8 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Bank Syariah Bank

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Bank Syariah
Bank Syariah merupakan lembaga keuangan yang kegiatan pokoknya
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke masyarakat dalam
bentuk pembiayaan. Dalam bank syariah dalam kegiatannya lainnya bisa
membuat produk seta melakukan jasa-jasa untuk meningkatkan pendapatannya.
Produk dan jasanya tersebut memegang peranan penting dalam kegiatan usaha
bank syariah.
Siamat (2005) mengemukakan bahwa perbankan syariah pada dasarnya
adalah sistem perbankan yang dalam usahanya didasarkan pada prinsip-prinsip
hukum atau syariah Islam dengan mengacu kepada al-Qur’an dan al-Hadits,
beroperasi dengan mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya
menyangkut tata cara bermuamalat misalnya dengan menjauhi praktik-praktik
yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan kegiatan investasi atas dasar
bagi hasil pembiayaan.
Bank syariah merupakan bank yang beroperasi dengan prinsip Syariah
Islam namun Bank Syariah juga merupakan Bank yang dalam operasionalnya
berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Perbankan Syariah Islam adalah
suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah menurut hukum
Islam Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama Islam
untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba
8
9
serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal:
usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media
yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan
konvensional.
Dari pengertian di atas, bank syariah merupakan sebuah lembaga
keuangan yang menghindari sistem riba, yang lazim digunakan oleh bank
konvensional. Selain itu produk pembiayaan dan jasa - jasanya harus sesuai
dengan prinsip syariat islam.
Larangan tentang riba dijelaskan dalam Al Quran :
“ Orang - orang yang memakan riba, tiada berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila (orang yang
mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan setan).
Yang demikian itu karena mereka berkata ahwa jual beli sama dengan
riba. Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Maka barang siapa menerima pelajaran dari Tuhannya, lalu dia berhenti,
maka baginya apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya (riba
yang sudah diambil sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikkan)
dan urusannya terserah kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka
mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” (QS 2. Al
Baqarah:275).
“ Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka
telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan
10
cara yang tidak sah (batil). Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir di
antara mereka azab yang pedih.” (QS 4. An Nisa:161).
Larangan tentang riba juga dijelaskan dalam Al Hadis :
Dari Abu Sa'd r.a., diceritakan: Pada suatu ketika, Bilal datang
kepada Rasulullah SAW. membawa kurma barni. Lalu Rasulullah Saw.
bertanya kepadanya, "Kurma dari mana ini?" Jawab Bilal, "Kurma kita
rendah mutunya karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang
kurma ini untuk pangan Nabi SAW". Maka bersabda Rasulullah SAW.
"Inilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila
engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmanya
(yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma
yang lebih bagus." (HR. Muslim).
B. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki
persamaan yakni dalam hal sisi teknis penerimaan uang, persamaan dalam hal
mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan maupun dalam hal
syarat-syarat umum untuk mendapat pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal,
laporan keuangan dan sebagainya. Dalam hal persamaan ini semua kegiatan yang
dijalankan pada Bank Syariah itu sama persis dengan yang dijalankan pada Bank
Konvensional, dan nyaris tidak ada bedanya. Namun, terdapat banyak perbedaan
mendasar di antara keduanya, antara lain :
11
1. Perbedaan Falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak
pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan
sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional
justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat
mendasar terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah,
dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan
adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi
hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan
melalu bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur
bunga (riba).
2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan
maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito
pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya membungakan
uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan,
maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan
menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan
kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan
dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka
bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana
nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah
usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk
memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya
terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan
banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.
Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan
penyalur dana nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana
nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi tadi kemudian,
dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi perniagaan yang
diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan
dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan
dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka semakin besar
pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Namun jika
keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang
dibagikan bank kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa
berjalan jika dana nasabah di bank di investasikan terlebih dahulu kedalam
usaha, barulah keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan
nasabah di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di
salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya.
Dengan demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan
yang diterima nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah.
Semakin besar keuntungan bank syariah semakin besar pula keuntungan
nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan banknya
tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah
12
keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase
dari dana yang disimpannya saja.
3. Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib
membayar
zakat,
menghimpun,
mengadministrasikannya
dan
mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat
pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat. Infak,
sedekah)
4. Struktur Organisasi
Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan
Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank
agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh
Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada
masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan
teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat
mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti
Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sanksi.
5. Bagaimana Nasabah Mendapat Keuntungan
Jika bank konvensional membayar bunga kepada nasabahnya, maka bank
syariah membayar bagi hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
Kesepakatan bagi hasil ini ditetapkan dengan suatu angka ratio bagi hasil
atau nisbah. Nisbah antara bank dengan nasabahnya ditentukan di awal,
misalnya ditentukan porsi masing-masing pihak 60:40, yang berarti atas
hasil usaha yang diperolah akan didisitribusikan sebesar 60% bagi nasabah
dan 40% bagi bank. Angka nisbah ini dengan mudah Anda dapatkan
informasinya dengan bertanya ke customer service atau datang langsung
dan melihat papan display “ Perhitugan dan Distribusi Bagi Hasil” yang
ada di cabang bank syariah.
(http://www.wealthindonesia.com)
C. Pembiayaan Bank Syariah
Pembiayaan menurut Kasmir (2008:96) adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.
13
Pembiayaan menurut Muhammad (2005:304), secara arti luas berarti
financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk
mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun
dijalankan oleh orang lain.
Dalam kaitannya dengan pembiayaan pada perbankan syariah atau istilah
teknisnya disebut sebagai aktiva produktif. Aktiva produktif adalah penanaman
dana Bank syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk
pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, peyertaan
modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada rekening
administrative serta sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
Jenis - jenis pembiayaan Bank Syariah :
1. Murabahah
Merupakan akad jual beli antara nasabah dengan bank syariah. Bank
syariah akan membeli barang kebutuhan nasabah untuk kemudian menjual
barang tersebut kepada nasabah dengan marjin yang telah disepakati.
Harga jual (pokok pembiayaan + marjin) tersebut akan dicicil setiap bulan
selama jangka waktu yang disepakati antara nasabah dengan bank syariah.
Karena harga jual sudah disepakati di muka, maka angsuran nasabah
bersifat tetap selama jangka waktu pembiayaan.
Contoh kasus :
PT. Angin Ribut akan membeli Mobil Land Cruiser. Harga tersebut
berkisar Rp. 200 Juta, namun secara keuangan PT. Angin ribut tidak bisa
14
membeli secara tunai, maka PT. Angin Ribut mencoba mendapatkan
pembiayaan dari Bank Muamalat, setelah bernegoisasi Bank Muamalat
akan membantu proses pengadaan Land Cruiser dengan margin
keuntungan 30 % dengan jangka waktu 24 bulan dan PT. Angin Ribut
memberikan DP sebesar Rp. 40 Juta.
Penyelesaian :
Pokok Pinjaman Rp. 200 Juta
Margin Keuntungan Bank Muamalat 30 % x 160 Juta Rp. 48 Juta
Harga Jual Rp. 248 Juta
Cicilan pertama (Rp. 48 Juta)
Sisa Pinjaman Rp. 208 Juta
Cicilan setiap bulan Rp. 208 Juta/24 = Rp. 8.67 Juta (dimana Pokok Rp.
6.67 Juta + Margin Rp. 2 Juta)
2. Ijarah
Merupakan akad sewa antara nasabah dengan bank syariah. Bank syariah
membiayai kebutuhan jasa atau manfaat suatu barang untuk kemudian
disewakan kepada nasabah. Umumnya, nasabah membayar sewa ke bank
syariah setiap bulan dengan besaran yang telah disepakati di muka.
Contoh kasus :
Bapak Ahmad hendak menyewa sebuah ruang perkantoran
disebuah gedung selama 1 tahun mulai dari tanggal 1 Mei 2002 sampai 1
Mei 2003. Pemilik gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai
dimuka sebesar Rp.240 juta.
15
Dengan pola pembayaran tersebut, kemampuan keuangan Bapak
Ahmad tidak memungkinkan . Bapak Ahmad hanya dapat membayar sewa
secara angsuran perbulan. Untuk memecahkan masalah ini, Bapak Ahmad
mendatangi sebuah bank syariah untuk meminta pembiayaan, dengan
memaparkan kondisi kebutuhan dan keuangannya.
