II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pepaya (Carica papaya L.) Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis. Pusat penyebaran tanaman berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan dan Nicaragua. Menurut Kalie (1999), dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan pepaya diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Klas : Dicotyledone (biji berkeping dua) Ordo : Caricales Famili : Caricaceae Genus : Carica Species : Carica papaya L. Famili Caricaceae termasuk famili kecil dari tanaman dikotiledon yang terdiri dari empat genus yaitu: carica, jarilla, jacaratia yang berasal dari Amerika Tropis dan cylicomorpha dari daerah Afrika ekuatorial. Genus carica adalah genus paling penting dalam famili Caricaceae yang terdiri atas 24 spesies, dan salah satunya adalah Carica papaya L. (Kalie,1999). Tinggi pohon pepaya dapat mencapai delapan sampai sepuluh meter dengan akar yang kuat dan batang tidak bercabang. Namun, cabang dapat dibentuk dengan melakukan pemotongan pada pucuk. Batang tanaman berbentuk bulat lurus berbuku-buku, berongga di bagian tengahnya, dan tidak berkayu. Daun pepaya tersusun secara melingkar pada batang, lembar daunnya menjari dengan warna permukaan atas berwarna hijau muda. Pepaya memiliki tiga jenis bunga, yaitu bunga jantan (masculus), bunga betina (femineus), dan bunga sempurna atau hermaprodit (Rukmana, 1995). Tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian seribu meter di atas permukaan air laut dan pada umumnya tumbuh di lokasi yang cukup tersedia air, curah hujan 1000-2000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun. 3 Suhu optimal pertumbuhan tanaman berkisar antara 22-26oC, suhu minimum 15oC, dan suhu maksimum 43 oC (Kalie,1999). Varietas pepaya dikenal dari bentuk, ukuran, warna, rasa, dan tekstur buahnya. Varietas pepaya yang banyak ditanam di Indonesia adalah pepaya semangka, pepaya jinggo, dan pepaya cibinong. Selain itu, juga dikenal varietas pepaya mas, pepaya item, dan pepaya ijo (Kalie, 1999). Salah satu jenis pepaya yang dikembangkan saat ini adalah pepaya IPB 1 yang ciri-cirinya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Ciri-ciri pepaya IPB 1 Parameter Unit Nilai Warna batang Coklat keabu-abuan Warna petiole Hijau sedikit ungu kemerahan Bentuk sinus daun Agak tertutup Bentuk gerigi daun Cembung Warna daging buah Jingga Warna kulit buah Hijau muda Tipe daun 11.00 Warna bunga Putih Bentuk Buah lonjong Ukuran buah Kecil Umur petik (hari setelah anthesis) ± 140 Rasa daging buah Sangat manis (11-12oBrix) Panjang buah cm 14 ± 1 Diameter buah (cm) cm 10 ± 1 Bobot per buah (gram) g 654 ± 146 Kadar air (%) % 88 ± 2 Kadar vitamin C (mg/100g) mg/100g 122 ± 30 Sumber: PKBT (2004) Buah pepaya secara keseluruhan mirip buah melon, berongga, bentuk buah lonjong, mempunyai aroma yang khas, warna daging kuning, orange sampai merah cerah. Rasanya manis dan menyegarkan karena mengandung banyak air. Nilai gizi buah ini cukup tinggi karena mengandung banyak provitamin A dan 4 vitamin C, serta kalsium. Komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per 100 gram buah dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per 100 gram buah Komponen Satuan Buah matang Buah mentah kalori 46,0 26,0 Air g 86,7 92,3 Protein g 0,5 2,1 Lemak g - 0,1 Karbohidrat g 12,2 4,9 Vitamin A IU 365,0 50,0 Vitamin B mg 0,04 0,02 Vitamin C mg 78,0 19,0 Kalsium mg 23,0 50,0 Besi mg 1,7 0,4 Phospor mg 12,0 16,0 Energi Sumber: Kalie (1999) Dari Tabel 3 dapat dilihat komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per 100 gram buah. Buah-buahan umumnya mengandung beberapa macam asam organik, dimana di dalam buah pepaya kandungan gula lebih besar dari asam, sehingga rasa manis lebih dominan. Selama pematangan buah pepaya yang disimpan pada suhu kamar akan mengalami peningkatan kandungan asam tertitrasi. Akan tetapi, setelah buah lewat matang kandungannya akan menurun (Kalie, 1999). Menurut Chan dan Kwok (1971) yang dikutip Kalie (1999), asamasam yang terkandung dalam pepaya antara lain asam ketoglutarat, sitrat, malat, tertarat, asam askorbat, dan galakturonat. Kandungan vitamin C untuk buah matang lebih tinggi dari buah mentah karena selama masa pematangan terjadi peningkatan persentase karoten dan xantofil, dan akibat adanya metabolisme polisakarida dalam dinding sel yang menyebabkan kadar gula meningkat. Stabilitas vitamin C (asam askorbat) akan meningkat dengan menurunnya pH. Laju oksidasi asam askorbat sebanding dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam bahan pangan. Oksidasi asam askorbat akan menghasilkan bentuk monoanion dari asam askorbat dan diikuti dengan pembentukan asam 5 dehidroaskorbat yang masih memiliki aktivitas vitamin C. Apabila terjadi dekomposisi hidrolitik dari asam dehidroaskorbat, maka akan terbentuk asam 2,3diketoglutanat yang sudah tidak mempunyai aktivitas vitamin C. Reaksi lebih lanjut dari asam 2,3- diketoglutanat tidak memberikan dampak lagi terhadap nilai gizi bahan pangan, tetapi akan menimbulkan perubahan flavor dan warna yang dikaitkan dengan reaksi pencoklatan. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, stabilitas vitamin C juga dipengaruhi oleh adanya enzim, konsentrasi gula dan garam, konsentrasi awal asam askorbat, dan rasio antara asam askorbat dengan asam dehidroaskorbat (Winarno dan Aman, 1981). Karoten merupakan prekusor vitamin A yang banyak terdapat di dalam pepaya. Biasanya perubahan warna pada kulit buah menunjukkan kematangan buah, begitu pula halnya dengan pepaya. Perubahan warna buah pepaya dari hijau menjadi kemerahan disebabkan penurunan klorofil, sehingga warna karotenoid mulai terlihat. Perbedaan warna pada pepaya merah dan kuning adalah adanya likopen, dimana buah pepaya kuning tidak terdapat likopen. Total karoten yang dikandung dalam pepaya mengkal adalah 3,7 mg per 100 gram, sedangkan pada pepaya berwarna matang total karotennya adalah 4,2 mg per 100 gram (Winarno dan Aman, 1981). Tingkat kemasakan buah pepaya biasanya dinyatakan dalam bentuk buah muda, buah tua, buah mengkal, dan buah terlalu masak. Buah pepaya dipanen pada stadium mendekati matang pohon, yakni setelah buah menunjukkan garisgaris menguning. Untuk pemasaran setempat biasanya buah dipetik pada tingkat kemasakan mengkal, sedangkan untuk pemasaran jarak jauh buah dipetik pada tingkat kemasakan tua. Buah masak mengkal bila kulit buah di bagian ujung tampak mulai menguning, sedangkan daging buah masih tetap keras. Buah pepaya yang masak ditandai dengan kulit dan dagingnya berwarna cerah, rasanya manis, dan aromanya sudah tercium. 2.2 Pemanis Pemanis merupakan bahan yang umum terdapat pada makanan. Berdasarkan kemampuan metabolismenya, bahan pemanis digolongkan menjadi dua, yaitu nutritive sweetener dan non-nutritive sweetener. Nutritive sweetener 6 adalah pemanis yang dapat dimetabolis tubuh seperti sukrosa dan glukosa, sedangkan non-nutritive sweetener adalah pemanis yang tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh seperti sakarin, siklamat, acesulfame-K, dan sorbitol (Nicole,1979). Sukrosa merupakan senyawa kimia yang memiliki rasa manis, berwarna putih, bersifat anhidrous, dan larut dalam air. Sukrosa memiliki peranan penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam yaitu sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pembentuk cita rasa, bahan pengisi, dan pengawet (Nicole,1979), Fungsi utama sukrosa sebagai pemanis memegang peranan penting, karena dapat meningkatkan penerimaan dari suatu makanan, yaitu dapat menutupi cita rasa yang tidak menyenangkan. Rasa manis sukrosa bersifat murni dan tidak memiliki after taste yang meninggalkan rasa pait di lidah. Sukrosa dikatakan mampu membentuk citarasa yang baik, karena kemampuannya menyeimbangkan rasa asam, pahit, (Nicole,1979). dan asin, Sukrosa dapat atau melebihi pembentukan karamelisasi digunakan sebagai pengawet dikarenakan kemampuannya untuk menurunkan nilai keseimbangan kelembaban relatif dan meningkatkan tekanan osmotik dengan cara mengikat air bebas sehingga tidak dapat digunakan mikroba. Sukrosa dapat menghambat daya kerja enzim, yaitu pada konsentrasi 30% akan menghambat aktivitas enzim asam askorbat oksidase dan pada konsentrasi 50% akan menghambat enzim katalase (Nicole,1979). 2.3 Karagenan Karagenan adalah polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara bergantian. Pada beberapa atom hidroksil, terikat gugus sulfat dengan ikatan ester (Angka dan Suhartono, 2000). Karagenan diberi nama berdasarkan persentase kandungan ester sulfatnya, kappa: 25-30%, iota: 28-35%, dan lambda: 32-39%. Larut dalam air panas (70oC), air dingin, susu, dan larutan gula, sehingga sering digunakan sebagai bahan pengental/penstabil pada minuman atau makanan. Karagenan dapat membentuk gel dengan baik, sehingga banyak digunakan sebagai gelling agent dan pengental (Suptijah, 2002). 7 Sifat-sifat yang dimiliki karagenan antara lain: kelarutan, pH, stabilitas, viskositas, pembentukan gel, dan reaktivitas dengan protein. Sifat-sifat tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya unit bermuatan (ester sulfat) dan penyusun dalam polimer karagenan. Karagenan biasanya mengandung unsur yang berupa garam yodium dan potasium yang juga berfungsi untuk menentukan sifat-sifat karagenan. Tulisan di bawah ini menjelaskan sifat-sifat umum karagenan yaitu: (i) Kelarutan Semua karagenan larut di dalam air pada suhu di atas 70 oC. dalam air dingin, hanya α-karagenan dan garam natrium dari κ- dan ι- karagenan yang larut (Glicksman, 1983). Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tipe karagenan, pengaruh ion, pH, dan komponen organik larutan. Dikaitkan molekulnya, kelarutan karagenan terutama dikendalikan oleh derajat hidrofiliknya, yaitu gugus ester sulfat dan unit galaktosa-piranosa yang berlawanan dengan unit 3,6-anhidro-galaktosa yang bersifat hidrofobik (Towle, 1973). Di samping kelarutan dalam air, karagenan juga memiliki sifat kelarutan dalam media cair lainnya, misalnya dalam susu panas, sedangkan dalam susu dingin hanya α-karagenan yang mempunyai kelarutan tinggi. Dalam kelarutan sukrosa panas dengan konsentrasi 65% κ- dan α-karagenan larut, sedangakan ιkaragenan sedikit larut dalam kondisi ini (Glicksman, 1983). (ii) Pembentukan Gel Karagenan jenis κ- dan ι- mempunyai kemampuan untuk membentuk gel pada saat larutan yang panas dibiarkan menjadi dingin. Proses ini bersifat reversibel, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan akan menbentk gel kembali pada saat pendinginan (Glicksman, 1983). Terbentuknya gel ini sebagai akibat pembentuk struktur double helix oleh polimer karagenan. Konsistensi gel karagenan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan tipe karagenan, konsentrasi, adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat terbentuknya hidrokoloid (Towle,1973). Pada proses pembentukan gel dari κ- dan ι-karagenan dibutuhkan kation tertentu. Dalam aplikasi pangan ada tiga kation yang paling umum digunakan, yaitu natrium, kalium, dan kalsium serta beberapa ion lainnya seperti amonium, barium, rubidium, dan cecium, (Moirano,1977). Adanya ion kalium pada gel κ- 8 karagenan dapat menaikkan kekerasan dan suhu pembentukan gel. Ion kalsium dan barium menaikan kekakuan gel karagenan. Ion rubidium dan cesium juga dapat menyebabkan gelasi κ-karagenan. Ion kalium menyebabkan gel κkaragenan elastis dan transparan, sedangkan ion kalsium menyebabkan gel ιkaragenan rapuh. Penambahan ion natrium pada gel κ-karagenan membuat gel menjadi pendek dan rapuh. Letak gugus sulfat pada struktur molekul karagenan sangat berpengaruh terhadap kemampuan karagenan untuk membentuk gel. Demikian pula derajat keteraturan rantai polimer menentukan kemampuan membentuk gel. Suatu modifikasi struktural dapat dilakukan dengan mengubah unit yang mengandung sulfat pada C6 di ikatan (1 → 4) menjadi unit 3,5-anhidro galaktosa akan meningkatkan kemampuan membentuk gel dan kekuatan gel (Towle,1973). (iii) Stabilitas Karagenan akan stabil pada pH 7 atau lebih tinggi, sedangkan pH yang lebih rendah dari 7, stabilitas karagenan menurun khususnya dengan peningkatan suhu (Moirano,1977; Glicksman,1983). Pada pH rendah dari 7, polimer karagenan terhidrolisis sehingga kemampuan untuk membentuk gel menjadi hilang. Namun, pada penerapannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7 dan hidrolisis terjadi tidak lama sehingga gel dapat stabil (Glicksman,1983). Hal ini disebabkan beberapa karagenan mengandung ikatan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang tinggi, sehingga tidak mudah terhidrolisis dan dapat digunakan dalam aplikasi pangan pada pH rendah sebagai pengental, misalnya pH 3,0-4,0. Misalnya, kappa karagenan dan iota karagenan dapat digunakan sebagai gelling agent pada pH rendah (Moraino,1977). 2.4 Permen Jelly Permen jelly merupakan permen yang terbuat dari komponen-komponen air, flavor, gula, dan bahan pembentuk gel. Permen jelly mempunyai penampakan jernih, transparan, serta mempunyai tekstur yang elastis dengan kekenyalan tertentu. Adanya partikel-partikel yang tersuspensi seperti protein, tanin, dan polisakarida (pati) menyebabkan warna permen jelly yang dihasilkan menjadi keruh (Jackson, 1995). Pembuatan permen jelly meliputi pencampuran gula yang 9 dimasak dengan kandungan padatan yang diperlukan dan penambahan bahan pembentuk gel (gelatin, agar, pektin, atau karagenan) dengan cita rasa dan aroma, serta bentuk yang menarik. Kekerasan dan tekstur permen jelly banyak tergantung pada bahan pembentuk gel yang digunakan. Permen jelly memerlukan bahan pelapis yang dapat berupa tepung tapioka, tepung gula, atau campuran dari keduanya. Hal ini dikarenakan permen jelly memiliki sifat kencenderungan menjadi lengket satu sama lain karena sifat dari gula pereduksi yang membentuk permen. Adanya bahan pelapis ini akan memudahkan dalam pengemasan dan dapat menambah rasa manis (Jackson, 1995). Kekerasan dan tekstur permen jelly tergantung pada bahan pembentuk gel yang digunakan. Jelly gelatin mempunyai konsistensi yang lunak dan bersifat seperti karet, sedangkan jelly agar-agar bersifat lunak dan agak rapuh. Pektin menghasilkan tekstur yang sama dengan agar-agar, tetapi gelnya lebih baik pada pH rendah, sedangkan karagenan menghasilkan gel yang kuat (Bukle et al.,1987). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), kerusakan utama pada hasil olahan permen jelly adalah sebagai berikut: (i) Terbentuknya kristal-kristal karena bahan yang terlarut cukup banyak, sedangkan gula tidak cukup melarut sehingga mengkristal kembali. (ii) Gel besar dan kaku, disebabkan oleh kadar gula yang rendah atau karena pembentuk gel yang tidak cukup. (iii) Gel yang kurang padat dan menyerupai sirup, karena kadar gula yang terlalu tinggi dan tidak seimbang dengan kandungan pembentuk gel. (iv) Pengeluaran air dari gel karena terlalu banyak asam. Permen jelly termasuk dalam pangan semi basah yang mempunyai kadar air sekitar 10-40% dan nilai aw berkisar 0,6-0,9 (Bukle et al.,1987). Kondisi ini telah cukup menghambat aktivitas biologis dan biokimia, sehingga tidak mudah terjadi kerusakan. Prinsip pengolahan permen sesuai dengan pengolahan pangan semi basah yaitu menurunkan nilai a w produk pada suatu tingkat tertentu sehingga mikroba patogen tidak tumbuh. Walaupun demikian, kandungan air produk ini masih cukup tinggi, sehingga dapat dimakan tanpa melakukan rehidrasi terlebih dahulu. Produk ini cukup kering dan stabil