BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian pengetahuan manusia melalui telinga dan mata (Notoatmodjo, 2005). 2.1.2. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan mempunyai enam tingkatan menurut Notoatmodjo (2005), yaitu: a. Tahu Tahu adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. b. Paham Paham diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang mampu menjelaskan dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. d. Analisis Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam komponen-komponen yang masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain, misalnya mengelompokkan dan membedakan. Universitas Sumatera Utara e. Sintesis Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. 2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Pengalaman Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. Pengalaman yang diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang. b. Tingkat pendidikan Secara umum, orang yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih luas daripada orang yang berpendidikan lebih rendah. c. Keyakinan Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun, baik keyakinan yang positif maupun keyakinan yang negatif, tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. d. Fasilitas Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah majalah, radio, koran, televisi, buku, dan lain-lain. e. Penghasilan Penghasilan tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun, jika seseorang berpenghasilan cukup besar, maka dia mampu menyediakan fasilitas yang lebih baik. Universitas Sumatera Utara f. Sosial budaya Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu. 2.2. Pendidikan Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2003). Pendidikan terdiri dari tiga unsur utama, yaitu: a. Input; sasaran pendidikan dan pendidik. b. Proses; upaya yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain. c. Output; hasil yang diharapkan. 2.3. Toksoplasmosis 2.3.1. Definisi Toksoplasmosis Toksoplasmosis adalah penyakit hewan dan manusia yang akut atau kronis, tersebar luas disebabkan oleh Toksopalasma gondii dan di tularkan oleh ookis pada kotoran kucing. Sebagian besar infeksi pada manusia bersifat asimtomatik, bila gejala muncul, akan berkisar dari penyakit ringan dan sembuh sendiri yang menyerupai mononukkleosis hingga penyakit fulminan dan diseminsata yang dapat membahayakan otak, mata, otot, hati, dan paru. Manifestasi berat terutama terlihat pada penderita yang imunitasnya terganggu dan pada janin yang terinfeksi melalui transplasenta sebagai akibat dari infeksi maternal. Korioretinitis bisa berkaitan dengan semua bentuk, tetapi biasanya merupakan sekuele akhir penyakit kongenital (Dorland, 2002). Toksoplasmosis suatu penyakit yang disebabkan oleh Toksoplasma gondii, merupakan penyakit parasit pada manusia dan juga pada daging hewan yang biasa dikonsumsi oleh manusia. Infeksi yang disebabkan oleh T.gondii tersebar di seluruh Universitas Sumatera Utara dunia. Pada hewan berdarah panas dan mamalia lainnya termasuk manusia merupakan hospes perantaranya. Sedangkan kucing dan berbagai jenis felixdae lainnya merupakan hospes definitif (WHO, (1979) dalam Chahaya I (2003)). Pada kehidupan manusia, ada dua populasi manusia yang kemungkinan berisiko tinggi terinfeksi oleh parasit ini, yaitu wanita hamil dan individu yang mengalami defisiensi sistem imun (Chahahya I, 2003). Toksoplasma gondii merupakan parasit protozoa intraselluler. Bentuk parasit ini seperti batang yang melengkung dengan ukuran lebih kecil dibandingkan sel darah merah manusia (3-6 µm). Parasit ini dapat menembus sel secara aktif dan masuk ke berbagai jaringan seperti otak, mata, dan usus. Menurut siklus hidupnya, parasit ini terdiri atas 3 bentuk, yaitu: takizoit, kista (bradizoit) dan ookista. Ookista sendiri berukuran 10-12 µm, mempunyai hospes definitif, yaitu kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus seksual yang kemudian menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feses kucing. Kucing yang mengandung toksoplasma gondii dalam fesesnya mengandung jutaan ookista. Ookista dapat bertahan di lingkungan untuk beberapa bulan dan tahan terhadap zat desinfektan, pembekuan dan tempat yang kering, namun dapat mati dengan pemanasan 70̊C selama 10 menit (Sutanto I at al. , 1998). Penelitian lainnya juga dilakukan untuk menemukan peranan kucing dalam penularan toksoplasma, penelitian oleh Umyati dan Amino misalnya. Adapun