Metabolit Isoniazid

advertisement
INTISARI
Hubungan Kadar Hidrazin (Metabolit Isoniazid) dengan Kadar SGPT pada
Akhir Fase Intensif Pengobatan Pasien Tuberkulosis Paru
Latar belakang: Pemberian isonizid dalam regimen pengobatan tuberkulosis paru
dapat menyebabkan efek samping. Hepatotoksik merupakan salah satu efek
samping yang perlu mendapat perhatian. Hidrazin yang merupakan metabolit
isoniazid diduga merupakan penyebab hepatotoksik akibat isoniazid. Perbedaan
kecepatan asetilasi metabolisme isoniazid menyebabkan perbedaan produksi
hidrazin. Studi sebelumnya dengan model hewan coba didapatkan korelasi kadar
hidrazin dan kadar SGPT yang merupakan parameter penanda hepatotoksik,
sedangkan pada penderita tuberkulosis menunjukkan hasil yang tidak konsisten.
Tujuan: Mengetahui korelasi kadar hidrazin dan kadar SGPT 2 jam setelah
minum obat akhir fase intensif pada pasien tuberkulosis paru.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan
cross-sectional yang diikuti oleh 58 subyek yang merupakan pasien tuberkulosis
paru kasus baru. Pengambilan sampel darah dilakukan pada 2 jam setelah minum
obat terakhir fase intensif pengobatan tuberkulosis. Status asetilator ditetapkan
berdasarkan rasio asetilhidrazin/hidrazin. Penetapan kadar SGPT menggunakan
mesin analisis kimia otomatis dan pemeriksaan kadar isoniazid dan metabolitnya,
hidrazin dan asetilhidrazin, menggunakan HPLC. Analisis statistik menggunakan
uji korelasi.
Hasil: Kadar hidrazin secara signifikan lebih tinggi pada asetilator lambat
(33,59±5,61 versus 6,36±1,53 ng/mL, nilai p <0,05) dan kadar asetilhidrazin
secara signifikan lebih tinggi pada asetilator cepat (0,23±0,03 versus
0,35±0,03µg/mL, nilai p< 0,05). Persentase subyek yang mengalami hepatotoksik
sebesar 3,4%. Tidak ada korelasi kadar hidrazin dan kadar SGPT, begitupula tidak
ada korelasi kadar hidrazin dan delta SGPT pada 58 subyek penelitian (nilai p
<0,05). Pada analisis subgroup berdasarkan status asetilator, ada korelasi yang
bermakna antara kadar asetilhidrazin dan delta SGPT (p<0,05, r =0,474) pada
kelompok asetilator lambat.
Kesimpulan: Tidak ada korelasi kadar hidrazin dan kadar SGPT 2 jam setelah
minum obat akhir fase intensif pada 58 subyek penelitian ini.
Kata kunci : hepatotoksik, kadar hidrazin, kadar asetilhidrazin, status asetilator.
xiii
Abstract
Association of hydrazine plasma level, a metabolite of isoniazid, with SGPT
level at the end of intensive phase treatment of pulmonary tuberculosis
patients
Background: Isoniazid in the regimen treatment of pulmonary tuberculosis
patients causes side effects. Hepatotoxicity is one of isoniazid’s side effects that
need medical attention. Hydrazine, a metabolite of isoniazid, was considered as
the cause of the development of hepatotoxicity induced by isoniazid. There is a
different acetylation speed in the metabolism of isoniazid, causing different
hydrazine level among human. In the previous studies with animal models reveals
that there was a correlation between hydrazine plasma level and SGPT level as
standard hepatotoxicity parameter, but study in human give inconsistent results.
Objective: To know the correlation of hydrazine and SGPT levels at 2 hours after
drug administration in the end of intensive phase treatment of pulmonary
tuberculosis patients.
