MENGENAL PENYAKIT ZOONOSIS SELAKARANG PADA HEWAN

advertisement
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
MENGENAL PENYAKIT ZOONOSIS SELAKARANG PADA
HEWAN
RIZA ZAINUDDIN AHMAD
Balai Penelitian Veteriner, Jl. RE. Martadinata No. 30, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRAK
Selakarang adalah penyakit mikotik yang disebabkan oleh cendawan dimorfik H. farciminosus. Penyakit
ini menyerang kuda, bagal, keledai dan sebangsanya. Gejala klinis yang nampak adalah adanya ulser pada
kulit penderita pada daerah bahu, leher, dada, perut dan terjadi penebalan saluran limfe bagian superfisial.
Lalat dapat salah satu sebagai vektor penularan penyakit. Penyakit ini tergolong bersifat kronis sehingga
untuk persembuhan memerlukan waktu yang cukup lama meski mortalitas rendah. Hal ini secara ekonomi
merugikan pemiliknya. Selain itu penyakit ini termasuk golongan penyakit zoonosis. Pengendalian dilakukan
dengan pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dimulai dengan tata laksana pemeliharaan kuda, peralatan,
vaksinasi sampai dengan pengaturan lalu lintas ternak. Sedangkan pengobatan dapat dilakukan dengan
operasi dan perawatan setelah operasi.
Kata kunci: H. farciminosus, kuda, pengendalian, selakarang
PENDAHULUAN
Selakarang adalah Penyakit mikotik yang
disebabkan
oleh
cendawan
dimorfik
Histoplasma farciminosus, atau dengan
beberapa nama lain yaitu African Farcy,
Cryptococcus
farciminosum,
Equine
Blastomycosis, Equine Histoplasmosis, Equine
Cryptococcosis, dan Psedudoglanders. Disebut
dimorfik karena cendawan tersebut dapat
berbentuk spora dan miselium pada temperatur
yang berbeda. Cendawan tersebut mempunyai
kemiripan morfologi dengan H. capsulatum
sebagai penyebab penyakit histoplasmosis.
Hewan yang diserang terutama adalah kuda
dan sebangsanya lainnya. Penyakit ini
termasuk
penyakit
mikosis
sistemik
(ANONIMUS, 2004; GILBERT 2005; JUNGERMAN
dan SCHWARTZMAN, 1972).
Meski jarang ditemukan namun keberadaan
menjadi penting karena tergolong penyakit
zoonosis. Arti penyakit zoonosis yaitu penyakit
yang dapat menular dari hewan kemanusia.
Sehubungan dengan itu perlu mendapat
perhatian khusus, sebab bila menular kemudian
menjadi wabah akan merugikan secara materi
dan moril. Kuda adalah hewan yang dapat
terserang penyakit. Sedangkan kuda untuk
manusia banyak kegunaannya yaitu dipakai
sebagai; kuda aduan, kuda pacu, kuda
tunggangan, dan kuda kerja. Menurut asalnya
314
kuda dapat dibedakan atas kuda impor dan
lokal. Beberapa jenis kuda impor yang terkenal
adalah kuda Arab, kuda Australia, sedangkan
kuda lokal adalah kuda Sumba (Sandel), dan
kuda kampung.
Kuda dapat terserang beberapa penyakit
yang disebabkan oleh bakteri, jamur
(cendawan) dan virus. Salah satu penyakit
mikotik yang penting antara lain adalah
selakarang. Penyakit ini lebih dikenal dengan
nama limfangitis epizootika (L.E). atau
sakharomikosis. Pada kuda bagian yang
terserang umumnya bagian sistem limfatik
superfisial. Penyakit ini sering dikelirukan
dengan beberapa penyakit lain yang mirip
gejala klinisnya. Namun keberadaan penyakit
ini belum banyak yang mengetahuinya
sehingga perlu dipaparkan lebih lanjut di dalam
tulisan ini, dengan maksud agar kita dapat
mengantisipasi lebih lanjut bila terjadi kasus.
Walaupun umumnya berjalan menahun,
namun kejadiannya di beberapa negara Eropa
merupakan kejadian sporadis bukan bersifat
endemis, khususnya terjadi pada kuda-kuda
yang dipelihara secara berkelompok seperti
pada kuda pacu dan kuda kavaleri/tentara
(BLOOD et al 1974).
