1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Penelitian
Pertengahan dekade 90-an penonton teater di kota Padang
dikejutkan oleh hadirnya dua pertunjukan teater dengan bentuk
„tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟. Kedua pertunjukan itu mengganti
penggunaan bahasa verbal berupa dialog dan kata-kata dengan
bahasa tubuh sebagai media utama dalam menyampaikan pesanpesan
pertunjukannya.
Pertunjukan
pertama
berjudul
Lini,
disutradarai oleh Zurmailis dan dipentaskan oleh Kelompok Studi
Sastra dan Teater (KSST) Noktah pada tahun 1996, sementara
pertunjukan kedua berjudul Menunggu, disutradarai oleh Yusril
dan dipentaskan oleh Teater Plus pada tahun 1997. Zurmailis dan
Yusril sendiri adalah dua sutradara muda yang baru saja
mengawali kerja kreatifnya bersama dua kelompok yang mereka
dirikan beberapa tahun sebelumnya.
Dua pertunjukan yang dipentaskan dalam jarak satu tahun
itu kemudian menjadi pembicaraan hangat di kalangan pemerhati
dan pekerja teater di kota Padang. Pembicaraan pertama berkisar
pada tafsir atas pesan-pesan yang disampaikan pertunjukan,
1
sementara pembicaraan kedua menyangkut konsep dan bentuk
pertunjukan yang „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ itu sendiri.
Pembicaraan atas tafsir dan pesan pertunjukan diawali oleh
Alfian Zainal yang menyebutkan bahwa secara tematis Lini
berusaha “menghadirkan suasana kegelisahan zaman”.1 Penulis
lain, Ivan Adilla, menafsirnya sebagai “deskripsi tentang orangorang yang berusaha memperoleh dan mempertahankan kesucian
di
tengah
belantara
kekotoran”.2
Sementara
Yusrizal
KW,
menafsirnya sebagai pertunjukan yang menyuguhkan “sebuah
potret dari kecenderungan manusia yang memangsa sesamanya,
yang menggambarkan panorama di mana kita tidak lepas dari
kekerasan dan penindasan.”3 Pertunjukan kedua, Menunggu,
ditafsir oleh Nasrul Azwar sebagai potret dari realitas yang terjadi
dalam
kehidupan
sosial-politik
masyarakat
Indonesia
dan
merupakan “potret pers kita yang selalu ditekan hegemoni”.4
Pembicaraan
kedua,
yang
lebih
menarik,
adalah
pembicaraan atas konsep dan bentuk dari kedua pertunjukan.
Ivan
Adilla
misalnya,
memberikan
komentar
atas
bentuk
pertunjukan Lini:
1
2
3
4
Alfian Zainal, “Catatan Pementasan Lini Teater Noktah; Kalau Lilik mau
Bersabar”, harian Singgalang, 30 September 1996.
Ivan Adila, “Pementasan „Lini‟ KSST Noktah, Sebuah Pencariaan penuh
Ketegangan, harian Singgalang, 27 Oktober 1996.
Yusrizal KW, “Srigala Bagi Sesamanya Dalam Lini” yang terbit di harian
Haluan tanggal 15 oktober 1996.
Nasrul Azwar, “‟Memboyong‟ Indonesia ke Atas Pentas”, harian Singgalang, ?
April 1997.
2
“Berbeda dari pementasan-pementasan teater
pada umumnya, pementasan Lini berlangsung tanpa
dialog. Bahkan juga tanpa suara pemain. Tidak ada
jeritan, keluhan maupun desahan. Cerita disampaikan
melalui gerak, sehingga dapat dikatakan pementasan
ini adalah sebuah teater gerak.”5
Sementara
atas
pertunjukan
Menunggu,
Nasrul
Azwar
mencatat bahwa bentuk pertunjukan itu:
“...merupakan penggarapan teater tanpa diikat
oleh suatu batasan yang lazim dipakai. Artinya,
naskah bukan lagi menjadi sentral untuk melahirkan
sebuah pertunjukan teater. Cerita hadir ketika proses
berteater itu sendiri berlangsung”.6
Kedua tanggapan atas konsep dan bentuk pertunjukan
tersebut mengindikasikan adanya perbedaan bentuk dramaturgi
yang telah dilakukan oleh kedua sutradara, terutama jika
dihubungkan dengan bentuk-bentuk pertunjukan teater di kota
Padang pada masa itu yang umumnya menggunakan kata-kata
dan bahasa verbal sebagai penyampai pesan pertunjukan. Bentuk
pertunjukan sebagaimana disebutkan terakhir terutama diwakili
oleh pertunjukan-pertunjukan yang disutradarai Wisran Hadi,
seorang teaterawan terkemuka di kota Padang yang turut
meramaikan Pertemuan Teater Indonesia pada tahun-tahun „80-an
hingga „90-an bersama kelompoknya Bumi Teater.
5
6
Ivan Adilla, “Pementasan „Lini‟ KSST Noktah: Sebuah Pencarian Penuh
Ketegangan”, Harian Singgalang, 27 Oktober 1996.
Nasrul Azwar, “‟Memboyong‟ Indonesia ke Atas Pentas”, Harian Singgalang, ?
April 1997
3
Sekilas, dalam konteks lokal, kedua pertunjukan yang
dipentaskan itu seperti sedang mengawali semangat „dramaturgi
baru‟ dalam arena kehidupan teater moderen di kota Padang.
Asumsi demikian sangat beralasan ketika kedua pertunjukan juga
dibandingkan dengan bentuk-bentuk pertunjukan serupa pada
masa
selanjutnya.
Hal
itu
terlihat
antara
lain
pada
penyelenggaraan Pekan Seni III Sumatera Barat oleh Dewan
Kesenian Sumatera Barat tahun 2002, di mana enam pertunjukan
teater dari enam kelompok teater yang berpartisipasi merupakan
pertunjukan dengan bentuk „tanpa-kata‟. Hal itu mengundang
beberapa tanggapan „miring‟ para pemerhati seni pertunjukan di
kota Padang. Rusli Marzuki Saria misalnya, berpendapat bahwa
teater-teater dengan bentuk yang demikian memperlihatkan sisi
buruk dari generasi muda pekerja teater di Padang dan Sumatera
Barat yang „kurang merenung‟.7 Selain Rusli Marzuki Saria,
Wisran Hadi juga turut memberikan komentarnya dengan nada
peyoratif, sebagaimana diingat Sahrul N., bahwa teater-teater
dalam bentuk itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang bisu
karena „ketiadaan kata‟-nya.8
Jika ditarik lebih tegas, hadirnya kedua pertunjukan yang
„tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ sebagaimana diuraikan di atas
7
8
Rusli Marzuki Saria, Seorang penyair dan budayawan, berpendapat demikian
sebagaimana dikutip di harian Kompas. Lihat: “Seni Tanpa Kata
Padangpanjang”, harian Kompas, 2 November 2002.
Sahrul N, Wawancara, Desember 2012.
4
seperti menyiratkan satu momen penting dalam arena kehidupan
teater moderen di kota Padang dan Sumatera Barat, yakni upaya
„pembedaan‟ dramaturgi dan, lebih jauh, „gugatan‟ atas bentukbentuk dramaturgi pertunjukan dominan di masa itu. Hal tersebut
juga menyiratkan bahwa kehidupan teater di kota Padang
merupakan sebuah medan pertarungan dan kontestasi, dalam hal
ini kontestasi bentuk pertunjukan dan dramaturginya.
