akbp dr. adang oktori, s.h.,m.h

advertisement
KRIMINALISASI NOTARIS
AKBP DR. ADANG OKTORI, S.H.,M.H
Istilah kriminalisasi mulai populer dipergunakan dan diperbincangkan ketika pada
tahun 2009 Bareskrim Polri melakukan penyidikan terhadap 2 pimpinan KPK Bibid Samad
Riyanto dan Chandra M. Hamzah. Polri dianggap terlalu memaksakan penyidikan tanpa ada
kejelasan perkara dan buktinya, sehingga diangap mengkriminalisasi KPK. Bahkan pada
saat yang bersamaan muncul juga istilah “cicak vs buaya” yang menggambarkan seolaholah telah terjadi pertarungan antara KPK yang digambarkan sebagai cicak dan Polri yang
digambarkan sebagai buaya.
Sejak penyidikan oleh Bareskrim tersebut, istilah kriminalisasi menjadi bahasa baku di
dalam dunia hukum, bahkan banyak yang mengaku dirinya sebagai pakar hukum membuat
batasan tentang kriminalisasi, namun selalu dikaitkan dengan tindakan penyidikan yang
salah tanpa prosedur sesuai aturan yang berlaku dan dipaksakan, seolah-olah penyidikan
dilakukan tanpa didukung alat bukti.
Notaris juga ikut-ikutan menggunakan istilah kriminalisasi dalam pengertian yang
salah,
pada 30 Oktober 2014 ratusan Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Agung, dengan
menggunakan kaos putih dengan tulisan di dada “Stop Kriminalisasi Notaris/PPAT” dan
membawa spanduk dengan tulisan yang sama. Para pendemo berorasi menyampaikan
aspirasinya menolak kriminalisasi yang dialami sejumlah
notaris, antara lain Notaris
Theresia Pontoh yang diajukan ke depan siding Pengadilan Negeri Jayapura Papua dengan
dakwaan menggelapkan sertifikat berdasarkan Pasal 372 KUHP.
Untuk dapat memahami secara benar judul di atas, kita perlu memahami terlebih
dahulu apa pengertian “kriminalisasi” dan siapa itu “Notaris”. Apa sebenarnya makna atau
pengertian “kriminalisasi” ?. Istilah kriminalisasi berasal dari kata dasar kriminal, di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata kriminal diartikan “berkaitan dengan kejahatan
1
(pelanggaran hukum) yg dapat dihukum menurut undang-undang, pidana”. Sedangkan
kriminalisasi (yang berasal dari serapan Bahasa Inggris “criminalization” ) dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ”proses yang memperlihatkan perilaku yg
semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai
peristiwa pidana oleh masyarakat”.
Kata “criminalization”
dalam Black’s Law Dictionary (Bryan Garner, 2004. 402)
diartikan : “The act or an instance of making a previously lawful act criminal, usually by
passing a statute” (tindakan atau cara membuat perbuatan yang awalnya tidak melawan
hukum menjadi tindakan kriminal, biasanya dengan mengeluarkan regulasi atau undangundang). Dalam kamus hukum Webster’s New World Law Dictionary (Susan Ellis Wild,
2006), criminalization diartikan :”To make a particular conduct or omission a crime and to
establish penal sanction for it” (membuat tindakan tertentu atau tidak melakukan tindakan
tertentu sebagai tindakan kriminal dan memberikan sanksi pidana atas tindakan tersebut).
