BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari sisi domestik, pertumbuhan ekonomi diperkirakan memasuki fase konsolidasi sehubungan dengan belum rampungnya langkah-langkah untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang sustainable. Dari sisi eksternal, konstalasi global akan ditandai dengan terus bergesernya landscape pertumbuhan, dimana ekonomi negara-negara maju semakin baik, sedangkan ekonomi negara berkembang melambat. Kondisi tersebut dapat meningkatkan potensi resiko kredit dan resiko likuiditas di perbankan. Perekonomian Indonesia mengalami masa resesi. Sebagai dampak dari resesi dunia saat memasuki dekade 1980-an Produk Domestik Bruto (PDB) turun drastis menjadi hanya 2,2% sementara neraca pembayaran terus memburuk dan bahkan terjadi defisit sebesar USD 1,930 juta pada tahun 1982. Untuk mengatasi kondisi perekonomian yang semakin memburuk, pemerintah melakukan kebijakankebijakan perekonomian termasuk moneter dan deregulasi pada industri perbankan (Siamat 2005: 98). Pertumbuhan perbankan syariah telah menunjukkan laporan yang luar biasa. Menurut Ahmad (2000) ada lebih dari 176 bank Islam dan lembaga keuangan lainnya dengan deposito melebihi $ 112.500.000.000 dan beroperasi di 40 negara termasuk Indonesia. Bandingkan dengan hanya satu bank syariah pada tahun 1992, saat ini, ada 3 bank syariah, 26 bank membuka unit perbankan syariah mereka, dan hampir 115 BPR syariah telah beroperasi di Indonesia (Bank Sentral 1 2 Indonesia, Juni 2008). Aset bank Islam juga tumbuh secara signifikan dari 1,790 milyar pada tahun 2000 menjadi 36.537 milyar rupiah pada tahun 2007. Tren yang tajam ini namun tidak diikuti oleh pangsa pasar yang tinggi. Al-Qur’an sebagai sumber hukum dalam agama Islam cukup banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan keuangan. Akan tetapi, Alquran tidak secara spesifik berbicara tentang bentuk lembaga keuangan. Pada tahun 1963, di desa Mit Ghamr, salah satu daerah di wilayah Mesir, dibentuk sebuah lembaga keuangan pedesaan yang bernama Mit Ghamr Savings Bank atau biasa disebut Mit Ghamr Bank yang dipelopori oleh seorang ekonom bernama Dr. Ahmad El Najjar. Lembaga keuangan tersebut ternyata sangat sukses, baik dalam penghimpunan modal dari masyarakat berupa tabungan, uang titipan, dan zakat, sadaqah, dan infak, maupun dalam memberikan modal kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah, terutama dibidang perdagangan dan industri. Kemudian pada tahun 1967 pengoperasian Mith Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir disebabkan adanya kekacauan politik. Walaupun Mith Ghamr sudah berhenti beroperasi sebelum mencapai kematangan dan menyentuh semua profesi bisnis, keberadaannya telah memberikan tanda positif bagi masyarakat muslim pada umumnya, dengan diperkenalkannya prinsip - prinsip Islam yang sangat Applicable dalam dunia bisnis Modern. Perbankan Syariah merupakan lembaga keuangan Syariah, yang berkembang secara perlahan, namun kemudian mulai menunjukkan perkembangan yang semakin cepat mencapai prestasi pertumbuhan jauh di atas perkembangan 3 perbankan konvensional. Di Indonesia perbankan Syariah muncul sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil. Pada UU No.7/1992 pasal 6 huruf “m” menyebutkan bahwa bank umum dapat melakukan usaha pembiayaan bagi nasabah berdasarkan “prinsip bagi hasil” sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Perbankan Syariah di Indonesia, pertama kali beroperasi pada 1 Mei 1992, ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pada dasarnya pilihan nasabah untuk menempatkan dananya di bank biasanya dilandasi oleh lima hal penting, di mana kelima hal tersebut hampir dimiliki oleh beberapa bank yang bersaing ketat. Posisi BMI sebagai bank syariah semakin pasti setelah UndangUndang No 7 Tahun 1992 tentang perbankan disahkan. Dalam Undang-Undang tersebut bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan dari para nasabah, baik bunga ataupun keuntungan bagi hasil. Dengan perkembangan yang sangat pesat pemerintah merevisi sehingga menjadi UU No 10 Tahun 1998 yang lebih memperjelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang-cabang syariah atau bahkan mengonversi diri secara total menjadi bank syariah. PT BMI merupakan bank syariah pertama di Indonesia dan telah beroperasi sebelum dan sesudah kebijakan perbankan 1998. Dengan demikian, dapat dibandingkan dan dianalisis antara kinerja pengimpunan 4 dan penyaluran dana masyarakat pada bank syariah tersebut sebelum dan sesudah kebijakan perbankan 1998. Secara historis, perusahaan telah terlibat dalam menggunakan pinjaman bank sebagai sumber dana. Menurut Luengnaruemitchai dan Ong (2005), pinjaman bank yang digunakan oleh perusahaan karena hubungan perusahaan dengan bank. Hal ini juga menunjukkan bahwa insentif yang perusahaan dapatkan dari mendapatkan pinjaman bank sebagai sumber pendanaan. Jika perusahaan yang bergantung pada pinjaman bank untuk pendanaan jangka panjang, itu membuat ekonomi lebih rentan. Hal ini menunjukkan bahwa ada penelitian masa lalu yang mempromosikan bahwa jika menggunakan pembiayaan utang, penerbitan obligasi akan optimal untuk pendanaan jangka panjang dan pinjaman bank untuk pendanaan jangka pendek. Ini berarti bahwa secara umum, perusahaan cenderung untuk menerbitkan obligasi jika mereka ingin memperoleh aset tetap sedangkan pinjaman bank kemungkinan akan digunakan untuk membiayai persediaan dan aktiva lancar. Pada saat ini perkembangan perbankan syariah belum menyentuh pada sektor riil, namun perkembangan penyaluran pembiayaan