Debat seru antara Dr. Muhammad at-Tijani as

advertisement
DEBAT SERU ANTARA DR.
MUHAMMAD AT-TIJANI ASSAMAWI
Masalah Tawasul
kkMAN
DEBAT SERU ANTARA DR. MUHAMMAD AT-TIJANI AS-SAMAWI DENGAN
SEORANG ULAMA WAHABI DARI SAUDI, TENTANG TAWASUL KEPADA NABI
Dr. Muhammad at-Tijani as-Samawi, sarjana Syiah dari Tunisia ini telah menulis 11 buku mengenai Syiah. Banyak
diantaranya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Beberapa diantaranya berjudul:
'Akhirnya Kutemukan Kebenaran', ahli Zikr' dan 'Syiah, Ahlusunnah yang Sebenarnya'.
DR. Sayyid Muhammad Tijani as-Samawi terhitung sebagai salah seorang cendikiawan muslim yang telah
berkecimpung dan berbakti selama lebih dari 35 tahun dalam penelitian mengenai perbandingan mazhab Sunni dan
Syiah. Diperkirakan telah lebih dari 2 juta orang yang akhirnya memeluk Syiah setelah membaca beberapa karya tulis
beliau.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------Berikut ini adalah sekilas tulisan yang dikutip dari buku MADZHAB ALTERNATIF (KLIK DOWNLOAD)/Perbandingan
Syi’ah-Sunnah/Judul Asli: Kullul Huluul ‘Inda Aalirrasuul karya dari Dr. Muhammad at-Tijani as-Samawi (semoga Allah
mensucikan ruhnya)/ Penerbit Titian Cahaya / P.O Box 258 Cianjur 43200
--------------------------------------Teman saya, seorang Ustadz dari Tunisia memberitahu saya bahwa temannya seorang laki-laki dari Arab Saudi akan
datang besok pagi untuk melakukan dialog ilmiah dengan saya. Ia mengatakan bahwa ia akan menyediakan makan
siang, dan besok adalah hari libur mingguan, sehingga kita mempunyai waktu yang cukup banyak. Kita sudah lama
merindukan majelis seperti ini. Ia menambahkan, “Kami berharap Anda menang, dan jangan membuat kita malu,
karena orang Saudi itu selalu menguasai pembicaraan dan tidak pernah memberikan kesempatan kepada kita untuk
berbicara (maakilnaa bi qur’an).
Pada saat yang dijanjikan, mereka datang ke rumah saya itu. Jumlah mereka semuanya tujuh orang, dan salah
satunya adalah ulama Wahabi tersebut. Sehingga jumlah yang hadir bersama tuan rumah dan saya sebanyak
sembilan orang.
Setelah makan, majelis pun dimulai. Adapun yang menjadi topiknya adalah tentang tawasul dan perantaraan antara
hamba dengan Tuhannya.
Saya mengatakan bahwa dibolehkan bertawasul kepada Allah SWT dengan perantaraan Nabi, Rasul, para Wali dan
orang-orang shaleh, karena terkadang manusia terhalang do’anya, disebabkan banyaknya dosa dan selalu sibuk
dengan urusan dunia, sehingga ia memohon pertolongan kepada Allah SWT dengan perantaraan para Wali dan para
kekasih-Nya.
Ulama Wahabi itu berkata, “Itu perbuatan syirik, dan Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang
mempersekutukan-Nya.”
“Apa dalil Anda bahwa itu perbuatan syirik kepada Allah?”, tanya saya.
Ia berkata, “Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah
kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin: 18). Ayat ini dengan
gamblang melarang menyeru selain kepada Allah. Siapa yang menyeru kepada selain Allah, maka ia telah menjadikan
sekutu bagi-Nya, sekutu yang memberi manfaat dan mudharat. Padahal, yang memberi manfaat dan mudharat
hanya Allah semata.”
Sebagian yang hadir membenarkan dan mendukung ucapannya. Kemudian tuan rumah memotong pembicaraan
dengan mengatakan, “Sebentar, saya mengundang Anda bukan untuk berdebat dan ikut campur, tetapi saya
1
mengundang Anda sekalian untuk mendengarkan kedua ulama ini.” Saya sudah mengenal orang Tunisia ini sejak
lama, tetapi saya kaget ternyata ia adalah pengikut Ahlul Bayt. Ia melanjutkan, “Anda sekalian telah mengenal teman
kita dari Saudi ini, dan Anda sudah mengetahui akidahnya. Sekarang, marilah kita mendengarkan mereka berdua
mengemukakan hujah-hujahnya sampai selesai. Setelah itu baru kita berikan kesempatan kepada semua yang hadir
untuk turut serta….”
