I. PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan berikut, disajikan lima

advertisement
I.
PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan berikut, disajikan lima sub-bab, yaitu (1) latar
belakang penelitian; (2) rumusan masalah penelitian; (3) tujuan penelitian; (4)
manfaat penelitian; dan (5) keaslian penelitian. Pada sub-bab latar belakang,
disajikan pandangan tentang pentingnya penelitian ini dilakukan. Pada sub-bab
keaslian penelitian, disajikan beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan
dan berkaitan dengan topik penelitian ini tetapi memiliki berbagai perbedaan
dengan beberapa hal yang menjadi objek kajian penelitian ini.
1.1
Latar Belakang
Bangsa Indonesia hingga saat ini masih dijuluki sebagai bangsa agraris,
dengan luas wilayah daratan 192 juta hektar mempunyai potensi yang sangat
besar disektor pertanian terutama tanaman pangan. Luas lahan sawah 8,015 juta
hektar dengan capaian produksi tanaman padi 64,40 juta ton GKG pada tahun
2009, atau meningkat rata rata 4,45 persen setiap tahun (Dirjen Tanaman Pangan,
2010). Capaian produksi tersebut kembali mengantarkan Bangsa Indonesia
mewujudkan swasembada beras, seperti yang pernah diraih pada era revolusi
hijau. Hal tersebut menjadi prestasi bagi Bangsa Indonesia dan mendapatkan
perhatian dari banyak negara.
Dukungan teknologi pertanian konvensional menjadi pilihan strategis
dalam mendorong peningkatan produksi usaha tani bagi para petani secara luas di
seluruh nusantara. Namun kenyataannya membuka berbagai masalah baru seperti
1
ketergantungan petani terhadap kimiawi sintetik, serangan hama dan penyakit,
menurunnya kualitas lahan karena kerusakan ekosistem. Selain itu, kondisi
perubahan iklim global menyebabkan sulitnya menentukan waktu dan pola tanam
yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Hal tersebut dapat menyebabkan rendahnya kualitas
dan kuantitas produksi pertanian.
Disisi lain, pembangunan pertanian Indonesia dipengaruhi oleh misi
dunia melalui FAO yang bergerak dibidang pangan dunia. Untuk memenuhi
kecukupan pangan, dibutuhkan peningkatan produksi pertanian sebesar 60%. Pada
waktu yang sama, sumber daya utama juga diancam oleh pemanasan global dan
perubahan iklim, alih fungsi lahan pertanian dan sumber daya air, dan degradasi
lingkungan. Berkurangnya keanekaragaman genetik tanaman, membuat kita dan
generasi mendatang mengalami keterbatasan dalam beradaptasi terhadap
perubahan tersebut dan dalam menjamin ketahanan pangan, pertumbuhan
ekonomi dan perdamaian dunia (FAO, 2011).
Kekhawatiran tersebut, juga telah banyak dikeluhkan oleh para pelaku
pembangunan pertanian Indonesia. Situasi ini secara tidak langsung menimbulkan
bencana baru bagi usaha pertanian. Kekhawatiran yang lainnya adalah bencana
alam kerap melanda berbagai wilayah Indonesia sehingga mengakibatkan banyak
kerugian baik kehilangan jiwa, harta, mata pencaharian serta kerusakan
lingkungan yang semuanya mempengaruhi keberlangsungan hidup rakyat
2
Indonesia. Provinsi Sumatera Barat termasuk salah satu daerah yang sering
dilanda bencana alam.
Mayoritas aktivitas masyarakat Sumatera Barat adalah hidup dengan
mengelola sektor pertanian. Secara otomatis, ancaman tersebut berdampak negatif
terhadap berbagai aktifitas usaha pertanian antara lain hilangnya lahan pertanian,
gagal panen dan menurunnya produktifitas pertanian. Akibatnya terjadi
kekurangan
pangan,
kerugian
ekonomi
maupun
sosial
serta
stabilitas
pembangunan daerah.