Mencermati pengertian kriminalisasi/criminalization dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia maupun dalam kamus hukum di atas sudah sangat jelas, bahwa kriminalisasi
berkaitan dengan penetapan perbuatan nyata atau tidak melakukan perbuatan atau
tindakan apapun yang pada awalnya merupakan perbuatan yang sah dan/atau boleh
dilakukan atau bukan merupakan tindak pidana atau bukan merupakan tindakan kriminal,
kemudian dikualifikasikan sebagai tindak pidana berdasarkan peraturan perundangundangan. Istilah kriminalisasi ditujukan pada perbuatan, tidak dimaksudkan terhadap
subyek hukumnya, baik subyek hukum perorangan maupun korporasi/institusi. Istilah
kriminalisasi juga tidak berkaitan dengan proses penyidikan dan penetapan seseorang
sebagai tersangka serta tidak berkaitan dengan proses penuntutan dan pemeriksaan
dihadapan sidang pengadilan.
Penjelasan di atas menunjukkan, bahwa penggunaan istilah kriminalisasi yang saat ini
banyak dipergunakan di masyarakat dan pers adalah pengertian kriminalisasi yang salah
dan tidak sesuai dengan pengertian yang sebenarnya. Untuk itu harus ada perubahan
pada pemikiran masyarakat untuk tidak lagi menggunakan istilah kriminalisasi secara
salah. Pengertian kriminalisasi harus dikembalikan pada pengertian yang sebenarnya,
2
bukan dikonotasikan dengan proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang
pengadilan yang dipaksakan. Kriminalisasi hanya berkaitan dengan suatu perbuatan bukan
berkaitan dengan subyek hukum, baik perorangan, korporasi maupun lembaga, dengan
demikian penyebutan “Kriminalisasi KPK”, “Kriminalisasi Notaris” adalah istilah yang sangat
keliru, oleh karena itu harus diluruskan agar tidak terjadi pemahaman yang salah pada
masyarakat.
Kata kedua yang harus dipahami adalah Notaris, siapakah mereka ini ?. Di dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, “Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan
undang-undang lainnya.”
Di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maupun dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, pada Pasal 15 diatur tentang wewenang Notaris, Pasal 16
mengatur tentang Kewajiban Notaris dan Pasal 17 mengatur tentang Larangan Notaris.
Konsekuensi pelanggaran terhadap wewenang, kewajiban dan larangan tersebut
diselesaikan secara administrasi dengan memberikan sanksi berupa : a. teguran lisan; b.
teguran tertulis; c. pemberhentian sementara; d. pemberhentian dengan hormat; atau e.
pemberhentian dengan tidak hormat, bukan melalui penyelesaian pidana. Hal ini
menunjukkan tidak ada kriminalisasi atas perbuatan Notaris dalam melaksanakan
pekerjaannya yang tersebut dalam Pasal 15 dan pasal lainnya. Sehingga sangat keliru jika
ada yang beranggapan telah terjadi kriminalisasi Notaris hanya karena ada proses
penyidikan terhadap Notaris.
Kedudukan dan tugas Notaris sudah diatur sangat jelas dalam Undang-Undang No.
30 Tahun 2004 maupun dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014. Dalam membuat akta
otentik tugas Notaris hanya berfungsi mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki
dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. Apabila dalam
pembuatan akta otentik tersebut para pihak menunjukkan dokumen pendukung, maka
3
Notaris tidak wajib menyelidiki secara materiil dokumen dan hal-hal yang dikemukan para
penghadap Notaris (vide. Putusan MA No. 702 K/Sip/1973).
Yurisprudensi MA RI tersebut menegaskan, apabila terjadi kesalahan yang
menyangkut isi akta karena dokumen pendukung yang diajukan oleh para penghadap
tidak benar isinya, Notaris tidak dapat dipersalahkan membuat akta otentik palsu,
melanggar Pasal 264 KUHP ayat (1) angka 1e KUHP.
Apa yang diatur dalam undang-undang tentang jabatan Notaris dan apa yang
disebutkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI sudah sangat jelas, Notaris memiliki
payung hukum yang kuat, sehingga Notaris tidak perlu kuatir akan dipaksakan untuk
dipidanakan, sepanjang apa yang dilakukan masih dalam lingkup pekerjaannya dan sesuai
peraturan perundang-undangan, kecuali terdapat indikasi tindakan perbuatan lain diluar
yang diatur dalam undang-undang Jabatan Notaris yang dikategorikan tindak pidana.
