BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pelaksanaan pembangunan. Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Soemitro dalam Mardiasmo, 2011). Pajak selanjutnya akan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat suatu negara. Terdapat dua fungsi pemungutan pajak yaitu sebagai Regulerend dan Budgeting. Dalam menjalankan fungsi regulerend, pajak digunakan untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi (Mardiasmo, 2011). Contohnya pajak yang tinggi dikenakan atas barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif dari masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya sebagai budgeting, pajak haruslah dipungut dengan optimal agar penerimaan pajak dapat meningkat dan membiayai pengeluaran Negara maupun daerah. Kenyataanya penerimaan pajak di Indonesia masih belum mampu dicapai dengan maksimal. Dari data Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Tahun 2011 penerimaan pajak di Indonesia dari PPh Non Migas tercatat 358.02 Triliun Rupiah dari target yang ingin dicapai yaitu 366.74 Triliun Rupiah. Jumlah tersebut berada pada angka 97.62% dari target. Pada tahun selanjutnya, tahun 2012 pencapaian penerimaan pajak PPh Non Migas tercatat 381.29 Triliun Rupiah dari target yang ditetapkan yaitu 445.73 Triliun Rupiah. Jumlah tersebut mencapai angka 85.54% dari target. Selanjutnya realisasi tahun 2013 mencapai angka 416.14 Triliun Rupiah dari target yang ditetapkan yaitu 459.98 Triliun Rupiah. Jumlah tersebut baru mencapai 90.47% dari target yang ditetapkan. Terakhir pada tahun 2014 tercatat penerimaan PPh Non Migas mencapai angka 362.6 Triliun Rupiah dari target yang ditetapkan sebesar 485.97 Triliun Rupiah. Angka tersebut mencapai 74.6%. Belum mampunya pemerintah merealisasi penerimaan pajak secara maksimal menimbulkan pertanyaan apakah dari sisi wajib pajak terdapat beberapa tindakan penghindaran perpajakan, ataukah memang pemungutan yang dilakukan belum mampu berjalan secara maksimal. Penerimaan pajak harus mampu mencapai tingkat yang maksimum karena hasil penerimaan pajak nantinya akan digunakan untuk pembiayaan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pajak merupakan beban yang harus dibayar bagi para wajib pajak. Wajib pajak di Indonesia terdiri dari dua yaitu wajib pajak pribadi dan wajib pajak badan. Baik wajib pajak pribadi maupun badan, sama-sama dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima. Sehingga tentu saja akan mengurangi total pendapatan atau laba bersih yang diterima oleh wajib pajak. Hal tersebut menyebabkan perusahaan selalu mencari cara untuk menghindari beban pajaknya. Rego (2003) menyatakan bahwa penghindaran pajak sebagai suatu metode perencanaan pajak untuk secara legal mengurangi total pajak penghasilan yang dibayarkan. Oleh karena itu kemungkinan perusahaan akan lebih agresive dalam hal perpajakan apabila mereka dibebani oleh beban pajak yang besar (Chen, et al.,2010). Menurut Frank, et al (2009) suatu tindakan merekayasa pendapatan kena pajak yang dilakukan perusahaan melalui tindakan perencanaan pajak, baik dengan cara yang legal (tax avoidance) ataupun illegal (tax evation) merupakan suatu Agresivitas Pajak. Hanlon dan Heitzman (2010) menyatakan pengukuran penghindaran pajak dapat menggunakan beberapa proksi yang bervariasi. Ukuran tingkat agresivitas pajak yang dilakukan oleh perusahaan diproksikan dengan membandingkan Net Profit Margin (NPM) dalam perusahaan dengan Net Profit Margin (NPM) dari industri perusahaan tersebut. Berbeda dengan beberapa penelitian yang menggunakan proksi ETR (effective tax rates) dalam memproksikan agresivitas pajak, seperti penelitian Armstrong dan Blouin (2009), Zimmerman (1983) dan