo-oxygenase-2 (COX-2) sehingga terjadi
hambatan pada sintesis PG, selain itu Ibuprofen mengubah fungsi
platelet dan memperpanjang bleeding time (Anderson et al., 2001 ;
Katzung, 2012). Ibuprofen merupakan golongan NSAID dan berasal
dari turunan asam propionat yang diindiasikan sebagai anti inflamasi,
mengatasi rematik termasuk artritis, demam, mengurangi rasa nyeri
tingkat ringan hingga sedang termasuk nyeri ketika menstruasi, gout,
spondilitis, dan migrain (McEvoy, 2011 ; Fuller and Sajatovic, 2001).
Efek samping yang dapat terjadi diantaranya adalah diare dan
mual (3%), pusing (1%), kulit kemerahan (5%), serta yang paling akut
adalah terjadinya ulcer pada GIT. Efek samping jangka panjang yang
dapat terjadi adalah gangguan ginjal, CHF, serta sirosis. Ibuprofen
memiliki kontraindikasi terhadap angioedema, sindrom nasal polip,
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
40
bronkospastic reaktif terhadap aspirin atau NSAID lain (Anderson et al.,
2001).
NSAID menghambat respon beberapa obat hipertensi seperti
ACE inhibitor, β-bloker, hidralazin, dan diuretik. Efek NSAID sebagai
antiplatelet dan risiko efek samping GI bleeding mampu meningkatkan
risiko perdarahan selama terapi dengan menggunakan anti koagulan.
NSAID dapat mengurangi clearance renal lithium. Indometazin dan
beberapa NSAID lain dapat mengurangi fungsi ginjal (Anderson et al.,
2001). Pemberian ibuprofen harus diperhatikan pada pasien dengan
riwayat penyakit gagal jantung kongestif, gangguan ginjal dan liver,
dehidrasi, hipertensi, perdarahan pada GIT termasuk ulcer, dan pasien
yang menerima terapi pengobatan antikoagulan dalam waktu yang
bersamaan (Fuller and Sajatovic, 2002).
2.2.2 Antibiotika
Tabel II.8 Antibiotika yang digunakan untuk OMA (AAP guidelines, 2013).
Penggunaan antibiotika segera Terapi antibiotika setelah 48-72 jam bila
atau tertunda
terjadi kegagalan terapi
Rekomendasi Terapi alternatif
Rekomendasi
Terapi alternatif
terapi lini
terapi lini pertama
pertama
Amoksisilin
Eritromisin
AmoksisilinSeftriakson,
(80-90
(17mg/kg)
klavulanat (90
klindamisin (30-40
mg/kg)
diberikan setiap 8
mg/kg per hari
mg/kg) diberikan
diberikan
jam
untuk amoksisilin,
dalam 3 dosis
dalam 2 dosis
dan 6,4 mg/kg untuk terbagi/hari
terbagi/hari
klavulanat) ,
diberikan dalam 2
dosis terbagi/hari
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
41
Tabel II.8 Antibiotika yang digunakan untuk OMA (AAP guidelines, 2013)
(lanjutan)
Penggunaan antibiotika segera atau Terapi antibiotika setelah 48-72
tertunda
jam bila terjadi kegagalan terapi
Rekomendasi terapi
Terapi
Rekomendasi Terapi alternatif
lini pertama
alternatif
terapi lini
pertama
Amoksisilin-klavulanat
-Sefuroksim
Seftriakson
Klindamisin (30(90 mg/kg per hari untuk (30 mg/kg)
(50 mg IV
40 mg/kg)
amoksisilin, dan 6,4
diberikan
atau IM)
diberikan dalam 3
mg/kg untuk klavulanat) dalam 2 dosis diberikan
dosis terbagi/hari
, diberikan dalam 2 dosis terbagi/hari
dalam 3 kali
dikombinasi
terbagi/hari
atau
dengan
sefalosporin
-Sefpodoksim
generasi ketiga
(10 mg/kg)
dalam 2 dosis
terbagi./hari
Seftriakson
(50 mg IV
atau IM)
diberikan
dalam 1-3 kali
Timpanosentesis
2.2.2.1 Amoksisilin
Amoksisilin memiliki bentuk sediaan konvensional yang
meliputi kapsul, tablet kunyah, tablet selaput film, dan sirup kering
(Anderson et al., 2001 ; Fuller and Sajatovic, 2002).
i. Aspek Farmakokinetika
Amoksisilin mudah terabsorbsi pada GIT dengan t 1/2 1-1.4 jam.
Amoksisilin didistribusikan hampir keseluruh tubuh dan sekitar 10%
yang mengalami metabolisme,
sekitar 50-80% amoksisilin di
ekskresikan dalam bentuk tetap melalui urin (Anderson et al., 2001 ;
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
42
McEvoy, 2011). Dosis yang diberikan pada anak-anak melalui rute oral
80-90mg/kg diberikan satu atau dua kali dalam dosis terbagi.
Antibiotika ini diberikan selama 10 hari untuk anak-anak usia dibawah 6
tahun dengan diagnosa OMA level akut, sedangkan untuk anak-anak
berusia lebih dari 6 tahun dengan diagnosa OMA level ringan hingga
sedang terapi diberikan selama 5-7 hari (McEvoy, 2011). Dosis dewasa
yang diberikan 250-500mg dan digunakan tiga kali dalam sehari.
Penggunaan dalam sehari tidak melebihi 4.5g/hari (Anderson et al.,
2001). Absorbsi pada GIT 74-92%. Kadar puncak dalam serum sebesar
6-8mcg/ml, kadar ini dicapai 1-2 jam setelah pemberian amoksisilin
500mg per oral. Bioavailibilitas mencapai 85%. Konsentrasi 400mg
tablet kunyah setara dengan 5ml suspensi oral yang mengandung
400mg/5mL. Ikatan dengan protein plasma 17-20% (McEvoy, 2011).
ii. Aspek Farmakodinamika
Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara
mengikat satu atau lebih Penicilline- binding proteins (PBPs) ;
menghambat perjalanan transpeptidase dari sintesis peptidoglikan pada
dinding sel bakteri ; menghambat biosintesis dinding sel (Rudzinski and
Bennes, 2001). Amoksisilin merupakan first-line therapy untuk pasien
OMA yang disarankan oleh AAP guidelines yang efektif untuk OMA
level ringan hingga sedang (McEvoy, 2011). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Saux dkk di Amerika Serikat sebanyak 250
penderita pasien OMA diberikan terapi antibiotika amoksisilin dan
didapatkan angka kesembuhan sebanyak 92,8% (Saux et al., 2005).
Terdapat perbedaan kepekaan bakteri terhadap antibiotika tergantung
pada perbedaan struktur dinding sel, kemampuan penetrasi melewati
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
43
dinding sel, dan kemampuan membentuk ikatan dengan reseptor
penicilline-binding
proteins.
Streptococcus
pneumoniae
dapat
mengubah reseptor penicilline-binding proteins pada dinding selnya
untuk mencegah efek dari obat golongan penisilin (Tiggers and
Baldwin, 2007). Amoksisilin memiliki kontraindikasi terhadap pasien
yang hipersensitivitas pada golongan penisilin (Fuller and Sajatovic,
2002). Pengaturan dosis terapi amoksisilin diperlukan pada pasien
dengan gangguan ginjal. Pasien yang memiliki riwayat mononukleosis
bila diberi terapi amoksisilin akan mengalami ruam pada kulit (Fuller
and Sajatovic, 2002).
Tabel II.9 Efek samping pada amoksisilin (Fuller and Sajatovic, 2002).
Sistem Saraf
Kulit
GIT
Hematologi
Hepar
Pusat
Hiperaktivitas,
Urtikaria,
Mual,
Anemia,
Peningkatan
gelisah, insomnia, eritema,
diare,
trombositopen SGOT
dan
pusing, dan
dermatitis
hemoragi ia, leukopenia
SGPT,
perubahan
eksfoliatif
k kolitis
jaundice,
perilaku
kolestasis
hepatik
Tabel II.10 Interaksi obat-obat terhadap amoksisilin (McEvoy, 2011).
Obat
Interaksi
Allopurinol
Meningkatkan insiden kulit
kemerahan, hal ini lebih sering terjadi
pada ampicillin
Kloramfenikol
Menimbulkan efek antagonis
Asam klavulanat
Kombinasi akan menghaslkan efek
bakterisid yang sinergis.
Makrolid
Menimbulkan efek antagonis
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
44
Tabel II.10 Interaksi obat-obat terhadap amoksisilin (McEvoy, 2011)
(lanjutan)
Obat
Interaksi
Methotrexate
Berpotensi menurunkan fungsi ginjal,
meningkatkan efek toksik pada GIT
sehingga penggunaan harus
dimonitor
Probenesid
Mengurangi ekskresi amoksisilin
melalui ginjal
2.2.2.2 Amoksisilin + Asam klavulanat (Amoksiklav)
Kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat yang beredar di
pasaran terdiri dari bentuk sediaan konvensional seperti tablet, tablet
kunyah (Anderson et al., 2001).
i. Aspek Farmakokinetika
Antibiotika
ini
diabsorbsi
dengan
baik
pada
GIT.
Metabolisme keseluruhan klavulanat di hati. t 1/2 klavulanat 0.78-1.2 jam
(McEvoy, 2011).
Dosis yang diberikan pada dewasa
adalah 250-500 mg
diberikan tiga kali dalam sehari (Anderson et al., 2001). Dosis anakanak usia < 3bulan: Suspensi oral 30 mg/kg setiap hari diberikan dalam
dosis terbagi dalam 12 jam selama 10 hari menggunakan suspensi oral
125 mg/5 mL (McEvoy, 2011).
Dosis untuk anak-anak usia > 3 bulan dengan berat badan < 40
kg: Suspensi oral 45mg/kg setiap hari diberikan dalam dosis terbagi
setiap 12 jam selama 10 hari menggunakan suspensi oral 200 atau
400mg/mL, selain itu suspensi oral juga dapat diberikan 40mg/kg
diberikan dalam dosis terbagi setiap 8 jam menggunakan suspensi oral
125 atau 250mg/5mL (McEvoy, 2011).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
45
Dosis untuk anak-anak usia dengan berat badan > 40 kg: tablet
selaput film 250 mg diberikan tiga kali dalam sehari, atau 500mg
diberikan dua kali dalam sehari. Penggunaan antibiotika ini diberikan
dalam durasi 10 hari.Suspensi oral 500 mg diberikan tiga kali dalam
sehari, selama 10 hari dalam suspensi yang mengandung 125 atau
250mg/5mL (McEvoy, 2011). Dosis untuk pasien anak-anak OMA level
akut adalah 90mg/kg diberikan dua kali dalam sehari sesuai AAP
guidelines (McEvoy, 2011). Konsentrasi puncak plasma mencapai 2.6
mg/L 40-60 menit setelah mengkonsumsi amoksisilin dan asam
klavulanat 250 atau 500 mg (Anderson et al., 2001). Protein plasma
yang berikatan dengan amoksisilin sebesar 17-20%, sedangkan protein
plasma yang berikatan dengan asam klavulanat 22-30%.. Bioavailibilitas
asam klavulanat
dan tablet extended release dapat meningkat bila
dikonsumsi dengan makanan (McEvoy, 2011).
ii. Aspek Farmakodinamik
Memiliki mekanisme kerja yang sama dengan amokisilin,
namun lebih poten dalam menghambat enzim β-laktamase pada bakteri
(Anderson et al., 2001). Kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat
diindikasikan sebagai terapi otitis media, sinusitis, ISPA ayang
menyerang saluran pernafasan bawah, saluran kandung kemih, dan kulit.
Spektrum antibiotika ini sama dengan amoksisilin namun memiliki
tambahan cincin beta laktam sehingga efektif terhadap produksi bakteri
B. catarrhalis, H. influenzae, N. gonorrhoeae, dan S. aureus (bukan
MRSA). Dapat digunakan sebagai terapi alternatif bila telah resisten
terhapa amoksisilin (Fuller and Sajatovic, 2002).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
46
Efek samping yang ditimbulkan sama dengan amoksisilin,
namun efek terhadap GIT terjadi > 10 % contohnya diare yang
merupakan salah satu efek samping antibiotika tersebut, timbul lebih
sering dengan adanya kombinasi dengan klavulanat. Selain itu efek
terhadap kulit seperti urtikaria dan ruam, mual, dan muntah terjadi
sekitar 1-10%. Antibiotika ini kontraindikasi terhadap penggunaan
bersama dengan disulfiram, serta riwayat penyakit gangguan liver
(Anderson et al., 2001 ; Fuller and Sajatovic, 2002). Penggunaan jangka
panjang dapat menyebabkan infeksi akut, pengaturan dosis harus
dilakukan pada pasien dengan gangguan ginjal dan gangguan liver.
Dapat menyebabkan ruam pada kulit bila digunakan pada pasien dengan
riwayat infeksi mononukleosis (Fuller and Sajatovic, 2002).
Tabel II.11 Interaksi obat-obat terhadap amoksisilin+klavulanat
(McEvoy, 2011).
Obat atau uji
Interaksi
Allopurinol
Meningkatkan insiden kulit kemerahan,
hal ini lebih sering terjadi pada
ampicillin namun belum ada laporan
yang jelas mengenai insiden tersebut
Antasida
Hormon kontrasepsi
Probenesid
SKRIPSI
Tidak ada efek terhadap
farmakokinetika amoksisilin +
klavulanat yang diberikan bersamaan
dengan antasida atau 2 jam setelah
pemberian antibiotika
Mengurangi efektivitas kontrasepsi
yang diberikan per oral
Penurunan sekresi tubulus ginjal
terhadap amoksisilin, meningkatkan
serta memperlama konsentrasi plasma
amoksisilin
Disarankan tidak diberikan secara
bersamaan
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
47
2.2.2.3 Sefadroksil
Sediaan sefadroksil yang beredar di pasaran terdiri dari bentuk
sediaan konvensional seperti tablet, kapsul, dan suspensi (McEvoy et al.,
2011).
i. Aspek Farmakokinetika
Sefadroksil terabsorbsi dengan baik pada GIT dengan
konsentrasi puncak plasma 1-2 jam. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh
makanan. Sefadroksil terdistribusi secara merata ke jaringan dan cairan
tubuh dengan ikatan protein 20%. Ekskresi obat ini sebesar >70%
dikeluarkan dalam bentuk tidak berubah melalui urin dengan t 1/2 1,1-2
jam (McEvoy, 2011). Dosis yang digunakan untuk dewasa 2x 500 mg
selama 10 hari, sedangkan pada anak-anak 30mg/kg dalam 2 dosis
terbagi selama 10 hari.
ii. Aspek Farmakodinamika
Mekanisme
kerja
sefadroksil
sama
dengan
golongan
sefalosporin lain yaitu mengikat PBPs, sehingga menyebabkan
perubahan struktur dan fungsi dinding sel bakteri. Sefadroksil dapat
menyebabkan pseudomembran kolitis dan kulit kemerahan (Anderson et
al., 2001).
2.2.2.4 Sefuroksim
Sediaan sefuroksim yang beredar di pasaran terdiri dari bentuk
sediaan konvensional seperti tablet, suspensi, dan injeksi (Anderson et
al., 2001).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
48
i. Aspek Farmakokinetika
Sefuroksim terabsorbsi pada GIT dalam bentuk 1- (asetiloksi)
etil ester, kemudian terhidrolisis secara cepat. Bentuk lain sefuroksim
yaitu sefuroksim sodium tidak dapat digunakan secara oral melainkan
secara parenteral. Distribusi obat ini dapat menembus berbagai jaringan
termasuk plasenta dan ASI. Bila diberikan secara oral, sefuroksim asetil
terhidrolisis menjadi sefuroksim dengan proses esterase yang terjadi
pada mukosa intestinal dan darah. Sefurksim dieliminasi dalam bentuk
tidak berubah melalui urin. t 1/2 untuk sediaan oral 1,2-1,6 jam dan 1-2
jam untuk sediaan prenteral (McEvoy, 2011).
Dosis dewasa yang diberikan melalui rute oral 125 mg-500 mg
diberikan dua kali dalam sehari, IM atau IV 750mg-1.5g diberikan tiga
kali dalam sehari (Anderson et al., 2001). Dosis anak-anak usia 3 bulan
hingga 12 tahun: Tablet (Jika dapat menelan) 250 mg diberikan dua kali
dalam sehari selama 10 hari. Suspensi oral 30 mg/kg dibagi dalam dua
dosis, diberikan selama 10 hari (McEvoy, 2011).
