II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioekologi Sengkubak 1. Klasifikasi dan Morfologi Sengkubak merupakan golongan liana yang termasuk dalam famili Menispermaceae, berdasarkan identifikasi jenis yang dilakukan, maka secara taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Backer & Brink 1963) : Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Ranunculales Famili : Menispermaceae Genus : Pycnarrhena Spesies : Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels. Nama lokal : sengkubak, Dayak Siberuang, Sekujang, Desa, Ransa Kalimantan Barat, bekkai lan, Dayak Kenyah Kaltim (Uluk, et al. 2000), apak (P. tumetacta) Malaysia (Hoe & Siong 1999), ambal (P. manillensis) Philipina (Philippine Medical Plant 2007). Secara umum Pycnarrhena memiliki bunga-bunga aksilar yang tumbuh di sepanjang tangkai berdaun (foliat) atau tangkai tak berdaun (defoliat), tumbuh teruntai atau bertangkai, atau muncul berdiri sendiri (secara reduksi). Pycnarrhena memiliki 6-9 daun kelopak (sepal), bagian luar yang berukuran sangat kecil, ukurannya kemudian akan meningkat dan daun-daun kelopak bagian dalam menutupinya. Bunga Pycnarrhena memiliki 2-6 daun bunga, di Pulau Jawa 3 daun bunga, ukurannya lebih kecil dari daun kelopak bagian dalam, tumbuh menyebar, memiliki 2-12 benang sari (stamen). Di Pulau Jawa bunga Pycnarrhena memiliki 9 atau 12 benang sari, berkumpul dengan rapat; tersusun dari tangkai-tangkai sari (filament), kepala sari (anther) sebagian meresap ke puncak filament. Bunga betina terdiri dari 2-4 indung telur (ovary), berbulu atau glabrous (tanpa bulu); 5 kepala putik (stigma); terdiri dari 1-4 drupelet, berada di atas bakal buah (sessile) atau stipitate (bertangkai), dan berbulu atau glabrous. Inti dari kepala putik terletak di bagian perut, dinding pyrene yang dimiliki sangat tipis; condylus berukuran kecil atau bahkan tidak ada; tidak memiliki endosperm, cotyledons berukuran besar, berdaging; dan radicle berukuran sangat kecil. Pembungaan yang berkembang menjadi buah muncul dari batang disebut cauliflora. Sketsa morfologi Pycnarrhena cauliflora disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Sketsa morfologi Pycnarrhena cauliflora 6 P. cauliflora secara morfologi memiliki daun-daun yang tidak berlapis dengan bentuk lebih panjang, dan daun mudanya berserat pada tangkai. Serat yang dimaksud adalah cabang dari tulang daun atau tulang daun yang kecil. Petiole menebal pada kedua ujungnya. Serta secara spesifik P. cauliflora mempunyai daun-daun pada tangkai yang berbunga dengan panjang 7,5-21 cm hingga 3-9,5 cm, daun yang lebih besar kebanyakan lebih panjang dari 12,5 cm, matang pada bagian bawah tulang daun, serta memiliki bulu yang pendek atau glabrous, berbentuk oval-persegi tak beraturan, dengan dasar tumpul atau membulat, meruncing, lancip memanjang, lancip atau tumpul, pada kedua sisi yang sama dari tulang daun dengan 5-12 serat lateral, mengkilap pada kedua permukaannya. Selain itu, pembuluh-pembuluhnya secara terpisah berbeda dengan jelas menonjol di bagian bawah; memiliki petiole 1,5-6 cm, yang berbulu pendek dan halus. Pada bunga jantan (hanya diketahui tunas muda), berbunga banyak dalam untaian; pada tangkai tumbuh satu bunga, benang sari 9 buah, pada bunga betina berbunga 3-12 untaian, panjang pedicel 4-8 mm; daun kelopak bagian dalam memiliki lebar 2-2,5 mm; indung telur dan drupelet matang secara bersamaan. Tangkai muda berbulu pendek halus, secara perlahan, kayu putih (Backer & Brink 1963). P. cauliflora memiliki ”body climber”, biasanya hidup diantara pohonpohon besar. Beberapa genus lainnya yang termasuk famili Menispermaceae sebagian besar merupakan golongan liana. P. cauliflora juga mempunyai ranting yang zigzag, dan permukaan ranting berbulu halus rapat. Internot (jarak antar daun) adalah 1–2 cm, bentuk daun ellips, pangkal daun lancip, tepi daun rata, ujung daun luncip (accuminate), panjang ujung daun (accumane) atau ekor 2 cm, serta urat daun nyata sebanyak 6–8 pasang. Urat daun melengkung sebelum mencapai tepi (anastomosting). Selanjutnya dapat dijelaskan pula permukaan daun bagian atas licin, mengkilat, sedang permukaan bawah berbulu pada urat daun (direticulet), ganggang daun adalah bipulpined atau tegak tidak melengkung (terjadi dua kali penebalan), dan tangkai daun berbenjol dua sekitar 3 – 4 cm (Backer & Brink 1963). 