Secara
ekonomi
merugikan
meski
mortalitas
rendah
namun
menurunkan
produktivitas kerja kuda, selain itu bersifat
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
kronis sehingga pengobatannya memerlukan
biaya dan waktu cukup lama (GILBERT, 2005).
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan cendawan H.
farciminosum, tergolong dimorfik, yaitu
cendawan yang dalam temperatur tubuh (370C)
berbentuk khamir namun pada temperatur
normal/kamar (25-300C) akan berubah menjadi
seperti miselia (ROHDE and HARTMAN, 1980;
ANONIMUS 2004; 2005A,B). Kedua genus
Histoplasama yaitu H. farciminosum dan H.
histocapsulatum
sama-sama
dapat
menyebabkan penyakit histoplasmosis, pada H.
capsulatum menyerang manusia dan hewan
(anjing, babi, kucing dan lainnya), sedangkan
cendawan H. farciminosum lebih banyak
menyerang kuda dan sebangsanya (GILBERT,
2005; JUNGERMAN and AINSWORTH, 1972).
Cendawan dimorfik ini mempunyai bentuk
khamir mulai dari bentuk ovoid sampai dengan
globos dengan diameter berukuran 2-5 µm,
dapat ditemukan pada ekstraseluler dan
intraseluler di dalam sel-sel makrofag dan sel
raksasa. (ANONIMUS, 2004). Pada bentuk
miselia pertumbuhannya lambat dengan
kondisi aerob. Cendawan ini tumbuh sangat
lambat dan mempunyai sedikit hifa berbentuk
arial. Koloni umumnya berwarna abu-abu,
cenderung lembab, mempunyai permukaan
“Glabrous” (seperti kulit). Pertumbuhan pada
Sabouroud”s agar, menghasilkan hifa yang
pendek-pendek dan mempunyai bentuk tidak
teratur dengan cabang hifa berbentuk areal dan
hanya sedikit tumbuh diujung-ujungnya, hifahifa ini secara tidak teratur mengelilingi badan
cendawan
yang
kemudian
akhirnya
membentuk oval sehingga dapat dilukiskan
sebagai “Rudimentary aleuriospora”. Pada
media agar darah pertumbuhan pada medium
adalah tebal, datar, berwarna-abu-abu, dengan
kerapatan koloni yang sedikit, pendek-pendek,
mempunyai segmen tipis dengan pertumbuhan
khlamidospora diujung. Pada kultur yang lebih
tua khlamidospora menjadi bentuk yang
dikenali sebagai miselia yang tumbuh bebas,
berdinding tipis, dan mempunyai struktur
sperikal (JUNGERMAN dan SCHWARTZMAN,
1972).
Adapun taksonomi H.
farciminosum
menurut ROHDE and HARTMAN (1980).
Divisi
: Fungi (Mycota)
Sub divisi : Eumycotina
Klas
: Deuteromycetes
Ordo
: Moniliales
Famili
: Moniliaceae
Genus
: Histoplasma
Spesies : H. farciminosum
Meski H. farciminosum dan H. capsulatum
dengan pewarnaan morfologi agak mirip
namun dapat dibedakan dengan mesin DNA
sekuensing (KASUGA et al., 1999).
Prevalensi dan penyebaran
Kuda merupakan hewan yang dekat
hubungannya
dengan
manusia
karena
seringnya
berkontak,
dipelihara
untuk
dimanfaatkan tenaganya. Pada zaman dahulu
dipakai untuk transportasi dan penarik gerobak,
penarik delman atau andong dan sebagai kuda
tunggang pacu sebagai sumber penghasilan
untuk pemiliknya. Sedangkan pada zaman
sekarang untuk keperluan olahraga dan
rekreasi. Kuda sebagai hewan kesayangan
dapat sebagai reservoir penularan bila hewan
tersebut mengidap penyakit, hal dapat terjadi
karena gejala klinis yang lama muncul (1 s/d 6
bulan), namun kejadian ini tidak disadari oleh
pemilik dan pemeliharanya, sehingga dapat
sebagai sumber penularan.