khususnya sistem bagi hasil (mudharabah atau musyarakah) yang disalurkan Bank Umum Syariah mengalami peningkatan yang cukup baik. Pelunasan pembiayaan murabahah banyak menemui kendala. Salah satunya adalah pelunasan pembiayaan yang macet. Mengatasi hal tersebut, perusahaan pembiayaan syariah menggunakan jasa debt financing dalam penagihan utangnya. Pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah dimana aktivitas yang mengakibatkan perubahan dalam jumlah serta komposisi modal dan pinjaman 5 bank. Pembiayaan dalam bank syariah dapat dibedakan menjadi 2 yaitu debt financing dan equity financing dimana debt financing merupakan pembiayaan dengan prinsip jual beli dan prinsip sewa menyewa. Sedangkan equity financing merupakan prinsip bagi hasil yang diterapkan dalam syariah. Seiring dengan pesatnya perkembangan jumlah bank syariah dan jumlah aset dari bank syariah tersebut. Yaitu pembiayaan mayoritas disalurkan pada debt financing yaitu sebesar 70,93% dengan komposisi murabahah 66.42%, lainnya 4,51%, sedangkan pembiayaan bagi hasil (equity financing) hanya sebesar 29,07% dengan komposisi mudharabah 18,05%, musyarakah 11,02%. Hal ini dimaklumi bahwa debt financing mendominasi dunia perbankan syariah di awal – awal perkembangannya sebagian masih memandangnya wajar, karena berbagai kendala yang dihadapi dalam pembiayaan bagi hasil (equity financing). Kendala itu dapat bersifat internal maupun eksternal. Menurut Ascarya (peneliti senior Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia). Berdasarkan Outlook Perbankan Syariah Tahun 2013 yang dikeluarkan Bank Indonesia, aset perbankan syariah (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) posisi Oktober 2012 sebesar Rp.179,04 triliun atau meningkat sebesar 37% dari posisi yang sama tahun 2011. Di samping meningkatnya return, pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang cepat selama ini berpotensi meningkatkan risiko industri perbankan syariah, karena jaringan layanan yang semakin luas dan jenis produk yang semakin kompleks. Pertumbuhan yang tinggi membutuhkan upaya monitoring, evaluasi, dan supervisi yang tinggi, karena terdapat beberapa masalah yang berpotensi meningkatkan risiko, antara lain 6 pembiayaan perbankan syariah terkonsentrasi pada debitur inti dan sektor ekonomi tertentu, masih tergantung pada sumber dana mahal, berorientasi pada pembiayaan jangka pendek. Profit Expense Ratio menilai efisiensi biaya dimana menilai kemampuan bank menghasilkan profit tinggi dengan beban yang harus di tanggung. Mengingat pentingnya pembiayaan dalam bank syariah sebagai salah satu faktor penetapan dalam penghitungan maka peneliti ingin mengkaji lagi hasil penelitian sebelumnya mengenai penggunaan penghitungan pembiayaan dalam bank syariah , sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: PENGARUH TINGKAT DEBT FINANCING DAN EQUITY FINANCING TERHADAP PROFIT EXPENSE RATIO PADA BANK SYARIAH DI INDONESIA . (Studi Kasus Pada PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri Periode 2010-2013). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dilakukan perumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah Debt Financing dan Equity Financing berpengaruh secara bersama-sama terhadap Profit Expense Ratio pada Bank Syariah di Indonesia studi kasus PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri periode 2010-2013 ? 7 2. Apakah Debt Financing berpengaruh signifikan terhadap Profit Expense Ratio pada Bank Syariah di Indonesia studi kasus PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri periode 2010-2013 ? 3. Apakah Equity Financing berpengaruh signifikan terhadap Profit Expense Ratio pada Bank Syariah di Indonesia studi kasus PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri periode 2010-2013 ? C. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini merupakan hasil yang ingin dicapai dalam melakukan penelitian serta memiliki tujuan terhadap permasalahan atau pertanyaan pada penelitian. Dari rumusan masalah tersebut, memperoleh bukti empiris mengenai : 1. Pengaruh tingkat Debt Financing dan Equity Financing terhadap Profit Expense Ratio pada Bank Syariah di Indonesia studi kasus PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri periode 2010-2013 . 2. Pengaruh tingkat Debt Financing terhadap Profit Expense Ratio pada Bank Syariah di Indonesia studi kasus PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri periode 2010-2013 . 3. Pengaruh tingkat Equity Financing terhadap Profit Expense Ratio pada Bank Syariah di Indonesia studi kasus PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri periode 2010-2013 . 8 D. Manfaat penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain: 1. Bagi Penyusun Penelitian ini Diharapkan dapat menjawab atas permasalahan yang terdapat dalam pembiayaan di perbankan syariah, yang sampai pada saat ini pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya lebih mengutamakan pada akad jual beli. Padahal yang menjadi karakteristik dan pembeda antara bank syariah dengan bank konvensional adalah sistem bagi hasilnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan sebagai bacaan yang bermanfaat khususnya dalam bidang perbankan Syariah. 2. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu ekonomi syariah agar lebih memahami syariah di Indonesia. 3. Bagi Praktisi Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran dan masukan yang berguna bagi pihak manajemen perbankan syariah terhadap kebijakan-kebijakan yang akan diambil terutama prioritas jenis produk pembiayaan yang dipilihnya.