7 2. Ekologi dan Penyebaran Penyebaran dan ekologi P. cauliflora sulit untuk di uraikan karena sangat minimnya literatur yang mendukung. Berdasarkan studi pustaka dengan menelusuri spesimen yang dikolekasi di Herbarium LIPI Cibinong (2007), diketahui bahwa P. cauliflora ditemukan di Kalimantan Barat pada ketinggian 100-150 m di habitat dataran rendah dan perbukitan, di Kalimantan Selatan pada habitat lembah antara dua perbukitan di Muara Uya pada ketingian 100 m dan 90 m. Pulau Panaitan (Prinsene Island) pada habitat hutan dengan dataran rendah (koleksi tahun 1951). Di Pantai Ngliyep Selatan Malang, Pantai Popoh Selatan di Tulung Agung (koleksi tahun 1914), di Cisampora Wangun Lengkong pada ketinggian 700 m dpl (tahun 1976), selain itu ditemukan pula di Sumba, Langgaliru, Sumba Barat pada ketinggian 600 m dpl pada habitat hutan sekunder. Pada penelusuran spesimen yang dikoleksi tersebut diketahui P. cauliflora dapat hidup pada ketinggian 80-700 m dpl. Pada habitat dataran rendah, perbukitan dan pada habitat hutan sekunder. Penyebaran anggota marga pycnarrhena lainnya ditemukan di Papua New Guinea (P. ozantha), Himalaya dan Jawa (P. marocarpa), Philipina Jawa, Sulawesi (P. calocarpa), Philipina (P. manillensis Vidal), Borneo, (P. borneensis), Himalaya (P. longiflora), dan Timortimor (P. longifolia) (Data LIPI Cibinong 2007). B. Penggunaan Sengkubak Pengetahuan mengenai penggunaan sengkubak sebagai bumbu atau penyedap telah lama dimiliki oleh masyarakat pedalaman Kalimantan baik pada suku dayak maupun melayu. Pengetahuan penggunaan sengkubak sebagai ”micin” oleh masyarakat pedalaman ini sebagian telah diketahui oleh peneliti yang pernah berkunjung ke daerah-daerah hulu Kalimantan. Selain itu pada masyarakat Dayak di sekiatar Taman Nasional Kayan Mentarang dihimpun data bahwa mereka juga menggunakan tumbuhan tersebut sebagai bahan bumbu dan diketahui bahwa bumbu yang berasal dari hutan liar berkisar antara 70 % sampai 73 %. Disebutkan pula bahwa Tumbuhan paling umum yang digunakan sebagai bumbu dari hutan liar adalah bekkai lan (P. cauliflora) (Uluk et al. 2001). Adanya kesamaan penggunaan terhadap spesies P. cauliflora sebagai penyedap masakan ternyata 8 juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat suku Melayu maupun Dayak yang berdiam diwilayah hulu Kalimantan Barat (Sanggau, Sintang, Sekadau, Putussibau), walaupun belum ada penelitian lebih lanjut tentang kesamaan penggunaan P. cauliflora ini. C. Etnobotani 1. Definisi Etnobotani Istilah etnobotani untuk pertama kalinya diusulkan oleh Harsberger pada tahun 1895 dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa yang masih primitif atau terbelakang. Etnobotani berasal dari kata ethnos dan botany. Ethnos berasal dari bahasa Yunani berarti bangsa dan botany artinya tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya Powers (1874) dalam Maheshwari (1990) telah menggunakan istilah ”Aboriginal botany” dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari jenis-jenis tumbuhtumbuhan yang dimanfaatkan penduduk asli untuk bahan obat, pangan, sandang dan sebagainya. Istilah etnobotani untuk pertama kali di adopsi oleh Fewkes (1896), istilah tersebut digunakan dalam pustaka dan publikasi antropologi dan menitikberatkan pada nama lokal tumbuhan dan etimologinya (Soekarman dan Riswan 1992). Sejalan dengan perkembangan keilmuan, etnobotani kemudian diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh perkumpulan suku primitif dan berguna untuk mengembangkan perkumpulan tersebut. Batasan ini merupakan bantuan untuk menguraikan posisi budaya suatu etnik berdasarkan kegunaan tumbuh-tumbuhan, menggambarkan penyebarannya dimasa lampau dan perjalanan-perjalanan perdagangannya serta dengan diketahui manfaatnya maka akan menimbulkann pikiran negatif untuk memindahkan tumbuhan tersebut dari tempat liarnya ke lingkungan yang masih kosong (Waluyo 2002). Istilah etnobotani juga digunakan