21 BAB II PEMILIHAN PEMIMPIN DALAM FIKIH SIYASAH DUSTURIYAH A. Pengertian Fikih Siyasah Kata fikih berasal dari faqaha-yafqahu-fiqhan20. Fikih adalah semua kumpulan ijtihad para ulama tentang hukum syara’, Secara bahasa Fikih adalah “paham yang mendalam,” Imam al-Turmudzi seperti dikutip Amir Syarifudin, menyebutkan “fikih tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya. Kata “faqaha” diungkapkan dalam Al Qur‟an sebanyak 20 (dua puluh) kali, 19 (sembilan belas) kali yang berarti “kedalaman ilmu yang dapat diambil manfaat darinya.”21 Secara terminologis al-Jurjani mendefinisikan bahwa fikih mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan melalui dalil-dalil yang terperinci. Fikih adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad dan memerlukan pemikiran dan perenungan, oleh karena itu,Allah tidak dapat disebut “faqih” karena bagi-Nya tidakada sesuatu yang tidak jelas.22 20 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001), 2. 21 Ibid. 3. 22 Sahid, HM. Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya, Pustaka Idea, 2016), 9. 21 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 22 Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa fikih adalah upaya sungguhsungguh dari para ulama (mujtahidin) untuk menggali hukum-hukum syara’ sehingga dapat diamalkan oleh umat Islam. Fikih disebut juga dengan hukum Islam. Karena fikih bersifat ijtihadiyah, pemahaman terhadap hukum syara’ tersebut pun mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perubahan dan perkembangan situasi dan kondisi manusia itu sendiri.23 Fikih juga membicarakan aspek hubungan antara sesama manusia secara luas (mu’amalah). Aspek mu’amalah ini pun dapat dibagi-bagi lagi menjadi jinayah (pidana), munakahat (perkawinan), mawarits (kewarisan), murafa’at (hukum acara), siyasah (politik/ketatanegaraan) dan al-ahkam al-dualiyah (hubungan internasional).24 Sesuai konteks judul penelitian yang akan membahas tentang pelaksanaan pemilihan pemimpin/kepala daerah, maka ilmu tentang siyasah perlu untuk digali lebih dalam dalam ranah fikih, dan kaitannya dengan judul yang menjadi fokus pembahasan penelitian ini. Sehingga penelitian ini diharapkan sesuai dengan kefokusannya dalam menyoroti pelaksanaan pemilihan pemimpin dengan satu pasangan calon sesuai amanah Undang-undang yang berlaku. Kata “siyasah” yang berasal dari kata sasa, berarti mengatur, mengurus dan memerintah; atau pemerintahan, politik dan pembuatan kebijaksanaan. Pengertian kebahasaan ini mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur, mengurus 23 Muhammad Iqbal, 3. Ibid, 4. 24 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 23 dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencakup sesuatu.25 Secara terminologi siyasah berarti : Pertama : hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan penunaian amanah dalam kekuasaan dan kekayaan (negara) serta penegakan hukum secara adil baik yang berhubungan dengan batasan dan hak-hak Allah swt., maupun yang berkaitan dengan hak-hak manusia.26 Kedua : sesuatu yang dilakukan oleh pemimpin negara berupa ijtihad dalam urusan rakyat yang mengarahkan mereka lebih dekat pada maslahat dan jauh dari mafsadat, kendati tidak terdapat padanya nash-nash syar’i (Al Qur‟an dan asSunnah), selama ia sejalan dengan perwujudan al-maqasid as-syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang sifatnya terperinci. Dan ketiga: ta’dzir, ancaman dan hukuman.27 Abdul Wahhab Al-Khallaf mendefinisikan siyasah adalah pengaturan perundangan yang diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan. Ibnu Taimiyah turut mendefinisikan siyasah sebagai ilmu yang dapat mencegah kerusakan di dunia dan mengambil manfaat darinya. 28 Sementara Louis Ma‟luf memberikan batasan bahwa siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan keselamatan. Sedangkan makna as-siyasah untuk penggunaan pada zaman modern saat ini, adalah sebagai berikut : 25 Ibid, 3. Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi, (Jakarta, Gozian Press, 2013), 49. 27 Ibid, 49. 28 Ibid, 50 26 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 24 1. Pengetahuan tentang ilmu yang berkaitan dengan hukum dan peraturan daulah (negara), serta hubungannya dengan dunia luar. 2. As-siyasah adalah ilmu tentang negara, yang meliputi kajian akan aturan-aturan negara, undang-undang dasar, aturan hukum, serta aturan sumber hukum. Termasuk didalamnya, kajian tentang aturan interen negara serta segala perangkat yang digunakan dalam aturan-aturan interen tersebut – misalnya undang-undang tentang partai politik – pada siklus pergantian mengatur negara atau metode-metode agar sampai pada tampuk kekuasaan.29 Adapula istilah as-siyasah as-syar’iyyah termasuk dalam kategori istilah yang tidak digunakan untuk menunjukkan makna satu perkara. Oleh karena itu, para ulama baik klasik maupun kontemporer, memberi definisi beragam mengenai as-siyasah syar’iyyah diantaranya: Ibnu „Aqil al-Hambali30 mengatakan, “assiyasah as-syar’iyyah adalah perbuatan-perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kebaikan dan jauh dari kerusakan, kendati keterangan tentangnya tidak disyari‟atkan oleh Rasulullah saw. dan tidak pula diturunkan melalui wahyu”. Sedang Ibnu Nujaim al-Hanafi menyatakan hal yang tak jauh berbeda dengan pernyataan Ibnu Aqil al-Hambali bahwa as-siyasah as-syar’iyyah merupakan perbuatan yang dilakukan bersumber dari seorang pemimpin untuk 29 Ibid, 49 Beliau adalah Ali Bin ‘Aqil bin Muhammad Abu al-Wafa’ Al-Zhihari, salah seorang tokoh terkenal satusatunya di jamannya, alim, penukil dan cerdas. Menulis kitab yang sangat masyhur, “AL Funun” lebih dari 400 jilid. Sayangnya beliau menyelisihi manhaj salaf dan sejalan dengan manhaj mu’tazilah dalam banyak hal. Namun setelah itu beliau mengumumkan taubatnya dari manhaj Mu’tazilah serta menulis buku yang membantah mereka. Dalam Rapung Samuddin, 50. 30 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 25 sebuah maslahat yang ia pandang baik, kendati dalam perbuatannya itu tidak dapat padanya dalil syar’i yang sifatnya parsial. Menurut Abdul Wahhab al-Khallaf, “ia adalah ilmu yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan urusan-urusan daulah islamiyah berupa undangundang dan aturan yang sejalan dengan pokok dasar syari‟at Islam, kendati dalam setiap pengaturan dan kebijakan tersebut tidak semua berasas pada dalil khusus. Bahansi merumuskan bahwa siyasah syar’iyah adalah pengaturan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara’. Sementara para fuqaha mendefinisikan siyasah syar’iyah sebagai kewenangan penguasa/pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun tidak terdapat dalil-dalil yang khusus untuk itu.31 Definisi yang dipaparkan oleh tokoh-tokoh tersebut menghasilkan dua metode dalam pemberian definisi. Pertama, metode yang mengedepankan sisi akhlak dan sosial. Kedua, metode fikih syar’i yang memberi petunjuk bagi para pemimpin dan ulil amri, berupa kaidah-kaidah dan dhawabitnya. Dan dengan menganalisis definisi-definisi yang dikemukakan para ahli diatas dapat ditemukan hakikat siyasah syar’iyah, yaitu : 1. Bahwa siyasah syar’iyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan kehidupan manusia. 31 Muhammad Iqbal, 6. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 26 2. Pengurusan dan pengaturan ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan (ulul alamri). 3. Tujuan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudharatan (jalb al-mashalih wa daf al-mafasid). 4. Pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan roh atau semangat syariat Islam yang universal.32 Dari segi prosedur, pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut harus dilakukan secara musyawarah. Dan implementasi dari siyasah syar’iyah dalam masyarakat harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : 1. Sesuai dan tidak bertentangan dengan syariat Islam 2. Meletakkan persamaan kedudukan manusia di depan hukum dan pemerintahan (al-musawwah). 