BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis

advertisement
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell
mediated hypersensitivity). Penyakit ini biasanya terjadi di paru, tetapi dapat
mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk
penyakit yang aktif, biasanya terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan
berakhir dengan kematian. (Daniel, 2014)
2.2.
Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis,
Mikobakterium adalah bakteri berbentuk batang aerob yang tidak membentuk
spora. Meskipun bakteri ini tidak dapat diwarnai dengan mudah. Tetapi apabila
telah diwarnai, bakteri ini dapat menahan warnanya walaupun diberikan asam
atau alkohol dan oleh sebab itu disebut basil tahan asam. Pada jaringan, basil
tuberkulosis adalah bakteri batang tipis berukuran sekitar 0,4 x 3 µm. pada
medium artifisial, bentuk kokoid dan filamen terlihat dengan bentuk morfologi
yang bervariasi dari satu spesies ke spesies yang lainnya. Mikobakterium tidak
dapat di diklasifikasikan menjadi gram-positif atau gram negatif (Caroll dan
Brooks, 2014).
Mycobacterium tuberculosis biasanya terdapat pada manusia yang sakit
Tuberkulosis. Penularan terjadi melalui jalan pernapasan. Pertumbuhan bakteri ini
secara aerob obligat. Energi didapat dari oksidasi senyawa karbon yang
sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Pertumbuhannya lambat dengan
waktu pembelahan sekitar 20 jam. Suhu pertumbuhan optimum 37°C (Utji dan
Harun, 2002).
Universitas Sumatera Utara
8
2.3.
Penularan dan Penyebaran
Mycobacterium tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui jalan
pernapasan. Walaupun mungkin terjadi jalur penularan lain dan kadang-kadang
terbukti, tidak satupun yang penting. Basilus tuberkel di sekret pernapasan
membentuk nuklei droplet cairan yang dikeluarkan selama batuk, bersin, dan
berbicara. Droplet keluar dalam jarak dekat dari mulut, dan sesudah itu basilus
yang ada tetap berada di udara untuk waktu yang lama. Infeksi pada pejamu yang
rentan terjadi bila terhirup sedikit basilus ini. Jumlah basilus yang dikeluarkan
oleh kebanyakan orang yang terinfeksi tidak banyak, diperlukan kontak rumah
tangga selama beberapa bulan untuk penularannya (Daniel, 2014; Amin dan
Bahar, 2014).
Infeksi tuberkulosis berkaitan dengan jumlah kuman pada sputum yang
dibatukkan, luasnya penyakit paru, dan frekuensi batuk. Mikobakteirum rentan
terhadap penyinaran ultraviolet, dan penularan infeksi di luar rumah jarang terjadi
pada siang hari. Ventilasi yang memadai merupakan tindakan yang terpenting
untuk mengurangi tingkat infeksi dari lingkungan. Sebagian besar pasien tidak
menjadi infeksius dalam dua minggu setelah pemberian kemoterapi yang tepat
karena penurunan jumlah kuman yang dikeluarkan dan berkurangnya batuk
(Daniel, 2014).
2.4.
Patogenesis
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi nuklei droplet dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini
dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya
sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab
dan gelap kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel
infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5
mikrometer. Hal ini menimbulkan respon peradangan akut nonspesifik yang
jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan sedikit atau sama sekali tanpa
gejala. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian makrofag.
Universitas Sumatera Utara
9
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya (Amin dan
Bahar, 2014; Daniel, 2014).
Selama 2-8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus berkembang
biak di lingkungan intraselulernya, timbul hipersensitivitas pada pejamu yang
terinfeksi. Limfosit yang cakap secara imunologik memasuki daerah infeksi, di
daerah tersebut limfosit menguraikan faktor kemotaktik, interleukin dan limfokin.
Sebagai responsnya, monosit masuk ke daerah tersebut dan mengalami perubahan
bentuk menjadi makrofag dan selanjutnya menjadi sel histiosit yang khusus, yang
tersusun menjadi granuloma. Mikobakterium dapat bertahan dalam makrofag
selama bertahun-tahun walaupun terjadi peningkatan pembentukan lisozim dalam
sel ini, namun multiplikasi dan penyebaran selanjutnya biasanya terbatas.