selama penyimpanan (Leisner dan 10 Rodel, 1976). Mutu permen jelly diatur dalam SNI 02-3547-2008 tentang kembang gula lunak. Muchtadi et al. (1979) menyebutkan bahwa jelly merupakan produk yang dibuat dari sari buah yang dipekatkan, jernih, transparan, bebas dari pulp atau partikel asing, konsistensinya stabil, dan cukup kukuh mempertahankan bentuknya bila dikeluarkan dari wadah. Jelly buah merupakan satu diantara produk makanan yang sudah dikenal dan sangat popular di kalangan masyarakat. Dapat dibuat dari buah yang cacat rupa, berukuran kecil, buah yang kurang matang, kulit buah, hati buah atau buah yang terjatuh oleh angin, sehingga dalam hal ini nilai ekonomis buah lebih meningkat (Woodroof dan Luh, 1975). Jelly merupakan makanan sumber kalori yang tinggi, karena mengandung kadar gula yang tinggi, dimana mudah diabsorpsi oleh usus manusia dan memberikan energi tubuh dengan cepat Muchtadi et al. (1979). 2.5 Pengemasan dan Penyimpanan Pengemasan merupakan salah satu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk serta penunjang bagi kelancaran transportasi dan distribusi yang merupakan bagian terpenting dari suatu usaha untuk mengatasi persaingan dalam pemasaran produk. Pengemasan yang sempurna dilakukan untuk mempertahankan mutu suatu produk. Tujuan dari proses pengemasan adalah melindungi produk dari pengaruh oksidasi dan mencegah terjadinya kontaminasi dengan udara luar. Hasil pengolahan dapat dikendalikan dengan pengemas, termasuk pengendalian cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air, perpindahan panas, kontaminasi, dan serangan makhluk hayati (Harris dan Karnas,1989). Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, menahan efek yang bermanfaat dari proses, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi produk dari tiga pengaruh luar, yaitu kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas (oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah atau ultraviolet). Perlindungan biologis mampu menahan mikroorganisme (patogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat, dan hewan lainnya. 11 Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Betty, 2007). Adanya kesadaran mengenai daya tahan berbagai produk menuntut kesadaran akan perlunya penyimpanan. Penyimpanan suatu bahan merupakan salah satu upaya agar produk dapat dinikmati oleh konsumen sebelum terjadi kerusakan, sehingga selama penyimpanan harus selalu diusahakan agar produk tidak mengalami penurunan mutu yang besar. Penyimpanan bahan pangan berfungsi lebih luas lagi yaitu sebagai pengendali persediaan makanan (Syarief dan Halid, 1993). Kelembaban dan suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam proses penyimpanan. Kelembaban sangat berperan dalam menentukan mutu bahan dan proses kerusakan selama penyimpanan. Kadar air suatu bahan akan meningkat jika disimpan dalam ruangan dengan kelembaban yang tinggi. Kadar air yang tinggi akan membantu pertumbuhan mikroorganisme dan mengakibatkan terjadinya penurunan mutu produk. Bahan yang disimpan akan menyerap uap air dari udara atau melepaskannya sampai tekanan uap air dalam bahan sama dengan tekanan uap air udara ruang penyimpanan. Setiap bahan mempunyai keseimbangan kadar air tertentu yang dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan tersebut. Kelembaban udara ruang penyimpanan berhubungan dengan aktivitas air suatu bahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme (Syarief dan Halid,1993). Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu, dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan (Syarief dan Halid,1993). Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis, atau pertumbuhan mikroba. Semakin rendah suhu, semakin lambat proses tersebut. Penggunaan suhu rendah dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu penyimpanan sejuk, pendinginan, dan penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit di bawah suhu kamar dan tidak lebih rendah dari 15 oC. Pendinginan adalah 12 penyimpanan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai +10 oC, sedangkan penyimpanan beku adalah penyimpanan di bawah suhu -2 oC (Winarno dan Jenie,1983). Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme. Oleh karena itu, penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup dari jaringan-jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh keaktifan responsi menurun, tetapi juga terjadinya penghambatan pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dan kerusakan. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es pada umumnya mencapai 5-8 oC. Walaupun suhu pendinginan dapat menghambat pertumbuhan atau aktivitas mikroba atau mungkin membunuh beberapa bakteri, tetapi pendinginan maupun pembekuan tidak dapat digunakan untuk membunuh semua bakteri (Winarno et al.,1980). Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan di antaranya adalah suhu, pH, aktivitas air, adanya oksigen, dan tersedianya zat makanan. Oleh karena itu, kecepatan pertumbuhan mikroba dapat diubah dengan mengubah faktor lingkungan tersebut. Semakin rendah suhu yang digunakan dalam penyimpanan maka semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff,1979). Faktor yang mempengaruhi proses pendinginan bahan adalah suhu, kecepatan udara dalam ruang pendinginan, komposisi atmosfer serta ada tidaknya sinar ultra violet. Penggunaan suhu rendah yang tepat dapat menghambat: (i) respirasi dan kegiatan-kegiatan metabolik lainnya; (ii) penuaan karena pematangan, pelunakan, perubahan-perubahan tekstur dan warna; (iii) kehilangan air; (iv) kerusakan yang disebabkan oleh serbuan bakteri, jamur, dan khamir; (v) pertumbuhan yang tak diinginkan; dan (vi) perubahan-perubahan rasa dan bau (Pantastico,1986). 2.6 Kemasan Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dikemas dan dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya. UK Institute of Packaging memberikan tiga definisi kemasan: 13 (i) sistem terkoordinasi dalam pembuatan barang untuk transportasi, distribusi, penyimpanan, perdagangan eceran, dan penggunaan akhir; (ii) suatu sarana untuk menjamin sistem penghantaran yang aman kepada konsumen terakhir dalam kondisi yang baik dengan biaya seminimal mungkin; (iii) suatu fungsi tekno ekonomi dengan tujuan agar biaya semurah mungkin, dan memaksimalkan perdagangan (atau dengan kata lain keuntungan). Secara teoritis, kemasan dinilai ideal apabila secara kimia inert total dan memungkinkan bahan makanan mempertahankan karakteristik aslinya. Akan tetapi, pada kenyataannya jarang sekali ada bahan pengemas yang benar-benar inert, beberapa reaksi tidak dapat dihindari dan dicegah tergantung dari sifat-sifat bahan pengemas dan tipe makanan yang dikemas (Agoes, 2004). Kemasan dapat ditinjau berdasarkan bahan dasar, konstruksi, bentuk, dan fungsinya. Berdasarkan bahannya, kemasan yang semula dari bahan tradisional, sekarang telah berkembang dengan menggunakan bahan modern seperti metal baja, alumunium, kaca, kertas, dan plastik. Berdasarkan konstruksinya, kemasan dapat berupa lapis tunggal, lapis ganda, dan lapis majemuk. Berdasar bentuknya, kemasan dapat berbentuk kaleng, tube, sachet, botol, gelas, mangkuk, kotak, karton, karung, dan drum (Soekarto dan Nur, 2004). Berdasarkan fungsinya, kemasan dibagi menjadi dua yaitu kemasan untuk pengangkutan dan distribusi (shiping/delivery package) dan kemasan untuk perdagangan eceran atau supermarket (retail package). Pemakaian material dan pemilihan rancangan kemasan untuk pengangkutan dan distribusi akan berbeda dengan kemasan untuk perdagangan eceran. Kemasan untuk pengangkutan atau distribusi akan mengutamakan material dan rancangan yang dapat melindungi kerusakan selama pengangkutan dan distribusi, sedangkan kemasan untuk eceran diutamakan materi atau material yang dapat memikat konsumen untuk membeli (Peleg,1985). Beberapa persyaratan kemasan makanan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: (i) permeabilitas terhadap udara; (ii) tidak dapat menyebabkan penyimpangan warna produk; (iii) tidak bereaksi, sehingga tidak merusak bahan maupun cita rasanya, tidak mudah teroksidasi atau bocor; (iv) tahan panas; (v) mudah dikerjakan; (vi) harganya murah. Kerusakan yang terjadi pada bahan 14 pangan dapat terjadi secara spontan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan luar. Pengemasan juga digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan sekelilingnya untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu tertentu (Buckle et al.,1987). Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan dapat mempengaruhi mutu produk. Perubahan fisik dan kimia dapat terjadi karena migrasi zat-zat kimia pada bahan kemasan. Selain itu juga perubahan aroma, warna, dan tekstur yang dipengaruhi uap air dan oksigen (Syarief et al.,1989). 2.6.1 Kemasan Plastik Plastik merupakan senyawa polimer dari turunan-turunan monomer hidrokarbon yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi polimerisasi adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat tergantung pada jumlah molekul dan susunan atom molekul. Plastik dalam bentuk produk akhir terdiri dari polimer murni dan unsur-unsur lain seperti bahan pengisi, pigmen, stabilisator, dan bahan pelunak (Harper,1975). Plastik juga mengandung beberapa zat aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia plastik. Bahan yang ditambahkan tersebut disebut komponen non-plastik yang berupa senyawa organik atau anorganik yang memiliki berat molekul rendah. Bahan aditif tersebut dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap sinar UV, anti lekat, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan migrasi bahan kemasan plastik ke dalam makanan, bahan aditif bukan satu-satunya komponen yang harus diteliti, melainkan juga residu monomer yang masih berada pada matrik polimer plastik. Daya peracunan setiap jenis residu monomer, oligomer dan bahan aditif perlu diselidiki agar keamanan konsumen dapat dijamin (Robertson, 1993). Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas memiliki keunggulan dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya, karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplastik, dan permeabilitasnya terhadap uap air, CO 2, dan O2, harganya relatif rendah, dapat dibentuk dalam berbagai rupa, dan mengurangi biaya transportasi. Sebagai bahan pembungkus, kemasan plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain 15 (kertas atau alumunium foil). Kelemahan bahan kemasan plastik ini adalah adanya zat-zat monomer dan molekul kecil yang terkandung dalam plastik dapat melakukan migrasi ke bahan makanan terkemas (Winarno,1993). Permeabilitas plastik terhadap udara dan uap air menyebabkan plastik berperan dalam modifikasi ruang kemasan selama penyimpanan. Sifat penting bahan kemasan plastik yang digunakan meliputi permeabilitas gas dan uap air, bentuk dan permukaannya. Permeabilitas gas dan uap air, serta luas permukaan kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang sesuai dan luas permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Winarno,1993). Jenis plastik yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastik polipropilen. Polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Polipropilen merupakan jenis termoplastik yang memiliki densitas rendah. Dikembangkan sejak 1950 dengan berbagai nama dagang seperti bexphane, dynafilm, luparen, escon, ole fane, dan profax. Polipropilen sangat mirip dengan polietilen dan sifat-sifat penggunaannya juga serupa. Polipropilen lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi, dan cukup mengkilap (Syarief et al.,1989). Plastik propilen tidak mudah sobek atau retak. Sifat utama polipropilen adalah ringan (densitas 900 kg/m3), permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas gas sedang sehingga tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen, tembus pandang dan jernih sehingga mudah dicetak (printing). Polipropilen dibuat melalui proses polimerisasi dengan bantuan katalisator pada monomer propilen di bawah panas dan tekanan (Robertson, 1993). Monomer polipropilen diperoleh dengan pemecahan secara thermal naphtha (distilasi minyak kasar) etilen, propilen dan homologues yang lebih tinggi dipisahkan dengan distilasi pada temperatur rendah. Dengan menggunakan katalis NattaZiegler polipropilen dapat diperoleh dari propilen (Brown, 1991). Struktur umum polipropilen dapat dilihat pada Gambar 1. 16 CH2 CH n CH3 Gambar 1. Struktur umum polipropilen (Brown, 1991) Beberapa sifat utama dari polipropilen menurut Syarief et al. (1989), antara lain: (i) ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku; (ii) mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk murni pada suhu -300C mudah pecah sehingga perlu ditambahkan PE atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanan terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku; (iii) lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi; (iv) permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen; (v) tahan terhadap suhu tinggi sampai 1500C, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi; (vi) titik leburnya tinggi sehingga sulit dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang baik. Mengeluarkan benang-benang plastik pada suhu tinggi; (vii) tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. Baik untuk kemasan sari buah dan minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl; (viii) pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, silken, toluene, terpentin, dan asam nitrat kuat. 2.6.2 Kemasan Alumunium foil Foil adalah bahan kemas dari logam, berupa lembaran alumunium yang padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Foil mempunyai sifat thermotis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam atau lapisan tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan. Ketebalan dari alumunium foil menentukan sifat protektifnya. Foil dengan ketebalan rendah masih dapat dilalui oleh gas dan uap. Sifat-sifat alumunium foil yang tipis dapat diperbaiki dengan memberikan lapisan plastik atau kertas menjadi foil-plastik, foil-kertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief et al., 1989). Alumunium foil merupakan kemasan logam yang lebih ringan daripada baja dan memiliki daya korosif terhadap atmosfir yang sangat rendah, mudah 17 dilekuk-lekukkan sehingga dapat dibentuk sesuai dengan keinginan, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak beracun. Alumunium foil juga merupakan salah satu jenis kemasan yang kedap terhadap udara, uap air, dan kedap cahaya sehingga dapat mencegah peningkatan aw dan oksidasi. Alumunium foil memiliki sifat tahan terhadap panas, permeabilitas yang rendah terhadap uap air dan tidak korosif. Kemasan ini juga memiliki pori-pori yang kecil sehingga dapat menghambat kemampuan uap air untuk menembus masuk kedalam kemasan (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003). Alumunium foil merupakan kemasan yang dapat menghalangi cahaya dan oksigen (penyebab lemak teroksidasi atau menjadi tengik), bau dan aroma, kelembaban, dan bakteri masuk ke dalam makanan yang dikemas. Alumunium foil digunakan pada makanan dan produk-produk farmasi. Bahan ini juga digunakan untuk membuat kemasan pak yang berumur panjang (kemasan aseptik) untuk minuman dan dairy product dengan penyimpanan tanpa pendingin. Laminasi alumunium foil juga digunakan untuk mengemas makanan yang sensitif terhadap oksigen dan uap air, misalnya tembakau (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003). Alumunium foil memiliki sisi yang mengkilap dan sisi yang buram. Sisi yang mengkilap diproduksi ketika alumunium digulung pada waktu tahap akhir. Pada tahap akhir penggulungan, dua lembar digulung pada waktu yang sama. Keduanya masuk pada mesin penggulung. Ketika lembaran dipisahkan, sisi dalamnya tidak mengkilap, sedangkan sisi luarnya mengkilap. Banyak orang percaya bahwa sisi yang mengkilap mencerminkan bagian yang menjaga panas keluar dan menjaga panas di dalam ketika melapisi bagian luar produk (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003). 