Saya merasa berterimakasih atas metode yang bijak ini, dan kami melanjutkan diskusi. Saya berkata, “Saya setuju
dengan Anda bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang dapat memberi manfaat dan mudharat, dan tidak ada
seorang pun selain-Nya. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslim yang bersilang pendapat dengan Anda mengenai
hal ini. Hanya saja yang kami katakan dalam masalah tawasul ini ialah bahwa orang yang bertawasul dengan
perantaraan Rasulullah, misalnya, mengakui bahwa Muhammad tidak bisa memberi manfaat dan mudharat, namun
do’anya mustajab di sisi Allah.”
“Jika Muhammad SAW memohon kepada Tuhannya, misalnya: “Ya Allah, rahmatillah hamba ini” atau “Ampunilah
hamba ini” atau “Jadikanlah hamba ini seorang kaya”, niscaya Allah SWT akan mengabulkannya. Banyak sekali
riwayat shahih yang berbicara tentang hal ini. Salah satu diantaranya mengatakan, seorang sahabat yang buta kedua
matanya datang kepada Rasulullah SAW dan meminta beliau agar memohon kepada Allah supaya kedua matanya
menjadi dapat melihat. Rasulullah SAW menyuruh orang itu untuk berwudhu dan shalat dua raka’at, lalu
menyuruhnya berdo’a: “Ya Allah, sesungguhnya saya bertawasul kepada-Mu, dengan perantaraan kekasih-Mu,
Muhammad”. Lalu dengan serta merta Allah membuka penglihatannya sehingga ia dapat melihat.”
“Demikian juga kisah Tsa’labah, seorang sahabat Nabi yang fakir. Ia datang kepada Nabi dan meminta kepada beliau
agar memohonkan baginya kekayaan kepada Allah, karena ia ingin bersedekah dan menjadi orang baik. Kemudian,
Rasulullah SAW memohon kepada Allah, dan dikabulkan do’anya. Dan, Tsa’labah pun menjadi orang kaya, namun ia
disibukkan oleh hartanya, sehingga tidak dapat datang ke Madinah untuk menghadiri shalat berjama’ah, dan tidak
memberikan zakat. Kisah ini banyak dikenal orang.”
“Demikian juga, pernah suatu hari Rasulullah menggambarkan kepada para sahabatnya tentang nikmat-nikmat surga
yang dijanjikan Allah SWT bagi para penghuninya. Kemudian, seorang sahabat yang bernama Ukasyah berdiri seraya
berkata: “Ya, Rasulullah, memohonlah kepada Allah supaya Dia menjadikan saya termasuk kelompok mereka.” Lalu
Rasulullah SAW berdoa: “Ya, Allah, jadikanlah ia termasuk salah seorang dari mereka.” Kemudian, seorang sahabat
lainnya berdiri dan berkata: “Saya juga, ya, Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Ukasyah telah mendahuluimu.”
Ketiga riwayat di atas, merupakan dalil yang tegas bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan dirinya sebagai perantara
antara Allah dan hamba-Nya.
Ulama Wahabi itu memotong pembicaraan saya dengan berkata, “Saya berargumentasi kepadanya dengan AlQur’an Al-Karim, sedang ia berargumentasi kepada saya dengan hadits-hadits dha’if (lemah) yang tidak
mengenyangkan rasa lapar.”
Saya berkata, “Al-Qur’an Al-Karim mengatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Al-Maaidah: 35)
Ulama Wahabi itu berkata: “Yang dimaksud dengan perantara (wasilah) di situ adalah amal shaleh.”
Saya katakan kepadanya, “Ayat-ayat amal shaleh di dalam Al-Qur’an Al-Karim itu banyak sekali Di antaranya ialah
Allah SWT berfirman: Yaitu orang-orang yang beriman dan beramal shaleh (QS. Al-Baqarah: 25). Akan tetapi di dalam
ayat ini dikatakan: Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya (QS. Al-Maaidah: 35). Dalam ayat
lain disebutkan: Mereka orang-orang yang menyeru itu, mereka sendiri mencari jalan (wasilah) kepada Tuhan
mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) (QS. Al-Israa: 57).