Kemudian terjadi penyembuhan, seringkali dengan kalsifikasi granuloma yang
lambat yang kadang meniggalkan lesi sisa yang tampak pada foto Roentgen paru.
Kombinasi lesi paru perifer terkalsifikasi dan kelenjar limfe hilus yang
terkalsifikasi dikenal sebagai kompleks Ghon /sarang primer. (Daniel, 2014)
Kompleks Ghon ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila
menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk
melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke
seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis
maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang
primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
fokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis fokal + limfadenitis regional = kompleks
primer (Amin dan Bahar, 2014)
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8
Universitas Sumatera Utara
10
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler (KEMENKES, 2013).
Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan tuberkulosis primer.
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer =
TB pasca primer = TB sekunder). TB sekunder terjadi karena imunitas menurun
seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB
pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru
(bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah
parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru (Amin dan Bahar, 2014).
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam
3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari
sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan bertbagai jaringan ikat. TB pasca primer juga
dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia muda (elderly
tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya dan imunitas pasien
(Amin dan Bahar, 2014).
Universitas Sumatera Utara
11
*Catatan:
1.
Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadic (occult hematogenic spread).
Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang
baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2.
Komplek primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional
(3).
3.
TB primer adalah proses masukknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen,
terbentuknya kompleks primer dan imunitas seluler spesifik, hingga pasien mengalami
infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.
4.
Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui
proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan
seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).
Gambar 2.1. Patogenesis TB.
Sumber: dikutip dari Rahajoe dan Setyanto, 2010.
Universitas Sumatera Utara
12
2.5.
Diagnosis Tuberkulosis Anak
2.5.1. Penemuan pasien TB anak
Berdasarkan JUKNIS TB Anak KEMENKES (2013), pasien TB anak
dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah
atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular
adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA
positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB
anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang
paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat
berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu
ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala
serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut (Rahajoe dan
Setyanto, 2010):
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan
merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan
gejala-gejala sistemik/umum lain.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk
telah dapat disingkirkan.
Universitas Sumatera Utara
13
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
yang khas terutama pada kasus-kasus dini.
Demam subfebris terjadi pada
sebagian besar kasus. Pemeriksaan antropometri menunjukkan status gizi kurang.
Temuan yang lebih spesifik dapat diperoleh jika TB mengenai organ tertentu,
seperti gibus, kifosis, paraparesis, pada TB vertebra, dan pembesaran kelenjar
getah bening multipel tanpa nyeri tekan pada TB kelenjar. (Calistania dan
Indawati, 2014)
2.5.3. Pemeriksaan Bakteriologi
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji
tuberkulin, dan gambaran radiologis paru. Diagnosis pasti ditegakkan bila
ditemukan
kuman
TB
pada
pemeriksaan
mikrobiologis.
Pemeriksaan
mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan
mikroskopis apusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan
kuman Mycobacterium tuberculosis (Rahajoe dan Setyanto, 2010).
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya
mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya dapat dilakukan
beberapa teknik pemeriksaan lain seperti bilas lambung (gastric lavage), apusan
laring, isap trakea, dan bronkoskopi. Bilas lambung merupakan metode yang
paling sering digunakan. Bilas lambung harus dilakukan 3 hari berturut-turut,
minimal 2 hari, dilakukan dini hari dan pasien berpuasa serta berbaring terlentang
(Grossman, 2006; Rahajoe dan Setyanto, 2010).
Hasil Pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian besar
negatif, sedangkan hasil biakan Mycobacterium tuberculosis memerlukan waktu
Universitas Sumatera Utara
14
yang lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang
hasilnya dapat diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pada medium cairan
selektif dengan menggunakan nutrien radiolabel (sistem radiometrik BACTEC),
dan kerentanan obat dapat ditentukan dalam 3-5 hari tambahan (Starke, 2012;
Rahajoe dan Setyanto, 2010).
2.5.4. Uji Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang
telah terinfeksi TB maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan.
Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan
terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk
reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses
penyakit (Rahajoe dan Setyanto, 2010).
Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml
tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) secara intrakutan di bagian volar
lengan dengan arah suntikan memanjang lengan (longitudinal). Reaksi (indurasi
transversal) diukur 48-72 jam setelah penyuntikan, apabila tidak ada indurasi
ditulis dengan 0 mm. Uji tuberkulosis positif jika indurasi ≥10 mm, meragukan
dan perlu diulang dalam jarak waktu minimal 2 minggu jika indurasi 5-9 mm,
negatif jika indurasi <5mm. Hasil positif pada anak menunjukkan adanya infeksi
TB. Akan tetapi, reaksi tuberkulin tidak digunakan untuk memantau pengobatan
karena akan bertahan lama hingga bertahun-tahun, walaupun pasien sudah
sembuh (Calistania dan Indawati, 2014).
2.5.5. Pemeriksaan Radiologis
Gambaran foto toraks TB pada anak sering tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Namun, diagnosis TB
Paru pada anak tetap memerlukan hasil pemeriksaan radiografi toraks karena
beberapa hal, yaitu gejala klinis yang sering tidak spesifik, pemeriksaan apusan
Universitas Sumatera Utara
15
BTA dan kultur yang sering mendapat hasil negatif, serta asimtomatik (Smith dan
John, 2012).
Anak memiliki perbedaan pada ukuran tubuh, struktur anatomi, dan
fisiologi tubuh dengan dewasa. Sebagai contoh, interpretasi mediastinum pada
foto toraks sering dikaburkan dengan adanya timus. Teknik pemeriksaan
Roentgen pada anak juga berbeda dengan dewasa, pada dewasa sering dipakai
teknik PA (posteroanterior) sedangkan pada anak AP (anteroposterior) dan lateral
kanan (Andronikou, Vanhoenacker, dan De Backer, 2009).
Menurut Icksan dan Luhur (2008), secara radiologis TB paru dibedakan
atas :
a. TB Paru Primer
b. TB Paru postprimer (reactivation TB, reinfection TB, secondary TB)
 TB Paru Fokal
 Tuberculous lobar pneumonia dan Bronkopneumonia
 TB Endobronkial
 Tuberkuloma
 TB milier
c. Pleuritis TB
Tuberkulosis primer sering disebut sebagai childhood tuberculosis
(tuberkulosis pada anak) sedangkan tuberkulosis postprimer disebut adult
tuberculosis (tuberkulosis pada dewasa) (Amin dan Bahar, 2014). TB primer
memang pada umumnya menyerang anak, tetapi bisa juga terjadi pada orang
dewasa dengan daya tahan tubuh yang lemah, seperti penderita HIV, Diabetes
Melitus, Systemic Lupus Erytematosus (SLE) dan sebagainya (Icksan dan Luhur
S, 2008).
a. TB primer
Pada TB primer, Kelainan foto toraks yang dominan adalah berupa
limfadenopati hilus dan mediastinum. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar
2.2. lokasi kelainan biasanya terdapat pada satu lobus, terutama di daerah lobus
bawah, lobus tengah dan lingula serta segmen anterior lobus atas. Paru kanan
lebih sering terkena karena struktur anatomis bronkus kanan yang lebih vertikal
Universitas Sumatera Utara
16
dan mengakibatkan basil TB lebih sering masuk ke daerah tersebut (Franco et al.,
2003). Limfadenopati sering terjadi pada hilus ipsilateral, dan dilaporkan terjadi
pada 1/3 kasus. Limfadenopati merupakan gambaran tipikal pada anak usia <5
tahun (Smith dan John, 2012).
Gambaran TB primer lebih sering dijumpai pada anak yang lebih muda
(sebelum remaja). Menurut WHO definisi remaja dalam hal ini adalah anak
dengan usia 10 – 19 tahun. Dari hasil studi oleh Weber, et al. tahun 2000
dilaporkan bahwa hanya terdapat 10% remaja (adolescent) saja yang memiliki
gambaran limfadenopati. Gambaran yang lebih sering dijumpai pada anak remaja
adalah kavitas yang mirip dengan gambaran TB pada dewasa seperti yang
diperlihatkan pada gambar 2.4. (Smith dan John, 2012).
Hasil penelitian Anna et al., tahun 2011 menggambarkan distribusi
frekuensi gambaran radiologis pada remaja sebagai berikut : infiltrat (53,3%);
kavitasi (32,4%); konsolidasi (27%); pembesaran lymph node pada hilus (3,2%)
(gambar 2.3.); atelektasis (1,9%). Hasil ini menunjukkan bahwa bentuk TB primer
terjadi pada anak dengan usia lebih muda dan bentuk postprimer pada remaja
yang lebih tua.