3. Tidak memberatkan masyarakat yang melaksanakannya (‘adam al-haraj). 4. Menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat (tahqiq al-adalah) 5. Menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudharatan (jalb al-mashalih wa daf’f al-mafasid)33 Ruang lingkup Fikih Siyasah menurut Al Mawardi dalam kitabnya Al Ahkam al-Sulthaniyat ada 5 (lima) macam34 : 1. Siyasah dusturiyah (siyasah perundang-undangan) 2. Siyasah maliyah (siyasah keuangan) 32 Ibid, 6. Ibid, 7. 34 Pulungan, Suyuthi, M.A. Prof. J. Fikih Siyasah; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. (Yogyakarta, Ombak. 2014), 43. 33 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 27 3. Siyasah qadhiyah (siyasah peradilan) 4. Siyasah harbiyah (siyasah peperangan) 5. Siyasah idariyah (siyasah administrasi) Sedang Hasbi Ash-Shiddieqy membagi bidang fikih siyasah menjadi 8 (delapan) : 1. siyasah dusturiyah syar’iyah (Politik Pembuatan Undang-undang) 2. siyasah tasyri’iyah syar’iyah (Politik Hukum) 3. siyasah qodhoiyah syar’iyah (Politik Peradilan) 4. Siyasah maliyah syar’iyah (Politik Ekonomi dan Moneter) 5. siyasah idariyah syar’iyah (Politik Administrasi Negara) 6. siyasah khorijiyah syar’iyah/siyasah dauliyah (Politik Hubungan Internasional) 7. Siyasah tanfiedziyah syar’iyah (Politik Pelaksanaan Perundang-undangan) 8. Siyasah harbiyyah syar’iyah (Politik Peperangan)35 Pembidangan yang beragam tersebut dapat dipersempit menjadi 4 (empat) bidang saja. Pertama, bidang fikih siyasah dusturiyah mencakup siyasah tasyri’iyah syar’iyah yaitu mengenai penetapan hukum yang sesuai dengan syariat, siyasah qadhiyah syar’iyah mengenai peradilan yang sesuai menurut syariat, siyasah idariyah syar’iyah mengenai administrasi yang sesuai syariat. Dan siyasah tanfiedziyah syar’iyah mengenai pelaksanaan syariat.36 1. Fikih siyasah dusturiyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luas dan kompleks yang meliputi bidang sebagai berikut : a. 35 36 Persoalan imamah, hak dan kewajibannya Ibid, 43. Suyuthi Pulungan, 43. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 28 b. Persoalan rakyat, statusnya, hak-haknya c. Persoalan bai’at d. Persoalan waliyatul ahdi e. Persoalan perwakilan f. Persoalan ahlul halli wal aqdi g. Persoalan wizarah dan perbandingannya37 2. Fikih siyasah dauliyah, hubungan internasional dalam Islam didasarkan pada sumber-sumber normatif tertulis dan sumber-sumber praktis yang pernah diterapkan umat Islam dalam sejarah. Sumber normatif tertulis berasal dari AlQur‟an dan Hadits Rasulullah saw. dari kedua sumber ini kemudian ulama menuangkannya ke dalam kajian fiqh al-siyar wa al-jihad (hukum internasional tentang perang dan damai)38. Dan ruang lingkup pembahasannya meliputi : 37 38 a. Persoalan internasional b. Territorial c. Nasionality dalam fikih Islam d. Pembagian dunia menurut fikih Islam e. Masalah penyerahan penjahat f. Masalah pengasingan dan pengusiran, g. Perwakilan asing, tamu-tamu negara, orang-orang dzimmi Djazuli, Prof. H. A. Fikih Siyasa. 32. Muhammad Iqbal, 251. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 29 h. Hubungan muslim dengan non muslim dalam akad timbal balik, dalam akad sepihak, dalam sembelihan, dalam pidana hudud dan dalam pidana qishash39 3. Fikih siyasah maaliyah, kebijakan politik keuangan negara dalam perspektif Islam tidak terlepas dari Al-Qur‟an, Sunnah Nabi, praktik yang dikembangkan oleh al-Khulafa’ al-Rasyidin, dan pemerintahan Islam sepanjang sejarah. a. Sumber-sumber perbendaharaan negara b. Pengeluaran dan belanja negara c. Baitul maal dan fungsinya40 4. Fikih siyasah harbiyah a. Kaidah-kaidah peperangan dalam Islam b. Masalah mobilisasi umum dan hak-hak jaminan keamanan serta perlakuan dalam peperangan c. Tawanan perang, ghanimah, harta peperangan, dan, d. Mengakhiri peperangan menuju perdamaian.41 B. Kewajiban Mengangkat Pemimpin Agama tidak mungkin tegak tanpa jama‟ah. Tidak tegak jama‟ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada pemimpin melainkan dengan ketaatan. AlHasan al-Bashri pernah mengatakan, “mereka memimpin lima urusan kita, Shalat Jum‟at, shalat jama‟ah, shalat Ied, perbatasan negara, dan penetapan sanksi hukum. 