Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis MENGENAL PENYAKIT ZOONOSIS SELAKARANG PADA HEWAN RIZA ZAINUDDIN AHMAD Balai Penelitian Veteriner, Jl. RE. Martadinata No. 30, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRAK Selakarang adalah penyakit mikotik yang disebabkan oleh cendawan dimorfik H. farciminosus. Penyakit ini menyerang kuda, bagal, keledai dan sebangsanya. Gejala klinis yang nampak adalah adanya ulser pada kulit penderita pada daerah bahu, leher, dada, perut dan terjadi penebalan saluran limfe bagian superfisial. Lalat dapat salah satu sebagai vektor penularan penyakit. Penyakit ini tergolong bersifat kronis sehingga untuk persembuhan memerlukan waktu yang cukup lama meski mortalitas rendah. Hal ini secara ekonomi merugikan pemiliknya. Selain itu penyakit ini termasuk golongan penyakit zoonosis. Pengendalian dilakukan dengan pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dimulai dengan tata laksana pemeliharaan kuda, peralatan, vaksinasi sampai dengan pengaturan lalu lintas ternak. Sedangkan pengobatan dapat dilakukan dengan operasi dan perawatan setelah operasi. Kata kunci: H. farciminosus, kuda, pengendalian, selakarang PENDAHULUAN Selakarang adalah Penyakit mikotik yang disebabkan oleh cendawan dimorfik Histoplasma farciminosus, atau dengan beberapa nama lain yaitu African Farcy, Cryptococcus farciminosum, Equine Blastomycosis, Equine Histoplasmosis, Equine Cryptococcosis, dan Psedudoglanders. Disebut dimorfik karena cendawan tersebut dapat berbentuk spora dan miselium pada temperatur yang berbeda. Cendawan tersebut mempunyai kemiripan morfologi dengan H. capsulatum sebagai penyebab penyakit histoplasmosis. Hewan yang diserang terutama adalah kuda dan sebangsanya lainnya. Penyakit ini termasuk penyakit mikosis sistemik (ANONIMUS, 2004; GILBERT 2005; JUNGERMAN dan SCHWARTZMAN, 1972). Meski jarang ditemukan namun keberadaan menjadi penting karena tergolong penyakit zoonosis. Arti penyakit zoonosis yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan kemanusia. Sehubungan dengan itu perlu mendapat perhatian khusus, sebab bila menular kemudian menjadi wabah akan merugikan secara materi dan moril. Kuda adalah hewan yang dapat terserang penyakit. Sedangkan kuda untuk manusia banyak kegunaannya yaitu dipakai sebagai; kuda aduan, kuda pacu, kuda tunggangan, dan kuda kerja. Menurut asalnya 314 kuda dapat dibedakan atas kuda impor dan lokal. Beberapa jenis kuda impor yang terkenal adalah kuda Arab, kuda Australia, sedangkan kuda lokal adalah kuda Sumba (Sandel), dan kuda kampung. Kuda dapat terserang beberapa penyakit yang disebabkan oleh bakteri, jamur (cendawan) dan virus. Salah satu penyakit mikotik yang penting antara lain adalah selakarang. Penyakit ini lebih dikenal dengan nama limfangitis epizootika (L.E). atau sakharomikosis. Pada kuda bagian yang terserang umumnya bagian sistem limfatik superfisial. Penyakit ini sering dikelirukan dengan beberapa penyakit lain yang mirip gejala klinisnya. Namun keberadaan penyakit ini belum banyak yang mengetahuinya sehingga perlu dipaparkan lebih lanjut di dalam tulisan ini, dengan maksud agar kita dapat mengantisipasi lebih lanjut bila terjadi kasus. Walaupun umumnya berjalan menahun, namun kejadiannya di beberapa negara Eropa merupakan kejadian sporadis bukan bersifat