penelitian yang dilakukan di laboratorium Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tersebut membuktikan bahwa 3 dari 14 kucing yang di periksa ternyata positif mengandung ookista T.gondii, walaupun ternyata dari ketiga kucing hanya dua kucing yang positif secara serologis. Dimana hasil menunjukkan bahwa kucing disuatu laboratorium dapat terinfeksi toksoplasma dan mampu menularkannya. Begitu juga dengan kucing peliharaan masyarakat maupun hewan lainnya termasuk ternak yang dagingnya dikonsumsi manusia. Penelitian ini ditunjang oleh hasil Universitas Sumatera Utara penelitian yang mengatakan bahwa lebih dalam menularkan toksoplasma pada manusia (Rochiman, 2006). 2.3.2. Epidemiologi Kejadian infeksi toksoplasma gondii terdistribusi hampir diseluruh dunia dan dapat dijumpai pada tempat-tempat atau lingkungan yang memiliki kucing. Adapun berbagai spesies mamalia, reptile dan burung juga dapat terinfeksi secara alamiah. Adapun siklus penyebaran infeksi ini umumnya melibatkan kucing dan tikus. Dimana tikus memakan materi/ bahan yang telah terkontaminasi oleh ookista yang di jatuhkan atau dibuang oleh kucing, lalu tikus tersebut terinfeksi dan kista dapat berkembang di tubuh tikus tersebut. Apabila tikus yang telah terinfeksi parasit tersebut dimakan oleh kucing, maka kucing tersebut akan kembali tertular infeksi dan kucing yang telah terinfeksi ini akan mengandung ookista dalam tinjanya. Ada beberapa teori lainnya mengenai siklus toksoplasmosis dan beberapa diantaranya pernah didokumentasikan (Paniker, 2002). Toksoplasmosis pada manusia merupakan satu zoonosis. Parasit ini biasa didapati pada air atau makanan yang terkontaminasi oleh ookista yang matang atau bisa melalui makanan mentah atau yang tidak dimasak secara matang/ sempurna dan masih mengandung kista-kista di jaringan (Paniker, 2002). Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan tingkat prevalensi yang lebih tinggi, khususnya pada dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak (Chahaya I, 2003). Daging babi dan sapi juga dapat terinfeksi kista jaringan. Tidak hanya itu, lalat dan kecoa juga berperan sebagai vektor mekanik dalam kontaminasi makanan dengan ookista yang berasal dari tanah yang terinfeksi. Infeksi juga didapati dari air apabila sumber air tersebut telah terkontaminasi dengan tinja kucing. Walaupun sangat jarang, infeksi juga dapat ditularkan melalui transfusi darah atau leukosit serta Universitas Sumatera Utara transplantasi organ. Selain itu, toksoplasmosis dapat juga berasal dari laboratorium. Dimana lama inkubasi berkisar 1 atau 3 minggu (Paniker, 2002). Adapun infeksi yang terjadi tergantung kepada status imun orang yang terinfeksi. Kebanyakannya infeksi lebih aktif pada penderita yang mengalami imunnocompromised. Dimana toksoplasmosis merupakan salah satu dari komplikasi yang fatal pada orang dengan system imun yang sangat rendah, penderita HIV/AIDS misalnya (Paniker, 2002). Insidensi toksoplasmosis kongenital dapat diestimasikan dalam 1000 kelahiran. Hal ini mengacu pada kepentingan kesehatan publik terhadap toksoplasmosis kongenital dan risiko yang ditimbulkannya kelak. Adapun tinjauan serologi terhadap antibodi toksoplasma lebih banyak dilakukan di negara-negara maju, khususnya pada wanita usia subur, saat mengandung dan memiliki bayi baru lahir (Paniker, 2002). 2.3.3. Daur Hidup dan Penularannya Siklus hidup dari T.gondii dikemukakan oleh Frenkel, dkk pada tahun 1970. Siklus hidup seksual berlangsung didalam usus kucing, dimana kucing merupakan hospes definitif (final/complete host) yang kemudian berakhir dengan terbentuknya ookista (Budijanto, 1994). Toksoplasma adalah suatu coccidia yang mempunyai tiga bentuk di dalam siklus hidupnya, takizoit (tachizoite) bentuk proliferatif yang disebut juga trofozoit, kista jaringan yaitu bentuk kista di dalam jaringan tubuh yang berisi bradyzoit dan ookista (penghasil sporozoit). Parasit protozoa ini mempunyai dua macam siklus dan terjadi di dalam dua siklus yang terpisah yaitu siklus enteroepitelial dan siklus ekstraintestinal. Dalam tubuh kucing, siklus enteroepitelial meliputi gametogoni dan produksi ookista dengan sporogoni. Tingkat kehidupan lainnya yaitu takizoit dan kista jaringan yang terjadi dalam jaringan ekstraintestinal kucing (Rochiman, 2006). Universitas Sumatera Utara T.gondii spesies yang mirip dengan isospora. Dalam sel epitel usus muda kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual (gametogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersama tinja (Rasmaliah, 2003). Ookista yang berbentuk lonjong dengan ukuran 12,5 µm ini menghasilkan 2 sporokista yang masing- masing mengandung 4 sporozoit. Bila ookista ini tertelan oleh mamalia lain atau burung (hospes perantara), maka pada berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk kelompok-kelompok tropozoit yang membelah secara aktif dan disebut takizoit (Rasmaliah, 2003). Kecepatan tropozoit membelah berkurang secara berangsur dan terbentuklah kista yang mengandung bradizoit (bentuk yang membelah perlahan), masa ini adalah masa infeksi klinik menahun yang biasanya merupakan infeksi laten. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual, tetapi dibentuk stadium istirahat, yaitu kista. Bila kucing sebagai hospes definitif maka hospes perantara yang terinfeksi terbentuk lagi berbagai stadium seksual didalam sel epitel usus mudanya. Bila hospes perantara mengandung kista toksoplasma, maka masa prapaten (sampai dikeluarkan ookista) adalah 3-5 hari, sedangkan bila kucing memakan tikus yang mengandung trofozoit, masa prapaten biasanya berkisar 5-10 hari. Tetapi bila ookista langsung tertelan oleh kucing, maka masa prapaten adalah lebih lama, yaitu 20-24 hari. Dimana kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista daripada oleh ookista (Rasmaliah, 2003). Di berbagai jaringan tubuh kucing juga ditemukan trofozoit dan kista. Pada manusia trofozoit ditemukan pada infeksi akut dan dapat memasuki tiap sel yang berinti. Bentuk tropozoit menyerupai bulan sabit dengan satu ujung yang runcing dan ujung lain yang agak membulat. Panjangnya 4-8 µm dan mempunyai satu inti yang letaknya kira-kira ditengah (Rasmaliah, 2003). Trofozoit berkembang biak dalam sel secara endodiogeni. Bila sel penuh dengan trozoit, maka sel menjadi pecah dan tropozoit memasuki sel-sel disekitarnya atau terjadi oksitosis oleh sel makrofag. Sel hospes yang mengandung sejumlah Universitas Sumatera Utara tropozoit hasil endodiogeni disebut pseudokista dan dapat ditemukan dalam waktu yang lama. Kista dibentuk dalam sel hospes bila tropozoit yang membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada kista kecil yang mengandung hanya beberapa organisme dan ada yang berukuran 200 µm yang berisi kira-kira 3000 organisme (Rasmaliah, 2003). Kista ini dapat dilakukan didalam hospes seumur hidup terutama di otak dengan kista berbentuk lonjong bulat dan otot jantung, otot bergaris dengan kista mengikuti bentuk sel otot (Chahaya I, 2003). Infeksi dapat terjadi bila manusia memakan daging mentah atau kurang matang yang mengandung kista. Infeksi ookista dapat ditularkan dengan vektor lalat, kecoa, tikus, atau melalui tangan yang tidak bersih. Transmisi toksoplasma ke janin terjadi melalui utero placenta ibu hamil yang terinfeksi penyakit ini. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium, pada peneliti yang bekerja dengan menggunakan hewan percobaan yang terinfeksi dengan toksoplasmosis atau melalui jarum suntik dan alat laboratorium lainnya yang terkontaminasi dengan toksoplasma gondii (Hiswani, 2003). 2.3.4. Cara Infeksi dan Gejala Klinis Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara yaitu makan daging mentah atau kurang masak yang mengandung kista T. gondii, termakan atau tertelan bentuk ookista dari tinja kucing, rnisalnya bersarna buah-buahan dan sayursayuran yang terkontaminasi. Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T. gondii. Kecelakaan laboratorium dapat terjadi melalui jarum suntik dan alat laboratoriurn lain yang terkontaminasi oleh T. gondii. Infeksi kongenital sendiri terjadi secara intra uterin melalui plasenta (Levine, 1990). Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta Universitas Sumatera Utara memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, dimana telah terbentuk kistakista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal. Secara garis besar, infeksi yang terjadi sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya. Adapun toksoplasmosis dapat dikelompokkan atas; toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis dapatan maupun kongenital sebagian besar merupakan asimtomatis atau tanpa gejala. Dimana keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lain (Chahaya I, 2003). Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer, maka ada kemungkinan bahwa 50% anak yang akan dilahirkan mengalami toksoplasmosis kongenital. Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala (Zaman dan Keong, 1988). Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjar getah bening daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas dapat disertai demam, mialgia, malaise. Bentuk kelainan pada kulit akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip kelainan kulit pada demam tifoid sedangkan pada jaringan paru dapat terjadi pneumonia interstisial (Chahaya I, 2003). Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidropsfetalis dan trias klasik yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan Universitas Sumatera Utara perkapuran intrakranial atau tetrade sabin yang disertai kelainan psikomotorik (Zaman dan Keong, 1988). Toksoplasmosis kongenital dapat menunjukkan gejala yang sangat berat dan dapat menimbulkan kematian penderitanya karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada sistem syaraf penderita (Chahaya I, 2003). Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan kecacatan, seperti retardasi mental dan gangguan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital (Chahaya I, 2003). Akibat kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi dapat bermacam-macam jenisnya. Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama kehamilan trimester pertama dapat berupa kerusakan yang sangat berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan dan dapat disertai hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata (Chahaya I, 2003). Infeksi T. gondii pada individu dengan imunodefisiensi menyebabkan manifestasi penyakit dari tingkat ringan, sedang sampai berat, tergantung kepada derajat imunodefisiensinya (Chahaya I, 2003). 2.3.5. Pengobatan Tidak ada agen toksoplasmosis yang dapat dibuktikan memberikan efek terapi sepenuhnya bagi pengobatan infeksi toksoplasma terhadap manusia. Walaupun obatobatan sulfonamid bersifat kuratif dalam penelitian toksoplasmosis yang dilakukan pada tikus. Adapun pirimetamin dengan sulfa dosis ganda tampak menunjukkan hasil terhadap beberapa kasus. Hasil yang baik pada infeksi-infeksi okular telah dilaporkan Universitas Sumatera Utara berdasarkan regimen pengobatan seperti berikut: pirimetamin, dimana dosis awalnya 50 mg, 6 jam kemudian diberikan 25 mg, lalu 25 mg ditambahkan dengan 6 mg dan dikombinasikan dengan sulfonamid selama 2 minggu. Oleh karena itu anemia makroskopik dapat disebabkan oleh pirimetamin dengan dosis tinggi. Maka sangat penting untuk melakukan pemeriksaan darah rutin saat terapi dijalankan dan terapi harus segera dihentikan apabila ada tanda-tanda anemia (Faust and Russel, 1964). 2.3.6. Prognosis Toksoplasmosis akut pada bayi umumnya fatal, meskipun ibu tidak menunjukkan gejala. Infeksi prenatal pada anak, meskipun jarang menimbulkan kematian, namun cacat yang terjadi biasanya bersifat permanen. Pada anak dan orang dewasa, prognosis tergantung pada jenis dan besarnya kerusakan organ yang terserang. Toksoplasmosis pada orang dewasa umumnya asimtomatis (Soedarto, 2008). 2.3.7. Pencegahan Toksoplasmosis Dalam hal pencegahan toxoplasmosis yang penting ialah menjaga kebersihan, mencuci tangan setelah memegang daging mentah menghindari kotoran kucing, lalat, kecoak pada waktu membersihkan halaman atau berkebun. Memasak daging minimal pada suhu 66°C atau dibekukan pada suhu -20°C. Menjaga makanan agar tidak terkontaminasi dengan binatang rumah atau serangga. Wanita hamil trimester pertama sebaiknya diperiksa secara berkala akan kemungkinan infeksi dengan toxoplasma gondii. Mengobatinya agar tidak terjadi abortus, lahir mati ataupun cacat bawaan (Hiswani, 2003). Jika anda memiliki hewan peliharaan kucing, jangan biarkan kucing anda berkeliaran di luar rumah yang dapat memperbesar kemungkinan kontak dengan toksosplasma. Mintalah angota keluarga lain untuk membantu anda membersihkan Universitas Sumatera Utara kucing anda termasuk memandikannya mencuci kandangnya atau tempat biasa kucing berada dan mencuci tempat makannya. Beri makanan kucing anda dengan makanan yang sudah dimasak dengan baik. Lakukan pemerikasaan berkala terhadap kesehatan kucing anda. Gunakan sarung tanggan plastik ketika anda harus membersihkan kotoran kucing, sebaiknya dihindarai. Cuci tangan sebelum makan dan setelah berkontak dengan daging mentah, tanah atau kucing. Gunakan sarung tanggan plastik anda jika anda berkebun terutama jika terdapat luka di tanggan anda (Hiswani, 2003). Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70˚C yang disiramkan pada tinja kucing (Chahaya I, 2003). Universitas Sumatera Utara