(required rate of profit bank sebesar 20%).
Analisa Bank
-
Harga sewa 1 tahun (tunai dimuka)
: Rp.240.000.000,-
-
Required rate of profit bank (20%)
: Rp. 48.000.000,-
-
Harga sewa kepada nasabah
: Rp.288.000.000,-
-
Periode pembiayaan
: 12 bulan (=360 hari)
-
Besarnya angsuran nasabah per bulan
: Rp.24.000.000,-
Dengan analisa tersebut diatas, maka pembiayaan yang diberikan oleh
Bank kepada Bapak Ahmad adalah :
-
Pembiayaan Ijarah, dengan harga sewa Rp.288.000.000,-
-
Jangka waktu 12 bulan
-
Angsuran Rp.24.000.000,-/bulan
3. Istishna
Merupakan akad jual beli antara nasabah dengan bank syariah, namun
barang yang hendak dibeli sedang dalam proses pembuatan. Bank syariah
membiayai pembuatan barang tersebut dan mendapatkan pembayaran dari
nasabah sebesar pembiayaan barang ditambah dengan marjin keuntungan.
Pembayaran angsuran pokok dan marjin kepada bank syariah tidak
16
sekaligus pada akhir periode, melainkan dicicil sesuai dengan kesepakatan.
Umumnya bank syariah memanfaatkan skema ini untuk pembiayaan
konstruksi.
Contoh kasus :
Seseorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah dapat
mengajukan permohonan dana untuk keperluan itu dengan cara bai’ alistishna’. Dalam akad bai’ al-istishna’, bank berlaku sebagai penjual yang
menawarkan
pembangunan/renovasi
rumah.
Bank
lalu
membeli/memberikan dana, misalnya Rp30.000.000,00 secara bertahap.
Setelah rumah itu jadi, secara hukum Islam rumah/atau hasil renovasi
rumah itu masih menjadi milik bank dan sampai tahap ini akad istishna’
sebenarnya telah selesai. Karena bank tidak ingin memiliki rumah tersebut,
bank menjualnya kepada nasabah dengan harga dan waktu yang
disepakati, misalnya Rp39.000.000,00 dengan jangka waktu pembayaran 3
tahun. Dengan demikian, bank mendapat keuntungan Rp9.000.000,00.
4. Mudharabah
Merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah menanggung
sepenuhnya kebutuhan modal usaha/investasi.
Contoh kasus :
Bapak Ahmad memiliki usaha pengadaaan gula untuk beberapa
pasar swalayan dan restauran dengan omzet Rp.50 juta/bulan dan berniat
menambah modal Rp.250 juta. Untuk meningkatkan volume usaha hingga
mencapai omzet yang diharapkan sebesar Rp.75 juta/bulan. Untuk
17
mengatasi hal tersebut. Bank Muamalat memberi solusi dengan
pembiayaan Mudharabah (dengan asumsi ekspektasi keuntungan Bank
20%).
Perhitungan Bank :
- Porsi Bank
: Rp.250 juta
- Keuntungan diharapkan Bank
: 20% x Rp.250 juta = Rp.50 juta
atau Rp.600 jt/thn
- Omzet usaha selama 1 thn
: Rp.75 juta/bln x 12 bln
: Rp.900 juta/tahun
- Maka nisbah bagi hasil Bank
: Rp.600juta / Rp.900juta
: 66,67%
- Nisbah bagi hasil nasabah
: 33,33%
5. Musyarakah
Merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah tidak
menanggung sepenuhnya kebutuhan modal usaha/investasi (biasanya
sekitar 70 s.d. 80%).
Contoh kasus :
Perusahaan
Kontraktor
PT.ABC
mendapatkan
proyek
pembangunan BTS di PT. Telkom dengan nilai kontrak Rp.3,7 Milyar. PT.