endemis, khususnya terjadi pada kuda-kuda yang dipelihara secara berkelompok seperti pada kuda pacu dan kuda kavaleri/tentara (BLOOD et al 1974). Secara ekonomi merugikan meski mortalitas rendah namun menurunkan produktivitas kerja kuda, selain itu bersifat Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis kronis sehingga pengobatannya memerlukan biaya dan waktu cukup lama (GILBERT, 2005). ETIOLOGI Penyakit ini disebabkan cendawan H. farciminosum, tergolong dimorfik, yaitu cendawan yang dalam temperatur tubuh (370C) berbentuk khamir namun pada temperatur normal/kamar (25-300C) akan berubah menjadi seperti miselia (ROHDE and HARTMAN, 1980; ANONIMUS 2004; 2005A,B). Kedua genus Histoplasama yaitu H. farciminosum dan H. histocapsulatum sama-sama dapat menyebabkan penyakit histoplasmosis, pada H. capsulatum menyerang manusia dan hewan (anjing, babi, kucing dan lainnya), sedangkan cendawan H. farciminosum lebih banyak menyerang kuda dan sebangsanya (GILBERT, 2005; JUNGERMAN and AINSWORTH, 1972). Cendawan dimorfik ini mempunyai bentuk khamir mulai dari bentuk ovoid sampai dengan globos dengan diameter berukuran 2-5 µm, dapat ditemukan pada ekstraseluler dan intraseluler di dalam sel-sel makrofag dan sel raksasa. (ANONIMUS, 2004). Pada bentuk miselia pertumbuhannya lambat dengan kondisi aerob. Cendawan ini tumbuh sangat lambat dan mempunyai sedikit hifa berbentuk arial. Koloni umumnya berwarna abu-abu, cenderung lembab, mempunyai permukaan “Glabrous” (seperti kulit). Pertumbuhan pada Sabouroud”s agar, menghasilkan hifa yang pendek-pendek dan mempunyai bentuk tidak teratur dengan cabang hifa berbentuk areal dan hanya sedikit tumbuh diujung-ujungnya, hifahifa ini secara tidak teratur mengelilingi badan cendawan yang kemudian akhirnya membentuk oval sehingga dapat dilukiskan sebagai “Rudimentary aleuriospora”. Pada media agar darah pertumbuhan pada medium adalah tebal, datar, berwarna-abu-abu, dengan kerapatan koloni yang sedikit, pendek-pendek, mempunyai segmen tipis dengan pertumbuhan khlamidospora diujung. Pada kultur yang lebih tua khlamidospora menjadi bentuk yang dikenali sebagai miselia yang tumbuh bebas, berdinding tipis, dan mempunyai struktur sperikal (JUNGERMAN dan SCHWARTZMAN, 1972). Adapun taksonomi H. farciminosum menurut ROHDE and HARTMAN (1980). Divisi : Fungi (Mycota) Sub divisi : Eumycotina Klas : Deuteromycetes Ordo : Moniliales Famili : Moniliaceae Genus : Histoplasma Spesies : H. farciminosum Meski H. farciminosum dan H. capsulatum dengan pewarnaan morfologi agak mirip namun dapat dibedakan dengan mesin DNA sekuensing (KASUGA et al., 1999). Prevalensi dan penyebaran Kuda merupakan hewan yang dekat hubungannya dengan manusia karena seringnya berkontak, dipelihara untuk dimanfaatkan tenaganya. Pada zaman dahulu dipakai untuk transportasi dan penarik gerobak, penarik delman atau andong dan sebagai kuda tunggang pacu sebagai sumber penghasilan untuk pemiliknya. Sedangkan pada zaman sekarang untuk keperluan olahraga dan rekreasi. Kuda sebagai hewan kesayangan dapat sebagai reservoir penularan bila hewan tersebut mengidap penyakit, hal dapat terjadi karena gejala klinis yang lama muncul (1 s/d 6 bulan), namun kejadian ini tidak disadari oleh pemilik dan pemeliharanya, sehingga dapat sebagai sumber penularan. Kejadian penularan pada kuda pacu dapat terjadi