RUANG UTAMA STRATEGI REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BEKASI Oleh : Adi Susila Abstract Reformation in bureaucracy is a necessity as a reformation mandate launched by the university students for the first time. It happens in region as well. To incarnate regional head and its vice’s vision and mission, they need to be supported by accountable, professional, trustable, transparent, and wise bureaucracy. This writing tries to cover the strategy of bureaucracy reformation in Bekai Local Government. In arranging this strategy, one of the approachment that can be used is management strategy approachment. Through this approachment, first, I will identify strategic issue faced by the Local Government of Bekasi in implementing bureaucracy reformation. Based on this strategy, reformation strategy in Bekasi Local Government is formulated. This strategy also has to consider the main task and function (abbreviated tupoksi) from local government bureaucracy where basically it can be grouped into three: the bureaucracy whose task and function makes policy; perform public service; and enforcement of rules. Keywords: Reformation, Bureaucrachy, Regional Head and Vice Regional Head Relation, and Direct Regional Election Pendahuluan Pada tanggal 14 Mei 2007, Gubernur Jawa Barat telah melantik pasangan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi 2007 – 2012 hasil pemilihan kepala daerah langsung pertama di Kabupaten Bekasi yang diselenggarakan pada 11 Maret 2007. Pelantikan tersebut telah mengakhiri krisis politik semenjak pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi 2004– 2009 yang menuai gugatan dan berujung pada pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Bekasi pada tanggal 4 Januari 2006. Praktis selama lebih dari dua tahun (20042006), birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi terseret dalam konflik politik sehingga tidak dapat menjalankan fungsi pemerintahan secara optimal. Oleh karena itu setelah pelantikan tersebut, diharapkan pasangan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi 2007 – 2012 dapat segera menjalankan berbagai kegiatan untuk mewujudkan visi, misi, dan program yang telah disampaikannya pada saat kampanye. Visinya adalah “Mewujudkan masyarakat Kabupaten Bekasi yang cerdas, amanah, dan sejahtera”. Visi tersebut akan dicapai melalui 3 pilar pembangunan, yaitu: pembangunan sumberdaya manusia (SDM) yang unggul dan agamis; agribisnis; dan industri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Untuk mewujudkan visi tersebut Bupati dan Wakil Bupati harus didukung birokrasi yang profesional, berwibawa, amanah, transparan, dan akuntabel. Namun kenyataannya, kondisi birokrasi pemda di Indonesia pada umumnya lamban, kurang profesional, dan kurang responsive. Kondisi ini tidak terlepas dari sejarah panjang birokrasi pemerintah Indonesia yang merupakan warisan birokrasi pemerintahan kolonial yang memang sejak awal keberadaanya tidak didesain untuk melayani masyarakat melainkan melayani penguasa. Kondisi ini hingga sekarang masih terasa jejaknya, seperti nampak pada kuatnya budaya paternalistik dan orientasi pada kekuasaan yang berlebihan. Mereka lebih loyal kepada atasan daripada kepada masyarakat yang seharusnya dilayani. Atasan birokrat pemda kabupaten adalah Bupati, Wakil Bupati, serta pejabat struktural pemda di atasnya hingga pemerintah pusat. Namun semenjak era reformasi yang salah satunya ditandai dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung, muncul perkembangan yang menarik berkaitan dengan hubungan antara para birokrat pemda dengan Bupati atau Wakil Bupati. Berbeda dengan masa pemerintahan Orde Baru, dimana Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah dipilih dari kalangan birokrat karir yang direstui pemerintah pusat, maka kini kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan jabatan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada umumnya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ini berasal dari politisi atau perpaduan antara politisi