3 II. TINJAUAN PUSTAKA Pepaya (Carica papaya L.)

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pepaya (Carica papaya L.)
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika
tropis. Pusat penyebaran tanaman berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan
dan Nicaragua. Menurut Kalie (1999), dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan
pepaya diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub-divisi
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Klas
: Dicotyledone (biji berkeping dua)
Ordo
: Caricales
Famili
: Caricaceae
Genus
: Carica
Species
: Carica papaya L.
Famili Caricaceae termasuk famili kecil dari tanaman dikotiledon yang
terdiri dari empat genus yaitu: carica, jarilla, jacaratia yang berasal dari Amerika
Tropis dan cylicomorpha dari daerah Afrika ekuatorial. Genus carica adalah
genus paling penting dalam famili Caricaceae yang terdiri atas 24 spesies, dan
salah satunya adalah Carica papaya L. (Kalie,1999).
Tinggi pohon pepaya dapat mencapai delapan sampai sepuluh meter
dengan akar yang kuat dan batang tidak bercabang. Namun, cabang dapat
dibentuk dengan melakukan pemotongan pada pucuk. Batang tanaman berbentuk
bulat lurus berbuku-buku, berongga di bagian tengahnya, dan tidak berkayu. Daun
pepaya tersusun secara melingkar pada batang, lembar daunnya menjari dengan
warna permukaan atas berwarna hijau muda. Pepaya memiliki tiga jenis bunga,
yaitu bunga jantan (masculus), bunga betina (femineus), dan bunga sempurna atau
hermaprodit (Rukmana, 1995).
Tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian seribu
meter di atas permukaan air laut dan pada umumnya tumbuh di lokasi yang cukup
tersedia air, curah hujan 1000-2000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun.
3
Suhu optimal pertumbuhan tanaman berkisar antara 22-26oC, suhu minimum
15oC, dan suhu maksimum 43 oC (Kalie,1999).
Varietas pepaya dikenal dari bentuk, ukuran, warna, rasa, dan tekstur
buahnya. Varietas pepaya yang banyak ditanam di Indonesia adalah pepaya
semangka, pepaya jinggo, dan pepaya cibinong. Selain itu, juga dikenal varietas
pepaya mas, pepaya item, dan pepaya ijo (Kalie, 1999). Salah satu jenis pepaya
yang dikembangkan saat ini adalah pepaya IPB 1 yang ciri-cirinya dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Ciri-ciri pepaya IPB 1
Parameter
Unit
Nilai
Warna batang
Coklat keabu-abuan
Warna petiole
Hijau sedikit ungu kemerahan
Bentuk sinus daun
Agak tertutup
Bentuk gerigi daun
Cembung
Warna daging buah
Jingga
Warna kulit buah
Hijau muda
Tipe daun
11.00
Warna bunga
Putih
Bentuk
Buah lonjong
Ukuran buah
Kecil
Umur petik (hari setelah anthesis)
± 140
Rasa daging buah
Sangat manis (11-12oBrix)
Panjang buah
cm
14 ± 1
Diameter buah (cm)
cm
10 ± 1
Bobot per buah (gram)
g
654 ± 146
Kadar air (%)
%
88 ± 2
Kadar vitamin C (mg/100g)
mg/100g
122 ± 30
Sumber: PKBT (2004)
Buah pepaya secara keseluruhan mirip buah melon, berongga, bentuk buah
lonjong, mempunyai aroma yang khas, warna daging kuning, orange sampai
merah cerah. Rasanya manis dan menyegarkan karena mengandung banyak air.
Nilai gizi buah ini cukup tinggi karena mengandung banyak provitamin A dan
4
vitamin C, serta kalsium. Komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per
100 gram buah dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia buah pepaya matang dan mentah per 100 gram buah
Komponen
Satuan
Buah matang
Buah mentah
kalori
46,0
26,0
Air
g
86,7
92,3
Protein
g
0,5
2,1
Lemak
g
-
0,1
Karbohidrat
g
12,2
4,9
Vitamin A
IU
365,0
50,0
Vitamin B
mg
0,04
0,02
Vitamin C
mg
78,0
19,0
Kalsium
mg
23,0
50,0
Besi
mg
1,7
0,4
Phospor
mg
12,0
16,0
Energi
Sumber: Kalie (1999)
Dari Tabel 3 dapat dilihat komposisi kimia buah pepaya matang dan
mentah per 100 gram buah. Buah-buahan umumnya mengandung beberapa
macam asam organik, dimana di dalam buah pepaya kandungan gula lebih besar
dari asam, sehingga rasa manis lebih dominan. Selama pematangan buah pepaya
yang disimpan pada suhu kamar akan mengalami peningkatan kandungan asam
tertitrasi. Akan tetapi, setelah buah lewat matang kandungannya akan menurun
(Kalie, 1999). Menurut Chan dan Kwok (1971) yang dikutip Kalie (1999), asamasam yang terkandung dalam pepaya antara lain asam ketoglutarat, sitrat, malat,
tertarat, asam askorbat, dan galakturonat. Kandungan vitamin C untuk buah
matang lebih tinggi dari buah mentah karena selama masa pematangan terjadi
peningkatan persentase karoten dan xantofil, dan akibat adanya metabolisme
polisakarida dalam dinding sel yang menyebabkan kadar gula meningkat.
