STAIN Palangka Raya

advertisement
1
STAIN Palangka Raya
RELASI JENDER DALAM KITAB KUNING
(Analisis Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dalam Kitab ‘Uqud al-Lujjayn)
M. Kasthalani
ABSTRAKSI
Syekh Muhammad ibnu Umar Nawawi al-Bantani adalah salah seorang di antara ulama Indonesia yang
hidup sekitar akhir abad ke-18 Masehi sampai awal abad ke-19. Salah satu karyanya yang sampai saat ini masih
menjadi pelajaran dan sangat terkenal di kalangan pesantren adalah kitab 'Uqūd al-Lujayn, yang ditulisnya
ketika berusia 64 tahun atau sekitar tahun 1294 H. Kitab ini membicarakan tentang hukum keluarga khususnya
hubungan suami isteri dalam melaksanakan kewajibannya sebagai pemimpin bahtera rumah tangga. Seiring
dengan zaman yang membicarakan maraknya isu kesetaraan jender, dalam karya ini penulis memunculkan
beberapa pemikiran Nawawi tentang relasi suami isteri dalam kitab 'Uqūd al-Lujayn untuk diteliti dan dianalisis,
dengan rumusan berikut : bagaimana pemikiran Nawawi tentang kewajiban suami yang meliputi pergaulan
terhadap isteri, menanggung nafkah, dan mengajarinya dalam urusan agama; bagaimana pemikiran Nawawi
tentang kewajiban isteri yang meliputi taat kepada suami, menetap di rumah, dan menutup anggota badan
termasuk wajah dari pandangan laki-laki lain (asing); serta bagaimana analisis relevansi pemikirannya di atas
dengan situasi sekarang.
Penelitian ini bersifat deduktif dan deskriptif serta komparatif. Kemudian isi dari pemikiran Nawawi
tersebut dianalisis ( content analysis). Di samping itu, karena masalah pokok yang akan dipecahkan adalah
masalah pemikiran, yang berupa konsep dan metode ijtihad, maka penulis akan menggunakan pendekatan ushul
fikih atau kaidah fiqhiyyah.
Hasil dari penelitian ini: (1) tentang kewajiban suami: Nawawi menyatakan dalam kitab 'Uqūd alLujayn, bahwasanya seorang suami wajib mempergauli isterinya secara baik dan patut; wajib memenuhi
sandang dan pangan kepada isteri sesuai dengan usaha dan kemampuan; serta wajib mengajari isteri dalam
masalah agama. (2) tentang kewajiban isteri : Nawawi dalam kitab ‘Uqūd al- Lujayn menyebutkan bahwasanya
seorang isteri, dalam keadaan bagaimanapun, wajib taat kepada suaminya kecuali dalam perkara maksiat;
seorang isteri haruslah menetap di dalam rumah. Selain itu, termasuk dosa besar bila seorang isteri keluar rumah
tanpa izin suaminya, sekalipun dengan alasan bertakziah untuk orang tuanya; serta wajib menutup anggota
badan, termasuk wajah dan telapak tangannya dari penglihatan laki-laki lain.
Dari beberapa pemikirannya terdapat sebagian relevansi hukum dengan kondisi sekarang. Kepada
para semua pihak yang menaruh perhatian serius terhadap hukum Islam, perlu membuka cakrawala pemikiran
mereka terhadap ide dan gagasan baru dalam upaya untuk mengkaji kembali ajaran-ajaran Islam sehingga
terdapat compabilitas antara Islam dengan realitas kehidupan kekinian.