ABC mengajukan pembiayaan ke Bank Muamalat sebesar Rp.2,6 Milyar
untuk jangka waktu 7 bulan PT. ABC mengestimasi keuntungan Rp.630
juta. Untuk mengatasi hal tersebut, Bank Muamalat memberi solusi
18
dengan pembiayaan Musyarakah (dengan asumsi ekspektasi keuntungan
Bank 20%).
Perhitungan Bank
- Proyeksi keuntungan
: Rp.2,6 M x 7/12 x 20%
: Rp.303 juta
- Bagi hasil bank : nasabah
: Rp.303 juta/Rp.630 juta
- Nisbah bagi hasil untuk bank
: 48,10%
- Nisbah bagi hasil nasabah
: 51,90%
6. Muzara’ah
Muzara'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan
dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap
untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil
panen. Dalam dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk pembiayaan
bidang plantation atas dasar bagi hasil panen.
Pemilik lahan dalam hal ini menyediakan lahan, benih, dan pupuk.
Sedangkan penggarap menyediakan keahlian, tenaga, dan waktu.
Keuntungan diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang telah
disepakati
7. Musaqah
Musaqah merupakan bagian dari Muzara’ah yaitu penggarap hanya
bertanggung
jawab
atas
penyiraman
dan
pemeliharaan
dengan
menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh
dari persentase hasil panen pertanian.
19
Contoh kasus :
Misal si A adalah orang yang sanga t kaya dan memiliki banyak
tanah /ladang dimana-mana & si B adalah seorang yang rajin bekerja tapi
kekurangan lapangan pekerjaan, karena si B orang yangjujur & dapat
dipercaya maka siA menyerahkan sebagian kebunnya kepada si B dengan
ketentuan – ketentuan tertentu yang telah di setujui oleh kedua pihak. Dan
dengan disetujuinya perjanjian tersebut maka si B pun harus merawat
kebun si A dengan sebaik – baiknya sampai waktu panen telah tiba.
8. Salam
Merupakan akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada
ketika transaksi dilakukan dan pembeli melakukan pembayaran dimuka
sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari.
Contoh kasus :
seorang petani lada yang bernama Tn. Ivan Pratama hendak menanam lada
dan membutuhkan dana sebesar Rp 200.000.000, untuk satu hektar. Bank
Syariah Toboali menyetujui dan melakukan akad di mana Bank Syariah
Toboali akan membeli hasil lada tersebut sebanyak 10 ton dengan harga
Rp 200.000.000,-. Pada saat jatuh tempo petani harus menyerahkan lada
sebanyak 10 ton. Kemudian Bank Syariah Toboali dapat menjual lada tersebut dengan harga yang relatif lebih tinggi misalnya Rp 25.000,- per.
kilo. Dengan demikian penghasilan bank adalah 10 ton x Rp 25.000, = Rp
250.000.000,-. Dari hasil tersebut Bank Syariah Toboali akan memperoleh
keuntungan sebesar Rp 50.000.000,-. setelah dikurangi modal yang
20
diberikan oleh Bank Syariah Toboali yaitu Rp 250.000.000, dikurangi Rp
200.000.000
D. Mudharabah
1. Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata adhdharby fil ardhi yaitu berpergian
untuk
urusan dagang. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata
alqardhu yang berarti potongan, karena pemilik memotong sebagian
hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan (Sri
Nurhayati dan Wasilah, 2011:120).
Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara
pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, laba
dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah
pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik
dana kecuali disebabkan oleh kelalaian pengelola dana (Sri Nurhayati dan
Wasilah, 2011:120)..
Ikatan Akuntansi Indonesia (2010) mendefinisikan Mudharabah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama
(pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua
(pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di
antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya
ditanggung oleh pemilik dana.
21
Sedangkan menurut Fathurrahman (2012, 173), Mudharabah
adalah kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola (mudharib)
dimana keuntungan usaha dibagi
menurut
kesepakatan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung secara
proporsional dari jumlah modal dengan catatan kerugian yang timbul
akibat tidak disengaja bukan karena kecurangan atau kelalaian si
pengelola.
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
mudharabah merupakan sebuah perjanjian (akad) atau kontrak diantara
dua pihak, dimana pihak pertama (shahibul maal) memberikan sejumlah
dana kepada pihak kedua (mudharib) untuk dikelola dalam usahanya.
