UNDIP PRESS UPAYA PERBAIKAN GIZI KELUARGA MELALUI PEMANFAATAN SAYURAN INDIGENOUS DI PEKARANGAN Indrie Ambarsari, Sarjana, dan Agus Hermawan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek Kotak Pos 101, Sidomulyo – Ungaran 50501 [email protected] ABSTRAK Untuk hidup sehat dan terpenuhinya kebutuhan gizi seimbang, manusia tidak hanya membutuhkan kalori dan protein dalam jumlah yang cukup, namun juga memerlukan vitamin dan mineral. Faktanya, konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih terfokus pada pemenuhan kebutuhan karbohidrat saja dan belum banyak memperhatikan kecukupan kebutuhan mikronutrien seperti vitamin dan mineral. Rendahnya daya beli masyarakat menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus-kasus gizi buruk di berbagai daerah, salah satunya adalah defisiensi gizi mikro. Padahal gejala defisiensi gizi mikro (micronutrient) dapat dicegah dengan meningkatkan konsumsi sayuran indigenous yang dapat dikembangkan di lahan pekarangan. Tulisan ini merupakan suatu ulasan mengenai berbagai jenis tanaman sayuran indigenous yang berpotensi untuk dikembangkan pada lahan pekarangan, serta kontribusi sayuran tersebut dalam upaya perbaikan gizi di tingkat rumah tangga. Beberapa jenis sayuran indigenous yang potensial untuk dikembangkan di lahan pekarangan adalah gambas, labu siam, kucai, krokot, kenikir, beluntas, pakis, daun singkong, daun kemangi dan daun katuk. Dilihat dari kandungan gizinya, daun singkong memiliki kandungan gizi yang tinggi dibandingkan jenis sayuran indigenous lainnya khususnya untuk kandungan vitamin A dan C, dimana masing-masing mencapai 1970 µg RE dan 311 mg. Sedangkan untuk kandungan mikro-nutrien lain seperti zat besi dan kalsium, banyak terkandung pada daun bayam. Kata kunci : sayuran indigenous, pekarangan, gizi keluarga PENDAHULUAN Perubahan gaya hidup masyarakat menuju hidup sehat memberikan pemahaman bahwa tubuh tidak hanya membutuhkan kalori dan protein, namun juga vitamin dan mineral dalam pola konsumsi gizi seimbang. Masalah gizi lebih ataupun gizi kurang berkaitan erat dengan pola konsumsi masyarakat yang tidak memperhatikan kebutuhan dan keseimbangan gizi untuk kesehatan tubuh. Faktanya, konsumsi pangan di Indonesia masih terfokus pada pemenuhan kebutuhan karbohidrat saja dan belum banyak memperhatikan kecukupan kebutuhan mikronutrien seperti vitamin dan mineral. Kondisi ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya berbagai kasus gizi buruk di berbagai daerah di Indonesia. Data Departemen Kesehatan sampai dengan akhir November 2008 mencatat setidaknya empat juta anak Indonesia terancam gizi buruk (Subarkah, 2009). Menurut Soetiarso (2008), satu-satunya cara berkelanjutan untuk memperbaiki status mikronutrien tubuh manusia adalah melalui pengintegrasian bahan pangan yang kaya akan mikronutrien ke dalam menu makanan. Oleh karena itu, konsumsi sayuran memiliki peran yang sangat penting karena sayur merupakan bahan pangan sumber nutrisi yang dapat mengkoreksi gejala defisiensi mikronutrien, serta mengandung fitokimia yang dapat menurunkan risiko penyakit kronis (Pennington dan Fisher, 2009). Namun demikian, upaya pengintegrasian tersebut seringkali terkendala oleh pasokan sayuran yang bersifat musiman, sehingga harganya berfluktuasi yang berpengaruh terhadap daya beli masyarakat (Soetiarso, 2008). Berkaitan dengan hal tersebut, maka pemanfaatan sayuran indigenous merupakan “Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis” 