Penulis adalah alumni STAIN Palangka Raya Jurusan Syari’ah tahun 2005. Aktif menulis di beberapa surat
kabar lokal. Saat ini ia sedang mengikuti program S2 di IAIN Antasari Banjarmasin konsentrasi Filsafat Hukum
Islam. Alamat Rumah: Jalan Mendawai Nomor 48 Palangka Raya.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
2
STAIN Palangka Raya
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam melalui Alquran terkadang mengesankan gambaran yang berbeda (kontradiktif)
tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan. Di beberapa ayat, Alquran menjelaskan
bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah setara. Misalnya, perempuan diciptakan oleh
Tuhan bersama laki-laki dan dari keduanya berkembang keturunan mereka di permukaan
bumi.1
Allah swt berfirman dalam Alquran :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah telah menciptakan isterinya, dan dari
keduanya berkembang biak laki-laki dan perempuan…” (QS. an-Nisā' [4]: 1).2
Dari sisi hak dan kewajiban, perempuan dan laki-laki juga sama-sama merupakan
pelaku yang bertanggung jawab dan yang akan diminta untuk mentaati hukum serta
mempertanggungjawabkannya di hari kemudian.3
“…sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki dan perempuan…” (QS. Âli Imrān [3]: 195).4
Alquran juga menunjukkan sikap simpatinya yang mendalam pada persamaan derajat
dan keadilan sosial di tengah masyarakat dengan kalimat-kalimat tegas dan manis.5 Allah
berfirman :
“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah adalah mereka yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha mengenal.” (QS. al-Hujurāt : 13 ).6
1
Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam konsep Islam Modernis, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004), hal.
9.
2
Depag. R.I, Alquran dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, tt), hal. 61.
Faisar Ananda Arfa, loc. cit.
4
Depag R.I, op. cit., hal. 60.
5
Umar Syihab, Kontekstualitas Alquran, (Jakarta : Penamadani, 2003), hal. 138.
6
Depag. R.I, op. cit., hal. 412.
3
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
3
STAIN Palangka Raya
Tetapi pada ayat lainnya Alquran memberi kesan adanya subordinasi terhadap kaum
perempuan misalnya ayat mengenai warisan, kepemimpinan laki-laki atas perempuan,
kesaksian, poligami, dan lainnya. Ayat-ayat tipe kedua ini pulalah yang kerap diangkat oleh
kitab-kitab fikih atau pun teks-teks keagamaan ketika pembicaran tentang hubungan laki-laki
dan perempuan diangkat ke permukaan.7
Berbicara mengenai hubungan laki-laki dan perempuan—dalam hal ini pemenuhan
kewajiban suami isteri—banyak kitab fikih klasik yang pernah ditulis para ulama Indonesia
yang membahas hal tersebut, di antaranya adalah kitab ‘Uqūd al-Lujayn
karya Syekh
Muhammad ibnu Umar Nawāwi al-Bantāni.
Secara umum, pandangan Syekh Nawawi al-Bantani—selanjutnya ditulis Nawawi—
dalam kitab ini (‘Uqūd al-Lujayn), memperlihatkan kecenderungannya yang sangat kuat
terhadap perspektif patriarki. Laki-laki, menurut pandangan ini, memegang peranan penting
dalam setiap aspek kehidupan dan diberikan hak untuk mengatur dan menentukan hampir
segalanya.8 Contoh daripada itu adalah kepemimpinan dalam negara, kepemimpinan dalam
salat, berperang, adzan, khotbah, salat Jumat, i’tikaf, kesaksian dalam perkara pidana dan
qisas, dan lain-lain semuanya hanya diperkenankan bagi dan dari kaum laki-laki. Bahkan dia
menambahkan bahwa hubungan darah juga dinisbatkan kepada kaum laki-laki,9 sebuah
pandangan yang memberikan kepada laki-laki sebuah posisi lebih tinggi daripada perempuan.
Bias laki-laki, Nawawi dalam kitab ini dengan sederhana muncul dalam kuantitas
pembahasannya mengenai hak dan kewajiban suami isteri. Nawawi dalam hal ini
memaparkan sejumlah kewajiban laki-laki terhadap isterinya lebih sedikit dibandingkan
pemaparannya tentang kewajiban isteri terhadap suaminya. Kewajiban yang harus dipikul
7
Faisar Ananda Arfa, op. cit., hal. 10.
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta : LKiS, 2001), hal. 176.
9
Ibid., hal. 177.
8
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
4
STAIN Palangka Raya
laki-laki (suami) dibahas dalam 3 (tiga) halaman, sementara bahasan mengenai sebaliknya
dikemukakan secara panjang dalam 6 (enam) halaman lebih.