2. Jenis – jenis Pembiayaan Mudharabah
Menurut Sri Nurhayati dan Wasilah (2011:122) dalam PSAK no
105 tentang akuntansi mudharabah terdapat tiga jenis mudharabah, yaitu :
a. Mudharabah Muthlaqah adalah mudharabah di mana pemilik dananya
memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan
investasinya.
b. Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana
memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana,
lokasi, cara, dan atau objek investasi atau sektor usaha.
c. Mudharabah Musytarakah adalah mudharabah di mana pengelola dana
menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi.
3. Rukun Mudharabah
Rukun dalam akad mudharabah ada empat, yaitu :
a. Pelaku, terdiri dari pemilik dana dan pengelola dana
b. Objek mudharabah, berupa modal dan kerja
c. Ijab Kabul atau serah terima
d. Nisbah keuntungan
22
4. Landasan Syariah Mudharabah
a. Al Quran
“Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di
bumi ; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak - banyak
agar kamu beruntung.” (QS 62. Al Jumu’ah:10)
“…. Maka, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” (QS 2. Al
Baqarah:283)
b. Al Hadis
Dari Shalil bin Suaib r.a bahwa Rasullulah SAW bersabda,
“tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara
tangguh (mudharabah), dan mencampuradukkan dengan tepung untuk
keperluan rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majal)
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai
mudharabah, ia mensyaratkan kepada pengelola dananya agar tidak
mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli
hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (pengelola dana) harus
menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetetapkan Abbas
didengar Rasullullah SAW, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani
dari Ibnu Abbas)
5. Manfaat dan Risiko Mudharabah
a. Manfaat dari mudharabah yaitu :
1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan
usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau
hasil usaha bank hingga bank tidak akan pernah mengalami
negative spread.
3) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha
yang benar-benar halah, aman, dan menguntungkan karena
keuntungannya yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang
akan dibagikan.
4) Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip
bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan
(nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang
dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
b. Risiko dari Mudharabah, yaitu :
1) Side streaming yaitu nasabah menggunakan dana itu bukan seperti
yang disebutkan dalam kontrak.
2) Lalai dan kesalahan yang disengaja.
3) Penggelapan keuntungan oleh nasabah bila nasabah tidak jujur.
23
E. Musyarakah
1. Pengertian Musyarakah
Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah
bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih
menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa
sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra,
dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi
Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama
untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama
dengan memadukan seluruh sumber daya.
Menurut Dewan Syariah Nasional dan PSAK No. 106 tentang
akuntansi musyarakah mendefinisikan Musyarakah sebagai akad kerja
sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana
masing - masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan
bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian
berdasarkan porsi kontribusi dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset
nonkas yang diperkenankan oleh syariah. (Sri Nurhayati dan Wasilah,
2011:142) .
Sedangkan menurut Faturrahman (2012), musyarakah adalah kerja
sama usaha antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana
masing - masing pihak memberikan kontribusi dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
24
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
musyarakah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing - masing pihak memberikan kontribusi
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai kesepakatan.
2. Jenis - jenis Pembiayaan Musyarakah
a. Syirkah Al Milk mengandung arti kepemilikan bersama yang
keberadaanya muncul apabila dua orang atau lebih memperoleh
kepemilikan bersama atas suatu kekayaan (aset). Misalnya, dua orang
atau lebih menerima warisan atau hibah atau harta kekayaan atau
perusahaan baik yang dapat dibagi maupun tidak dapat dibagi
b. Syirkah Al Uqud (kontrak), yaitu kemitraan yang tercipta dengan
kesepakatan dua orang atau lebih untuk bekerja sama dalam mencapai
tujuan tertentu. Setiap mitra dapat berkontribusi dengan dana atau
dengan bekerja, serta berbagi keuntungan dan kerugian. Berbeda
dengan syirkah al milk, dalam kerja sama jenis ini setiap mitra dapat
bertindak sebagai wakil dari pihak lainnya. Syirkah Al uqud dapat
dibagi menjadi sebagai berikut :
1) Syirkah Abdan adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau
lebih dari kalangan pekerja atau professional di mana mereka
sepakat untuk bekerja sama mengerjakan suatu pekerjaan dan
berbagi penghasilan yang diterima.