Kedua ayat di atas memberikan pengertian bahwa menjadikan sesuatu sebagai perantara (wasilah) kepada Allah
harus dibarengi dengan takwa dan amal shaleh. Tidakkah Anda lihat bahwa Allah SWT telah berfirman: Hai orang2
orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya (QS.
Al-Maaidah: 35). Dengan demikian, iman dan takwa harus ada lebih dahulu sebelum pencarian perantara (wasilah).
Ia berkata, “Mayoritas ulama menafsirkan perantara (wasilah) dengan amal shaleh.” Saya katakan, “Kita tinggalkan
penafsiran dan pendapat para ulama itu. Apa pendapat Anda sekiranya saya dapat membuktikan kepada Anda
adanya perantara (wisaathah) di dalam Al-Qur’an sendiri?” “Mustahil, kecuali Al-Qur’an yang tidak kenali!”, katanya.
Saya berkata, “Saya tahu apa yang anda maksud. Akan tetapi, saya akan membuktikan kepada Anda dari Al-Qur’an
yang kita semua ketahui.” Kemudian saya membacakan ayat:
“Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). Ya`qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada
Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Yusuf: 97—98)
Mengapa Nabi Ya’qub tidak mengatakan kepada puteranya: “Mohonlah kamu kepada Allah sendiri, dan jangan
menjadikan saya sebagai perantara antara kamu dengan penciptamu.” Bahkan, ia menetapkan kepada mereka
adanya perantaraan tersebut dengan mengatakan, “Saya akan mohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku.” Dengan
demikian, ia menjadikan dirinya sebagai perantara (wasillah) bagi puteranya kepada Allah.”
Ulama Wahabi itu merasa kesulitan untuk menolak ayat-ayat yang jelas dan gamblang tersebut, yang tidak dapat
diragukan dan tidak juga bisa ditakwil. Ia berkata, “Tidak ada kaitannya antara diri kita dan Ya’qub. Dia dari golongan
Bani Israil yang syariatnya telah dihapus dengan syariat Islam.”
Saya jawab, “Saya akan memberikan kepada Anda dalil dari syariat Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad
SAWW. Begini ayatnya:
“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka
ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan
ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa:
64)
Mengapa dalam ayat ini Allah SWT menyuruh mereka datang kepada Rasulullah SAWW untuk memohonkan ampun
bagi mereka kepada-Nya, dan Rasulullah SAWW pun memohonkan ampun bagi mereka. Ini merupakan dalil yang
pasti bahwa Rasulullah SAWW adalah perantara mereka kepada Allah, dan Allah tidak akan mengampuni mereka
kecuali dengan perantaraannya.”
Para hadirin berkata, “Ini merupakan dalil yang kuat.” Ulama Wahabi itu merasa terpojok, lalu melantur dengan
mengatakan, “Itu benar manakala beliau masih hidup, tetapi laki-laki itu telah mati sejak empat belas abad yang
lalu.”
Saya berkata dengan penuh keheranan, “Bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa Rasulullah SAWW seorang lakilaki yang telah mati? Rasulullah itu hidup, dia tidak mati.” Ia menertawakan ucapan saya dan sambil mengejek ia
berkata. “Al-Qur’an telah mengatakan kepadanya: Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka juga akan mati pula.”
(QS. Az-Zumar: 30)
Saya menjawab, “Al-Qur’an sendiri berkata: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di
jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah:
154)
Ulama Wahabi itu berkata, “Ayat-ayat tersebut berbicara tentang para syuhada, yaitu orang-orang yang gugur di
jalan Allah, dan tidak ada hubungannya dengan Muhammad (SAWW).”
Saya menjawab, “Subhanallah, walaa hawla walaa quwwata illa billaah! Apakah Anda akan menurunkan kedudukan
Nabi Muhammad, kekasih Allah, di bawah derajat orang syahid? Anda seolah-olah ingin mengatakan bahwa Ahmad
Ibn Hanbal mati syahid di sisi Tuhannya dan diberi rizki, sedangkan Rasulullah SAWW mati seperti kematian yang
lain?!
Ia berkata, “Ini yang dikatakan Al-Qur’an Al-Karim.”
3
Saya katakan, “Alhamdulillah. Kini telah terungkap bagi kami jati diri Anda, dan hakikat pandangan Anda. Anda telah
berupaya dengan sungguh-sungguh menghilangkan peninggalan-peninggalan Rasulullah SAWW, sampai-sampai
Anda hendak menggusur makamnya sebagaimana Anda telah menggusur rumah tinggal yang di dalamnya beliau
telah dilahirkan.”