Gupta dan Newberry (1997). Peneliti menganggap bahwa ETR tidak memproksikan agresivitas dengan baik karena ETR membagi total pajak yang dibayarkan dengan laba sebelum pajak. Total pajak yang dibayarkan bergantung pada laba sebelum pajak dengan pengenaan tarif tertentu. Tarif tersebut bersifat pasti sehingga tidak akan mampu menjelaskan berapa besar perusahaan menghindari pajak dikarenakan pengenaan pajak terutang bersifat tarif. Peneliti akhirnya menggunakan perbandingan NPM perusahaan dengan NPM industri. Dengan membandingkan kedua Net Profit Margin (NPM) tersebut kita dapat mengetahui tingkat agresivitas pajak. Apabila NPM perusahaan berada di bawah NPM industri maka akan terdapat indikasi bahwa perusahaan tersebut tidak melaporkan laba yang sebenarnya karena sedang berada di bawah NPM industri. Perusahaan dapat memanipulasi laporan keuangannya sedemikian rupa dengan berbagai tujuan, salah satunya adalah penghindaran pajak. Apabila laba yang dilaporkan berada di bawah rata-rata maka perusahaan tersebut tentu saja kurang sehat dalam persaingan atau bisa terdapat indikasi penghindaran pajak. Penghindaran pajak merupakan upaya menghindar pajak yang dilakukan oleh perusahaan dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan di dalam undangundang tanpa harus melanggar peraturan yang telah ditetapkan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang (Pohan, 2011) Pemungutan pajak tidak selalu mendapat perhatian yang positif dari sisi wajib pajak, termasuk wajib pajak badan. Perusahaan cenderung berusaha untuk meminimalisir besarnya beban pajak terutang pada satu periode berjalan. Untuk mengurangi beban pajak, perusahaan biasanya melakukan penggelapan pajak (tax avoidance) dengan mencari celah (loopholes) dari regulasi pajak yang ada. Menurut Prebble dan Prebble (2010) perbedaan antara tax avoidance dan tax evasion adalah bahwa tax evasion adalah illegal. Perencanaan pajak merupakan upaya legal yang dilakukan wajib pajak dengan memanfaatkan undang-undang (Hardika, 2007). Beberapa perusahaan bahkan melakukan pengelakan pajak (tax evasion) yaitu dengan tidak menaati peraturan perpajakan yang ada. Beban pajak akan mengurangi total laba bersih dalam perusahaan. Sehingga Perusahaan akan berusaha untuk mengurangi beban pajaknya agar mampu meningkatkan laba periode berjalan. Sementara pemerintah membutuhkan penerimaan pajak untuk pembiayaan pemerintah. Perbedaan kepentingan itulah yang menyebabkan terjadinya penghindaran pembayaran pajak, baik secara legal maupun illegal. Dari sisi pemilik perusahaan, pastilah menginginkan hasil laba yang tinggi dan kinerja yang baik dari para manajemen perusahaan. Manajemen perusahaan juga menginginkan kompensasi yang seimbang dengan hasil kinerja mereka. Beberapa manajer bahkan melakukan manajemen laba untuk melaporkan laba yang dapat memaksimalkan kepentingan pribadi atau perusahaan dengan kebijakan akuntansi yang ada (Scoot, 2009). Teori Akuntansi Positif menjelaskan hal-hal yang menyebabkan manajer melakukan tindakan manajemen laba. Teori Akuntansi Positif menjelaskan mengenai bagaimana pemilihan prosedur akuntansi digunakan untuk tujuan tertentu. Watts dan Zimmerman (1986) dalam Gumayanti (2000) menjelaskan bagaimana teori akuntansi positif memberikan kebebasan kepada manajemen untuk memilih alternatif dari beberapa prosedur akuntansi yang ada untuk meminimalisir biaya kontrak dan meningkatkan nilai perusahaan. Kondisi ini diperkuat dengan diberikannya kewenangan kepada manajemen dalam memilih metode akuntansi selama tidak menyimpang dari standar. Sehingga manajemen dapat melakukan tindakan manajemen laba untuk meningkatkan nilai perusahaan. Teori Akuntansi Positif menjelaskan