B
A
Gambar 2.2. Limfadenopati Hilus, A (anteroposterior), B (lateral).
Sumber: dikutip dari Smith dan John, 2012.
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2.3. Infiltrat dan Limfadenopati
hilus.
Sumber: dikutip dari Laya, 2014
Gambar 2.4. Infiltrat, kavitas, &
atelektasis
Sumber: dikutip dari Franco et al.,
2003.
b. TB post primer
TB paru post primer biasanya terjadi akibat dari infeksi laten sebelumnya.
Selama infeksi primer kuman terbawa aliran darah ke daerah apeks dan segmen
posterior lobus atas dan ke segmen superior lobus bawah, untuk selanjutnya
terjadi reaktivasi infeksi di daerah ini karena tekanan oksigen di lobus atas tinggi
(Icksan dan Luhur S, 2008).
Gambaran foto toraks yang dicurigai aktif :
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikoposterior atas dan superior
lobus bawah.
2. Kavitas lebih dari satu dan dikelilingi konsolidasi atau nodul
3. Bercak milier
4. Efusi pleura bilateral
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tidak aktif :
1. Fibrosis
2. Kalsifikasi
3. Penebalan pleura
Universitas Sumatera Utara
18
Klasifikasi TB post primer secara radiologis (Icksan dan Luhur S, 2008):
1. Lesi minimal
Luas lesi yang terlihat tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis
median, apek dan iga 2 depan, lesi soliter dapat berada dimana saja,
tidak ditemukan adanya kavitas.
2. Lesi lanjut sedang
Luas sarang-sarang yang berupa bercak tidak melebihi luas satu paru,
bila ada kavitas ukurannya tidak lebih 4 cm, bila ada konsolidasi tidak
lebih dari satu lobus.
3. Lesi sangat lanjut
Luas lesi melebihi lesi minimal dan lesi lanjut sedang, tetapi bila ada
kavitas ukuran lebih dari 4 cm.
Gambar 2.5. TB post primer: kavitas apeks
paru kiri
Sumber: dikutip dari Laya, 2014.
c. Pleuritis TB
Pada keadaan normal rongga pleura berisi cairan 10-15 ml. Efusi pleura
terjadi akibat produksi cairan yang berlebihan karena reaksi hipersensitif dengan
protein Mycobacterium tuberculosis serta eliminasi cairan pleura yang berkurang
akibat adanya obstruksi limfatik di pleura parietalis (Hwang, 2011). Efusi pleura
Universitas Sumatera Utara
19
bisa terdeteksi dengan foto toraks PA dengan memperlihatkan tanda meniscus
atau ellis line, apabila jumlahnya 175 ml. Pada foto lateral dekubitus efusi pleura
sudah bisa dilihat bila ada penambahan 5 ml dari jumlah normal dan pada posisi
lateral efusi pleura bisa terlihat bila jumlah cairannya 100 cc. Pada posisi supine
efusi pleura bisa terdeteksi bila jumlahnya 500 ml. Penebalan pleura di apikal
relatif biasa pada TB paru atau bekas TB paru. Efusi pleura sering dijumpai pada
pasien TB yang disertai lesi luas di paru, tapi bisa berdiri sendiri tanpa ada lesi di
paru (Icksan dan Luhur, 2008).
2.6.
Pengertian Tuberkulosis dengan HIV
Berdasarkan JUKNIS TB-HIV KEMENKES (2013), Pasien TB dengan
HIV positif dan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan TB disebut sebagai
pasien ko-infeksi TB-HIV. Risiko berkembangnya TB meningkat secara tajam
seiring dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh. Pada pasien yang
terinfeksi HIV jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+ menurun. Sel-sel ini
mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB. Dengan demikian,
sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah perkembangan
dan penyebaran lokal kuman ini sehingga TB dapat terjadi kapanpun saat
perjalanan infeksi HIV pada tubuh manusia.
Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang
terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. Dalam hal ini
TB paru masih merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada orang
yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tergantung tingkat kekebalan tubuh dan
gambaran klinis, hasil mikroskopis TB dan gambaran foto toraks pada pasien
seringkali berbeda antara stadium awal dan lanjutan infeksi HIV (KEMENKES,
2013).
Universitas Sumatera Utara
20
2.7.