443 UNDIP PRESS salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber nutrisi. Sayuran indigenous adalah tanaman sayuran asli suatu daerah di Indonesia yang berasal dari daerah atau ekosistem tertentu, termasuk spesies pendatang dari wilayah geografis lain namun telah beradaptasi dengan baik di suatu daerah dan dimanfaatkan oleh penduduk setempat sejak dulu secara turun-temurun (Anonim, 2006; Somantri, 2006). Selain harganya yang relatif murah, secara tradisional sayuran indigenous merupakan salah satu komponen pola tanam, khususnya dalam pemanfaatan lahan pekarangan (Marsh, 1998). Dari segi penyediaan pangan, pekarangan merupakan sumber pangan yang murah, memberikan hasil yang beragam, dan hasil produksinya mudah diakses karena letaknya yang dekat dengan rumah. Sajogyo (1981) menyebutkan pentingnya arti pekarangan bagi perekonomian keluarga, khususnya bagi masyarakat bawah. Berdasarkan hasil penelitian di beberapa negara Asia Pasifik, budidaya sayuran dengan memanfaatkan lahan pekarangan seluas 35 m2, dapat menghasilkan sayuran ratarata sebanyak 750 g/hari (Chadha et al., 2010). Artinya dengan asumsi bahwa dalam satu keluarga terdiri atas empat orang anggota, maka konsumsi sayuran di tingkat rumah tangga dapat mencapai 187 g/kapita/hari. Angka konsumsi ini sudah mendekati angka konsumsi sayuran yang dianjurkan oleh Asian Vegetable Research and Development Center (AVRDC) yaitu 200 g/kapita/hari (Asaduzzaman et al., 2011). Tulisan ini mengulas mengenai berbagai jenis tanaman sayuran indigenous yang berpotensi untuk dikembangkan pada lahan pekarangan, serta kontribusi sayuran tersebut dalam upaya perbaikan gizi di tingkat rumah tangga. Defisiensi Mikro-nutrien dalam Status Gizi Keluarga di Indonesia Meskipun dibandingkan satu dekade yang lalu telah terjadi perbaikan gizi di Indonesia, namun kecepatan prevalensi penurunan penderita gizi kurang dapat dikatakan sangat lambat. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010, dari 33 provinsi di Indonesia terdapat 18 provinsi yang memiliki 444 prevalensi gizi kurang dan buruk di atas prevalensi nasional (Anonim, 2010). Salah satu masalah utama prevalensi gizi kurang dan buruk yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia adalah defisiensi mikro-nutrien. Kasus-kasus defisiensi mikro-nutrien yang paling sering terjadi di masyarakat adalah anemia karena kekurangan zat besi, gangguan akibat kekurangan iodium, dan kekurangan vitamin A. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada tahun 2000 terdapat 750-850 ribu kasus kematian yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A, zat besi dan zinc (Food and Agriculture Organization, 2004). Diperkirakan sebanyak 33,3% atau kurang lebih 190 juta jiwa anak berusia di bawah 5 tahun berisiko terhadap defisiensi vitamin A, dimana Asia Tenggara (termasuk Indonesia) memiliki prevalensi tertinggi untuk defisiensi vitamin A, yaitu sekitar 49,9% (WHO, 2009). Permasalahan defisiensi mikro-nutrien ini telah menjadi masalah global yang serius, terutama di daerah dimana keragaman bahan pangan sangat kurang (Flyman dan Afolayan, 2006). Dikemukakan oleh Black (2003) bahwa defisiensi terhadap salah satu mikro-nutrien dapat menyebabkan defisiensi terhadap mikronutrien lainnya, sehingga memungkinkan terjadinya defisiensi mikro-nutrien lebih dari satu jenis secara bersamaan. Defisiensi mikro-nutrien berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat, sehingga dapat merusak kualitas sumber