Tuan rumah menyela dan mengingatkan dengan mengatakan, “Kita tidak boleh keluar dari ruang lingkup Al-Qur’an
dan Sunnah, sebagaimana yang telah kita sepakati bersama.”
Saya meminta ma’af, lalu melanjutkan, “Yang penting bahwa teman kita ini telah mengakui telah dibolehkannya
bertawasul di masa hidup Rasulullah SAWW, dan menafikannya setelah wafatnya.”
Semua yang hadir berkata, “Memang benar demikian.” Kemudian, mereka bertanya kepada ulama Wahabi tersebut,
“Anda telah menyepakati bahwa bertawasul dibolehkan di masa hidup Rasulullah SAWW?” “Ya, dibolehkan di masa
hidupnya, namun sekarang tidak karena beliau telah wafat,” jawabnya.
Saya berkata, “Alhamdulillah, untuk pertama kalinya penganut Wahabi mengakui dibolehkannya bertawasul.
Sungguh, ini merupakan kemenangan yang besar. Izinkanlah saya hendak menambahkan bahwa bertawasul itu
dibolehkan bahkan setelah wafatnya Rasulullah SAWW.”
Ulama Wahabi itu berkata, “Demi Allah, tidak dibolehkan. Yang demikian itu termasuk syirik.”
Saya katakan, “Tenang. Anda jangan tergesa-gesa dan jangan bersumpah, nanti Anda akan menyesalinya.”
“Berikan dalil dari Al-Qur’an yang berbicara tentang itu,” pintanya.
Saya jawab, “Anda meminta hal yang mustahil, karena turunnya wahyu telah terputus dengan wafatnya Muhammad
SAWW. Maka mau tak mau harus berargumentasi dari kitab-kitab hadits.”
Ia berkata, “Kami tidak menerima hadits, kecuali jika hadits itu shahih. Adapun yang dikatakan Syi’ah, kami tidak
menerimanya.”
Saya berkata, “Apakah Anda mempercayai hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari, ia merupakan
kitab hadits yang paling benar setelah Kitabullah di kalangan Anda?”
Ulama Wahabi itu berkata sambil keheranan, “Bukhari membolehkan tawasul?”
Saya jawab, “Benar. Ia mengatakan demikian. Namun sayangnya, Anda tidak membaca apa yang terdapat dalam
kitab-kitab shahih Anda. Meski demikian, Anda bersikeras dengan pendapat Anda. Bukhari telah meriwayatkan
dalam kitab shahihnya bahwa Umar Ibn Khattab, jika musim paceklik tiba, ia meminta turun hujan dengan
perantaraan Abbas Ibn Abdul Muththalib dengan berkata:
“”Ya, Allah sesungguhnya kami bertawasul kepadaMu dengan perantaraan Nabi kami SAWW, maka turunkanlah
hujan kepada kami. Ya Allah, sesungguhnya kami bertawasul kepadaMu dengan perantaraan paman Nabi kami,
maka turunkanlah hujan kepada kami.” Perawi berkata “Maka turunlah hujan kepada mereka.”
(LIHAT: Shahih Bukhari, vol 4, halaman 209, kitab: Awal Penciptaan, bab: Manaaqib Ja’far ibn Thalib sebelum
manaaqib kerabat Rasulullah (SAWW). )
Saya berkata lebih lanjut, “Inilah Umar Ibn Khattab, seorang sahabat yang mulia dalam pandangan Anda, dan Anda
tidak meragukan keikhlasannya, kekuatan imannya, dan kebaikan ibadahnya. Bukankah Anda mengatakan: “Kalau
sekiranya ada Nabi setelah Muhammad, niscaya Umar Ibn Khattab-lah orangnya.” Anda sekarang dihadapkan
kepada dua hal, dan tidak ada pilihan yang ketiga: Mengakui bahwa tawasul termasuk bagian dari agama Islam, dan
mengakui perkataan Umar Ibn Khattab: “Sesungguhnya kami bertawasul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami
SAWW, dan dengan perantaraan paman Nabi kami.” Ini merupakan pengakuan bahwa ia bertawasul pada masa Nabi
SAWW masih hidup dan setelah beliau wafat. Atau, Anda akan mengatakan, bahwa Umar Ibn Khattab musyrik,
karena menjadikan Abbas Ibn Abdul Muththalib sebagai perantaraannya kepada Allah. Sedang diketahui bahwa
Abbas itu bukanlah seorang Nabi, bukan seorang Imam, dan bukan juga termasuk Ahlul Bayt, yang telah Allah SWT
hilangkan dari mereka noda dan doa, dan Allah sucikan sesuci-sucinya.”
