Kajian Ekopnomi dan Ekologi Pemanfaatan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah Pesisir
Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir
Definisi wilayah pesisir hingga saat ini belum ada yang baku, namun
demikian terdapat kesepakatan umum di dunia wilayah pesisir adalah suatu
wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai
(coast line) maka wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu
batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus dengan
garis pantai (cross shore) (Dahuri et al., 1996).
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah
peralihan antara daratan dan lautan; batas ke arah darat meliputi kawasan yang
masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi
arus laut, sedangkan ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi
oleh proses-proses alamiah di darat seperti aliran air sungai, dan dampak kegiatan
manusia di darat seperti sedimentasi dan pencemaran (Dahuri et al., 1996).
Sorensen dan McCreary (1990), mengemukakan bahwa terdapat beberapa
alternatif pilihan yang dapat dijadikan acuan bagi negara-negara di dunia dalam
menentukan batasan wilayah yang tegak lurus garis pantai. Pada saat ekstrim
(tipe-1) menetapkan bahwa suatu wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan
antara daratan dan lautan yang sangat luas, ke arah laut mencakup batas terluar
dari zona ekonomi ekslusif suatu negara, yaitu 200 mil laut (320 km) dari batas
paling darat paparan benua (continental shelf), dan ke arah darat meliputi hulu
dari suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) atau pengaruh iklim lautan seperti angin
laut. Pada ekstrim lainnya (tipe-7) menetapkan, bahwa suatu wilayah pesisir
hanya merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan yang sempit, ke
arah laut meliputi batas terluar dari laut teritorial (12 mil laut dari garis pantai
pada saat surut terendah), dan ke arah darat mencakup batas paling hulu dari
geomorfologi lahan pantai; seperti hutan mangrove.
Secara ekologis, batas ke arah laut dari wilayah pesisir adalah mencakup
daerah perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah (seperti
aliran air tawar dari sungai maupun run-off) maupun kegiatan manusia (seperti
pencemaran dan sedimentasi) yang terjadi di daratan. Sementara itu, batas ke arah
darat adalah mencakup daerah daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses
kelautan, seperti jangkauan pengaruh pasang surut, salinitas air laut, dan angin
laut.
Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah
pesisir dapat ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning
zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan
keseharian (day to day management).
Batas wilayah perencanaan sebaiknya
meliputi seluruh daerah daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan)
yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan
sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas wilayah perencanaan
lebih luas dari wilayah pengaturan.
Dalam wilayah day to day management, pemerintah atau pihak pengelola
memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan
pembangunan. Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas
wilayah pengaturan (regulation zone), maka akan menjadi tanggung jawab
bersama antara instansi pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan
instansi/lembaga yang mengelola daerah hulu atau laut lepas (Dahuri et al., 1996).
Pengelolaan Wilayah Pesisir
Keunikan wilayah pesisir dan beragamnya sumberdaya yang ada,
mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara
terpadu.
Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan salah satu
syarat untuk mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Dimana
pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah
sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat
bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Selanjutnya dikatakan bahwa secara
garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu:
(1) ekologis, (2) sosial-ekonomi-budaya, (3) sosial politik, dan (4) hukum dan
kelembagaan (Bengen, 2000a).
Clark (1996), menyatakan bahwa perencanaan dan pengelolaan wilayah
pesisir terpadu adalah pengkajian sistematis tentang sumberdaya pesisir dan laut
dan potensinya, alternatif-alternatif pemanfaatannya serta kondisi ekonomi dan
sosial untuk memilih dan mengadopsi cara-cara pemanfaatan pesisir yang paling
baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus mangamankan sumberdaya
tersebut untuk masa depan
Sedangkan Dahuri et al. (1996), mendefinisikan konsep pengelolaan
wilayah terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang
melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan
secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan,
dimana keterpaduan dalam konsep ini mengandung tiga dimensi, yaitu sektoral,
bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.
Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas,
wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat
pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintah mulai
dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai tingkat pusat (vertical
integration).
Keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan
interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu:
ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar
karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam
yang terjalin secara kompleks dan dinamis.