Konsentrasi puncak plasma yang dicapai ketika pemberian rute
oral pada dewasa mencapai 2-3 jam, sedangkan pada anak-anak
pemberian dengan susu atau tanpa susu memberikan konsentrasi puncak
plasma 2,7-3,6 jam. Bioavailibilitas tablet selaput film yang diberikan
melalui rute oral pada dewasa mencapai 37% ketika puasa dan
meningkat 52 % ketika dikonsumsi bersama makanan. Kemampuan
ikatan dengan protein plasma mencapai 33-50% (McEvoy, 2011).
ii. Aspek Farmakodinamika
Antibiotika ini bersifat bakterisid dengan cara mengikat PBPs,
sehingga menyebabkan perubahan struktur dan fungsi dinding sel
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
49
bakteri (Anderson et al., 2001). Sefuroksim merupakan sefalosporin
generasi kedua yang memiliki aktivitas lebih poten dibandingkan
sefazolin, bakterisid yang poten terutama untuk H. Influenzae namun
memiliki aktivitas yang lemah terhadap bakteri anaerob (Anderson et
al., 2001). Sefuroksim diindikasikan untuk mengatasi ISPA, infeksi
saluran kandung kemih, otitis media, tulang dan persendian, serta sepsis
dan gonorrhea (Fuller and Sajatovic, 2002).
Efek
samping
sefuroksim
memiliki
kesamaan
dengan
antibiotika golongan sefalosporin lain yaitu dapat ditoleransi, untuk
beberapa kasus dengan prosentase 1-10% dapat menimbulkan beberapa
hal seperti reaksi hipersensitivitas yaitu kulit kemerahan, demam,
granulositopenia, dapat menyebabkan eusinofilia (7%), penurunan
hemaglobin dan hematokrit (10%), peningkatan transaminase (4%) dan
alkohol peptidase (2%) pada liver. Efek samping yang jarang terjadi
pada pemberian sefuroksim (< 1%) diantaranya peningkatan BUN,
kolestasis, dan angioedema (Katzung, 2012 ; Fuller and Sajatovic,
2002). Pemberian terapi yang tidak dikontrol pada pasien dengan
riwayat alergi terhadap penisilin dapat menyebabkan urtikaria dan
anafilatik. Terapi jangka panjang antibiotika ini dapat menyebabkan
Clostridium Dificile-Associated Diarhhea and colitis (CDAD) (Fuller
and Sajatovic, 2002).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
50
Tabel II.12 Interaksi obat-obat terhadap Sefuroksim
(McEvoy, 2011).
Obat atau Uji
Interaksi
Aminoglikosida
Risiko nefrotoksik semakin
meningkat bila digunakan
bersamaan dengan golongan
sefalosporin, secara in vitro
bersifat aditif atau sinergis sebagai
bakterisid dalam melawan bakteri
enterobacteriaceae
Hindari pemberian secara
bersamaan
Diuretik
Risiko nefrotoksik semakin
meningkat bila digunakan
bersamaan diuretik yang poten.
Digunakan bersamaan dengan
berhati-hati
Estrogen atau progestin
Dapat memepengaruhi flora
normal, menurunkan reabsorbsi
estrogen dan menurunkan
efektivitas dari penggunaan oral
estrogen dan progestin
Probenesid
Meningkatkan konsentrasi serum
dan t1/2 dari sefuroksim
2.2.2.5 Seftriakson
Sediaan seftriakson hanya terdiri atas injeksi yang merupakan
salah satu bentuk sediaan konvensional (McEvoy, 2011).
i. Aspek Farmakokinetika
Seftriakson tidak dapat diabsorbsi dalam GIT, sehingga harus
diberikan secara parenteral. Distribusi obat ini merata hampir keseluruh
jaringan tubuh, selain itu dapat menembus CSF, plasenta, dan ASI.
Metabolisme terjadi dalam jumlah kecil pada usus setelah eliminasi pada
bilier. Ekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin sebesar 33-
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
51
67%. t1/2 distribusi 0,12-0,7 jam dan t1/2 eliminasi 5,4-10,9 jam, pada
bayi 16,2 jam dalam 1-4 hari dan 9,2 jam dalam 9-30 hari. Anak-anak
berusia 2-42 bulan t1/2 distribusi 0,25 jam dan t1/2 eliminasi 4 jam
(McEvoy, 2011).
Dosis dewasa diberikan 1-2g/hari(single dose) secara IM atau
IV. Dosis untuk anak-anak single dose 50 mg/kg, maksimum pemberian
1g dalam sehari (McEvoy, 2011 ; Anderson et al., 2001). Konsentrasi
puncak plasma akan dicapai 1,5-4 jam setelah pemberian. Ikatan dengan
protein tergantung konsentrasi obat. Ikatan protein-obat pada anak lebih
kecil dibandingkan pada dewasa. Hal ini dikarenakan penurunan
konsentrasi plasma albumin, kasus ini juga terjadi pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan hati. Ikatan protein plasma pada konsentrasi
<70 mcg/mL 93-96%, 84-87% ikatan protein plasma pada konsentrasi
300 mcg/mL, dan ≤58% ikatan protein plasma pada konsentrasi 600
mcg/mL (McEvoy, 2011).
ii. Aspek Farmakodinamika
Antibiotika ini bersifat bakterisid sama seperti golongan
sefalosporin yang lain dengan cara mengikat PBPs, sehingga
menyebabkan perubahan struktur dan fungsi dinding sel bakteri
(Anderson et al., 2001). Seftriakson merupakan Sefalosporin generasi
ketiga yang memiliki aktivitas lebih poten dan lebih selektif terhadap
bakteri gram negatif dibandingkan dengan sefalosporin generasi pertama
dan kedua. Aktivitasnya terhadap bakteri gram positif seperti
staphylococcus kurang efektif dibandingkan sefalosporin generasi
pertama dan kedua ( McEvoy, 2011; Anderson et al., 2001). Efek
samping seftiakson salah satunya dapat menyebabkan Clostridium
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
52
Dificile-Associated Diarhhea and colitis (CDAD) bila digunakan dalam
jangka panjang, selain itu ketika menggunakan antibiotika ini dilakukan
pengawasan terhadap PT pada pasien yang mengalami defisiensi
vitamin K. Reaksi hipersensitifitas seperti kulit kemerahan juga terjadi
dalam beberapa kasus (McEvoy, 2011). Terapi jangka panjang
antibiotika ini dapat menyebabkan Clostridium Dificile-Associated
Diarhhea and colitis (CDAD), pankreatitis, infeksi akut sehingga perlu
dilakukan pengawasan saat penggunaan terapi (McEvoy, 2011).
Tabel II.13 Interaksi obat-obat terhadap Seftriakson (McEvoy, 2011).
Obat atau uji
Interaksi
Aminoglikosida
Risiko nefrotoksik semakin meningkat bila
digunakan bersamaan dengan golongan
sefalosporin dan aminoglikosida, secara in
vitro bersifat aditif atau sinergis sebagai
bakterisid dalam melawan bakteri
enterobacteriaceae, pseudomonas aeruginosa
Kloramfenikol
Dalam penelitian in vitro bersifat antagonis
Probenesid
Bila digunakan secara bersamaan dengan
probenesid 500 mg per oral tidak
mempengaruhi absorbsi seftriakson karena
seftriakson di eksresikan melalui filtrasi
glomerular dan mekanisme non ginjal. Dalam
penggunaan dosis besar
(1-2 g dalam sehari) dapat menghambat
sebagian sekresi bilier dari seftriakson
sehingga menurunkan t 1/2 seftriakson
Bersifat sinergis sebagai anti bakteri dalam
melawan S.pneumoniae yang resisten terhadap
penicillin dan dalam beberapa kasus
mengalami resisten terhadap seftriakson
Quinolon
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
53
2.2.2.6 Klindamisin
Sediaan yang
beredar
pada pasaran untuk
antibiotika
klindamisin adalah bentuk konvensional contohnya kapsul, larutan,
injeksi, serta krim dan gel (topikal) (McEvoy, 2011).
i. Aspek Farmakokinetika
Klindamisin palmitat klorida terhidrolisis pada GIT dan
berubah menjadi klindamisin. Distribusi obat sangat luas ke seluruh
cairan tubuh dan jaringan tubuh. Ekskresi klindamisin melalui urin,
empedu, dan feses. t1/2 sekitar 2-3 jam untuk anak-anak dan dewasa
dengan fungsi hati normal (McEvoy, 2011).
Digunakan secara per oral untuk anak-anak 30-40mg/kg/hari
terbagi menjadi tiga dosis sesuai petunjuk dari AAP (McEvoy, 2011).
Dosis untuk IV dan IM 20-40 mg/kg/hari terbagi menjadi tiga hingga
empat dosis (Fuller and Sajatovic, 2002). Dosis dewasa 150-450 mg per
oral diberikan setiap 6-8 jam, maksimum dosis yang diberikan dalam
sehari adalah 1,8 g, sedangkan bila diberikan secara IV dan IM 1,2 g –
1,8 g/hari diberikan dalam 2-4 dosis terbagi. Pemberian dosis
maksimum 4,8 g/hari (Fuller and Sajatovic, 2002). Bioavailibilitas
klindamisin rute oral mencapai 90% dengan konsentrasi puncak plasma
45-60 menit serta tidak dipengaruhi makanan. Kemampuan berikatan
dengan protein plasma sebesar 93% (McEvoy, 2011).
ii. Aspek Farmakodinamika
Mengikat ribosom subunit 50s secara reversible dengan cara
membentuk kompleks inisiasi dan reaksi aminoasil translokasi serta
menghindari pembentukan ikatan peptida, dengan demikian sintesis
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
54
protein bakteri akan terhambat (keterangan dapat dilihat pada gambar
2.15) (Fuller and Sajatovic, 2002 ; Katzung, 2011). Antibiotika yang
digunakan sebagai terapi perlawanan terhadap streptococci aerob dan
anaerob (kecuali enterococci). Digunakan sebagai terapi OMA apabila
pasien mengalami hipersensitivitas atau resisten terhadap antibiotika
golongan Penisilin (McEvoy, 2011). Diare terjadi sebesar > 10% setelah
pemberian obat klindamisin, sedangkan sebesar 1% - 10% terjadi reaksi
dermatologik seperti kulit kemerahan dan pada GIT mengalami kolitis
pseudomembran (biasanya karena penggunaan secara oral), mual, dan
muntah (Fuller and Sajatovic, 2002).
Tabel II.14 Interaksi Obat terhadap Klindamisin (McEvoy, 2011).
Obat atau Uji
Interaksi
Komentar
Aminoglikosida
Dalam penelitian in vitro
Sebaikya dihindari
bersifat antagonis
penggunaan secara bersamaan
Dalam penelitian in vitro
Sebaikya dihindari
bersifat antagonis
penggunaan secara bersamaan
Agen
Dapat meningkatkan efek
Digunakan secara hati-hati
penghambat
potensial dalam menghambat
pada pasien yang
neuromuskular
neuromuskular
menggunakan agen
Eritromisin
penghambat neuromuskular
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
55
Gambar 2.15 Langkah sintesis protein bakteri dan rmekanisme kerja
klindamisin (C) (Katzung, 2011).
2.2.2.6 Ofloksasin
Ofloksasin yang tersedia di pasaran dalam bentuk tablet dan
tetes telinga. Antibiotika ini efektif dalam mengeradikasi kuman
penyebab OMA, otitis eksterna, dan OMSK (McEvoy, 2011).
i. Aspek Farmakokinetika
Konsentrasi maksimal ofloksasin dalam plasma adalah 10
ng/ml setelah pemberian ofloksasin 0,3%. Pada pasien yang mengalami
otore konsentrasi ofloksasin 0,3% dapat meningkat hingga 389-2850
µg/g setelah pemberian selama 30 menit (FDA, 2003). Pemberian tetes
telinga ofloksasin untuk anak (usia 1-12 tahun) 2x 5 tetes dalam sehari,
sedangkan untuk dewasa diberikan tetes telinga 2x10 tetes dalam sehari.
Durasi terapi untuk anak dan dewasa adalah 10 hari, jika selama 7 hari
penggunaan ofloksasin namun pasien belum mengalami perbaikan
kondisi atau otore masih terjadi, maka kultur bakteri harus dilakukan.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
56
ii. Aspek Farmakodinamika
Ofloksasin yang bersifat bakterisid memiliki mekanisme kerja
sama dengan golongan florokuinolon lain yaitu menghambat DNA
girase dan topoisomerase IV yang berpengaruh terhadap replikasi
bakteri (FDA, 2003). Efek samping yang dapat ditimbulkan dari
penggunaan ofloksasin adalah sakit telinga, pruritus, dan pusing
(masing-masing 1%) (FDA, 2003).
2.2.2.7 Siprofloksasin
Siprofloksasin merupakan antibiotika golongan kuinolon yang
sensitif terhadap bakteri OMA. Sediaan yang tersedia di pasaran adalah
tablet dan infus.
i. Aspek Farmakokinetika
Siprofloksasin dapat diabsorbsi dengan baik pada GIT.
Bioavailibilitas tablet mencapai 50-85% pada orang dewasa dengan
konsentrasi puncak plasma dicapai pada 0,5-2,3 jam. Makanan dapat
menurunkan absorbsi siprofloksasin. Siprofloksasin terdistribusi secara
merata keseluruh jaringan dan cairan tubuh dengan ikatan protein 1643% dan t1/2 3-7 jam setelah pemberian oral. Dosis yang digunakan
untuk dewasa adalah 2x 500mg selama 7 hari (McEvoy, 2011).
ii. Aspek Farmakodinamika
Siprofloksasin memiliki mekanisme kerja menghambat DNA
girase dan topoisomerase IV yang berpengaruh terhadap replikasi
bakteri (FDA, 2003). Efek samping yang dapat terjadi diantaranya sakit
kepala, nyeri pada GIT, palpitasi, serta nyeri pada kulit, selain itu
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
57
siprofloksasin juga dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obatan
seperti antibiotika golongan aminoglikosida, antasida, kafein, NSAID,
kortikosteroid, omeprazole, dan suplemen multivitamin (McEvoy,
2011).
2.2.3 Dekongestan
Obat dekongestan dapat dibagi menjadi dua golongan: (1)
Golongan derivat feniletilamin yang memiliki efek dekongestan yang
singkat dan efek sistemik yang besar. Contoh obat golongan ini adalah
efedrin, dan fenilperin. (2) Golongan derivat imidasolin yang memiliki
efek dekongestan yang lebih lama dan efek sistemik yang lebih ringan.
Contoh obatnya adalah oksimetasolin, dan silometasolin (Soetomo,
1998).
Pemberian dekongestan sebaiknya hanya selama 3-5 hari,
karena penggunaan yang berlebihan dapat menurunkan efektivitas terapi
dan menyebabkan timbulnya rhinitis (Soetomo, 1998).
2.2.3.1 Pseudoefedrin
Pseudoefedrin merupakan salah satu dekongestan yang berasal
dari efedrin, sehingga reaksi yang ditimbulkan relatif sama dengan
golongan efedrin lainnya tetapi rangsangan terhadap saraf pusat dan
peningkatan tekanan darah lebih ringan (American Medical Association,
1991). Sediaan Pseudoefedrin yang beredar di pasaran terdiri dari
bentuk konvensional contohnya tablet salut film, kapsul, bubuk, dan
larutan, selain itu terdapat bentuk non konvensional yang contohnya
tablet extended release (McEvoy, 2011).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
58
i. Aspek Farmakokinetika
Pseudoefedrin mudah diabsorbsi pada GIT ketika digunakan
melalui rute oral dengan mula kerja obat 30 menit dan durasi obat
bertahan selama 8 jam setelah pemberian 60 mg atau 12 jam bila
pemberian dengan dosis 120 mg melalui kapsul extended release.
Metabolisme tidak sempurna pada liver menghasilkan metabolit inaktif,
dieksresikan melalui urin dan sebesar 55-96% tereliminasi dalam bentuk
yang tidak berubah. t 1/2 3-6 jam pada kondisi PH urin 5 dan 9-16 jam
pada kondisi PH urin 8 (McEvoy, 2011).
Pada penggunaan oral untuk dewasa dosis maksimal yang
diperbolehkan 240mg, sedangkan untuk anak-anak dosis maksimalnya
120 mg (McEvoy, 2011). Konsentrasi puncak plasma mencapai 1,39-2,4
atau 3,8-6,1 jam setelah pemberian oral.
ii. Aspek Farmakodinamika
Merupakan vasodilator yang bekerja langsung pada reseptor α
dan β adrenergik, melepaskan epinefrin, meningkatkan fungsi drainase
sinus, serta pertukaran udara pada hidung, dan dapat membantu
mengatasi memperbaiki fungsi saluran Eustasius sebagai ventilasi yang
mengatur keseimbangan tekanan udara pada telinga tengah, sehingga
akan mengurangi gejala simptomatik yang disebabkan oleh OMA
(McEvoy, 2011).
Pseudoefedrin dapat digunakan sebagai terapi swamedikasi
untuk mengatasi hidung tersumbat karena ISPA. Obat ini dapat
dikombinasi dengan beberapa obat lain seperti loratadin, ibuprofen, dan
klorfeniramin. Pseudoefedrin kurang efektif sebagai bronkodilator
(McEvoy, 2011). Pseudoefedrin Memiliki efek terhadap stimulasi CNS,
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
59
dapat menyebabkan pusing, insomnia, selain itu Pseudoefedrin memiliki
efek terhadap kardiovaskular yaitu perubahan fungsi ritme ventrikel,
peningkatan kerentanan otot jantung, takikardia, serta palpitasi
(McEvoy, 2011). Interaksi obat dengan metildopa dapat mengurangi
indikasi sebagai antihipertensi, dan berinteraksi dengan MAO inhibitor
serta β- bloker adrenergik dalam meningkatkan efek tekanan (McEvoy,
2011).