39 Suyuthi Pulungan, 44. Suyuthi Pulungan, 44. 41 Ibid, 45. 40 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 30 Demi Allah, tidak akan tegak agama tanpa mereka, kendati mereka melakukan maksiat atau berlaku zalim.42 Menegakkan Imamah merupakan salah satu kewajiban paling agung dalam agama, sebab manusia butuh persatuan dan saling membantu satu sama lainnya. Dalam kondisi ini, mustahil dapat terwujud melainkan jika ada seseorang yang mengatur dan memimpin serta bekerja demi terwujudnya maslahat dan tercegahnya mereka dari kerusakan. Ibn Hazm menegaskan bahwa telah menjadi konsensus (kesepakatan bersama) seluruh Ahlus sunnah, Murji‟ah, Syi‟ah dan Khawarij akan kewajiban menegakkan imamah. Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa‟ “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu...”43 (Q.S An-Nisa‟, 59) Abu Ja‟far al-Thabari mengomentari ayat ini, “pendapat yang paling utama dan benar dalam hal ini, mereka adalah para pemimpin yang kepada Allah ketaatan dan bagi kaum muslimin kebaikan dan maslahat. Imam Abu Bakar bin al-Arabi berkata, “pendapat yang benar menurutku, mereka adalah para pemimpin dan ulama. Adapun para pemimpin, dikarenakan sumber urusan dan hukum berasal dari 42 43 Rapung Samuddin, 73. Al Qur’an dan Tafsirnya Jilid II, Kementerian Agama RI .(Jakarta, Lentera Abadi, 2010), 195. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 31 mereka, sedangkan ulama‟, karena bertanya pada mereka hukumnya wajib atas makhluk. Jawaban mereka mengikat, dan menunaikan fatwa mereka wajib”.44 Dalam sebuah hadist riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa, “dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, apabila tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaknya salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin mereka”. Dan hadits riwayat Ahmad, “dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW, telah bersabda, tidak boleh bagi tiga orang yang berda di tempat terbuka di muka bumi ini, kecuali salah seorang diantara mereka menjadi pemimpinnya”. Ibnu Taimiyah mengomentari hadits ini bahwa Rasulullaah saw. mewajibkan atas tiga orang untuk mengangkat seorang pemimpin dari mereka, padahal ia merupakan perkumpulan kecil yang jumlahnya sedikit, dan dalam kondisi yang sifatnya insidentil, yakni safar. Ini merupakan standar bagi seluruh jenis perkumpulan (baik kecil maupun besar). Sedangkan menurut ijma’ ulama kewajiban mengangkat pemimpin adalah : 1. Imam Al-Mawardi menyatakan pemimpin dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia45 2. An-Nawawi menyatakan bahwa para ulama telah sepakat bahwasannya wajib atas kaum muslimin memilih dan mengangkat pemimpin 3. Ibnu Khaldun lebih tegas mengatakan bahwa menegakkan imamah hukumnya wajib. Kewajiban tersebut telah diketahui dalam syariat serta konsensus para 44 45 Rapung Samuddin, 78. Muhammad Iqbal, 150 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 32 sahabat dan tabi’in. Tatkala Rasulullah saw. wafat, para sahabat segera memberi bai’at pada Abu Bakar as-Shiddiq ra dan menyerahkan pengaturan urusan mereka padanya. Hal ini berlaku pada setiap jaman, hingga menjadi sebuah konsensus. Ini jelas menunjukkan kewajiban memilih seorang imam (kepala negara). C. Syarat-syarat Pemimpin 1. Syarat-syarat Pemimpin Menurut Islam Dalam mewujudkan cita-cita membentuk