Pada sisi lain, pilihan bentuk yang „tanpa-kata‟ dan „minimkata‟ tersebut tentu mengingatkan banyak orang pada serial
pertunjukan „mini-kata‟ yang pernah dipentaskan W.S. Rendra
pada akhir dekade 60-an. Beberapa pengamat memberikan
penilaian beragam atas pertunjukan „mini-kata‟ W.S. Rendra
tersebut. Fuad Hassan misalnya, memberikan penilaian bahwa
pertunjukan „mini-kata‟ pada masa itu merupakan sebuah upaya
W.S. Rendra untuk:
“mendramatisasikan penghayatan konflik pada
manusia di abad moderen ini, dan tanpa elaborasi
intelektual yang sadar (yang memang tidak mutlak
perlu) ia telah berhasil mengkonstantir suatu pola
konflik yang khas dalam abad moderen ini, yaitu:
individuasi versus massifikasi, atau lebih mendesak
lagi, humanisasi versus dehumanisasi.”9
Sementara, mengenai bentuk dan konsep pertunjukannya
yang „mini-kata‟ itu, Arifin C. Noer menduga bahwa hal tersebut
9
Fuad Hassan, “Beberapa Catatan Buat Eksperimen W.S. Rendra „Bip-Bop‟”, dalam
Rendra dan Teater Modern Indonesia (ed. Edi Haryono), Yogyakarta: Kepel
Press, 2000. hh. 35-46. hal. 42.
5
dilakukan W.S. Rendra sebagai upaya untuk mengembalikan
teater pada kemurniannya dan membebaskannya dari tirani
kesusasteraan
dan
amanat-amanat.
Arifin
C.
Noer
juga
menghubungkan dan memadankan proses kreatif W.S. Rendra
tersebut
dengan
„teater
primitif‟-nya
Eugene
Ionesco
yang
mempergunakan “bahasa sunyi dalam bentuknya yang pertama
dan secara serempak menggunakan unsur musik, tari, dan gerak
yang masih sangat murni.”10
Pengamat
lain,
Goenawan
Mohamad,
membenarkan
anggapan Arifin C. Noer tersebut seraya menambahkan bahwa apa
yang dilakukan W.S. Rendra sebagai upaya untuk menolak teater
literer, teater yang mendasarkan dirinya terutama pada dialogdialog verbal, dialog dengan kata-kata, di mana terdapat suatu
tema tertentu dengan terkadang dibubuhi „fatwa‟ atau amanat
tertentu pula.11 Goenawan Mohamad bahkan memadankan karya
„mini-kata‟ W.S. Rendra dengan karya-karya Eugene Ionesco
dengan menyebutkan bahwa bahwa karya-karya tersebut adalah
karya-karya yang berisi ungkapan suasana hati, tidak bertendensi
ideologis, serta lebih merupakan “impuls” ketimbang “program”.
10
11
Arifin C. Noer, sebagaimana dikutip dari: Goenawan Mohamad, “Tentang BipBop Mengapa Teater Mini Kata”, dalam Rendra dan Teater Modern
Indonesia (ed. Edi Haryono), Yogyakarta: Kepel Press, 2000. hh. 47-53.
hal. 48.
Goenawan Mohamad, “Tentang Bip-Bop Mengapa Teater Mini Kata”... 2000:
49.
6
Lantas apakah bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ yang
dipilih oleh Zurmailis dan Yusril memiliki alasan dan semangat
yang sama, misalnya, dengan apa yang dilakukan W.S. Rendra?
Adakah
kemungkinan
pembacaan
yang
berbeda
mengingat
konteks arena dan ruang historis yang berbeda, termasuk waktuantara yang cukup panjang pula? Juga bukankah ada pertanyaan
yang cukup penting untuk diajukan atas hadirnya dua bentuk
pertunjukan teater „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ di kota Padang,
sebuah kota di mana latar kultur yang membayanginya adalah
latar kultur yang demikian mengagungkan kata dan bahasa?12
Beberapa hal tersebut menjadi landasan yang cukup kuat
kiranya untuk mengajukan pertanyaan tentang alasan dan latar
dari digunakannya bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ oleh
kedua sutradara pertunjukan tersebut. Pada titik ini pertanyaan
penelitian dapat diajukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada pengantar di atas, penelitian ini
bermaksud untuk menjawab dua pertanyaan, yakni:
12
Khaidir Anwar pernah menyebutkan bahwa konsep tentang keindahan
dikenali oleh orang Minangkabau terutama melalui keindahan bahasa.
Lihat: Khaidir Anwar, “Minangkabau, Background of the Main Pioneers of
Modern Standard Malay in Indonesia”, Archipel, Année 1976, Volume 12,
Numéro 1, pp. 77 – 93.
7
1. Mengapa konsep dan bentuk pertunjukan „tanpa-kata‟ dan
„minim-kata‟ tersebut dipilih oleh kedua sutradara dan hadir
dalam arena kehidupan teater di kota Padang pada masa
itu?
2. Bagaimanakah
konstruksi
dramaturgi
dari
kedua
pertunjukan tersebut sehingga dianggap berbeda dengan
dramaturgi
pertunjukan-pertunjukan
dominan
di
kota
Padang pada masa itu?
C. Tujuan Penelitian
Menimbang dua pertanyaan penelitian tersebut, maka
tujuan penelitian dapat dikemukakan pula di sini:
Pertama penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan
dan latar dari hadirnya bentuk pertunjukan „tanpa-kata‟ dan
„minim-kata‟ yang mengganti bahasa verbal dengan bahasa tubuh
dan penggunaan simbol-simbol dalam arena teater di kota Padang
sebagaimana tampak secara khusus pada pertunjukan Lini dan
Menunggu.
Kedua, penelitian ini bertujuan pula untuk mengetahui
perbedaan-perbedaan
seperti
apakah
yang
terdapat
dalam
dramaturgi pertunjukan Lini dan Menunggu dengan pertunjukan
yang dominan di masa itu, sehingga dapat diketahui strategi
dramaturgi seperti apa yang digunakan kedua pertunjukan
8
tersebut dalam arena teater di kota Padang dan sumbangannya
pada perkembangan dramaturgi di kota Padang dan Sumatera
Barat.
D. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap dinamika
teater moderen di kota Padang dan Sumatera Barat. Berikut
beberapa hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan atas
kehidupan dan pertunjukan teater moderen di kota Padang dan
Sumatera Barat:
Pertama adalah buku Sahrul N. Berjudul Kontroversial Imam
Bonjol, diterbitkan oleh penerbit Garak, Padang, pada tahun 2005.
Buku ini berasal dari tesis S-2 Sahrul N. pada Fakultas Ilmu
Budaya
Universitas
Udayana,
tahun
2002,
yang
berjudul
“Interkulturalisme Teater Indonesia; Studi Kasus: Teater Imam
Bonjol Karya Wisran Hadi”. Buku ini secara khusus menguraikan
tentang interkulturalisme dalam pertunjukan Imam Bonjol yang
disutradarai Wisran Hadi pada acara Festival Istiqlal tahun 1995.