2.3 Drug Related Problem
2.3.1 Definisi
Drug Related Problem (DRP) adalah peristiwa yang tidak
diharapkan terjadi, dialami oleh pasien dan diduga memiliki keterkaitan
demgam terapi obat yang diberikan. Hal tersebut dapat mempengaruhi
tujuan terapi serta membutuhkan pertimbangan profesional dalam
menyelesaikannya (Cipolle, 2007).
2.3.2 Kategori
DRP dibagi menjadi beberapa kategori dasar yang meliputi : (1)
Pemberian terapi obat yang tidak dibutuhkan, (2) Pemberian terapi obat
tambahan, (3) Pemberian obat yang tidak efektif dalam memberikan
respon, (4) Pemberian dosis obat yang terlalu rendah, (5) Pemberian
obat yang dapaat menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki,
(6) Pemberian dosisi obat yang terlalu tinggi, (7) Ketidakpatuhan pasien
dalam meminum obat (Cipolle, 2007).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
60
2.3.3 Drug Related Problem (DRP) terkait OMA
Manajemen terapi OMA terdiri dari terapi simptomatik berupa
pemberian analgesik dan pemberian antibiotika untuk mengeradikasi
kuman patogen penyebab OMA (Sinha et al., 2011). Analgesik yang
digunakan untuk mengatasi otalgia terdiri dari 2 terapi yaitu golongan
NSAID untuk mengatasi otalgia tingkat ringan hinga sedang dan
golongan analgesik narkotik untuk mengatasi otalgia tingkat berat (AAP
guidelines, 2013). Analgesik golongan NSAID memiliki contoh efek
samping perdarahan pada GIT.Hal ini dapat dikurangi dengan
mengkonsumsi analgesik tersebut dengan makanan (McEvoy, 2007).
Efek samping yang ditimbulkan analgesik golongan narkotik adalah
depresi nafas, mual, hingga muntah (McEvoy, 2007). Terapi analgesik
diberikan hingga otalgia hilang (+ 10 hari) sehingga perlu dilakukan
pengawasan terhadap pasien selama menerima analgesik sebagai salah
satu terapi OMA.
Antibiotika yang digunakan untuk mengeradikasi bakteri gram
positif dan gram negatif pada kasus OMA sering mengalami
permasalahan yaitu timbulnya kekambuhan OMA akibat resistensi
terhadap salah satu golongan antibiotika (Jurkiewicz dan Bielicka,
2015). Antibiotika yang tidak tepat sasaran dapat menyebabkan
timbulnya berbagai komplikasi sperti mastoiditis dan ICC (NHG
Guidelines, 2011). Masalah lain yang diperhatikan adalah mayoritas
penderita OMA adalah anak-anak, sehingga antibiotika yang digunakan
harus aman yang salah satunya ditandai dengan efek samping yang
minimal contohnya antibitoik golongan aminoglikosida tidak dipilih
sebagai terapi utama OMA karena memiliki efek samping ototoksik dan
bersifat toksik terhadap sel sensori pada sistem keseimbangan tubuh,
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
61
sehingga dapat dinyatakan tidak aman untuk anak (Salt and Plontke,
2005 ; McEvoy, 2011). Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut
penggunaan terapi antibiotika juga harus dilakukan pengawasan terkait
dengan jenis antibiotika, dosis yang diberikan, dan frekuensi
penggunaan.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Skema Kerangka Konseptual Profil Penggunaan Obat pada
Pasien Otitis Media Akut (OMA)
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
62
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
63
Otitis Media Akut merupakan infeksi yang menyerang telinga
tengah
pada
bagian
mukoperiosteum
kavum
timpani
disertai
pembentukan sekret purulen. Faktor resiko terjadinya OMA adalah
ISPA dan infeksi beberapa bakteri patogen seperti Streptococcus
Pneumoniae,
Staphylococcus
auereus,
Moraxella
catarrhalis,
Haemophillus influenzae, dan virus (Zhang, 2015). ISPA akan
berdampak langsung terhadap terganggunya fungsi saluran eustasius dan
menyebabkan obstruksi terhadap saluran eustasius sehingga terjadi
kondisi
vasokontriksi
(Herawati
dan
Rukmini,
2003).
Karena
terganggunya fungsi saluran eustasius, akan timbul tekanan negatif pada
telinga tengah disertai perubahan fisiologis pada kavum timpani yang
beruba perembesan cairan kedalam kavum timpani (transudasi cairan)
(Ballenger, 2009). Pada saat yang bersamaan, terjadi perubahan sel-sel
epitel yang terletak pada membran timpani dan menyebabkan kondisi
inflamasi (Herawati dan Rukmini, 2003). Inflamasi dapat meningkatkan
infiltrasi bakteri patogen ke dalam telinga tengah sehingga timbul
manifestasi klinis dari OMA berupa otalgia, otore, dan demam. Selain
itu OMA dipengaruhi faktor sistem kekebalan tubuh (Rovers et al.,
2004). Ketika sistem kekebalan tubuh terganggu, bakteri komensal dapat
berubah menjadi bakteri patogen dan memicu pelepasan mediator
inflamasi diantaranya PG, leukotrien, histamin yang menghasilkan
manifestasi klinis hiperemia dan udema pada nasal cavity. Salah satu
pelepasan mediator inflamasi yaitu histamin dapat meningkatkan
permeabilitas mukosa, sehingga terjadi transudasi cairan yang
mengakibatkan inflamasi, infeksi, dan menghasilkan manifestasi klinis
serupa dengan OMA yang berasal dari ISPA.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
64
Manajemen terapi untuk mengatasi OMA adalah pemberian
analgesik, antibiotika, dan dekongestan bila terjadi sumbatan pada
hidung (AAP guidelines, 2013). Analgesik yang digunakan memiliki
potensi sebagai anti inflamasi untuk mengatasi reaksi inflamasi yang
terjadi pada patofisiologi OMA, selain itu analgesik juga digunakan
untuk mengurangi otalgia yang timbul akibat manifestasi klinis dari
OMA. Antibiotika yang dipilih diharapkan memiliki kemampuan
penetrasi yang tinggi ke telinga tengah dan memiliki aktivitas spektrum
yang luas karena bakteri patogen yang menginvasi telinga tengah
merupakan bakteri gram positif dan gram negatif (Sinha et al., 2011).
3.2 Kerangka Operasional
Gambar 3.2 Kerangka Operasional
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional
dengan metode total sampling. Peneliti tidak memberikan perlakuan
pada subyek yang diteliti tetapi hanya mengamati fenomena yang sudah
terjadi. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif yang artinya
menggunakan data terapi pasien pada masa lampau. Tujuan dilakukan
penelitian ini untuk mengkaji profil penggunaan obat pada pasien otitis
media akut di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Analisis hasil penelitian
dilakukan secara deskriptif.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada Poli THT RSUD Dr.Soetomo
Surabaya pada bulan Maret-Mei 2016.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien dengan
diagnosa otitis media akut (OMA) yang disertai komorbid serta sedang
menjalani rawat jalan pada Poli THT RSUD Dr.Soetomo Surabaya.
4.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pasien
dengan diagnosa otitis media akut yang memenuhi kriteria inklusi dan
65
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
66
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dibatasi oleh waktu (time limited) selama periode Januari sampai dengan
Desember 2015.
4.4 Kriteria Inklusi
Pasien dengan diagnosa otitis media akut (OMA) disertai
komorbid dan komplikasi yang menjalani terapi rawat jalan pada Poli
THT RSUD Dr.Soetomo Surabaya dengan Dokumen Medik Kesehatan
(DMK)
yang
lengkap
seperti
profil
terapi
obat
antibiotik,
analgesik,dekongestan, identitas pasien, dan data klinik.
4.5 Definisi Operasional
-
Pasien Otitis Media Akut adalah semua pasien pada berbagai
usia dengan diagnosa otitis media akut yang ditandai dengan
adanya rasa nyeri pada telinga (otalgia), demam, otore, dan saat
dilakukan pemeriksaan otoskopik membran timpani tampak
bengkak, serta hasil kultur bakteri positif (Rettig, 2014).
-
Data klinik adalah data yang berhubungan dengan tanda klinik
pasien otitis media akut meliputi berat badan, tekanan darah,
nadi, adanya otalgia, demam, otore, dan pemeriksaan otoskopik
(Lee et al., 2013 ).
-
Profil
Penggunaan
Obat
adalah
suatu
pola
yang
menggambarkan atau mendeskripsikan penggunaan antibiotik
dan analgesik pada pasien yang didiagnosa otitis media akut.
-
Interaksi obat adalah perubahan farmakokinetika atau
farmakodinamika obat dalam tubuh yang terjadi karena
kehadiran satu zat atau lebih yang berinteraksi.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
-
67
Dosis adalah takaran obat yang digunakan untuk sekali
pemakaian, dapat melalui rute oral, rektal, parenteral, dll dalam
jangka waktu tertentu.
-
Hasil terapi (outcomes) adalah penilaian kesembuhan setelah
mendapat terapi obat OMA yang ditentukan yaitu analgesik
dan antibiotik berdasarkan diagnosa dan pemeriksaan klinis
dengan parameter antara lain pemeriksaan otoskopik.
-
Frekuensi penggunaan obat adalah jumlah penggunaan obat
OMA yang diberikan dalam waktu tertentu.
-
Rute pemakaian adalah jalur yang digunakan untuk pemberian
obat OMA agar dapat mencapai efek terapi yang diinginkan.
4.6 Ethical Clearance
Penelitian ini telah di review oleh Komite Etik Penelitian
RSUD
Dr.Soetomo
Surabaya
dengan
bukti
sertifikat
No.64/Panke.KKE/II/2016 (Lampiran II).
4.7 Cara Pengumpulan Data
Sampel penelitian akan didapatkan dari Dokumen Medis
Kesehatan (DMK) dan selanjutnya menentukan sampel yang memenuhi
kriteria inklusi. Pengumpulan DMK dan pemindahan data yang
diperlukan dilakukan dari tiap DMK ke lembar pengumpulan data lalu
dipindahkan ke tabel induk. Data yang dicatat terdiri dari demografi
pasien yaang meliputi Nomor DMK, inisial pasien, jenis kelamin, berat
badan, usia, keluhan utama, hasil diagnosa, penyakit penyerta, dan
riwayat penggunaan obat. Data klinik meliputi suhu tubuh, pemeriksaan
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
68
membran timpani, serta terapi obat yang diterima contohnya jenis, rute,
dosis, frekuensi penggunaan, serta efek samping yang muncul.
4.8 Pengolahan dan Analisa Data
Dari data yang diperoleh dilakukan pengolahan dan analisis
data, meliputi:
1. Analisa secara deskriptif antara terapi yang diperoleh dengan
hasil pemeriksaan membran timpani yang diterima oleh pasien
serta disajikan dalam bentuk uraian.
2. Analisa hasil prosentase penggunaan obat meliputi jenis obat,
rute pemakaian, dosis, dan frekuensi pemberian obat. Data
disajikan dalam bentuk uraian, tabel, dan diagram.
3. Analisa kemungkinan adanya DRP meliputi
interaksi obat
yang potensial yang disajikan dalam bentuk uraian dan tabel.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai profil penggunaan obat pada pasien otitis
media akut (OMA) telah dilakukan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo.
Penelitian ini dilakukan pada periode Januari sampai dengan Desember
2015, dan telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan
RSUD
Dr.
Soetomo
dengan
bukti
sertifikat
no.64/Panke.KKE/II/2016 (Lampiran II).
Dari data rekam medik yang telah dikumpulkan dan
direkapitulasi diperoleh pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak
80 pasien. Data tersebut diambil dengan metode total sampling dan
dibatasi oleh waktu (time limited). Sampel yang diambil yaitu semua
pasien dengan diagnosa OMA yang menjalani terapi rawat jalan dengan
penggunaan antibiotika, analgesik, dekongestan, dan antihistamin pada
tahun 2015.
5.1
Data Demografi Pasien
Demografi pasien yang menjalani terapi rawat jalan pada Poli
THT RSUD Dr. Soetomo periode Januari sampai dengan Desember
2015 terdiri dari jenis kelamin dan usia pasien. Pengelompokan usia
pasien berdasarkan WHO tahun 2001 yang ditunjukkan pada gambar 5.2
dengan prosentase pasien terbanyak anak berusia 0-4 tahun. Distribusi
jenis kelamin pada pasien otitis media akut yang melakukan terapi rawat
jalan di Poli THT RSUD Dr. Soetomo ditunjukkan pada gambar 5.1
dengan hasil perempuan lebih banyak terserang OMA dibandingkan
laki-laki.
69
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
70
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Laki-laki
38%
Perempuan
62%
Prosentase pasien
Gambar 5.1 Sebaran Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
30
27
20
20
9
10
18
12
11
1
0
0-4
5-9
10-24
25-39
40-54
55-69
>69
Rentang Usia (tahun)
Gambar 5.2 Sebaran Pasien Berdasarkan Usia
Data demografi lain seperti alamat rumah pasien dan riwayat
pekerjaan tidak tertera pada rekam medis. Terdapat 3 pasien yang
memiliki riwayat mengorek telinga sehingga memicu terjadinya OMA.
5.2
Penggolongan Stadium Otitis Media Akut (OMA)
Pada tabel V.1 menunjukkan penggolongan stadium OMA
pada pasien di Poli THT RSUD Dr. Soetomo berdasarkan data klinis
hasil pemeriksaan telinga. Penggolongan ini didapatkan dari data klinis
hasil pemeriksaan telinga pasien berdasarkan adanya sekret yaitu
stadium perforasi, sedangkan ketika tidak ada sekret dan hanya terjadi
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
71
hiperemi digolongkan stadium kataral. Stadium bombans ditandai
dengan adanya hiperemi dan bombans (supurasi). Stadium resolusi
ditandai dengan telah hilangnya hiperemi dan sekret serta ketika terapi
antibiotika telah dihentikan.
Tabel V.1 Penggolongan Stadium Otitis Media Akut (OMA)
Karakteristik
Jumlah
Prosentase
Keterangan
OMA
(%)
64
80
Terdapat sekret di
Stadium
telinga tengah atau
Perforasi
terlihat perforasi ketika
pemeriksaan otoskopik
7
8
Telinga
tengah
Stadium
mengalami supurasi
Bombans
4
5
MT Hiperemia dan
Stadium Kataral
tidak ada sekret
5
6
Tidak
diketahui**
80
100
Total
Keterangan **= Penggolongan tidak dapat diketahui karena data klinis
yang tersedia kurang lengkap sehingga tidak dapat
memberi kesimpulan stadium OMA.
5.3
Data klinis Pasien Otitis Media Akut (OMA)
Data klinis hasil pemeriksaan pada telinga pasien dengan
diagnosa Otitis Media Akut (OMA) dijelaskan melalui prosentase pasien
dengan karakteristik adanya jenis sekret pada telinga yang terdapat pada
gambar 5.3. Hasil pemeriksaan otoskopik menunjukkan sekret tidak
selalu ditemukan pada pasien. Kondisi lain seperti jenis perforasi
membran timpani, hiperemia, dan serumen terdapat pada tabel V.2.
Beberapa data tidak dapat dianalisa dikarenakan data klinis tidak
tercantum pada Dokumen Medis Kesehatan (DMK).
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
Jenis Sekret
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Mukoid
72
11
Mukopus
56
6
Serous
0
10
20
30
40
Jumlah Pasien (%)
Gambar 5.3 Jenis Sekret pada Pasien OMA
50
60
Tabel V.2 Data Klinis Hasil Pemeriksaan Telinga pada Pasien OMA
Karakteristik
Frekuensi Pasien**
Prosentase (%)
Jenis Perforasi
25
31
Perforasi Sentral
Kecil
8
10
Perforasi Sentral
Besar
2
2
Perforasi Sentral
Total
Kondisi lain
12
15
Hiperemia
7
8
Serumen
9
11
Tidak ada data*
Keterangan * = Data tidak dapat dianalisa karena data klinis pada DMK
tidak lengkap
** = Data Klinis dapat terjadi pada lebih dari satu pasien
Pemeriksaan juga dilakukan pada organ lain seperti hidung dan
tenggorokan karena bakteri penyebab OMA dapat berasal dari kedua
organ tersebut. Hasil pemeriksaan terdapat pada gambar 5.4 dimana data
klinis tersebut dapat terjadi pada lebih dari satu pasien.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
73
Jenis Pemeriksaan
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sekret Serous
(tenggorokan)
2
6
Hiperemia (tenggorokan)
8
Sekret Serous (hidung)
Udema (hidung)
8
11
Hiperemia (hidung)
0
5
10
Jumlah Pasien (%)
15
Gambar 5.4 Hasil Pemeriksaan Hidung dan Tenggorokan pada
Pasien OMA
5.4
Data Keluhan Pasien dengan diagnosa Otitis Media Akut
(OMA)
Pada tabel V.3 ini berisi tentang keluhan telinga dan beberapa
keluhan lain seperti batuk, pilek, dan demam yang dialami oleh pasien
hingga memutuskan untuk periksa ke dokter di Poli THT RSUD Dr.