mengenai tiga hipotesis yang menyebabkan manajemen melakukan tindakan manajemen laba, yaitu the bonus plan hypothesis, the debt covenant hypothesis, dan the political cost hypotesis. Dalam hipotesis biaya politik dijelaskan mengenai tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan dengan memilih prosedur akuntansi yang memungkinkan dialokasikannya laba periode berjalan ke periode mendatang (Missioner-Piera, 2004). Pemerintah berperan sebagai pihak ketiga bagi perusahaan dan pajak merupakan salah satu biaya yang timbul akibat adanya hubungan pihak ketiga tersebut. Jika manajer mendapatkan tekanan dari pihak ketiga (seperti: pekerja, lembaga swadaya, pemerintah, dan partai politik) akan cenderung menghindari tekanan tersebut dengan memilih kebijakan akuntansi yang dapat menunda laba untuk menhindari political cost (Hadian dan Utomo, 2012). Dalam hal agresivitas pajak, apabila perusahaan memiliki laba periode berjalan yang tinggi, maka akan berbanding positif dengan tingkat pajak yang dibayarkan. Untuk mengurangi tingkat laba yang dibayarkan, perusahaan dapat mengalokasikan laba periode berjalan ke periode mendatang. Tindakan pajak agresif dapat berdampak buruk bagi perusahaan karena mengharuskan perusahaan untuk melaporkan laba yang lebih rendah (Karmila dan Dwi, 2014). Perusahaan dapat menggunakan laba untuk mengelola pajaknya (Phillips, et al., 2003). Laba sebagai bagian dari laporan keuangan yang tidak menyajikan fakta yang sebenarnya tentang kondisi ekonomis perusahaan dapat diragukan kualitasnya. Laba yang tidak menunjukkan informasi yang sebenarnya tentang kinerja manajemen dapat menyesatkan pihak pengguna laporan (Rachmawati dan Triatmoko, 2007). Pajak merupakan salah satu bagian dari kewajiban jangka pendek perusahaan. Kemampuan perusahaan untuk melaksanakan kewajiban jangka pendeknya dapat dilihat dari rasio keuangannya, yaitu rasio likuiditas. Masalah likuiditas merupakan salah satu masalah penting dalam suatu perusahaan yang relatif sulit dipecahkan (Putri, 2014). Likuiditas merupakan rasio keuangan yang menandakan kemampuan sebuah perusahaan dalam melaksakan kewajiban jangka pendeknya. Apabila perusahaan memiliki rasio likuiditas yang tinggi maka perusahan tersebut sedang berada dalam kondisi yang baik dengan arus kas yang lancar. Perusahaan dengan rasio likuiditas yang tinggi menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya, yang menandakan perusahaan dalam kondisi keuangan sehat serta dengan mudah menjual aset yang dimilikinya jika diperlukan (Suyanto, 2012). Sehingga perusahaan akan mampu melaksanakan kewajiban pajak yang dimilikinya dalam suatu periode berjalan. Apabila perusahaan sedang berada dalam kondisi keuangan yang baik, pemerintah tentu saja berharap agar perusahaan tersebut melunasi atau melaksanakan kewajiban pajaknya tepat waktu. Suyanto (2012) menemukan adanya pengaruh dari likuiditas terhadap tingkat agresivitas pajak. Semakin tinggi rasio likuiditas perusahaan menandakan perusahaan tersebut dalam keadaan yang sehat. Perusahaan dengan tingkat laba yang tinggi akan memiliki kenaikan modal (aktiva bersih) yang tinggi. Dengan tingkat aktiva bersih yang tinggi maka perusahaan dapat menggunakannya untuk meningkatkan aktiva lancar yang dimilikinya (Yusriwati, 2012). Semakin tingginya rasio likuiditas perusahaan maka perusahaan akan semakin berusaha untuk mengalokasikan laba periode berjalan ke periode selanjutnya dengan alasan tingkat pembayaran pajak yang tinggi apabila perusahaan dalam keadaan yang baik. Sehingga semakin tinggi rasio likuiditas perusahaan, maka tindakan untuk mengurangi laba akan makin tinggi dengan alasan menghindari beban pajak yang lebih tinggi. Semakin