Pertunjukan yang menuai kritik dari budayawan, ulama, dan
pejabat
daerah
di
tempat
dan
asal
budayanya
sendiri,
Minangkabau dan Sumatera Barat, oleh Sahrul N. dibedah untuk
melihat kontestasi ranah budaya „universal‟ yang terdapat dalam
lakon dan pertunjukan itu dengan harapan pemangku kearifan
9
budaya „lokal‟ yang diwakili oleh beberapa kalangan pejabat dan
cendekia di masa itu. Buku yang ditulis Sahrul N. ini membantu
menjelaskan tentang konstruksi artistik pertunjukan Imam Bonjol
yang digelar pada tahun 1995, beberapa tahun sebelum kedua
pertunjukan yang menjadi objek material penelitian ini juga
digelar. Deskripsi Sahrul juga memberi informasi sosok Wisran
Hadi dan, pada level tertentu, posisinya dalam arena kehidupan
teater di kota Padang pada masa itu.
Penelitian Dede Pramayoza atas festival-festival yang pernah
diadakan di kota Padang dan Sumatera Barat berjudul “Catatan
Festival Teater Sumatera Barat; Tinjauan Terhadap Isu, Peserta
dan Modus Pelaksanaan Festival Teater di Sumatera Barat 19752009” menjadi rujukan berikutnya dalam penelitian ini. Penelitian
Dede ini memberikan gambaran tentang dinamika yang terjadi
dalam arena teater di kota Padang, terutama melalui festivalfestival yang diselenggarakannya. Deskripsi atas isu, peserta, dan
modus dari festival-festival teater yang diselenggarakan menjadi
informasi yang cukup penting atas arena kehidupan teater kota
Padang dalam penelitian ini.
Tulisan berikutnya adalah tulisan Afrizal Harun, “Bahasa
Tubuh Aktor Sebagai Tafsir Terhadap Dualisme Kekuasaan di
Minangkabau dalam Pertunjukan Teater Tangga Sutradara Yusril
10
Produksi Komunitas Seni Hitam-Putih Sumatera Barat”, tesis S-2
di Institut Seni Indonesia Surakarta tahun 2011. Penelitian Afrizal
Harun merupakan penelitian yang relatif memiliki kedekatan objek
dengan penelitian ini terutama berkaitan dengan sutradara dari
pertunjukan Tangga (2007) yang ditelitinya dengan pertunjukan
Menunggu (1997) yang dikaji dalam penelitan ini. Tesis ini
terutama
membantu
memahami
bagaimana
Yusril
telah
mempergunakan bahasa tubuh dalam pertunjukan berjudul
Tangga sebagai media untuk membicarakan sistim kelarasan
masyarakat Minangkabau yang dualis. Sosok sutradara Yusril
juga dideskripsikan dalam tesis ini.
Pada pustaka yang lebih luas, terdapat tulisan tentang
pertunjukan „mini-kata‟ yang berjudul “Makna Kehadiran Rendra
dan Mini Kata di dalam Teater Moderen Indonesia di Yogyakarta”,
disertasi doktoral pada Program Studi Ilmu Budaya Universitaas
Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2007. Yudiaryani menjelaskan
perihal posisi penting W.S. Rendra dan teater „Mini Kata‟-nya bagi
perkembangan teater moderen Indonesia di Yogyakarta. Disertasi
ini juga menyertakan analisis tekstual atas pertunjukan Bip-Bop,
satu nomor yang cukup terkenal dari serial nomor-nomor „Mini
Kata‟ yang disutradarai W. S. Rendra.
11
Berkaitan
dengan
serial
pertunjukan
„mini-kata‟
yang
dipertunjukkan W.S. Rendra terdapat beberapa esai dan artikel
populer yang membicarakannya seperti, antara lain: Fuad Hasan,
“Beberapa Catatan Buat Eksperimen W.S. Rendra „Bip-Bop‟”;
Goenawan Mohamad, “Tentang Bip-Bop Mengapa Teater Mini
Kata”; Dick Hartoko, “Teater Murni”; Sudigdo Sastroasmoro,
“Sebuah Pandangan Psikiatrus Schizophrenia dan WS Rendra”;
dan tulisan Subagio Sastrowardoyo, “Unsur-unsur Tidak Sadar di
Balik Teater Rendra”; yang seluruhnya dirangkum dalam buku
Rendra dan Teater Modern Indonesia (ed. Edi Haryono) yang
diterbitkan Kepel Press, Yogyakarta, tahun 2000. Masing-masing
artikel memberikan pembacaannya atas pertunjukan „mini-kata‟
W.S. Rendra, terutama Bip-Bop, yang berguna dalam membantu
memahami alasan dan latar dari penggunaan bentuk „mini-kata‟
dalam konteks akhir dekade 60-an.
Tulisan berikutnya adalah buku Godot di Amerika dan
Indonesia: Suatu Studi Banding yang ditulis Bakdi Soemanto
diterbitkan
mengupas
oleh
perihal
penerbit
Grasindo
keunikan
teks
tahun
lakon
2002.
Buku
ini
Waiting for Godot,
pengaruh dan interteksnya dengan lakon-lakon setelahnya di
Amerika
dan
Indonesia,
serta
perbandingan
resepsi
pementasannya. Berkaitan dengan teks lakon, Bakdi Soemanto
mengupasnya dengan pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan
12
pragmatik yang menghasilkan deskripsi lakon itu sebagai karya
tulis, cerminan filsafat pada masa itu, cerminan pengalaman
Samuel Beckett sebagai pengarang, dan hubungan teks dengan
penanggapnya. Lakon Waiting for Godot menginspirasi lahirnya
lakon The Zoo Story karya Edward Albe dan The Connection karya
Jack Gelber di Amerika, sementara di Indonesia lakon itu memberi
pengaruh pada lakon Aduh karya Putu Wijaya. Selain itu lakon
Waiting for Godot juga disebut Bakdi Soemanto merangsang
tumbuhnya teater eksperimental dan lakon bergaya avan-garde.
Buku
ini
menjadi
rujukan
mengingat
adanya
kesamaan
penggunaan kata “menunggu” yang boleh jadi memiliki relasi
intertekstual-tematiknya dengan salah satu pertunjukan yang
menjadi objek penelitian ini.
Penelitian
berikutnya
adalah
disertasi
Nur
Sahid,
“Dramaturgi Teater Gandrik Yogyakarta dalam Lakon Orde Tabung
dan Departemen Borok”, pada Program Studi Pengkajian Seni
Pertunjukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2012.
Disertasi ini membicarakan dramaturgi dua pertunjukan Teater
Gandrik,
Departemen
menggunakan
tinjuan
Borok
dan
pendekatan
Orde
estetik
Tabung,
dan
dengan
semiotik.
Dramaturgi kedua pertunjukan tersebut dinilai Nur Sahid sebagai
hasil paduan unsur-unsur teater realisme Barat dengan unsurunsur teater rakyat Jawa, khususnya dagelan Mataram dan
13
ketoprak. Dari unsur tematiknya, kedua pertunjukan juga dinilai
Nur Sahid terkait dengan masalah peminggiran kaum minoritas
dan marjinal, demokratisasi, dan pemberantasan korupsi. Analisis
semiotik yang digunakan Nur Sahid menjadi panduan berharga
dalam
upaya
memahami
bagaimana
pesan-pesan
dalam
pertunjukan dapat dimaknai.