Stabilitas vitamin C (asam askorbat) akan meningkat dengan menurunnya
pH. Laju oksidasi asam askorbat sebanding dengan konsentrasi oksigen terlarut
dalam bahan pangan. Oksidasi asam askorbat akan menghasilkan bentuk
monoanion dari asam askorbat dan diikuti dengan pembentukan asam
5
dehidroaskorbat yang masih memiliki aktivitas vitamin C. Apabila terjadi
dekomposisi hidrolitik dari asam dehidroaskorbat, maka akan terbentuk asam 2,3diketoglutanat yang sudah tidak mempunyai aktivitas vitamin C. Reaksi lebih
lanjut dari asam 2,3- diketoglutanat tidak memberikan dampak lagi terhadap nilai
gizi bahan pangan, tetapi akan menimbulkan perubahan flavor dan warna yang
dikaitkan dengan reaksi pencoklatan. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di
atas, stabilitas vitamin C juga dipengaruhi oleh adanya enzim, konsentrasi gula
dan garam, konsentrasi awal asam askorbat, dan rasio antara asam askorbat
dengan asam dehidroaskorbat (Winarno dan Aman, 1981).
Karoten merupakan prekusor vitamin A yang banyak terdapat di dalam
pepaya. Biasanya perubahan warna pada kulit buah menunjukkan kematangan
buah, begitu pula halnya dengan pepaya. Perubahan warna buah pepaya dari hijau
menjadi kemerahan disebabkan penurunan klorofil, sehingga warna karotenoid
mulai terlihat. Perbedaan warna pada pepaya merah dan kuning adalah adanya
likopen, dimana buah pepaya kuning tidak terdapat likopen. Total karoten yang
dikandung dalam pepaya mengkal adalah 3,7 mg per 100 gram, sedangkan pada
pepaya berwarna matang total karotennya adalah 4,2 mg per 100 gram (Winarno
dan Aman, 1981).
Tingkat kemasakan buah pepaya biasanya dinyatakan dalam bentuk buah
muda, buah tua, buah mengkal, dan buah terlalu masak. Buah pepaya dipanen
pada stadium mendekati matang pohon, yakni setelah buah menunjukkan garisgaris menguning. Untuk pemasaran setempat biasanya buah dipetik pada tingkat
kemasakan mengkal, sedangkan untuk pemasaran jarak jauh buah dipetik pada
tingkat kemasakan tua. Buah masak mengkal bila kulit buah di bagian ujung
tampak mulai menguning, sedangkan daging buah masih tetap keras. Buah pepaya
yang masak ditandai dengan kulit dan dagingnya berwarna cerah, rasanya manis,
dan aromanya sudah tercium.
2.2 Pemanis
Pemanis merupakan bahan yang umum terdapat pada makanan.
Berdasarkan kemampuan metabolismenya, bahan pemanis digolongkan menjadi
dua, yaitu nutritive sweetener dan non-nutritive sweetener. Nutritive sweetener
6
adalah pemanis yang dapat dimetabolis tubuh seperti sukrosa dan glukosa,
sedangkan
non-nutritive
sweetener
adalah
pemanis
yang
tidak
dapat
dimetabolisme oleh tubuh seperti sakarin, siklamat, acesulfame-K, dan sorbitol
(Nicole,1979). Sukrosa merupakan senyawa kimia yang memiliki rasa manis,
berwarna putih, bersifat anhidrous, dan larut dalam air. Sukrosa memiliki peranan
penting dalam teknologi pangan karena fungsinya yang beraneka ragam yaitu
sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pembentuk cita rasa, bahan pengisi, dan
pengawet (Nicole,1979),
Fungsi utama sukrosa sebagai pemanis memegang peranan penting, karena
dapat meningkatkan penerimaan dari suatu makanan, yaitu dapat menutupi cita
rasa yang tidak menyenangkan. Rasa manis sukrosa bersifat murni dan tidak
memiliki after taste yang meninggalkan rasa pait di lidah. Sukrosa dikatakan
mampu membentuk citarasa yang baik, karena kemampuannya menyeimbangkan
rasa asam,
pahit,
(Nicole,1979).
dan asin,
Sukrosa dapat
atau
melebihi pembentukan karamelisasi
digunakan sebagai pengawet
dikarenakan
kemampuannya untuk menurunkan nilai keseimbangan kelembaban relatif dan
meningkatkan tekanan osmotik dengan cara mengikat air bebas sehingga tidak
dapat digunakan mikroba. Sukrosa dapat menghambat daya kerja enzim, yaitu
pada konsentrasi 30% akan menghambat aktivitas enzim asam askorbat oksidase
dan pada konsentrasi 50% akan menghambat enzim katalase (Nicole,1979).
2.3 Karagenan
Karagenan adalah polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit
galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4
secara bergantian. Pada beberapa atom hidroksil, terikat gugus sulfat dengan
ikatan ester (Angka dan Suhartono, 2000). Karagenan diberi nama berdasarkan
persentase kandungan ester sulfatnya, kappa: 25-30%, iota: 28-35%, dan lambda:
32-39%. Larut dalam air panas (70oC), air dingin, susu, dan larutan gula, sehingga
sering digunakan sebagai bahan pengental/penstabil pada minuman atau makanan.
Karagenan dapat membentuk gel dengan baik, sehingga banyak digunakan
sebagai gelling agent dan pengental (Suptijah, 2002).
7
Sifat-sifat yang dimiliki karagenan antara lain: kelarutan, pH, stabilitas,
viskositas, pembentukan gel, dan reaktivitas dengan protein. Sifat-sifat tersebut
sangat dipengaruhi oleh adanya unit bermuatan (ester sulfat) dan penyusun dalam
polimer karagenan. Karagenan biasanya mengandung unsur yang berupa garam
yodium dan potasium yang juga berfungsi untuk menentukan sifat-sifat
karagenan. Tulisan di bawah ini menjelaskan sifat-sifat umum karagenan yaitu:
(i) Kelarutan
Semua karagenan larut di dalam air pada suhu di atas 70 oC. dalam air
dingin, hanya α-karagenan dan garam natrium dari κ- dan ι- karagenan yang larut
(Glicksman, 1983). Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu tipe karagenan, pengaruh ion, pH, dan komponen organik larutan.