Kejadian penularan pada kuda pacu dapat
terjadi ketika akan berlaga, kuda-kuda yang
akan bertanding dikumpulkan dari seluruh
daerah untuk bertanding, kemudian kuda yang
sudah terinfeksi namun belum memperlihatkan
gejala kilinis merupakan reservoir penularan
(Gejala akan muncul 1-6 bulan setelah
terinfeksi), kemudian kuda yang tak terinfeksi
setelah bertanding di tempat tersebut muncul
gejala klinisnya setelah 1-6 bulan kemudian
(NOTOWIDJOYO, 1995). Kemungkinan lain
infeksi dapat terjadi saat hewan tersebut
dipindahkan karena berbagai keperluan tertentu
seperti diperjual belikan atau dipertandingkan.
Untuk mencegah kejadian penyakit tersebut
maka lalulintas hewan harus selalu di
perhatikan. Pada daerah tertular tidak boleh
dipindahkan kedaerah lain dan hewan yang
sehat dilarang masuk ke daerah tersebut.
Penularan selakarang. belum jelas benar,
untuk kontak langsung belum dianggap cara
penularan yang lazim, kecuali bila ada disertai
315
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
oleh adanya faktor-faktor predisposisis, seperti
dengan adanya luka sebagai salah satu faktor
predisposisi adalah hal yang memungkinkan.
Penyebaran dapat disebarkan secara langsung
dan tak langsung oleh lalat, contohnya lalat
Musca spp dan Stomoxys spp sehingga
merupakan vektor penularan. Pencemaran
terjadi pada saat lalat menempel pada luka
yang terbuka dari hewan yang telah terinfeksi
selakarang.
Penyebaran penyakit dapat meliputi benua
Asia, Afrika, Amerika Utara dan hindia Barat.
Penyakit ini umumnya bersifat kronis
(GILBERT, 2005).
Gejala klinis dan diagnosa
Penyakit ini pada kuda ditandai dengan
adanya ulserasi yang bersifat undulatif pada
kulit penderita, hal ini terjadi setelah beberapa
minggu sampai 3 bulan terkena infeksi. Bisulbisul ditemukan pada bagian kaki, dada, leher,
bibir, skrotum, ambing dan punggung yang
selanjutnya ditandai dengan penebalan saluran
limfe bagian superfisial, pembesaran nodus
limfangitis regimal, pembentukan abses
bernanah bercampur darah dan berakhir
dengan terbentuknya ulser pada kulit yang
lebih kecil-kecil yang lama kelamaan ulser ini
akan menjadi satu. Kulit menebal dan fibrous.
Kuda penderita tersebut menjadi kurus dan
lamakelamaan
mati
karena
kelelahan.(ANONIMUS, 2004, 2005A; BLOOD et
al, 1970; JUNGERMAN dan SCHWARTZMAN,
1972) (Gambar 1)
Gambar 1. Selakarang pada kuda
Sumber: HASTIONO (1983)
316
Diagnosa
dapat
dilakukan
dengan
mengidentifikasi agen penyebab dengan
pemeriksaan langsung pada mikroskop dengan
pewarnaan preparat ulas, histopatologi,
mikroskop elektron, pemeriksaan biakan pada
medium dan inokulasi hewan. Kemudian Uji
Serologis dengan Fluorescent Antibody Test
(FAT), teknik ELISA, Hemaglutinasi test dan
uji hipersensitif kulit. Tidak ada perbedaan ras,
kelamin dan umur penderita pada kasus
epizootic
lymphangitis
(FAWI,
1969;
ANONIMUS, 2004).
Agen penyakit dapat diidentifikasi dengan
preparat ulas dari eksudat atau materi bagian
lesi. Bentuk khamir ini dapat ditemukan dalam
jumlah yang banyak pada lesi sebagai bentuk
ovoid pleomorfik sampai mendekati bentuk
globos, diameternya mendekati 2-5 um, berada
pada ektraseluler dan intra seluler dalam
makrofag dan sel-sel raksasa (ANONIMUS,
2004).
Spesimen laboratorium
Lesi atau keseluruhan lesi dan sampel
serum dikumpulkan secara aseptik. Sampel
disimpan dalam tempat yang dingin dan
dikirim dengan es basah sesegera mungkin.
Lesi eksudat pada slide glas ulas harus di
dalam 10% formalin buffer dan es kering untuk
pemeriksaan mikroskop (ANONIMUS, 2004;
JUNGERMAN dan SCHWARTZMAN, 1972).