Kewajiban isteri untuk taat dan patuh terhadap suaminya tampak menjadi tema sentral
dari seluruh kajian kitab ini, khususnya dalam bab tentang kewajiban isteri. Status isteri
dalam hal ini seakan-akan dinyatakan sebagai hak milik penuh suaminya. Dia harus menuruti
apa saja yang dinginkan suaminya. Dia juga tidak diperkenankan menggunakan (mentasharuf-kan) harta suami dan hartanya sendiri, kecuali atas izin suaminya, karena isteri
seperti orang yang tercekal oleh suami. Isteri wajib untuk selalu merasa malu kepada suami,
menundukkan pandangan matanya di hadapan suami, menuruti perintahnya, berdiam diri
ketika suaminya bicara, berdiri ketika suami keluar atau datang, memperlihatkan
kecintaannya menyerahkan dirinya ketika hendak tidur, senantiasa bersih dan wangi
manakala suami di rumah dan tidak ketika di luar rumah. Nawawi memandang bahwa
perempuan seperti inilah yang disebut shālihāh.10
Kitab ini boleh dibilang kecil dan tipis, hanya 22 halaman, terdiri dari empat pasal dan
penutup. Pasal pertama membicarakan tentang kewajiban laki-laki (suami); pasal kedua
tentang kewajiban perempuan (isteri); pasal ketiga, keutamaan salat perempuan di dalam
rumah; pasal keempat tentang haramnya pandang-memandang antara laki-laki dan
perempuan; dan pada bagian penutup dijelaskannya mengenai hal ihwal kaum perempuan
modern, paling tidak pada zaman ketika beliau masih hidup.11
Nawawi, dalam kitab ini mengutip lebih dari 100 (seratus) buah hadis dan hikayathikayat sahabat. Cerita-cerita ini dipaparkan untuk mendukung suatu hadis yang terkait, atau
untuk memperjelas maknanya. Dalam hal ini, beliau tidak memberikan catatan apa-apa
tentang nilai keabsahannya, dan tidak melakukan takhrīj (penilaian), apakah sahih atau daif.
10
Syekh Muhammad ibnu ‘Umar Nawawi al-Bantani, ‘Uqûd al Lujayn, (Semarang : Usaha Keluarga,
11
Ibid., hal.8.
t.t).
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
5
STAIN Palangka Raya
Tidak seperti Imam Nawawi Syarafuddin,12 Nawawi al-Bantani memang tidak dikenal sebagi
ahli hadis. Mungkin persoalan ini dapat dipahami, karena gaya penulisan tanpa catatan kaki
dan bahkan daftar rujukan seperti itu memang telah lazim dalam karya-karya tulis yang
berkembang pada masa itu.13
Menurut Husein dalam bukunya Fiqh Perempuan, Nawawi dalam menulis kitab ini
menjadikan sejumlah kitab sebagai rujukan. Beberapa di antaranya adalah Ihyā’ ‘Ulûmuddīn
karya Abu Hamid al-Ghazali, Az-Zawājir karangan Ibnu Hajr al-Haitami, ‘Uqûbat Ahl alKabāir karangan Abu Laits al-Samarqandi, At-Thargîb wa at-Tarhîb karya al-Mundziri, dan
Al-Kabāir karya Adz-Dzahabi. Lima buah kitab ini merupakan sumber primer. Sumber lain,
antara lain adalah Al-Jāmi’ ash-Shagîr karya Jalaluddin al-Shuyuti, Syarh Ghāyah wa atTaqrîb, Tafsir Khāzin14, dan Tafsîr Khatîb as-Syarbini.15
Kitab ‘Uqūd al-Lujayn
barangkali satu-satunya kitab fikih yang dipandang oleh
masyarakat pesantren paling representatif untuk pembicaraan mengenai hak dan kewajiban
selaku suami isteri. Martin Van Bruinissen, seorang Professor Belanda dan pernah bekerja
sebagai peneliti utama di LIPI (Lembaga Ilmu dan Penelitian Indonesia) Jakarta, telah
mengadakan penelitian terhadap kitab-kitab yang sering dibaca di 46 (empat puluh enam)
pesantren Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa kitab-kitab Nawawi yang sering dibaca
antara lain : Ats-Tsimār al-Yani’ah fi ar- Riyādh al Badi’ah, Kāsyifah as-Sajā, Sullam al-
12
Ada perbedaan di antara Imam Nawawi dan Syekh Nawawi, Imam Nawawi nama aslinya ialah
Yahya bin Syaraf. Terkenal dengan Nawawi karena dinisbatkan kepada tempat kelahirannya, yaitu kampung
Nawa. Sedangkan Syekh Nawawi nama aslinya adalah Muhammad Nawawi bin Umar. Lihat Ahmad Dimyati
Badruzzaman, Umat Bertanya Ulama Menjawab, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2004), hal. 55-59.