ketika akan berlaga, kuda-kuda yang akan bertanding dikumpulkan dari seluruh daerah untuk bertanding, kemudian kuda yang sudah terinfeksi namun belum memperlihatkan gejala kilinis merupakan reservoir penularan (Gejala akan muncul 1-6 bulan setelah terinfeksi), kemudian kuda yang tak terinfeksi setelah bertanding di tempat tersebut muncul gejala klinisnya setelah 1-6 bulan kemudian (NOTOWIDJOYO, 1995). Kemungkinan lain infeksi dapat terjadi saat hewan tersebut dipindahkan karena berbagai keperluan tertentu seperti diperjual belikan atau dipertandingkan. Untuk mencegah kejadian penyakit tersebut maka lalulintas hewan harus selalu di perhatikan. Pada daerah tertular tidak boleh dipindahkan kedaerah lain dan hewan yang sehat dilarang masuk ke daerah tersebut. Penularan selakarang. belum jelas benar, untuk kontak langsung belum dianggap cara penularan yang lazim, kecuali bila ada disertai 315 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis oleh adanya faktor-faktor predisposisis, seperti dengan adanya luka sebagai salah satu faktor predisposisi adalah hal yang memungkinkan. Penyebaran dapat disebarkan secara langsung dan tak langsung oleh lalat, contohnya lalat Musca spp dan Stomoxys spp sehingga merupakan vektor penularan. Pencemaran terjadi pada saat lalat menempel pada luka yang terbuka dari hewan yang telah terinfeksi selakarang. Penyebaran penyakit dapat meliputi benua Asia, Afrika, Amerika Utara dan hindia Barat. Penyakit ini umumnya bersifat kronis (GILBERT, 2005). Gejala klinis dan diagnosa Penyakit ini pada kuda ditandai dengan adanya ulserasi yang bersifat undulatif pada kulit penderita, hal ini terjadi setelah beberapa minggu sampai 3 bulan terkena infeksi. Bisulbisul ditemukan pada bagian kaki, dada, leher, bibir, skrotum, ambing dan punggung yang selanjutnya ditandai dengan penebalan saluran limfe bagian superfisial, pembesaran nodus limfangitis regimal, pembentukan abses bernanah bercampur darah dan berakhir dengan terbentuknya ulser pada kulit yang lebih kecil-kecil yang lama kelamaan ulser ini akan menjadi satu. Kulit menebal dan fibrous. Kuda penderita tersebut menjadi kurus dan lamakelamaan mati karena kelelahan.(ANONIMUS, 2004, 2005A; BLOOD et al, 1970; JUNGERMAN dan SCHWARTZMAN, 1972) (Gambar 1) Gambar 1. Selakarang pada kuda Sumber: HASTIONO (1983) 316 Diagnosa dapat dilakukan dengan mengidentifikasi agen penyebab dengan pemeriksaan langsung pada mikroskop dengan pewarnaan preparat ulas, histopatologi, mikroskop elektron, pemeriksaan biakan pada medium dan inokulasi hewan. Kemudian Uji Serologis dengan Fluorescent Antibody Test (FAT), teknik ELISA, Hemaglutinasi test dan uji hipersensitif kulit. Tidak ada perbedaan ras, kelamin dan umur penderita pada kasus epizootic lymphangitis (FAWI, 1969; ANONIMUS, 2004). Agen penyakit dapat diidentifikasi dengan preparat ulas dari eksudat atau materi bagian lesi. Bentuk khamir ini dapat ditemukan dalam jumlah yang banyak pada lesi sebagai bentuk ovoid pleomorfik sampai mendekati bentuk globos, diameternya mendekati 2-5 um, berada pada ektraseluler dan intra seluler dalam makrofag dan sel-sel raksasa (ANONIMUS, 2004). Spesimen laboratorium Lesi atau keseluruhan lesi dan sampel serum dikumpulkan secara aseptik. Sampel disimpan dalam tempat yang dingin dan dikirim dengan es basah sesegera mungkin. Lesi