4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging Ayam pedaging adalah galur ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, masa panen pendek, menghasilkan daging berserat lunak, dada lebih besar dan kulit licin (North dan Donal 1996). Menurut Rasyaf (2008) ayam pedaging merupakan ayam yang mengalami pertumbuhan pesat pada umur satu sampai lima minggu serta pada umur enam minggu sudah sama besar dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara selama delapan bulan. Keunggulan ayam pedaging tersebut didukung oleh sifat genetik dan keadaan lingkungan yang meliputi makanan, temperatur lingkungan, dan pemeliharaan. Ayam pedaging biasanya dipanen pada umur empat sampai lima minggu dengan tujuan sebagi penghasil daging (Kartasudjana dan Suprijatna 2006). Kelebihan ayam pedaging adalah dagingnya empuk, ukuran badan besar, bentuk dada lebar, padat dan berisi, serta tingkat efisiensi terhadap pakan tinggi. Kelemahan ayam pedaging adalah memerlukan pemeliharaan secara intensif dan cermat, relatif lebih peka terhadap suatu infeksi penyakit, dan sulit beradaptasi (Murtidjo 1987). Pertumbuhan yang paling cepat terjadi sejak menetas sampai umur empat minggu kemudian mengalami penurunan dan terhenti sampai mencapai dewasa (Kartasudjana dan Suprijatna 2006). Pemeliharaan ayam pedaging akan berhasil bila dilakukan dengan manajemen yang baik. Bebarapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeliharan ayam pedaging adalah seleksi bibit, kondisi lingkungan kandang, sistem perkandangan, pemberian pakan, dan penanganan kesehatan ayam. Seleksi Bibit Seleki bibit merupakan langkah pertama dalam sistem peternakan. Bibit anak ayam ras niaga (kuri/DOC) tipe pedaging harus berasal dari pembibitan ayam ras tipe pedaging sesuai dengan standar persyaratan mutu SNI 01.4868.11998 sebagai berikut berat kuri perekor minimal 37 gram, kondisi fisik sehat, kaki normal, dan dapat berdiri tegak, aktif, tidak dehidrasi, tidak cacat fisik, warna 5 bulu seragam sesuai dengan galur, kondisi bulu kering, dan mengembang (Dirjen Peternakan 2002) Kandang Pemeliharaan ayam pedaging yang paling baik adalah dikandangkan. Adanya kandang akan mengurangi penggunaan energi untuk beraktivitas, sehingga energi dapat digunakan untuk proses metabolisme tubuh dalam pembentukan daging. Keuntungan lain pengunaan kandang pada pemeliharaan ayam pedaging ialah ayam akan lebih mudah terawasi, terkontrol dengan baik, memudahkan pemeliharaan terutama pemberian pakan, minum, menjaga kebersihan kandang dan pengawasan terhadap ayam yang sakit serta menghemat tenaga kerja sehingga mampu menekan biaya produksi. Sistem perkandangan yang baik dapat menjamin kesehatan ayam sehingga dapat mengurangi tingkat kematian. Kandang yang baik harus memenuhi beberapa syarat teknis, antara lain tidak bocor, ventilasi cukup dan sinar matahari dapat masuk secara langsung ke dalam kandang, jarak antar kandang tidak terlalu rapat, dengan jarak minimal antarkandang selebar satu kandang. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah saluran air atau pembuangan di sekitar kandang harus lancar, lantai kandang harus miring ke satu atau dua arah untuk mempercepat proses pembersihan dan mencegah menggenangnya air di dalam kandang serta konstruksi kandang harus kuat dan tahan lama sehingga tidak cepat rusak ataupun membahayakan pekerja (Cahyono 2001). Pakan Pakan adalah campuran berbagai macam bahan organik dan anorganik yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi (Suprijatna et al. 2008). Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2002) mutu ransum anak ayam pedaging (starter) harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam SNI 013930-1995. Menurut SNI tersebut kadar air 14%, protein kasar 18-23%, lemak kasar 2.5-7%, serat kasar 5%, abu 5-8%, calsium 0.9-1.2%, phospor 0.7-1.0%, aflatoxin maksimum 50 ppb, L-lysin 1.1%, dan DL-methionine 0.5%. Mutu ransum ayam pedaging (finisher) harus sesuai dengan SNI 01-3931-1995 yaitu 6 kadar air 14%, protein kasar 18-22%, lemak kasar 2-7%, serat kasar 5.5%, abu 58%, calsium 0.9-1.2%, phospor 0.7-1.0%, aflatoxin maksimum 60 ppb, L-lysin 0.9%, dan DL-methionine 0.1%. Menurut Riza (2009) unggas mengkonsumsi pakan kira-kira 5% dari bobot badannya. Ternak mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan zat- zat makanan, produksi, dan reproduksi. Produksi ayam juga dipengaruhi oleh konsumsi air. Air mempunyai andil yang besar karena tubuh ayam terdiri atas 60% air, sehingga tanpa air yang cukup produksi ayam akan menurun. Ayam pedaging membutuhkan pakan yang mengandung energi metabolis sebesar 2 900 sampai 3 300 kkal/kg pakan. Kesehatan Ayam Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2002) usaha ayam pedaging harus bebas dari penyakit-penyakit yang berbahaya menular seperti Avian Influenza, Newcastle Disease, Infectious Bronchitis, Infectious Laringotracheitis, Fowl Cholera, Fowl Pox, Fowl Typhoid, Infectious Bursal Disease, Marek’s Disease, Avian Mycoplasmosis, Avian Chlamydiosis, Avian Encephalomyelitis, Swallen Head Syndrome, dan Infectious Coryza. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit tersebut meliputi pemberian antibiotika, vaksin dan vitamin yang dibutuhkan untuk membantu mempertahankan kesehatan ayam, ataupun mengobati ayam bila terserang penyakit (Cahyono 2001). Pemilihan dan pemakaian obat-obatan yang digunakan harus tepat sesuai dengan kasus yang dihadapi. Diagnosa suatu penyakit tidak boleh salah untuk keefektifan terapi pengobatan yang dijalankan dan harus dipahami bahwa obatobatan hanya sebagai pendukung, bukan faktor utama yang menyebabkan ayam menjadi sehat. Faktor utama untuk menghasilkan ayam yang sehat adalah sanitasi dan tata laksana pemeliharaan yang benar. Obat-obatan yang bagus dan mahal tidak akan bermanfaat banyak bila sanitasi dan manajemen pemeliharannya buruk, bahkan dapat menimbulkan kerugian, karena problem penyakit akan sering muncul dan sulit untuk diatasi, pada akhirnya biaya produksi menjadi tinggi. 7 Infectious Bursal Disease Infeksi bursal disease disebabkan oleh genus Avibirnavirus dari famili Birnaviridae. Virus ini tidak memiliki amplop, kapsidnya (selubung protein yang melindungi RNA) berbentuk icosahedral dengan diameter 60 nm, asam intinya berupa double-stranded (ds) RNA terdiri atas dua segment (A dan B) (Kibenge et al. 1988). Serotipe IBD dibagi dua, yaitu 1 dan 2 (Jackwood dan Jackwood 1997). Serotipe 1 virulent pada ayam sedangkan serotipe 2 umumnya avirulent bagi ayam (Oladele et al. 2008). Selanjutnya IBD diklasifikasikan menurut tingkat virulensinya, yaitu a) classical virulent IBD (cvIBD), b) very virulent IBD (vvIBD), c) antigenic variant IBD (avIBD), dan d) attenuated IBD (atIBD) (Den Berg et al. 2004). Karakteristik virus ini adalah mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Virus IBD sangat stabil pada suhu panas (60◦C selama 1 jam), resisten terhadap pH 3-9, dan tahan hidup di luar tubuh ayam selama empat bulan. Peternakan yang sudah terinfeksi virus IBD akan mudah terjangkit kembali, karena virus IBD sangat sulit untuk dihilangkan dari peternakan yang sudah terinfeksi ( Soejoedono 1998). Penularan virus IBD terjadi melalui kontak langsung yang berasal dari sekreta alat pernapasan yang mengandung virus dan kontak tidak langsung yaitu melalui peralatan dan vektor. Vektor mekanis penyebaran virus IBD tersebut adalah burung liar, nyamuk, tikus, dan kutu yang berada pada lingkungan peternakan tersebut (Jordan 1999). Patogenesis Penyakit Virus IBD mempengaruhi organ limfoid, terutama merusak sel limfosit B di bursa Fabrisius, limpa, ginjal, dan seka tonsil. Infeksi virus umumnya terjadi melalui oral (mulut), tetapi infeksi melalui saluran pernapasan juga sering terjadi. Virus muncul 4-5 jam dalam makrofag dan sel-sel limfatik di duodenum, jejunum, dan sekum. Duodenum, jejunum, dan sekum merupakan tempat pertama replikasi virus. Lima jam setelah infeksi, virus mencapai hati melalaui vena porta. Virus IBD bersirkulasi melalui aliran darah utama menuju organ lainnya termasuk bursa Fabrisius. Sel limfosit B yang belum matang merupakan target utama untuk 8 replikasi virus. Tiga belas jam setelah terjadinya infeksi sebagian besar folikel bursa positif mengandung virus. Enam belas jam setelah infeksi terjadi viremia sekunder pada tubuh ayam. Organ limfatik sekunder lainnya pada tahap ini mengalami