Methods: This was an observational study with cross sectional design followed
by 58 subject who were new pulmonary tuberculosis patients. Venous blood
sampling was collected at 2 hours after drug administration. Determination of
acetylator status using acetylhydrazin/hydrazine ratio. SGPT level was measured
with an automatic chemical analyzer. Isoniazid and it’s metabolites, hydrazine and
acetylhydrazine was measured by using HPLC. Statistical significance was
analyzed using correlation test.
Results: Hydrazine level was significantly higher for slow acetylator (33,59±5,61
versus 6,36±1,53 ng/mL, p value <0,05) and acetylhydrazine level was
significantly higher for fast acetylator (0,23±0,03 versus 0,35±0,03µg/mL, p value
< 0,05). The incidence of hepatotoxicity was 3,4%. There was no correlation
between hydrazine level with SGPT levels, neither with delta SGPT in the 58
subjects of this study. In subgroup anaysis by acetylator status, there was
significantly correlation between acetylhydrazine level and delta SGPT in slow
acetylator group.
Conclusions: There was no correlation between hydrazine level and SGPT levels
at 2 hours after drug administration in the end of intensive phase in 58 subjects of
this study.
Keywords: hepatotoxicity, hydrazine , acetylhydrazine , acetylator status
xiv
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Infeksi tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan utama di dunia.
Sepertiga penduduk dunia terinfeksi kuman tuberkulosis. Prevalensi dan insiden
kasus TB di seluruh dunia pada tahun 2007 masing-masing sebesar 13,7 juta dan
9,27 juta. Angka kematian akibat TB juga tinggi, yakni 1,7 juta pada tahun 2007.
Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di seluruh dunia terjadi di
negara berkembang. Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan kasus
TB tertinggi di dunia (WHO, 2009). Prevalensi kasus TB di Indonesia pada tahun
2009 sebesar 244 per 100.000 penduduk dan insiden sebesar 228 per 100.000
penduduk. Sementara, angka kematian akibat TB di Indonesia mencapai 39 per
100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2011).
Saat ini pengobatan dan pencegahan TB menggunakan obat anti
tuberkulosis (OAT). Lini pertama OAT adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid
dan etambutol. Isoniazid merupakan salah satu OAT yang penting dalam
pencegahan dan pengobatan TB baik sebagai monoterapi maupun kombinasi
dengan OAT lainnya. Konsumsi isoniazid jangka panjang menimbulkan beberapa
efek samping yang tidak diharapkan. Salah satu efek samping yang perlu
mendapat perhatian adalah hepatotoksik (Eris-Gulbay et al., 2006; Schaberg et al.,
1996; Yee et al., 2003). Insidensi hepatotoksik di Indonesia berkisar 3,4 %
(Prihatni et al., 2005; Febrinasari, 2010). Isoniazid menyebabkan peningkatan
transaminase sekitar 10-20 % pada individu yang mengkonsumsinya dan 1
diantara 1000 berlanjut menjadi hepatotoksik berat (Nolan et al., 1999)
. Peningkatan tersebut banyak terjadi pada 8 minggu pertama sejak pasien
mulai konsumsi OAT (Mitchell et al., 1975; MMWR, 2008; Sharma et al., 2002).
Penggunaan kombinasi isoniazid dengan OAT lain yang juga berpotensi
hepatotoksik dapat menyulitkan untuk mengetahui OAT mana yang berperan
dalam menyebabkan hepatotoksik. Pemeriksaan kadar obat dapat digunakan untuk
memperkirakan apakah hepatotoksik yang terjadi pada penderita tuberkulosis
disebabkan isoniazid atau regimen OAT lainnya yang dipakai dalam kombinasi
terapi. Pemeriksaan kadar obat dapat dilakukan 2 jam setelah minum obat
(Pelloquin, 2002).
Penyebab pasti terjadinya hepatotoksik isoniazid belum diketahui.