Bengen (2000a), mengemukakan alasan pentingnya pengelolaan wilayah
pesisir : (1) secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional)
baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir
dengan lahan atas atau laut lepas, (2) dalam suatu kawasan pesisir, biasanya
terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang
dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan, (3) dalam suatu kawasan
pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang
memiliki keahlian dan preferensi bekerja yang berbeda, (4) secara ekologis dan
ekonomis pemanfaatan tunggal kawasan umumnya sangat rentan terhadap
perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha, dan
(5) kawasan pesisir pada umumnya merupakan milik bersama (common property
resources) yang dapat dimanfaatkan semua orang (open access).
Dampak Pemanfaatan Sumberdaya Wilayah Pesisir
Sorensen et al. (1990), mengemukakan bahwa dalam setiap pemanfaatan
sumberdaya
di wilayah pesisir dan lautan
dapat saling mempengaruhi dan
menimbulkan dua jenis dampak terhadap lingkungan yaitu dampak positif dan
dampak negatif.
Dampak negatif yang terjadi akibat pemanfaatan sumberdaya pesisir
adalah sebagai berikut : (1) kerusakan dan degradasi sumberdaya yang ada di
wilayah pesisir. Pemanfaatan sumberdaya alam akan mengakibatkan kerusakan.
Tingkat kerusakan bergantung pada upaya yang dilakukan untuk memulihkan atau
menanggulangi dan mengendalikan kerusakan; (2) pencemaran tanah, air dan
udara.
pesisir
Penambangan, pengangkutan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah
dapat mencemari tanah, air dan udara.
Pencemaran tersebut akan
mengganggu kelangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia di kawasan
tersebut; (3) konflik sosial. Dapat terjadi karena kepentingan manusia terganggu.
Kegiatan pertambangan misalnya cukup mengganggu kepentingan manusia,
bukan saja akibat pencemaran dan bising yang dirasakan masyarakat tetapi juga
kerusakan jalan atau mungkin desa menjadi terisolir.
Sebaliknya kualitas lingkungan juga menentukan kelangsungan suatu
kegiatan, artinya lingkungan yang rusak dapat menyebabkan suatu usaha tidak
dapat beroperasi, misalnya pemanfaatan sumberdaya alam hutan mangrove untuk
usaha tambak. Pembangunan tambak hendaknya tidak membabat habis hutan
mangrove, tetapi mempertahankan sebagian hutan mangrove sebagai jalur atau
sabuk hijau (greenbelt). Dalam hubungannya dengan tambak, sabuk hijau antara
lain berfungsi untuk mencegah terjadinya abrasi daratan pantai oleh gelombang
air laut. Dengan dipertahankannya hutan mangrove, maka tambak akan aman dari
abrasi gelombang laut.
Hutan Mangrove
Deskripsi Ekosistem Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan suatu formasi hutan yang berperan sebagai
penyambung (interface) antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan karena
peranannya inilah hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang unik
(Hadi et al., 2001).
Mangrove adalah suatu ekosistem di wilayah pesisir
yang mempunyai
produktivitas tinggi (Murachman et al., 2000). Merupakan ekosistem pantai yang
selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air
laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim.
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin, tumbuh pada substrat
tanah berlumpur/berpasir dan variasinya, serta salinitas yang bervariasi.
Selanjutnya Bengen (2001a), menyatakan hutan mangrove merupakan
komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesis pohon
mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai
berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan
supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar
dan arus pasang surut yang kuat, sehingga banyak ditemukan pantai-pantai teluk
yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung.
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang
mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Besarnya
peranan hutan mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui
dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di
tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap hutan
mangrove tersebut (Sugiarto dan Ekariyanto, 1996).
Karakteristik Hutan Mangrove
a. Zonasi Hutan Mangrove
Jenis-jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona-zona atau jalurjalur. Berdasarkan hal tersebut, hutan mangrove dapat dibagi kedalam beberapa
mintakat (Zona), yaitu Sonneratia, avicennia (yang menjorok ke laut),
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops dan asosiasi Nypa.