Peristiwa bencana alam tahun 2009 menyebabkan ratusan hektar sawah
tidak bisa berproduksi karena hilangnya lahan pertanian serta kerusakan sarana
irigasi sawah. Berdasarkan data FIELD (2012), diketahui lebih kurang 370 hektar
sawah yang rusak menyebar di beberapa kecamatan, yakni Kecamatan V Koto
Timur seluas 55 hektar, Kecamatan Padang Sago seluas 55 hektar, Kecamatan V
Koto Kampung Dalam seluas 200 hektar, dan Kecamatan Ulakan Tapakis seluas
60 hektar (Anonim, 2012).
Realitas tersebut dapat diminimalisir dengan menerapkan konsep
pembangunan berkelanjutan. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan
ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Dalam konteks
pertanian, dasar pembangunan berkelanjutan adalah pendekatan agro-ecologycal
dan prinsip-prinsip organic farming (FIELD, 2013).
3
Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan turunan dari
pembangunan berkelanjutan. Konsep ini menjadi suatu keharusan saat ini demi
tercapainya daya tahan komoditas pertanian dan keseimbangan ekosistem untuk
jangka panjang. Sistem pertanian berkelanjutan merupakan sistem pertanian yang
tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan
pertanian sesuai dengan kaidah-kaidah ekologi.
Dalam pencapaian pertanian berkelanjutan terdapat tujuh persyaratan,
yakni; (a) pembangunan ekonomi, (b) prioritas ketahanan pangan, (c)
menempatkan nilai yang tinggi pada pengembangan sumber daya manusia dan
upaya pemenuhannya, (d) menekankan daya tahan (self-resilience), (e)
pemberdayaan petani dan kebebasannya, (f) menjamin keseimbangan lingkungan
dan (g) fokus pada capaian produktifitas jangka panjang.
Pendekatan yang
digunakan dalam pertanian berkelanjutan adalah pro-aktif, pembelajaran
berdasarkan pengalaman, dan partisipatif (SEARCA, 1995).
Dalam jangka pendek inovasi teknologi lebih realistis dibandingkan
upaya perluasan baku sawah dalam upaya peningkatan produksi tanaman padi
(BPPP, 2007). Inventarisasi teknologi pertanian alternatif yang diupayakan untuk
mempertahankan dan meningkatkan produksi dengan mempertimbangkan aspek
lingkungan, mampu mengkonservasi dan mempertahankan produktivitas lahan,
memberikan keuntungan secara ekonomi serta dapat diterima secara sosial budaya
masyarakat.
4
Selain pemerintah, pihak organisasi non pemerintah atau LSM juga telah
melakukan upaya pertanian berkelanjutan secara progressif. Organisasi non
pemerintah, Yayasan Farmers Initiatives For Ecological Livelihoods and
Democracy (FIELD) Indonesia merupakan LSM yang berkonsentrasi terhadap isu
pertanian berkelanjutan yang demokratis. Upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan memberikan penyadaran, peningkatan serta pengembangan kapasitas agar
dapat mengambil suatu keputusan dan memberi respon yang tepat terutama dalam
menerapkan teknologi dan inovasi pertanian. Beberapa upaya tersebut dapat
dilakukan melalui kegiatan pembelajaran sosial melalui pelatihan dan penyuluhan.
FIELD merangkum agenda kerja pemberdayaan petani melalui sekolah lapang
(farmers field school) dan riset aksi komunitas (community action research).
Sumatera Barat menjadi salah satu wilayah kerja FIELD. Program
“Building Disaster and Climate Change Resilience in Padang Pariaman
(BDCCR)“ atau disebut dengan “FIELD-Bumi Ceria”, bertujuan untuk
mendukung ketahanan masyarakat terhadap dampak negatif perubahan iklim dan
pengurangan resiko bencana berbasis komunitas pada para petani di Kabupaten
Padang Pariaman. Wilayah pelaksanaan program tersebar pada 21 nagari (desa)
yang berada pada 13 kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman yang dilakukan
secara bertahap. Program ini berjalan selama 30 bulan dari Oktober 2010-29
Maret 2013 melalui dukungan kemitraan dari United States Agency for
International Development (USAID) (Field, 2010).