Deferensial diagnosa
Penyakit ini mirip dengan maleus yang
disebabkan oleh Burkholderia mallei, pada
maleus bentuk ulser lebih dalam dan tidak
menjadi satu, melainkan berdiri sendiri-sendiri
dan dapat menyebar sampai ke septum nasi dan
trachea, sedangkan pada sporotrikhosis,
produksi nanah hanya sedikit dan saluran limfe
tidak terserang. Ulcerative lymphangitis yang
disebabkan
oleh
Corynebacterium
pseudotuberculosis,
sporotrichosis
oleh
Sporothrix schenckii (ANONIMUS, 2004, 2005
A;
GILBERT 2005; JUNGERMAN dan
SCHWARTZMAN, 1972). Dengan bantuan
pemeriksaan serologis dapat dibedakan
penyebab penyakit tersebut.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
PERMASALAHAN DI INDONESIA
Kuda dan sebangsanya adalah hewan yang
terserang penyakit ini dalam kasus di Indonesia
jarang teramati atau dilaporkan, tetapi kasuskasus di luar negeri cukup banyak seperti
Ethopia, Afrika, Timur jauh, India (AL-ANI,
1999; ENDENBU dan ROGER, 2003; GILBERT,
2005), hal ini dikarenakan dibeberapa tempat
di negara Tmur Jauh kuda merupakan ternak
tunggangan yang penting artinya. Sebenarnya
di Indonesia kasus ini pernah ada misalnya
yang terjadi pada kuda-kuda di daerah
Sulawesi sebagai tempat yang banyak populasi
kudanya. Daerah ini harus disurvey kembali
untuk memastkan tentang adanya penyakit
tersebut, karena pada tahun 1980an dan 1990
an telah dapat ditemukan (HASTIONO, 1983;
NOTOWIDJOYO, 1995). Untuk memastikan
apakah pada tahun 2005 ini masih ada, maka
perlu adanya pemeriksaan kembali terhadap
kuda-kuda di daerah Sulawesi tersebut, namun
melihat dari sistem sosial budaya dan ketidak
tahuan pemilik ternak terhadap kesehatan
kudanya penulis menduga masih ada, hanya
saja tidak ada laporannya, namun untuk
membuktikan dugaan ini kita harus memeriksa
kuda-kuda di daerah Sulawesi.
Pada pemeriksaan mikroskopis sering
dikelirukan antara H. capsulatum dengan H.
farciminosum namun dengan pemeriksaan
serologis dengan jelas dapat dibedakan.. Sifat
zoonosis haruslah diwaspadai, meski jarang
terjadi .kejadian pada manusia dapat terjadi
walau sangat sedikit, kejadian ini dapat terjadi
pada orang yang sering melakukan pekerjaan
dengan memakai kuda (NOTOWIDJOYO, 1995;
DHSS, 1997; ANONIMUS, 2005A). Kuda yang
terserang akibatnya akan memeperlihatkan
benjolan-benjolan, luka pada sekitar tubuh,
saluran
limfe
sehingga
kejadian
ini
menurunkan penampilan kuda, selain itu
hewan penderita tidak bekerja dengan baik
yang pada akhirnya akan merugikan
pemiliknya. Selain itu meski mortalis rendah
penyakit ini kejadiannya tinggi pada hewan
yang dipelihara bersama-sama (kuda militer,
pacuan dan peternakan (ANONIMUS 2004;
BLOOD et al, 1970).
Menurut undang-undang Veteriner dan
polos kehewanan (STAATBLAD tahun 1912 no
435) dinyatakan menular dalam NOTOWIDJOYO
(1995), maka perlakuan pada kuda masih
berlaku sampai sekarang, karena peraturan
yang baru belum diperbaharui. Hewan yang
sakit harus diasingkan dan tempat tersebut
harus diberi pemberitahuan tentang adanya
penyakit menular. Hewan yang sakit bila ingin
dibunuh harus dikubur, sebaliknya hewan yang
sehat setelah pengobatan harus ada surat dokter
hewannya. Dari adanya undang-undang yang
masih belum dicabut maka selakarang atau
lymphangitis epizootika adalah penyakit
tergolong zoonosis. Penularan antar sesama
kuda di Indonesia dapat terjadi, karena
perpindahan atau jual beli kuda dari daerah
yang mungkin banyak kasus ke daerah yang
tak ada kasus penyakit, seperti di daerah
Sulawesi perlu diwaspadai.