dengan birokrat. Karena kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan merupakan jabatan karir dan mereka menjabat hanya maksimal dua kali masa jabatan (10 tahun), maka kenyataan ini berdampak pada loyalitas para birokrat di daerah. Maksudnya, kini di pemerintah daerah terdapat dua jabatan puncak, yaitu jabatan politik dan jabatan karir yang masing-masing dijabat oleh Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah. Seringkali terjadi ketegangan hubungan diantara ketiganya yang berimbas pada para birokrat di bawahnya. Sebagai 9 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2009 ilustrasi, seorang Wakil Kepala Daerah pernah mengeluh bahwa dia merasa seperti tamu di lingkungan pemerintah daerah. Para birokrat itu hanya patuh di dapan dirinya, namun di belakang hal-hal yang sudah didisposisikan tidak dikerjakan sebagaimana perintahnya. Kondisi ini juga terjadi di birokrasi pemda Kabupaten Bekasi. Disamping persoalan lemahnya koordinasi dan buruknya hubungan antara Bupati/Wakil Bupati dengan birokrat karir sebagaimana digambarkan di atas, keluhan umum terhadap buruknya kinerja birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi adalah kurang responsive, lamban, tidak transparan, KKN, dan berbelit-belit. Oleh karena itu, langkah pertama yang seharusnya dilakukan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi yang baru saja dilantik adalah mereformasi birokrasi pemda Kabupaten Bekasi. Karena inti reformasi adalah perubahan menuju yang lebih baik dan perubahan itu selalu menimbulkan resistensi serta pro dan kontra, maka program reformasi birokrasi ini harus didasarkan pada data mengenai profil birokrat Pemda Kabupaten Bekasi. Termasuk data mengenai peta pengelompokan di birokrasi baik yang didasarkan pada kesamaan latar belakang pendidikan maupun asal daerah. Pengelompokan ini sangat terasa pada saat terjadi mutasi pegawai. Para pegawai, dalam rangka promosi atau untuk menduduki jabatan-jabatan „basah‟, mereka biasanya mencari patron yang didasarkan pada kesamaan alumni sekolah atau asal daerah. Selain persoalan resistensi, dalam mereformasi birokrasi juga perlu memperhatikan karakter dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) birokrasi. Karena hal ini akan berimplikasi pada strategi yang akan diterapkan dalam mereformasi birokrasi. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang dimiliki, birokrasi pemerintah dapat dibedakan setidaknya menjadi tiga macam, yaitu birokrasi yang tugas pokok dan fungsinya membuat kebijakan dan regulasi, menyelenggarakan pelayanan, dan memaksakan adanya kepatuhan terhadap peraturan perundangan dan standar norma yang berlaku (Agus Dwiyanto, 2005, h. 378). Namun dalam prakteknya, pembedaan ini sangat longgar. Artinya terdapat suatu institusi yang bisa menjalankan baik fungsi regulasi maupun pelayanan. Meskipun begitu, pembedaan tersebut tetap penting khususnya untuk menentukan strategi dalam melakukan reformasi birokrasi. Struktur birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi terdiri dari: Bupati/Wakil Bupati; Sekretariat Daerah; Badan; Kantor; Dinas; Satuan Polisi Pamong Praja; Kecamatan; dan Desa/Kelurahan. Sekretariat Daerah terdiri dari: Asda 1 (Asisten Daerah bidang pemerintahan; Asda 2 (Asisten Daerah bidang sosial dan pembangunan; Asda 3 (Asisten Daerah bidang keuangan dan umum); Bagian Tata Pemerintahan; Bagian Pemerintahan Desa; Bagian Hukum; Bagian Hubungan Masyarakat; Bagian Ekonomi; Bagian Pembangunan; Bagian Sosial; Bagian Organisasi dan Tatalaksana; Bagian Keuangan; 10 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2009 Bagian Perlengkapan dan Kekayaan Daerah; dan Bagian Umum. Terdapat lima Badan, yaitu: Badan Perencanaan Daerah; Badan Pengawasan Daerah; Badan Kepegawaian Daerah; Badan Pemberdayaan Masyarakat; dan Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana. Dinas terdiri dari 7 institusi, yaitu: Dinas Pendapatan Daerah; Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan; Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan; Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal; Dinas