Dikaitkan molekulnya, kelarutan karagenan terutama dikendalikan oleh derajat
hidrofiliknya, yaitu gugus ester sulfat dan unit galaktosa-piranosa yang
berlawanan dengan unit 3,6-anhidro-galaktosa yang bersifat hidrofobik (Towle,
1973). Di samping kelarutan dalam air, karagenan juga memiliki sifat kelarutan
dalam media cair lainnya, misalnya dalam susu panas, sedangkan dalam susu
dingin hanya α-karagenan yang mempunyai kelarutan tinggi. Dalam kelarutan
sukrosa panas dengan konsentrasi 65% κ- dan α-karagenan larut, sedangakan ιkaragenan sedikit larut dalam kondisi ini (Glicksman, 1983).
(ii) Pembentukan Gel
Karagenan jenis κ- dan ι- mempunyai kemampuan untuk membentuk gel
pada saat larutan yang panas dibiarkan menjadi dingin. Proses ini bersifat
reversibel, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan akan menbentk gel
kembali pada saat pendinginan (Glicksman, 1983). Terbentuknya gel ini sebagai
akibat pembentuk struktur double helix oleh polimer karagenan. Konsistensi gel
karagenan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis dan tipe karagenan,
konsentrasi, adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat terbentuknya
hidrokoloid (Towle,1973).
Pada proses pembentukan gel dari κ- dan ι-karagenan dibutuhkan kation
tertentu. Dalam aplikasi pangan ada tiga kation yang paling umum digunakan,
yaitu natrium, kalium, dan kalsium serta beberapa ion lainnya seperti amonium,
barium, rubidium, dan cecium, (Moirano,1977). Adanya ion kalium pada gel κ-
8
karagenan dapat menaikkan kekerasan dan suhu pembentukan gel. Ion kalsium
dan barium menaikan kekakuan gel karagenan. Ion rubidium dan cesium juga
dapat menyebabkan gelasi κ-karagenan. Ion kalium menyebabkan gel κkaragenan elastis dan transparan, sedangkan ion kalsium menyebabkan gel ιkaragenan rapuh. Penambahan ion natrium pada gel κ-karagenan membuat gel
menjadi pendek dan rapuh.
Letak gugus sulfat pada struktur molekul karagenan sangat berpengaruh
terhadap kemampuan karagenan untuk membentuk gel. Demikian pula derajat
keteraturan rantai polimer menentukan kemampuan membentuk gel. Suatu
modifikasi struktural dapat dilakukan dengan mengubah unit yang mengandung
sulfat pada C6 di ikatan (1 → 4) menjadi unit 3,5-anhidro galaktosa akan
meningkatkan kemampuan membentuk gel dan kekuatan gel (Towle,1973).
(iii) Stabilitas
Karagenan akan stabil pada pH 7 atau lebih tinggi, sedangkan pH yang lebih
rendah dari 7, stabilitas karagenan menurun khususnya dengan peningkatan suhu
(Moirano,1977; Glicksman,1983). Pada pH rendah dari 7, polimer karagenan
terhidrolisis sehingga kemampuan untuk membentuk gel menjadi hilang. Namun,
pada penerapannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7 dan hidrolisis terjadi
tidak lama sehingga gel dapat stabil (Glicksman,1983). Hal ini disebabkan
beberapa karagenan mengandung ikatan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang tinggi,
sehingga tidak mudah terhidrolisis dan dapat digunakan dalam aplikasi pangan
pada pH rendah sebagai pengental, misalnya pH 3,0-4,0. Misalnya, kappa
karagenan dan iota karagenan dapat digunakan sebagai gelling agent pada pH
rendah (Moraino,1977).
2.4 Permen Jelly
Permen jelly merupakan permen yang terbuat dari komponen-komponen
air, flavor, gula, dan bahan pembentuk gel. Permen jelly mempunyai penampakan
jernih, transparan, serta mempunyai tekstur yang elastis dengan kekenyalan
tertentu. Adanya partikel-partikel yang tersuspensi seperti protein, tanin, dan
polisakarida (pati) menyebabkan warna permen jelly yang dihasilkan menjadi
keruh (Jackson, 1995). Pembuatan permen jelly meliputi pencampuran gula yang
9
dimasak dengan kandungan padatan yang diperlukan dan penambahan bahan
pembentuk gel (gelatin, agar, pektin, atau karagenan) dengan cita rasa dan aroma,
serta bentuk yang menarik. Kekerasan dan tekstur permen jelly banyak tergantung
pada bahan pembentuk gel yang digunakan. Permen jelly memerlukan bahan
pelapis yang dapat berupa tepung tapioka, tepung gula, atau campuran dari
keduanya. Hal ini dikarenakan permen jelly memiliki sifat kencenderungan
menjadi lengket satu sama lain karena sifat dari gula pereduksi yang membentuk
permen. Adanya bahan pelapis ini akan memudahkan dalam pengemasan dan
dapat menambah rasa manis (Jackson, 1995).
Kekerasan dan tekstur permen jelly tergantung pada bahan pembentuk gel
yang digunakan. Jelly gelatin mempunyai konsistensi yang lunak dan bersifat
seperti karet, sedangkan jelly agar-agar bersifat lunak dan agak rapuh. Pektin
menghasilkan tekstur yang sama dengan agar-agar, tetapi gelnya lebih baik pada
pH rendah, sedangkan karagenan menghasilkan gel yang kuat (Bukle et al.,1987).