untuk menjelaskan interaksi masyarakat setempat (etno atau etnis) dengan lingkungan hidupnya, khususnya dengan tumbuh-tumbuhan. Studi etnobotani ini dapat membantu masyarakat dalam mencatat atau merekam kearifan lokal yang mereka miliki selama ini, untuk masa 9 mendatang. Sehingga studi etnobotani dapat memberi kontribusi yang besar dalam proses pengenalan sumber alam hidup yang ada di suatu wilayah melalui kegiatan pengumpulan kearifan lokal dari dan bersama masyarakat setempat (Ndero & Thijssen 2004 ). Etnobotani yang dimaksud dalam penelitian ini menggunakan definisi yang dinyatakan oleh Purwanto (1999) yaitu etnobotani didefinisikan sebagai suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik secara menyeluruh antara masyarakat lokal dengan alam lingkungannya meliputi sistem pengetahuan tentang sumber daya alam tumbuhan. 2. Ruang Lingkup Etnobotani Pengkajian etnobotani dibatasi oleh ruang lingkup bahwa etnobotani adalah cabang ilmu pengetahuan yang mendalami tentang persepsi dan konsepsi masyarakat tentang sumber daya nabati di lingkungannya. Dalam hal ini kajian di arahkan dalam upaya untuk mempelajari kelompok masyarakat dalam mengatur sistem pengatuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkungannya, yang digunakan tidak saja untuk keperluan ekonomi tetapi juga untuk kepentingan spiritual dan nilai budaya lainnya. Pemanfaatan yang dimaksud di sini adalah pemanfaatan baik sebagai bahan obat, sumber pangan, dan sumber kebutuhan hidup manusia lainnya. Disiplin ilmu lain yang terkait dalam penelitian etnobotani adalah antara lain anthropologi, sejarah, pertanian, ekologi, kehutanan, geografi tumbuhan (Sudarsono & Waluyo 1992). 3. Kajian Etnobotani di Indonesia Kedudukan etnobotani saat ini di Indonesia telah mendapatkan perhatian dan porsi yang layak seperti halnya ilmu-ilmu lainnya di mata para pakar, terutama botani. Hal ini merupakan suatu perkembangan yang baik, para ahli menyadari bahwa banyak sumber daya nabati telah punah sebelum mereka sempat meneliti. Demikian halnya dengan pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat yang masih terbelakang atau dianggap primitif sudah hilang, sebelum informasi pengetahuan tersebut dicatat atau diketahui oleh peneliti. Karena pengetahuan ini sifatnya lisan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi lainnya. 10 Kemajuan teknologi telah menimbulkan akses terhadap lingkungan dan dampak negatif terhadap kesehatan, misalnya obat-obatan atau pewarna makanan sintetis. Akhir-akhir ini, di Indonesia timbul gerakan untuk kembali alam atau back to nature, diantaranya berupaya memanfaatkan kembali sumber daya nabati alami, seperti penggunaan obat tradisional, kosmetik, pewarna yang dibuat dari bahan alami. Hal yang terpenting adalah bagaimana pengetahuan tradisional dapat diselamatkan, untuk dikaji kembali. Pusat dari pengetahuan tradisional mengenai pemanfaatan tumbuhan ini umumnya dijumpai pada negara-negara berkembang dan umumnya terletak pada kawasan tropika, baik di Amerika, Afrika maupun Asia. Di negara-negara ini pula dikatakan merupakan sumber dari pengetahuan tradisional serta sumber daya hayati yang meliputi tumbuhan, hewan dan jasad renik terdapat. Penelitian etnobotani di Indonesia, telah banyak dilakukan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu, tetapi dikatakan bahwa penelitan tersebut hanya sebagai sampingan saja. Hal tersebut menyebabkan data dan informasi mengenai etnobotani tersebut diberbagai publikasi dari berbagai disiplin ilmu, misalnya ahli botani lebih menitikberatkan pada pemanfaatan tumbuhannya sedangkan ahli antropologi lebih menitikberatkan pada manusianya (Soekarman & Riswan 1992). Beberapa kajian etnobotani terhadap beberapa etnis di Indonesia yaitu etnobotani Pandanaceae dalam kehidupan etnis Arfak, Irian Jaya (Sadsoeitoeboen 1999), etnobotani pinang yaki (Areca vestiaria) oleh etnis Bolaang Mongondow, Sulawesi (Simbala 2006), dan etnobotani benzoin (Stryrax spp.) pada etnis batak di Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Purwanto et al. 2003). D. Kearifan Tradisional Masyarakat Bangsa Indonesia yang mendiami diseluruh