daya manusia. Defisiensi vitamin A dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh sehingga mudah terserang infeksi penyakit, dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Defisiensi vitamin A juga dapat menyebabkan gangguan kemampuan penglihatan, dan dalam jangka waktu yang lama berisiko menyebabkan kebutaan (Adawiyah, 2011). Risiko terjadinya defisiensi vitamin A lebih banyak dialami oleh anak-anak balita. Selain defisiensi vitamin A, Indonesia juga sangat rentan terhadap masalah defisiensi zat besi (Fe) dan zinc (Zn). Prevalensi defisiensi zinc di Indonesia secara menyeluruh belum diketahui, namun dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan di berbagai daerah, diperkirakan prevalensi defisiensi zinc pada ibu hamil dan bayi di Indonesia sangat tinggi, yaitu berkisar antara 25-78% (Anonim, 2007). Sama halnya Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012 UNDIP PRESS dengan defisiensi zinc, defisiensi zat besi di Indonesia juga masih belum diketahui secara menyeluruh. Namun dari beberapa hasil penelitian, diperkirakan prevalensi anemia (defisiensi zat besi) di Indonesia berkisar antara 40-60% dan terutama terjadi pada balita dan ibu hamil/menyusui (Anonim, 2007). Untuk mencegah terjadinya kasus-kasus defisiensi mikronutrien, maka kebutuhan nutrisi tubuh harus terpenuhi. Asian Vegetable Research and Development Center (AVRDC) merekomendasikasikan konsumsi sayuran minimal sebanyak 200 g/orang/hari untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh (Asaduzzaman et al., 2011). Angka rekomendasi AVRDC ini dirasa kurang tepat karena setiap jenis sayuran memiliki jumlah kalori dan nutrisi yang berbeda, sehingga konsumsi sayuran yang berbeda jenis akan menghasilkan asupan nutrisi yang berbeda pula. Selain itu Uusiku et al. (2010) menambahkan bahwa kecukupan asupan nutrisi harian untuk setiap orang berbeda, tergantung pada kondisi tubuh (sehat atau sakit), jenis kelamin, umur, aktivitas sehari-hari dan lain sebagainya. Oleh karenanya, FAO/WHO memberikan rekomendasi angka kecukupan asupan nutrisi harian untuk berbagai jenis mikronutrien yang dibedakan berdasarkan umur dan jenis kelamin (Tabel 1). kasus kekurangan gizi mikro di Indonesia masih relatif tinggi. Pengembangan pekarangan sayuran indigenous di Sayuran indogenous merupakan salah satu sumberdaya hayati yang kaya manfaat dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sayuran alternatif untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Sayuran ini umumnya tumbuh sebagai tanaman liar di pekarangan atau di sepanjang sungai yang kemudian dikumpulkan dan dikonsumsi oleh masyarakat desa (Duriat et al., 1999). Pemanfaatan sayuran indigenous Indonesia umumnya hanya dilakukan oleh masyarakat di suatu daerah saja, dalam jumlah yang sedikit dan tidak berkelanjutan (Hermanto, 2008). Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pemanfaatan sayuran indigenous ini dapat dilakukan melalui pengembangan tanaman tersebut di pekarangan. Selain itu, pengembangan sayuran indigenous di lahan pekarangan juga dapat menjadi salah satu upaya konservasi plasma nutfah. Trinh et al. (2003) menyatakan bahwa lahan pekarangan memiliki potensi yang menjanjikan untuk konservasi berbagai jenis tanaman atau varietas tanaman lokal yang dulunya tersebar di berbagai Tabel 1. Asupan Mikro-nutrisi Harian Untuk Kelompok Umur Tertentu Berdasarkan Rekomendasi FAO/WHO Umur Vit A (µg RE) Vit C Riboflavin Folat Besi (mg) Zinc Kalsium