Pembagian zona tersebut mulai dari yang paling kuat mengalami pengaruh
angin dan ombak, yakni zone terdepan yang digenangi air berkadar garam tinggi
dan ditumbuhi pohon pioner (misalnya Sonneratia, Sp.) dan di tanah lebih padat
tumbuh Avicennia. Makin dekat ke darat makin tinggi letak tanah dan dengan
melalui beberapa zone peralihan akhirnya sampailah pada bentuk klimaks.
Pada endapan seperti lumpur yang kokoh, lebih umum terdapat Avicennia
marina, sedang pada lumpur yang lebih lunak diduduki Avicennia alba.
Dibelakang zone-zone ini Bruguiera cylindrica tercampur dengan Rhizophora
apiculata, R.. mucronata, B. Parviflora, dan Xylocarpus granatum (yang puncak
tajuknya dapat mencapai 35-40 meter). Hutan mangrove yang paling jauh dari
laut sering merupakan tegakan murni.
Zonasi tersebut berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya tergantung dari
keadaan tempatnya (Hadi et al., 2001).
b. Habitat
Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat ekosistem mangrove
mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam.
Pasang surut air laut
menyebabkan terjadinya pergoyangan beberapa faktor lingkungan yang besar,
terutama suhu dan salinitas. Karena itu hanya jenis-jenis tumbuhan dan binatang
yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor fisik
itu dapat bertahan dan berkembang di hutan mangrove.
Kenyataaan ini
menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil saja, akan tetapi
kepadatan populasi masing-masing jenis umumnya besar (Murachman et al.,
2000).
Meskipun habitat hutan mangrove bersifat khusus, setiap jenis biota laut di
dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan masing-masing mempunyai
relung khusus, hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan
bahkan zonasi, sehingga komposisi jenis berbeda dari satu tempat ke tempat lain.
Faktor utama yang mengakibatkan adanya “Ecological Preference”
berbagai jenis adalah kombinasi faktor-faktor tersebut berikut ini :
1. Tipe tanah
Keras atau lembek, kandungan pasir dan liat dalam berbagai perbandingan
2. Salinitas
Variasi harian dan nilai rata-rata pertahun secara kasar sebanding dengan
frekuensi, kedalaman dan jangka waktu genangan.
3. Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak
4. Kombinasi perkecambahan dan
pertumbuhan
semai dalam hubungannya
dengan amplitudo ekologi jenis-jenis terhadap tiga faktor di atas (Santoso
dalam Hadi et al., 2001).
Fungsi Ekologis Hutan mangrove
Fungsi ekologis hutan mangrove (Bengen, 2001b) :
• Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dan abrasi,
penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air
permukaan.
• Sebagai penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan
dahan pohon mangrove yang rontok.
Sebagian dari detritus ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus, dan
sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang
berperan dalam penyuburan perairan.
• Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding
ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan
(ikan, udang, kerang-kerangan, dsb) baik yang hidup di perairan pantai
maupun lepas pantai.
Pemanfaatan Hutan Mangrove
a. Arang
Jenis tumbuhan mangrove yang baik untuk bahan baku arang adalah dari anggota
famili Rhizophoraceae (Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera
gymnorrhiza).
Di Asia arang kayu mangrove terkenal dengan kualitasnya yang bagus
setelah oak (Jepang) dan arang onshu (Cina).
Produksi arang mangrove Indonesia pada tahun 1998 kira-kira 330.000 ton,
sebagian besar di ekspor ke jepang dan Taiwan melalui Malaysia dan Singapura.
Harga FOB ekspor arang yaitu : US$ 1.000/10 ton, sedangkan harga pasar lokal
cukup bervariasi Rp.350,- sampai Rp. 400,-/kg (Batu Ampar- Kalimantan barat).
Jumlah ekspor arang mangrove pada tahun 1993 adalah 83.000.000 Kg dengan
harga US$ 13.000.000 (Rp. 105.214.000,-) (Santoso dalam Hadi et al., 2001)
b. Kayu Bakar
Jenis tumbuhan yang bagus untuk arang juga sangat baik untuk kayu bakar,
karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Namun demikian jenis lainnya
juga dimanfaatkan, seperti ; Api-api (Avicennia spp), pidada/bogem (Sonneratia
sp).
Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp. 13.000,-/m3 (Jawa Timur), di Segara
Anakan-Cilacap harganya Rp. 8.000,-/m3 (kayu campuran, 1998). Setiap m3 kayu
bakar mangrove cukup untuk memasak selama 1 bulan kehidupan 1 keluarga
(orangtua dan 3 anak). Satu batang kayu bakar mangrove dengan diameter 8 cm
dan panjang 50 cm cukup untuk satu kali masak nasi untuk 5 orang angggota
keluarga. (Santoso dalam Hadi et al., 2001).
c. Bahan Bangunan
Jenis bahan bangunan yang sering menggunakan kayu mangrove
(Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata) adalah
kaso, papan, tiang pancang.
Pemukiman penduduk di daerah pesisir sering menggunakan kayu mangrove.
Harga kaso Rp. 1.500,-/batang berdiameter 4-5 cm dengan panjang 3-4 meter
(Santoso dalam Hadi et al., 2001).
d. Chip
Pada umumnya hutan mangrove yang dialokasikan untuk produksi chip
dikelola dalam bentuk konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sistem silvikultur
yang dipergunakan dalam melakukan pengusahaan hutan mangrove untuk
produksi chip adalah SK. Dirjen Kehutanan Nomor 60/Kpts/DJ/I/1978 dengan
sistem tebang pilih, rotasi 30 tahun, pohon yang ditebang berdiameter > 10 cm,
ditinggalkan jumlah pohon induk 40 batang/ha (diameter > 20 cm), melakukan
penanaman pada bekas tebangan, mempertahankan green belt atau sempadan
pantai/sungai/anak sungai.
Pada tahun 1998, jumlah chip yang diproduksi lebih kurang 250.000 ton
yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang.
Harga chip di pasar
internasional lebih kurang US$ 40/ton. Chip mangrove mampu bersaing dengan
chip lainnya (Acassia mangium), karena harganya lebih murah (biaya transportasi
lewat air lebih murah). Untuk dapat memproduksi chip secara lestari perlu luas
hutan mangrove yang cukup luas dengan potensi yang baik (Santoso dalam Hadi
et al., 2001).
e. Tanin
Tanin adalah ekstrak dari kulit kayu tertentu, seperti Rhizophora apiculata,
Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum. Konsentrasi ekstrak cair biasa
disebut “Katch” diekspor dalam jumlah besar dan digunakan untuk menyamak
produk kulit (sepatu, tas dan lain-lain). Bahan itu sekarang tidak diekspor lagi,
karena diganti dengan bahan-bahan kimia.
Masyarakat nelayan di Indonesia sering menggunakan kulit kayu mangrove
untuk bahan baku pewarna jaring, dengan cara mencelupkan pada cairan hasil
rebusan kulit kayu mangrove.
Di Okinawa Jepang, tanin mangrove digunakan dalam industri kerajinan
lokal sebagai bahan pencelup kain (dikenal dengan “pencelup mangrove-zome”)
dengan harga 2-10 ribu yen ( Rp. 140.000,- - Rp. 700.000,-) (Santoso dalam Hadi.
et al., 2001).
f. Nipah
Tanaman nypah (Nypa fructicans) adalah jenis tanaman dalam gugusan
ekosistem mangrove yang banyak dimanfaatkan masyarakat setempat, yaitu:
daunnya untuk atap rumah (tahan sampai 5 tahun), daun yang muda (pucuk/janur)
merupakan bahan baku daun rokok, buah yang masih muda dapat dimakan
langsung (es buah nipah, manisan buah nipah, atau dimakan langsung), buah yang
tua (dipergunakan sebagai bahan baku kue wajit), malainya dapat dimanfaatkan
sebagai penghasil nira atau gula nipah.
Harga atap daun nipah di Samarinda-Kaltim (Rp. 600,-/keping), CilacapJawa Tengah (Rp. 300,-/keping), di Provinsi Riau (Rp. 200,-/keping). Harga gula
nipah (rasanya agak masin) di Cilacap sekitar Rp. 2.000,-/Kg (November 1999)
(Santoso dalam Hadi et al., 2001).
g. Obat-Obatan
Beberapa jenis tumbuhan mangrove dapat digunakan sebagai obat
tradisional.