5
Salah satu inovasi teknologi pertanian yang dikembangkan dalam
kegiatan sekolah lapang Program Bumi Ceria adalah teknologi Eco-Rice atau
disebut juga dengan padi rendah metana. Teknologi Eco-Rice dilakukan dengan
mengatur irigasi secara temporer sehingga dapat mengurangi aktivitas
mikroorganisme dalam tanah sehingga dapat mengurangi pelepasan emisi gas
metana (CH4) ke udara.
Implementasi SL Eco-Rice dilakukan dengan menggunakan pola tanam
padi System Of Rice Intensification (SRI) atau dalam istilah lokal padi tanam
sabatang (PTS) organik. Hal ini yang sesuai dengan Tujuan Pembangunan
Pertanian Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2015, yaitunya: (1) meningkatkan
SDM dan motivasi petani untuk menghasilkan produk berdaya saing dan ramah
lingkungan, (2) meminimalkan kehilangan hasil oleh serangan OPT, bencana
alam, panen dan pasca panen, dan (3) mengembangkan pertanian organik
(Anonim, 2011).
Implementasi Program FIELD-Bumi Ceria telah memberikan ruang yang
cukup besar bagi partisipasi masyarakat lokal. Pendekatan utama Program Bumi
Ceria melalui pelaksanaan Sekolah Lapang (SL) dengan prinsip pendidikan orang
dewasa telah mampu meningkatkan partisipasi masyarakat lokal. Partisipasi
masyarakat lokal mulai dari menyusun perencanaan kegiatan sesuai kebutuhan
dan peta ancaman kerentanan bencana secara partisipatif, serta memberdayakan
petani sebagai pemandu lokal dalam proses transfer teknologi kepada masyarakat.
6
Pelaksanaan kegiatan SL Eco-Rice difasilitasi oleh petani pemandu (atau
pemandu lokal istilah Program FIELD-Bumi Ceria) yang sesuai dengan jenis SL
yang dilakukan. Petani pemandu ditentukan berdasarkan kriteria yang dibutuhkan
diantaranya adalah petani yang memiliki semangat yang tinggi, berkomitmen
menolong petani lainnya untuk berkembang dan belajar bersama, serta aktif dalam
kegiatan-kegiatan nagari. Petani Pemandu dibekali Pelatihan ToT (Training of
Trainers) dengan materi tentang proses memandu sekolah lapang dan ilmu teknis
materi sekolah lapang. Seterusnya, petani pemandu inilah yang berperan dalam
transver teknologi Eco-Rice kepada masyarakat tani di nagarinya.
1.2
Rumusan Masalah
Program FIELD-Bumi Ceria periode 2010-2013 di Padang Pariaman
telah membuka kesempatan bagi petani (lebih khususnya petani perempuan)
untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan jejaring sosial dalam
kaitannya dengan bidang pertanian, kebencanaan, dan perubahan iklim. Program
ini telah membuka ruang belajar, meningkatkan pengetahuan, mengasah
keterampilan teknis, dan membangun ruang kerjasama antar petani.
Penguatan pemandu pemandu di tingkat nagari mempunyai posisi yang
sangat strategis untuk menindaklanjuti capaian program. Prioritas penguatan
petani pemandu SL adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan
memfasilitasi sesuai dengan prinsip pendidikan orang dewasa dapat memberi arti
bagi penerapan pertanian berkelanjutan untuk ketangguhan komunitas melawan
bencana dan perubahan iklim (FIELD, 2013).
7
Meskipun kegiatan SL Eco-Rice telah selesai, jumlah petani yang
menerapkan hasil SL masih sedikit dibandingkan dengan petani yang mengikuti
kegiatan SL (terjadi gap dalam penerapan SL). Terdapat perbedaan dinamika
masyarakat dalam mengadopsi pada masing-masing nagari. Petani Pemandu telah
melakukan pendampingan dan penguatan terhadap komunitas petani melalui
proses belajar bersama. Kondisi terjadi gap dalam penerapan SL tersebut
kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor terkait, yakni keefektifan peran
petani pemandu dalam pelaksanaan sekolah lapang yang dilanjutkan penguatan
dan pendampingannya pada petani atau situasi masyarakat nagari yakni faktor
internal dan eksternal petani tersebut. Hal ini menjadi indikator terhadap
pencapaian tujuan Program FIELD-Bumi Ceria bagi petani di Kabupaten Padang
Pariaman. Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan beberapa pertanyaan
penelitian, antara lain:
1.