“Di samping itu, Bukhari, yang merupakan imam muhaddist di kalangan Anda, yang meriwayatkan kisah di atas,
mengakui keshahihan di atas. Kemudian, Bukhari menambahkan: “Jika menghadapi musim paceklik, mereka
4
memohon hujan dengan perantaraan Abbas. Kemudian, hujan pun turun.” Artinya, bahwa Allah SWT mengabulkan
permohonan mereka.”
“Dengan demikian, Bukhari dan para muhaddist dari kalangan sahabat yang telah meriwayatkan kisah ini, begitu
juga semua kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang meyakini kitab Shahih Bukhari, dalam pandangan Anda adalah
musyrik?!”
Ulama Wahabi itu berkata, “Kalau memang benar hadits itu shahih, maka itu merupakan hujjah bagi Anda.”
“Bagaimana itu merupakan hujjah bagi saya?!”, tanya saya.
Ia berkata, “Karena Sayyidina Umar tidak bertawasul kepada Nabi SAWW, sebab beliau sudah mati. Dia bertawasul
kepada Abbas, karena masih hidup.”
Saya berkata, “Sesungguhnya perbuatan dan ucapan Umar Ibn Khattab bukan merupakan hujjah bagi saya, dan
bukan pula merupakan timbangan, hanya saja saya memaparkan riwayat itu untuk berargumentasi atas topik yang
sedang dibahas, yaitu pengingkaran Anda dan pengingkaran semua Ulama Anda atas tawasul, dan menganggapnya
sebagai perbuatan syirik.”
“Saya jadi bertanya-tanya; mengapa ketika kemarau Umar Ibn Khattab tidak bertawasul kepada Ali Ibn Abi Thalib,
yang kedudukannya di sisi Muhammad SAWW itu sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Tidak ada seorangpun
dari kaum Muslim yang mengatakan bahwa Abbas lebih utama daripada Ali. Namun, ini pembahasan lain yang bukan
menjadi fokus pembahasan kita. Saya merasa puas sekarang Anda mengakui dibolehkannya bertawasul kepada
orang yang masih hidup. Ini merupakan kemenangan besar bagi saya. Saya memuji Allah yang telah menjadikan
hujjah kami dapat diterima; sedangkan hujjah anda tertolak. Jika memang demikian persoalannya, maka saya
sekarang akan bertawasul di hadapan Anda semua.”
Kemudian saya pun berdiri menghadap kiblat dan berdo’a:
“Ya, Allah. Kami mohon kepadaMu dan bertawasul kepadaMu dengan perantaraan hambaMu yang shaleh, Imam
Khomeini”
(pada waktu debat ini berlangsung, Imam Khomeini masih hidup)
Mendengar itu, tiba-tiba Ulama Wahabi itu tersentak dan mengutuk serta berteriak: A’uudzu billah, a’uudzubillah,
dan cepat-cepat lari keluar.
Para hadirin saling memandang satu sama lain sambil berkata: “Sungguh mengherankan. Betapa sering ia berhujjah
atas kami dan mengecam kami. Kami kira ia berada dalam kebaikan yang banyak, ternyata sebaliknya.”
Salah seorang yang hadir berkata, “Innaa lillahi wa inna ilayhi raaji’uun. Ya Allah, saya bertobat kepadaMu. Lalu ia
melihat kepada saya seraya berkata: “Sungguh, sebelum ini saya sangat terpengaruh dengan ucapan-ucapannya,
dan bahkan hingga hari ni tadi saya masih mengakui pendapatnya yang menyatakan bahwa tawasul itu adalah
perbuatan syirik kepada Allah. Kalau saya tidak hadir di majelis ini, tentu saya tetap berada dalam kesesatan. Saya
mengucapkan syukur kepada Allah dan kepada Anda.”
‫وﻗل ﺟﺎء اﻟﺣق وزھق اﻟﺑﺎطل إن اﻟﺑﺎطل ﻛﺎن زھوﻗﺎ‬
Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu
yang pasti lenyap.
(QS. Al-Israa: 81)
5
Download