Soetomo dan mendapatkan terapi terkait obat-obatan OMA.
Tabel V.3 Data Keluhan Pasien terkait Infeksi Telinga OMA
Karakteristik
Frekuensi Prosentase
Keterangan
Keluhan
Pasien
(%)
Telinga mengeluarkan
53
66
Penumpukan cairan
cairan (otorea)
pada telinga tengah
Telinga buntu/pendengaran
19
24
Tidak
seimbangnya
menurun
tekanan pada telinga
tengah
Nyeri telinga (otalgia)
14
17
Tekanan besar pada
telinga tengah
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
74
Tabel V.3 Data Keluhan Pasien terkait Infeksi Telinga OMA (lanjutan)
Karakteristik
Frekuensi
Prosentase
Keterangan
Keluhan
Pasien
(%)
Telinga berdengung
6
7
Penumpukan
sekret di telinga
Telinga
9
11
Terjadi
mengeluarkan cairan
produksi
berbau
bakteri
pada
telinga
Keluhan Lain
Batuk dan Pilek
33
41
Pilek
25
31
Demam
16
20
Keterangan= Setiap pasien dapat mengalami lebih dari satu keluhan
*Dihitung terhadap jumlah total pasien (N= 80)
5.5
Organ Telinga yang Terserang OMA
Pada umunya OMA dapat menyerang kedua organ telinga
(multilateral) atau salah satu telinga (unilateral). Hal ini tergantung pada
kecepatan penyebaran infeksi yang terjadi pada telinga, kecepatan
penyebaran infeksi dapat meningkat dengan adanya penyakit penyerta
(komorbid). Tabel V.4 ini menunjukkan prosentase organ telinga yang
terinfeksi OMA.
Tabel V.4 Organ Telinga Terinfeksi OMA
Karakteristik
Jumlah Pasien
Prosentase (%)
Unilateral
59
74
Bilateral
10
12
Tidak Diketahui***
11
14
80
100
Total
Keterangan *** = Data yang tergolong tidak diketahui merupakan data
yang tidak lengkap pada rekam medis pasien
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5.6
75
Terapi Umum untuk Mengatasi OMA
Terapi untuk OMA terdiri dari obat oral dan tindakan utama.
Tindakan utama untuk terapi OMA adalah parasintesis, tindakan ini
dilakukan terutama untuk OMA stadium kataral dan bombans,
sedangkan untuk terapi tambahan yang sering dilakukan adalah hisap
lendir. Parasintesis merupakan tindakan insisi pada membran timpani
dengan tujuan untuk mengurangi tekanan pada membran timpani.
Obat utama yang digunakan untuk terapi OMA adalah
antibiotika. AAP Guidelines menyatakan beberapa golongan antibiotika
yang sering digunakan seperti penisilin, sefalosporin, dan klindamisin.
Terapi tambahan yang diberikan untuk mengatasi nyeri (otalgia) adalah
golongan NSAID, bila OMA diikuti dengan gejala lain (pada umumnya
flu) maka dapat diberi terapi tambahan dekongestan dan antihistamin.
Tabel V.6 hingga V.9 berisi tentang daftar golongan obat-obatan serta
tindakan yang dilakukan untuk mengatasi OMA. Indikasi obat-obatan
tersebut didapatkan dari pustaka AHFS Drug Information Handbook
serta informasi obat yang diakses dari situs resmi Food and Drug
Associations (FDA).
Golongan Obat
Tabel V.5 Terapi Antibiotika Pasien OMA
Indikasi*
Antibiotika gol.β
Laktam
Amoksisilin
Terapi lini pertama OMA yang sensitif terhadap
bakteri gram positif dan gram negatif
Amoksisilin +
Terapi OMA yang resisten terhadap enzim βAsam
laktamase
klavulanat
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
Frekuensi
Pasien
(%)
10 (12)
5 (6)
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
76
Tabel V.5 Terapi Antibiotika Pasien OMA (lanjutan)
Golongan Obat
Indikasi*
Frekuensi
Pasien
(%)
Antibiotika gol. Sefalosporin
Sefadroksil
Mengatasi infeksi yang diakibatkan
2 (2)
bakteri S.pyogenes (grup A β-hemolitik
streptococci)
Sefpodoksim
Terapi alternatif OMA yang resisten
1 (1)
terhadap amoksisilin dan amoksiklav
Antibiotika gol. Florokuinolon
Ofloksasin Otic Terapi OMA yang diakibatkan bakteri
25 (31)
drop
S.pneumoniae, St.aureus, H.Influenzae,
M.Catarrhalis, dan Ps.aeruginosa
Siprofloksasin
Mengatasi bakteri penyebab OMA
2 (2)
terutama sensitif terhadap Pseudomonas
aeruginosa
Antbiotika gol. Makrolida
Klindamisin
Terapi alternatif OMA untuk bakteri
5 (6)
S.pneumoniae yang alergi terhadap
penisilin
*Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011
Golongan
Obat
Tabel V.6 Terapi Analgesik Pasien OMA
Indikasi*
Asam
mefenamat
Parasetamol
Ibuprofen
Analgesik untuk mengatasi nyeri ringan hingga
sedang pada pasien usia > 14 tahun
Analgesik dan antipiretik
Mengatasi nyeri dan demam pada anak-anak dan
dewasa serta sebagai anti inflamasi
Natrium
Mengatasi nyeri dan demam pada anak-anak dan
diklofenak
dewasa serta sebagai anti inflamasi
*Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
Frekuensi
Pasien
(%)
7 (8)
5 (6)
3 (4)
3 (4)
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Golongan Obat
Tabel V.7 Terapi Dekongestan Pasien OMA
Indikasi*
Oksimetazolin
HCl
Tetes hidung yang bertujuan untuk meringankan
hidung tersumbat karena rhinitis akut atau kronik,
flu, serta alergi saluran pernafasan lain
Pseudoefedrin + Mengatasi gejala alergi pada hidung seperti
Triprolidin
rhinorrhea dan bersin
Pseudoefedrin
Mengatasi hidung tersumbat karena alergi pada
saluran pernafasan atas, menghindari kondisi
(otalgia dan gangguan pendengaran)
*Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011
Golongan Obat
Tabel V.8 Terapi Antihistamin Pasien OMA
Indikasi*
Cetirizine
Mengatasi alergi seperti rhinitis dan urtikaria
CTM
Mengatasi alergi seperti rhinitis dan urtikaria
Loratadin
Mengatasi alergi seperti rhinitis dan urtikaria
*Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011
Golongan Obat
H2O2 3%
Salbutamol
Ambroksol
Vitamin B1, B6,
dan B12
Metil Prednison
Tabel V.9 Terapi Obat Lain Pasien OMA
Indikasi
Tetes telinga yang bertujuan mengeluarkan
serumen pada telinga
Pengobatan dan pencegahan asma
Mengatasi sekresi bronkus abnormal
Mengatasi kekakuan pada otot
Mengatasi alergi yang parah pada rhinitis dan
asma bronkial
*Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
77
Frekuensi
Pasien
(%)
9(11)
2 (2)
1 (1)
Frekuensi
Pasien
(%)
3 (4)
1 (1)
1 (1)
Frekuensi
Pasien
(%)
12 (15)
1 (1)
1 (1)
1 (1)
1 (1)
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Jenis Tindakan
Tabel V.10 Terapi Tindakan Medis Pasien OMA
Indikasi
Hisap lendir
Irigasi telinga
Mengeluarkan serumen pada telinga
Mengeluarkan serumen pada telinga dengan
mengguanakan air
Parasintesis
Mengurangi tekanan pada membran timpani
*Pustaka diambil dari AHFS Drug Information, 2011
5.7
78
Frekuensi
Pasien
(%)
30 (37)
9 (11)
5 (6)
Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien OMA
Antibiotika merupakan terapi utama yang diberikan pada
pasien OMA sesuai dengan AAP Guidelines tahun 2013 dan PDT tahun
2008 yang berlaku di RSUD Dr. Soetomo. Rute pemberian antibiotika
terdiri dari oral dan topikal. Bentuk sediaan oral terdiri dari tablet dan
sirup yang dikaitkan dengan frekuensi penggunaan dan lama terapi
dibandingkan dengan pustaka. Hasil penelitian menunjukkan dari 80
pasien hanya beberapa yang mendapatkan terapi antibiotika. Pasien yang
tidak mendapatkan terapi antibiotika tetap termasuk dalam sampel
penelitian. Hasil tersebut ditunjukkan dalam tabel V.11, sedangkan tabel
V.12 menunjukkan pola terapi antibiotika yang berkaitan dengan hal-hal
tersebut.
Tabel V.11 Pemberian Antibiotika pada Pasien OMA
Pasien yang Mendapat
Pasien yang Tidak Mendapat
Antibiotika (%)
Antibiotika (%)
38 (47%)
42 (53%)
* Dihitung terhadap jumlah total pasien (N= 80)
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
79
Pasien yang tidak mendapatkan antibiotika dapat disebabkan
karena pasien tersebut merupakan rujukan PPK 2 yang masih memiliki
persediaan antibiotika dirumah.
Tabel V.12 Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien OMA
Frekuensi Durasi Frekuensi
Pustaka**
pengguna
terapi
pasien
an
(%)
Amoksisilin 3x 500 mg 5 hari
6 (7)
3x 500 mg sehari
tab
sehari
untuk durasi 5-10
hari
Terapi
Ketera
ngan
+
Amoksisilin
+
asam
klavulanat
tab
3x 625 mg
sehari
5 hari
2 (2)
3x 625 mg sehari
untuk durasi 5-10
hari
+
Sefadroksil
tab
2x 500 mg
sehari
5 hari
1 (1)
2x 500 mg sehari
untuk durasi 7 hari
+
Sefpodoksi
m tab
2x 100 mg
sehari
10 hari
1 (1)
2x 100 mg sehari
untuk durasi 5-10
hari
+
Siprofloksas
in tab
2x500 mg
sehari
2 (2)
2x 500 mg sehari
untuk durasi 10 hari
+
Klindamisin
tab
3x150 mg
sehari
5 hari
dan 7
hari
5 hari
1 (1)
4x 150-300 mg sehari
untuk durasi 10 hari
+
10 hari
5 hari
2 (2)
2 (2)
2x300
sehari
3x300
sehari
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
+
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
80
Tabel V.12 Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien OMA (lanjutan)
Terapi
Frekuensi
Durasi Frekuensi
Pustaka**
Keterangan
penggunaan terapi
pasien
(%)
Amoksisilin
3x 125 mg
7 hari
3 (4)
80-90 mg/kg
+
dry dry syrup cth sehari
7 hari
2 (2)
dalam 2-3
3x 250 mg
dosis terbagi
cth sehari
maksimal 10
hari
Amoksisilin+
40 mg/kg
+
asam
3x 125 mg
7 hari
3 (4)
dalam 2 dosis
klavulanat
atau 3x 250
terbagi untuk
dry syrup
mg cth
durasi 10 hari
sehari
Sefadroksil
3x 125 mg
7 hari
1 (1)
30 mg/kg
+
dry syrup
cth sehari
terbagi dalam
2 dosis untuk
durasi 10 hari
Ofloksasin
3x3 tetes
1 (1)
Anak-anak:
+
otic drop
3x1 tetes
2 (2)
sehari 2 kali
2x5 tetes
1 (1)
3-5 tetes
2x4 tetes
7 hari
1 (1)
Dewasa:
2x3 tetes
3 (4)
sehari 2 kali
2x2 tetes
9 (11)
6-10 tetes
2x1 tetes
3 (4)
1x1 tetes
3 (4)
Keterangan **: Pustaka diambil dari AHFS Drug information,2011.
+ : Frekuensi penggunaan dan durasi terapi obat yang diresepkan
telah sesuai dengan pustaka
- : Frekuensi penggunaan dan durasi terapi obat yang diresepkan
tidak sesuai dengan pustaka
5.8
Pola Penggunaan Obat-obatan Lain pada Pasien OMA
Obat-obatan lain yang digunakan sebagai terapi tambahan pada
pasien OMA diantaranya adalah obat golongan analgesik, dekongestan,
antiseptik, dan antihistamin, selain itu terdapat beberapa obat-obatan
untuk mengatasi komorbid OMA seperti ambroksol, salbutamol, dan
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
81
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
vitamin B kompleks. Tabel V.13 akan menunjukkan terapi tambahan
pada pasien OMA di Poli THT RSUD Dr. Soetomo.
Tabel V.13 Pola Penggunaan Obat lain pada Pasien OMA
Frekuensi
Durasi
Frekuen
Pustaka**
penggunaan
terapi
si pasien
(%)
Analgesik (NSAID)
Parasetamol
3x 500 mg
5 hari
1 (1)
Anak-anak > 2
Terapi
tab
sehari
tahun
3x 250 mg
5 hari
1 (1)
sehari
4 hari
1 (1)
sehari
mg
digunakan sehari
Dosis dewasa: 500
mg
4x 500 mg
5 hari
1 (1)
(racikan)
Parasetamol
3x 125 mg
syrup 125 atau
atau 3x 250
250 mg
mg cth sehari
Asam
3x 500 mg
Mefenamat
sehari
tab
3x 500 mg
SKRIPSI
+
4 kali bila perlu
2x 500 mg
sehari
160
Ketera
ngan
diminum
sehari 4 kali bila
perlu
5 hari
1 (1)
5 hari
5 (6)
3 hari
2 (2)
+
3x1
tab
sehari,
tidak
boleh
digunakan
>
+
1
minggu
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
82
Tabel V.13 Pola Penggunaan Obat lain pada Pasien OMA (lanjutan)
Terapi
Frekuensi
Durasi
Frekuen
Pustaka**
Ketera
penggunaan
terapi
si pasien
ngan
(%)
Ibuprofen
3x 200 mg
2 hari
1 (1)
Anak (6 bulan-12
+
200 mg tab
sehari
tahun): 10 mg/kg
2x 200 mg
5 hari
1 (1)
sehari
setiap
6-8
jam
+
Dewasa: 400 mg
+
bila perlu
Ibuprofen
3x 100 mg
syrup 100
cth sehari
-
1 (1)
setiap
mg
4-6
jam
bila perlu
Na
2x 25 mg
diklofenak
sehari
5 hari
1 (1)
25-50 mg tab (2-3
+
kali sehari). Pada
tab
beberapa pasien
dewasa
Na
3x 50 mg
diklofenak
sehari
5 hari
2 (2)
digunakan dosis
+
awal 100 mg lalu
tab
dilanjutkan
dengan dosis 50
mg
H2O2 3%
SKRIPSI
3x5 tetes
3x3 tetes
3x2 tetes
3x1 tetes
2x5 tetes
2x3 tetes
2x2 tetes
2x1 tetes
1x1 tetes
5 hari
1 (1)
1 (1)
1 (1)
1 (1)
1 (1)
1 (1)
1 (1)
1 (1)
4 (5)
Diteteskan 5-10
tetes dalam 3-5
hari
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
+
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
83
Tabel V.13 Pola Penggunaan Obat lain pada Pasien OMA (lanjutan)
Terapi
Frekuensi
Durasi Frekuen
Pustaka**
Ketera
penggunaan terapi si pasien
ngan
(%)
Oksimetazolin 3x2 tetes
2 (2)
Digunakan 2-3
+
HCl 0,05 %
3x1 tetes
1 (1)
tetes setiap 10-12
nasal spray
2x2 tetes
1 (1)
jam (2 kali sehari)
1x2 tetes
1 (1)
1x1 tetes
2 (2)
Pseudoefedrin 3x 120 mg
4 hari
1 (1)
Dosis dewasa 60
+
tab
sehari
mg, digunakan
setiap 4-6 jam
dalam sehari
(maksimal
penggunaan 7
hari)
Tremenza
(PSE 60 mg+
TPO 2,5 mg)
Tremenza
syrup (tiap 5
ml
mengandung
PSE 30 mg+
TPO 1,25 mg)
Cetirizine tab
SKRIPSI
3x1 tab
7 hari
1 (1)
2x1 cth
5 hari
1 (1)
1x 10 mg
sehari
3x 10 mg
sehari
(racikan)
5 hari
2 (2)
6 hari
1 (1)
Dewasa 60 mg
setiap 4-6 jam
dalam sehari
(maksimal 7
hari).
FDA tidak
mengizinkan PSE
digunakan untuk
anak usia < 1
tahun.
Dosis TPO anak
(4 bulan- < 2
tahun ): 0.313 mg
setiap 4-6 jam.