Tenaga Kerja; Dinas Kesehatan; Dinas Pendidikan; Dinas Tata Ruang; Dinas Pemukiman dan Pertamanan; Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan; Dinas Bina Marga dan Pengairan; Dinas Pasar dan Kebersihan; Dinas Perhubungan; dan Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan Pertambangan. Selain Badan dan Dinas, terdapat 4 Kantor, yaitu: Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas); Kantor Pengolahan Data Elektronik dan Arsip Daerah; Kantor Pemadam Kebakaran; serta Kantor Pariwisata dan Kebudayaan. Kecamatan berjumlah 23, sedang desa berjumlah 187. Pada tahun ini terdapat sekitar 5 desa yang akan berubah status menjadi kelurahan. Selain alasan internal, terdapat juga faktor-faktor eksternal yang menjadi alasan mengapa diperlukan reformasi birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi. Secara politik dan sosial, perkembangan warga Kabupaten Bekasi sangat dinamis. Dari sekitar 2 juta penduduknya, separonya merupakan warga pendatang. Mereka biasanya tinggal di perumahanperumahan dan bekerja di sektor industri, perdagangan, dan sektor informal. Adapun secara ekonomi, sebagai penyangga Jakarta, di Kabupaten Bekasi terdapat beberapa kawasan industri seperti: Kawasan Industri MM 2010; Kawasan Jababeka; Kawasan Panasonic; Kawasan Lippo Cikarang; Kawasan Ejip; Kawasan Hyundai; Kawasan Delta Mas. Dinamika politik, sosial, dan ekonomi tersebut menuntut kinerja birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi yang lebih responsive khususnya di bidang pelayanan publik, seperti berbagai pelayanan perijinan di bidang industri, perdagangan, dan pembangunan perumahan. 1. Permasalahan Berkaitan dengan reformasi birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi dapat diajukan beberapa pertanyaan; apanya yang perlu direformasi, struktur organisasi, sumberdaya manusia, sistem penggajian, mekanisme tata kerja, sistem informasi manajemen, tujuan (visi dan misi), atau kepemimpinan. Apabila menggunakan pendekatan sistem, input, proses, atau outputnya yang perlu direformasi. Input berkaitan dengan sumberdaya, baik sumberdaya manusia, keuangan, maupun sarana dan prasarana. Proses berkaitan dengan sistem atau metode kerja, sedangkan output berkaitan dengan kebijakan publik baik pada dimensi implementasi maupun evaluasinya. Selain itu, dapat juga 11 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2009 diajukan pertanyaan yang berkaitan dengan cara dan prioritas dalam melakukan reformasi birokrasi. Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan tentang bagaimana strategi untuk melakukan reformasi birokrasi di Pemda Kabupaten Bekasi. Lebih terperinsi, penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitian, sebagai berikut: a. Isu strategis apa yang dihadapi oleh birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi?. b. Bagaimana strategi untuk menjawab isu strategis birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi?. pada setiap hierarki jabatan pejabat (Thoha, 2003, h.7). Semakin tinggi hierarki jabatan tersebut semakin besar kekuasaannya, dan semakin rendah hierarkinya semakin tidak berdaya (powerless). Hierarki yang paling bawah adalah rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan. Lebih lanjut Thoha (2003) mengemukakan bahwa di Indonesia hierarki kekuasaan ini dibalut dengan sistem bapak atau patrimonial sehingga menjadi lebih kental lagi praktika kekuasaan birokrasi ini. Sebagai contoh, di beberapa ruas jalan di Kabupaten Bekasi rusak berat sehingga menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Masyarakat sudah berteriak dan melakukan demo dengan menanami jalan-jalan yang berlubang tersebut dengan pohon pisang. Namun Pemda Kabupaten Bekasi tidak dapat berbuat banyak karena jalan-jalan rusak tersebut termasuk kategori jalan propinsi yang menjadi kewenangan Pemda Propinsi Jawa Barat. Menurut keterangan resmi, Pemda Kabupaten Bekasi tidak diijinkan oleh Pemda Propinsi Jawa Barat untuk menganggarkan perbaikan jalan tersebut dalam APBD Kabupaten Bekasi. Restu dari atasan ini begitu menentukan dalam menjalankan proyek atau kegiatan di lingkungan birokrasi pemda. Dalam budaya patrimonial, loyalitas lebih dipentingkan daripada prestasi kerja. Akibatnya, inisiatif dari bawahan yang seharusnya dapat menyelesaikan berbagai permasalahan birokrasi, menjadi macet karena tidak mendapat „restu‟ dari atasan. 