pulau-pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke terdiri dari suku-suku yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan adat istiadat yang berkembang dan diwariskan secara turuntemurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kehidupan suku-suku tersebut terutama yang mempunyai interaksi dekat dengan sumberdaya dan lingkungannya secara turun-temurun pula mewarisi pola hidup tradisional yang dijalani oleh leluruhnya. Masyarakat setempat yang hidup secara tradisional tersebut dikenal dengan istilah-istilah tribal people (masyarakat suku), indigenous people (orang 11 asli), native people (penduduk asli) atau tradisional people (masyarakat tradisional (Dasman 1991 dalam Primack et al. 1998). Indonesia diperkirakan dihuni oleh 100 – 150 famili tumbuhan yang meliputi 25.000-30.000 spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di dalam kawasan hutan alam. Diperkirakan separuh dari jumlah tersebut merupakan tumbuhan berkayu dan buah-buahan (Meijer 1974) dan masih banyak sekali yang belum diketahui manfaatnya (Khazahara 1986). Telah lama masyarakat tradisional hidup secara berdampingan dengan keanekaraman hayati atau sumber daya alam yang ada di sekelilingnya. Di sebagian besar tempat, ternyata mereka tidak melakukan perusakan besar-besaran terhadap sumber daya alam yang ada di sekelilingnya tersebut (Primack et al. 1998). Masyarakat tradisional telah berhasil memanfaatkan metoda-metoda irigasi yang bersifat inovatif, misalnya dengan melakukan panen yang bervariasi. Metode tersebut telah memungkinkan kehidupan manusia dengan populasi yang tinggi tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan maupun komunitas biologis di sekelilingnya. Namun, saat ini masyarakat tradisional sedang dihadapkan pada perubahan lingkungan secara besar-besaran akibat meningkatnya interaksi masyarakat dengan dunia luar, yang seringkali timbul perbedaan tajam antara generasi tua dan muda. Banyak masyarakat tradisional yang mempunyai etika konservasi yang kuat, walaupun etika tersebut lebih halus dan tersamar dibandingkan keyakinan konservasi dunia Barat. Etika konservasi telah memberikan pengaruh pada perilaku sehari-hari (Gomez-Pompa & Kaus 1992; Posey 1992 dalam Primack et al. 1998). Salah satu contoh yang baik dari penerapan pandangan konservasi adalah pada suku Indian Huastec, di timur laut Meksiko. Mereka memelihara lahan pertanian secara permanen, juga memelihara hutan yang terletak dibukitbukit, dan daerah aliran sungai, berdasarkan konservasi dikenal dengan istilah lokal te’lom. Di kawasan hutan tersebut terdapat 300 species yang merupakan sumber makanan, kayu dan berbagai produk bermanfaat lainnya. Mereka melakukan modifikasi pada komposisi species di hutan untuk mendukung berbagai species bermanfaat dengan cara menanam dan memangkas gulma secara berkala (Alcorn 1984 dalam Primack et al. 1998). 12 E. Hubungan Budaya Dayak dengan Hutan Kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dengan agama atau sistem kepercayaan/believe system. Sistem kepercayaan/agama bagi kelompok etnik Dayak hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial ekonomi sehari-hari. Kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan, kegiatan sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari dibimbing, didukung dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan adat istiadat, tetapi juga dengan nilai-nilai budaya (Algadrie 1994 dalam Florus et al. 1994). Hubungan etnis Dayak dengan hutan dengan segala isinya merupakan hubungan timbal balik, di satu pihak alam memberikan kemungkinankemungkinan bagi perkembangan budaya etnis Dayak, di lain pihak etnis Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya. Pola kehidupan etnis Dayak tradisional masih sangat tergantung pada sumber alam, mata pencahariannya terbatas pada kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh alam (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994). Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan. Hutan digunakan sebagai tempat berburu, untuk berladang pohon-pohon di hutan di buka, untuk mengusahakan tanaman perkebunan, etnis Dayak cenderung memilih tanaman hutan seperti karet, rotan, tengkawang dan sejenisnya. Kecenderungan seperti itu merupakan suatu refleksi dari hubungan yang akrab yang telah berlangsung berabad-abad dengan hutan dan segala isinya. Hutan merupakan basis utama dari kehidupan, sosial, ekonomi, budaya dan politik kelompok etnik Dayak (Florus et al. 1994). Pengolahan lahan tradisional masyarakat Dayak didasarkan pada sistem perladangan daur ulang untuk masa putaran tertentu. Masa putaran 3 sampai 4 tahun untuk tana’ ujung dan paya’; 5 sampai 6 tahun untuk tana’ rambur dan kereng; dan 10-15 tahun untuk tana’ toan (hutan sekunder). Kultur material etnis Dayak juga dipengaruhi dan berorientasi pada hutan, rumah panjang yang masih asli di buat seluruhnya dari kayu. Tiang, lantai, dinding, atap, bahkan pengikat semuanya diambil dari hutan. Peralatan transportasi sungai berupa sampan-sampan kecil biasanya dibuat dengan teknologi sederhana yaitu dengan mengeruk batang pohon. Peralatan kerja dan senjata 13 seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, talabang (perisai), tengkalang dan sumpit sebagian bahannya terbuat dari bahan-bahan yang diambil dari hutan (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994). Demikian pula dengan kebudayaan non material orang Dayak banyak sekali berhubungan dengan hutan. Sebagai contoh pohon-pohon besar atau spesies kayu tertentu dipandang sebagai perlambang kekuatan atau mistik. Hal tersebut menggambarkan bahwa kehidupan tradisional dan budaya Dayak sulit dipisahkan dari sumber daya hutan. F. Hubungan Budaya Melayu dengan Hutan Etnis Melayu yang mendiami wilayah pedalaman Sintang merupakan pengelola hutan yang gigih, hutan belantara yang begitu tebal bertukar menjadi kampung dan ladang. Tradisi mengelola hutan untuk kepentingan manusia tidak dapat dipisahkan karena hutan mempunyai kaitan yang erat dengan kepentingan manusia selama berada di dalam hutan. Pada masa dahulu masyarakat Melayu menganggap bahwa hutan mempunyai semangat yang keras (nuansa magis sangat tinggi). Hutan selain di huni oleh binatang buas, hutan juga di huni berbagai jenis jembalang (makhluk halus), yang dapat menyebabkan bencana pada manusia. Lantaran kepercayaan tersebut, masyarakat Melayu beranggapan perlu mengadakan upacara khas bila hendak mengambil rotan, damar, kayu, buluh, akar kayu dan sebagainya atau untuk membuka lahan baru. Adat tersebut dilaksanakan demi menjamin keselamatan seseorang (www.members.tripod.com/niah_abdullah/tamadun/new 2007). Sebelum datangnya Islam di kehidupan etnis Melayu Sintang, masyarakat memiliki kepercayaan animisme. Namun sejak Islam memasuki kehidupan masyarakat Melayu, Melayu selalu diidentikkan dengan Islam. Masyarakat Melayu juga mempercayai kelebihan sesuatu hari dalam melakukan upacara atau acara-acara yang penting dalam hidup. Bulan atau hari yang dipilih didasarkan pada kalender Hijriah. Hari yang kurang baik untuk masuk hutan adalah hari Selasa akhir bulan Melayu. Hari yang baik untuk melakukan upacara adalah hari Rabu, Kamis, dan Jumat. Hari-hari tersebut dipercayai mendatangkan manfaat yang lebih. Selain itu, dalam budaya Melayu terdapat sistem kekerabatan yang bersifat bilateral, masyarakat juga percaya akan petuah-petuah yang di sampaikan 14 oleh orang tua. Petuah yang sangat dipercaya oleh masyarakat Melayu bila memasuki hutan, yaitu pantang bagi orang Melayu untuk bersiul semasa dalam perjalanan, berbicara dengan keras, dan berpisah dari rombongan saat memasuki hutan. Etnis Melayu di Kabupaten Sintang saat ini terkonsentrasi pada pemukimanpemukiman yang berada di sepanjang tepian Sungai Kapuas. Pusat Kerajaan Melayu Sintang yaitu Kerajaan Al Mukaromah berada di tepian Sungai Kapuas Kampung Raja di Kecamatan Sintang. G. Konservasi Tumbuhan 1. Penyebab Kelangkaan dan Kepunahan Tumbuhan Tumbuh-tumbuhan, hewan, mikroorganisme di bumi yang saling berintegrasi dengan lingkungan fisik di ekosistem merupakan landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan. Sumber biota yang kaya ini mampu mendukung kehidupan dan aspirasi manusia, dan memungkinkan manusia beradaptasi dengan perubahan akan kebutuhan dan