eksudat pada slide glas ulas harus di dalam 10% formalin buffer dan es kering untuk pemeriksaan mikroskop (ANONIMUS, 2004; JUNGERMAN dan SCHWARTZMAN, 1972). Deferensial diagnosa Penyakit ini mirip dengan maleus yang disebabkan oleh Burkholderia mallei, pada maleus bentuk ulser lebih dalam dan tidak menjadi satu, melainkan berdiri sendiri-sendiri dan dapat menyebar sampai ke septum nasi dan trachea, sedangkan pada sporotrikhosis, produksi nanah hanya sedikit dan saluran limfe tidak terserang. Ulcerative lymphangitis yang disebabkan oleh Corynebacterium pseudotuberculosis, sporotrichosis oleh Sporothrix schenckii (ANONIMUS, 2004, 2005 A; GILBERT 2005; JUNGERMAN dan SCHWARTZMAN, 1972). Dengan bantuan pemeriksaan serologis dapat dibedakan penyebab penyakit tersebut. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis PERMASALAHAN DI INDONESIA Kuda dan sebangsanya adalah hewan yang terserang penyakit ini dalam kasus di Indonesia jarang teramati atau dilaporkan, tetapi kasuskasus di luar negeri cukup banyak seperti Ethopia, Afrika, Timur jauh, India (AL-ANI, 1999; ENDENBU dan ROGER, 2003; GILBERT, 2005), hal ini dikarenakan dibeberapa tempat di negara Tmur Jauh kuda merupakan ternak tunggangan yang penting artinya. Sebenarnya di Indonesia kasus ini pernah ada misalnya yang terjadi pada kuda-kuda di daerah Sulawesi sebagai tempat yang banyak populasi kudanya. Daerah ini harus disurvey kembali untuk memastkan tentang adanya penyakit tersebut, karena pada tahun 1980an dan 1990 an telah dapat ditemukan (HASTIONO, 1983; NOTOWIDJOYO, 1995). Untuk memastikan apakah pada tahun 2005 ini masih ada, maka perlu adanya pemeriksaan kembali terhadap kuda-kuda di daerah Sulawesi tersebut, namun melihat dari sistem sosial budaya dan ketidak tahuan pemilik ternak terhadap kesehatan kudanya penulis menduga masih ada, hanya saja tidak ada laporannya, namun untuk membuktikan dugaan ini kita harus memeriksa kuda-kuda di daerah Sulawesi. Pada pemeriksaan mikroskopis sering dikelirukan antara H. capsulatum dengan H. farciminosum namun dengan pemeriksaan serologis dengan jelas dapat dibedakan.. Sifat zoonosis haruslah diwaspadai, meski jarang terjadi .kejadian pada manusia dapat terjadi walau sangat sedikit, kejadian ini dapat terjadi pada orang yang sering melakukan pekerjaan dengan memakai kuda (NOTOWIDJOYO, 1995; DHSS, 1997; ANONIMUS, 2005A). Kuda yang terserang akibatnya akan memeperlihatkan benjolan-benjolan, luka pada sekitar tubuh, saluran limfe sehingga kejadian ini menurunkan penampilan kuda, selain itu hewan penderita tidak bekerja dengan baik yang pada akhirnya akan merugikan pemiliknya. Selain itu meski mortalis rendah penyakit ini kejadiannya tinggi pada hewan yang dipelihara bersama-sama (kuda militer, pacuan dan peternakan (ANONIMUS 2004; BLOOD et al, 1970). Menurut undang-undang Veteriner dan polos kehewanan (STAATBLAD tahun 1912 no 435) dinyatakan menular dalam NOTOWIDJOYO (1995), maka perlakuan pada kuda masih berlaku sampai sekarang, karena peraturan yang baru belum diperbaharui. Hewan yang sakit harus diasingkan dan tempat tersebut harus diberi pemberitahuan tentang adanya penyakit menular. Hewan yang sakit bila ingin dibunuh harus dikubur, sebaliknya hewan yang sehat setelah pengobatan harus ada surat dokter hewannya. Dari adanya undang-undang yang masih belum