Apabila terhadap seorang Notaris dilakukan pemeriksaan atau penyidikan dan
dilakukan upaya paksa oleh penyidik atas dasar laporan dari masyarakat, Notaris tidak
dapat menilai tindakan penyidik merupakan kriminalisasi Notaris. Penyidik tidak mungkin
untuk menolak laporan yang diajukan oleh masyarakat, apalagi dalam penyampaian
laporannya disertai dengan bukti-bukti yang memerlukan kebenarannya dalam suatu
penyelidikan dan penyidikan. Apabila Notaris berpendapat apa yang menjadi obyek
penyidikan masuk dalam lingkup perbuatan yang telah diatur dalam undang-undang
jabatan Notaris, maka Notaris bisa “melawan” tindakan penyidik dengan mengajukan
permohonan pra peradilan. Setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor :
21/PUU-XII/2014 lingkup pra peradilan semakin luas, selain tentang penangkapan,
penahanan dan penghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, pra
peradilan meliputi juga penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Sangat bijak
dan tidak menimbulkan masalah baru yang berkepanjangan jika setiap permasalahan
hukum diselesaian sesuai aturan dan prosedur hukum yang benar, bukan dilakukan
dengan cara menggelar demo atau menggelar forum diskusi yang bisa melahirkan
pernyataan yang sifatnya provokasi.
4
Selama ini dalam melakukan penyidikan perkara yang berkaitan dengan Notaris,
penyidik Polri selalu berusaha profesional dan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta selalu menghormati profesi Notaris. Bahkan sebelum terbitnya UndangUndang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sekitar tahun 1997 Polda Jatim
pernah membuat MoU dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) Jatim, substansi MoU pada
intinya Polri dalam melakukan pemeriksaan terhadap Notaris akan memberitahukan
kepada INI.
Setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 21/PUU-XII/2014 yang
mensyaratkan adanya dua alat bukti untuk menetapkan tersangka dan harus melakukan
pemeriksaan calon tersangka lebih dahulu, penyidik semakin berhati-hati dalam melakukan
penyidikan terlebih dalam menetapkan seseorang (Notaris) sebagai tersangka. Penyidik
tidak sekedar membutuhkan minimum 2 alat bukti berupa keterangan saksi dan surat serta
hanya
semata-mata
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan,
untuk
mengkualifikasikan apakah perbuatan seseorang (Notaris) tersebut merupakan tindak
pidana, penyidik akan melibatkan ahli yang mempunyai kompetensi khusus untuk
memberikan keterangan ahli guna memperjelas tindak pidana yang terjadi. Jika telah
diperoleh minimal 2 alat bukti dan keterangan ahli memperkuat alat bukti yang ada, maka
sangat beralasan dan bukan merupakan penyidikan yang melanggar hukum jika penyidik
menetapkan seseorang (Notaris) sebagai tersangka. Sebagai contoh dalam penyidikan
terhadap Notaris Surabaya oleh penyidik Ditreskrimum Polda Jatim, penyidik meminta
keterangan tiga ahli pidana dan ahli di bidang notaris. Berpedoman pada alat bukti yang
ada dan keterangan ahli tersebut penyidik menghentikan penyidikan dengan alasan bukan
tindak pidana, namun ketika penghentian penyidikan tersebut diajukan praperadilan hakim
menilai penghentian penyidikan tersebut tidak sah dan harus dilanjutkan.