Hepatotoksik isoniazid tidak berkaitan dengan kadar isoniazid yang tinggi dalam
plasma. Hepatotoksik isoniazid yang terjadi memberikan gambaran respon
idiosinkratik, diduga akibat metabolit toksik yang dihasilkan selama metabolisme
isoniazid di dalam hepar (Tostmann et al., 2008; Lee, 1995; Russmann et al.,
2009; Soukkonen et al., 2006). Metabolisme isoniazid melalui 2 jalur yaitu
asetilasi dan hidrolisis langsung. Sekitar 90-95 % isoniazid mengalami asetilasi
menjadi asetilisoniazid dan sebagian kecil lainnya (10-5%) mengalami hidrolisis
langsung menjadi hidrazin. Asetilisoniazid dan hidrazin dimetabolisme lebih
lanjut menjadi asetilhidrazin. Hidrazin dan asetilhidrazin diketahui merupakan
metabolit toksik dari isoniazid. (Tostmann et al., 2008; Preziosi, 2007; Mitchell et
al., 1976; Sarich et al., 1996)
Beberapa studi menunjukkan adanya polimorfisme pada enzim NAT2 (Nasetiltranferase-2) yaitu enzim yang berperan dalam proses asetilasi metabolisme
3
isoniazid, sehingga individu dapat dikategorikan sebagai asetilator lambat dan
cepat (Fukino et al., 2008; Kita et al., 2001; Evans et al., 1980). Pada asetilator
lambat, lebih banyak isoniazid yang tersedia untuk hidrolisis langsung sehingga
lebih banyak hidrazin yang terbentuk dan asetilasi hidrazin menjadi asetilhidrazin
juga berlangsung lambat. Produksi kadar metabolit isoniazid pada setiap individu
akan bervariasi (Pea et al., 1999; Fukino et al., 2008; Parkin, 1996).
Studi pada hewan oleh Sarich et al. (1996) dan Yue et al. (2004)
menunjukkan kadar hidrazin berkorelasi dengan derajat hepatotoksik. Studi yang
dilakukan Gent et al. (1992) pada penderita TB paru juga menunjukkan kadar
hidrazin meningkat pada kejadian hepatotoksik akibat isoniazid (Parkin, 1996).
Sedangkan studi lainnya oleh Donald et al. (1996) pada 32 anak meningitis TB
menunjukkan bahwa kadar hidrazin tidak berkorelasi dengan kadar SGPT yang
merupakan penanda standar penilaian hepatotoksik. Kadar asetilhidrazin tidak
berkorelasi dengan derajat hepatotoksik (Sarich et al., 1996). Adanya hasil yang
tidak konsisten dan masih minimnya informasi mengenai hubungan antara kadar
hidrazin dengan kejadian hepatotoksik melatarbelakangi dilakukannya penelitian
ini.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian yang akan
diajukan adalah: Apakah ada korelasi antara kadar hidrazin dengan kadar SGPT 2
jam setelah minum obat anti tuberkulosis akhir fase intensif pada pasien TB paru?
4
I.3. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji korelasi antara kadar hidrazin dengan kadar
SGPT 2 jam setelah minum obat anti tuberkulosis akhir fase intensif pada pasien
TB paru.
I.4. Keaslian Penelitian
1. Studi yang dilakukan Yue et al. (2004) pada tikus yang diberi isoniazid dan
rifampisin selama 21 hari menunjukkan bahwa kadar SGPT mempunyai
korelasi positif dengan kadar hidrazin plasma (r = 0,696). Manusia dan tikus
mempunyai proses metabolisme obat yang hampir mirip, tetapi ada
kemungkinan memberikan hasil yang berbeda.
2. Studi Febrinasari (2010) tentang hubungan transaminase serum dengan kadar
isoniazid dan rifampisin dalam serum penderita tuberkulosis di Yogyakarta
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna rerata kadar isoniazid dan
rifampisin antara pasien dengan SGOT/SGPT tinggi dan normal. Pada
penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kadar hidrazin.
3. Studi yang dilakukan Donald et al. (1996) pada 32 anak meningitis TB dan
malnutrisi yang menerima isoniazid sebesar 20 mg/kgbb/hari menunjukkan
bahwa tidak ada korelasi kadar hidrazin dengan hepatotoksik. Usia dan
keparahan penyakit dapat mempengaruhi metabolisme obat. Pada penderita TB
paru dewasa kemungkinan mempunyai hasil yang berbeda.