13
Husein Muhammad, op.cit., hal. 175.
14
Pengarang tafsir ini adalah Imam Abdullah bin Muhammad (w.741 H). Judul asli dari tafsir ini
adalah Lubāb at-Ta'wīl fī Ma'ānī at-Tanzīl. Penafsirannya didasarkan atas riwayat meskipun tidak menyebutkan
sanadnya. Pengarangnya lebih mementingkan riwayat sehingga ia menyampaikan penafsirannya dengan
peristiwa dan fakta sejarah secara detail, terutama yang berhubungan dengan Bani Israil. Ia juga mengutip
cerita-cerita dan kemudian memberikan penilaian untuk mengungkapkan apakah cerita itu lemah dan tidak
benar. Akan tetapi, kadang-kadang ia tak memberikan komentar tentang sebagian cerita ini sehingga pembaca
menganggap bahwa cerita ini benar dan asli. Thameem Ushama, Metodolgi Tafsir Qur'an ; Kajian Kritis,
Objektif dan Komprehensif, (Jakarta : Riom Cipta, 2000), hal.75.
15
Husein Muhammad, loc. cit.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
6
STAIN Palangka Raya
Munājat, dan ‘Uqūd al-Lujain. Selain itu masih ada kitab lainnya, seperti Nûr azh -Zhalam,
Fath al-Majîd, Tijān adh-Dharari, dan lain-lain.16
Pada zaman di mana isu kesetaraan jender sering dibicarakan ditambah lagi dengan
adanya kemajuan ilmu dan teknologi, maka tidak ada salahnya jika pemikiran Nawawi yang
ia tuangkan dalam karyanya (‘Uqūd al-Lujayn ) dimunculkan untuk dikaji guna menjadi
acuan dalam kemajuan dan perkembangan zaman serta menambah ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Dari gambaran latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dan perlu ditulis
dalam tulisan ini adalah dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran Nawawi tentang kewajiban suami terhadap isterinya dalam
kitab ‘Uqūd al- Lujayn, seperti :
a. Mempergauli isteri dengan baik ?;
b. Memberi nafkah ?;
c. Mengajarkan isteri pelajaran agama ?
2. Bagaimana pemikiran Nawawi tentang kewajiban isteri terhadap suaminya dalam
kitab ‘Uqūd al- Lujayn, seperti :
a. Taat kepada suami ?;
b. Menetap di rumah ?;
c. Menutup anggota badannya dari penglihatan laki-laki lain ?
3. Bagaimana relevansi beberapa pemikiran Nawawi dalam kitab ‘Uqūd al- Lujayn di
atas (rumusan masalah no.1 dan 2) dengan situasi sekarang khususnya isu kesetaraan
jender ?
16
Ibid., hal.. 173.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
7
STAIN Palangka Raya
C. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research. Penelitian
ini bersifat deduktif dan deskriptif serta komparatif, dengan cara menggambarkan apa adanya
beberapa pemikiran Nawawi dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn dan membandingkannya dengan
pemikiran para tokoh yang lain. Kemudian isi dari pemikiran Nawawi tersebut dianalisis (
content analysis). Di samping itu, karena masalah pokok yang akan dipecahkan adalah
masalah pemikiran, yang berupa konsep dan metode ijtihad, maka penulis akan menganalisa
pemikirannya dengan menggunakan pendekatan ushul fikih atau kaidah fiqhiyyah.
II. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
1. Tentang Kewajiban Suami :
a. Mempergauli Isteri secara Makruf
Dalam kitab 'Uqūd al-Lujayn, Nawawi mewajibkan suami untuk berbuat baik
terhadap isteri.17 Jika pemikirannya tentang itu dihubungkan dengan kehidupan rumah tangga
sekarang yang penuh gejolak dan perceraian karena kekerasan yang banyak dilakukan oleh
pihak suami, maka menurut hemat penulis itu sangat relevan dan sudah sepantasnya
dilakukan oleh suami sebagai pemimpin rumah tangga yang menginginkan kebahagiaan dan
sebagai umat Nabi Muhammad yang mana perbuatannya merupakan teladan. Beliau bersabda
:
.