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), kerusakan utama pada hasil
olahan permen jelly adalah sebagai berikut:
(i) Terbentuknya kristal-kristal karena bahan yang terlarut cukup banyak,
sedangkan gula tidak cukup melarut sehingga mengkristal kembali.
(ii) Gel besar dan kaku, disebabkan oleh kadar gula yang rendah atau karena
pembentuk gel yang tidak cukup.
(iii) Gel yang kurang padat dan menyerupai sirup, karena kadar gula yang terlalu
tinggi dan tidak seimbang dengan kandungan pembentuk gel.
(iv) Pengeluaran air dari gel karena terlalu banyak asam.
Permen jelly termasuk dalam pangan semi basah yang mempunyai kadar air
sekitar 10-40% dan nilai aw berkisar 0,6-0,9 (Bukle et al.,1987). Kondisi ini telah
cukup menghambat aktivitas biologis dan biokimia, sehingga tidak mudah terjadi
kerusakan. Prinsip pengolahan permen sesuai dengan pengolahan pangan semi
basah yaitu menurunkan nilai a w produk pada suatu tingkat tertentu sehingga
mikroba patogen tidak tumbuh. Walaupun demikian, kandungan air produk ini
masih cukup tinggi, sehingga dapat dimakan tanpa melakukan rehidrasi terlebih
dahulu. Produk ini cukup kering dan stabil selama penyimpanan (Leisner dan
10
Rodel, 1976). Mutu permen jelly diatur dalam SNI 02-3547-2008 tentang
kembang gula lunak.
Muchtadi et al. (1979) menyebutkan bahwa jelly merupakan produk yang
dibuat dari sari buah yang dipekatkan, jernih, transparan, bebas dari pulp atau
partikel asing, konsistensinya stabil, dan cukup kukuh mempertahankan
bentuknya bila dikeluarkan dari wadah. Jelly buah merupakan satu diantara
produk makanan yang sudah dikenal dan sangat popular di kalangan masyarakat.
Dapat dibuat dari buah yang cacat rupa, berukuran kecil, buah yang kurang
matang, kulit buah, hati buah atau buah yang terjatuh oleh angin, sehingga dalam
hal ini nilai ekonomis buah lebih meningkat (Woodroof dan Luh, 1975). Jelly
merupakan makanan sumber kalori yang tinggi, karena mengandung kadar gula
yang tinggi, dimana mudah diabsorpsi oleh usus manusia dan memberikan energi
tubuh dengan cepat Muchtadi et al. (1979).
2.5 Pengemasan dan Penyimpanan
Pengemasan merupakan salah satu cara untuk melindungi atau
mengawetkan produk serta penunjang bagi kelancaran transportasi dan distribusi
yang merupakan bagian terpenting dari suatu usaha untuk mengatasi persaingan
dalam pemasaran produk. Pengemasan yang sempurna dilakukan untuk
mempertahankan mutu suatu produk. Tujuan dari proses pengemasan adalah
melindungi produk dari pengaruh oksidasi dan mencegah terjadinya kontaminasi
dengan udara luar. Hasil pengolahan dapat dikendalikan dengan pengemas,
termasuk pengendalian cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air, perpindahan panas,
kontaminasi, dan serangan makhluk hayati (Harris dan Karnas,1989).
Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, menahan efek yang
bermanfaat dari proses, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau
meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi
produk dari tiga pengaruh luar, yaitu kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan
kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan,
seperti terpapar gas (oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah
atau ultraviolet). Perlindungan biologis mampu menahan mikroorganisme
(patogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat, dan hewan lainnya.
11
Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari
goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Betty, 2007).
Adanya kesadaran mengenai daya tahan berbagai produk menuntut
kesadaran akan perlunya penyimpanan. Penyimpanan suatu bahan merupakan
salah satu upaya agar produk dapat dinikmati oleh konsumen sebelum terjadi
kerusakan, sehingga selama penyimpanan harus selalu diusahakan agar produk
tidak mengalami penurunan mutu yang besar. Penyimpanan bahan pangan
berfungsi lebih luas lagi yaitu sebagai pengendali persediaan makanan (Syarief
dan Halid, 1993).
Kelembaban dan suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam
proses penyimpanan. Kelembaban sangat berperan dalam menentukan mutu bahan
dan proses kerusakan selama penyimpanan. Kadar air suatu bahan akan meningkat
jika disimpan dalam ruangan dengan kelembaban yang tinggi. Kadar air yang
tinggi akan membantu pertumbuhan mikroorganisme dan mengakibatkan
terjadinya penurunan mutu produk. Bahan yang disimpan akan menyerap uap air
dari udara atau melepaskannya sampai tekanan uap air dalam bahan sama dengan
tekanan uap air udara ruang penyimpanan. Setiap bahan mempunyai
keseimbangan kadar air tertentu yang dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan
tersebut. Kelembaban udara ruang penyimpanan berhubungan dengan aktivitas air
suatu bahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme (Syarief
dan Halid,1993).
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu
makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa
kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu, dalam menduga kecepatan penurunan
mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan
(Syarief dan Halid,1993).
Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau
mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis, atau pertumbuhan mikroba.
Semakin rendah suhu, semakin lambat proses tersebut. Penggunaan suhu rendah
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu penyimpanan sejuk, pendinginan, dan
penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit di
bawah suhu kamar dan tidak lebih rendah dari 15 oC. Pendinginan adalah
12
penyimpanan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai +10 oC, sedangkan
penyimpanan beku adalah penyimpanan di bawah suhu -2 oC (Winarno dan
Jenie,1983).
Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme.