Sebagaimana dapat dilihat dari uraian tinjauan pustaka di
atas maka penelitian ini dapat dikatakan menempatkan posisinya
sebagai sebuah penelitian awal atas fenomena bentuk pertunjukan
„tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ di kota Padang sehingga memiliki
bobot orisinalitasnya secara spesifik pula.
E. Kerangka Teoretik
Penelitian ini berupaya mengungkap alasan dan latar dari
digunakannya bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ oleh dua
sutradara pada pertunjukan Lini dan Menunggu serta konstruksi
dramaturginya dalam arena kehidupan teater di kota Padang pada
pertengahan dekade 90-an. Melalui bentuk „tanpa-kata‟ dan
„minim-kata‟ itu kedua pertunjukan juga diasumsikan melakukan
kontestasi
dan
„pembedaan
dramaturgi‟
atas
pertunjukan-
pertunjukan dominan yang ada di masa itu. Oleh sebab itu,
tinjuan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
14
tinjauan sosiologi seni dan tinjauan dramaturgi. Mengingat
bentuk-bentuk pertunjukannya yang simbolis dan sarat dengan
tanda-tanda, penelitian ini juga menggunakan tinjauan semiotika
teater guna mengungkap pesan dan tema dari kedua pertunjukan.
Berikut penjelasan kerangka teoretik yang digunakan dalam
penelitian ini:
Untuk dapat menjawab dua pertanyaan penelitian yang
berkaitan dengan hadirnya kedua pertunjukan dengan bentuk
„tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ di kota Padang yang diasumsikan
melakukan kontestasi dan „pembedaan dramaturgi‟ sebagaimana
telah
diuraikan
pada
bagian
latar
belakang,
penelitian
ini
menggunakan “pembacaan arena” sebagaimana diusulkan Pierre
Bourdieu dalam tulisannya “Principles for a Sociology of Cultural
Works”.13
Pembacaan arena adalah sebuah antitesa dari apa yang
disebut Bourdieu sebagai „efek hubungan-singkat‟, yakni adanya
kecenderungan dari penjelasan sosiologi seni yang timpang dan
parsial dalam menjelaskan karya seni.14 Umumnya ketimpangan
itu berasal dari kecenderungan untuk memberikan perhatian
13
14
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”, dalam The
Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature (ed. Randal
Johnson), Columbia: Columbia University Press, 1993. hh. 176-191.
(Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Perancis tahun 1986. Untuk lebih
jelas lihat keterangan sumber karangan dalam lembar-lembar pertama
buku tsb.)
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”,…, 1993. hh.
176-191. h. 181.
15
secara eksklusif hanya pada salah satu penjelasan dari dua
penjelasan berikut, yakni: 1). Penjelasan terhadap fungsi saja;
atau 2). Penjelasan terhadap logika internal sebuah karya seni
saja.
Padahal,
menurut
Bourdieu,
penjelasan
seharusnya
diberikan kepada keduanya secara bersamaan dan relasional.
Penjelasan atas pentingnya pemahaman relasional ini juga
telah dikemukakan Bourdieu dalam tulisan lainnya berjudul “The
Intelectual Field: a World Apart” dalam bukunya In Other Words.
Dalam buku itu Bourdieu menjelaskan posisi teoritis dari teori
arena:
“The theory of the field does lead both to a
rejection of the direct relating of individual biography to
the work of literature (or the relating of the „social class‟
of the origin work) and also to a rejection of the internal
analysis of an individual work or even of intertextual
analysis. This is because what we have to do is all these
things at the same time.”15
Pada
titik
ini
dapat
disimpulkan
bahwa
teori
arena
mensyaratkan adanya dua tinjauan, yakni tinjauan eksternal,
berupa tinjauan karya seni dengan kondisi-kondisi di luarnya;
dan, tinjauan internal, berupa tinjauan atas struktur karya seni
tersebut. Untuk itu perlu dijelaskan lebih lanjut atas apa yang
dimaksud sebagai tinjauan eksternal dan tinjauan internal oleh
Bourdieu.
15
Pierre Bourdieu, “The Intelectual Field: a World Apart” dalam In Other Words,
Essays Toward a Reflexive Sociology, California: Stanford University Press,
1990: 140-149. p. 147.
16
Sebagaimana telah disinggung di awal, tinjauan eksternal
atas karya seni umumnya adalah upaya untuk mencari kaitan
sebuah karya seni dengan kondisi-kondisi yang terjadi di luar
karya seni itu sendiri. Akan tetapi perlu ditetapkan terlebih
dahulu atas apa yang dimaksud sebagai kondisi-kondisi eksternal
itu. Menjawab hal itu, Bourdieu menawarkan definisi atas apa
yang dimaksudnya sebagai „kondisi-kondisi eksternal‟, yakni
adalah situs di mana karya seni itu hadir. Situs itu kemudian
disebutnya
sebagai
„arena
produksi
kultural‟.
Bourdieu
menegaskan:
“The notion of field of cultural production (which is
specified as artistic field, literary field, scientific field,
etc.) allows one to break away from vague references to
the social world (via words such as „context‟, „milieu‟,
„social base‟, „social background‟) with which the social
history of art and literature usually contents it self. The
field of cultural production is this altogether particular
social world referred to in the traditional notion of a
republic of letters.”16
Apa yang dijelaskan oleh Bourdieu di atas menegaskan
bahwa
konsep
„arena
produksi
kultural‟
bertujuan
untuk
menghapuskan kekaburan atas apa yang selama ini kerap disebut
„kondisi objektif‟ dan dengan tegas menggantinya dengan sebuah
situs berupa ruang historis kongkrit, yakni arena di mana karya
seni diproduksi (contoh yang digunakan Bourdieu adalah arena
16
Pierre Bourdieu, “The Intelectual Field: a World Apart” dalam In Other Words,
Essays Toward a Reflexive Sociology…, 1990: 140-149. p. 140.
17
sastra, namun istilah “republic of letters” dalam kutipan di atas
dapat diganti sesuai bidang-bidang spesifik lainnya).
Bourdieu juga menjelaskan lebih lanjut atas apa yang
dimaksudnya sebagai arena kultural tersebut, yakni:
“...spaces of possibles is what causes producer of
a particular period to be both situated and dated (the
problematic is historical outcome of the specific history of
the field) and relatively autonomous in relation to the
direct determination of the economic and social
environtment.”17
Pemahaman
Bourdieu
tersebut
dengan
demikian
menegaskan bahwa sebuah arena teater pada satu masa dan satu
struktur masyarakat tertentu pada dasarnya adalah sebuah
mikrokosmos atau jagat tersendiri yang memiliki aturan-aturan,
relasi-relasi, serta otonomi relatifnya sendiri pula.
Merujuk konsep arena dan arena kultural tersebut maka
kehidupan teater di kota Padang pada pertengahan dekade 90-an,
yang menjadi ruang dari hadirnya kedua bentuk pertunjukan
„tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ tersebut juga dapat dibaca sebagai
sebuah arena produksi kultural (sebuah arena teater) di mana di
dalamnya juga terdapat agen-agen tertentu yang melakukan
pergulatan untuk mendapatkan posisi-posisi tertentu. Prinsip
otonomi
relatif
pada
tiap
arena
sebagaimana
ditandaskan
Bourdieu juga menjadi panduan dalam melakukan pembacaan
17
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”, dalam The
Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature (ed. Randal
Johnson), Columbia: Columbia University Press, 1993: 176.