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap keluarga (isteri, anak
dan kerabat). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”.
b. Memberi Nafkah
17
Syekh Muhammad ibn ‘Umar Nawawi al-Bantani, ‘Uqûd al Lujayn, (Semarang : Usaha Keluarga,
t.t), hal.3.
18
Hadis ini diriwayatkan oleh Turmudzi dari ‘Aisyah ra. Menurut Turmudzi hadis ini hasan gharib
sahih. Lihat Turmudzi, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), hal. 276.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
8
STAIN Palangka Raya
Semua ulama sepakat tentang wajibnya nafkah. Begitu juga Nawawi yang
mewajibkan suami dalam menanggung biaya kehidupan isteri sehari-hari. Ia pun
menambahkan, bahwa dalam menanggung nafkah tersebut disesuaikan dengan keadaan dan
kondisi keuangan suami.19 Pemikirannya yang mewajibkan suami untuk memberi nafkah
kepada isteri, jika dihubungkan dengan realita sekarang adalah relevan. Betapa banyak suami
yang mengandalkan isteri dan anaknya (eksploitasi) untuk mencari rezeki, padahal ia (suami)
lebih mampu dan kewajiban memang ada padanya. Hasil pemetaan ulang yang dilakukan
oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan menunjukkan bahwa 60% perempuan
Indonesia, baik yang berstatus lajang, janda, maupun menikah harus menghidupi diri sendiri
dan keluarganya.20
Lain halnya dengan suami yang tidak mampu mencari nafkah (cacat) dan mempunyai
penyakit yang tidak bisa membuatnya mendapatkan penghasilan. Walaupun kewajiban
memberi nafkah pada dasarnya untuk suami, namun ini bukan berarti perempuan sebagai
isteri tidak berkewajiban—secara moral—membantu suaminya mencari nafkah. Pada masa
Nabi Muhammad saw dan sahabatnya, sekian banyak perempuan/isteri yang bekerja
membantu ekonomi rumah tangga. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu
Salamah binti Malhan, bahkan isteri Nabi, Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja sampai pada
menyimak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau bersedekah. Raithah, isteri sahabat
Nabi, 'Abdullah ibnu Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya saat itu tidak
mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga.21
Adapun pemikirannya tentang pemberian nafkah sesuai dengan kondisi dan keadaan
ekonomi suami, jika dihubungkan dengan konteks kehidupan sekarang nampaknya sangat
relevan mengingat keadaan ekonomi sekarang yang sulit, dan oleh karena itu sudah
19
20
Nawawi, op. cit., hal.4.
A. Choliq Mi'roj, Muslimah Berkarir; Telaah Fiqh dan Realitas, (Yogyakarta : Qudsi Media, 2004),
hal.2.
21
Nazaruddin Umar, Argumen Kesteraan Jender: Perspektif Alquran, (Jakarta: Paramadina, 1999),
hal.xxvi.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
9
STAIN Palangka Raya
sepantasnyalah si isteri harus rela menerima pemberian suami apa adanya dan tidak menuntut
berlebihan demi keharmonisan rumah tangga.
c. Mengajari Isteri
Nawawi dalam kitab ‘Uqūd al-Lujayn menyatakan bahwasanya suami wajib
mengajari isterinya tentang pengetahuan agama. Salah satunya ibadah fardu dan sunah yang
terdiri dari salat, zakat, puasa, dan haji. Jika suami dapat mengajar isterinya, maka isteri tidak
boleh keluar rumah untuk bertanya kepada ulama. Jika suami tidak dapat mengajar isteri
karena ketidaktahuan yang disebabkan sedikitnya ilmu yang dimiliki, maka sebagai gantinya
dialah yang harus bertanya kepada ulama, lalu menerangkan jawaban orang yang memberi
fatwa itu kepada isterinya, dan isterinya tidak boleh keluar rumah. Jika suami tidak sanggup
bertanya kepada ulama, maka isteri boleh keluar untuk bertanya bahkan hukumnya wajib,
dan suami berdosa kalau melarangnya.22
Pemikiran Nawawi yang mewajibkan suami untuk mengajar isteri (keluarga) dalam
urusan agama sangat relevan dengan zaman sekarang, yang mana suami sebagai pemimpin
rumah tangga bertanggung jawab menjaga dirinya dan keluarga untuk menghindari
kebodohan dan kerugian di dunia dan akhirat. Namun di lain waktu, pendapat ini tidak
relevan. Bila sang isteri lebih pandai dalam urusan agama, apalagi suami seorang mualaf,
maka si isterilah yang wajib mengajari suaminya. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih :

"Perubahan suatu hukum tergantung perubahan waktu, tempat dan kondisi".