infeksi dan replikasi virus. Gejala klinis dan kematian terjadi dalam waktu 64-72 jam setelah terjadinya infeksi (Wit dan Baxendale 2003). Virus ditransfer dari usus ke jaringan lain oleh sel fagosit, sebagian besar adalah makrofag. Antigen virus bisa dideteksi di hati dan limpa beberapa jam setelah awal infeksi, tetapi tempat utama virus bereplikasi adalah bursa Fabrisius (Sharma et al. 2000). Infectious Bursal Disease tahap akut ditandai dengan bursa Fabrisius mengalami pembesaran, pendarahan, dan edema. Lima hari setelah infeksi, ukuran bursa kembali normal, selanjutnya delapan hari setelah infeksi, bursa mengalami atropi. gizzard. Selain itu, juga terjadi ptechie pada proventriculus dan Sekresi mukus usus meningkat dan organ parenkima membengkak. Pada limpa terdapat spot kecil berwarna abu-abu serta ukuran limpa menjadi besar (Herendra 1996). Gejala Klinis Penyakit ini menyerang ayam umur 3-6 minggu. Target organ virus ini adalah bursa Fabrisius yang sedang mengalami perkembangan. Menurut Murphy et al. (1999) kejadian infeksi virus IBD pertama kali dalam suatu peternakan dapat mengakibatkan morbiditas mencapai 100% dan mortalitas 20-30%. Anak ayam umur 1-12 hari yang terserang infeksi virus IBD tidak menunjukan gejala klinis (subklinis). Hal ini terjadi karena, anak ayam masih memiliki maternal immunity (kekebalan dari induk). Namun, kondisi subklinis tersebut bukan berarti tidak ada kerusakan pada organ ayam. Sebenarnya, terjadi kerusakan dan pembinasaan sel B yang terdapat pada bursa Fabrisius. Kerusakan bursa Fabrisius itu bersifat permanen, sehingga sel B tidak dapat berkembang dalam bursa yang selanjutnya menyebabkan anak ayam tidak mampu lagi memproduksi antiodi dan terjadi imunodefisiensi. Ayam akan mudah diinfeksi oleh penyakit menular lainnya, misalnya marek, IBD, ND, dan IB meskipun ayam telah divaksin. Hal tersebut disebabkan karena terjadi kegagalan vaksinasi akibat 9 dari sistem kekebalan ayam tidak mampu menghasilkan antibodi (Sundaryani 2003). Ayam yang terserang penyakit IBD pada umur 3-6 minggu akan menimbulkan gejala klinis, berupa depresi, anoreksia, gemetar, dehidrasi, bulu disekitar duburnya kotor dan feses encer berlendir berwarna keputih-putihan. Ayam yang mati karena infeksi IBD bangkainya cepat membusuk dan jika dilakukan pembedahan terlihat bursa membesar (hipertropi), berlendir dan mengalami peradangan (busritis), serta ditemukan pendarahan (hemoraghi) pada paha dan dadanya. Vaksin Vaksin adalah mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan dan bila diberikan pada hewan tidak akan menimbulkan penyakit, melainkan merangsang pembentukan antibodi (zat kebal) yang sesuai dengan jenis vaksinnya. Tujuan vaksinasi pada ayam adalah membuat ayam mempunyai kekebalan yang tinggi terhadap suatu penyakit (Sundaryani 2003). Vaksin diberikan berdasarkan status kekebalan umur ayam untuk menghindari ternetralisasinya antigen vaksin oleh maternal antibodi sehingga vaksinasi gagal menginduksi kekebalan tubuh (Weaver 2002). Berdasarkan jenis mikroorganisme yang digunakan ada dua jenis vaksin, yaitu vaksin hidup (aktif) dan vaksin mati (inaktif). Vaksin hidup terbuat dari virus hidup yang diatenuasikan (dilemahkan) dengan cara pasase berseri pada biakan sel tertentu, misalnya telur ayam berembrio. Proses ini menyebabkan terjadi akumulasi mutasi yang umumnya menyebabkan hilangnya virulensi virus secara progresif bagi inang aslinya. Jenis vaksin ini mengandung virus hidup yang dapat berkembang biak dan merangsang respons imun tanpa menimbulkan sakit. Vaksin aktif biasa digunakan untuk penyakit Newcastle Diseases (ND), Infectious Bronchitis (IB), Fowl Pox, Avian Enchephalomyelitis, Marek Disease, Reovirus, dan Infectious Bursal Diseases (IBD). Vaksin mati/inaktif dihasilkan dengan menghancurkan infektivitas virus sehingga mematikan virusnya sedangkan imunogenitasnya masih dipertahankan dengan cara (1) fisik, misalnya dengan pemanasan dan radiasi (2) kimia, dengan bahan kimia yaitu fenol, 10 betapropiolakton, formaldehid, etilenimin. Perlakuan tersebut menyebabkan virus menjadi inaktif tetapi imunogenitasnya masih ada. Vaksin ini sangat aman karena tidak infektif lagi. Namun, penggunaan