lingkungan. Hilangnya keanekaragaman hayati secara terus-menerus merupakan ukuran adanya ketimpangan antara kebutuhan dan keinginan manusia dan daya dukung alam. Laju berkurangnya keanekaragaman hayati pada masa kini, diperkirakan sama cepatnya dengan pada masa kepunahan dinosaurus, yaitu sekitar 65 juta tahun yang lalu. Tingkat kepunahan yang paling parah diperkirakan terdapat di hutan tropis, sekitar 10 juta spesies yang hidup dibumi berdasarkan perkiraan terbaik antara 50% hingga 90% dari jumlah tersebut diperkirakan berada di hutan tropis. Dengan kecepatan pembuakaan hutan yang ada, maka antara 5% sampai 10% jenis hutan tropis mungkin akan punah dalam waktu 30 tahun mendatang. Hal ini juga berarti kita akan mengalami kehilangan spesies tumbuhan tropis yang beragam jenisnya dan mempunyai aneka keunikan dan kegunaan bagi manusia (UNEP 1995). Jika diadopsi mekanisme hilangnya keanekaragaman hayati bagi keberadaan spesies tumbuhan yang dimiliki hutan tropis, maka punahnya keanekaragaman hayati termasuk spesies tumbuhan diantaranya diakibatkan baik oleh faktor penyebab langsung maupun tidak langsung. Mekanisme langsung dari kepunahan 15 tersebut meliputi hilangnya dan terkotak-kotaknya habitat akibat fragmentasi habitat, invasi jenis baru yang diintroduksi, pemanfaatan sumber daya hayati yang berlebihan apalagi tanpa diikuti tindakan budidaya, polusi, perubahan iklim global, serta industri pertanian dan kehutanan. Pemiskinan biota tersebut hampir merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari sebagai akibat cara manusia menggunakan dan menyalahgunakan lingkungan dalam usahanya untuk menjadi spesies yang dominan. Penyebab utama hilangnya dan punahnya spesies-spesies tumbuhan yang ada berasal dari populasi manusia yang berkembang dengan cepat, dari cara manusia yang dengan cepat memperluas wilayah ekologisnya dan memanfaatkan sumber daya hayati dari bumi yang lebih banyak lagi. Konsumsi sumber daya alam yang berlebihan tanpa berusaha memperbaharuinya, pengurangan yang terus-menerus terhadap jenis pertanian dan perikanan komersil, sistem ekonomi yang gagal dalam meletakkan nilai yang tidak tepat bagi lingkungan, lemahnya sistem hukum maupun institusional. Menurut UNEP (1995), penyebab utama kepunahan keanakaragaman hayati yang juga penyebab kepunahan di tingkat spesies tumbuhan antara lain adalah : (1). Adanya peningkatan laju populasi manusia dan konsumsi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Bersamaan dengan meningkatnya populasi manusia yang memiliki laju dan besarnya pertumbuhan yang cukup tinggi, dan berkembangnya teknologi baru, maka penggunaan sumber daya alam oleh umat manusia akan turut meningkat. Penggunaan sumber daya alam secara berlebihan termasuk terhadap spesies tumbuhan, tanpa didukung oleh upaya pengembangan spesies tumbuhan tersebut maka akan menyebabkan kepunahan bagi spesies tumbuhan tersebut. (2). Penyempitan spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. Pertukarangan ekonomi global yang berdasarkan prinsip persaingan dan spesialisasi telah meningkatkan keseragaman dan saling ketergantungan. Salah satu contohnya yaitu produsen pertanian banyak yang mengkhususkan diri untuk memperdagangkan spesies tanaman yang relatif sedikit dan laku untuk diperdagangkan dipasaran. Bersamaan berkurangnya jenis tanaman, bakteri pengikat nitrogen, penyerbuk, penyebar 16 benih dan jenis lain yang berevolusi selama berabad-abad dalam sistem pertanian tradisional ikut musnah, kehadiran mereka diganti oleh pupuk, pestisida, dan varietas lain yang dapat menghasilkan panen yang baik demi peningkatan produksi, keuntungan jangka pendek akan didapatkan. Penyempitan spektrum pada produk pertanian tersebut salah satunya merupakan penyebab berkurangnya keanekaragaman spesies tumbuhan yang lama kelamaan dapat menyebabkan terjadinya kepunahan ditingkat spesies tumbuhan. (3). Sistem kebijakan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan kepada lingkungan dan sumber dayanya. Perubahan yang dilakukan terhadap sistem alam, seperti perubahan hutan dan rawa menjadi lahan pertanian dan peternakan secara biologis dan ekonomis