Mitos Menyesatkan Tentang Perdagangan Bebas Oleh: Fithra Faisal Hastiadi Selama beberapa tahun terakhir, perdagangan bebas menjadi tren baru di Asia. Negara-negara di Asia menempuh berbagai cara dalam memperluas perdagangan bebas di Asia, seperti: pembentukan Regional Trade Agreements (RTAs) dalam bentuk Free Trade Agreements (FTAs) dan Economic Partnership Agreements (EPAs). Sebagaimana landasan teori Comparative Advantage: semua negara tak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Maka perdagangan dianggap sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan negara-negara. Setiap negara mempunyai sumber daya yang spesifik, bahkan berlebihan sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri yang bermacam-macam. Oleh karena itu perdagangan dengan negara lain menjadi solusi. Namun di sisi lain, terdapat beberapa halangan yang merintangi tren integrasi pasar tersebut. Beberapa rintangan tersebut didukung oleh argumen-argumen kesalah pahaman tentang pasar bebas. Menurut Krugman dan Obstfeld (2000), setidaknya ada tiga mitos yang biasa digunakan untuk menentang pasar bebas. Pertama, bagi negara yang kurang kompetitif seperti Indonesia, argumen yang dikembangkan oleh kelompok penentang adalah bahwa negara kita tidak bisa berproduksi lebih efisien dibandingkan negara lain, mengingat harga yang kompetitif. Tapi seperti yang kita pelajari dalam teori perdagangan tradisional, bahwa perbedaan sumber daya dan faktor pendukung, struktur produksi, dan produktivitas akan menghasilkan hubungan yang saling melengkapi. Data yang diambil dari pertumbuhan perdagangan produk elektronik dan komponen antar industri yang begitu pesat, dalam hal ini kasus ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), pada pemilahan tingkat tertinggi menunjukkan bahwa perbedaan produk menciptakan produksi dan perdagangan yang saling melengkapi. Bahkan di sektor non-manufaktur, hubungan saling melengkapi tersebut bisa ditemukan. Buah dan sayuran yang dihasilkan di wilayah beriklim China saling melengkapi dengan yang dihasilkan di wilayah tropis Asia Tenggara. Penelitian penulis pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa ada cukup bukti tentang produk China dalam jumlah besar ke Pelabuhan Tanjung Priok, sebagai salah satu pelabuhan utama di Indonesia setelah ACFTA berlaku. Ketika menyusuri data tersebut, penulis menemukan perbedaan yang cukup besar dalam hitungan statistik antara database CEIC Hongkong dengan data yang dimiliki Indonesia. Statistik ini menyebutkan bahwa terdapat produk China illegal telah membanjiri pasar Indonesia. Namun sejak ACFTA di tahun 2010, selisih tersebut semakin menipis. Ini membuktikan bahwa ACFTA menghapuskan pasar gelap, yang jelas mengurangi pendapatan ilegal dari pedagang gelap. Kedua, mitos yang sering dilontarkan oleh kelompok penentang adalah bahwa perdagangan bebas akan menghancurkan negara berpenghasilan rendah. Pasar bebas akan terus-menerus menekan negara berpenghasilan rendah. Argumen kelompok penentang ini mirip dengan mitos berikutnya yang akan penulis sampaikan, negara yang menerapkan perdagangan bebas akan tereksploitasi dengan buruh-buruh yang kian menurun pendapatannya dibandingkan negara lain. Argumen-argumen seperti ini biasanya dibangun atas dasar emosional dan tanpa bukti empiris yang kuat. Riset penulis pada tahun 2011 membuktikan sebaliknya, perdagangan bebas menyeimbangkan angka pendapatan negara-negara yang memberlakukan perdagangan bebas dalam jangka panjang. Selain itu, perdagangan bebas juga memberikan kesejahteraan dalam dua cara. Pertama, perdagangan bebas meningkatkan standar pendapatan di Indonesia ketika tenaga kerja sebagai faktor produksi relatif melimpah. Kedua, Pembangunan yang tersebar (Development of Fragmentation) menghasilkan produktivitas melalui skala ekonomi. Betul, perdagangan bebas dipicu oleh FDI, yang tentu keuntungan akan mengalir kembali sebagaimana kembalinya modal. Walaupun begitu, persebaran ini akan meningkatkan standar pendapatan melalui naiknya gaji dan tersedianya lebih banyak lapangan pekerjaan. Dengan kata lain, dengan tersebarnya jejaring perdagangan bebas ini di skala kawasan, maka akan mengurangi ketimpangan pendapatan di masa mendatang. Namun disayangkan standar upah di Indonesia berjalan dengan menyimpang, karena menjadi fungsi dari demonstrasi mogok buruh. Hal ini akan mengarah kepada penurunan tingkat FDI dan menyebabkan pengangguran besar-besaran. Untuk menyimpulkan, dalam dunia yang sudah tercemar pembatasan ekspor, pemberian proteksi, dan tendensi kuat terhadap pembentukan blok-blok perdagangan, perbedaan terhadap liberalisasi diskriminatif dan non-diskriminatif mungkin menjadi kabur. Dengan demikian perjanjian perdagangan bebas menjadi salah satu sarana untuk liberalisasi perdagangan kawasan. Dengan liberalisasi ini maka akan dianggap sebagai spesialisasi internasional, demi meningkatkan hasil perdagangan kawasan. Selain itu perdagangan bebas juga bisa dipandang sebagai upaya efisiensi penggunaan dan alokasi sumber daya kawasan. Sehingga hal tersebut bisa memfasilitasi berjalannya sistem pasar internasional dan isyarat harga, dengan tujuan menjamin alokasi sumber daya yang efisien, kompetisi internasional, dan menghubungkan keuntungan bagi semua pihak. Di ASEAN sendiri, mobilitas tenaga kerja di dalam kawasan, Foreign Direct Investment (FDI), dan arus modal-finansial akan semakin terus memainkan peran penting dalam beberapa tahun mendatang. Sejauh harmonisasi kebijakan antar negara bisa membantu untuk memfasilitasi gerakan tersebut, maka integrasi regional akan memberikan penawaran unik. Yaitu mengurangi ketegangan politik dan mendorong stabilitas diantara negara-negara yang pernah bermusuhan. Fithra Faisal Hastiadi mendapatkan gelar sarjana Ilmu Ekonomi di Universitas Indonesia. Setelah lulus, Fithra bekerja sebagai asisten dosen di fakultasnya, sebelum melanjutkan studi master dan doktor di Keio University dan Waseda University, Jepang. Telah mempublikasikan sejumlah publikasi di beberapa jurnal ternama. Fithra juga menyumbang kontribusi signifikan tentang studi ASEAN 2030 ketika menjadi peneliti di Asian Development Bank Institute (ADBI) Tokyo. Fithra juga terlibat dalam Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang memberikan masukan ekonomi kepada Presiden RI 2012-2013. Kini aktivitasnya adalah peneliti dan mengurusi aktivitas masyarakat di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter: @hastiadi