Bagaimana tingkat peran petani pemandu dalam adopsi teknologi Eco-Rice
pada Program FIELD-Bumi Ceria?
2.
Bagaimana tingkat adopsi teknologi Eco-Rice oleh petani pada Program
FIELD-Bumi Ceria?
3.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi Eco-Rice
oleh petani pada Program FIELD-Bumi Ceria?
8
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengidentifikasi tingkat peran petani pemandu dalam adopsi teknologi EcoRice pada Program FIELD-Bumi Ceria.
2.
Menganalisis tingkat adopsi teknologi Eco-Rice oleh petani pada Program
FIELD-Bumi Ceria.
3.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi EcoRice oleh petani pada Program FIELD-Bumi Ceria.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan bermanfaat bagi:
1.
Peneliti dan para pelaku pengembangan masyarakat dalam menambah
pengetahuan
dan
wawasan tentang strategi
program
pemberdayaan
masyarakat dengan mengoptimalkan energi internal komunitas melalui
keswadayaan dan kemandirian masyarakat.
2.
Akademisi; sebagai referensi dan bahan informasi bagi mahasiswa dalam
melakukan penelitian.
3.
Lembaga penelitian; sebagai informasi untuk melakukan penelitian mengenai
peran agen perubahan dalam komunitas untuk mengadopsi dan difusi suatu
inovasi.
4.
Pengambil kebijakan; sebagai bahan masukan dalam merancang program
yang berkaitan dengan pembangunan pertanian berbasis komunitas.
9
1.5
Keaslian Penelitian
Penelitian tentang peran aktor perubahan terhadap adopsi inovasi telah
banyak dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian
yang akan dilakukan seperti penelitian Wirasyahputra (2012) tentang pengaruh
peran penyuluh dan kearifan lokal terhadap adopsi inovasi padi sawah di
Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar. Penelitian tersebut menjelaskan
pengaruh peran penyuluh terhadap proses adopsi inovasi padi sawah diukur dari
aspek sebagai edukator, inovator, fasilitator, konsultan, advokasi, supervisor,
monitoring dan evaluasi (monev). Selanjutnya penelitian tersebut menjelaskan
pengaruh kearifan lokal terhadap proses adopsi inovasi padi sawah, dilihat dari
pemberdayaan kelembagaan dan organisasi lokal, pemimpin informal atau ketua
adat yang berperan dalam proses adopsi inovasi padi sawah serta ritual tradisional,
juga menjelaskan faktor sosial dan faktor ekonomi petani terhadap proses adopsi
inovasi padi sawah, dilihat dari motivasi, partisipasi, pendidikan, sikap, luas
lahan. Kemudian penelitian tersebut juga menjelaskan terjadinya sinergi kegiatan
penyuluhan dengan pendekatan kearifan lokal terhadap adopsi inovasi padi sawah.
Persamaannya pada penelitian ini adalah melihat peran aktor perubahan
terhadap proses adopsi inovasi. Perbedaannya adalah aktor perubahan berasal dari
masyarakat luar yaitu penyuluh pertanian sementara pada penelitian ini aktor
perubahan berasal dari masyarakat lokal yaitu petani pemandu. Selain itu,
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui tingkat adopsi teknologi Eco-Rice
10
serta faktor internal dan eksternal petani yang mempengaruhi tingkat adopsi
teknologi Eco-Rice oleh petani di Kabupaten Padang Pariaman.
Penelitian oleh Cece (2003) tentang Peranan pemimpin kelompok tani
dalam proses adopsi dan difusi teknologi PHT padi di Kecamatan Kepanjen
Kabupaten Malang. Penelitian tersebut menjelaskan tentang peranan pemimpin
kelompok tani dalam proses adopsi dan difusi teknologi PHT padi antara lain
dilihat dari peranannya sebagai guru, penyebar teknologi baru, penyuluh
swakarsa, petani teladan. Penelitian tersebut juga menjelaskan tentang faktorfaktor yang mempengaruhi proses adopsi dan proses difusi teknologi PHT padi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adopsi dilihat dari aspek luas
kepemilikan lahan, sikap, motivasi, tingkat pendidikan, dan peranan pemimpin
kelompok. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses difusi dilihat dari respon
petani, pengalaman berusaha tani, sifat kosmopolitan, status sosial, dan peranan
pemimpin kelompok tani.