pemerintahan yang adil dan makmur bagi semua rakyat, para fuqaha menentukan syarat untuk menjadi Imam atau pemimpin. Abu Ja‟la al-Hambali menyebut empat syarat untuk menjadi pemimpin : 46 a) Haruslah orang Quraisy b) Memiliki syarat-syarat seorang hakim, yaitu merdeka, baligh berakal, berilmu dan adil c) Mampu memegang kendali di dalam masalah-masalah peperangan, siyasah, dan pelaksanaan hukuman d) Orang yang paling baik/utama dalam ilmu dan agama Sedangkan menurut Al Mawardi :47 a) Memiliki sifat adil dengan syarat-syarat universal b) Mempunyai ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad 46 47 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta, Universitas Indonesia Press. 1990), 78. Imam al-Mawardi, 4. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 33 c) Sehat inderawinya dengan begitu ia mampu menangani langsung permasalahan yang telah diketahuinya d) Utuh anggota tubuhnya atau sehat organ tubuh dari cacat yang menghalanginya bertindak dengan sempurna dan cepat e) Wawasan yang luas untuk mampu mengatur kehidupan rakyat maupun mengelola kepentingan umum f) Memiliki keberanian untuk mengatasi tiap masalah intern maupun ekstern g) Keturunan Quraisy atau nasab yang berasal dari Quraisy Menurut Imam Al-Ghazali : a) Dewasa atau akil baligh b) Memiliki otak yang sehat c) Merdeka dan bukan budak d) Laki-laki e) Keturunan Quraisy f) Pendengaran dan penglihatan yang sehat g) Kekuasaan yang nyata h) Hidayah i) Ilmu pengetahuan j) Wara’ (kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri, tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela)48 48 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta, Universitas Indonesia Press. 1990), 78. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 34 Menurut Al-Ghazali pula, yang terpenting antar kesemuanya itu adalah sifat wara’, yaitu berbudi pekerti luhur, adapun masalah-masalah hukum dan syari‟at Islam dia bisa mengembalikannya kepada para ulama dan para cendekiawan yang terpandai pada zamannya, dan dalam mengambil keputusan didasarkan kepada pendapat dan urusan mereka itu.49 Tokoh-tokoh tersebut seperti Al-Mawardi, Al-Ghazali, Abu Ja‟la alHambali mensyaratkan suku Quraisy sebagai calon pemimpin, sebab suku Quraisy tidak pernah gagal menghasilkan sejumlah orang yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi pemimpin yang tangguh. Karena itu tidak sah menurut hukum mengangkat kepala pemerintahan di luar golongan itu. Al-Baqillani menambahkan syarat tersebut berdasarkan hadist Rasulullah saw, “para pemimpin harus dari bangsa Quraisy”.50 Dalam mengangkat atau memilih pemimpin menurut Ibnu Taimiyah haruslah memenuhi kriteria sebagai sebagai berikut : 1. Mengangkat yang Ashlah (Paling layak dan sesuai) 2. Memilih yang terbaik kemudian yang dibawahnya51 D. Metode Pengangkatan Pemimpin Imam Al-Nawawi, menyatakan bahwa para ulama sepakat akan pengangkatan seorang khilafah melalui cara istikhlaf dan pengangkatan melalui kesepakatan AHWA (Ahlu al-Halli wa al-Aqdi) :52 49 Ibid, Suyuti Pulungan, Hukum Tata Negara Islam, (Jakarta, Rajawali, 1997), 256. 51 Ibnu Taimiyah, 3. 52 Suyuthi Pulungan, 258. 50 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 35 1. Metode Ahlu al-Halli wa al-Aqdi (AHWA) Metode ini dasar bagi sistem pemilihan dan pengangkatan pemimpin menurut ahlu sunnah wa al-jamaah. Jika seorang pemimpin wafat, atau dicopot dari jabatannya, menjadi kewajiban bagi AHWA untuk memberikan bai’at kepemimpinan. AHWA adalah salah satu metode pemilihan calon pemimpin yang dipilih oleh orang berkompeten dalam bidangnya berkumpul bersama dalam sebuah forum. Dalam istilah Indonesia dikenal dengan tim khusus pemilihan calon kepala daerah. Dalam AHWA beberapa nama akan digodok, akan dikaji kemampuan hingga riwayat hidupnya sehingga layak untuk dijadikan pemimpin. 