Dewasa: 2,5 mg
setiap 4-6 jam
(tidak boleh > 10
mg dalam 24 jam)
Anak (2 th- < 6
th): 5 mg
diberikan 1x
sehari. Dewasa: 510 mg 1x sehari
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
+
+
+
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
84
Tabel V.13 Pola Penggunaan Obat lain pada Pasien OMA (lanjutan)
Terapi
Frekuensi
Duras Frekuens
Pustaka**
Keteran
penggunaa
i
i pasien
gan
n
terapi
(%)
CTM tab 3x 4 mg
5 hari
1 (1)
Anak (2- < 6
+
sehari
th): 1mg setiap
4-6 jam dalam
sehari
Loratadi
1x 10 mg
5 hari
1 (1)
Dewasa: 10
+
n tab
sehari
mg 1x dalam
sehari
Keterangan **: Pustaka diambil dari AHFS Drug information, 2011, dan
Buku ajar Kesehatan THT, 2006.
+ : Frekuensi penggunaan dan durasi terapi obat yang
diresepkan telah sesuai dengan pustaka
- : Frekuensi penggunaan dan durasi terapi obat yang
diresepkan tidak sesuai dengan pustaka
5.9
Pola Penggunaan Antibiotika Oral dan Antibiotika Topikal
pada OMA
Menurut AAP Guidelines Terapi untuk mengatasi OMA adalah
pemberian antibiotika tunggal yang diberikan secara per oral, namun
pada hasil penelitian di Poli THT RSUD Dr.Soetomo pada tabel V.14
didapatkan hasil bahwa ada beberapa pasien yang mendapatkan
kombinasi antibiotika oral dan topikal. Pola penggunaan antibiotika
tersebut berkaitan dengan keluhan yang dirasakan pasien serta hasil
pemeriksaan otoskopik pada telinga.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Tabel V.14 Pola Penggunaan Kombinasi
pada Pasien OMA
Jenis
Keluhan dan Usia
Antibiotika
Pasien
Oral dan
Topikal
Siprofloksasin
Nyeri pada telinga.
500mg tab
Usia = 41 tahun
+
Ofloksasin otic
drop 3%
Klindamisin
Telinga kanan
300mg tab
mengeluarkan cairan
+
setelah pilek (sering
Ofloksasin otic terjadi). Usia= 34
drop 3%
tahun
Siprofloksasin
250mg tab
+
Ofloksasin otic
drop 3%
Amoksisilin
500mg kap
+
Ofloksasin otic
drop 3%
Sefadroksil
500mg kap
+
Ofloksasin otic
drop 3%
Sefpodoksim
100mg kap
+
Ofloksasin otic
drop 3%
SKRIPSI
Telinga kanan
mengeluarkan
cairan. Riwayat
operasi telinga 4
tahun sebelumnya.
Usia= 53 tahun
Telinga kiri
berdengung.
Riwayat otorea saat
anak-anak. Usia= 5
tahun
Telinga kanan
mengeluarkan
cairan, berdengung,
disertai pilek. Usia=
65 tahun
Nyeri pada telinga
kanan. Usia= 48
tahun
85
Antibiotika Oral dan Topikal
Hasil
Pemeriksaan
Otoskopik
Frekuensi
Pasien
(%)
Kontrol
post
insersi grommet
1 (1)
Terdapat sekret
mukopurulen
pada
telinga
kanan.
OMA stadium
perforasi
Sekret minimal
namun
telah
terjadi perforasi
sentral kecil
OMA stadium
perforasi
Terdapat sekret
mukopus dan
perforasi sentral
kecil
pada
telinga kiri
OMA stadium
perforasi
Terdapat sekret
mukopus dan
perforasi sentral
kecil
pada
telinga kanan
Terdapat sekret
mukopus pada
telinga kanan
1 (1)
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
1 (1)
1 (1)
1 (1)
1 (1)
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
86
Tabel V.14 Pola Penggunaan Kombinasi Antibiotika Oral dan Topikal
pada Pasien OMA (lanjutan)
Jenis
Keluhan dan Usia Hasil Pemeriksaan Frekuensi
Antibiotika Oral
Pasien
Otoskopik
Pasien
dan Topikal
(%)
Siprofloksasin
Telinga kiri
Terdapat
sekret
1 (1)
500mg tab
mengeluarkan
mukopus
pada
+
cairan berbau.
telinga kiri.
Ofloksasin otic Usia= 63 tahun
OMA
stadium
drop 3%
perforasi
Amoksisilin dry Nyeri hidung
Terdapat perforasi
1 (1)
syrup
sebelah kanan.
sentral kecil ada
+
Usia=7 tahun
telinga kanan.
Ofloksasin otic
OMA
stadium
drop 3%
perforasi
Klindamisin
Telinga kanan
Terdapat
sekret
1 (1)
150mg tab
mengeluarkan
mukoid
dan
+
cairan putih dan
perforasi
pada
Ofloksasin otic kental, telinga
telinga kanan.
drop 3%
buntu dan
OMA
stadium
berdenging.Riwayat perforasi
otorea 1 bulan lalu.
Usia= 46 tahun
Amoksisilin
Kontrol nyeri
Terdapat sekret
1 (1)
500mg kap
telinga kanan.
mukopus pada
+
Usia= 17 tahun
telinga kanan.
Ofloksasin otic
OMA stadium
drop 3%
perforasi
Amoksisilin dan Telinga kiri
Terdapat sekret
1 (1)
asam klavulanat mengeluarkan
mukoid pada kedua
dry syrup
cairan (batuk dan
telinga.
+
pilek sebelumnya),
OMA stadium
Ofloksasin otic disertai demam.
perforasi
drop 3%
Usia= 4 tahun
Amoksisilin dan Telinga kanan
MT peforasi.
1 (1)
asam klavulanat mengeluarkan
OMA stadium
dry syrup
cairan. Usia= 2
perforasi
+
tahun
Ofloksasin otic
drop 3%
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Selain penggunaan kombinasi
87
antibiotika terdapat pola
pergantian antibiotika pada salah satu pasien yang menjalani terapi
rawat jalan di Poli THT RSUD Dr.Soetomo yang ditunjukkan pada tabel
V.15.
Tabel V.15 Pola Pergantian Antibiotika pada Pasien OMA
Kunjungan
Kunjungan
Alasan Pergantian
Frekuensi
Pertama
Selanjutnya
Pasien
(30/01/15)
(13/07/15)
(%)
Sefadroksil
Amoksisilin
Selisih waktu kontrol
1 (1)
500mg
500mg
panjang sehingga
ketika diagnosa OMA
yang kedua kembali
dipilih antibiotika lini
pertama yaitu
amoksisilin
5.10
Angka Kekambuhan OMA
Pasien dengan diagnosa OMA yang menjalani terapi rawat
jalan pada Poli THT RSUD Dr. Soetomo pada umumnya hanya
melakukan satu kali terapi (tidak kembali untuk kontrol), namun ada
beberapa pasien yang melakukan kontrol kembali ke Poli THT dan
mendapatkan diagnosa OMA lagi, dan pada beberapa pasien OMA
berkembang menjadi OMSK tubotimpani. Kegagalan terapi antibiotika
karena ketidakpatuhan pasien merupakan penyebab terjadinya hal
tersebut. Tabel V.16 menjelaskan tentang jumlah pasien yang
mengalami
kekambuhan
OMA
serta
pasien
yang
mengalami
perkembangan diagnosa dari OMA menjadi OMSK. Tabel V.17 akan
menjelaskan tentang perkembangan kondisi pasien OMA yang telah
mendapat terapi.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
88
Tabel V.16 Perkembangan Pasien OMA
Pasien Selama Terapi
Jumlah Pasien
Prosentase (%)
Tetap OMA
67
84
Mengalami OMA
1
1
> 1 kali**`
OMA menjadi OMSK
2
2
tubotimpani
OMSK dari awal
10
12
Total
80
100
Keterangan= Pasien yang mengalami kekambuhan OMA serta yang
mengalami perkembangan diagnosis menjadi OMSK
adalah pasien yang kunjungan nya > 1 kali
Kunjungan
Pertama
Tabel V.17 Perkembangan Kondisi Pasien OMA
Jenis Antibiotika
Frekuensi dan
Kunjungan
atau Obat Lain yang Durasi Penggunaan
Selanjutnya
Diterima
19/01/15
diagnosa
OMA
Hisap lendir
-
18/03/15
diagnosa OMA
23/02/15
diagnosa
OMA
Ofloksasin otic drop
Klindamisin 150mg
tab
2x2 tetes sehari
3x1 tab sehari
13/03/15
diagnosa OMSK
Tubotimpani
19/01/15
diagnosa
OMA
Hisap lendir
-
20/03/15
diagnosa OMSK
Tubotimpani
5.11
Problema Obat
Terapi yang digunakan pada kasus OMA berdasarkan AAFP
Guidelines yaitu antibiotika tunggal, namun pada beberapa pasien
ditemukan terapi antibiotika yang dikombinasi dengan terapi lain seperti
obat golongan analgesik, dekongestan, antihistamin, dll sehingga dapat
menimbulkan DRP berupa interaksi obat. Tabel V.18 menjelaskan
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
89
tentang berbagai interaksi obat potensial yang dapat terjadi pada antar
obat yang digunakan pada terapi OMA.
Obat
Siprofloksa
sin dan
kafein
Tabel V.18 Interaksi Obat yang terjadi pada OMA
Interaksi
Saran
Jumlah
Penyelesaian
Pasien (%)
Kebermakna
an Interaksi
Meningkatkan
konsentrasi
kafein
Selama terapi
2 (2)
Ringan
siprofloksasin,
dilakukan
pembatasan
konsumsi kafein
(dari makanan dan
obat)
Siprofloksa Menimbulkan Penggunaan secara
1 (1)
Signifikan
sin+
bahaya
bersamaan harus
diklofenak
potensial
dimonitor secara
ketat
Keterangan: Pustaka Interaksi Obat diambil dari AHFS Drug Information
Handbook, 2011 dan Drug Interaction Facts, 2009.
Selain interaksi dengan antar obat potensial, obat juga dapat
berinteraksi dengan makanan yang dijelaskan dalam tabel V.19
Tabel V.19 Interaksi Obat-makanan yang terjadi pada OMA
Interaksi
Saran
Jumlah
Kebermakna
Penyelesaian
Pasien
an Interaksi
(%)
Siprofloks
Makanan
Memberi interval
2 (2)
Sedang
asin +
menurunkan
waktu antara
makanan
absorbsi
konsumsi
Siprofloksasin siprofloksasin dan
susu
Keterangan: Pustaka Interaksi Obat diambil dari AHFS Drug Information
Handbook, 2011 dan Drug Interaction Facts, 2009.
Obat
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5.12
90
Outcome Terapi OMA
Tujuan terapi yang diinginkan pada OMA adalah mengatasi
gejala klinis dan menghindari terjadinya kekambuhan serta komplikasi
OMA. Umumnya terapi OMA merupakan terapi rawat jalan dengan satu
kali kunjungan pasien dapat sembuh bila pasien memiliki kepatuhan
yang tinggi. Gambar 5.5 menunjukkan outcome terapi yang dicapai di
Poli THT RSUD Dr.Soetomo selama pasien menjalani terapi rawat
jalan.
Pasien OMA Pasien OMA
menjadi
yang
OMSK; 2 kambuh; 1
Pasien OMA
84
Gambar 5.5 Prosentase Outcome Terapi Pasien OMA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian profil penggunaan obat pada pasien OMA bertujuan
untuk memberikan gambaran tentang pola obat-obatan yang digunakan
berkaitan dengan jenis obat, frekuensi penggunaan, durasi terapi, serta
problema obat sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan
pertimbangan bagi instansi dalam mencegah atau mengatasi masalah
terkait terapi OMA.
Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
terhadap pasien yang menjalani rawat jalan di poli THT dengan
diagnosa Otitis Media Akut (OMA) periode Januari sampai dengan
Desember 2015. Sampel yang didapatkan sesuai dengan kriteria inklusi
sebanyak 80 pasien yang diambil dengan menggunakan metode total
sampling. Data diambil dari rekam medis elektronik pasien. Dari hasil
penelitian didapatkan data demografi pasien yang terdiri dari jenis
kelamin dan sebaran usia pasien yang mengalami OMA. Distribusi
pasien OMA berdasarkan gambar 5.1 menunjukkan prosentase
perempuan (62%) lebih banyak daripada laki-laki (38%). Menurut
penelitian yang dilakukan di lima negara yaitu Jerman, Italia, Spanyol,
Swedia, dan UK perbandingan antara pasien laki-laki dan pasien
perempuan yang mengalami OMA seimbang dengan rasio 1:1,
sedangkan pada penelitian yang dilakukan di India menyatakan
perbandingan antara pasien laki-laki dan perempuan 1.4:1 (Kumari et
al., 2016; Liese et al., 2014). Penelitian yang dilakukan di Indonesia
menunjukkan pasien OMA sedikit lebih didominasi laki-laki dibanding
perempuan (Munilson et al., 2012). Dari beberapa penelitian tersebut
91
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
92
dapat diketahui bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap
banyaknya pasien OMA.
Distribusi usia pada pasien OMA yang dikelompokkan
berdasarkan WHO (2001) terdapat pada gambar 5.2. Dari hasil
penelitian diperoleh prosentase tertinggi terjadi pada anak usia 0-4 tahun
(27 %) dibandingkan dengan usia lain antara 5-9 tahun. Penelitian yang
dilakukan oleh Hoberman dan Munilson menyatakan sebaran usia
pasien yang mengalami OMA 70% dialami oleh anak-anak sebelum usia
3 tahun, dan paling rentan terjadi pada anak usia 6-11 bulan (Hoberman
et al., 2011; Munilson et al., 2012). Hal tersebut dikarenakan struktur
tulang pada saluran eustasius yang belum bisa membuka secara
sempurna dan dapat menimbulkan tekanan negatif yang mengakibatkan
OMA (Bealy, 2003 ; Elmanama et al., 2014). Saluran eustasius pada
anak lebih pendek daripada orang dewasa sehingga lebih mudah terjadi
infiltrasi kuman patogen (Elmanama et al., 2014), selain itu kurangnya
sekresi IgA pada anak merupakan faktor imunologi penyebab OMA
(Rovers et al., 2004). Prosentase terbesar kedua terjadi pada usia 25-39
tahun. Hal ini dikarenakan riwayat ISPA yang menyerang pasien
terlebih dahulu.
OMA merupakan infeksi yang menyerang telinga tengah
melalui jalur utamanya yaitu saluran eustasius biasanya disertai
pembentukan sekret purulen (Bull, 2002; Scott, 2007; Sinha et al.,
2012). Berdasarkan durasi penyakit OMA terjadi secara cepat dan
singkat (Houten, 2011). Penyebab utama OMA berasal dari bakteri dan
virus. Bakteri yang sering menyebabkan OMA adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus Influenzae, Moraxella catarrhalis, dan
Staphylococcus aureus, sedangkan virus yang dapat menyebabkan OMA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
93
diantaranya human enterovirus (HEV) (Daleno et al., 2013; Snow et al.,
2003).
Berdasarkan tabel V.1 penggolongan OMA dikategorikan
menjadi tiga stadium diantaranya stadium perforasi (81%), stadium
bombans (7%), dan stadium kataral (6%). Herawati dan Rukmini
membagi OMA menjadi empat stadium diantaranya stadium kataral,
stadium supurasi atau bombans, stadium perforasi, dan stadium resolusi
(Herawati dan Rukmini, 2003). Stadium tersebut ditentukan berdasarkan
kondisi membran timpani pasien meliputi adanya hiperemia, sekret dan
perforasi. Pada stadium kataral dan supurasi (bombans) belum
ditemukan adanya sekret karena sekret akan nampak ketika perforasi
terjadi. Stadium kataral merupakan awal dari terjadinya gangguan pada
saluran eustasius (Herawati dan Rukmini, 2003; Munilson et al., 2012).
Penyebab dari stadium ini adalah pelebaran pembuluh darah pada
membran timpani sehingga akan tampak udem dan hiperemia oleh
karena itu pada pemeriksaan otoskopik akan nampak hiperemia pada
mebran timpani, sedangkan pada stadium supurasi (bombans) terjadi
udema dan hancurnya sel epitel superfisial yang mengakibatkan
timbulnya nyeri yang semakin parah pada pasien OMA (Munilson et al.,
2012). Dalam hasil penelitian stadium bombans ditandai dengan adanya
keterangan bombans pada rekam medis pasien yang menandakan pasien
telah mengalami supurasi atau pembentukan sekret mukopurulen yang
membuat membran timpani tampak menonjol ke arah liang telinga luar.