2.6.3 Kemasan Gelas Gelas merupakan salah satu kemasan yang tertua. Gelas mempunyai sifatsifat yang menguntungkan sebagai bahan kemasan seperti inert (tidak bereaksi), kuat, tahan terhadap kerusakan, serta sangat baik sebagai barier terhadap benda padat, cair, dan gas. Kelemahan dari kemasan gelas yaitu sifatnya yang mudah 18 pecah dan kurang baik bagi produk-produk yang peka terhadap penyinaran (ultraviolet) (Syarief,2002). Gelas adalah padatan amorf dari suatu larutan peroksida oksida, kalsium, natrium dan elemen lain. Bahan mentah gelas terutama adalah pasir, soda abu, dan batu kapur yang dipilih secara hati-hati. Dalam pembuatan wadah gelas, bahan adonan termasuk pasir, soda abu, batu kapur, dan bubuk gelas (yang dimasukkan ke dalam adonan untuk menurunkan titik lebur), diukur jumlahnya secara teliti, dan dipanaskan sampai suhu melebihi 2600 oF. Setelah gelas melebur dan dibersihkan, wadah gelas dibentuk dengan cara memasukkan gelas cair ke dalam mesin pencetak dimana pembentukkan gelas dimulai. Kemudian dipindahkan de dalam mesin pencetak terakhir untuk ditiup menjadi bentuk akhir, didinginkan sebentar, dan akhirnya dipisahkan dari mesin (Muchtadi, 1995). Komposisi kimia wadah gelas komersial dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi kimia wadah gelas komersial Komposisi kimia Rumus kimia Persentase Silika SiO2 73,000 Soda abu Na2O 13,000 Potasium Oksida K2O 0,440 Batu kapur CaO 11,700 Magnesium oksida MgO 0,190 Alumunium oksida Al2O3 1,430 Besi oksida Fe2O3 0,049 SO3 0,190 Belerang trioksida Sumber: Syarief (2002) Wadah gelas untuk bahan pangan dapat dibedakan kedalam dua bentuk, yaitu: gelas bermulut lebar (wide mouth) dan gelas bermulut sempit (narrow neck). Wadah gelas bermulut lebar kebanyakan digunakan untuk produk makanan bayi, susu bubuk, buah-buahan, mentega, kacang, kopi, teh, jam, jelly, acar, manisan, mayonais. Sedangkan, wadah gelas berleher sempit kebanyakan digunakan untuk produk-produk cair, seperti kecap, sari buah, sirup, bumbu cair, saus, cuka (Muchtadi, 1995). 19 Faktor yang menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya ruang udara. Ruang kosong (head space) harus disediakan pada setiap kemasan gelas yang diisikan dengan suatu bahan. Ruang ini diberikan untuk mengantisipasi terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi. Ukuran dari head space ini diusahakan tidak terlalu besar atau kecil. Bila terlalu besar maka dapat mengakibatkan akumulasi udara pada atas kemasan gelas dan apabila terlalu kecil proses penutupan kemasan tidak akan sempurna. Besarnya head space yang digunakan tergantung dari bahan yang dikemas. Pada umumnya berkisar antara 3%-5%. Namun, untuk produk-produk yang menghasilkan gas seperti peroksida dan hipoklorit digunakan head space sebesar 10% (Muchtadi,1995). Proses penutupan merupakan bagian yang cukup penting dalam penggunaan kemasan gelas jar. Penutupan yang rapat dapat dihasilkan karena kontruksi leher botol memiliki ulir dan pengunci yang dapat menahan tutup secara kuat. Tutup yang digunakan untuk menutup kemasan jar dapat terbuat dari logam maupun plastik (Muchtadi,1995). Kemasan gelas dapat digunakan untuk jenis bahan berasam rendah ataupun berasam tinggi, sehingga cocok digunakan untuk mengemas produk confectionery. Perbedaan suhu di dalam dan di luar kemasan tidak boleh lebih dari 27oC. Oleh karena itu, proses pengemasan terhadap kemasan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan untuk menghindari keretakan (Syarief,2002). Menurut Muchtadi (1995), keuntungan menggunakan kemasan gelas meliputi (i) gelas bersifat inert sehingga tidak akan bereaksi dengan bahan yang dikemas; (ii) gelas bersifat kedap dan tidak berpori; (iii) tidak berbau dan bersih; (iv) bersifat transparan sehingga memungkinkan dapat diperiksa baik oleh konsumen maupun produsen; (v) mudah dibuka dan ditutup kembali; (vi) dapat dibuat dalam berbagai bentuk, ukuran, dan warna. 2.7 Umur Simpan Umur simpan adalah selang waktu sejak barang diproduksi hingga produk tersebut tidak layak diterima atau telah kehilangan sifat khususnya. Umur simpan dapat didefinisikan juga sebagai waktu yang dibutuhkan oleh suatu produk pangan menjadi tidak layak dikonsumsi jika ditinjau dari segi keamanan, nutrisi, sifat 20 fisik, dan organoleptik, setelah disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan (Arpah dan Syarief, 2000). Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Menurut Labuza dan Schmild (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan meliputi: (i) jenis dan karakteristik produk pangan. Produk yang mengalami pengolahan akan lebih tahan lama dibanding produk segar. Produk yang mengandung lemak berpotensi mengalami rancidity, sedangkan produk yang mengandung protein dan gula berpotensi mengalami reaksi maillard (warna coklat); (ii) jenis dan karakteristik bahan kemasan. Permeabilitas bahan kemas terhadap kondisi lingkungan (uap air, cahaya, aroma, oksigen); (iii) kondisi lingkungan. Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan dan degradasi warna. Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi. Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas adalah sebagai berikut: (i) keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik; (ii) ukuran kemasan dalam hubungan dengan volumenya; (iii) kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan; (iv) ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagianbagian yang terlipat. Proses perkiraan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data mengenai: (i) mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas; (ii) unsur-unsur yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk; (iii) mutu produk dalam kemasan; (iv) bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan; (v) mutu produk pada saat dikemas; (vi) mutu minuman dari produk yang masih dapat diterima; (vii) variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan; (viii) resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi kebutuhan kemasan; (ix) sifat barrier pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk (Hine, 1987). 21 Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS atau sering disebut metode konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan analisa parameter yang relatif banyak. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan dapat ditentukan umur simpan produk. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat (1-4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Herawati, 2008). Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu : (i) pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluarsa; (ii) pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Herawati, 2008). Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan pangan dalam kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982) menggunakan pendekatan Arrhenius. Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur simpan, maka biasanya semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi untuk penggunaan model Arrhenius ini misalnya: (i) Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja (ii) Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu 22 (iii) Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya (iv) Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap Dalam kinetika perubahan mutu pangan, umumnya dilakukan penyederhanaan reaksi-reaksi yang kompleks menjadi reaksi sederhana dengan orde reaksi kenol atau kesatu. Model perubahan mutu pangan dan orde reaksi perubahannya dapat dianalisis dengan berbagai metode, diantaranya dengan integrasi yang dilanjutkan dengan analisis model atau fungsi dugaannya. Pengujian atas ketepatan model atau fungsi dugaan dapat dilihat dari koefisien determinasi (R2). Persamaan Arrhenius dapat dilihat pada persamaan (1) dan ln atas persamaan (1) menjadi persamaan (2), dengan: ………………………………………………………………(1) Dimana : K = konstanta kecepatan reaksi Ko = konstanta pre-eksponensial Ea = Energi aktivasi (KJ/mol) R = konstanta gas = 1.986 (kal/mol) T = suhu mutlak (K) ………………………………………………(2) Ln K -Ea/R 1/T Gambar 2. Grafik antara nilai ln K dan 1/T dalam persamaan Arrhenius 23 Nilai umur simpan dapat dihitung dengan memasukkan nilai perhitungan ke dalam persamaan reaksi ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh reaksi ordo nol dan satu, sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain. a. Reaksi Orde Nol Penurunan mutu orde nol adalah penurunan mutu yang konstan. Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi orde nol adalah kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis, dan oksidasi. Persamaannya adalah sebagai berikut: ………………………………………..……………………..(3) Integrasi terhadap persamaan (3) akan menghasilkan persamaan (5) dan umur simpan produk dapat dihitung dengan persamaan (6): ………………………………………………….(4) ……….……………………………………….…….(5) Pendugaan umur simpan berdasarkan reaksi orde nol adalah: ………………………………………………………………(6) Dimana : At = nilai A pada awal waktu t A0 = nilai awal A K = laju perubahan mutu t b. = waktu simpan Reaksi Orde Satu Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti reaksi orde satu adalah ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off flavour oleh mikroba pada produk daging, ikan, dan 24 unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein, dan sebagainya. Persamaannya adalah sebagai berikut: ...........................................................................................(7) Integrasi terhadap persamaan (7) akan menghasilkan persamaan (9) dan umur simpan dihitung berdasarkan persamaan (10): …………………………………………………..(8) ………………………………………………..(9) Pendugaan umur simpan berdasarkan reaksi orde satu adalah: …………………………………………………….(10) 25