Oleh karena itu, penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat
memperpanjang masa hidup dari jaringan-jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini
bukan hanya disebabkan oleh keaktifan responsi menurun, tetapi juga terjadinya
penghambatan pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dan kerusakan.
Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es pada umumnya
mencapai 5-8 oC. Walaupun suhu pendinginan dapat menghambat pertumbuhan
atau aktivitas mikroba atau mungkin membunuh beberapa bakteri, tetapi
pendinginan maupun pembekuan tidak dapat digunakan untuk membunuh semua
bakteri (Winarno et al.,1980).
Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan di
antaranya adalah suhu, pH, aktivitas air, adanya oksigen, dan tersedianya zat
makanan. Oleh karena itu, kecepatan pertumbuhan mikroba dapat diubah dengan
mengubah faktor lingkungan tersebut. Semakin rendah suhu yang digunakan
dalam penyimpanan maka semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan
pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff,1979).
Faktor yang mempengaruhi proses pendinginan bahan adalah suhu,
kecepatan udara dalam ruang pendinginan, komposisi atmosfer serta ada tidaknya
sinar ultra violet. Penggunaan suhu rendah yang tepat dapat menghambat: (i)
respirasi dan kegiatan-kegiatan metabolik lainnya; (ii) penuaan karena
pematangan, pelunakan, perubahan-perubahan tekstur dan warna; (iii) kehilangan
air; (iv) kerusakan yang disebabkan oleh serbuan bakteri, jamur, dan khamir; (v)
pertumbuhan yang tak diinginkan; dan (vi) perubahan-perubahan rasa dan bau
(Pantastico,1986).
2.6 Kemasan
Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk
wadah atau tempat yang dikemas dan dapat memberikan perlindungan sesuai
dengan tujuannya. UK Institute of Packaging memberikan tiga definisi kemasan:
13
(i) sistem terkoordinasi dalam pembuatan barang untuk transportasi, distribusi,
penyimpanan, perdagangan eceran, dan penggunaan akhir; (ii) suatu sarana untuk
menjamin sistem penghantaran yang aman kepada konsumen terakhir dalam
kondisi yang baik dengan biaya seminimal mungkin; (iii) suatu fungsi tekno
ekonomi dengan tujuan agar biaya semurah mungkin, dan memaksimalkan
perdagangan (atau dengan kata lain keuntungan). Secara teoritis, kemasan dinilai
ideal apabila secara kimia inert total dan memungkinkan bahan makanan
mempertahankan karakteristik aslinya. Akan tetapi, pada kenyataannya jarang
sekali ada bahan pengemas yang benar-benar inert, beberapa reaksi tidak dapat
dihindari dan dicegah tergantung dari sifat-sifat bahan pengemas dan tipe
makanan yang dikemas (Agoes, 2004).
Kemasan dapat ditinjau berdasarkan bahan dasar, konstruksi, bentuk, dan
fungsinya. Berdasarkan bahannya, kemasan yang semula dari bahan tradisional,
sekarang telah berkembang dengan menggunakan bahan modern seperti metal
baja, alumunium, kaca, kertas, dan plastik. Berdasarkan konstruksinya, kemasan
dapat berupa lapis tunggal, lapis ganda, dan lapis majemuk. Berdasar bentuknya,
kemasan dapat berbentuk kaleng, tube, sachet, botol, gelas, mangkuk, kotak,
karton, karung, dan drum (Soekarto dan Nur, 2004).
Berdasarkan fungsinya, kemasan dibagi menjadi dua yaitu kemasan untuk
pengangkutan dan distribusi (shiping/delivery package) dan kemasan untuk
perdagangan eceran atau supermarket (retail package). Pemakaian material dan
pemilihan rancangan kemasan untuk pengangkutan dan distribusi akan berbeda
dengan kemasan untuk perdagangan eceran. Kemasan untuk pengangkutan atau
distribusi akan mengutamakan material dan rancangan yang dapat melindungi
kerusakan selama pengangkutan dan distribusi, sedangkan kemasan untuk eceran
diutamakan materi atau material yang dapat memikat konsumen untuk membeli
(Peleg,1985).
Beberapa persyaratan kemasan makanan yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut: (i) permeabilitas terhadap udara; (ii) tidak dapat menyebabkan
penyimpangan warna produk; (iii) tidak bereaksi, sehingga tidak merusak bahan
maupun cita rasanya, tidak mudah teroksidasi atau bocor; (iv) tahan panas; (v)
mudah dikerjakan; (vi) harganya murah. Kerusakan yang terjadi pada bahan
14
pangan dapat terjadi secara spontan. Hal ini disebabkan oleh lingkungan luar.
Pengemasan juga digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan
keadaan sekelilingnya untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu
tertentu (Buckle et al.,1987). Pengemasan sebagai bagian integral dari proses
produksi dan pengawetan bahan pangan dapat mempengaruhi mutu produk.
Perubahan fisik dan kimia dapat terjadi karena migrasi zat-zat kimia pada bahan
kemasan. Selain itu juga perubahan aroma, warna, dan tekstur yang dipengaruhi
uap air dan oksigen (Syarief et al.,1989).
2.6.1
Kemasan Plastik
Plastik merupakan senyawa polimer dari turunan-turunan monomer
hidrokarbon yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi
polimerisasi adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat
tergantung pada jumlah molekul dan susunan atom molekul. Plastik dalam bentuk
produk akhir terdiri dari polimer murni dan unsur-unsur lain seperti bahan pengisi,
pigmen, stabilisator, dan bahan pelunak (Harper,1975). Plastik juga mengandung
beberapa zat aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia
plastik. Bahan yang ditambahkan tersebut disebut komponen non-plastik yang
berupa senyawa organik atau anorganik yang memiliki berat molekul rendah.