Stadium perforasi merupakan stadium yang paling sering
terjadi di Poli THT (81%) disebabkan oleh kumpulan mukopus pada
kavum timpani sehingga mengakibatkan terjadinya tekanan tinggi
(Herawati dan Rukmini, 2003). Stadium perforasi ditandai dengan
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
94
kondisi membran timpani mengeluarkan sekret atau terjadi perforasi
pada membran timpani. Sekret yang dikeluarkan dapat berupa sekret
mukopus yang memiliki tekstur kental dan warna kuning (55%), sekret
mukoid yang memiliki tekstur kental dan warna putih (11%), dan sekret
serous
dengan tekstur encer dan berwarna putih(6%) seperti yang
tertera pada gambar 5.3. Bahaya dari stadium ini bila dibandingkan
dengan stadium lain adalah sekret yang dihasilkan mengandung pus
(nanah) serta dapat menyebabkan OMA berkembang menjadi OMSK
(Bluestone, 2001), selain itu pus (nanah) merupakan tanda terjadinya
pertumbuhan bakteri. Pus yang berwarna kuning menandakan adanya
bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumoniae. Pus yang berwarna hijau kebiruan menandakan adanya
Pseudomonas aeruginosa, selain itu bila sekret mengeluarkan bau busuk
menandakan adanya bakteri anaerob. Hasil pemeriksaan klinis pada
pasien OMA menunjukkan adanya sekret mukopus atau mukopurulen
yang hanya mendapatkan tindakan medis seperti hisap lendir dan irigasi
telinga, seharusnya pada kondisi ini pemberian antibiotika yang tepat
sangat diperlukan seperti yang dijelaskan pada tabel V.5. Stadium akhir
pada OMA adalah stadium resolusi yang ditandai dengan telah
hilangnya hiperemia serta sekret di membran timpani pada hasil
pemeriksaan otoskopik. Lubang perforasi masih nampak namun gejalagejala yang menyertai OMA seperti otalgia dan otore telah hilang
(Herawati dan Rukmini, 2003). Stadium resolusi pada hasil penelitian
tidak dapat ditentukan karena data klinis yang tertulis pada rekam medis
pasien tidak ada, selain itu pasien yang telah mengalami perbaikan
kondisi jarang melakukan kontrol ke Poli THT RSUD Dr. Soetomo.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
95
OMA ditandai dengan beberapa gejala seperti nyeri pada
telinga (otalgia), pengeluaran cairan dari telinga (otore), insomnia,
pendengaran menurun, serta kadang disertai demam (Rettig and Tunkel,
2014). Otore terjadi karena adanya tekanan negatif yang menyebabkan
akumulasi cairan di telinga tengah, sedangkan otalgia terjadi akibat
adanya tekanan kuat pada ruang telinga tengah. Nyeri yang ditimbulkan
dapat mengganggu aktifitas pasien dan pada beberapa kasus dapat
menyebabkan insomnia (Ludman and Bradley, 2007). Penurunan
pendengaran dapat disebabkan karena inflamasi akibat bakteri atau virus
yang terjebak di telinga tengah (Thornton et al., 2011). Berdasarkan
hasil penelitian yang terdapat pada tabel V.3 diketahui bahwa mayoritas
pasien OMA mengeluhkan telinganya mengeluarkan cairan (65%),
terjadi penurunan pendengaran (23%), otalgia (17%), dan beberapa
keluhan lain seperti batuk dan pilek (41%), pilek (31%), serta demam
(20%). Setiap pasien dapat mengalami lebih dari satu keluhan yang
dapat dikaitkan dengan data klinis dari hasil pemeriksaan diantaranya
jenis perforasi, adanya hiperemia, dan serumen yang dapat dilihat pada
gambar tabel V.2.
Jenis perforasi yang terjadi mayoritas sentral kecil (31%),
sentral besar (7%), dan sentral total (2%) seperti yang tercantum pada
tabel V.3. Kondisi lain yang terjadi diantaranya hiperemia (17%), dan
serumen (8%). Pilek dan demam yang menyertai OMA dikaitkan
dengan hasil pemeriksaan hidung dan tenggorokan pada gambar 5.4
yang menunjukkan terjadi hiperemia di hidung (11%), udema (9%), dan
sekret serous (9%), sedangkan pada tenggorokan terjadi hiperemia (6%),
serta adanya sekret (2%). Terjadinya batuk dan pilek yang menyertai
OMA memiliki keterkaitan dengan patogenesis OMA yaitu gangguan
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
96
yang terjadi pada saluran eustasius dan menyebabkan infiltasi kuman
patogen pada telinga tengah dapat menyebar menuju nasofaring dan
tenggorokan. Demam dapat terjadi ketika invasi kuman menuju sistemik
yang menghasilkan pelepasan endogen pirogen seperti Interleukin-1β
(IL-1β) yang menstimulasi sel endotel pembuluh untuk memproduksi
PGE2. Neuron didalam POAH akan membentuk reseptor yang berikatan
dengan PGE2 dan menghasilkan peningkatan suhu tubuh. Golongan
NSAID seperti parasetamol, ibuprofen, dan asam mefenamat memiliki
mekanisme aksi antipiretik dengan cara menekan inflamasi pada bagian
perifer jaringan dan pusat pengaturan suhu tubuh di sistem syaraf pusat
sehingga dapat menurunkan suhu tubuh (AAP Guidelines, 2013;
Aronoff and Neilson, 2001; Cunningham et al., 2012). Pasien yang
mengalami OMA di poli THT terjadi pada satu telinga (73%) maupun
keduanya (bilateral) (12%). Penelitian yang dilakukan di India
menyatakan OMA dapat menyebabkan kemampuan pendengaran
menjadi < 40 dB (Kumari et al., 2016) sehingga bila OMA terjadi pada
kedua telinga resiko penurunan pendengaran yang terjadi akan semakin
meningkat.
Tujuan dari terapi OMA adalah mengeradikasi kuman patogen
penyebab OMA dari telinga tengah (Takei et al., 2013), mengurangi
atau menyembuhkan tanda dan gejala OMA dalam waktu 11-14 hari
setelah diberi terapi. Terapi digolongkan gagal jika tanda dan gejala
OMA tidak berkurang
setelah pemberian
antibiotika
sehingga
dibutuhkan antibiotika tambahan (Casey et al., 2012). Tabel V.6 hingga
tabel V.9 berisi tentang terapi umum yang digunakan untuk mengatasi
OMA terdiri dari antibiotika, analgesik, dekongestan, antihistamin, dan
beberapa obat lain yang terkait dengan keluhan pasien.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
97
Antibiotika merupakan terapi utama yang diberikan pada
pasien OMA menurut AAP Guidelines untuk semua stadium kecuali
pada stadium resolusi. Pertimbangan antibiotika yang dipilih adalah
berdasakan kemampuannya dalam penetrasi hingga menuju telinga
tengah. Salah satu kuman penyebab OMA yaitu Nontypeable
Haemophilus influenzae (NTHi) dapat membentuk biofilm. Biofilm
merupakan sekelompok bakteri yang melekat pada mukus atau mukosa
telinga tengah, dikelilingi oleh matriks eksopolisakarida dan untuk dapat
mengeradikasi bakteri tersebut dibutuhkan antibiotika dengan tingkat
MIC yang lebih tinggi dibandingkan tingkat MIC pada umumnya, selain
itu antibiotika harus memiliki kemampuan minimal untuk dapat
menghambat bakteri biofilm atau yang biasa disebut Minimum Biofilm
Eradicating Concentrations (MBEC) (Beldfield et al., 2015). Penelitian
ini dilakukan di poli THT RSUD Dr. Soetomo oleh karena itu rute
antibiotika yang dipilih adalah per oral. Antibiotika dengan rute topikal
lebih dipilih ketika membran timpani mengalami perforasi karena
konsentrasi yang dicapai pada telinga tengah akan lebih tinggi pada
pemakain oral (Beldfield et al., 2015). Beberapa antibiotika yang dapat
digunakan adalah golongan beta laktam, aminoglikosida, makrolida,
serta florokuinolon sebagai pilihan antibiotika topikal. Aminoglikosida
dapat digunakan sebagai alternatif antibiotika topikal, namun pada
penelitian yang dilakukan oleh Chee et al membuktikan bahwa efek
ototoksik nya leih tinggi dibandingkan florokuinolon sehingga akan
lebih membahayakan digunakan terutama pada anak-anak sebagai
mayoritas pasien OMA (Chee et al., 2016; Salt and Plontke, 2005).
Golongan beta laktam dipilih karena merupakan antibiotika spektrum
luas
SKRIPSI
yang
dapat
mengeradikasi
bakteri
gram
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
positif
seperti
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
98
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae serta gram
negatif Haemophilus Influenzae dan Moraxella catarrahlis, sedangkan
golongan makrolida yang digunakan yaitu klindamisin dipilih sebagai
terapi alternatif untuk pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap beta
laktam (McEvoy, 2011). Hasil penelitian menunjukkan dari 80 pasien
hanya beberapa yang mendapatkan terapi antibiotika. Pasien yang tidak
mendapatkan terapi antibiotika (53%) tetap termasuk dalam sampel
penelitian. Hasil tersebut ditunjukkan dalam tabel V.11. Pasien yang
tidak mendapatkan antibiotika dapat disebabkan karena pasien tersebut
merupakan rujukan PPK 2 yang masih memiliki persediaan antibiotika
dirumah
Berdasarkan parameter farmakodinamika antibiotika dibagi
menjadi tiga kelompok. Kelompok yang pertama adalah time dependent
bactericidal action. Kelompok ini tidak tergantung pada konsentrasi
antibiotika yang tinggi. Konsentrasi dari antibiotika harus tetap berada
diatas MIC agar tidak terjadi pertumbuhan bakteri sehingga agar tetap
efektif
diperlukan
durasi
paparan
antibiotika
yang
maksimal.
Amoksisilin, amoksiklav, sefadroksil, dan sefpodoksim termasuk dalam
kelompok ini (Connors et al., 2013; Levison and Levison, 2009).
Kelompok kedua adalah concentration dependent bactericidal action
and prolonged persistent effects dimana pada konsentrasi yang tinggi
akan lebih efektif membunuh bakteri sehingga konsentrasi puncak dan
AUC merupakan parameter farmakokinetika
yang berpengaruh.
Florokuinolon merupakan contoh dari kelompok ini (Connors et al.,
2013). Kelompok ketiga adalah time dependent bactericidal action and
prolonged persistent effects dimana kelompok ini sama dengan
kelompok pertama namun memiliki efek persisten yang lebih panjang.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
99
Parameter yang berpengaruh adalah AUC. Klindamisin termasuk dalam
kelompok ini (Connors et al., 2013).
. Tabel V.5 menunjukkan antibiotika yang diresepkan untuk
pasien OMA pada penelitian ini adalah golongan β laktam yang terdiri
dari amoksisilin (12%) dan amoksiklav (6%), golongan sefalosporin
yang terdiri dari sefadroksil (2%) dan sefpodoksim (1%), golongan
kuinolon terdiri dari ofloksasin otic drop (30%), ofloksasin tablet (2%),
dan siprofloksasin (2%), serta golongan makrolida yaitu klindamisin
(6%). Tabel V.12 menunjukkan jenis antibiotika yang diresepkan
beserta dosis penggunaan, frekuensi pemakaian, dan lama terapi.
Umumnya terapi OMA dilakukan selama 14 hari (Casey et al., 2012).
Amoksisilin merupakan antibiotika dengan rute per oral yang
paling banyak diresepkan (12%) dengan mekanisme kerja menghambat
perjalanan transpeptidase dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel
bakteri. Penelitian yang dilakukan di Jepang juga menunjukkan bahwa
amoksisilin merupakan terapi lini pertama untuk mengatasi OMA sesuai
dengan guideline yang dikeluarkan oleh AAP (AAP Guidelines; Takei et
al., 2013). Bentuk sediaan yang digunakan di Poli THT adalah sirup
kering dan kaplet masing-masing dengan dosis 125 mg/5ml dan 500 mg.
Amoksisilin mudah terabsorbsi pada GIT dan stabil pada PH lambung.
Waktu paruh amoksisilin 1-1.4 jam. Penggunaan amoksisilin pada anak
usia < 3 bulan hanya digunakan pada dosis 30 mg/kg terbagi dalam dua
dosis dalam sehari karena fungsi ginjal yang belum sempurna sehingga
dapat menyebabkan ekskresi obat tidak baik (FDA, 2003). Dosis yang
digunakan untuk dewasa 250-500 mg digunakan tiga kali dalam sehari,
sedangkan dosis khusus untuk anak dengan OMA 85-90 mg/kg terbagi
dalam dua dosis dalam sehari (McEvoy, 2011). Hasil penelitian
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
100
menunjukkan dosis amoksisilin yang digunakan telah sesuai seperti pada
tabel V.12. Antibiotika amoksiklav memiliki mekanisme aksi yang sama
dengan amoksisilin hanya saja pada antibiotika tersebut terdapat
senyawa asam klavulanat yang mencegah degradasi enzim β laktamase
dari β lactam bakteri (Siswandono, 2000). Dosis yang digunakan untuk
anak dengan sediaan suspensi 125 mg/5 ml atau 250 mg/5ml
(mengandung 500 mg) dua kali dalam sehari selama 10 hari, sedangkan
untuk dewasa 500 mg dua kali dalam sehari atau 250 mg tiga kali dalam
sehari (McEvoy, 2011). Bentuk sediaan yang digunakan pada poli THT
adalah kaplet dengan dosis 625 mg (500 mg amoksisilin + 125 mg asam
klavulanat) yang digunakan tiga kali dalam sehari selama lima hari dan
sirup kering dengan dosis 125 atau 250 mg tiga kali dalam sehari selama
tujuh hari. Dosis tersebut telah sesuai dengan dosis yang tercantum di
pustaka, namun frekuensi penggunaan amoksisilin dan asam klavulanat
pada pustaka hanya dua kali dalam sehari. Amoksisilin dan asam
klavulanat dapat diabsorbsi dengan baik dengan t1/2 1-1,4 jam untuk
amoksisilin serta 1,2 jam untuk asam klavulanat (McEvoy, 2011). Pada
pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap beta laktam antibiotika
yang dipilih adalah klindamisin. Mekanisme kerja klindamisin mengikat
ribosom subunit 50s secara reversible dengan cara membentuk
kompleks inisiasi dan reaksi aminoasil translokasi serta menghindari
pembentukan ikatan peptida. Klindamisin efektif melawan bakteri gram
positif seperti Staphylococcus aureua dan Streptococcus pneumoniae,
dan bakteri anaerob (FDA, 2003). t1/2 klindamisin sekitar 2-3 jam untuk
anak-anak dan dewasa dengan fungsi hati normal (McEvoy, 2011).
Klindamisin bersifat bakterisid. Dosis untuk dewasa 150-300 mg
digunakan 3-4 kali dalam sehari selama 10 hari, dalam hal ini terdapat
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
101
ketidaksesuaian frekuensi penggunaan klindamisin dengan pustaka yaitu
digunakan dua kali sehari.
Golongan sefalosporin yang paling banyak diresepkan untuk
mengatasi OMA adalah generasi kedua dan ketiga sebesar 96%
(McGrath et al., 2013). Sefalosporin memiliki aktivitas antibakteri yang
lebih kuat dibandingkan golongan penisilin karena memiliki gugus
pendorong elektron oleh karena itu antibiotika ini digunakan sebagai
terapi lini kedua ketika pasien tidak mengalami perbaikan kondisi ketika
diberi terapi amoksisilin. Semakin tinggi generasi dari sefalosoporin
kemampuan untuk membunuh bakteri gram negatif semakin meningkat
(Siswandono, 2000).
Mekanisme
kerja dari sefadroksil
adalah
menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikataan satu atau
lebih ikatan protein-penisilin (McEvoy, 2011). Sefadroksil dan
sefpodoksim merupakan antibiotika golongan sefalosporin yang
diresepkan di Poli THT dengan masing-masing dosis 500 mg untuk
sefadroksil yang digunakan dua kali dalam sehari selama lima hari,
sedangkan untuk anak diberikan sefadroksil sirup kering yang diminum
tiga kali dalam sehari. Kedua dosis tersebut telah sesuai dengan pustaka
yaitu untuk anak 30 mg/kg diberikan dalam dua dosis terbagi, sedangkan
untuk dewasa 1g diberikan dua kali dalam sehari (McEvoy, 2011). Dosis
yang diberikan untuk sefpodoksim adalah 100 mg digunakan dua kali
dalam sehari selama 10 hari. Dosis tersebut telah sesuai menurut pustaka
yaitu 100 mg diberikan dua kali dalam sehari selama 10 hari (FDA,
2003). Sefadroksil dapat diabsorbsi dengan baik. Waktu paruh
sefadroksil lebih singkat (1,3-1,6 jam) bila dibandingkan dengan waktu
paruh sefpodoksim (2,1-3,3 jam). Konsentrasi plasma puncak dari
sefadroksil dicapai 1 jam lebih singkat dibandingkan dengan konsentrasi
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
102
plasma puncak sefpodoksim yaitu 2-3 jam setelah pemberian secara
oral (Siswandono, 2000).
Siprofloksasin
merupakan
golongan
kuinolon
dengan
mekanisme menghambat enzim topoisomerase II dan topoisomerase IV
yang dibutuhkan oleh DNA bakteri untuk bereplikasi (FDA, 2003).
Konsentrasi serum puncak dicapai 1-2 jam setelah pemberian oral
dengan t1/2 3-7 jam (McEvoy, 2011). Dari hasil penelitian diketahui
dosisi yang digunakan 500 mg diberikan dua kali dalam sehari selama 57 hari. Dosis siprofloksasin di pustaka adalah 500 mg diberikan dalam
dua kali sehari (McEvoy, 2011), sehingga dalam hal ini dosis yang
digunakan di poli THT telah sesuai dengan dosis yang tertera di pustaka.