seringkali tidak efisien, karena sering tidak mempertimbangkan apakah tindakan tersebut akan merusak atau tidak, dan sebagian lainnya karena habiatat alami umumnya tidak dihargai secara ekonomis. (4). Kurangnya pengetahuan dan penerapannya. Ketidaktahuan ini terjadi akibat erosi kebudayaan tradisional yang mempunyai pemahaman tersendiri mengenai alam, bahkan walaupun pengetahuan itu ada seringkali tidak mengalir secara efisien kepada pengambil keputusan, sehingga menyebabkan gagalnya pengembangan kebijakan yang mencerminkan nilai ilmiah, ekonomis dan sosial. (5). Sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi Kriteria keterancaman (kelangkaan) spesies dilihat berdasarkan kategori keterancaman biota (IUCN 1994) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kategori keterancaman populasi biota Kriteria Penurunan tajam Daerah sebaran yang sempit Kritis > 80% selama 10 tahun/3 generasi Luas daerah sebaran < 100km2 atau luas daerah yang ditempati < 10 km2 Genting > 50% selama 10 tahun/ 3 generasi Luas daerah sebaran < 500 km2 atau luas daerah yang ditempati < 500 km2 Rawan > 20% selama 10 tahun/ 3 generasi Luas daerah sebaran < 20.000 km2 atau luas daerah yang ditempati < 2000 km2 17 Tabel 1 Lanjutan Kriteria Populasi kecil Kritis < 250 individu dewasa < 50 individu dewasa Populasi sangat kecil Genting < 2500 individu dewasa < 250 individu dewasa Kemungkinan punah Peluang punah > 50% selama 5 tahun Sumber : IUCN (1994) Peluang punah > 20% selama 20 tahun Rawan < 10.000 individu dewasa < 10.000 individu dewasa <100 km2/ <5 lokasi Peluang punah > 10% selama 100 tahun 2. Strategi Konservasi Tumbuhan Melakukan konservasi tumbuhan tentunya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan konservasi sumber daya alam hayati secara keseluruhan. Konservasi sumber daya alam hayati adalah sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya senantiasa memperhitungkan kelangsungan persediannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan dilakukannya konservasi tersebut adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia (Dephut 1990). Menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka strategi yang digunakan untuk mewujudkan tujuan konservasi adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. a. Perlindungan system penyangga kehidupan. Dalam melakukan cara pemanfaatan wilayah perlindungan dan system penyangga hendaknya senantiasa memperhatikan kelangsungan dan fungsi perlindungan di wilayah tersebut. b. Pengawetan ekosistemnya. keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar beserta 18 Kegiatan pengawetan dapat dilakukan melalui dua macam kegiatan yaitu melalui konservasi secara insitu dan konservasi eksitu. Secara Insitu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan di dalam habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk identifikasi, inventarisasi, pemantauan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian dan pengembangan (Dephutbun 1999a). Konservasi eksitu merupakan upaya pengawetan jenis di luar kawasan yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa liar. Tempat yang cocok untuk melakukan kegiatan tersebut misalnya di kebun binatang, kebun raya, arboretum, dan taman safari. Dan kegiatan konservasi eksitu dilakukan untuk menghindari adanya kepunahan suatu jenis. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian,pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa liar. c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam hendaknya senantiasa tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan, dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar harus selalu memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, keanekaragaman jenis tumbuhan, dan satwa liar tersebut. Pemanfaatannya dapat dilakukan dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman dan obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan (Dephutbun 1999b). Menurut Willson (1992), ada tiga unsur pokok yang dapat dilakukan sebagai strategi pelestarian keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya strategi untuk melakukan konservasi terhadap tumbuhan adalah