Magnesium (thn) (mg) (mg) (µg) (mg) (mg) (mg) 1-3 400 30 0,5 150 5,8 8,3 500 60 4-6 450 30 0,6 200 6,3 9,6 600 76 7-9 500 35 0,9 300 8,9 11,2 700 100 10-18 L 600 40 1,3 400 14,6 (10-14 th) 17,1 1300 230 19-65 P 600 40 1,0 400 18,8 (15-18 th) 32,7 (10-14 th) 31,0 (15-18 th) 14,4 1300 220 L P 600 500 45 45 1,3 1,1 400 400 13,7 29,4 14,0 9,8 1000 1000 260 220 Sumber: Uusiku et al. (2010) Di Indonesia, konsumsi sayur dapat dikatakan masih rendah. Data Kementerian Pertanian (2010) menyebutkan bahwa konsumsi sayur dan buah di Indonesia adalah 77.2 kg/kapita/tahun atau sekitar 27.8 g/kapita/hari. Tidak mengherankan apabila kejadian kasus- agroekosistem. Beberapa sayuran indigenous yang potensial untuk dikembangkan di pekarangan dapat dilihat pada Tabel 2. “Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis” 445 UNDIP PRESS Tabel 2. Beberapa Jenis Sayuran Indigenous Yang Dibudidayakan Di Lahan Pekarangan Dan Pemanfaatannya Dalam Kuliner Lokal Jenis sayuran Gambas (Luffa acutangula) Labu siam (Sechium edule) Paria (Momordica sp.) Krokot (Portulaca oleracea) Kucai (Allium schoenosprasum) Kenikir (Cosmos caudatus) Beluntas (Pluchea indica) Daun pakis (Arcyteris irregularis) Daun kemangi (Ocinum citriodorum) Daun katuk (Sauropus androgynus) Pemanfaatan dalam kuliner lokal Bagian tanaman yang umum dikonsumsi adalah buahnya. Pemanfaatan tanaman ini dapat dikatakan sangat terbatas, buah gambas atau oyong muda umumnya hanya dikonsumsi sebagai sayur. Baik buah maupun daun labu siam dapat dikonsumsi sebagai sayur. Daun yang muda umumnya digunakan sebagai campuran urap. Buah paria atau pare memiliki rasa pahit. Pemanfaatan buah pare sebagai sayur umumnya hanya direbus atau ditumis. Daun krokot memiliki rasa yang agak asam dan asin. Pada kuliner lokal, daun krokot umumnya dikonsumsi sebagai lalapan atau dimasak sebagai campuran dalam sup atau masakan rebusan. Seluruh bagian tanaman kucai mulai dari pucuk hingga umbinya dapat dimakan. Umumnya kucai digunakan sebagai campuran omelet, tahu dan martabak. Bagian tanaman kenikir yang biasa dikonsumsi adalah daun mudanya. Daun kenikir ini memiliki aroma khas yang sedikit wangi dengan rasa yang agak getir. Umumnya daun digunakan sebagai sayuran pelengkap pada sajian pecel atau urap. Daun muda tanaman beluntas biasa dikonsumsi sebagai lalapan atau dikukus. Daun beluntas memiliki aroma wangi yang khas dengan rasa getir menyegarkan yang dapat meningkatkan selera makan. Di daerah Sumatra, daun pakis banyak diolah sebagai sayur, dimasak rendang, gulai atau hidangan bersantan lainnya. Daun pakis yang layak untuk dikonsumsi memiliki tangkai bulat, tebal dan mudah dipatahkan, serta berwarna hijau segar. Selain daerah Sumatra, sayur pakis juga banyak dikonsumsi di daerah Jawa Barat dan Sulawesi. Daun kemangi umum digunakan sebagai bahan penyedap dalam berbagai jenis masakan. Selain itu daun kemangi juga biasa dikonsumsi dalam bentuk segar sebagai lalapan. Daun katuk selain dapat dikonsumsi sebagai sayur, juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami pada makanan. Sumber: Andarwulan dan Faradilla (2012) Saat ini, tanaman sayur indigenous seperti gambas, pare, kenikir, krokot, beluntas dan lainlain sudah mulai jarang dikonsumsi oleh masyarakat khususnya di perkotaan. Tanaman tersebut seringkali dianggap sebagai sayuran inferior karena rasanya yang kurang disukai. Sebagai contoh, rasa getir pada kenikir dan beluntas ataupun rasa pahit pada pare menjadikan jenis masakan atau