Air rebusan Rhizophora apiculata dapat digunakan sebagai
astringent, Kulit Rhizophora mucronata untuk menghentikan pendarahan, air
rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik untuk luka, air rebusan
Xylocarpus granatum dicampur dengan tepung beras sebagai bedak muka anti
gatal, dsb. (Santoso dalam Hadi et al., 2001).
Dampak Pemanfaatan Hutan mangrove
Pemanfaatan mangrove yang tidak memperhatikan kelestariannya akan
memberikan dampak yang fatal terhadap lingkungan. Dampak kegiatan akibat
pengelolaan mangrove dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ikhtisar Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Mangrove
Kegiatan
ƒ Tebang habis.
ƒ Pengalihan aliran air tawar,
misalnya pada pembangunan
irigasi.
ƒ Konversi menjadi lahan pertanian,
perikanan, pemukiman, dan lainlain.
ƒ Pembuangan sampah cair.
ƒ Pembuangan sampah padat.
ƒ Pencemaran minyak tumpahan.
ƒ Penambangan
dan
ekstraksi
mineral, baik di dalam hutan
maupun di daratan sekitar hutan
mangrove.
Sumber : Bengen ( 2001a)
Dampak potensial
ƒ Berubahnya komposisi tumbuhan
mangrove.
ƒ Tidak
berfungsinya
daerah
mencari makanan dan pengasuhan.
ƒ Peningkatan
salinitas
hutan
mangrove.
ƒ Menurunnya tingkat kesuburan
hutan.
ƒ Mengancam regenerasi stok ikan
dan udang di perairan lepas pantai
yang
memerlukan
hutan
mangrove.
ƒ Terjadi pencemaran laut oleh
bahan pencemar yang sebelumnya
diikat
oleh
substrat
hutan
mangrove.
ƒ Pendangkalan perairan pantai.
ƒ Erosi garis pantai dan intrusi
garam.
ƒ Penurunan kandungan oksigen
terlarut, timbul gas H2S.
ƒ Kemungkinan
terlapisnya
pneumatofora yang mengakibatkan
matinya pohon mangrove
ƒ Kematian pohon mangrove.
ƒ Kerusakan
total
ekosistem
mangrove, sehingga memusnahkan
fungsi ekologis hutan mangrove
(daerah
mencari
makanan,
asuhan).
ƒ Pengendapan sedimen ysng dapat
mematikan pohon mangrove
Ekosistem Tambak
Ekosistem tambak merupakan salah satu ekosistem buatan di wilayah
pesisir. Keberadaan areal pertambakan pada umumnya merupakan hasil konversi
dari hutan mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak dapat
dilakukan melalui dua cara yaitu sistem tambak terbuka dan sistem hutan tambak
(Nur, 1997).
Sistem tambak terbuka adalah suatu sistem pertambakan dimana hutan
mangrove seluruhnya ditebang, sehingga areal pertambakan terbuka dari
lingkungannya, baik lingkungan laut maupun lingkungan darat. Sistem ini secara
teknis praktis dilakukan, tetapi secara ekologi sangat merugikan lingkungannya
karena akan mengakibatkan terganggunya mata rantai utama jaringan makanan
biota akuatik dan dapat menimbulkan pencemaran.
Hutan tambak adalah suatu pola mempertahankan hutan mangrove dalam
daerah pertambakan. Bentuk dari hutan tambak dapat berupa sistem tumpang
sari/empang parit (silvofishery) atau tambak terbuka di belakang sabuk hijau
mangrove. Sistem tambak tumpang sari adalah suatu sistem pertambakan yang
mengkombinasikan konservasi hutan mangrove dengan pembukaan lahan tambak
(Nur, 1997).
Rasyid dalam Nur (1997), mendefinisikan tambak tumpang sari sebagai
suatu penanaman yang dipakai dalam rangka merehabilitasi hutan mangrove.