------ AO------
5
jika dilihat dari terjemahan kata
Dalam perkembangan penggunaannya, kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu
menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau
penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas
perundang-undangan
melalui
anggapan
mengenai
penafsiran
terhadap
perlakuan
sebagaikriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh dalam
perseteruan KPK dan polisi, kata kriminalisasi digunakan media untuk mendefinisikan
upaya polisi menjerat pemimpin KPK
Kriminalisasi disebut juga criminalisation atau criminalization. Kamus hukum terkenal Black’s Law
Dictionary mengartikan kriminalisasi sebagai "The act or an instance of making a previously lawful
act criminal, usually by passing a statute" (Bryan Garner, 2004:402). Kamus hukum lainnya
Webster's New World Law Dictionary mendefinisikan kriminalisasi sebagai "To make a particular
conduct or omission a crime and to establish penal sanctions for it" (Susan Ellis Wild, 2006 114).
Berpedoman pada dua kamus hukum tersebut maka yang dimaksud kriminalisasi adalah proses
ditetapkannya suatu perbuatan baik itu berwujud perbuatan positif (berbuat sesuatu) maupun
perbuatan negatif (tidak berbuat sesuatu) sebagai perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana
(tindak pidana) berdasarkan undang-undang. Kriminalisasi menjadikan suatu perbuatan yang
sebelumnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana.
Syarat mutlak suatu kriminalisasi adalah bahwa itu harus dilakukan dengan undang-undang. Tanpa
undang-undang tidak ada kriminaliasi. Undang-undang adalah conditio sine quanon dilakukannya
kriminalisasi. Mengapa demikian? Ini adalah konsekuensi berlakunya asas legalitas dalam hukum
pidana yang salah satu implikasinya adalah tidak ada tindak pidana jika suatu perbuatan tidak
disebut sebagai tindak pidana dalam undang-undang.
Proses kriminalisasi itu sendiri dimulai pada saat ditetapkannya suatu perbuatan sebagai tindak
pidana dalam suatu rancangan undang-undang. Kriminalisasi benar-benar terjadi setelah
rancangan undang-undang itu disahkan menjadi undang-undang dan kemudian diundangkan.
Dengan diundangkannya suatu undang-undang maka secara resmi suatu perbuatan yang awalnya
bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Di Indonesia, seiring kecenderungan hampir tiap
undang-undang selalu memuat tentang ketentuan pidana maka di situ pulalah terjadi kriminalisasikriminalisasi baru.
6
Dengan berpijak pada pengertian kriminalisasi di atas maka sebenarnya tindakan penangkapan dan
penetapan tersangka terhadap diri BW tidak dapat disebut sebagai kriminalisasi. Pertama, polisi
atau siapapun tidak dapat melakukan kriminalisasi karena itu menjadi kompetensi penuh
pembentuk undang-undang melalui instrumen undang-undang bukan yang lain. Kedua, sangkaan
yang dikenakan terhadap BW memang tindak pidana yang sudah diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 55 dan Pasal 242 KUHP meskipun tidak disebutkan ayat
yang mana yang dilanggar BW.
Dekriminalisasi
Dekriminalisasi atau decriminalization adalah kebalikan dari kriminalisasi. Jika kriminalisasi
menjadikan suatu perbuatan yang awalnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana maka
dengan dekriminalisasi yang mulanya tindak pidana menjadi bukan tindak pidana. Untuk
mendapatkan kejelasan tentang apa itu dekriminalisasi maka lagi-lagi saya mengutip dari kamus
hukum Black’s Law Dictionary dan Webster's New World Law Dictionary.
Yang pertama mengartikan dekriminalisasi sebagai "The legislative act or process of legalizing an
illegal act" (Bryan Garner, 2004:442) sementara yang kedua mengartikannya sebagai "The
legislature’s act of amending laws to permit a previously illegal act" (Susan Ellis Wild, 2004:119).
Dari kedua kamus itu dapat dilihat bahwa dengan kriminalisasi menjadikan tindakan yang semula
illegal menjadi legal.