produk pangan olahan berbahan dasar sayur tersebut sangat terbatas. Akibatnya, pemanfaatan dan frekuensi konsumsi sayuran indigenous menjadi semakin menurun dan ditinggalkan. Padahal keberadaan sayuran indigenous selain memiliki nilai 446 ekonomi dan kandungan nutrisi yang baik bagi kesehatan, juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan. Hasil penelitian Sandrasari (2008) menunjukkan bahwa sayuran indigenous seperti kenikir, beluntas, kemangi, katuk dan krokot mengandung senyawa fenolik yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Adanya aktivitas antioksidan dalam suatu bahan diketahui memiliki pengaruh biologis yang kuat khususnya sebagai anti-alergi, anti-bakteri, antiinflammatori, dan anti-virus. Dalam kuliner lokal, penyajian sayur indigenous umumnya dilakukan setelah melalui proses pengolahan, baik perebusan ataupun Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012 UNDIP PRESS pemasakan dengan penambahan bumbu lainnya. Yang harus diperhatikan adalah bahwa proses pemasakan memiliki pengaruh yang bervariasi terhadap kandungan mikro-nutrien sayuran, mulai dari tidak mempengaruhi kandungan zat besi dan zinc, peningkatan keberadaan b-caroten, sampai dengan penurunan kandungan vitamin C (Uusiku et al., 2010). Meskipun demikian, hasil penelitian Haskell et al. (2004) menunjukkan bahwa baik sayuran segar ataupun sayuran yang dimasak memiliki efek yang menguntungkan berkaitan dengan perbaikan status vitamin A. konsumsinya berpengaruh negatif terhadap kondisi gizi (Aswatini et al., 2008). Menurut Ezzati et al. (2002), kekurangan konsumsi sayur tidak hanya membuka peluang akan risiko defisiensi mikro-nutrien, namun juga dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kematian di dunia. Sayuran indigenous sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sayuran indigenous memiliki kandungan gizi yang tidak kalah dengan jenis sayuran komersial lainnya. Tabel 3 menunjukkan bahwa dari sejumlah jenis sayuran indigenous, kandungan vitamin A tertinggi justru terdapat dalam daun singkong dan daun kemangi, masing-masing sebesar 1970 dan 1500 µg RE. Kandungan vitamin A pada kedua jenis sayur ini bahkan lebih tinggi dari wortel yang selama ini dikenal sebagai sumber vitamin A. Soetiarso (2008) menyebutkan bahwa kandungan vitamin A pada wortel dapat mencapai 1080 µg RE atau setara dengan 3600 IU. Sayuran indigenous dan kontribusinya dalam perbaikan gizi Dikemukakan oleh Flyman dan Afolayan (2006) bahwa tubuh manusia memerlukan setidaknya 40 jenis vitamin dan mineral untuk perkembangan fisik dan mental, mempertahankan sistem kekebalan tubuh, serta proses metabolisme. Sayur merupakan salah satu kelompok bahan pangan yang berfungsi sebagai vitamin dan mineral, sehingga kekurangan Tabel 3. Kandungan Gizi Beberapa Jenis Sayuran Indigenous (per 100 G Berat Bahan Segar) Jenis sayuran Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat Vit.A* (µg (g) RE) Sayuran buah: Tomat Terong Gambas Labu siam Paria 1,2 1,6 0,8 0,6 1,1 0,2 0,1 0,3 4,1 6,7 5,6 84-450 8 114 6 54 Sayuran daun: Bayam Daun kacang tanah Sawi Daun labu kuning Daun ubi jalar Daun singkong Daun pare Krokot Kacang panjang Kucai Daun pakis Daun kemangi Daun katuk 4-6 4 1-2 3 4-5 7 5 3 5 2,2 4,0 4,0 4,8 0,2-0,6 0,5 0,1-0,3 0,7 0,2-1,1 1,0 5,0 0,3 0,4 0,3 0,3 0,5 1,0 4-8 13 5-6 0,4 10 18 7 3 2 10,3 6,4 8,9 11,0 327 194 103-980 1970 669 99 12 864 1500 3,1 5 Vit.C (mg) Besi (mg) Kalsium (mg) 23 6 8 18 52 0,6 0,9 0,9 0,5 1,4 