PENGENDALIAN
Pengendalian dilakukan dengan cara
pencegahan dan pengobatan. Pencegahan
secara ketat, teratur dan tertib dari kesehatan
adalah berguna untuk mencegah penyebaran
penyakit ini. Perlakuan inilah yang sebaiknya
dilakukan sebelum pengobatan. Di Indonesia
pada daerah kantong-kantong pemeliharaan
kuda adalah sebagai contoh daerah Sulawesi
yang pada tahun 1980 dan tahun 1990an dapat
ditemukan penyakit tersebut (NOTOWIDJOYO,
1995; HASTIONO, 1983). Pencegahan dengan
perawatan yang terbaik adalah memelihara
kuda dan peralatannya sebaik mungkin dapat
dilakukan. Penularan pada benda yang
berhubungan dengan kuda yang sakit
seharusnya dibakar. Organisma selakarang
tersebut dapat hidup pada lingkungan yang
telah terinfeksi selama berbulan-bulan pada
daerah yang berkondisi lembab dan hangat.
Bila kuda terserang penyakit kronis ini secara
ringan akan sembuh kembali bahkan akan
kebal selama hidupnya terhadap penyakit
tersebut (GILBERT, 2005). Pengendalian
penyakit biasanya dilakukan dengan melalui
eliminasi hewan yang terinfeksi. Hal ini dapat
dicapai dengan memisahkan kuda terinfeksi
dan menerapkan latihan kesehatan yang ketat
untuk pencegahan penyebaran penyakit
(GILBERT, 2005; GILLESPY dan TIMONY, 1981).
Pengobatan pilihan dapat dilakukan dengan
operasi dengan mengadakan pembedahan
nodulus, bisul, ulser, kemudian diobati dengan
perak nitrat, Iodium tinktur atau diberikan
317
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
suntikan HgCl2 dan lain-lainnya. Penanganan
sesudah pasca operasi dapat diberikan
fungistatika secara peroral dan respon akan
timbul pada 3 sampai 4 minggu setelah
pengobatan (AINSWORTH dan AUSTWICK,
1973; NOTOWIDJOYO, 1995). Namun bekas
pengobatan akan nampak, hal ini akan
mengurangi keindahan tubuh kuda, sehingga
penampilannya menurun, bila kuda tersebut
adalah kuda yang ikut lomba penampilan kuda
maka nilainya akan rendah sehingga si pemilik
menderita kerugian.
Pengobatan pada hewan ternak dipandang
tidak begitu ekonomis kecuali pada hewan
kesayangan, pencegahan lain yang penting
untuk dilakukan ialah memberantas lalat
sebagai vektor, tempat kuda yang tercemar
distrilisasi dan tak digunakan selama 6 bulan.
Bila terdapat wabah daerah baru sebaiknya
hewan penderita dimusnahkan.
Pengobatan melalui operasi telah dilakukan
oleh SINGH (1965) dengan pembiusan umum
menggunakan Khloraldehidrat 12% dan larutan
Magnesium Sulfat 6%. Pembedahan abses
(bisul) dan ulser dilakukan derngan
mengikutkan jaringan yang masih sehat
disekitarnya, dilanjutkan dengan pengolesan
luka setelah operasi dengan Iodium tingtur,
kemudian luka jahitan disemprot dengan anti
septik.
pengobatan
peroral
digunakan
fungistatik selama 2 bulan . Selain itu dapat
pula digunakan Amphotericin B (AL-ANI,
1999; GILBERT 2005)
Kesembuhan terjadi karena operasi yang
dilakukan secara aseptik, menyeluruh dan
sempurna tanpa sisa yang menimbulkan
kekambuhan, hewan yang sembuh harus tetap
diawasi oleh Dinas Peternakan setempat.
Hasil yang baik dapat dicapai dengan
memakai vaksin yang dimatikan atau
dilemahkan pada daerah yang telah endemis.
Kuda yang sembuh dari gejala klinis akan
kebal terhadap infeksi ulang penyakit. Meski
hasil vaksinasi menjanjikan namun vaksinnya
belum tersedia (GILBERT, 2005).