Dari yang awalnya tindakan terlarang menjadi tindakan tidak terlarang. Dari tindak pidana menjadi
bukan tindak pidana. Dekriminalisasi dapat terjadi dengan beberapa cara. Pertama, ketentuan
pidana dalam suatu undang-undang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang
yang baru atau oleh peraturan yang lebih tinggi.
Kedua, ketentuan pidana dalam suatu undang-undang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
melalui pengujian undang-undang. Ketiga, hakim tidak lagi menerapkan ketentuan pidana dalam
suatu undang-undang karena dirasa tidak lagi mencerminkan rasa keadilan atau telah ketinggalan
zaman (contra legem). Dekriminalisasi yang dilakukan di banyak negara misalnya adalah
dekriminalisasi terhadap euthanasia.
Belanda adalah negara pertama yang melegalkan euthanasia berlaku mulai 1 April 2002
berdasarkan undang-undang yang diterbitkan pada 10 April 2001. Negara selanjutnya adalah
negara bagian Oregon di Amerika Serikat dan Belgia. Di Indonesia, euthanasia adalah tindak pidana
menurut Pasal 344 KUHP dan pelakunya diancam pidana penjara selama-lamanya 12 tahun.
Depenalisasi
7
Depenalisasi sering kali dirancukan dengan dekriminalisasi padahal keduanya sangat berbeda.
Dekriminalisasi berakibat bahwa suatu perbuatan yang semula tindak pidana berubah menjadi
bukan tindak pidana sehingga kalau perbuatan itu dilakukan pelakunya tidak dapat dikenakan
sanksi apapun. Suatu perbuatan telah benar-benar menjadi "100 persen halal" untuk dilakukan.
Depenalisasi berarti suatu perbuatan yang awalnya adalah tindak pidana setelah didepenalisasi
berubah menjadi bukan tindak pidana tetapi apabila perbuatan itu dilakukan pelakunya masih
dapat dikenakan sanksi tetapi bukan sanksi pidana melainkan sanksi perdata (ganti rugi) ataupun
sanksi administrasi. Untuk lebih meyakinkan baiklah saya kutip pendapat pakar hukum pidana
Indonesia Sudarto yang mengartikan depenalisasi sebagai suatu perbuatan yang semula diancam
pidana, ancaman pidana itu dihilangkan akan tetapi masih dimungkinkan adanya penuntutan
dengan cara lain ialah dengan melalui hukum perdata ataupun hukum administrasi (Sudarto,
1986:32).
Meskipun salah kaprah istilah kriminalisasi kini kian memasyarakat. Istilah kriminalisasi semakin
akrab di telinga masyarakat meskipun mungkin tidak semua tahu pengertian yang sebenarnya dari
kriminalisasi itu sendiri. Bahkan dari kasus "kriminalisasi" BW muncul sekelompok orang yang
menamakan dirinya sebagai Tim Advokasi Anti Kriminalisasi.
Tentu saja Tim itu dalam kontek "kriminalisasi" terhadap BW bukan kriminalisasi dalam pengertian
yang sebenarnya sebagai penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dalam undangundang. Kriminalisasi itu sendiri akan terus berjalan sesuai perkembangan masyarakat dan
teknologi dan begitu pula dengan dekriminalisasi dan depenalisasi.
*) Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Universitas Airlangga - See more at:
http://www.gresnews.com/berita/opini/14042-meluruskan-maknakriminalisasi/0/#sthash.Kw0zYS9t.dpuf
8

0
inShare
Kamis, 30 Oktober 2014
Tolak Kriminalisasi, Ratusan Notaris
Protes ke MA
Kejanggalan sidang kasus ini sudah dilaporkan ke KY.