7 22 19 14 45 46-126 87 30-113 11 11-70 311 4 28 50 17 30 50 239 0,3-3,8 1,0 0,5-3,5 1,5 0,6-1,0 3,5 2,9 0,3-3,0 1,1 1,3 2,0 2,7 253-425 27-31 39 37-158 30-303 188 52 42 45 204 ∗ 1 µg RE = 3,33 IU Sumber: Ali dan Tsou (1997); Rahmat (2009); Soetiarso (2008); Uusiku et al. (2010) “Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis” 447 UNDIP PRESS Selain vitamin A, daun singkong juga kaya akan kandungan vitamin C, protein dan karbohidrat. Jenis mikro-nutrien lainnya seperti zat besi dan kalsium, banyak terkandung pada sayur bayam. Namun yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa sayuran daun berwarna gelap dikenal mengandung oksalat, phytat, nitrat, tannin dan saponin yang diketahui dapat menurunkan daya absorpsi mikro-nutrien tertentu dalam tubuh manusia (Flyman dan Afolayan, 2006). Melihat tingginya kandungan gizi pada sayuran indigenous, maka sayuran tersebut dapat berperan dalam membantu mengatasi masalahmasalah defisiensi mikro-nutrien bagi masyarakat Indonesia, terutama keluarga prasejahtera. Sayuran indigenous dapat diandalkan mengingat tanaman ini telah beradaptasi terhadap lingkungan setempat dan cara budidayanya relatif mudah dan murah. KESIMPULAN KEBIJAKAN DAN IMPLIKASI Pengintegrasian sayuran indigenous ke dalam menu makanan sehari-hari merupakan salah satu cara yang praktis dan berkelanjutan dalam upaya memenuhi gizi seimbang di tingkat rumah tangga dan memberantas kasus defisiensi mikro-nutrien di masyarakat. Daun singkong yang selama ini dianggap sebagai tanaman sayur inferior, justru memiliki kandungan mikronutrien yang paling tinggi dibandingkan sayuran lainnya khususnya dalam hal kandungan vitamin A dan C. Meskipun demikian, tidak ada satupun jenis sayuran yang dapat menyediakan nutrisi yang dibutuhkan tubuh manusia secara lengkap. Konsumsi pangan yang beragam oleh karenanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mikronutrien harian. Lahan pekarangan memiliki potensi yang cukup besar untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dan pemenuhan gizi keluarga, salah satunya melalui pengembangan sayuran indigenous. Micronutrient Deficiencies Through Vegetables – A Neglected Food Frontier in Asia. Food Policy 22(1) : 17-38. Andarwulan, N. dan R.H.F. Faradilla. 2012. Senyawa Fenolik Pada Beberapa Sayuran Indigenous dari Indonesia. SEAFAST Center, IPB, Bogor. Anonim. 2006. Sayuran Indigenous Meningkatkan Gizi dan Pendapatan Petani. Sinar Tani Edisi 8, 14 Februari 2006. Anonim. 2007. http://www.damandiri.or.id/file/evawanyar itonangipbbab1.pdf. [2 November 2012] Anonim. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. http://www.litbang.depkes.go.id/sites/dow nload/buku_laporan/lapnas_riskesdas2010 /Laporan_riskesdas_2010.pdf [1 November 2012] Asaduzzaman, A. Naseem, and R. Singla. 2011. Benefit-Cost Assessment of Different Homestead Vegetable Gardening on Improving Household Food and Nutrition Security in Rural Bangladesh. AAEA and NAREA Joint Annual Meeting. Pittsburgh, Pennsylvania, July 24-26, 2011. Aswatini, M. Noveria, dan Fitranita. 2008. Konsumsi Sayur dan Buah di Masyarakat dalam Konteks Pemenuhan Gizi Seimbang. Jurnal Kependudukan Indonesia 3(2) : 97-119. Black, R. 2003. Micronutrient Deficiency – An Underlying Cause of Morbidity and Mortality. Bulletin of the World Health Organization 81. Adawiyah, R. 2012. Kurang Vitamin A. http://kesehatan.kompasiana.com/makanan /2012/06/11/all-about-kva-kurang-vitamina-468998.html. [25 Oktober 2012] Chadha, M.L. Ray-yu Yang, Satish K. Sain, C. Triveni, Roohani Pal, M. Ravishankar and T.R. Ghai. 2010. Home Gardens: An Intervention for Improved Health and Nutrition in Selected States of India. Proceeding of 28th International Horticultural Congress. Lisboa, August 22-27, 2010. Ali, M. and S.C.S. Tsou. 1997. Combating Duriat, A.S., A. Asgar, and Z. Abidin. 