Ofloksasin otic drop dengan rute topikal terpilih menjadi
antibiotika terbanyak yang diresepkan untuk pasien OMA di poli THT
RSUD Dr.Soetomo (30%). Keunggulan antibiotika topikal adalah dalam
segi efektivitas adalah lebih cepat berpenetrasi dan menuju target organ
dengan cara obat akan menembus membran paling luar dari koklea dan
menuju membran timpani, selain itu efek samping yang dihasilkan lebih
sedikit daripada antibiotika yang digunakan per oral (Salt and Plontke,
2005). Ofloksasin otic drop juga mampu mencapai konsentrasi yang
tinggi pada telinga yang mengalami otore (FDA, 2003). Ofloksasin
merupakan antibiotika golongan kuinolon spektrum luas yang sensitif
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif yang menghambat DNA
girase. Konsentrasi ofloksasin otic drop yang digunakan di poli THT
adalah 0,3% (3 mg/ml). Dari aspek farmakokinetika ofloksasin otic drop
mencapai konsentrasi maksimum serum 10 ng/ml setiap pemberian
ofloksasin 0,3% pada orang dewasa dengan kondisi perforasi pada
membran timpani. Penggunaan ofloksasin otic drop yang berlebihan
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
103
dapat menyebabkan pertumbuhan jamur, sehingga penggunaannya harus
dimonitor. Jika pasien tidak mengalami perbaikan kondisi dalam`2
seminggu atau otore yang terjadi 2 kali dalam durasi 6 bulan maka dapat
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (FDA, 2003). Dosis penggunaan
ofloksasin untuk anak adalah 5 tetes digunakan hingga 10 hari dan dosis
dewasa yang digunakan 10 tetes digunakan hingga 14 hari, masingmasing penggunaannya 2 kali dalam sehari (FDA, 2003). Dosis yang
digunakan pada pasien poli THT bervariasi dengan jumlah terbanyak
2x2 tetes dalam sehari dengan durasi penggunaan 7 hari (11%). Dosis
yang digunakan pada anak dan dewasa dinyatakan telah sesuai dengan
pustaka tergantung pada banyaknya pus serta serous di telinga tengah.
Cara penggunaan tetes telinga ofloksasin dengan terlebih dahulu
memegang botol dengan kedua tangan selama 1-2 menit lalu
meneteskannya pada telinga pasien dalam posisi pasien berbaring dan
telinga menghadap keatas, tekan tragus 4 kali untuk membantu penetrasi
obat kedalam telinga tengah, pertahankan posisi berbaring selama 5 lima
menit, dan terakhir lakukan hal yang sama pada telinga lain (FDA,
2003).
Selain antibiotika tunggal, beberapa pasien mendapatkan
kombinasi terapi antibiotika oral dan topikal sesua dengan yang tertera
pada tabel V.14. Mayoritas pasien yang mendapatkan kombinasi
antibiotika adalah orang dewasa yang pada pemeriksaan otoskopik telah
nampak sekret mukopus disertai perforasi. Kombinasi antibiotika
diberikan untuk menghindari komplikasi dan kekambuhan yang terjadi
bila digunakan antibiotika tunggal per oral. Selain kombinasi, terdapat
pola perubahan antibiotika yang diresepkan pada satu pasien yang
terdapat pada tabel V.15. Pasien yang sebelumnya menerima antibiotika
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
104
sefadroksil, satu bulan kemudian ketika pasien tersebut kontrol pasien
mendapatkan antibiotika amoksisilin. Hal tersebut dapat disebabkan
interval waktu yang cukup lebar memungkinkan kondisi pasien
sebelumnya telah sembuh dengan penggunaan sefadroksil sehingga satu
bulan setelahnya pasien diberikan amoksisilin kembali.
Terapi tambahan lain yang digunakan diantaranya adalah
analgesik, dekongestan, dan antihistamin. Terapi tambahan tersebut
berfungsi untuk mengatasi gejala-gejala yang ditimbulkan berkaitan
dengan OMA serta digunakan hingga gejala simptomatik tersebut hilang
(McEvoy, 2011). Dosis, frekuensi pemakaian serta lama pemakaian
terapi tambahan dapat dilihat pada tabel V.13. Analgesik digunakan
untuk mengatasi nyeri pada telinga (otalgia) dari tingkat nyeri ringan
hingga nyeri berat dengan mekanisme kerja menghambat sintesis
prostaglandin dengan hambatan pada COX-1 dan COX-2 (FDA, 2003).
Pemberian terapi analgesik dinilai penting dilakukan 24 jam setelah
pasien terdiagnosa OMA, karena nyeri dapat menimbulkan kegelisahan
sampai insomnia (Rettig and Tunkel, 2014; Taylor and Jacob, 2011).
Parasetamol dan ibuprofen merupakan analgesik yang paling sering
digunakan untuk mengatasi nyeri tingkat ringan hingga sedang,
sedangkan untuk mengatasi nyeri tingkat berat dibutuhkan analgesik
golongan narkotik (Wood et al., 2012). Hasil penelitian pada tabel V.6
menunjukkan penggunaan analgesik pada poli THT adalah asam
mefenamat (9%), parasetamol (6%), ibuprofen (4%), dan Na diklofenak
(4%). Pasien OMA yang didominasi oleh anak-anak menjadi
pertimbangan pemilihan analgesik. Anak yang berusia < 14 tahun tidak
dianjurkan untuk mengkonsumsi asam mefenamat (McEvoy, 2011).
Parasetamol merupakan terapi analgesik yang paling aman untuk anak-
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
105
anak (Sumanth, 2010). Tabel V.6 menunjukkan frekuensi penggunaan
analgesik yang variatif. Asam mefenamat merupakan analgesik yang
paling sering diresepkan di Poli THT dalam bentuk tablet dan digunakan
dengan frekuensi yang berbeda setiap pasien. Dosis asam mefenamat
yang diberikan telah sesuai dengan dosis pada pustaka yaitu 250 mg atau
500 mg diberikan tiga kali dalam sehari jika diperlukan namun tidak
boleh digunakan >1 minggu karena dapat meningkatkan resiko ulcer
(McEvoy, 2011).
Bentuk sediaan parasetamol yang diresepkan terdiri dari tablet
dan sirup dengan dosis 500 mg untuk sediaan tablet, dan 125 atau 250
mg untuk sediaan sirup. Dosis yang diberikan pada pasien bervariasi
namun keseluruhannya telah sesuai dengan dosis pada pustaka yaitu 500
mg diminum empat kali sehari untuk dewasa, sedangkan untuk anak 160
mg diminum empat kali sehari (McEvoy, 2011). Ibuprofen juga
merupakan pilihan analgesik di Poli THT RSUD Dr. Soetomo dengan
bentuk yang diresepkan terdiri dari tablet dengan dosis 200 mg yang
diberikan 2 dan 3 kali dalam sehari, serta sirup dengan dosis 100 mg
yang diberikan tiga kali dalam sehari. Terdapat ketidaksesuaian pada
frekuensi penggunaan ibuprofen pada satu pasien yang hanya diberikan
2 kali dalam sehari, namun hal tersebut tidak bermasalah karena
penggunaannya tergantung pada kondisi pasien. Natrium diklofenak
merupakan analgesik yang jumlah penggunanya sama dengan ibuprofen
(4%). Dosis natrium diklofenak pada pustaka adalah 50 mg digunakan 3
kali dalam sehari, sedangkan untuk dosis 25 mg digunakan 2-3 kali
dalam sehari. Penggunaan natrium diklofenak di poli THT telah sesuai
dengan pustaka.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
106
H2O2 atau larutan perhidrol berfungsi sebagai larutan
antiseptik yang dapat mengangkat debris dan cairan menumpuk yang
terdapat pada telinga. Pada beberapa kasus penggunaannya dikombinasi
antibiotika baik oral maupun topikal dengan tujuan agar antibiotika
dapat menempel di mukosa sehingga penetrasinya semakin bagus. H2O2
berfungsi sebagai bakterisid dengan mekanisme kerja berinteraksi
dengan ion Fe di dalam sel bakteri dan membentuk radikal hidroksil
yang akan membunuh bakteri. H2O2 3% merupakan larutan antiseptik
yang digunakan pada poli THT RSUD Dr.Soetomo dengan frekuensi
pengunaan 2-3 tetes pada umumnya. Pasien yang menggunakan H2O2
sebanyak 12 orang (15%). Cara penggunaannya adalah mencampur
larutan air hangat dan H2O2 dengan perbandingan 1:1, setelah itu
memasukkan
cotton
bud
kedalam
membersihkan serumen dalam telinga.
campuran
larutan
untuk
Terapi dekongestan yang
diresepkan bertujuan untuk melegakan saluran pernafasan pada pasien
OMA. Dekongestan terbagi menjadi dua rute yaitu oral yang terdiri dari
pseudoefedrin dan fenil propanolamin, serta topikal yaitu oksimetazolin
HCl. Dekongestan yang digunakan di Poli THT berdasarkan tabel V.7
adalah tetes hidung oksimetazolin HCl (11%), kombinasi pseudoefedrin
dan
tripolidin
tablet
(2%),
serta
pseudoefedrin
tablet
(1%).
Pseudoefedrin merupakan golongan obat yang bekerja pada reseptor β
adrenergik sebagai vasokonstriktor yang dapat mengatasi udema pada
membran mukosa hidung serta dapat menyeimbangkan tekanan pada
telinga tengah sehingga dapat membantu penyembuhan OMA.
Penggunaannya dapat dikombinasi dengan triprolidin bila diindikasikan
adanya reaksi alergi yang terjadi pada pasien karena triprolidin
merupakan salah satu contoh golongan obat antihistamin generasi
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
pertama
107
(McEvoy, 2011). Tetes hidung oksimetazolin memiliki
mekanisme aksi
menstimulasi reseptor α adrenergik sehingga
berdampak pada membukanya tulang saluran estasius, selain dapat
melegakan hidung tersumbat, tetes hidung ini juga mampu membantu
terapi OMA (McEvoy, 2011).
Antihistamin dengan mekanisme aksi memblok histamin pada
reseptor H1 menyebabkan vasokontriksi pada nasofaring sehingga
sekresi dapat berhenti dan tidak terjadi transudasi cairan (Bluestone,
2001; McEvoy, 2011). Golongan antihistamin yang diperoleh pasien
seperti pada tabel V.9 adalah cetirizine (4%), CTM (1%), serta loratadin
(1%). Cetirizine dan CTM diresepkan pada pasien dengan kondisi batuk
dan pilek lebih dari satu hari. Dosis masing-masing yang digunakan
telah sesuai dengan pustaka yaitu 10 mg tablet diminum satu kali dalam
sehari untuk cetirizine, serta terdapat satu resep racikan yang berisi
cetirizine dan salbutamol yang diminum tiga kali dalam sehari. Dosis
CTM yang digunakan adlah 10 mg tablet diminum tiga kali dalam
sehari. Loratadin diresepkan pada pasien yang mengalami kondisi alergi
setelah pulang dari luar kota. Dosis yang digunakan telah sesuai dengan
pustaka yaitu 10 mg tablet diminum satu kali dalam sehari. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat beberapa obat yang diresepkan pada
pasien OMA selain terapi utama dan terapi tambahan yaitu salbutamol
(1%) yang berfungsi sebagai bronkodilator dan diindikasikan untuk
pasien asma, vitamin B1,B6, dan B12 yang berfungsi sebagai nutrisi
untuk syaraf-syaraf diresepkan pada satu pasien (1%), serta metil
prednisolon yang merupakan golongan obat kortikosteroid (1%). Ketiga
obat tersebut seharusnya diberikan sesuai dengan keluhan pasien, namun
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
108
hal tersebut tidak tertulis pada rekam medis elektronik yang terdapat
pada poli THT.
Terapi OMA tidak hanya berupa obat yang digunakan per oral
dan topikal melainkan dapat berupa tindakan medis lain seperti hisap
lendir (37%), irigasi telinga (11%), dan parasintesis (6%) seperti pada
tabel V.11. Hisap lendir bertujuan untuk mengurangi cairan berlebih
pada telinga tengah yang dapat menimbulkan menurunnya gangguan
pendengaran, telinga berdenging, serta telinga buntu. Irigasi telinga yang
dilakukan dengan cara menyemprotkan air kedalam telinga bertujuan
untuk menghilangkan serumen yang terdapat pada telinga, sedangkan
parasintesis merupakan salah satu tindakan utama yang dilakukan
dengan cara insisi pada membran timpani dengan tujuan untuk
menurunkan tekanan pada membran timpani.
Tabel V.16 menunjukkan perkembangan penyakit pada pasien
OMA, dari data tersebut diketahui bahwa pasien yang hanya mengalami
OMA saja sebanyak 84%, pasien yang mengalami perkembangan
menjadi OMSK sebanyak
2%,
serta
pasien
yang
mengalami
kekambuhan OMA sebanyak 1%. Pasien yang mengalami OMSK sejak
awal 12%. Kekambuhan OMA terjadi karena ketidakpatuhan pasien
yang seharusnya mengkonsumsi antibiotika hingga habis (McGrath et
al., 2013). Kegagalan terapi yang dapat terjadi pada pasien OMA
ditunjukkan pada tabel V.17. Terdapat 3 pasien yang tidak mengalami
perbaikan kondisi setelah terdiagnosa OMA, terdiri dari 2 pasien yang
terdiagnosa OMA kemudian berubah menjadi OMSK tubotimpani serta
1 pasien mengalami kekambuhan OMA. OMA dapat berkembang
menjadi OMSK dikarenakan otore akut yang terjadi, selain itu bakteri
penyebab OMA yang resisten terhadap antibiotika mengakibatkan
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
109
terjadinya refluks kembali menuju telinga tengah lalu timbul inflamasi
dengan kumpulan pus yang terperangkap didalam kantong mukosa
dalam telinga tengah dan mengakibatkan perforasi (Bluestone, 2001;
Herawati dan Rukmini, 2003). Waktu perkembangan penyakit bervariasi
(satu minggu, dua minggu, dan satu bulan). Pada kunjungan pasien yang
pertama ada beberapa pasien yang telah mendapatkan antibiotika oral
maupun topikal, namun ada pula yang mendapatkan tindakan medis
seperti irigasi telinga dan parasentesis, selain itu pasien juga
mendapatkan terapi simptomatik seperti antihistamin dan analgesik.
Pada beberapa kasus terjadi perkembangan OMA menjadi OMSK dalam
kurun waktu 1 minggu. Hal tersebut bertentangan dengan teori yang
menyatakan bahwa durasi terjadinya OMA adalah 3 minggu (Houten,
2011), kemungkinan yang dapat terjadi adalah pasien telat untuk periksa
ke Poli THT sehingga sebenarnya OMA telah dial ami oleh pasien
tersebut selama beberapa minggu. Dokter dapat pula melakukan
kesalahan ketika melakukan history taking pada pasien sehingga
seharusnya dari awal kunjungan pasien telah mengalami OMSK.
Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap problema
obat yaitu interaksi antar obat potensial yang dapat dilihat pada tabel
V.18. Interaksi antar obat yang terjadi adalah antara siprofloksasin
dengan kafein yang dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi kofein
karena metabolisme kofein di hepar akan terhambat dengan adanya
antibiotika golongan kuinolon. Interaksi tersebut dapat diatasi dengan
membatasi konsumsi kafein yang berasal dari makanan, minuman, dan
obat selama terapi berlangsung. Siprofloksasin dan natrium diklofenak
dapat menimbulkan bahaya potensial
seperti peningkatan stimulasi
CNS dan kejang sehingga penggunaan kedua obat tersebut harus
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
110
dimonitor secara ketat. Mekanisme interaksi kedua obat tersebut terjadi
karena penghambatan siprofloksasin terhadap ikatan GABA dengan
reseptornya akibatnya dapat mempengaruhi aktivitas konvulsif pada
CNS (Stockley, 2010). Selain interaksi antar obat, interaksi juga dapat
terjadi antara obat dengan makanan. Makanan dapat menurunkan
absorbsi siprofloksasin sehingga disarankan untuk diminum 1 jam
sebelum makan atau 2 jam setelah makan.
Outcome terapi dapat dilihat melalui parameter seperti
perkembangan sekret yang menjadi semakin sedikit, lubang perforasi
yang semakin menutup, serta tidak nampaknya hiperemia ketika
pemeriksaan otoskopik, namun hal tersebut tidak tertulis pada rekam
medis elektronik pasien sehingga dapat disimpulkan pasien yang
mengalami OMA dan hanya menjalani satu kali terapi rawat jalan di poli
THT sebanyak 84%. Pasien OMA yang mengadakan kunjungan ke poli
THT lebih dari sekali sebanyak 2% dan mengalami perkembangan
penyakit dari OMA menjadi OMSK, sedangkan sebanyak 1% pasien
mengalami kekambuhan OMA lebih dari satu kali.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terapi
OMA lini pertama adalah antibiotika oral dan antibiotika topikal bila
terjadi perforasi. Terapi lini keduanya adalah analgesik, dekongestan,
dan antihistamin disesuaikan dengan kondisi pasien. Dari penjelasan
tersebut diketahui bahwa banyak hal yang menjadi perhatian farmasis
dalam penggunaan obat OMA berkaitan dengan jenis obat yang dipilih,
rute penggunaan, dosis, frekuensi penggunaan, dan lama terapi.
