BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fouling merupakan fenomena alam merugikan yang terjadi sejak jaman dahulu yaitu tumbuhnya biota laut seperti teritip, ganggang dan kerang yang tumbuh di permukaan kapal yang terendam di laut (Lunn, 1974 dalam Karlsoon dkk., 2010). Fouling pada banyak struktur statis dapat membahayakan keselamatan karena terjadinya fouling dapat mengurangi stabilitas dan menyembunyikan cacat struktural (Turner, 2010). Dalam Karlsoon dkk. (2009), Champ (2000) menyatakan juga bahwa fouling merupakan masalah yang besar terutama dalam hal pengiriman, karena dengan terjadinya fouling akan menyebabkan kerugian ekonomi akibat penurunan kecepatan pengiriman dengan kapal, pemeliharaan lambung kapal, sehingga biaya yang dikeluarkan meningkat. Akumulasi lendir, ganggang dan hewan meningkatkan ketahanan gesek perahu yang bergerak melalui air sehingga menyebabkan kecepatan menurun, konsumsi bahan bakar yang lebih besar dan kemampuan manuver yang buruk. Menurut Boesono (2008), kerusakan bangunan pantai dan kapal juga disebabkan adanya serangan binatang laut atau organisme penempel (biofouling) pada bagian lambung kapal. Dalam Karlsoon dkk. (2010), Yebra dkk. (2004) menyatakan bahwa selama sejarah panjang pencegahan fouling, berbagai variasi metode telah digunakan seperti pitch, tar, dan selubung Cu. Sejak akhir tahun 1950-an di Eropa telah digunakan cat kapal yang diberi senyawa antifouling khusus, yang dikenal dengan nama tributyltin untuk mencegah terjadinya kebocoran pada kapal akibat penempelan biota atau biofouling, senyawa ini efektif mencegah dan memperlambat penempelan biota pengotor pada struktur kapal maupun struktur bangunan laut (Kusumastuti dkk., 2013). Pada tahun 1985, diperkirakan sebanyak 20 hingga 30 % dari armada kapal maupun perahu yang menggunakan cat antifouling yang mengandung senyawa tributyltin tersebut (Clark dkk., 1988). Studi tentang monitoring pencemaran laut dan toksisitas oleh senyawa organotin, 1 2 khususnya tributyltin telah menjadi perhatian luas khususnya di banyak negara maju dimana tributyltin bertanggung jawab pada gangguan sistem endokrin di sejumlah siput laut betina yang mengakibatkan pada perkembangan karateristik organ kelamin jantan dan tributyltin juga menyebabkan gangguan sistem imun pada organisme dan kerang laut yang membentuk perubahan formasi (anomali) cangkang setelah pelepasan tributyltin pada level yang begitu rendah (Sudaryanto, 2001). Karena toksisitas senyawa tributyltin ini, maka penggunaan senyawa tributyltin pada cat antifouling banyak ditinggalkan dan beralih dengan penggunaan cat antifouling dengan bahan dasar Cu. Tembaga (Cu) telah menjadi biosida utama yang ditambahkan dalam cat antifouling sebagai konsekuensi dari larangan cat berbahan dasar tributyltin (TBT) (Jones dan Bolam, 2007; Srinivasan dan Swain, 2007). Hal ini memberikan efek pada peningkatan konsentrasi Cu di perairan laut di seluruh dunia (Matthiessen dkk., 1999 dalam Ytreberg dkk., 2011). Cu merupakan logam transisi yang essensial bagi sebagian besar organisme laut namun ketika berada dalam level konsentrasi tinggi dapat memiliki efek toksik (Pérez dkk, 2010). Konsentrasi Cu yang diamati di beberapa perairan laut seluruh dunia telah terbukti di atas batas toleransi fisiologis untuk cyanobacteria (Croot dkk., 2003), makroalga (Eklund, 2005) dan krustasea (Verma, 2013), sehingga lalu lintas kapal dianggap sebagai sumber antropogenik utama Cu di lingkungan pesisir air (Warnken dkk., 2004 dalam Karlsoon dkk., 2010). Saat ini, mikroalga merupakan indikator yang relevan dalam monitoring lingkungan karena mudah dipelihara dan sensitivitasnya yang tinggi terhadap polutan, sehingga banyak digunakan dalam uji ekotoksikologi baik air tawar maupun air laut. Dalam uji toksisitas, beberapa parameter yang umum dilihat untuk memperkirakan efek dari toksikan terhadap mikroalga antara lain pertumbuhan dan aktivitas fotosintetik (Campanella dkk., 2000). Mikroalga berperan penting dalam keseimbangan ekosistem akuatik, karena berada di tingkat pertama dalam rantai makanan yang memproduksi bahan organik dan oksigen melalui fotosintesis (Graham dan Wilcox, 2000). 3 Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan uji toksisitas Cu(II) terhadap mikroalga laut Pavlova sp. dan pengaruhnya terhadap klorofil-a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi mengenai batas aman Cu(II) di laut terutama yang disebabkan oleh cat antifouling dari lalu lintas kapal di laut. Pengukuran klorofil sangat penting dilakukan karena kadar klorofil dalam suatu volume air laut dapat dijadikan petunjuk bagi kesuburan tumbuhan yang terdapat dalam air laut tersebut (Sihombing, 2013). Biota uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pavlova sp. yang merupakan salah satu mikroalga produsen primer dalam suatu rantai makanan di perairan laut dan merupakan sumber pakan bergizi bagi bivalvia dan zooplankton herbivora. Selain itu, Pavlova sp. memenuhi kriteria sebagai biota uji karena sensitif terhadap bahan pencemar, memiliki nilai penting secara ekologis dan ekonomis, jumlah yang tersedia di alam masih berlimpah, memiliki kemampuan hidup dilaboratorium atau buatan (Hindarti, 1997). Alasan lain adalah penelitian mengenai uji toksisitas Cu(II) dengan indikator mikroalga laut Pavlova sp. belum pernah dilakukan di Indonesia. I.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menentukan nilai IC50 ion Cu(II) terhadap pertumbuhan mikroalga Pavlova sp. pada air laut buatan 2. Mempelajari pengaruh variasi konsentrasi ion Cu(II) terhadap pertumbuhan mikroalga Pavlova sp. 3. Mempelajari respon morfologi mikroalga Pavlova sp. terhadap ion Cu(II) 4. Mempelajari kelarutan Cu(II) pada air laut buatan 5. Mempelajari pengaruh konsentrasi ion Cu(II) terhadap kandungan klorofila pada mikroalga Pavlova sp. 4 I.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi mengenai batas aman Cu(II) di laut terutama yang disebabkan oleh cat antifouling dari lalu lintas kapal di laut.