1999. DAFTAR PUSTAKA 448 Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012 UNDIP PRESS Indigenous Vegetables in Indonesia: Their Conservation and Utilization. In: L.M. Engle and N.C. Altoveros (Eds.). Collection, Conservation and Utilization of Indigenous Vegetables. AVRDC, Taiwan. Ezzati, M., A.D. Lopez, A. Rodgers, S. Van der Hoorn, and C.J.L. Murray. 2002. Selected Major Risk Factors and Global and Regional Burden of Disease. Lancet 360 : 1347-1360. Flyman, M.V. and A.J. Afolayan. 2006. The Suitability of Wild Vegetables for Alleviating Human Dietary Deficiencies. South African Journal of Botany 72 : 492497. Food and Agriculture Organization. 2004. The State of Food Insecurity In The World. Economic and Social Department, Rome, Italy. Haskell, M.J., K.M. Jamil, F. Hassan, J.M. Peerson, M.I. Hossain, G.J. Fuchs, and K.H. Brown. 2004. Daily Consumption of Indian Spinach (Basella alba) or Sweet Potatoes has a Positive Effect on Total Body Vitamin A Stores in Bangladeshi Men. The American Journal of Clinical Nutrition 80 : 705-714. Hermanto, D. 2008. Koleksi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Sayuran Indigenous. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Marsh, R. 1998. Building on Traditional Gardening to Improve Household Food Security. Food Nutrition Agriculture 22 : 4-14. Pennington, J.A.T. and R.A. Fisher. 2009. Classification of Fruits and Vegetables. Jounal of Food Composition and Analysis 22 : S23-S31. Rahmat, H. 2009. Identifikasi Senyawa Flavonoid Pada Sayuran Indigenous Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sandrasari, D.A. 2008. Kapasitas Antioksidan dan Hubungannya dengan Nilai Total Fenol Ekstrak Sayuran Indigenous. Thesis. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Soetiarso, T.A. 2008. Sayuran Indigenous: Alternatif Sumber Pangan Bernilai Gizi Tinggi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Litbang Pertanian. Somantri, I.H. 2006. Pentingnya Melestarikan Sayuran Indigenous. Makalah disampaikan pada pelatihan ‘Promosi Pemanfaatan Sayuran Indigenous untuk Peningkatan Nutrisi Keluarga Melalui Kebun Pekarangan’. Jakarta, 17-19 April 2006. Subarkah, A. 2009. Penguatan Kapital Sosial dalam Penanggulangan Gizi Buruk “Sebuah Kajian Kapital Sosial dalam Penanggulangan Gizi Buruk di NTT”. http://adesubarkah.files.wordpress.com/20 10/07/pengembangan-social-capitaldalam-penanganan-gizi-buruk.pdf. [1 november 2012] Trinh, L.N., J.W. Watson, N.N. Hue, N.N. De, N.V. Minh, P. Chu, B.R. Sthapit, and P.B. Eyzaguirre. 2003. Agrobiodiversity Conservation and Developmend in Vietnamese Home Gardens. Agriculture Ecosystems and Environment 97 : 317344. Uusiku, N.P., A. Oelofse, K.G. Duodu, M.J. Bester, and M. Faber. 2010. Nutritional Value of Leafy Vegetables of Sub-Saharan Africa and Their Potential Contribution to Human Health. Journal of Food Composition and Analysis 23 : 499-509. WHO. 2009. Global Prevalence of Vitamin A Deficiency in Populations at Risk 19952005: WHO Global Database of Vitamin A Deficiency. Geneva, Switzerland. “Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis” 449