Selanjutnya dikatakan tambak tumpang sari memberikan tiga keuntungan, yaitu
(1) mengurangi biaya penanaman, (2) meningkatkan pendapatan masyarakat
sekitar hutan mangrove, (3) menjamin kelestarian hutan mangrove. Dari segi
ekologis, tambak tumpang sari akan menjamin kesinambungan fungsi hutan
mangrove, sehingga terdapat keseimbangan antara ekosistem terestrial dan
ekosistem laut. Menurut Sukardjo dalam Nur (1997), keuntungan tambak
tumpang sari secara sosial ekonomi adalah (1) menyediakan kesempatan kerja
bagi masyarkat, (2) meningkatkan pendapatan masyarakat, (3) peningkatan gizi
masyarakat, (4) mempertahankan ekosistem mangrove, (5) bagi pihak pemerintah
biaya pemeliharaan dan penanaman relatif kecil.
Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Kesesuaian Lahan Tambak
Sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang
khusus. Informasi tersebut dijabarkan dari interpretasi data yang mewakili secara
simbolis dari unsur-unsur di muka bumi. Representasi muka bumi secara simbolis
adalah peta-peta maupun citra yang direkam melalui sensor. Oleh karena itu, SIG
dikatakan juga sebagai suatu sistem yamg menyangkut informasi yang mengacu
pada lokasi di muka bumi (Rais, 1996) dan menurut Aronoff (1989), SIG
merupakan suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai empat kemampuan
untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu: pemasukan data, pengelolaan
data (penyimpanan dan pemanggilan), pemanipulasian dan analisis data, serta
keluaran (output).
Berikut ini penggambaran komponen-komponen yang ada
dalam SIG.
Sumber data yang diperlukan untuk proses dalam SIG dapat dibagi
menjadi tiga kategori yaitu: (1) data lapangan. Data ini diperoleh dari pengukuran
di lapangan seperti pH, salinitas dan lain sebagainya; (2) data peta. Data ini
merupakan informasi yang telah terekam pada peta kertas atau film, dikonversikan
ke dalam bentuk digital, dan bila terekam dalam bentuk peta maka tidak
diperlukan lagi data lapangan, kecuali untuk pengecekan kebenarannya; (3) data
citra penginderaan jauh. Citra penginderaan jauh yang berupa foto udara atau
radar dapat diinterpretasikan terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk
digital, sedangkan citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk
digital dapat langsung digunakan setelah dilakukan koreksi (Paryono, 1994).
Sistem Informasi Geografi (SIG)
Sistem Pengelolaan Basis Data
(Data Base Management System)
Basis Data Spasial
Masukan
(Input)
Penyimpanan
(Storage)
• Manipulasi
• Analisis
• Permodelan
(Modelling)
Gambar 1. Komponen Sistem Informasi Geografis
Penyajian
(Output)
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknik berbasis
komputer yang dapat menampilkan dan mengelola data spasial, data yang
mengandung lokasi geografi dari kenampakan-kenampakan bumi, yang disertai
dengan informasi tertentu yang menggambarkan keadaan permukaan bumi
tersebut, dari fenomena geografis untuk dianalisa guna keperluan pengambilan
keputusan. Sajian informasi yang dihasilkan berupa kajian data spasial secara
digital, sehingga dapat membantu pengguna jasa melakukan analisis berbagai
gejala keruangan secara tepat guna.
Menurut Purwadi (1998), SIG dapat
diaplikasikan untuk pengaturan tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan,
misalnya untuk menduga potensi wilayah pariwisata, potensi wilayah perikanan
tangkap, potensi wilayah budidaya tambak dan budidaya laut, dan potensi wilayah
pembangunan pelabuhan. Selain itu juga bisa digunakan untuk melihat perubahan
penggunaan lahan di wilayah pesisir.
Parameter Kesesuaian lahan
Kesesuaian lahan pesisir untuk pertambakan secara umum ditentukan oleh
kualitas air, kualitas tanah dan daya dukung lahan pantai. Faktor-faktor tersebut
selain berpengaruh terhadap produktivitas tambak dan teknologi yang dapat
diterapkan di tambak, juga sebagai faktor pembatas.
Untuk kualitas air, pemerintah telah menetapkan mutu air untuk kebutuhan
budidaya biota laut melalui Keputusan Mentri Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Nomor : 02/MEN-KLH/1988.