Bahan aditif tersebut dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap
sinar UV, anti lekat, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan migrasi bahan
kemasan plastik ke dalam makanan, bahan aditif bukan satu-satunya komponen
yang harus diteliti, melainkan juga residu monomer yang masih berada pada
matrik polimer plastik. Daya peracunan setiap jenis residu monomer, oligomer
dan bahan aditif perlu diselidiki agar keamanan konsumen dapat dijamin
(Robertson, 1993).
Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas memiliki keunggulan
dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya, karena sifatnya yang ringan,
transparan, kuat, termoplastik, dan permeabilitasnya terhadap uap air, CO 2, dan
O2, harganya relatif rendah, dapat dibentuk dalam berbagai rupa, dan mengurangi
biaya transportasi. Sebagai bahan pembungkus, kemasan plastik dapat digunakan
dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain
15
(kertas atau alumunium foil). Kelemahan bahan kemasan plastik ini adalah adanya
zat-zat monomer dan molekul kecil yang terkandung dalam plastik dapat
melakukan migrasi ke bahan makanan terkemas (Winarno,1993).
Permeabilitas plastik terhadap udara dan uap air menyebabkan plastik
berperan dalam modifikasi ruang kemasan selama penyimpanan. Sifat penting
bahan kemasan plastik yang digunakan meliputi permeabilitas gas dan uap air,
bentuk dan permukaannya. Permeabilitas gas dan uap air, serta luas permukaan
kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang sesuai dan luas
permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama
(Winarno,1993).
Jenis plastik yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastik
polipropilen. Polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer
dari propilen. Polipropilen merupakan jenis termoplastik yang memiliki densitas
rendah. Dikembangkan sejak 1950 dengan berbagai nama dagang seperti
bexphane, dynafilm, luparen, escon, ole fane, dan profax. Polipropilen sangat
mirip dengan polietilen dan sifat-sifat penggunaannya juga serupa. Polipropilen
lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik
terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi, dan cukup mengkilap (Syarief et
al.,1989).
Plastik propilen tidak mudah sobek atau retak. Sifat utama polipropilen
adalah ringan (densitas 900 kg/m3), permeabilitas uap air rendah dan
permeabilitas gas sedang sehingga tidak baik untuk makanan yang peka terhadap
oksigen, tembus pandang dan jernih sehingga mudah dicetak (printing).
Polipropilen dibuat melalui proses polimerisasi dengan bantuan katalisator pada
monomer propilen di bawah panas dan tekanan (Robertson, 1993). Monomer
polipropilen diperoleh dengan pemecahan secara thermal naphtha (distilasi
minyak kasar) etilen, propilen dan homologues yang lebih tinggi dipisahkan
dengan distilasi pada temperatur rendah. Dengan menggunakan katalis NattaZiegler polipropilen dapat diperoleh dari propilen (Brown, 1991). Struktur umum
polipropilen dapat dilihat pada Gambar 1.
16
CH2
CH
n
CH3
Gambar 1. Struktur umum polipropilen (Brown, 1991)
Beberapa sifat utama dari polipropilen menurut Syarief et al. (1989), antara lain:
(i) ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk
film, tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku; (ii) mempunyai kekuatan tarik lebih
besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk murni pada suhu -300C mudah
pecah sehingga perlu ditambahkan PE atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanan
terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku; (iii) lebih kaku dari PE
dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi; (iv)
permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang
peka terhadap oksigen; (v) tahan terhadap suhu tinggi sampai 1500C, sehingga dapat
dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi; (vi) titik leburnya tinggi sehingga sulit
dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang baik. Mengeluarkan benang-benang plastik
pada suhu tinggi; (vii) tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. Baik untuk kemasan
sari buah dan minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl; (viii)
pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, silken, toluene, terpentin, dan asam
nitrat kuat.
2.6.2
Kemasan Alumunium foil
Foil adalah bahan kemas dari logam, berupa lembaran alumunium yang
padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Foil mempunyai sifat
thermotis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai
bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam atau lapisan
tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan. Ketebalan dari
alumunium foil menentukan sifat protektifnya. Foil dengan ketebalan rendah
masih dapat dilalui oleh gas dan uap. Sifat-sifat alumunium foil yang tipis dapat
diperbaiki dengan memberikan lapisan plastik atau kertas menjadi foil-plastik,
foil-kertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief et al., 1989).
Alumunium foil merupakan kemasan logam yang lebih ringan daripada
baja dan memiliki daya korosif terhadap atmosfir yang sangat rendah, mudah
17
dilekuk-lekukkan sehingga dapat dibentuk sesuai dengan keinginan, tidak berbau,
tidak berasa, dan tidak beracun. Alumunium foil juga merupakan salah satu jenis
kemasan yang kedap terhadap udara, uap air, dan kedap cahaya sehingga dapat
mencegah peningkatan aw dan oksidasi. Alumunium foil memiliki sifat tahan
terhadap panas, permeabilitas yang rendah terhadap uap air dan tidak korosif.
Kemasan ini juga memiliki pori-pori yang kecil sehingga dapat menghambat
kemampuan uap air untuk menembus masuk kedalam kemasan (Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, 2003).
Alumunium foil merupakan kemasan yang dapat menghalangi cahaya dan
oksigen (penyebab lemak teroksidasi atau menjadi tengik), bau dan aroma,
kelembaban, dan bakteri masuk ke dalam makanan yang dikemas. Alumunium
foil digunakan pada makanan dan produk-produk farmasi. Bahan ini juga
digunakan untuk membuat kemasan pak yang berumur panjang (kemasan aseptik)
untuk minuman dan dairy product dengan penyimpanan tanpa pendingin.