Persamaan penelitian ini adalah melihat peran aktor perubahan yang
berasal dari masyarakat lokal dalam proses adopsi inovasi. Perbedaannya terdapat
pada jenis peran pada aktor perubahan antara pemimpin kelompok dengan petani
pemandu. Aktor perubahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah petani
pemandu yang berperan dalam adopsi teknologi Eco-Rice pada program FIELDBumi Ceria. Selain itu, penelitian ini menganalisis tingkat adopsi inovasi serta
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi Eco-Rice oleh petani.
11
Kunto (2004) juga meneliti tentang Peranan Pemuka Pendapat dalam
proses adopsi dan difusi teknologi konservasi lahan kering di Kecamatan Imogiri
Kabupaten Bantul. Peranan pemuka pendapat dalam proses adopsi dan difusi
teknologi konservasi lahan kering ditinjau dari perannya sebagai inisiator,
penyebar inovasi, pengungkap minat, penghubung, pengawas, mobilisator.
Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang penulis dilakukan,
yakni untuk mengidentifikasi peran aktor perubahan terhadap proses adopsi
inovasi. Aktor perubahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tokoh lokal
atau pemuka pendapat terhadap suatu inovasi baru. Sementara aktor perubahan
dalam penelitian ini adalah petani pemandu yang berperan terhadap adopsi
teknologi Eco-Rice pada Program FIELD-Bumi Ceria.
Dari beberapa penelitian tersebut diatas, tidak mengkaji tentang peran
petani pemandu berkaitan dalam adopsi teknologi Eco-Rice. Dalam penelitian ini,
penulis ingin mengetahui tingkat peran dari petani pemandu. Hal tersebut
bertujuan untuk memperoleh informasi yang dapat mendukung pola-pola strategi
pengembangan masyarakat yang berkaitan dengan adopsi suatu inovasi dengan
melibatkan aktor perubahan yang berasal dari masyarakat lokal. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat tabel berikut ini.
12
Tabel.1.1 Matriks Penelitian Terdahulu yang Berkaitan Dengan Peran Aktor Perubahan Terhadap Adopsi Inovasi
Sumber, tahun,
judul
Andrian
Wirasyahputra,
2012, Pengaruh
peran penyuluh
dan kearifan lokal
terhadap adopsi
inovasi padi
sawah di
Kecamatan
Montasik
Kabupaten Aceh
Besar
Cece,
2003,
Peranan
pemimpin
kelompok
tani
dalam
proses
adopsi dan difusi
teknologi
PHT
padi
di
Kecamatan
Kepanjen
Kabupaten
Malang
Tujuan
Metodologi
Hasil Penelitian
Persamaan
Perbedaan
1)
Mengetah
ui pengaruh peran penyuluh
terhadap adopsi inovasi padi
sawah,
2)
Mengetahui
pengaruh
kearifan
lokal
terhadap
adopsi inovasi padi sawah
3)
Mengetahui
pengaruh
faktor sosial dan ekonomi
petani
terhadap
adopsi
inovasi padi sawah
4)
Mengetahui
sinergi
penyuluhan pertanian dan
kearifan
lokal
terhadap
adopsi inovasi padi sawah.
Metode deskriptif analitis dengan
pendekatan kuantitatif yang didukung
oleh pendekatan kualitatif. Sampel
diambil adalah 1 kecamatan yang
berpotensi tinggi dalam budidaya padi
sawah dengan 2 (dua) WKPP. Petani
sampel dipilih secara acak sederhana
(simple random sampling) dengan
jumlah sampel menjadi 120 orang.