Poernomo (1991), secara spesifik
menentukan persyaratan kualitas air, kualitas tanah dan daya dukung lahan pantai:
Tabel 2. Kesesuaian Lahan untuk Lokasi Pertambakan Berdasarkan
Kandungan Unsur Hara dan Fisika Tanah
No.
Parameter
Nilai
1.
Tekstur
Liat berpasir
2.
PH
6,0 – 7,0
3.
Bahan organik
1,67 –7,00 (C organik 4 – 20%)
4.
Karbon
3–5%
5.
Nitrogen
0,4 – 0,7 % (N total > 20 mg/l)
6.
Kalsium
5,0 – 20,0 me/100 g (>1.200 mg/l)
7.
Magnesium
1,5 – 8,0 me/100g (>500 mg/l)
8
Kalium
0,5 – 1,0 me/100g (>500 mg/l)
9.
Natrium
0,7 – 1,0 me/100g
10.
Fosfor
30 – 60 mg/l
11.
Pirit
< 2%
Sumber : Poernomo, 1991
Tabel 3. Tolak Ukur dan Daya Dukung Lahan Pantai Untuk Pertambakan
Daya Dukung
Tolak Ukur
Tinggi
1. Tipe pantai
Terjal,
Sedang
karang Terjal,
berpasir, terbuka
Rendah
karang Sangat
berpasir
landai,
atau berlumpur
sedikit berlumpur, tebal,
terbuka
berupa
teluk
atau
laguna
2. Tipe grs pantai Konsistensi
tanah stabil
Konsistensi tanah Konsistensi
stabil
tanah
sangat
stabil
3. Arus perairan
Kuat
Sedang
4.Amplitudo
11 – 12 dm
8 – 11 dm dan 21 < 8 dm dan >
pasang
surut
Lemah
– 29 dm
29 dm
tanah
5. Elevasi
Dapar
dicari Dapat
dicari Dibawah rataan
cukup pada saat cukup pada saat surut terendah
rataan
pasang pasang tinggi, dan
tinggi, dan dapat dapat dikeringkan
dikeringkan total total
pada
pada saat rataan surut rendah
surut rendah
saat
6. Kualitas tanah
Tekstur
sandy Tekstur
sandy Tekstur lumpur
clay, sandy clay clay, sandy clay atau
loam,
lumpur
tidak loam, kandungan pasir,
bergambut, tidak pirit rendah
bergambut,
berpirit
kandungan pirit
tinggi
7. Air tawar
Dekat
dengan
sungai Dekat
sungai Dekat
sungai
mutu dengan mutu dan tetapi
tingkat
dan jumlah air jumlah
memadai
air siltasi
memadai
tinggi
atau
air
bergambut
8. Sabuk hijau
Memadai
Memadai
Tipis
tanpa
sabuk hijau
9. Curah hujan
< 2.000 mm
2.000 – 2.500 mm
> 2.500 mm
Sumber : Poernomo, 1991.
Evaluasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir
Analisis manfaat dan biaya (Cost Benefit Analysis-CBA) merupakan salah
satu alat (tool) dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir. Menurut Barber
dalam Barton (1994), terdapat tiga kategori pendekatan penilaian ekonomi
sumberdaya wilayah pesisir, yaitu :
(1)
Impact analysis, yaitu penilaian
kerusakan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan pada wilayah pesisir, khususnya
berupa dampak lingkungan, (2) Partial valuation, yaitu suatu penilaian alternatif
suatu sumberdaya, yang bertujuan untuk mendapatkan pilihan terbaik dalam
pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir, dan (3) Total valuation, yaitu penilaian
ekonomi secara total dari ekosistem pesisir.
Menurut Munasinghe and Lutz
dalam Barton (1994) dikatakan ada 4 (empat) kriteria yang digunakan dalam
evaluasi kebijakan, yaitu (1) Net Present Value (NPV), (2) Internal Rate of Return
(IRR), (3) Benefit Cost (BC). CBA banyak digunakan dalam partial valuation
bertujuan untuk memilih alternatif terbaik dalam pemanfaatan sumberdaya
wilayah pesisir.