2. Wasiat Apabila seorang pemimpin membuat wasiat penunjukkan seseorang untuk menduduki jabatan khalifah setelahnya, maka hal itu dibenarkan oleh syariat, selama syarat-syarat bagi seorang khalifah terpenuhi pada diri orang yang ditunjuk. Demikian pula, kebolehan baginya menyerahkan jabatan khalifah sesudahnya pada majelis syura dalam jumlah terbatas yang ditunjuk olehnya. Majelis Syuro tersebut akan berembug dan sepakat memberikan bai’at pada salah satu di antara mereka setelah kematiannya. Hal ini telah dilakukan oleh Umar bin al-Khattab ra, tatkala menunjuk anggota syuro sebanyak enam orang dari kalangan sahabat senior, yakni Ustman, Ali, Zubair, Abdur Rahman bin „Auf, Sa‟ad bin Abi Waqqash dan Thalhah ra. Mereka bermusyawarah digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 36 hingga lahir kata sepakat menyerahkan kepemimpinan kepada Ustman bin Affan ra. 3. Al Ghalabah atau Al Qahr Pada prinsipnya, metode ini termasuk metode yang tidak disyariatkan, bahkan dilarang (diharamkan) dalam hal pengangkatan seorang pemimpin. Makanya, tidak boleh ditempuh melainkan dalam kondisi-kondisi darurat demi maslahat kaum muslimin dan melindungi darah mereka. Semisal metode ini, apa yang dikenal pada jaman kita hari ini sebagai “kudeta militer” dan sebagainya. Para fuqaha ahlu sunnah wa al-jamaah berpendapat, bahwa kepemimpinan dianggap sah melalui metode ini – kendati tidak disyariatkanwalaupun orang yang naik sebagai pemimpin setelah melakukan kudeta tidak terpenuhi padanya syarat-syarat seorang muslim, seperti jahil atau fasik, selama ia adalah seorang muslim. Jika pemimpin meninggal karena peristiwa kudeta, lalu naik ke puncak kepemimpinan seorang pengganti yang terpenuhi padanya syarat-syarat kepemimpinan melalui proses penunjukkan dan tidak pula bai’at, serta menguasai manusia melalui kekuatan (militernya), dianggap sah kepemimpinan baginya; dan wajib menaatinya demi mengatur persatuan kaum muslimin. Adapun jika tidak terpenuhi padanya syarat-syarat bagi seorang pemimpin, misalnya ia seorang yang jahil atau fasik, terdapat dua pendapat; yang paling benar dari kedua pendapat tersebut adalah, kepemimpinannya tetap dianggap sah sekalipun ia masih melakukan perbuatan maksiat, menurut an-Nawawi. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 37 Ibnu Taimiyah menambahkan bahwa kapan pun seorang itu sanggup mengatur (memimpin) mereka (rakyat), apakah melalui ketaatan rakyat atau karena kekuatan (militer)nya, maka ia adalah pemilik kekuasaan yang harus ditaati jika memerintahkan untuk taat pada Allah53 4. Ajakan Untuk Memilih Dirinya Jika seorang khalifah wafat dan tidak menunjuk seseorang tertentu yang akan menggantikannya demikian pula AHWA belum memilih khalifah bagi kaum muslimin maka menurut Ibnu Hazm boleh bagi seseorang yang terpenuhi padanya syarat-syarat pemimpin maju mencalonkan dirinya. Ibnu Hazm melanjutkan menyatakan bahwa menemukan pengangkatan pemimpin itu sah melalui beberapa metode, jika seorang imam wafat dan tidak menunjukkan salah seorang untuk menggantikannya sebagai khalifah setelahnya, boleh bagi seorang yang layak menduduki kursi kepemimpinan untuk maju dan mengajak (orang-orang) memilih dirinya dan hal ini tidak ada perselisihan padanya wajib mengikutinya, sah bai’atnya, tetap kepemimpinan dan ketaatan padanya sebagaimana dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib ra. ketika khalifah Ustman bin „Affan terbunuh.54 Allah swt berfirman: 53 54 Rapung Samuddin, 23. Ibid, 130 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 38 “dia (Yusuf) berkata, "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan".55 (Yusuf, 55) Al-Allamah Al-Alusi menyatakan dalam tafsirnya bahwa ayat ini merupakan dalil kebolehan seseorang memuji dirinya dengan sebenar-benarnya jika keadaannya tidak dikenal. Demikian pula kebolehan meminta kekuasaan (jabatan) jika memang dirinya sanggup bersikap adil dan menjalankan hukumhukum