Laminasi alumunium foil juga digunakan untuk mengemas makanan yang sensitif
terhadap oksigen dan uap air, misalnya tembakau (Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, 2003).
Alumunium foil memiliki sisi yang mengkilap dan sisi yang buram. Sisi
yang mengkilap diproduksi ketika alumunium digulung pada waktu tahap akhir.
Pada tahap akhir penggulungan, dua lembar digulung pada waktu yang sama.
Keduanya masuk pada mesin penggulung. Ketika lembaran dipisahkan, sisi
dalamnya tidak mengkilap, sedangkan sisi luarnya mengkilap. Banyak orang
percaya bahwa sisi yang mengkilap mencerminkan bagian yang menjaga panas
keluar dan menjaga panas di dalam ketika melapisi bagian luar produk
(Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003).
2.6.3
Kemasan Gelas
Gelas merupakan salah satu kemasan yang tertua. Gelas mempunyai sifatsifat yang menguntungkan sebagai bahan kemasan seperti inert (tidak bereaksi),
kuat, tahan terhadap kerusakan, serta sangat baik sebagai barier terhadap benda
padat, cair, dan gas. Kelemahan dari kemasan gelas yaitu sifatnya yang mudah
18
pecah dan kurang baik bagi produk-produk yang peka terhadap penyinaran
(ultraviolet) (Syarief,2002).
Gelas adalah padatan amorf dari suatu larutan peroksida oksida, kalsium,
natrium dan elemen lain. Bahan mentah gelas terutama adalah pasir, soda abu, dan
batu kapur yang dipilih secara hati-hati. Dalam pembuatan wadah gelas, bahan
adonan termasuk pasir, soda abu, batu kapur, dan bubuk gelas (yang dimasukkan
ke dalam adonan untuk menurunkan titik lebur), diukur jumlahnya secara teliti,
dan dipanaskan sampai suhu melebihi 2600 oF. Setelah gelas melebur dan
dibersihkan, wadah gelas dibentuk dengan cara memasukkan gelas cair ke dalam
mesin pencetak dimana pembentukkan gelas dimulai. Kemudian dipindahkan de
dalam mesin pencetak terakhir untuk ditiup menjadi bentuk akhir, didinginkan
sebentar, dan akhirnya dipisahkan dari mesin (Muchtadi, 1995). Komposisi kimia
wadah gelas komersial dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi kimia wadah gelas komersial
Komposisi kimia
Rumus kimia
Persentase
Silika
SiO2
73,000
Soda abu
Na2O
13,000
Potasium Oksida
K2O
0,440
Batu kapur
CaO
11,700
Magnesium oksida
MgO
0,190
Alumunium oksida
Al2O3
1,430
Besi oksida
Fe2O3
0,049
SO3
0,190
Belerang trioksida
Sumber: Syarief (2002)
Wadah gelas untuk bahan pangan dapat dibedakan kedalam dua bentuk,
yaitu: gelas bermulut lebar (wide mouth) dan gelas bermulut sempit (narrow
neck). Wadah gelas bermulut lebar kebanyakan digunakan untuk produk makanan
bayi, susu bubuk, buah-buahan, mentega, kacang, kopi, teh, jam, jelly, acar,
manisan, mayonais. Sedangkan, wadah gelas berleher sempit kebanyakan
digunakan untuk produk-produk cair, seperti kecap, sari buah, sirup, bumbu cair,
saus, cuka (Muchtadi, 1995).
19
Faktor yang menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya ruang
udara. Ruang kosong (head space) harus disediakan pada setiap kemasan gelas
yang diisikan dengan suatu bahan. Ruang ini diberikan untuk mengantisipasi
terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi.
Ukuran dari head space ini diusahakan tidak terlalu besar atau kecil. Bila terlalu
besar maka dapat mengakibatkan akumulasi udara pada atas kemasan gelas dan
apabila terlalu kecil proses penutupan kemasan tidak akan sempurna. Besarnya
head space yang digunakan tergantung dari bahan yang dikemas. Pada umumnya
berkisar antara 3%-5%. Namun, untuk produk-produk yang menghasilkan gas
seperti peroksida dan hipoklorit
digunakan
head space sebesar
10%
(Muchtadi,1995).
Proses penutupan merupakan bagian yang cukup penting dalam
penggunaan kemasan gelas jar. Penutupan yang rapat dapat dihasilkan karena
kontruksi leher botol memiliki ulir dan pengunci yang dapat menahan tutup secara
kuat. Tutup yang digunakan untuk menutup kemasan jar dapat terbuat dari logam
maupun plastik (Muchtadi,1995). Kemasan gelas dapat digunakan untuk jenis
bahan berasam rendah ataupun berasam tinggi, sehingga cocok digunakan untuk
mengemas produk confectionery. Perbedaan suhu di dalam dan di luar kemasan
tidak boleh lebih dari 27oC. Oleh karena itu, proses pengemasan terhadap
kemasan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan untuk menghindari keretakan
(Syarief,2002). Menurut Muchtadi (1995), keuntungan menggunakan kemasan
gelas meliputi (i) gelas bersifat inert sehingga tidak akan bereaksi dengan bahan
yang dikemas; (ii) gelas bersifat kedap dan tidak berpori; (iii) tidak berbau dan
bersih; (iv) bersifat transparan sehingga memungkinkan dapat diperiksa baik oleh
konsumen maupun produsen; (v) mudah dibuka dan ditutup kembali; (vi) dapat
dibuat dalam berbagai bentuk, ukuran, dan warna.