Imunopatogenesis Infeksi HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) tepatnya HIV-1 adalah virus RNA
yang termasuk famili retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan
penurunan imunitas tubuh pejamu. Untuk mengadakan replikasi (perbanyakan)
HIV perlu mengubah Ribonucleic Acid (RNA) menjadi Deoxyribonucleid Acid
(DNA) di dalam sel pejamu. Sebenarnya, disamping HIV-1, dikenal pula HIV-2,
yang memiliki patogenitas yang lebih rendah, hingga hanya menimbulkan gejala
defisiensi imun yang lebih ringan. Oleh karena itu, pada pembicaraan selanjutnya
yang dimaksud dengan HIV adalah HIV-1 (Suwendra dan Purniti, 2010).
Patogenesis Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya
sebagian saja dapat diatasi oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi
infeksi kronik progresif dari jaringan limfoid perifer. Virus masuk melalui epitel
mukosa (Kresno, 2010). Selanjutnya perjalanan infeksi HIV secara berturut-turut
dapat dikelompokkan dalam beberapa fase yaitu :
1. Proses perlekatan virus pada sel sasaran
HIV hanya dapat melekat melalui glikoprotein selubung (terutama gp
120) pada sel sasaran yang memiliki molekul CD4 (cluster of
differentiation antigen-4) sebagai reseptor. Di antara sel tubuh, yang
banyak memiliki molekul CD4 adalah sel limfosit T, kemudian
menyusul monosit-makrofag (Suwendra dan Purniti, 2010).
2. Proses Internalisasi atau infeksi
HIV menginfeksi sel-sel CD4 memori yang mengekspresikan CCR5
(C-C Chemokine Receptor type five) dalam jaringan limfoid mukosa
dan mengakibatkan kematian dari banyak sel terinfeksi. Karena
jaringan mukosa merupakan cadangan terbesar dari sel T dalam tubuh
dan merupakan tempat utama dari sel T memori, kehilangan lokal ini
direfleksikan dengan penurunan jumlah sel T CD4. Dalam waktu 2
minggu sebagian besar sel CD4 hancur (Kresno, 2010).
3. Proses Replikasi
Setelah infeksi, terjadi pelepasan selubung inti dan pembentukan
seutas benang DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase.
Universitas Sumatera Utara
21
Kemudian terbentuk seutas lagi hingga terjadilah dua utas DNA. DNA
ini kemudian mengalami translokasi ke dalam inti sel sasaran dan
menyisip ke dalam kromosom sel sasaran dengan bantuan enzim
integrase. Setelah integrasi gen virus ke dalam inti sel sasaran, RNA
virus dibentuk dan selanjutnya terjadi sintesis dan pengolahan protein
virus, termasuk bahan-bahan selubung virus. Proses pembentukan
berbagai bahan virus ini terjadi pada selaput inti sel sasaran. Berbagai
bahan tang terbentuk kemudian direkayasa menjadi bagian core (virus
baru) di dalam sitoplasma sel sasaran, dan bagian selubung di sebelah
bawaan maupun didapat. Segera setelah infeksi primer, sebanyak 1 di
luar dinding sel sasaran (Suwendra dan Purniti, 2010).
Infeksi HIV pada akhirnya mengakibatkan kegagalan fungsi sistem imun
antara 100 sel T CD4 mengandung virus. Respon imun semula dapat menurunkan
jumlah virus, tetapi tidak lama virus dapat mengatasi perlawanan sistem imun dan
berkembang dengan cepat dan menginfeksi banyak sel T (Kresno, 2010).
2.8.
Riwayat Alamiah Infeksi HIV
2.8.1. Infeksi HIV Akut
Infeksi HIV akut disebut juga “infeksi HIV primer” atau “sindrom
serokonversi akut”. Sekitar 40% - 90% infeksi HIV baru memiliki gejala. Jangka
waktu sejak terpajan sampai timbulnya gejala penyakit biasanya sekitar 2-4
minggu. Beberapa orang mengalami gejala seperti mononukleosis infeksiosa
(glandular-fever): demam, ruam, pegal-pegal dan limpadenopati. Terkadang
pasien mengalami sindrom saraf akut yang sering kali sembuh sendiri . Sindrom
ini mencakup meningitis aseptik, neuropati perifer, ensefalitis dan mielitis.