Untuk mengetahui peran penyuluh
pertanian dan kearifan lokal serta
mengetahui faktor-faktor sosial dan
ekonomi yang berpengaruh pada adopsi
teknologi
budidaya
padi
sawah
menggunakan analisis regresi linier
berganda serta korelasi. Peran penyuluh
meliputi: sebagai edukator, inovator,
fasilitator,
konsultan,
advokasi,
supervisor, dan monev (monitoring dan
evaluasi).
Peran penyuluh, motivasi dan sikap
petani mempengaruhi proses adopsi
inovasi padi sawah. Faktor kearifan
lokal, partisipasi, luas lahan, dan
pendidikan tidak berpengaruh terhadap
adopsi inovasi padi sawah. Kegiatan
penyuluhan
dengan
pendekatan
kearifan lokal dapat bersinergi dengan
adopsi padi sawah, yang berarti para
penyuluh serta tokoh masyarakat dapat
bekerja sama dengan baik dalam
pengaturan jadwal tanam padi serta
dalam proses pelestarian lingkungan
pertanian diKecamatan Montasik.
Sama-sama
melihat
peranan aktor
perubahan
dalam adopsi
inovasi.
Terdapat
perbedaan aktor
perubahan
dalam
adopsi
inovasi
pada
penelitian
tersebut dengan
penelitian yang
penulis
dilakukan.
Penyuluh
pertanian aktor
berasal
dari
masyarakat luar,
dan
petani
pemandu
berasal
dari
masyarakat
lokal.
1) Mengetahui
peranan
pemimpin kelompok tani
dalam proses adopsi dan
difusi teknologi PHT
2) Mengetahui faktor-faktor
yang
mempengaruhi
adopsi teknologi PHT
3) Mengetahui faktor-faktor
yang
mempengaruhi
difusi teknologi PHT
Metode dasar penelitian ini dengan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Lokasi
penelitian
dipilih
secara
purposive di Kecamatan Kepanjen
Kabupaten Malang, dengan responden
terdiri dari petani SL-PHT dan petani
non SL-PHT dari lima kelompok tani.
Sampel diambil masing-masing 9 petani
peserta SL untuk melihat peranan
pemimpin kelompok tani dalam proses
adopsi dan 9 petani non peserta SL-PHT
untuk melihat peranan pemimpin
kelompok tani dalam proses difusi.
Peranan pemimpin kelompok tani
didaerah penelitian masih rendah. Ini
dilihati dari masih rendahnya adopsi
dan difusi teknologi PHT padi oleh
petani SL-PHT maupun petani non SLPHT. Sikap petani, motivasi kerja dan
peranan pemimpin kelompok tani
berpengaruh nyata terhadap adopsi
teknologi PHT padi sedangkan faktor
yang berpengaruh terhadap difusi
teknologi PHT padi adalah respon
petani dan sifat kosmopolitan. Peranan
pemimpin kelompok tani berpengaruh
Sama-sama
melihat
peranan aktor
perubahan
yang berasal
dari
dalam
komunitas
terhadap
proses adopsi
suatu inovasi
serta faktorfaktor
yang
mempengaruhi
Terdapat
perbedaan
variabel
peranan aktor
perubahan
antara
pemimpin
kelompok tani
dengan petani
pemandu yang
penulis diteliti.
Penelitian yang
dilakukan
13
Adi R. Kunto,
2004,
Peranan
Pemuka Pendapat
dalam
proses
adopsi dan difusi
teknologi
konservasi lahan
kering
di
Kecamatan
Imogiri
Kabupaten Bantul
1) Mengetahui tokoh-tokoh
yang berperan sebagai
pemuka pendapat dalam
proses adopsi dan difusi
teknologi
konservasi
lahan kering
2) Tingkat adopsi dan difusi
teknologi
konservasi
lahan kering
3) Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
adopsi
petani terhadap teknologi
konservasi lahan kering
4) Mengetahui peranan dan
seberapa besar peranan
pemuka
pendapat
tersebut dalam proses
adopsi
dan
difusi
tekonologi
konservasi
lahan kering
5) Mengetahui
frekwensi
penyebaran
teknologi
konservasi oleh pemuka
pendapat, penyuluh, dan
media massa.