2.7 Umur Simpan
Umur simpan adalah selang waktu sejak barang diproduksi hingga produk
tersebut tidak layak diterima atau telah kehilangan sifat khususnya. Umur simpan
dapat didefinisikan juga sebagai waktu yang dibutuhkan oleh suatu produk pangan
menjadi tidak layak dikonsumsi jika ditinjau dari segi keamanan, nutrisi, sifat
20
fisik, dan organoleptik, setelah disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan
(Arpah dan Syarief, 2000). Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa
umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi
penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu.
Menurut Labuza dan Schmild (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi umur
simpan meliputi: (i) jenis dan karakteristik produk pangan. Produk yang
mengalami pengolahan akan lebih tahan lama dibanding produk segar. Produk
yang mengandung lemak berpotensi mengalami rancidity, sedangkan produk yang
mengandung protein dan gula berpotensi mengalami reaksi maillard (warna
coklat); (ii) jenis dan karakteristik bahan kemasan. Permeabilitas bahan kemas
terhadap kondisi lingkungan (uap air, cahaya, aroma, oksigen); (iii) kondisi
lingkungan. Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan dan
degradasi warna. Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi.
Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur
simpan makanan yang dikemas adalah sebagai berikut: (i) keadaan alamiah atau
sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan
terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal
dan fisik; (ii) ukuran kemasan dalam hubungan dengan volumenya; (iii) kondisi
atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama
transit dan sebelum digunakan; (iv) ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap
keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagianbagian yang terlipat.
Proses perkiraan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data
mengenai: (i) mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas; (ii) unsur-unsur
yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu
produk; (iii) mutu produk dalam kemasan; (iv) bentuk dan ukuran kemasan yang
diinginkan; (v) mutu produk pada saat dikemas; (vi) mutu minuman dari produk
yang masih dapat diterima; (vii) variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan;
(viii) resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang
mempengaruhi kebutuhan kemasan; (ix) sifat barrier pada bahan kemasan untuk
mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya
penurunan mutu produk (Hine, 1987).
21
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua
metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage
Studies (ASS). ESS atau sering disebut metode konvensional adalah penentuan
tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi
normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya
hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun
memerlukan waktu yang lama dan analisa parameter yang relatif banyak. Metode
ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi
penurunan mutu produk pangan. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur
diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan dapat
ditentukan umur simpan produk. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian
yang relatif singkat (1-4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang
tinggi (Herawati, 2008).
Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan
untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada
penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu : (i) pendekatan
kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang
diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air
sebagai kriteria kadaluarsa; (ii) pendekatan semi empiris dengan bantuan
persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori
kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk
pangan (Herawati, 2008).
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan.
Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan
semakin cepat. Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan pangan dalam
kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982) menggunakan pendekatan
Arrhenius. Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur
simpan, maka biasanya semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi untuk
penggunaan model Arrhenius ini misalnya:
(i) Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja
(ii) Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu
22
(iii) Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses
yang terjadi sebelumnya
(iv) Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap
Dalam
kinetika
perubahan
mutu
pangan,
umumnya
dilakukan
penyederhanaan reaksi-reaksi yang kompleks menjadi reaksi sederhana dengan
orde reaksi kenol atau kesatu. Model perubahan mutu pangan dan orde reaksi
perubahannya dapat dianalisis dengan berbagai metode, diantaranya dengan
integrasi yang dilanjutkan dengan analisis model atau fungsi dugaannya.
Pengujian atas ketepatan model atau fungsi dugaan dapat dilihat dari koefisien
determinasi (R2). Persamaan Arrhenius dapat dilihat pada persamaan (1) dan ln
atas persamaan (1) menjadi persamaan (2), dengan:
………………………………………………………………(1)
Dimana :
K
= konstanta kecepatan reaksi
Ko
= konstanta pre-eksponensial
Ea
= Energi aktivasi (KJ/mol)
R
= konstanta gas = 1.986 (kal/mol)
T
= suhu mutlak (K)
………………………………………………(2)
Ln K
-Ea/R
1/T
Gambar 2. Grafik antara nilai ln K dan 1/T dalam persamaan Arrhenius
23
Nilai umur simpan dapat dihitung dengan memasukkan nilai perhitungan
ke dalam persamaan reaksi ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi
kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh reaksi ordo nol dan satu,
sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain.
a. Reaksi Orde Nol
Penurunan mutu orde nol adalah penurunan mutu yang konstan. Tipe kerusakan
yang mengikuti kinetika reaksi orde nol adalah kerusakan enzimatis, pencoklatan
enzimatis, dan oksidasi. Persamaannya adalah sebagai berikut:
………………………………………..……………………..(3)
Integrasi terhadap persamaan (3) akan menghasilkan persamaan (5) dan umur
simpan produk dapat dihitung dengan persamaan (6):
………………………………………………….(4)
……….……………………………………….…….(5)
Pendugaan umur simpan berdasarkan reaksi orde nol adalah:
………………………………………………………………(6)
Dimana :
At = nilai A pada awal waktu t
A0 = nilai awal A
K = laju perubahan mutu
t
b.
= waktu simpan
Reaksi Orde Satu
Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti reaksi orde satu adalah ketengikan,
pertumbuhan mikroba, produksi off flavour oleh mikroba pada produk daging, ikan, dan
24
unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein, dan sebagainya. Persamaannya
adalah sebagai berikut:
...........................................................................................(7)
Integrasi terhadap persamaan (7) akan menghasilkan persamaan (9) dan umur
simpan dihitung berdasarkan persamaan (10):
…………………………………………………..(8)
………………………………………………..(9)
Pendugaan umur simpan berdasarkan reaksi orde satu adalah:
…………………………………………………….(10)
25
Download