Sebagian besar pasien yang memiliki gejala akan berusaha mencari pertolongan
medis. Meskipin demikian, diagnosis jarang dapat ditegakkan karena petugas
kesehatan tidak menyangka gejala-gejala tersebut adalah sebagai gejala infeksi
HIV (KEMENKES, 2013).
Universitas Sumatera Utara
22
2.8.2. Infeksi HIV Asimtomatis
Pada orang dewasa terdapat periode laten yang berlangsung lama dan
bervariasi dari terinfeksi HIV hingga onset gejala HIV dan AIDS. Seseorang yang
terinfeksi bisa tidak memiliki gejala sampai 10 tahun atau lebih. Sebagian besar
anak terinfeksi HIV pada periode perinatal. Periode tanpa gejala pada anak-anak
tidak diketahui. Beberapa bayi akan sakit di minggu-minggu pertama setelah lahir.
Sebagian besar anak-anak mulai sakit sebelum mencapai usia 2 tahun. Hanya
sedikit yang tetap sehat selama beberapa tahun awal kehidupan (KEMENKES,
2013).
2.8.3. Perjalanan Infeksi HIV Sampai Timbul Penyakit
JUKNIS TB Anak KEMENKES (2013) menyebutkan bahwa hampir
semua orang yang terinfeksi HIV jika tidak diobati akan mengalami penyakit
terkait HIV dan AIDS. Berapa orang mengalami ini lebih cepat dari yang lain.
Laju perkembangan menjadi AIDS tergantung pada karakteristik virus maupun
orang yang terinfeksi. Karakteristik virus adalah tipe dan subtipe HIV-1 dan
beberapa subtipe HIV-1 bisa menyebabkan progresivitas yang lebih cepat.
Karakteristik orang yang bisa mempercepat progresi ini antara lain berumur
kurang dari 5 tahun, berumur lebih dari 40 tahun, terdapat ko-infeksi dan faktor
genetik.
2.8.4. Immunosupresi Lanjutan
Ketika infeksi HIV terus berkembang dan sistem kekebalan tubuh
menurun maka pasien akan lebih rentan terkena infeksi termasuk TB, pneumonia,
infeksi jamur pada kulit, orofaring dan herpes zoster. Infeksi ini bisa terjadi
kapanpun dalam perjalanan infeksi HIV. Beberapa pasien dapat mengalami gejala
konstitusional (demam dan penurunan berat badan dengan penyebab yang tidak
jelas) dulu dikenal dengan nama AIDS-related complex (ARC). Beberapa pasien
mengalami diare kronik dengan diikuti penurunan berat badan sering dikenal
sebagai slim disease. Beberapa penyakit terkait HIV terjadi terutama karena
penurunan sistem kekebalan tubuh yang sangat berat. Hal ini termasuk beberapa
Universitas Sumatera Utara
23
infeksi oportunistik (misalnya meningitis kriptokokus) dan beberapa tumor
(misalnya Sarkoma Kaposi). Pada stadium lanjut jika pasien tidak mendapat terapi
Antiretroviral maka mereka biasanya meninggal dalam waktu kurang dari 2 tahun.
Stadium lanjut ini kadang dikenal sebagai fullblown AIDS (KEMENKES, 2013).
2.9.
TB-HIV pada Anak
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik utama pada penderita HIV.
Pada pasien yang terinfeksi pertama kali dengan Mycobacterium tuberculosis
kemudian dengan HIV, risiko perkembangan tuberkulosis adalah 5-10 % per
tahun. Bila infeksi-infeksi ini didapat dengan urutan sebaliknya, gabungannya
bahkan lebih dramatis; tuberkulosis timbul pada sebanyak separuh dari pasien
yang terinfeksi HIV setelah infeksi primer Mycobacterium tuberculosis
dan
biasanya timbul dalam beberapa bulan (Daniel, 2014).
Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada anak dapat terjadi sebelum atau
sesudah timbulnya gejala AIDS. Karena Mycobacterium tuberculosis
lebih
virulen, infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis umumnya terjadi lebih awal
dibanding infeksi lain. Disamping itu, walaupun dapat terjadi penularan dari
pasien dengan infeksi aktif, infeksi TB pada pasien HIV lebih banyak terjadi
sebagai akibat reaktivasi fokus laten yang sudah terdapat beberapa tahun
sebelumnya. Sebagai akibatnya, infeksi TB umumnya lebih banyak dijumpai pada
anak yang lebih besar atau dewasa (Suwendra dan Purniti, 2010).