18
atas praktik-praktik dari setiap agen, semisal agen-produser
seperti sutradara dan agen-pelegitimasi seperti kritisi; dan mesti
dilakukan pertama kali dalam arena kota Padang secara spesifik
dan otonom.
Bourdieu juga mendefinisikan struktur arena sebagai:
“Structure of the distribution of the capital of
specific properties which governs success in the field
and the winning of the external or specific profits (such
as literary prestige) which are at stake in the field.” 18
Sampai di sini jelas kiranya atas apa yang dimaksud dengan
pembacaan eksternal, yakni sebuah pembacaan atas ruang posisiposisi agen dalam arena dan distribusi dari modal-modal spesifik
yang dimiliki oleh agen-agen di dalamnya. Atas dasar itu maka
amatan atas praktik-praktik tertentu (seperti penciptaan karya
seni) dari para agen mesti diletakkan dan dibaca pertama kali di
dalam
“ruang
posisi-posisi”
spesifik
yang
ditempatinya
berdasarkan modal-modal spesifik yang dimilikinya. Pembacaan
dan amatan dengan cara demikian terutama dilandaskan pada
keyakinan bahwa di dalam ruang itulah sebenarnya para agen
mempertaruhkan diri dan modal-modal spesifik yang dimilikinya
pertama kali.
Namun begitu, praktik spesifik agen-agen di dalam arena
tidak dapat dipahami sebagai suatu tindakan „ideasional‟ dan
18
Pierre Bourdieu, “The Field of Cultural, or: The Economic World Reversed”,
dalam The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature (ed.
Randal Johnson), Columbia: Columbia University Press, 1993: 30.
19
„voluntaris‟ semata, melainkan harus dimaknai sebagai sebuah
praktik yang memiliki tujuan utama memenangkan pertarungan, -dengan
asumsi
positif
bahwa
tidak
ada
agen
yang
mau
mengalami kekalahan dalam pertarungan dalam arena tersebut.
Hal itu merupakan habitus utama yang dimiliki oleh setiap agen di
dalam arena, yakni semangat dan niatan untuk memenangkan
pertarungan. Habitus sendiri didefinisikan oleh Bourdieu sebagai:
“the durably installed generative principle of
regulated improvisations, produces practices which tend
to reproduce the regularities immanent in the objective
conditions of the production of their generative principle,
while adjusting to the demands inscribed as objective
potentialities in the situations, as defined by the
cognitive and motivating structures making up the
habitus.”19
Tujuan utama untuk memenangkan pertarungan tersebut
membuat setiap agen melakukan pembacaan-pembacaan tertentu
saat memasuki arena guna dapat melihat ruang kemungkinankemungkinan yang ada di dalam arena. Tujuan (dan habitus) itu,
secara inheren, mengarahkan para agen untuk menentukan acuan
tertentu dan rujukan yang tertentu pula. Acuan dan rujukan
tersebut
selanjutnya
akan
membantu
para
agen
dalam
merumuskan strategi pemenangan.
Bourdieu menjelaskan lebih lanjut bagaimana habitus
membimbing praktik para agen:
19
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (trans. Richard Nice),
Cambridge: Cambridge University Press, 1977: 78.
20
“agents, writers, artists or intellectuals construct
their own creative project according, first of all, to their
perception of the available possibilities afforded by the
categories of perception and appreciation inscribed in
their habitus through a certain trajectory and, secondly,
to their predisposition to take advantage of or reject
those possibilities in accordance with the interests
associated with their position in the game.”20
Penjelasan
Bourdieu
tersebut
menerangkan
bahwa
keputusan untuk melakukan pengambilan strategi yang dilakukan
para agen umumnya berpedoman pada dua hal, yakni: 1).
pembacaan seorang agen atas posisinya sendiri; dan 2). yakni
pembacaan
atas
kecenderungan-kecenderungan
yang
dapat
diambil atau ditolaknya berdasarkan posisinya di dalam arena;
suatu hal yang juga dapat diartikan sebagai pembacaan atas
kemungkinan atau ketidakmungkinan legitimasi atas karyanya.
Kedua pedoman strategi tersebut dengan demikian juga adalah
habitus yang umum dimiliki seorang agen dalam memasuki
sebuah arena.
Hasil pembacaan dari dua pedoman itu selanjutnya akan
memandu para agen dalam mengorientasikan riset dan tujuantujuan
proses
kreatif
mereka
sehingga
membuat
mereka
mengetahui akan adanya ruang-ruang kemungkinan tertentu
untuk kemudian dapat mengambil keuntungan dari satu posisi
tertentu dalam arena. Ruang-ruang kemungkinan ini pulalah yang
20
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”…, 1993: 184.
21
menjadi acuan umum dan kerap kali membuat para agenprodusen
saling
merujuk
satu
sama
lain
hingga
memiliki
hubungan objektif dengan agen-produsen lain serta, pada taraf
tertentu, saling berkaitan secara intelektual dan memiliki titik
rujukan dan bahkan tujuan artistik yang sama.21
Uraian di atas memberi pemahaman bahwa praktik seni,
strategi-strategi, dan habitus seorang agen di dalam arena pada
dasarnya
merupakan
hasil
dari
dinamika
arena
yang
menstrukturkannya (dalam lintasan tertentu), sebelum kemudian
juga memiliki potensi untuk menstrukturkan arena tersebut
kembali. Uraian di atas juga memberi pemahaman bahwa arena
spesifik tidak terpisah dengan habitus spesifik yang diproduksinya
dan karenanya pembicaraan tentang habitus adalah pembicaraan
tentang habitus sebuah arena dan, juga sebaliknya, pembicaraan
tentang arena adalah pembicaraan tentang arena dari habitushabitus.
Hal lain yang juga penting dicatat dalam memahami habitus
adalah sifatnya yang tidak serta-merta secara ketat mengikat dan
mengekang agen. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, bahwa
saat seorang agen memutuskan memasuki arena maka mereka
akan “mensituasikan” dan “mengkondisikan” dirinya dengan
21
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”…, 1993: 176177.
22
arena.
Apa
yang
dimaksud
dengan
mensituasikan
dan
mengkondisikan diri tersebut tidak hanya dapat dimaknai sebagai
upaya untuk sekedar mengikuti aturan-aturan main yang ada,
namun dapat pula dimaknai sebagai sebuah strategi untuk
memenangkan pertarungan.22 Pada titik inilah kiranya bentuk
pertunjukan „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ dapat dibaca pula
sebagai
sebuah
„strategi‟,
yakni
upaya
untuk
melakukan
„pembedaan‟, dan juga upaya pengambilan posisi dalam arena
kehidupan teater di kota Padang pada masa itu.
Untuk
memberi
terang
lebih
jauh,
Randal
Johnson
mengutarakan definisi strategi Bourdieu sebagai berikut:
“Agents' strategies are a function of the
convergence of position and position-taking mediated by
habitus.” 23
Dan juga:
“Strategy may be understood as a specific
orientation of practice. As a product of the habitus,
strategy is not based on a conscious calculation but
rather results from unconscious dispositions towards
practice.”24
Hal tersebut pula kiranya yang menjadi landasan bahwa
kerangka pemikiran teori arena merupakan sebuah kerangka
22
23
24
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”…, 1993: 184.
Randal Johnson, “Editor's Introduction: Pierre Bourdieu on Art, Literature
and Culture”, kata pengantar buku The Field of Cultural Production:
Essays on Art and Literature (ed. Randal Johnson), Columbia: Columbia
University Press, 1993: 17.