2) Syirkah Wujuh adalah kerja sama antara dua pihak di mana masing
- masing pihak sama sekali tidak menyertakan modal. Mereka
menjalankan usahanya berdasarkan pihak ketiga. Masing - masing
mitra menyumbangkan nama baik, reputasi dan lainnya tanpa
menyetorkan modal.
3) Syirkah Inan (negoisasi) adalah bentuk kerja sama di mana posisi
dan komposisi pihak - pihak yang terlibat di dalamnya adalah tidak
sama, baik dalam hal modal maupun pekerjaan. Tanggung jawab
para mitra dapat berbeda dalam pengelolaan usaha.
4) Syirkah Mufawwadhah adalah bentuk kerja sama di mana posisi
dan komposisi pihak - pihak yang terlibat di dalamnya harus sama,
baik dalam hal modal, pekerjaan, agama, keuntungan, maupun
risiko kerugian..
3. Rukun Musyarakah
Rukun musyarakah ada empat, yaitu :
a. Pelaku terdiri dari para mitra.
b. Objek musyarakah berupa modal dan kerja.
c. Ijab Kabul atau serah terima.
25
d. Nisbah keuntungan.
4. Landasan Syariah Musyarakah
a. Al Quran
“Maka mereka berserikat pada sepertiga.” (QS 4. An Nisa:12)
“Memang banyak di antara orang – orang yang berserikat itu sebagian
mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan.” (QS 38. Shaad:24)
b. Al Hadis
Hadis Qudsi : “Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang
yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak
berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat
terhadap lainnya maka Aku akan keluar dari keduanya.” (HR. Abu
Dawud dan Al Hakim dari Abu Hurairah)
“Pertolongan Allah tercurah atas dua pihak yang berserikat,
sepanjang keduanya tidak saling berkhianat.” (HR. Muslim)
5. Manfaat dan Risiko Musyarakah
Manfaat Musyarakah yaitu :
a. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat.
b. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha
nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
c. Bank akan lebih selektif dan berhati - hati mencari usaha yang benar benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan
yang riil dan benar - benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
d. Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga
tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu
jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah,
bahkan rugi sekalipun dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan kerugian atau risiko dalam pembiayaan musyarakah
dapat diakibatkan karena ketidaksengajaan atau kejadian luar biasa, dan
kecurangan, kelalaian dan menyalahi perjanjian, maka kerugian tersebut
ditanggung oleh pihak yang melakukan hal tersebut.
F. Pendapatan
1. Pengertian Pendapatan
Sebuah perusahaan didirikan untuk memperoleh laba. Laba
diperoleh dari pendapatan yang dikurangi dengan beban. Tanpa adanya
26
pendapatan maka perusahaan tidak memperoleh laba, dan tanpa adanya
pendapatan maka perusahaan tidak dapat hidup.
Salah satu unsur utama dari laporan keuangan yang menjadi tolak
ukur menilai keberhasilan pengelolaan perusahaan adalah pendapatan.
Istilah yang digunakan dalam tulisan ini mempunyai arti yang sama
dengan istilah
revenue yang terdapat dalam literatur akuntansi.
Pendapatan merupakan salah satu unsur utama laporan keuangan yang
menjadi tolak ukur untuk aktivitas dan efisiensi perusahaan.
Namun sebelum membahas masalah pendapatan, perlu diuraikan
terlebih dahulu pengertian pendapatan itu sendiri, dalam hal ini perlu
dibedakan antara pendapatan kotor dan pendapatan bersih..
Pendapatan kotor merupakan suatu jumlah yang menjadi hak
seseorang atau perusahaan sebagai hasil dari transaksi penjualan atau
pertukaran barang dan penyerahan jasa sebelum diperhitungkan dengan
biaya - biaya untuk menghasilkan pendapatan tersebut. Pendapatan kotor
ini diistilahkan juga sebagai revenue.
Sedangkan pendapatan bersih merupakan selisih dari hasil
penjualan barang atau penyerahan jasa dengan biaya yang berkaitan
dengan proses penjualan atau penyerahan jasa tersebut. Pendapatan bersih
ini diistilahkan sebagai income.