2.9.1. Manifestasi Penyakit
Gambaran klinis, radiologis, dan histologis pada pasien HIV dan non HIV
tidak sama. Pada anak dengan infeksi HIV, infeksi tuberkulosis pada umumnya
jarang disertai oleh gejala klinis yang sistemik seperti demam, keringat malam,
dan penurunan berat badan (Suwendra dan Purniti, 2010). Tuberkulosis paru anak
sering memberikan gambaran radiologi berupa atelektasis karena terdapat
penekanan bronkus yang disebabkan oleh pembesaran Kelenjar Getah Bening
(KGB) hilus sehingga terjadi kolaps alveoli. Pada pemeriksaan fisis dapat
ditemukan wheezing/mengi sehingga sering didiagnosis asma tetapi tidak
membaik dengan pemberian bronkodilator (KEMENKES, 2013)
Universitas Sumatera Utara
24
Tuberkulosis milier merupakan hasil penyebaran hematogen dengan
jumlah kuman yang besar, yang tersangkut di ujung kapiler paru dan membentuk
tuberkel dengan ukuran sama yang menyerupai butir-butir padi (milletsheed).
Efusi pleura dapat berbentuk serosa (paling sering) atau empiema TB (jarang)
terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB pada rongga
pleura. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat unilateral. Efusi perikardial TB
jarang ditemukan pada anak, terjadi akibat invasi kuman secara langsung atau
melalui drainase limfatik (KEMENKES, 2013).
2.9.2. Diagnosis
Menurut JUKNIS TB-HIV pada anak KEMENKES tahun 2013, Diagnosis
TB anak sampai saat ini masih banyak menghadapi tantangan akibat sulitnya
mendapatkan spesimen pemeriksaan bakteriologi serta rendahnya konfirmasi
bakteriologi yang didapat. Pemeriksaan BTA aspirat lambung pada TB anak
menunjukkan hasil positif pada 10-15% pasien saja. Namun demikian
pemeriksaan bakteriologi (BTA dan biakan Mycobacterium tuberculosis) tetap
harus dilakukan pada setiap pasien. Konfirmasi bakteriologi dapat dilakukan
dengan pengambilan spesimen dari beberapa tempat yang memungkinkan sesuai
dengan manifestasi klinis penyakit TB-nya, antara lain sputum, aspirasi cairan
lambung, cairan pleura, induksi sputum, biopsi jarum halus pada kelenjar getah
bening (KGB) yang membesar dan biopsi jaringan lainnya.
Infeksi HIV juga semakin memperberat masalah terkait TB karena dapat
menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis dan tatalaksana
TB pada anak menjadi lebih sulit karena beberapa faktor berikut (Basier dan Yani,
2010):
1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB,
banyak mempunyai kemiripan gejala.
2. Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi
imunokompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun
sebenarnya telah terinfeksi TB.
Universitas Sumatera Utara
25
3. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputum
positif mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal
ini
terjadi,
dapat
tejadi
kesulitan
dalam
tatalaksana
dan
mempertahankan keteraturan pengobatan.
Gejala klinis TB pada anak terinfeksi HIV hampir sama dengan yang tidak
terinfeksi HIV tetapi pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB
diseminata. Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV sering sulit dibedakan dengan
kondisi lain akibat infeksi HIV seperti Lymphocytic Interstitial Pneumonitis (LIP),
pneumonia bakteri, bronkiektasis dan Sarkoma Kaposi. Gejala klinis umum TB
pada anak terinfeksi HIV antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang
tidak membaik setelah pemberian antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat atau
gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam yang menyebabkan
anak sampai harus ganti pakaian, gejala umum non-spesifik lainnya dapat berupa
fatigue (kurang aktif, tidak bergairah). Indikator yang baik terdapatnya penyakit
kronik dan TB anak adalah gagal tumbuh meskipun keadaan ini dapat pula
disebabkan kurang nutrisi, diare kronik dan infeksi HIV (KEMENKES, 2013).