Randal Johnson, “Editor's Introduction: Pierre Bourdieu on Art, Literature
and Culture”..., 1993: 17-18.
23
pemikiran yang berguna untuk mencapai „objektifitas subjektif‟, di
mana agen “disituasikan dan dikondisikan” oleh arena secara
objektif
untuk
kemudian
memiliki
potensi
subjektifnya
memengaruhi arena.25 Pada titik inilah maka hal yang mesti
ditinjau pertama kali dalam “pembacaan arena” adalah kondisikondisi objektif arena dan ruang-ruang posisi di dalamnya yang
telah melahirkan subjektifisme agen dalam menciptakan karya
seni. Hal lain yang juga disinggung Bourdieu dalam teori arenanya
tersebut, yakni adanya kemungkinan „bias‟ determinan eksternal
seperti peristiwa politik, revolusi, atau krisis ekonomi dalam karya
seni yang biasanya terlihat saat struktur arena berubah.26
Uraian panjang di atas dengan demikian telah menjelaskan
mengenai apa yang dimaksud sebagai tinjauan eksternal dalam
penelitian ini. Berikutnya perlu pula dijelaskan mengenai apa yang
dimaksud sebagai tinjauan internal atas karya seni di dalam
penelitian ini.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa bentuk „tanpa-kata‟
dan „minim-kata‟ dapat diletakkan sebagai sebuah „strategi
pengambilan posisi‟ yang digunakan oleh kedua sutradara untuk
mendapatkan posisinya di dalam arena kehidupan teater kota
25
26
Untuk penjelasan lebih lanjut atas „objektifitas subjektif‟ yang dimaksud
Bourdieu, lihat: Pierre Bourdieu, The Logic of Practice (trans. Richard Nice),
Cambridge: Polity Press, 1990: 135-141.
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”…, 1993: 181182.
24
Padang. Namun begitu uraian tentang fungsi strategi itu secara
eksternal tidak secara otomatis menguraikan
strukturnya, yang
dalam hal ini adalah dramaturgi kedua pertunjukan. Oleh sebab
itu maka analisis internal dalam penelitian ini terutama ditujukan
untuk melihat struktur dramaturgi kedua bentuk pertunjukan
„tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ dan relasinya dengan fungsi yang
diembannya.
Tinjauan internal atas struktur dramaturgi bentuk „tanpa
kata‟ dan „minim-kata‟ tersebut diharapkan dapat menunjukkan
salah satu tujuan dari penjelasan sosiologi seni, yakni membantu
menjelaskan
bahwa
setiap
fungsi
(karya
seni)
memiliki
strukturnya sendiri, dan begitu pula sebaliknya, setiap struktur
(karya seni) memiliki fungsinya pula secara spesifik. Kerangka
relasional dari struktur dan fungsi karya seni dengan demikian
dapat dijelaskan. Tepat pada titik ini kiranya tinjauan dramaturgi
dibutuhkan.
Mary Lukchurst menyebutkan bahwa istilah dramaturgi
dapat dipahami dalam dua pengertian. Pengertian pertama adalah:
“Internal structures of a play text and is concerned
with the arrangement of formal elements by the
playwright – plot, construction of narrative, character,
time-frame and stage action.”27
Sementara dalam pengertian kedua adalah:
27
Mary Luckhurst, Dramaturgy: A Revolution In Theatre..., 2006: 11.
25
“external elements relating to staging, the overall
artistic concept behind the staging, the politics of
performance, and the calculated manipulation of
audience response (hence the associations with deceit).
This second sense marks interpretation of the text by
persons like those now known as directors, the
underlying reading and manipulation of a text into
multidimensional theatre.”28
Berdasarkan kedua pengertian tersebut, maka tinjauan
internal
atas
dramaturgi
kedua
pertunjukan
sebagaimana
dimaksud dalam uraian sebelumnya akan difokuskan terutama
dalam
pengertian
dramaturgi
yang
kedua,
yakni
sebagai
keseluruhan konsep artistik dan pertunjukan. Pun begitu, setiap
bentuk
pertunjukan
pada
dasarnya
adalah
hasil
dari
pertimbangan dan rumusan atas dua hal, yakni aspek dramatik
dan aspek artistik. Aspek dramatik adalah sebuah „isi tematik‟ dari
pertunjukan, sementara aspek artistik adalah sebuah „bentuk‟ dari
pertunjukan itu sendiri. Keduanya secara koheren, dan dalam
posisi
bersitegang,
membangun
pertunjukan.
Melalui
dua
konstruksi yang bersitegang tersebut pertunjukan mendapatkan
manifestasinya di atas panggung.
Berkaitan dengan itu, George Kernodle pernah menyebutkan
bahwa dalam membaca sebuah pertunjukan terdapat unsur-unsur
dramatik yang mungkin ada, yakni: struktur, “bentuk lakon dalam
28
Mary Luckhurst, Dramaturgy: A Revolution In Theatre (New York: Cambridge
University Press, 2006: 10-11.
26
kerangka waktu”; dan tekstur, “apa yang dialami penonton melalui
perasaan, pendengaran, dan penglihatannya, serta apa yang
dirasakannya sebagai mood melalui seluruh pengalaman aural dan
visualnya”.29 Unsur-unsur struktural adalah plot (plot), penokohan
(character), dan tema (theme); sementara unsur-unsur tekstural
adalah dialog dan spektakle (dialog and spectacle), serta mood dan
ritme (mood and rhythm). Apa yang dikemukakan Kernodle
tersebut sepertinya merupakan pengembangan dari apa yang
dikemukakan Aristoteles atas elemen-elemen tragedi, yakni: plot,
karakter, diksi, tema, spektakel, dan musik.30
Untuk
kebutuhan
penelitian
ini,
maka
kedua
uraian
Luckhurst dan Kernodle di atas akan dimodifikasi guna menjadi
panduan
dalam
membaca
dramaturgi
kedua
pertunjukan.
Modifikasi dimaksud adalah pembacaan atas dua konstruksi,
yakni konstruksi dramatik dan konstruksi artistik. Pembacaan
pertama merupakan pembacaan atas konstruksi dramatik, yang
mesti dibaca sebagai hasil dari hitungan-hitungan atas pilihan
lakon yang dimainkan dan struktur dramatik lakon tersebut; dan
pembacaan kedua adalah pembacaan atas konstruksi artistik, yang
juga mesti dibaca sebagai hasil dari hitungan-hitungan atas
29
30
George Kernodle, Invitation to The Theatre, New York: Harcourt, Brace &
World. Inc. , 1967: 345.
Aristotle, Poetics (Trans. Clarence W. Mendell), dalam: Richard Levin, Tragedi:
Plays, Theory, and Critism, New York: Harcour Brace Jovanovich, Inc.,
1960: 134.
27
pilihan-pilihan bentuk artistik dan bentuk artistik itu sendiri di
mana struktur dramatik lakon dimanifestasikan.