Timbal balik di atas (pengajaran) harus dilakukan untuk kemaslahatan bersama dan
saling tolong menolong dalam kebaikan, yang mana sesuai dengan firman Allah surat alMaidah [5] ayat 2:
"…dan tolong-menolonglah (kalian) dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah

(kalian) tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan…"
22
Nawawi, loc.cit.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
10
STAIN Palangka Raya
Adapun pemikirannya tentang suami yang dapat mengajar isterinya, kemudian
isterinya tidak boleh keluar rumah, menurut penulis hal ini tidak relevan. Banyak suami pada
saat ini yang mempunyai pengetahuan luas tentang agama, namun apabila sang suami tidak
berada di tempat karena keterbatasan ruang dan waktu, sedangkan isteri perlu mengetahui hal
tersebut secara mendesak yang memaksanya untuk keluar rumah, maka hal itu diperbolehkan
untuk bertanya kepada ulama, dengan syarat hal-hal yang mendesak saja. Hal ini sesuai
dengan kaidah fikih:
" Kebutuhan itu menduduki kedudukan darurat"
Pemikirannya yang lain tentang suami yang tidak dapat mengajar isteri karena
ketidaktahuan yang disebabkan sedikitnya ilmu yang dimiliki, ia harus bertanya dulu kepada
ulama, lalu menerangkan jawaban ulama tadi kepada isterinya dan isteri tidak boleh keluar
rumah, adalah tidak relevan dengan waktu sekarang yang mana dipenuhi kesibukan oleh
kaum suami. Hal ini tentu menyulitkan si suami yang akan terganggu pekerjaannya.
Kemudian pemikirannya tentang suami yang tidak sanggup bertanya kepada ulama
dan isteri boleh keluar rumah untuk bertanya, bahkan wajib dan suami berdosa kalau
melarangnya adalah hal yang sangat relevan, karena untuk menghindari kepicikan dan
kebodohan.
2. Tentang Kewajiban Isteri:
a. Taat Kepada Suami
Menurut Nawawi, sebagai seorang isteri yang salehah, ia wajib berbakti kepada
suami, yang berupa ketaatan terhadapnya, selama tidak diperintah kepada maksiat. Ia harus
menghormati, menghargai, mematuhi dan menjaga kehormatan serta harta benda sang
suami.23
23
Nawawi, op.cit., hal.6.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
11
STAIN Palangka Raya
Pemikiran Nawawi tentang hal di atas, sangat relevan dengan kehidupan keluarga
sekarang, mengingat kehidupan rumah tangga sekarang yang tidak harmonis, yang banyak
disebabkan faktor isteri yang membangkang perintah suami, kemudian bisa berakibat
terjadinya perceraian.
Oleh sebab itu, untuk menghindari kerusakan di atas (ketidakharmonisan dan
perceraian), maka wajiblah bagi isteri untuk taat terhadap perintah suami, selama tidak
diperintah untuk hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama.
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih :
" Kerusakan itu (harus) dihilangkan".
b. Menetap di Rumah
Seorang isteri menurut Nawawi, wajib menetap di rumah dan tidak boleh keluar
kemana-mana. Dan termasuk dosa besar bila seorang isteri keluar rumah tanpa izin suaminya,
sekalipun dengan alasan bertakziyah untuk orang tuanya.24
Hal di atas, jika dihubungkan dengan keadaan seperti sekarang ini sudah tidak relevan
lagi mengingat keadaan di luar rumah yang banyak mendatangkan manfaat dan mencapai
kemajuan, seperti mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial maupun keagamaan.