Peranan pemimpin kelompok tani dalam
proses adopsi dan difusi adalah sebagai:
guru, penyebar teknologi, penyuluh
swakarsa, petani teladan diukur dengan
skoring.
besar terhadap adopsi teknologi PHT
padi. Dalam difusi teknologi PHT padi
yang mempunyai pengaruh cukup
besar adalah sifat kosmopolitan.
proses adopsi
suatu inovasi.
penulis adalah
mengukur
tingkat adopsi
Eco-Rice.
Metode deskriptif menjadi metode dasar
penelitian
ini.
Pemilihan
lokasi
dilakukan dengan metode purposif
sampling yakni di Desa Selopamioro
Kecamatan Imogiri. Responden dipilih
dengan metode random sampling,
dimana dari desa tersebut diambil 5
petani dari 12 elompok tani yang ada.
Peranan pemuka pendapat dalam
penelitian ini diukur meliputi: peranan
inisiatif, penyebar inovasi, pengungkap
minat, penghubung, pengawas, dan
mobilisator.
Tokoh yang berperan sebagai pemuka
pendapat dalam proses adopsi dan
difusi teknologi konservasi yaitu ketua
kelompok tani. Tingkat adopsi dan
difusi teknologi konservasi oleh petani
dalam kategori tinggi. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat adopsi
teknologi konservasi adalah umur
petani, pengalaman usaha tani,
motivasi mengadopsi, peranan pemuka
pendapat, kredibilitas penyuluh, dan
terpaan oleh media massa. Peranan
pemuka
pendapat
yang
paling
berpengaruh terhadap tingkat adopsi
teknologi konservasi adalah penyebar
inovasi, pengungkap minat, pengawas,
dan mobilisator. Peranan pemuka
pendapat yang berpengaruh terhadap
difusi teknologi konservasi adalah
penyebar inovasi, penghubung, dan
mobilisator. Frekwensi penyebaran
teknologi konservasi oleh pemuka
pendapat lebih tinggi dibandingkan
penyuluh dan media massa.
Persamaan
penelitian ini
adalah samasama melihat
peranan aktor
perubahan
yang berasal
dari
dalam
komunitas.
Peranan
pemuka
pendapat yang
telah diteliti dan
peran
petani
pemandu yang
diteliti terdapat
beberapa
perbedaan
variabel peran.
Variabel peran
yang
akan
diteliti adalah
peran edukator,
fasilitator,
inovator,
motivator,
organisator,
advokasi
dan
monev.
14
Berdasarkan matriks tersebut, secara umum diketahui bahwa aktor
perubahan seperti penyuluh, pemuka pendapat, pemimpin kelompok tani dan
kontak tani berperan terhadap proses adopsi dan difusi suatu inovasi. Peran
aktor perubahan yang berasal dari luar komunitas yakni penyuluh pertanian
dalam proses adopsi adalah sebagai edukator, inovator, fasilitator, konsultan,
advokasi, supervisor, dan monitoring dan evaluasi (monev). Peran aktor
perubahan yang berasal dari internal komunitas antara lain sebagai inisiatif
(inisiator), penyebar inovasi, pengungkap minat, penghubung, pengawas dan
mobilisator.
Dalam
penelitian
yang
penulis
dilakukan
bertujuan
untuk
mengetahui tingkat peran petani pemandu dalam adopsi teknologi Eco-Rice
yang dilihat dari perannya sebagai edukator, fasilitator, motivator, inovator,
advokasi, dan organisator serta monitoring dan evaluasi (monev). Beberapa
peran tersebut dilihat dari peran aktor perubahan yakni penyuluh/ fasilitator
pembangunan. Selanjutnya, menganalisis tingkat adopsi teknologi Eco-Rice
oleh petani pada Program FIELD-Bumi Ceria di Kabupaten Padang
Pariaman. Selain itu juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat adopsi teknologi Eco-Rice oleh petani pada Program FIELD-Bumi
Ceria yang dilihat dari faktor internal yakni umur, pendidikan, pengalaman,
luas lahan, pendapatan keluarga, status sosial, sikap, dan motivasi, serta
faktor eksternal yakni sifat inovasi dan peran petani pemandu.
15
Download