Untuk memperjelas mengenai struktur dramatik penelitian
ini juga mempertimbangkan tawaran Edwin Wilson dan Alvin
Goldvarb atas apa yang disebutnya sebagai struktur dramatik,
yakni: plot, konflik, kekuatan-kekuatan yang bertentangan, dan
keseimbangan
kekuatan-kekuatan.31
Sementara
apa
yang
dimaksud dengan konstruksi artistik dalam penelitian ini adalah
sebuah konstruk yang meliputi pilihan-pilihan akting, kostum,
pencahayaan, musik, dan setting-properti, sebagai media dimana
„struktur dramatik‟ lakon bekerja sebagaimana terangkum dalam
apa yang disebut Kernodle sebagai unsur-unsur tekstural dari
sebuah pertunjukan.
Selanjutnya,
mengingat
bahwa
objek
analisis
dalam
penelitian ini adalah sebuah teks pertunjukan yang sarat dengan
bahasa
tubuh
dan
tanda-tanda
yang
dihasilkannya,
maka
tinjauan atas konstruksi dramatiknya tidak pelak lagi akan
mensyaratkan pembacaan dan pemaknaan atas bahasa tubuh dan
tanda-tanda tersebut. Melalui pembacaan atas bahasa tubuh dan
tanda-tanda tersebut maka pesan dan tema pertunjukan dapat
dibaca yang dengannya dapat pula dibaca hitungan-hitungan
31
Edwin Wilson dan Alvin Goldvarb, Theatre The Lively Art, New York: Mc Graw
– Hill Inc., 1991: 141-143.
28
ideasional seperti apakah yang dikandung oleh lakon sehingga
dipilih
untuk mewakili intensi
sutradara saat
menciptakan
pertunjukkannya. Pada titik ini semiotika teater dibutuhkan.
Upaya untuk menangani tanda-tanda di dalam pertunjukan
teater
mendapatkan
karakteristik
pentingnya
saat
Tadeusz
Kowzan menawarkan 13 sistem tanda khusus yang bekerja di
dalam pertunjukan teater, yakni: bahasa, nada, mimik wajah,
gestur, pergerakan, make-up, gaya rambut, kostum, properti,
dekor, pencahayaan, musik, dan efek-efek suara.32 Tawaran
serupa
juga
diajukan
mengkategorisasi
14
dikelompokkannya
“akustik/visual”,
oleh
sistim
ke
“relatif
Erika
tanda
dalam
Fischer-Lichte
yang
tiga
berubah/relatif
terlebih
kelompok
bertahan
yang
dahulu
umum:
selama
pertunjukan”, dan “berelasi dengan aktor/berelasi dengan ruang”.
Sistim-sistim
tanda
itu
adalah:
suara,
musik,
linguistik,
paralinguistik, mimik, gestural, proksemik, penopengan, rambut,
kostum, konsepsi panggung, dekorasi panggung, properti, dan
pencahayaan.33 Sebagaimana dapat dilihat, kedua kategorisasi
32
33
Untuk melihat sistem tanda yang diajukan Kowzan, lihat: Elain Aston dan
George Savona, Theatre as Sign-System, A Semiotics of Text and
Performance, New York: Routledge, 1991: 105-8; dan untuk Fischer-Lichte,
lihat: Erika Fischer-Lichte, The Semiotics of Theatre (trans. Jeremy gaines
dan Doris L. Jones), Bloomington and Indianapolis: Indiana University
Press, 1992.
Erika Fischer-Lichte, The Semiotics of Theatre (trans. Jeremy gaines dan Doris
L. Jones), Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1992:
15.
29
sistim tanda yang diajukan oleh Kowzan dan Fischer-Lichte
tersebut memiliki kemiripan dan kongruensinya satu sama lain.
Namun begitu, sebelum dapat melakukan pembacaan atas
pertunjukan berdasarkan sistem-sistem tanda tersebut, penting
kiranya dipertimbangkan catatan Marco De Marinis tentang apa
yang dimaksudnya sebagai „teks pertunjukan‟. Marco De Marinis
berpendapat
bahwa
pertunjukan
teaterikal
mesti
dipahami
pertama kali sebagai sebuah “peristiwa diskursif yang kompleks,
merupakan hasil dari berbagai gelombang dan elemen ekspresi,
serta diorganisasikan ke dalam berbagai kode dan subkode yang
bersama-sama membangun sebuah struktur tekstual.”34
Struktur tekstual sendiri, masih merujuk De Marinis, adalah
“sebuah sistem yang hadir dari kombinasi berbagai kode dalam
sebuah teks pertunjukan dan menjamin koherensi relasi-relasi
kode tersebut”, dan karenanya mesti dimaknai sebagai “sebuah
sistem yang tidak memiliki eksistensi fisikal, namun lebih
merupakan sebuah logika, sebuah prinsip koherensi”.35 Sistem
inilah yang kemudian menjadi pusat logika dari teks pertunjukan
dan merupakan prasyarat bagi teks untuk menjadi komprehensif.
Kedua hal tersebut memberikan karakteristik pertama dari
struktur tekstual pertunjukan, yakni kualitas sistematis-nya.
34
35
Marco De Marinis, The Semiotics of Performance (trans. Aine O‟Healy),
Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, [1982] 1993: 1.
Marco De Marinis, The Semiotics of Performance... [1982] 1993: 83-84.
30
Meskipun
setiap
kode
pertunjukan
juga
memiliki
kualitas
sistematisnya sendiri, namun sebuah dan setiap kode pertunjukan
hanyalah sebuah komponen semata dari
pertunjukan, dan
karenanya tidak memiliki karakteristik kedua, yakni keunikan.
Jaminan atas keunikan struktur tekstual sebuah pertunjukan
didapatkan dari kemampuannya untuk dan dalam menjaga
kombinasi kode-kode pertunjukan hanya untuk pertunjukan itu
sendiri
dan
dengannya
menjamin
individualitas
dan
ketakmungkinan untuk diulang pada level strukturalnya.
Atas dasar itu tanda-tanda yang berada dalam tiap kodekode dalam sebuah pertunjukan mesti diletakkan pertama kali
sebagai bagian dari sebuah kesatuan struktur teks untuk
mendapatkan kualitas sistematisnya, keunikannya, dan derajat
komprehensifnya. Setelah itu pembacaan dan interpretasi baru
dapat
dilakukan
untuk
menarik
pesan
dan
makna
dari
pertunjukan. Kerangka pembacaan dan interpretasi tersebut
diringkas dengan sangat apik oleh Anne Ubersfeld sebagai sebuah
tugas untuk “tidak mengisolasi tanda-tanda, melainkan lebih
untuk mengetahui konstruksi penandaan dan memperlihatkan
bagaimana tanda-tanda itu diorganisasikan”.36
36
Anne Ubersfeld, dikutip dari, Gay McAulay, “Performance Analysis; Theory
and Practice”, dalam About Performance: Performance Analysis, Sydney:
Centre for Performance Studies University of Sydney, 1998: 1.
31
Setelah tanda-tanda diorganisasikan dalam satuan-satuan
kerangka
sinkroniknya,
maka
pembacaan
atas
relasi-relasi
penandaannya dapat dilakukan. Dalam hal ini tipologi pembacaan
relasi indeksikal, relasi ikonik, dan relasi simbolis, sebagaimana
diajukan Charles S. Peirce dapat digunakan.37 Pada bagian akhir
keseluruhan
pembacaan-pembacaan
sinkronik
tersebut
akan
menghasilkan sebuah pembacaan diakronik yang lebih utuh
sesuai dengan prinsip utama struktur teks pertunjukan yang
diajukan Marco
de Marinis, yakni sebagai „satu keutuhan
tekstual‟.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya adalah penelitian kualitatif,
yakni penelitian yang mendasarkan penelitiannya pada kualitas
data sebagai sebuah totalitas.38 Secara spesifik, penelitian ini
adalah
penelitian
studi
kasus,
yakni
penelitian
yang
mengeksplorasi sebuah “sistem terbatas” atau sebuah kasus (atau
beberapa
kasus),
dalam
kerangka
waktu
tertentu,
dengan
pengumpulan data dari berbagai sumber informasi atas sebuah
37
38
Charles S. Peirce, dikutip dari: Keir Elam, The Semiotics of Theatre and
Drama, London dan New York: Methuen, 1983: 21.