Menurut Hufschmidt dalam Fahrudin (1996), terdapat sejumlah pendekatan
terhadap analisis dampak pada sistem alami sebagai berikut :
a) Evaluasi kualitatif hubungan empiris, analisisnya hanya menggunakan arah
dari pengaruh yang diketahui atau hanya tergantung pada asumsi ekologis yang
kuat karena kurangnya ketersediaan data.
b) Bentuk CBA yang mencakup identifikasi 2 (dua) atau (3) sumberdaya komersil
dan interaksi pemanfaatannya, serta mendesain strategi pengelolaan optimal
untuk satu atau seluruh pemanfaatannya.
c) Bentuk CBA yang mencakup prosedur penilaian utama dari pemanfaatan
sumberdaya secara tradisional. Dalam penerapannya akan menjadi agak rumit
bila terdapat banyak barang-barang yang tidak diperdagangkan, bila harga
lokal barang-barang tersebut tidak sesuai dengan nilainya atau bila terjadi
penyesuaian sosial ekonomi yang rumit dalam substitusi antar barang.
d) Bentuk CBA yang mencakup analisis yang lebih luas dari barang-barang dan
jasa-jasa utama yang tidak dan dapat diperdagangkan dalam wilayah tertentu.
Penggunaan
CBA
dalam
bentuk
yang
paling
rumit
adalah
untuk
mengembangkan strategi pembangunan optimal dari seluruh komponen
sumberdaya.
e) Cakupan yang paling luas adalah menangkap seluruh manfaat dan biaya tanpa
peduli dari mana asalnya. Paling sesuai bila kontribusi investasi atau kebijakan
mencakup yang berasal dari luar negeri.
Dixon dan Hufscmidt dalam Barton (1994), pengukuran manfaat dan biaya
dalam analisis ekonomi lingkungan secara sederhana dirumuskan sebagai berikut:
NPV = Bd + Be – Cd – Ce – Cp
Dimana : NPV = Nilai sekarang bersih
Bd = Manfaat langsung
Be = Manfaat eksternalitas atau lingkungan
Cd = Biaya langsung
Ce = Biaya eksternalitas atau lingkungan
Cp = Biaya perlindungan lingkungan
Dalam pendekatan total valuation dilakukan penilaian ekonomi secara
menyeluruh dari sumberdaya pesisir adalah Nilai Ekonomi Total (Total Economic
Value – TEV), merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan (Use value) dan nilai
non-pemanfaatan total (Non Use value). Nilai pemanfaatan total adalah jumlah
dari total penggunaan langsung dan tak langsung serta imbalan resikonya. Nilai
non-pemanfaatan terdiri dari nilai kuasi pilihan (Quasi Option value), nilai waris
(Beque Value) dan nilai keberadaan (Existence Value).
Bell dan Cruz Trinidad dalam Fauzi (1999), menghitung aspek manfaat dan
biaya (benefit and cost) baik secara ekonomi maupun secara ekologis terhadap
dua strategi yang dihadapi pemerintah Equador, yakni: (1) konservasi mangrove
dan (2) eksploitasi yang lestari. Tujuan yang ingin dicapai dari studi mereka
adalah bagaimana memperoleh manfaat bersih (net benefit) yang maksimum
(Total Economic Value) dengan kendala ketersediaan lahan, tenaga kerja,
ketersediaan benur, dan permintaan terhadap benur, dan permintaan terhadap
produk (demand). Selanjutnya dikatakan dalam menganalisis TEV, membagi
manfaat dan biaya dari potensi kegunaan mangrove kedalam tiga komponen yakni
konservasi, kelestarian eksploitasi dan konversi.
Menurut Dahuri dalam Paryono (1999), dalam pelaksanaan penilaian ekonomi
suatu wilayah pesisir dan laut untuk habitat pesisir dan laut pada dasarnya terdiri
dari 3 (tiga) langkah utama, yaitu (1) identifikasi terhadap fungsi-fungsi dan
manfaat dari keragaman hayati, (2) menilai fungsi-fungsi dan manfaat dalam
bentuk uang (secara moneter), dan (3) menilai total keuntungan bersih dari
seluruh fungsi dan manfaat ekosistem
Download