syariat, kendati kekuasaan (jabatan) itu diminta dari tangan orang zalim atau kafir. Bisa saja meminta kekuasaan itu menjadi wajib („ain) atasnya jika penegakan sebuah kewajiban (dari Allah) tergantung pada kekuasaan yang ia tuntut tersebut. Adapun hadits yang disebutkan dalam shahih al-Bukhari dan Muslim, dari Abdur Rahman bin Samurah ra., Rasulullah bersabda: “Wahai Abdur Rahman, jangan engkau meminta kekuasaan, sebab jika engkau diberikan (kekuasaan) itu karena permintaanmu maka akan dipikulkan atasmu dan jika engkau diberi bukan karena permintaan maka engkau akan mendapat bantuan padanya”. Kebiasaan yang diterapkan Rasulullah saw. dalam mengangkat para sahabat beliau untuk menduduki pos-pos tertentu, pastilah dia seorang imam shalat. Misalnya, terhadap pengangkatan seorang gubernur, Uttab bin Ussiad sebagai gubernur Mekkah, Utsman bin Abil Ash sebagai gubernur Thaif, Ali, Muadz dan Abu Musa, masing-masing pernah menjadi gubernur di Yaman, demikian juga Amr bin Hazm yang diangkat Nabi saw. Sebagai gubernur Najran. Para gubernur ini 55 Al Qur’an dan Terjemahan, Jilid V, 5. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 39 adalah orang yang menjadi imam shalat diantara para sahabat, pelaksana hukum pidana, dan lain sebagainya yang menjadi tugas dari seorang komandan perang.56 Sistem pengangkatan pejabat yang dicontohkan Rasulullah saw. ini telah pula diterapkan oleh para khalifah beliau, juga para khalifah Bani Umayyah dan sebagian Bani Abbasiyah. Bagaimanapun hal mendasar yang amat urgen dalam urusan agama adalah shalat dan jihad. E. Aplikasi Suksesi al-Khulafa al-Rasyidin 1. Pada Masa Abu Bakar Pada waktu itu para sahabat berkumpul di Tsaqifah bani Sa‟adah untuk menentukan siapa pengganti Rasulullah saw. yang telah wafat. Mereka sibuk membicarakan siapa yang akan diangkat menjadi khalifah pengganti kekuasaan politik Nabi. Dalam pertemuan itu ada suku Khazraj dan suku „Aus. Masingmasing suku bersikukuh menentukan pemimpin sebagai pengganti Rasulullah saw. masing-masing pihak mengemukakan alasan mereka memegang jabatan khalifah. Pihak Anshar menganggap mereka lebih berhak, karena mereka telah menampung Rasulullah saw. dan kaum Muhajirin di saat orang-orang kafir Makkah memusuhi dakwah Rasulullah saw. dan umat Islam. Sementara kelompok Muhajirin juga merasa lebih berhak karena merekalah yang berjuang bersama Rasulullah saw. dan mengalami pahit getir menegakkan agama Islam sejak di Makkah57. 56 57 Ibid, 19. Muhammad Iqbal, 52. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 40 Akhirnya dalam suasana tegang dan tarik ulur ini, Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.Umarlah orang pertama yang melakukan bai’at terhadap Abu Bakar, diikuti oleh Abu „Ubaidah dan kaum Muslimin lainnya. Sementara Sa‟ad ibn „Ubadah sampai akhir kepemimpinan Abu Bakar tidak pernah memberikan bai’at kepada Abu Bakar.58 Menjelang akhir hayatnya, Abu Bakar memilih Umar bin Khattab menjadi penggantinya. Namun, Abu Bakar tetap mengedepankan musyawarah bersama sahabat-sahabat lainnya. Diantaranya, Abd. Al-Rahman ibn „Auf, Ustman bin Affan serta Asid ibn Khudaid. Setelah bermusyawarah dengan tiga tokoh sahabat di atas, Abu Bakar meminta Ustman bin Affan untuk menuliskan pesan tentang penunjukkan Umar ibn Khattab sebagai penggantinya. Abu Bakar lalu menemui umat Islam yang berkumpul di masjid dan menyampaikan keputusan memilih Umar ibn Khattab. Umat Islam saat itu pun menyatakan sikap setuju dan mematuhi apa yang disampaikan Abu Bakar. Lalu Umar bin Khattab pun dibai’at secara umum oleh umat Islam di Masjid Nabawi.59 2. Pada Masa Umar bin Khattab Dalam masalah suksesi, Umar menempuh cara yang berbeda dengan Abu Bakar. Setelah mengalami luka parah akibat tikaman seorang budak Persia bernama Abu Lu‟luah. Para sahabat merasa khawatir jika Umar meninggal dunia dan tidak sempat meninggalkan pesan tentang penggantinya. Mulanya Umar bin 58 59 Ibid, 52. Ibid, 62-63. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 41 Khattab menolak memenuhi permintaan para sahabat. Namun karena urgensinya penerus kepemimpinannya maka Umar bin Khattab memilih 6 (enam) sahabat senior yang terdiri dari Ustman, „Ali, Abd Al-Rahman ibn „Auf, Thalhah ibn “Ubaidillah, Zubeir ibn „Awwam, Sa‟ad ibn Abi Waqqas, dan putranya sendiri, Abdullah. Mereka inilah Tim Formatur yang akan menunjuk siapa diantara mereka yang akan menjadi penggantinya.60 Setelah Umar wafat mulailah Tim ini mengadakan musyawarah, jalannya musyawarah berlangsung alot dan ketat. Masing-masing ingin menduduki jabatan khalifah. Akhirnya Abd al-Rahmad in „Auf melobi anggota lainnya. Ia menanyakan kepada Usman tentang siapa yang pantas menjadi khalifah, seandainya ia tidak terpilih. Usman menjawab: „Ali. Lalu pertanyaan yang sama ditanyakan kepada Zubeir dan Sa‟d secara terpisah. Keduanya menjawab: Usman. Ketika „Ali disodorkan pertanyaan yang sama, jawaban yang diberikannya juga sama; Usman.61 Akhirnya dipilihlah antara Usman dan „Ali. Yang akhirnya dipilihlah Usman untuk dibai’at sebagai khalifah pengganti Umar. Sebab Usman menjawab dengan tegas pertanyaan daripada „Ali bahwa ia sanggup melaksanakan tugas berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw. serta kebijaksanaan Abu Bakar dan Ustman bin Affan sebelumnya. 60 61 Ibid, 74. Ibid, 75. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 42 3. Ustman bin Affan Pada masa ini kepemimpinan Ustman bin Affan tidak terlalu bagus daripada khalifah sebelumnya. Kebijakan Ustman bin Affan lebih banyak menguntungkan keluarganya. Kemudian ditambah kontrol terhadap kepemimpinan Ustman bin Affan berkurang sebab sahabat-sahabat senior banyak yang meninggalkan Madinah dan kuatnya arus oposisi terhadap kepemimpinan Ustman bin Affan yang tidak adil dibandingkan kepemimpinan Umar62. Hal itulah yang membuat Ustman bin Affan dibunuh tanpa sempat menentukan siapa penggantinya, sehingga menimbulkan kekacauan. 4. „Ali bin Abi Thalib Pada awalnya „Ali bin Abi Thalib tidak bersedia, karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan penduduk Madinah dan veteran perang Badr (sahabat senior). Menurutnya, orang yang didukung oleh komunitas inilah yang lebih berhak menjadi khalifah. Kaum pemberontak yang membunuh Usman mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqash dan Abdullah bin Umar bin Khattab. Akan tetapi baik kaum pemberontak maupun kaum Ansar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, namun Ali menolak. Sebab ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan akhirnya mendapat persetujuan dari 62 Ibid, H 84 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 43 sahabat-sahabat senior. Akhirnya Malik al-Asytar al-Nakha‟i melakukan bai’at dan diikuti keesokan harinya oleh sahabat besar seperti Thalhah dan Zubeir.63 Dalam sukses pemilihan al-Khulafa al-Rasyidin secara keseluruhan dipilih secara aklamasi (penunjukan langsung), kecuali Ustman bin Affan ditunjuk secara tidak langsung karena melewati badan syura. Hal ini merupakan implementasi yang optimal terhadap prinsip musyawarah. Proses penunjukan calon khalifaurrasyidin berdasarkan: senioritas, keilmuan, pengabdian, pengorbanannya membela ajaran Islam, kesalehan, kesederhanaan, keadilan dan bertanggung jawab.64 Periodesasi atau masa jabatan yang tidak terbatas dari khalifah satu ke khalifah yang lain tidak secara tertulis diatur sehingga perpindahan kepemimpinan kekhalifahan menimbulkan perselisihan pendapat yang mengarah pada perpecahan di kalangan Umat Islam. Tidak terbatasnya masa kepemimpinan kekhalifahan menimbulkan terjadinya KKN seperti pada masa pemerintahan Ustman bin Affan.65 63 Ibid, H. 85 www.latansa-abada.blogspot.com diakses pada 24-04-2017 65 Ibid. 64 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id