KESIMPULAN
Penyakit Selakarang belum banyak
diketahui, menyerang kuda dan sebangsanya
dapat bersifat zoonosis namun sering tidak
disadari. Meski penyakit ini belum mewabah
318
namun pernah ada pada tahun 1983 dan 1995
di Indonesia karena itu perlu diwaspadai
keberadaannya bila suatu saat akan muncul
kembali.
DAFTAR PUSTAKA
AINSWORTH,G.C and P.K.C. AUSTWICK.1973.
Fungal Diseases of Animals, 2nd Ed, Cab,
Farnham Royal, Slough, England.
AL-ANI F.K. 1999. Epizotic lymphangitis in horses.
A review of literature. Rev, Sci. Tech. Off, Int,
Epiz. 18131. 691-699.
ANONIMUS. 2004. Manual of Diagnostic test and
vaccines for terrestrial Animals> Epizootic
Lymphangitis. Http://216.109.112.135/ search/
cache? P = histoplasma + farciminosum & pr
issue = search. (7-Juli-2005).
ANONIMUS. 2005A. Animal Health and Welfare.
Disease fact Sheet: Epizootic Lymphangitis.
Http://www. Defra. Gov. uk/animalh/diseases/
notifiable/disease/epizooticlymphangitis.htm:1
-2.(7 Juli 2005).
ANONIMUS. 2005B. National Animal Health
Information System (NAHIS). Epizootic
Lymphangitis. Http: //www. Aahc. Com.Au/
nahis/disease/EL01. htm :1-4 (7 Juli 2005).
BLOOD DC, J.A. HENDERSON and O M RADOTISTS.
1970.Veterinary Medicine. A. Textbook of
Diseases of cattle, Sheep, Pigs and Horses.
5th. LEA and FEBRIGER. Philadelphia USA.
DHHS. 1997. Histoplasmosis. Protecting Worker at
risk. (NIOSH) Publication. 97-146.
ENDEBU B and F. ROGER. 2005. Comparative studies
on the occurance distribution of epizootic
lymphangitis a ulcerative lymphangitis in
Ethopia. International Journal of Applied
research in Veterinary Medicine (1): 5 :9.
Http://www. Jarvm.com/artcles/vol 1,1ss3/
endebu.htm
FAWI. M.T. 1969. Fluorescent antibody test for the
serodiagnosis of Histoplasma Farciminosum
inectious in Equidae. Br. Vet J. 125-231.
GILBERT. 2005. Part IV Foreign animal disease.
Epizootic lymphangitis. Collage of Veterinay
Medicine, Cornell University Ithaca. N.Y.
14853-6401 : 1-5 http://www. Vet.uga.edu/
upp/gray-book/FAD/EPL.htm (11 Juli 2005)
GILLESPIE JH and J F TIMONEY. 1981. Hagan and
Bruner”s Diseases of Domestic Animals 7th
ed. Cornell University Press. London.
England.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
HASTIONO. S. 1983. Penyakit Selakarang dan
pengaruhnya terhadap pemanfaatan tenaga
kuda bagi petani. Wartazoa (1):5-11.
JUNGERMAN, P.F and R.M SCHWARTZMAN. 1972.
Veterinary Medical Mycology. LEA and
FEBRIGER. Philadelphia. USA.
KASUGA T, J W TAYLOR, and T J WHITE. 1999.
Phylogenetic relatiuon ships of varietes and
geographial groups of the human pathogenic
fungus Histoplasma capsulatum. Darling. J.
Clin microbial 37 (3):653-63. Abstract.
Http://www.algis.com/aidsline/1999/may/A
9950322. html.
NOTOWIDJOYO W. 1995. Lymphangitis Epizootika
pada kuda: Diagnosis, penagnan secara
operatif dan permasalahannya. Kumpulan
makalah lengkap. Konas PMKI I dan Temu
Ilmiah I Bogor, 21-24 juli 1994. 188-200.
ROHDE B and HARTMAN G.1980. Introducing
Mycology
by
Examples.
Schering
Aktingesellschaft. Hamburg.
SINGH S. 1965. Equine Cryptococosis (Epizootic
Lymphangitis). Indian Vet J 1956; 32:260270.
319
Download