menyelamatkan keanekaragaman hayati yang ada, mempelajarinya dan menggunakannya secara berkelanjutan dan seimbang. Dalam hal mempelajari, berarti mendokumentasikan pengetahuan yang diperoleh dari apa yang dipelajari tentang suatu spesies 19 tumbuhan misalnya, dan memanfatkan pengetahuan tersebut untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Strategi konservasi sumber daya alam di era pelaksanaan otonomi daerah saat ini, dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar kawasan dengan membina perilaku produktif yang berwawasan lingkungan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sumber daya alam tersebut, hal tersebut dapat dilakukan dengan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan (Sudarmadji 2002). 3. Permasalahan Konservasi Tumbuhan Hingga saat ini, spesies tumbuhan hutan tropika banyak memberikan kontribusi terhadap kebutuhan manusia salah satunya terhadap kesehatan. Sebagian besar bahan baku tumbuhan untuk keperluan tersebut merupakan hasil panenan dari alam, di lain pihak kebutuhan akan bahan baku tersebut terusmenerus meningkat. Apabila upaya pelestarian tidak dilakukan, dikhawatirkan akan terjadi kekurangan suplai bahan baku dan bahkan yang lebih parah adalah akan terjadi pemanenan berlebihan yang berakibat pada kepunahan spesies tumbuhan tertentu. Penelitian dan informasi mengenai potensi, penyebaran, bioekologi dan teknik penangkaran tumbuhan secara umum dan tumbuhan obat khususnya masih sangat terbatas. Di lain pihak publikasi dan informasi mengenai hal tersebut sangat diperlukan guna mendasari upaya pelestarian pemanfaatan dan pengembangan usaha pemanfaatan tumbuhan obat khususnya melalui budidaya jenis. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran lembaga ilmiah sangat diperlukan dan perlu ditingkatkan. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai keperluan manusia perlu diimbangi dengan upaya konservasnya, baik secara insitu maupun eksitu, agar tidak terjadi penurunan populasi dan keanekaragamannya (Zuhud & Haryanto 1991). Ancaman kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan, terutama tumbuhan obat, lebih dikarenakan sebagian besar dari tumbuhan obat merupakan tumbuhan liar yang hidup di alam. Heyne (1950) dalam Zuhud dan Haryanto (1991), mengidentifikasi sebanyak 1040 spesies tumbuhan obat/jamu di Indonesia sebagian besar berasal dari tumbuhan berbiji, yang sebagian besar merupakan 20 tumbuhan liar yang hidup di alam. Permasalah berikutnya, bahwa bududaya untuk jenis-jenis tersebut sebagian besar juga belum diketahui tekniknya dan belum dilakukan budidaya, serta masih dipungut dari alam. Apabila laju pemungutan langsung dari alam lebih cepat dari laju kemampuan alam untuk memulihkan populasinya, maka akan kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan tersbeut tidak dapat dielakkan. Permasalahan dalam konservasi tumbuhan secara umum, dan tumbuhan obat khususnya adalah masalah budidaya tumbuhannya. Hingga saat ini belum menggairahkan petani, disebabkan kurangnya informasi dan publikasi hasil penelitian mengenai teknik budidaya serta belum adanya sistem pemasaran hasil yang mantap. Selain itu penelitian sebagai upaya memperoleh data dasar yang diperlukan bagi pelestarian pemanfaatan tumbuhan potensial mulai dari penelitian bioekologi hingga teknik budidayanya dan eksplorasi bahan aktif yang berguna belum dilakukan secara intensif. Salah satu perusahaan farmasi menyatakan bahwa penapisan (screening) tumbuhan potensial untuk memperoleh senyawa yang berguna sangat mahal dan laju keberhasilannya rendah. Untuk mengatasi hal tersebut maka kegiatan harus dipusatkan dan pada umumnya screening tumbuhan potensial banyak dilakukan di luar negeri walaupun bahan tumbuhannya berasal dari Indonesia (Zuhud & Haryanto 1991). Keadaan yang dikemukakan di atas lebih memberikan gambaran mengenai belum terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat petani dengan perusahaan asing yang memegang monopoli harga bahan baku dan produknya. Selain itu budidaya tumbuhan obat dalam skala ekonomi belum menjadi bagian kebudayaan Indonesia. dan kelembagaan para petani, khususnya di