tinggi rasio likuiditas maka akan berbanding positif dengan tingkat agresivitas pajak perusahaan. Leverage pinjaman/utang merupakan yang rasio digunakan yang menandakan perusahaan untuk besarnya membiayai modal aktivitas operasinya. Hasil dari perhitungan rasio leverage menandakan seberapa besar Aset yang dimiliki perusahaan berasal dari modal pinjaman perusahaan tersebut. Apabila perusahaan memiliki sumber dana pinjaman yang tinggi, maka perusahaan juga akan membayar beban bunga yang tinggi kepada kreditur. Beban bunga yang terjadi akan mengurangi laba sehingga dengan berkurangnya laba maka akan mengurangi beban pajak dalam satu periode berjalan. Perusahaan dapat menggunakan tingkat leverage untuk mengurangi laba dan akan berpengaruh terhadap berkurangnya beban pajak (Brigham & Houston, 2010). Dalam penelitian sebelumnya, Darmadi (2013) menyatakan bahwa tingkat kewajiban perusahaan berpengaruh Negatif terhadap tarif pajak efektif. Dikarenakan perusahaan yang memiliki tingkat kewajiban yang tinggi maka akan memiliki beban atas bunga kewajiban yang tinggi sehingga mengurangi laba bersih periode berjalan. Teori Akuntansi Positif dengan Hipotesis debt covenant menjelaskan semakin tingginya hubungan perusahaan dengan pihak ketiga (kreditur) maka perusahaan akan lebih menjaga laba periode berjalan dengan tujuan untuk menjaga stabilitas kinerja perusahaan yang dijelaskan melalui laba karena semakin tingginya kepentingan perusahaan dengan kreditur maka kreditur akan lebih mengawasi perusahaan dengan alasan kelangsungan pinjaman modal eksternal. Sehingga perusahaan dengan tingkat Leverage yang tinggi tidak akan agresif dalam hal perpajakan karena diharapkan mampu menjaga stabilitas laba periode berjalan, salah satunya dengan mengalokasikan laba periode mendatang ke laba periode berjalan. Perusahaan cenderung untuk memanfaatkan sumber daya (internal) yang dimilikinya dibandingkan dengan menggunakan sumber pendanaan dari luar (eksternal). Perusahaan-perusahaan dengan sumber dana besar akan menjadi sorotan pemerintah, hal tersebut akan membuat manajer perusahaan membuat keputusan untuk patuh atau agresive dalam menangani pajak (Maria dan Kurniasih, 2013) Tingginya tingkat persediaan dalam perusahaan akan menimbulkan tambahan beban bagi perusahaan. PSAK 14 no. 13 menyatakan adanya beberapa pemborosan yang ditimbulkan akibat tingginya tingkat persediaan, biaya-biaya tersebut meliputi jumlah pemborosan (bahan, tenaga kerja, atau biaya produksi), biaya penyimpanan, biaya administrasi dan umum, dan biaya penjualan dikeluarkan dari biaya persediaan dan diakui sebagai beban dalam periode terjadinya biaya. Biaya-biaya tersebut nantinya akan mengurangi tingkat laba bersih perusahaan dan mengurangi beban pajak yang ada. Intensitas persediaan merupakan rasio yang menandakan perputaran persediaan yang dilakukan selama satu periode akuntansi. Semakin tinggi intensitas persediaan maka semakin efisien dan efektif perusahaan dalam mengelola persediaannya. Apabila intensitas persediaan perusahaan tinggi maka tingkat biaya pemborosan akan semakin berkurang dan meningkatkan jumlah laba, maka semakin tingginya intensitas persediaan akan meningkatkan tingkat agresivitas pajak perusahaan. Hasil penelitian Derashid dan Zhang (2013) menunjukkan bahwa intensitas persediaan berpengaruh Negatif terhadap tarif pajak efektif sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan semakin agresif dalam menghadapi pajaknya, begitu pula dengan hasil penelitian Richardson dan Lanis (2007). Intensitas aset tetap merupakan rasio yang menandakan intensitas kepemilikan aset tetap suatu perusahaan dibandingkan dengan total aset. Kepemilikan aset tetap yang