4. Studi yang dilakukan Sarich et al. (1996) dengan model kelinci menunjukkan
ASAL (Arginino Succinic Acid Lypase) yang merupakan marker sensitif
nekrosis hepar berkorelasi dengan kadar hidrazin.
5
5. Studi yang dilakukan Fukino et al. (2008) tentang efek genotip NAT2,
CYP2E1 dan Glutathione-S-tranferase (GST) terhadap kadar isoniazid dan
metabolitnya pada penderita TB menunjukkan bahwa pasien dengan kadar
isoniazid dan rifampisin dalam darah yang lebih tinggi dan pasien dengan
status asetilator intermediat mempunyai kadar hidrazin yang lebih tinggi dalam
serumnya. Asetilator lambat mempunyai kadar hidrazin lebih tinggi dan kadar
asetilhidrazin lebih rendah daripada asetilator cepat. Studi ini pada populasi
Jepang dan tidak menghubungkan kadar hidrazin dengan parameter
hepatotoksik.
I.5. Manfaat Penelitian
1. Dengan
diketahuinya
senyawa
yang
berhubungan
dengan
kejadian
hepatotoksik, senyawa tersebut dapat digunakan sebagai alat pendeteksi
penyebab peningkatan transaminase serum dan dapat dilakukan tindakan
pencegahan agar tidak melanjut menjadi hepatotoksik berat. Pencegahan
hepatotoksik dapat menyebabkan keberlanjutan pengobatan sehingga dapat
mendukung program pemerintah dalam pemberantasan TB.
2. Memberikan data mengenai besarnya kadar metabolit yang terbentuk pada
dosis terapi isoniazid dan hubungannya dengan kejadian hepatotoksik pada
pasien TB paru di populasi Indonesia.
6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Pustaka
Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia
Prevalensi dan insiden kasus TB di Indonesia pada tahun 2009 masingmasing sebesar 244 per 100.000 penduduk dan 228 per 100.000 penduduk.
Sementara, angka kematian akibat TB di Indonesia mencapai 39 per 100.000
penduduk (Kemenkes RI, 2011). Lima provinsi yang memiliki angka prevalensi
TB tertinggi adalah Papua, Banten, Sulawesi Utara, Gorontalo dan DKI
(Riskesda, 2010). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2010
mempunyai angka insiden TB sebesar 30 per 100.000 penduduk dan prevalensi
sebesar 33 per 100.000 penduduk. Kota Yogyakarta mempunyai insidens dan
prevalensi paling tinggi, yaitu insidens sebesar 245 kasus dan prevalensi sebesar
59 per 100.000 penduduk. Insidensi TB di Kabupaten Bantul sebesar 372 kasus
dengan prevalensi sebesar 44 per 100.000 penduduk. Kabupaten Sleman
mempunyai insidens TB sebesar 172 kasus dengan prevalensi sebesar 20 per
100.000 penduduk. Kabupaten Gunung Kidul mempunyai insidens TB sebesar
161 kasus dengan prevalensi sebesar 24 per 100.000 penduduk. Kabupaten Kulon
Progo mempunyai insiden TB sebesar 125 kasus dengan prevalensi sebesar 28 per
100.000 penduduk (Dinkes Yogyakarta, 2007).
Epidemiologi hepatotoksik akibat OAT
Angka kejadian hepatotoksik akibat OAT antar negara bervariasi antara 228%. Kejadian hepatotoksik akibat OAT pada pasien TB paru dewasa di
Singapura sebesar 5,3 % (Teleman et al., 2002), India sebesar 16,1% (Sharma et
7
al., 2002) sedangkan di Indonesia sekitar 3,4 % (Prihatni et al., 2005; Febrinasari,
2010). Pemberian profilaksis isoniazid monoterapi menyebabkan kejadian
hepatotoksik sebesar 0,15% (Nolan et al., 1999) sedangkan pemberian profilaksis
rifampisin monoterapi menyebabkan kejadian hepatotoksik sebesar 1-2 %.