2. Pendekatan Dari berbagai macam pengertian birokrasi, Priyo Budi Santoso (1993), mengelompokkannya menjadi tiga, yaitu: pertama, birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (bureau-rationality) seperti terkandung dalam pengertian Hegelian Bureaucracy dan Weberian Bureaucracy. Kedua, birokrasi dalam pengertian sebagai suatu penyakit (Bureau Pathology) seperti diungkap oleh Karl Marx, Laski, Robert Michels, Donald P. Warwick, Michael Crocier, Fred Luthan, dsb. Dan ketiga, birokrasi dalam pengertian netral (value-free), artinya tidak terkait dengan pengertian baik atau buruk. Yang dimaksud birokrasi dalam penelitian ini adalah organisasi Pemda Kabupaten Bekasi. Organisasi pemda ini, sebagaimana organisasi pemda di seluruh Indonesia lebih tepat dikelompokkan sebagai Weberian Bureacracy. Ciri birokrasi Weberian adalah kekuasaan itu ada 12 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2009 Di Indonesia istilah reformasi birokrasi bergulir sejalan dengan munculnya gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa pada tahun 1998. Gerakan reformasi ini pada awalnya merupakan gerakan politik yang menuntut diakhirinya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Setelah berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru, gerakan ini meluas untuk melakukan reformasi di berbagai bidang kehidupan termasuk di sektor birokrasi. Reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik diarahkan untuk menciptakan kinerja birokrasi yang professional, efisien, efektif, responsive, dan akuntabel. Istilah lain reformasi birokrasi adalah reformasi administrasi. Caiden (dalam Nasucha, 2004, h.42) menyebutkan bahwa pembaharuan atau reformasi administrasi digambarkan sebagai suatu rangsangan terhadap transformasi administrasi. Reformasi administrasi juga mengandung arti sebagai penggunaan kekuasaan dan pengaruh untuk menerapkan ukuran-ukuran baru pada suatu sistem administrasi guna mengubah tujuan, struktur ataupun prosedur dengan maksud meningkatkannya untuk maksudmaksud pembangunan. Perubahan atau inovasi secara sengaja dibuat dan diterapkan untuk menjadikan sistem administrasi tersebut sebagai suatu agen perubahan sosial yang lebih efektif dan sebagai suatu instrumen yang dapat lebih menjamin adanya persamaan politik, keadilan sosial, dan pertumbuhan ekonomi yang kesemuanya diperlukan dalam proses pemacuan pembangunan dan pembentukan bangsa. Caiden (Nasucha, 2004, h.43) membedakan secara tegas reformasi administrasi (administrative reform) dengan perubahan administratif (administrative change). Reformasi administrasi muncul sebagai akibat tidak berfungsinya perubahan administrasi secara alamiah, sementara perubahan administrasi lebih bersifat sebagai respons organisasi yang bersifat otomatis terhadap perubahan lingkungan. Selanjutnya untuk melakukan reformasi birokrasi diperlukan strategi. Menurut Agus Dwiyanto (2005,h. 370405), untuk merumuskan strategi reformasi birokrasi pemerintah perlu memperhatikan karakter, tugas pokok dan fungsi (tupoksi), dan cakupan atau pintu masuk perubahan. Berkaitan dengan karakter birokrasi pemerintah, untuk memudahkan mengidentifikasi karakter tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan dengan perusahaan swasta. Menurut Agus Dwiyanto terdapat beberapa perbedaan antara birokrasi pemerintah dengan perusahaan swasta. Pertama, dimensi kelembagaan. Keberadaan birokrasi pemerintah diatur oleh UUD, UU, dan peraturan perundangan lainnya, sedang keberadaan suatu perusahaan swasta ditentukan atas kesepakatan diantara para pendiri dan pemegang saham. Perbedaan kelembagaan ini berimplikasi pada kemampuan merespon perubahan lingkungan; birokrasi