vaksin ini memerlukan antigen dalam jumlah yang banyak untuk menimbulkan respons antibodi. Vaksin inaktif biasa digunakan pada penyakit Newcastle Diseases (ND), Infectious Bronchitis (IB), Reovirus, dan Infectious Bursal Diseases (IBD) (Aksono 1998) Vaksin IBD (Infectious Bursal Disease) Penyakit Gumboro atau Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit yang sangat sulit diberantas. Beberapa tahun terakhir, penggunaan vaksin IBD aktif strain mild dirasakan kurang berhasil. Oleh karena itu, dibuatlah vaksin IBD aktif strain intermediate. Salah satu jenis vaksin IBD strain intermediate adalah Winterfield 2521. Vaksin ini diisolasi oleh Winterfield pada tahun 1965 dan dikembangakan untuk produksi vaksin (Ashraf 2005). Vaksin strain intermediate dapat menimbulkan kerusakan pada bursa Fabrisius, timus, dan limpa, walaupun kerusakan yang timbul tidak bersifat permanen, artinya organ tersebut akan kembali normal pascainfeksi (Ashraf 2005). Umumnya, vaksin IBD diberikan pada umur 10-12 hari, namun kebanyakan peternak melakukan vaksin IBD ketika DOC untuk mengurangi terjadinya stres. Tidak diperhatikannya jenis strain dan waktu pemberian vaksinasi dapat menyebabkan kegagalan vaksin IBD. Pemakaian vaksin IBD dengan kandungan strain virus yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain) sering menimbulkan deplesi (kelainan) pada bursa Fabrisius sehingga berdampak pada berkurangnya kemampuan bursa Fabrisius untuk memproduksi zat kebal tubuh. Kejadian imunosupresi pada ayam akan memperlihatkan gejala seperti berikut reaksi pascavaksinasi meningkat, gangguan sistem pernapasan, pada ayam yang mati jika dilakukan pembedahan akan terlihat atropi pada bursa Fabrisius dan kebengkakan organ limfoid, ayam mudah terserang penyakit, bobot badan menurun dan FCR meningkat (Ashraf 2005). 11 Kinerja Ayam Pedaging Kinerja ayam pedaging merupakan salah satu parameter keberhasilan pemeliharaan ayam pedaging. Pencapaian kinerja ayam pedaging dilakukan melalui pengukuran lima parameter, yaitu bobot badan, Feed Conversion Ratio (FCR), umur rata-rata saat ayam dipanen, tingkat kematian, dan nilai indeks performa. Pengukuran dan penilaian kelima parameter tersebut mencerminkan keberhasilan produksi pemeliharaan ayam pedaging (Riza 2009) Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan adalah proses pertambahan bobot hidup sejak pembuahan dan menetas hingga mencapai bobot dan ukuran dewasa. Pertumbuhan merupakan hasil interaksi antara bibit, ransum, dan tata laksana yang baik untuk menjamin suksesnya setiap usaha peternakan ayam pedaging (Siregar dan Sabrani 1980). Pertumbuhan yang baik itu sebenarnya merupakan manifestasi dari perubahan di dalam sel yang mengalami proses hiperplasia atau pertambahan jumlah dan proses hipertropi atau pembesaran ukuran dari sel (Williamson 1993). Tahapan pertumbuhan hewan akan membentuk kurva sigmoid (Anggorodi 1994). Pertumbuhan anak ayam sampai dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pakan, genetik, jenis kelamin, cara pameliharaan, lingkungan, dan penyakit (Tillman et al. 1998 ). Konversi Pakan (FCR) Menurut Suprijatna et al. (2008) konversi pakan adalah jumlah pakan yang diperlukan untuk membentuk satu kilogram pertambahan bobot badan sedangkan, menurut Siregar dan Sabrani (1980) konversi pakan atau Feed Convertion Ratio (FCR) adalah perbandingan antara jumlah pakan (kg) yang dikonsumsi dengan bobot hidup (kg). Semakin kecil angka konversi pakan menunjukkan semakin baik efisiensi penggunaan pakan. Rendahnya angka perbandingan tersebut berarti kenaikan bobot badan optimal tetapi ayam makan tidak terlalu banyak untuk meningkatkan bobot badannya ( North dan Donal 1999 ). Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya konversi pakan meliputi laju pertumbuhan, besar atau bobot badan, daya cerna ternak, kualitas 12 pakan yang dikonsumsi, temperatur dan kesehatan ayam serta keserasian nilai nutrien yang dikandung pakan. Mortalitas Mortalitas merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengukur keberhasilan ternak. Mortalitas adalah perbandingan antara jumlah seluruh ternak yang mati dengan jumlah total ternak yang dipelihara (Hastuti 2008).