dicabut maka selakarang atau lymphangitis epizootika adalah penyakit tergolong zoonosis. Penularan antar sesama kuda di Indonesia dapat terjadi, karena perpindahan atau jual beli kuda dari daerah yang mungkin banyak kasus ke daerah yang tak ada kasus penyakit, seperti di daerah Sulawesi perlu diwaspadai. PENGENDALIAN Pengendalian dilakukan dengan cara pencegahan dan pengobatan. Pencegahan secara ketat, teratur dan tertib dari kesehatan adalah berguna untuk mencegah penyebaran penyakit ini. Perlakuan inilah yang sebaiknya dilakukan sebelum pengobatan. Di Indonesia pada daerah kantong-kantong pemeliharaan kuda adalah sebagai contoh daerah Sulawesi yang pada tahun 1980 dan tahun 1990an dapat ditemukan penyakit tersebut (NOTOWIDJOYO, 1995; HASTIONO, 1983). Pencegahan dengan perawatan yang terbaik adalah memelihara kuda dan peralatannya sebaik mungkin dapat dilakukan. Penularan pada benda yang berhubungan dengan kuda yang sakit seharusnya dibakar. Organisma selakarang tersebut dapat hidup pada lingkungan yang telah terinfeksi selama berbulan-bulan pada daerah yang berkondisi lembab dan hangat. Bila kuda terserang penyakit kronis ini secara ringan akan sembuh kembali bahkan akan kebal selama hidupnya terhadap penyakit tersebut (GILBERT, 2005). Pengendalian penyakit biasanya dilakukan dengan melalui eliminasi hewan yang terinfeksi. Hal ini dapat dicapai dengan memisahkan kuda terinfeksi dan menerapkan latihan kesehatan yang ketat untuk pencegahan penyebaran penyakit (GILBERT, 2005; GILLESPY dan TIMONY, 1981). Pengobatan pilihan dapat dilakukan dengan operasi dengan mengadakan pembedahan nodulus, bisul, ulser, kemudian diobati dengan perak nitrat, Iodium tinktur atau diberikan 317 Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis suntikan HgCl2 dan lain-lainnya. Penanganan sesudah pasca operasi dapat diberikan fungistatika secara peroral dan respon akan timbul pada 3 sampai 4 minggu setelah pengobatan (AINSWORTH dan AUSTWICK, 1973; NOTOWIDJOYO, 1995). Namun bekas pengobatan akan nampak, hal ini akan mengurangi keindahan tubuh kuda, sehingga penampilannya menurun, bila kuda tersebut adalah kuda yang ikut lomba penampilan kuda maka nilainya akan rendah sehingga si pemilik menderita kerugian. Pengobatan pada hewan ternak dipandang tidak begitu ekonomis kecuali pada hewan kesayangan, pencegahan lain yang penting untuk dilakukan ialah memberantas lalat sebagai vektor, tempat kuda yang tercemar distrilisasi dan tak digunakan selama 6 bulan. Bila terdapat wabah daerah baru sebaiknya hewan penderita dimusnahkan. Pengobatan melalui operasi telah dilakukan oleh SINGH (1965) dengan pembiusan umum menggunakan Khloraldehidrat 12% dan larutan Magnesium Sulfat 6%. Pembedahan abses (bisul) dan ulser dilakukan derngan mengikutkan jaringan yang masih sehat disekitarnya, dilanjutkan dengan pengolesan luka setelah operasi dengan Iodium tingtur, kemudian luka jahitan disemprot dengan anti septik. pengobatan peroral digunakan fungistatik selama 2 bulan . Selain itu dapat pula digunakan Amphotericin B (AL-ANI, 1999; GILBERT 2005) Kesembuhan terjadi karena operasi yang dilakukan secara aseptik, menyeluruh dan sempurna tanpa sisa yang menimbulkan kekambuhan, hewan yang sembuh harus tetap diawasi oleh Dinas Peternakan setempat. Hasil yang baik dapat dicapai dengan memakai vaksin yang