pemerintah arena alasan peraturan perundangan lebih lamban dalam merespon 13 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2009 perubahan lingkungan dibandingkan dengan perusahaan swasta. Perbedaan kedua pada misi organisasi. Misi birokrasi pemerintah sering tidak dirumuskan dengan jelas, berdimensi banyak, dan tidak mudah diintegrasikan. Hal ini mengakibatkan kekaburan pada fungsi dan kegiatan atau proyek-proyek birokrasi pemerintah sebagai turunan dari misi menjadi tidak jelas dan tidak fokus. Kondisi ini menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya penyimpangan. Sering terjadi suatu kegiatan dibuat hanya untuk menghabiskan anggaran tanpa ada kejelasan kegiatan tersebut dibuat untuk mencapai misi yang mana. Dengan adanya banyak kegiatan/proyek tentunya akan menguntungkan secara finansial bagi para pihak yang terlibat pada proyek tersebut. Karakteristik lain yang membedakan birokrasi pemerintah dengan perusahaan swasta adalah sistem insentif. Birokrasi pemerintah memiliki banyak keterbatasan dalam mengelola sistem insentif untuk mendorong proses perubahan. Hal ini karena birokrasi pemerintah dihadapkan pada ketidakjelasan tujuan dan indikator kinerja. Akibatnya sangat sulit mengaitkan insentif dengan kinerja. Perbedaan lainnya antara birokrasi pemerintah dengan perusahaan swasta adalah pada „mode of control‟. Karena keberadaan birokrasi pemerintah ditentukan oleh proses politik, maka para pejabat pemerintah lebih memperhatikan para pejabat politik daripada kepentingan masyarakat. Sebaliknya perusahaan swasta sangat tergantung pada mekanisme pasar sehingga hidup dan matinya tergantung pada keputusan pasar. Perbedaan penting lainnya antara birokrasi pemerintah dan perusahaan swasta adalah budaya. Perbedaan ini tercermin dari nilai-nilai, simbol-simbol, dan perilaku yang berbeda antara birokrasi pemerintah dan perusahaan swasta. Birokrat pemerintah lebih menonjol dalam hal loyalitas, namun kurang dari sisi inovatif dan kerja keras. Mereka bekerja lebih banyak bertujuan untuk mendapat pengakuan dari atasannya atau berorientasi pada kekuasaan. Dengan kondisi seperti ini menjadi agak sulit mengembangkan etika pelayanan yang berorientasi pada „pelanggan‟. Aspek lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah lingkungan politik. Seberapa jauh sistem politik dan pemerintahan yang ada memberikan peluang bagi pilihan kebijakan dan tindakan untuk mereformasi birokrasi menuju good governance ? Selain karakteristik birokrasi, strategi untuk mereformasi birokrasi juga harus memperhatikan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) birokrasi. Hal ini karena perbedaan tupoksi akan berimplikasi pada perbedaan strategi. Sebagai contoh strategi untuk mereformasi institusi pemerintah yang tupoksinya melakukan pelayanan akan berbeda dengan strategi untuk mereformasi institusi yang tupoksinya membuat regulasi. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan, salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menyuntikkan kompetisi ke dalam birokrasi. Sementara untuk meningkatkan 14 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2009 kualitas kebijakan, salah satu caranya dengan meningkatkan kualitas aparatur di bidang pembuatan kebijakan. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi yang dimilik, birokrasi pemerintah dapat dibedakan setidaknya menjadi tiga macam, yaitu birokrasi yang tugas pokok dan fungsinya membuat kebijakan dan regulasi, menyelenggarakan pelayanan, dan memaksakan adanya kepatuhan terhadap peraturan perundangan dan standar norma yang berlaku. Pembedaan tupoksi ini seringkali tidak diterapkan secara ketat melainkan agak longgar, sehingga satu birokrasi pemerintah dapat menjalankan lebih dari satu jenis tupoksi. Terakhir, untuk mengembangkan strategi reformasi birokrasi, faktor yang dapat dijadikan pertimbangan adalah pintu masuk atau cakupan perubahan. Untuk mendorong perbaikan kinerja, agen pembaharu dapat menginjeksikan perubahan melalui kombinasi dari berbagai pintu perubahan, yaitu dari tingkat perseorangan, prosedur kerja, organisasi, subsistem, dan sistem secara keseluruhan. Semakin banyak perubahan yang diinjeksikan melalui berbagai pintu maka dampak perubahan menjadi semakin besar. Agen pembaharu dituntut untuk dapat melakukan kombinasi yang paling menguntungkan dan veasible untuk dilakukan agar tujuan melakukan perubahan dalam birokrasi pemerintah dapat dicapai (ibid, h. 405). Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut di atas akan digunakan pendekatan manajemen strategis. Untuk itu pertama-tama akan dilakukan analisis terhadap visi, misi, dan mandat Pemda Kabupaten Bekasi. Setelah itu dilakukan analisis SWOT, yaitu analisis untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan, serta peluang dan ancaman yang dihadapi birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi. Data-data dari hasil analisis tersebut digunakan untuk merumuskan isu strategis yang dihadapi birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi. Menurut Bryson (1988), isu strategis adalah pilihan kebijakan mendasar yang mempengaruhi mandat, misi, nilai, tingkat dan kombinasi pelayanan, klien, biaya, organisasi, atau manajemen. Sebagai pilihan kebijakan yang mendasar maka tentunya isu strategis mencakup pertanyaan dan tantangan yang penting yang dihadapi oleh suatu organisasi. Setelah berhasil mengidentifikasi isu strategis, proses selanjutnya adalah merumuskan strategi untuk menjawab isu strategis tersebut. Strategi pada umumnya didefinisikan sebagai pola sasaran, kebijakan, program, tindakan, keputusan, dan alokasi sumberdaya yang menentukan jati diri organisasi, apa yang dilakukan, dan kenapa melakukannya. Dalam merumuskan strategi ini digunakan matrik SWOT. Dengan menggunakan matrik ini akan didapatkan empat variasi strategi, yaitu: menggunakan kekuatan untuk menangkap kesempatan; mengatasi kelemahan dengan mengambil kesempatan; menggunakan kekuatan untuk menghindarkan ancaman; dan 15 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2009 MATRIK SWOT meminimalkan kelemahan serta menghindarkan ancaman (Wahyudi, 1996: 105) Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara. Yang diwawancara adalah para pimpinan Badan/Dinas/Kantor yang mewakili tiga tupoksi; Pimpinan Badan/Dinas/Kantor yang tupoksinya membuat kebijakan/regulasi, Pimpinan Badan/Dinas/Kantor yang tupoksinya melakukan pelayanan, dan Pimpinan Badan/Dinas/Kantor yang tupoksinya melakukan pengawasan atau penegakan aturan. Selain data dari hasil wawancara, pengumpulan data juga dilakukan melalui data sekunder berupa dokumen seperti Peraturan Daerah (Perda), SK Bupati, dan dokumen-dokumen lainnya. Data-data tersebut yang meliputi data tentang visi, misi, mandat, dan program kerja Pemda Kabupaten Bekasi, data tentang kekuatan dan kelemahan, serta peluang dan ancaman Pemda Kabupaten Bekasi dianalisis untuk menemukan isu strategis reformasi birokrasi yang dihadapi Pemda Kabupaten Bekasi. Isu strategis tersebut selanjutnya dijadikan dasar untuk merekomendasikan strategi reformasi birokrasi Pemda Kabupaten Bekasi. Untuk merumuskan strategi digunakan matriks SWOT sebagaimana digambarkan di atas: Strength (S) Identifikasi kekuatan Opportunities (O) Identifikasi kesempatan SO Strategies Menggunakan kekuatan untuk menangkap kesempatan Threat (T) Identifikasi ancaman ST Strategies Menggunakan kekuatan untuk menghindarka n ancaman Weakness (W) Identifikasi kelemahan WO Strategies Mengatasi kelemahan dengan mengambil kesempatan WT Strategies Meminimalk an kelemahan & menghindar kan ancaman Sumber: Wahyudi, 1996: 105 Daftar Pustaka Mulus, 1985, Koperasi Indonesia, CV.Haji Masagung, Jakarta. Widiyanti, Sunindhia, 1988, Kperasi dan Perekonomian Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. Widiyanti, 1992, Manajemen Koperasi, Rineka Cipta, Jakarta. Hendar, Kusnadi, 1999, Koperasi, Fakultas Universitas Indonesi. Ekonomi Ekonomi Sumarsono, 2003, Manajemen Koperasi Teori dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta. 16 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2009