(Villariano et al., 1997).
Hepatotoksik OAT
Hepatotoksik adalah kerusakan hepar akibat paparan obat yang berlebihan
atau adanya metabolit toksik. Senyawa yang menyebabkan kerusakan hepar
disebut hepatotoksin/hepatotoksikan. Rifampisin, isoniazid dan pirazinamid
bersifat hepatotoksik (Navarro & Senior, 2006).
Hepatotoksik secara umum dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu tipe A dan tipe
B. Hepatotoksik tipe A adalah hepatotoksik yang dapat diprediksi, dosedependent dan semua individu rentan jika kadar obat dalam darah melebihi
ambang aman. Hepatotoksik tipe B adalah hepatotoksik idiosinkratik yang berarti
terdapat respon yang berbeda antar individu pada stimulus yang sama,
kemungkinan adanya faktor intraindividu yang menyebabkan individu lebih
rentan, insidensinya rendah, terjadi pada dosis obat yang pada sebagian besar
orang tidak menyebabkan toksisitas, dan mempunyai periode laten yang
bervariasi. Respon tubuh setiap individu terhadap hepatotoksik berbeda-beda.
Besarnya respon terhadap suatu toksikan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
konsentrasi toksikan, perbedaan ekspresi enzim yang terlibat dalam metabolisme
obat/senyawa toksikan, kemampuan menetralisir atau mengeliminasi toksikan
oleh hepar dan organ ekskresi lainnya (Sigh et al., 2011; Timbrell, 1984).
8
Manifestasi
hepatotoksik
dibedakan
menjadi
2
yaitu
kerusakan
hepatoseluler dan kolestatis. Setiap obat akan memberikan gambaran manifestasi
hepatotoksik berbeda. Isoniazid, rifampisin dan pirazinamid memberikan
gambaran kerusakan hepatoseluler. Kerusakan hepatoseluler ditandai dengan
kadar SGOT/SGPT yang lebih tinggi sedangkan kolestatis ditandai dengan kadar
alkaline fosfatase yang lebih tinggi. SGPT lebih sering dipakai dan merupakan
standar dalam menilai kerusakan hepar (Saukkonen et al., 2006; Singh et al.,
2011). Kadar SGPT seorang individu bervariasi sebesar 45% dalam sehari
(Saukkonen et al., 2006).
Diagnosis hepatotoksik akibat OAT ditegakkan jika setelah paparan obat
terjadi peningkatan SGPT 3 kali lipat dari nilai batas atas normal disertai mual,
muntah, nyeri perut, anoreksi atau ikterik atau terjadi peningkatan 5 kali lipat dari
nilai batas atas normal tanpa disertai gejala. Dengan penyebab peningkatan SGPT
lainnya telah disingkirkan (Saukkonen et al., 2006; Yee et al., 2003). Penegakkan
diagnosis hepatotoksik dapat dilakukan juga dengan rechallange test (Lee, 2003).
Berdasarkan kriteria WHO, hepatotoksik diklasifikasikan menjadi derajat ringan,
sedang dan berat. Klasifikasi derajat hepatotoksik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi derajat hepatotoksik menurut WHO
Derajat hepatotoksik Nilai SGPT
Derajat 1 (ringan)
<2.5 kali nilai batas atas ambang normal
Derajat 2 (ringan)
2,5-5 kali nilai batas atas ambang normal
Derajat 3 (sedang)
5-10 kali nilai batas atas ambang normal
Derajat 4 (berat)
>10 kali nilai batas atas ambang normal
Sumber Tostmann et al., 2008
Peningkatan SGPT setelah konsumsi OAT banyak terjadi pada 8 minggu
pertama sejak pasien mulai konsumsi OAT (Mitchell et al., 1975; MMWR, 2008;
Download