Farmasis juga berperan dalam melakukan konseling terhadap pasien
untuk memberikan penjelasan yang tepat sehingga dapat memimalisir
problema obat (DRP) yang terjadi.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Poli THT RSUD Dr.
Soetomo periode Januari sampai dengan Desember 2015 dengan
menggunakan 80 pasien dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pola penggunaan obat untuk mengatasi OMA diantaranya yaitu:
a. Antibiotika dengan rute per oral yang terdiri dari amoksisilin
(12%) dengan dosis 3x 500 mg selama 5 hari, amoksiklav
(6%) dengan dosis 3x 625 mg selama 5 hari , sefadroksil (2%)
dengan dosis 2x 500 mg selama 5 hari, sefpodoksim (2%) 2x
100 mg selama 5 hari, siprofloksasin (2%) dengan dosis 2x
500 mg selama 5-7 hari, dan klindamisin (6%) dengan dosis
150-300 mg selama 5-10 hari ,
b. Antibiotika dengan rute topikal yaitu tetes telinga ofloksasin
(30%) dengan pemberian tergantung pada kondisi pasien .
2.
Pola penggunaan obat tambahan lain untuk mengatasi gejala
simptomatik OMA diantaranya:
a. Analgesik yang terdiri dari asam mefenamat 3x 500 mg selama
5 hari, parasetamol 3x 500 mg selama 5 hari, ibuprofen 3x
200 mg selama 2-5 hari, dan natrium diklofenak 25-50 mg
digunakan 2-3 kali dalam sehari selama 5 hari.
b.
Antiseptik H202 dengan pemberian tergantung pada kondisi
pasien.
111
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
c.
112
Dekongestan yang terdiri dari oksimetazolin HCl, kombinasi
pseudoefedrin dan triprolidin, dan pseudoefedrin.
d. Antihistamin yang terdiri dari cetirizine, loratadin, dan CTM.
Dosis, frekuensi penggunaan, dan lama terapi masing-masing
pasien bervariasi disesuaikan dengan kondisi pasien.
3.
Pemberian obat pada OMA dikaitkan dengan data klinik pasien
seperti jenis serumen, jenis perforasi, kondisi hiperemia, serta
pemeriksaan penunjang pada hidung dan tenggorokan.
4.
Interaksi potensial obat pada pasien OMA yang terjadi adalah
siprofloksasin dengan kafein dan siprofloksasin dengan natrium
diklofenak, selain itu makanan juga dapat menurunkan absorbsi
siprofloksasin.
7.2 Saran
Dari hasil penelitian disarankan:
1.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait penggunaan terapi
OMA dengan periode waktu yang lebih lama agar dapat
mengetahui respon perkembangan pasien.
2.
Peran farmasis diperlukan dalam memberikan konseling kepada
pasien terkait penggunaan antibiotika pada pasien OMA untuk
menghindari ketidakpatuhan minum obat.
3.
Perlu dilakukan pencatatan DMK pasien yang lengkap terkait terapi
(dosis, frekuensi, dan lama terapi) dan data klinik dengan lengkap
untuk memudahkan evaluasi.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. 2013. The diagnosis and management
of acute otitis media. Pediatrics, Vol.131 No.3, pp. 964-990
American Medical Association. 1991. Drug evaluation. 6th Ed.
Milwaukee: AMA Publisher, pp. 14-18
Aronoff, David M, and Eric G Neilson. n.d. 2001. Antipyretics :
Mechanisms of action and clinical use in fever suppression.
American Journal of Medicine, Vol. 111, pp. 305-311
Baxter, K. Eds. 2010. Stockley’s Drug Interaction. 9th Ed. London:
Pharmaceutical Press, pp. 149-218
Beldfield, K., Bayston, R., Birchall, J.P., Daniel, M., 2015. Do orally
administered antibiotics reach concentrations in the middle ear to
sufficient eradicate planktonic and biofilm bacteria. International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, Vol. 79, pp. 296-300
Bluestone, C.D., 2004. Studies in otitis media : Children’s hospital of
Pittsburgh. Laryngoscope, Vol. 114 No. 13, pp. 1-26
Brook, P., Conell, J., Pickering, T., Oxford Handbook of Pain
Management. 1st Ed. New York: Oxford University Press. pp. 6-8
Bull, P.D., 2002. Disease of The Ear, Nose, and Throat. 9th Ed.
Oxford: Blackwell Science, Ltd. pp. 35-39
Casey, R.J., Block, J.L., Hedrick, J., Almudevar, A., Pichichero, M.E.,
2012. Comparison of amoxicillin / clavulanic acid high dose with
cefdinir in the treatment of acute otitis media. Drugs, Vol. 72 No.
15, pp. 1991–1997
Chee, J., Pang, K.W., Yong, J.M., Ho, R.C., Ngo, R., 2016. Topical
versus oral antibiotics, with or without corticosteroids , in the
113
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
114
treatment of tympanostomy tube otorrhea. International Journal
of Pediatric Otorhinolaryngology, Vol. 86, pp. 183–88
Connors, K.P., Kuti, J.L., Nicolau, D.P., 2013. Optimizing antibiotic
pharmacodynamics
for
clinical
practice.
Pharmaceutica
Analytica Acta, Vol. 4 No. 3
Courter, Joshua D., Baker, W.L., Nowak, K.S., Smogowicz, L.A.,
Desjardins, L., Coleman, C., Girotto, J., 2010. Increased clinical
failures when treating acute otitis media with macrolides: A metaanalysis. The Annals of Pharmacotherapy, Vol. 44, pp. 471-8
Cunningham, M., Guardiani, E., Kim Jeffrey, H., Brook, I., 2012. Otitis
media. Future Microbiol, Vol. 7 No. 6, pp. 733-753
D’silva, L., Parikh, R., Nanihvadekar, A., Joglekar, S., 2013. Survey of
Indian
pediatricians
:
Clinic-prevalence,
diagnostic
and
management strategies for acute otitis media. Pediatric Infectious
Disease, Vol. 5, pp. 165-171
Dagan, Ron., 2007. The use of pharmacokinetic/pharmacodynamic
principles to predict clinical outcome in paediatric acute otitis
media. International Journal of Antimicrobial Agent, Vol. 30,
pp. 127-130
Daleno, Cristina, Greenberg, D., Piralla, A., Scala, A., Baldanti, F.,
Principi, N., Esposito, S., 2013. Case report a novel human
enterovirus C ( EV-C118 ) identified in two children hospitalised
because of acute otitis media and community-acquired pneumonia
in Israel. Journal of Clinical Virology, Vol. 56 No.2, pp. 159-162
Dhingra, P.L., 2010. Disease of Ear, Nose, and Throat. 4th Ed. India:
Elsevier India Pvt, Ltd. pp. 56-62
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
115
Dickson, G., 2014. Acute otitis media. Primary Care Clinical Office
Practical, Vol. 41, pp. 11-18
Djaafar, Z.A., 2001. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. 5th Ed. Jakarta: FKUI, p. 49-50
Elmanama, A.A., 2014. The bacterial etiology of otitis media and their
antibiogram among children in gaza strip , Palestine. Egyptian
Society of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences, Vol. 15, pp.
87–91
FDA Study of ofloxacin otic drop. Diakses dari
http://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2003/20799s
lr012_floxin_lbl.pdf , pada tanggal 01 Agustus 2016
Fuller, M.A., Sajatovic, M., 2002. Drug Information Handbook for
Psychiatry. 3rd Ed. Ohio : Lexi-Comp Inc, pp. 78-200
Foxlee R., Johansson A., Wejfalk J., Dawkins J., Doolye L., Del mar C.
Topical analgesia for acute otitis media. Diakses dari
www.ncbi.nlm.nih.gov, pada tanggal 13 Desember 2015
Gray, R.F., and Hawthorne, M., 1992. Synopsis of Otolaryngology. 5th
Ed. Oxford : Butterworth-Heinemann Ltd, pp. 106-109
Hasan, M.I., 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya. Edisi ke-1. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia
Healy, B.G., Rosbe, W.K., 2003. Otitis media and middle ear effusions.
In: Snow Jr., J.B. (Eds.). Ballenger’s Otorhinology Head and
Neck Surgery, 16th Ed, Ontario: BC Decker, Inc., pp. 249-251
Hoberman, A., Wald, E.R, Kearney, D.H., Balentine, T.L., Barbadora,
K.A., 2011. Treatment of acute otitis media in children under 2
years of age. New England Journal of Medicine, Vol. 364
No. 2, pp. 105–15
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
116
Herawati, S., Rukmini, S., 2003. Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. 1st Ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,
pp. 26-28
Houten.
NHG
2011.
Clinical
Practice
Guidelines.
1st
Ed.
Netherlands : Bohn Stafleu van Loghum, p. 9-11
Isla, A., Troconiz, I.F., Canut, A., Labora, A., Herrero, J.E., Pedraz, J.L.,
Gascon,
A.R.,
2011.
Pharmacokinetic/pharmacodynamic
evalluation of Amoxcicillin, Amoxcicillin/clavulanate and
Ceftriaxone in the treatment of paediatric acute otitis media in
Spain. Enfermeddades Infecciosas y Microbiologia Clinica,
Vol. 29 No. 3, pp. 167-173
Ismayati, Shadiah, N., 2010. Evaluasi antibiotika pada pasien infeksi
saluran pernafasan atas dewasa di Instalasi Rawat Jalan RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Repositori Universitas Sumatera
Utara
Johnson, J.T., and Yu, V.L. Eds. 1997. Infectious Disease and
Antimicrobial Therapy of the Ears, Nose and Throat. 1st Ed.
Philadelphia : W.B. Saunders Company, pp. 279-280
Jurkiewicz,
B.,
Bielicka,
A.,
2015.
Antibiotic
resistance
of
Streptococcus pneumoniae in children with acute otitis media
treatment failure. International Journal of Otolaryngology,
Vol. 65, pp. 5-9
Katzung, B., Master, S.B., Trevor, J.A., 2012. Basic and Clinical
Pharmacology. 12th Ed. San Fransisco : McGraw-Hill
Kumari, M.K., Madhavi, J., Krisna, N.B., Meganadh, K.R., Jyothy, A.,
2016. Prevalence and associated risk factors of otitis media and
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
117
its subtypes in South Indian population. Egyptian Society of
Ear, Nose, Throat and Allied Sciences
Laporan Tahunan Unit Rawat Jalan THT. 2003. Lab/SMF Ilmu Penyakit
THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Laporan Kegiatan Pelayanan Unit Rawat Jalan THT. 2004. Lab/SMF
Ilmu Penyakit THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Lee, H., Kim, J., Nguyen, V., 2013. Ear infections otitis externa and
otitis media. Primary Care Clinical Office Practical, Vol. 40,
pp. 671-686
Levi, J.R., O’Reilly, R., 2013. Complementary and integrative treatment
otitis media. Otolaryngology Clinical N Am, Vol. 46, pp. 309327
Liese, J G, S A Silfverdal, C Giaquinto, and A Carmona. 2014.
Incidence and clinical presentation of acute otitis media in
children aged < 6 Years in European medical practices.
Epidemiology Infection, Vol. 142, pp. 1778-1788
Lucente, F.E., and Har-el, Gady . Eds. 1999. Essentials of
Otolaryngology. 4th Ed. Brooklyn : Wolter Kluwer Company,
pp. 2-4
Ludman, H., and Bradley, J.P., 2007. ABC of Ear, Nose, and Throat.
5th Ed. Oxford: Blackwell Science, Ltd. pp. 3-9
Mahasty, D., 2010. Evaluasi penggunaan antibiotika pada anak dengan
penyakit infeksi saluran pernafasan akut di puskesmas I Gatak.
Repositori Universitas Sumatera Utara
Marchisio, P., Bellusi, L., Mauro, G.D., Doria, M., Felisati, G., Longhi,
R., Novelli, A., Speciale, A., Mansi, N., Principi, N., 2010.
Acute otitis media : from diagnosis to prevention. Summary of
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
118
the Italian guideline. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology, Vol. 74, pp. 1209-1216
McEvoy, G.K., 2011. AHFS Drug Information Essentials. 27th Ed.
New York: Pharmacopeial Convention
Mcgrath, L.J., Becker-dreps, S., Pate, Virginia, and Brookhart, M.A.,
2013. Trends in antibiotic treatment of acute otitis media and
treatment failure in children , 2000 – 2011. Plos One, Vol. 8
No. 12
Metin, Onerci.T., 2009. Diagnosis in Otorhinolaryngology. 1st Ed.
Berlin: Springer-verlag Berlin Heldelberg. pp. 28-33
Munilson, J., Edward, Y., Yolazenia. 2012. Penatalaksanaan Otitis
Media Akut. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Rettig, E., and Tunkel, D.E., 2014. Contemporary concepts in
management of acute otitis media in children. Otolaryngol
Clin N Am, Vol. 47, pp. 651-672
Rovers, M., Schielder, A., Zielhuis, G.A., Rosenfeld, R.M., 2004. Otitis
media. The Lancet, Vol 363, pp. 465
Rubino, C.M., Ambrose, P., Cirincione, B., Arguedas, A., Sher, L.,
Lopez, E., Llorens, X., Gracela, D.M., 2007. Pharmokinetics
and pharmacodynamics of gatifloxacin in children with
recurrent otitis media : Application of sparse sampling in
clinical
development.
Diagnostic
Microbiologic
and
Infectious Disease, Vol. 59, pp. 67-74
Rudzinski, M.J., and Bennes, J.F., Eds. 2001. Drug Information
Handbook for Physician Assistants. 2nd Ed. New York: LexiComp, Inc.
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
119
Salt, A.N., and Plontke, S.K.R., 2005. Local inner-ear drug delivery and
pharmacokinetics. Drug Discovery Today, Vol. 10 No. 19
Saux, N., Gaboury, I., Baird, M., Klassen, T., MacCormick, J.,
Blanchard, C., Pitters, C., Sampson, M., Moher, D., 2005. A
Randomized, double-blind, placebo controlled, noninferiority
trial of amoxcicillin for clincally diagnosed acute otitis media
in children 6 months to 5 years of age. Canadian Medical
Association Journal, Vol. 172 No. 3, pp. 335
Shambough, G.E., Girgis, T.F., 1991. Acute otitis media and mastoiditis.
Otolaryngology. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders, Co. pp.
1445-1450
Sinha, MN., Siddiqui, VA., Nayak, C., Singh, V., Dixit, R., Dewan, D.,
Mishra, A., 2012. Randomized controlled pilot study to
compare homeopathy and conventional therapy in acute otitis
media. Homeopathy, Vol. 101, pp. 5-12
Snow Jr., J.B. Eds. 2003. Ballenger’s Otorhinology Head and Neck
Surgery. 16th Ed. Ontario: BC Decker, Inc.
Soetomo, W., 1998. Peranan oksimetazolin sebagai dekongestan hidung.
Media Perhati, Vol. 4 No. 2, pp. 74
Susilo, W.H. 2012. Statistika dan Aplikasi untuk Penelitian Ilmu
Kesehatan. Jakarta: Trans Info Media, hal. 44-46
Takahashi, H., 2012. Clinical practice guidelines for the diagnosis and
management of acute otitis media (AOM) in children in Japan.
Auris Nasus Larynx, Vol. 39, pp. 1-8
Takei, S., Hotomi, M., Yamanaka, N., 2013. Minimal biofilm
eradication concentration of antimicrobial against nontypeable
Haemophillus influenzae isolated from middle ear fluids of
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
120
intractable acute otitis media. Journal Infect Chemotherapy,
Vol. 19, pp. 504-509
Toll, E.C., and Nunez, D.A., 2012. Diagnosis and treatment of
acute otitis media : review. The Journal of Laryngology &
Otology, No. 126, pp. 976-983
Thornton, K., Parrish, F., and Swords, C., 2011. Topical vs. systemic
treatments for acute otitis media. Pediatric Nursing, Vol. 37
No. 5, p. 263-267
Tiggers, Baldwin, B., 2007. Acute otitis media and pneumococcal
resistance:
making
judicious
management
decisions.
International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, pp.
179-180
Wood, D.N., Narkas, N., Gregory, C.W.,2012. Clinical trial assesing
ototopical agent in the treatment of pain associated with acute
otitis media in children., International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology, Vol. 76, pp. 1229-1235
Zhang, X., Zheng, T., Sang, Lu, Apisa, L., Zhao, H., Fu, F., Wang, Q.,
Wang, Y.,
and Zheng, Q., 2015. Otitis media induced by
Peptidoglycan-Polysaccharide
(PGPS)
in
TLR2-Deficient
(Tlr2−/−) mice for developing drug therapy. Infection,
Genetics and Evolution, Vol. 35, pp. 194–203
Zorab, R., Eds. 1991. Otolaryngology. 3rd Ed, Vol. II. Philadelphia :
W.B Saunders Company
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
PROFIL PENGGUNAAN OBAT ...
SHOFIA KARIMA
Download