ASH
Dibaca: 4352 Tanggapan: 0
Gedung MA. Foto: RES
BERITA TERKAIT




Jimly: Penegakan Etik Lemah, Kriminalisasi Profesi Marak
Persetujuan MKN adalah Kunci Pembuka Kewajiban Ingkar Notaris
Mengupas Aturan Main Para Notaris di UU Jabatan Notaris Baru
PPAT Persoalkan Aturan Penempatan Notaris
9
Ratusan notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dari berbagai daerah menggelar
aksi unjuk rasa di gedung MA, Kamis (30/10). Mereka menolak kriminalisasi yang dialami
sejumlah notaris. Salah satunya Theresia Pontoh lantaran dipidanakan saat memfasilitasi proses
jual beli tanah yang menjadi kewenangannya.
Mereka melakukan orasi secara bergiliran, menyampaikan aspirasi, di depan Gedung MA.
Sebagian notaris berkaos putih bertuliskan “Stop Kriminalisasi Notaris/PPAT.” Sebagian lain
membawa spanduk dengan tulisan yang sama.
“Tadi kami diterima Panitera MA Soeroso Ono karena ketua MA tidak berada di tempat. Intinya
kami menyampaikan surat petisi stop segala bentuk kriminalisasi terhadap notaris/PPAT,” ujar
koordinator aksi, Aloysius Dumatubun, di depan gedung MA.
Kasus ini bermula dari rencana jual beli tanah dua sertifikat tanah hak milik di daerah Jayapura,
Papua. Pemilik tanah Hengki Dawir ingin menjual tanahnya kepada calon pembeli bernama Rudi
Doomputra. Menurut Aloysius, akad jual beli tanah belum terjadi seperti adanya fee notaris dan
pembayaran harga tanah. Syarat formal jual beli pun belum terpenuhi.
Si pemilik tanah membatalkan rencana penjualan karena dua sertifikat itu ternyata sudah
berpindah tangan kepada seseorang berinisial S yang sebelumnya berstatus hak ulayat. S pun
yang membiayai proses penerbitan dua dua sertifikat itu di BPN dan memberi surat agar tidak
melanjutkan penerbitan AJB dan balik nama oleh notaris Theresia.
Lalu, si pemilik mendatangi Theresia, meminta dua sertifikat tanah itu dikembalikan. Tetapi,
Theresia menolak memberikan karena kalau hendak diserahkan kedua belah pihak harus hadir.
Theresia kemudian menyuruh pemilik tanah menggugat perdata ke pengadilan. Setelah sidang
berjalan, muncul penetapan akta perdamaian yang isinya memerintahkan Theresia mengembalikan
sertifikat yang sah kepada pemilik.
Setelah dikembalikan (kepada S), kata Aloysius, tiba-tiba ada tuntutan pidana dari pihak calon
pembeli kepada Theresia. Calon pembeli menuduh Theresia menggelapkan sertifikat tanah. “Kok
tiba-tiba calon pembeli menuntut, padahal sertifikat itu bukan milik/hak dia, apa sih untungnya,”
ujar anggota Majelis Kehormatan Notaris Papua itu.
Theresia sudah ditahan Polda Papua selama lebih kurang 96 hari. Saat ini, kasus Theresia tengah
disidangkan di PN Jayapura dengan tuduhan Pasal 372 KUHP (penggelapan). Menurut
Aloysius, kriminalisasi terhadap notaris ini tidak hanya dialami Theresia, tetapi banyak
notaris/PPAT yang pernah mengalami nasib serupa saat menjalankan tugasnya.
Merujuk Pasal 50 KUHP, menurutnya Theresia tidak bisa dipidanakan karena sedang menjalankan
tugas profesi berdasarkan undang-undang, dalam hal ini UU Jabatan Notaris. “Kalau kita lihat
Pasal 50 KUHP, notaris menjalankan perintah UU seharusnya tidak dipidana,” katanya.
“Makanya kita mengadukan persoalan ini ke MA, sekaligus melampirkan sejumlah bukti
kejanggalan sikap majelis PN Jayapura, seperti pesan singkat antara saksi pelapor dengan hakim
saat sidang dan video persidangan. Kita juga sudah melaporkan kasus ini ke KY."
10
Download