tinggi akan menghasilkan beban depresiasi atas aset yang besar pula, sehingga laba perusahaan akan berkurang akibat adanya jumlah aset tetap yang besar. Sehingga tingginya jumlah aset yang ada di perusahaan akan meningkatkan agresivitas pajak perusahaan. Intensitas kepemilikan aset tetap dapat mempengaruhi beban pajak perusahaan karena adanya beban depresiasi yang melekat pada aset tetap. Beban depresiasi yang timbul atas kepemilikan aset tetap akan mempengaruhi pajak perusahaan, hal tersebut terjadi karena beban depresiasi merupakan salah satu beban yang mengurangi pajak (Blocher, 2007). Terdapat penelitian yang meneliti mengenai pengaruh ukuran perusahaan yang ditandai dengan aset yang besar (Siegfried, 1974). Perusahaan dengan jumlah aset yang besar akan memiliki beban pajak yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki jumlah aset yang lebih kecil karena mendapatkan keuntungan dari beban depresiasi yang ditanggung perusahaan (Noor et al, 2010). 1.2 RUMUSAN PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Apakah Likuiditas Perusahaan berpengaruh positif pada tingkat Agresivitas Wajib Pajak Badan ? 2) Apakah Leverage Perusahaan berpengaruh negatif pada tingkat Agresivitas Wajib Pajak Badan ? 3) Apakah Intensitas Persediaan Perusahaan berpengaruh positif pada tingkat Agresivitas Wajib Pajak Badan ? 4) Apakah Intensitas Aset Tetap Perusahaan berpengaruh positif pada tingkat Agresivitas Wajib Pajak Badan ? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui apakah Likuiditas Perusahaan berpengaruh positif pada tingkat Agresivitas Wajib Pajak Badan 2) Untuk mengetahui apakah Leverage Perusahaan berpengaruh negatif pada tingkat Agresivitas Wajib Pajak Badan 3) Untuk mengetahui apakah Intensitas Persediaan Perusahaan berpengaruh positif pada tingkat Agresivitas Wajib Pajak Badan 4) Untuk mengetahui pengaruh Intensitas Aset Tetap Perusahaan berpengaruh positif pada tingkat Agresivitas Wajib Pajak Badan 1.4 KEGUNAAN PENELITIAN Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1) Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memberikan pemahaman lebih luas mengenai pengaruh Likuiditas, Leverage, Intensitas Persediaan dan Intensitas Aset Tetap pada Tingkat Agresivitas Pajak yang terjadi di dalam perusahaan. Di samping itu, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam kajian empiris dan dijadikan perbandingan, pengembangan, dan penyempurnaan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya 2) Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai respon dari perusahaan atas pajak yang dikenakan. 1.5 SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini membahas mengenai pengaruh Likuiditas, Leverage, Intensitas Persediaaan, dan Intensitas Aset Tetap pada Tingkat Agresivitas Wajib Pajak Badan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dibagi ke dalam lima bab dengan urutan sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Bab ini menguraikan mengenai landasan teori yang digunakan di dalam penelitian serta hipotesis yang disusun berdasarkan landasan teori yang digunakan oleh peneliti BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan mengenai desain penelitian, lokasi serta ruang lingkup penelitian, populasi dan sampel penelitian, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data yang digunakan di dalam penelitian BAB IV: DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Bab ini menguraikan mengenai hasil pengujian dan pengumpulan data, hasil analisis data, serta pembahasan hasil penelitian BAB V : PENUTUP Bab terakhir dalam penelitian ini menjelaskan tentang kesimpulan dari penelitian, implikasi, dan saran yang diberikan oleh peneliti DAFTAR PUSTAKA