Namun, bisa saja pendapat Nawawi itu relevan, jika menimbang keadaan di luar rumah yang
dikhawatirkan mendatangkan mafsadat. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih :

"Menghindari kerusakan didahulukan daripada mendatangkan maslahat".
Adapun pemikirannya tentang termasuk dosa besar bila seorang isteri keluar rumah
tanpa izin suaminya sekalipun dengan alasan bertakziyah untuk orang tuanya, sangat relevan
untuk perjalanan jauh dari rumah, sebaliknya tidak relevan bila perjalanan keluar rumah jarak
dekat/ke rumah tetangga atau juga yang sudah menjadi kebiasaan isteri seperti keluarnya
isteri dari rumah untuk pekerjaan. Terhadap pemikirannya yang harus minta izin kepada
24
Ibid.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
12
STAIN Palangka Raya
suami untuk bertakziyah kepada orang tuanya, menurut penulis tergantung kondisi.
Pemikiran itu relevan bila orang tua jauh dari tempat isteri, dan tidak relevan bila jarak
tempat antara isteri dan orang tuanya dekat. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kebingungan suami bila mencari isterinya.
c. Menutup Anggota Badan termasuk Wajah dan Tangan dari Penglihatan Lakilaki lain
Nawawi mewajibkan seorang isteri untuk menutup anggota badannya termasuk wajah
dan telapak tangan dari penglihatan laki-laki lain.25 Pemikirannya yang demikian jika
dihubungkan dengan kondisi sekarang, maka tidak relevan. Keadaan sekarang yang penuh
keterbukaan untuk mengenali seseorang sangatlah diperlukan. Contoh daripada itu adalah
ketika seorang polisi lalu lintas yang ingin membuatkan surat izin mengemudi (SIM), yang
dalam hal ini diperlukan pasfoto diri yang bersangkutan. Jika hal itu tidak dilakukan maka
akan terjadi kesulitan. Padahal agama itu mudah. Allah berfirman :
"…tidaklah (Allah) mengadakan kesempatan bagimu dalam agama…"
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang cukup panjang dan menarik tentang beberapa pemikiran
Nawawi dalam kitab 'Uqūd al-Lujayn yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwasanya Nawawi dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn berpandangan wajib bagi
suami dan isteri melaksanakan kewajibannya dalam berumah tangga. Dari sebagian
pemikirannya dalam kitab tersebut terdapat kerelevanan dengan kondisi dan situasi sekarang.
B. Rekomendasi
1. Kepada semua pihak yang menaruh perhatian serius terhadap perkembangan
hukum Islam seyogyanya dapat menerapkan sikap moderat dalam menetapkan
25
Ibid.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
13
STAIN Palangka Raya
suatu hukum Islam. Sikap ini menuntut tidak terlalu cepat menghalalkan sesuatu
dan tidak tergesa-gesa mengharamkannya sebelum melakukan penelitian yang
mendalam dengan tinjauan dari berbagai dimensi. Sikap moderat inilah yang
dianjurkan Alquran, seperti dalam ayat 143 surat al-Baqarah;
2. Hendaknya para pemikir hukum Islam dapat menerapkan metode yang telah ada
untuk menetapkan hukum berbagai masalah kontemporer, agar hukum Islam itu
dapat diterapkan dengan mudah, tidak hanya melangit atau tinggal dalam tataran
teoritis belaka. Upaya tersebut dilakukan sejalan dengan perkembangan zaman
dan perubahan sosial yang ada baik lingkup lokal, regional, nasional dan
internasional.
3. Tulisan tentang pemikiran Syekh Nawawi dalam kitab 'Uqūd al-Lujayn ini masih
belum final, masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu,
kepada para peneliti serupa hendaknya mengkaji kembali secara lebih mendalam
dan cermat sehingga memperoleh hasil yang maksimal.
4. Sebagai sebuah tulisan awal, tentu saja karya ini memiliki banyak kekurangan.
Untuk itu, dengan lapang dada penulis menerima segala bentuk saran dan kritik
demi kesempurnaan hasil tulisan ini.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 1, Nomor 1, Juni 2006
Download