R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Bandung: MSPI, 2001: 33-34.
32
konteks.39 Penelitian studi kasus terutama ditujukan untuk
mendapatkan pemahaman atas kasus-kasus tertentu sehingga
mendapatkan pelajaran darinya secara lebih intens. Merujuk pada
kerangka teoritis yang telah diuraikan sebelumnya, maka metode
penelitian dapat disusun sebagai berikut:
Untuk
menjawab
pertanyaan
pertama,
penelitian
ini
melakukan studi pustaka atas kondisi-kondisi dan struktur arena
dari kedua pertunjukan, dalam hal ini kehidupan teater di kota
Padang. Selain melakukan studi pustaka atas arsip-arsip, catatan,
kliping, dan berbagai buku, penelitian ini juga melakukan
wawancara guna mendapatkan informasi-informasi lain atas datadata yang didapatkan dari studi pustaka. Hasil dari studi pustaka
dan wawancara tersebut akan digunakan untuk melihat latar dan
alasan-alasan dari hadirnya kedua pertunjukan pada dekade 90an.
Untuk menjawab pertanyaan kedua dalam penelitian ini, hal
berikutnya
yang
dilakukan
dalam
penelitian
ini
adalah
merekonstruksi secara imajiner kedua pertunjukan sebagaimana
disarankan
Patrice
Pavis.40
Untuk
kebutuhan
„rekonstruksi
imajiner‟ tersebut maka data-data yang dikumpulkan terutama
adalah catatan-catatan latihan, naskah lakon, foto pertunjukan,
39
40
John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design Chossing Among
Five Tradition, London: Sage Publications, 1998: 61.
Patrice Pavis, Analyzing Performance (trans. David Williams), Ann Arbor: The
University of Michigan Press, [1996] 2003: 9-10.
33
pemberitaan, dan termasuk juga kritik di berbagai media atas dua
pertunjukan. Hal tersebut dilakukan guna „menghadirkan kembali‟
kedua
pertunjukan
dalam
bentuk
„deskriptif
tekstual‟-nya
sehingga dapat ditelisik dan dianalisis unsur-unsur dramaturginya
Pada tahap selanjutnya, analisis internal berupa tinjauan
dramaturgi
dilakukan.
Analisis
ini
berguna
untuk
melihat
persamaan dan perbedaan dari dramaturgi kedua pertunjukan,
untuk kemudian dibandingkan dengan konstruksi dramatik dan
artistik dari pertunjukan yang diproduksi oleh kelompok Bumi
Teater sutradara Wisran Hadi yang dominan pada masa itu di kota
Padang.
Untuk mendapatkan pesan dan muatan yang terkandung
dalam
dua
pertunjukan,
analisis
semiotik
juga
dilakukan
bersamaan dengan analisis atas unsur-unsur dramaturgi lainnya.
Untuk memudahkan pembacaan pertunjukan akan dibagi dalam
unit-unit pembacaan berupa adegan, sehingga dapat dibaca relasirelasi fungsi penandaannya dalam membangun pesan dan makna
sebagaimana diajukan Charles S. Peirce, yakni relasi-relasi ikonis,
indeksikal, dan simbolisnya.41
Pembatasan uraian dalam penelitian ini juga penting
kiranya dikemukakan di sini mengingat dua pertanyaan yang telah
41
Charles S. Peirce, dikutip dari: Keir Elam, The Semiotics of Theatre and
Drama… 1983: 21.
34
dikemukakan dalam bagian rumusan pertanyaan. Uraian dalam
penelitian ini hanya akan difokuskan pada dua bagian, yakni
uraian mengenai latar produksi kedua pertunjukan dan analisis
tekstual
atas
teks
pertunjukan.
Berdasarkan
pembatasan
tersebut, maka penelitian ini tidak memasukkan penjelasan
tentang dampak bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟, resepsi
para penontonnya, ataupun pengaruhnya pada masa selanjutnya
di
kota
Padang
secara
lebih
luas
dan
mendalam
karena
dibutuhkan data-data lain yang dapat dipastikan lebih luas dan
mendalam pula.
Jenis informasi yang dikumpulkan guna menjawab dua
pertanyaan dalam penelitian ini terutama adalah informasi dan
catatan-catatan atas struktur arena kehidupan teater pada dekade
90-an dan agen-agen di dalamnya. Sementara untuk pertanyaan
kedua, data utama penelitian terutama bersumber dari „teks
pertunjukan‟ berupa hasil „rekonstruksi imajiner‟. Data-data
tersebut terutama menyangkut teks pertunjukan yang secara garis
merupakan informasi-informasi atas pertunjukan berupa foto dan
kritik pertunjukan, ingatan-ingatan para pelakunya dalam hal ini
sutradara, penata artistik, ataupun penonton yang didapatkan
melalui wawancara.
35
G. Sistematika Penulisan
Uraian penelitian ini dibagi menjadi empat bab yang disusun
sebagai berikut:
Bab
masalah,
pertama
tinjauan
berisi
tentang
kepustakaan,
pendahuluan,
kerangka
rumusan
teoretik,
metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi tinjauan sosiologis kedua pertunjukan.
Dalam uraian bab ini analisis dilandaskan pada perspektif
sosiologi
Bourdieusian
sebagaimana
telah
diuraikan
pada
kerangka teori. Tinjauan tersebut terutama diarahkan pada
kehidupan teater kota Padang sebagai arena, agen-agen di
dalamnya, proses kanonisasi dan dominasi yang ada, termasuk
habitus para agen yang mempengaruhi struktur arena tersebut.
Pada bagian ini juga dikemukakan hasil tinjauan atas struktur
arena tersebut sehingga didapatkan alasan dan latar dari kedua
pertunjukan „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ tersebut.
Bab
ketiga
berisi
analisis
struktural
atas
konstruksi
dramatik dan konstruksi artistik kedua teks pertunjukan. Uraian
bab ini diawali dengan analisis konstruksi dramatik kedua
pertunjukan yang dilengkapi dengan informasi seputar proses
penciptaan dan pertunjukan Lini dan Menunggu. Rekonstruksi
kedua pertunjukan juga dibaca melalui analisis semiotik untuk
mendapatkan pesan dan tema pertunjukan yang kemudian
36
dilanjutkan dengan analisis atas konstruksi artistiknya guna
mengurai persamaan dan perbedaannya. Pada bagian akhir bab
ini juga diuraikan diskusi perbandingan antara dramaturgi kedua
pertunjukan dengan beberapa pertunjukan yang disutradarai
Wisran Hadi dalam arena teater di kota Padang sehingga dapat
dibaca bentuk kontestasi dramaturginya secara khusus.
Bab keempat berisi kesimpulan.
37
Download