dimatikan atau dilemahkan pada daerah yang telah endemis. Kuda yang sembuh dari gejala klinis akan kebal terhadap infeksi ulang penyakit. Meski hasil vaksinasi menjanjikan namun vaksinnya belum tersedia (GILBERT, 2005). KESIMPULAN Penyakit Selakarang belum banyak diketahui, menyerang kuda dan sebangsanya dapat bersifat zoonosis namun sering tidak disadari. Meski penyakit ini belum mewabah 318 namun pernah ada pada tahun 1983 dan 1995 di Indonesia karena itu perlu diwaspadai keberadaannya bila suatu saat akan muncul kembali. DAFTAR PUSTAKA AINSWORTH,G.C and P.K.C. AUSTWICK.1973. Fungal Diseases of Animals, 2nd Ed, Cab, Farnham Royal, Slough, England. AL-ANI F.K. 1999. Epizotic lymphangitis in horses. A review of literature. Rev, Sci. Tech. Off, Int, Epiz. 18131. 691-699. ANONIMUS. 2004. Manual of Diagnostic test and vaccines for terrestrial Animals> Epizootic Lymphangitis. Http://216.109.112.135/ search/ cache? P = histoplasma + farciminosum & pr issue = search. (7-Juli-2005). ANONIMUS. 2005A. Animal Health and Welfare. Disease fact Sheet: Epizootic Lymphangitis. Http://www. Defra. Gov. uk/animalh/diseases/ notifiable/disease/epizooticlymphangitis.htm:1 -2.(7 Juli 2005). ANONIMUS. 2005B. National Animal Health Information System (NAHIS). Epizootic Lymphangitis. Http: //www. Aahc. Com.Au/ nahis/disease/EL01. htm :1-4 (7 Juli 2005). BLOOD DC, J.A. HENDERSON and O M RADOTISTS. 1970.Veterinary Medicine. A. Textbook of Diseases of cattle, Sheep, Pigs and Horses. 5th. LEA and FEBRIGER. Philadelphia USA. DHHS. 1997. Histoplasmosis. Protecting Worker at risk. (NIOSH) Publication. 97-146. ENDEBU B and F. ROGER. 2005. Comparative studies on the occurance distribution of epizootic lymphangitis a ulcerative lymphangitis in Ethopia. International Journal of Applied research in Veterinary Medicine (1): 5 :9. Http://www. Jarvm.com/artcles/vol 1,1ss3/ endebu.htm FAWI. M.T. 1969. Fluorescent antibody test for the serodiagnosis of Histoplasma Farciminosum inectious in Equidae. Br. Vet J. 125-231. GILBERT. 2005. Part IV Foreign animal disease. Epizootic lymphangitis. Collage of Veterinay Medicine, Cornell University Ithaca. N.Y. 14853-6401 : 1-5 http://www. Vet.uga.edu/ upp/gray-book/FAD/EPL.htm (11 Juli 2005) GILLESPIE JH and J F TIMONEY. 1981. Hagan and Bruner”s Diseases of Domestic Animals 7th ed. Cornell University Press. London. England. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis HASTIONO. S. 1983. Penyakit Selakarang dan pengaruhnya terhadap pemanfaatan tenaga kuda bagi petani. Wartazoa (1):5-11. JUNGERMAN, P.F and R.M SCHWARTZMAN. 1972. Veterinary Medical Mycology. LEA and FEBRIGER. Philadelphia. USA. KASUGA T, J W TAYLOR, and T J WHITE. 1999. Phylogenetic relatiuon ships of varietes and geographial groups of the human pathogenic fungus Histoplasma capsulatum. Darling. J. Clin microbial 37 (3):653-63. Abstract. Http://www.algis.com/aidsline/1999/may/A 9950322. html. NOTOWIDJOYO W. 1995. Lymphangitis Epizootika pada kuda: Diagnosis, penagnan secara operatif dan permasalahannya. Kumpulan makalah lengkap. Konas PMKI I dan Temu Ilmiah I Bogor, 21-24 juli 1994. 188-200. ROHDE B and HARTMAN G.1980. Introducing Mycology by Examples. Schering Aktingesellschaft. Hamburg. SINGH S. 1965. Equine Cryptococosis (Epizootic Lymphangitis). Indian Vet J 1956; 32:260270. 319