Pada gambaran radiologis, dapat dijumpai limfadenopati hilus atau
mediastinum, infiltrat pada lobus tengah atau bawah, di luar paru dalam bentuk
lesi milier atau tuberkulosis kelenjar. Dapat juga dijumpai efusi pleura,
atelektasis, kavitas dan bronkiektasis. Pada anak terinfeksi HIV, gambaran
radiologi LIP menyerupai TB milier. Lesi yang dijumpai di luar paru lebih banyak
dan prognosisnya lebih jelek (Suwendra dan Purniti, 2010).
Icksan dan Luhur S (2008) melaporkan adanya kasus TB primer progresif
pada pasien HIV. Diamana, pada gambaran radiologis tampak ada pelebaran
mediastinum yang kemudian setelah 19 hari bertambah luas. Kemudian setelah 30
hari terdapat infiltrat luas di kedua paru.
Untuk diagnosis, tes tuberkulin masih dapat dilakukan dengan bahan old
tuberculin (tes Mantoux) atau PPD 5 TU (purified protein derivative 5 tuberculin
unit), karena 40%-nya masih dapat menunjukkan reaksi yang positif. Tes
dianggap positif apabila setelah 48-72 jam terjadi indurasi ≥ 5 mm. apabila hasil
tes meragukan atau negatif, maka diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
26
adanya Mycobacterium dengan pewarnaan atau kultur. Pada pemeriksaan
histologis dapat ditemukan granuloma spesifik atau non spesifik, yaitu tanpa sel
raksasa Langhans, sel epiteloid, atau nekrosis perkijuan. Juga tidak jarang, tidak
ditemukan kuman tahan asam di dalamnya. Tes lain yang dapat dilakukan adalah
tes hibridisasi DNA, tes Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) atau
pemindaian (scanning) dengan pemberian label gallium radioaktif (Suwendra dan
Purniti, 2010).
Gambar 2.6. Pelebaran mediastinum
pada penderita TB-HIV.
Sumber: dikutip dari Icksan & Luhur,
2008.
Gambar 2.7. Konsolidasi lobus kanan
atas, bagian kiri tengah dan adenopati
pada penderita TB-HIV
Sumber: dikutip dari Allen et al., 2010.
Gambar 2.9. Gambaran Fibrosis dan
Bronkiektasis pada lobus kiri atas,
mediastinum
tergeser
ke
kiri,
menggambarkan perubahan TB post primer
pada anak dengan HIV.
Sumber: dikutip dari Plessis et al., 2011.
Universitas Sumatera Utara
27
2.10.
Perbandingan Karakteristik Foto Toraks TB-HIV dan TB non-HIV
Studi yang dilakukan oleh Badie et al. (2012) menyebutkan bahwa
gambaran foto toraks yang tersering didapatkan pada penderita TB-HIV adalah
gambaran atipikal. Salah satunya adalah gambaran infiltrat milier yang lebih
banyak dijumpai pada TB-HIV dibanding TB non-HIV (17% vs 4,7%; p=0,01).
Di samping itu juga gambaran konsolidasi difus lebih umum dijumpai pada pasien
TB dengan infeksi HIV daripada yang tanpa infeksi HIV (24,3% vs 5,8%;
p=0,01). Gambaran ini sering dikaitkan dengan kondisi imunokompromais pada
pasien TB dengan infeksi HIV, dimana terdapat perbedaan respon jaringan yang
memunculkan gambaran atipikal. Namun pada hasil penelitian Badie et al. (2012)
ini beberapa gambaran radiologi seperti efusi pleura dijumpai lebih sedikit pada
pasien dengan infeksi HIV, hal tersebut berbeda dengan beberapa studi lain yang
menyebutkan bahwa gambaran efusi pleura lebih sering dijumpai pada kelompok
dengan infeksi HIV dibanding kelompok non-HIV.
Hasil penelitian Mahomed (2013) juga menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna antara gambaran foto toraks TB anak dengan HIV
dengan yang tanpa infeksi HIV. Dari perhitungan statistik didapatkan proporsi
adanya
gambaran
limfadenopati
sebesar
78%
pada
kelompok
non-
imunokompromais dan 59% pada kelompok imunokompromais (p=0,041). Selain
itu proporsi gambaran TB paru berupa infiltrat dan kavitas juga lebih banyak
dijumpai pada kelompok non-imunokompromais (81% vs. 59% ;p=0,020).
Universitas Sumatera Utara
Download