Menurut PSAK No. 23 tentang pendapatan (2010), pendapatan
adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas
normal entitas selama suatu periode jika arus masuk tersebut
27
mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi
penanam modal.
Salah satu penentu besar kecilnya laba perusahaan adalah revenue
atau pendapatan. Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2007,23:1),
pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari transaksi dan peristiwa
ekonomi yang biasa dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti
penjualan barang, penjualan jasa, dan penggunaan aktiva perusahaan oleh
pihak - pihak lain yang menghasilkan bunga, royalty, dan sewa.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendapatan
adalah pertambahan aktiva atau penurunan kewajiban suatu perusahaan
yang diukur dalam bentuk satuan moneter yang timbul dari penyerahan
barang dagangan atau jasa aktivitas lain dalam suatu periode dan bukan
karena pembelian harta, investasi pemilik, pinjaman, atau koreksi laba rugi
tahun lalu.
2. Pengakuan Pendapatan
Pengakuan pendapatan merupakan pencatatan jumlah rupiah secara
resmi ke dalam sistem akuntansi sehingga jumlah tersebut terefleksi dalam
statemen keuangan. Secara konseptual pendapatan hanya dapat diakui jika
memenuhi kualitas keterukuran (measureability) yang terkait dengan
masalah berapa jumlah rupiah produk tersebut dan keterandalan
(reliability) yang terkait dengan obyektivitas dan dapat diuji kebenaran
jumlah tersebut. Kualitas tersebut harus dioperasionalkan dalam bentuk
kriteria pengakuan pendapatan (recognition criteria). Pendapatan belum
28
terbentuk sebelum perusahaan melakukan kegiatan produktif, karena
pendapatan belum terealisasi sebelum terjadinya penjualan yang nyata
kepada pihak lain.
Financial Accounting Standards Board (FASB) mengajukan dua
kriteria pengakuan pendapatan yang keduanya harus dipenuhi yaitu :
a. Terealisasi atau cukup pasti terealisasi, misal ketika barang atau jasa
telah terjual.
b. Terbentuk/terhak (earned), misal ketika perusahaan telah menunaikan
kewajibannya.
Jika kedua hal diatas harus dipenuhi, pertanyaan berikutnya kapan saat mengakui
pendapatan? Berikut beberapa kaidah pengakuan (recognition rule) :
a. Pada saat kontrak penjualan
Jika terjadi sebuah kontrak penjualan, pada titik ini pendapatan
telah terealisasi tetapi belum terbentuk. Karena hanya satu kriteria
yang dipenuhi, pendapataan tidak boleh diakui, pengakuan harus
menunggu hingga proses penghimpunan selesai, yaitu di tahap
penjualan, pembayaran dimuka diakui sebagai kewajiban.
b. Selama proses produksi secara bertahap
Dalam industri tertentu, pembuatan produk memerlukan waktu
yang cukup lama, seperti pada industri konstruksi. Dalam hal ini
pengakuan pendapatan dapat diakui secara bertahap sejalan dengan
kemajuan proses produksi atau yang disebut metode persentase
penyelesaian (percentage-of-completition) atau sekaligus ketika proyek
selesai dan diserahkan (completed contract method).
c. Pada saat produksi selesai
Jika sebelumnya telah ada kontrak maka kedua kriteria telah
dipenuhi ketika produk selesai, pendapatan bisa diakui, namun jika
tidak ada kontrak sebelumnya maka hanya salah satu kriteria saja yang
terpenuhi. Namun dalam industri ekstraktif (pertambangan) termasuk
pertanian, yang mempunyai pasar yang cukup luas dan harga yang
sudah pasti (berapapun jumlahnya pasti akan terserap oleh pasar),
pendapatan dapat diakui ketika produk telah selesai diproduksi.
d. . Pada saat penjualan
Pengakuan ini merupakan dasar yang paling umum karena pada
saat penjualan, kriteria penghimpunan dan relisasi telah terpenuhi.
29
e. . Pada saat kas terkumpul
Pengakuan ini lebih bersifat ke akuntansi basis kas (cash basis).
Pengakuan dasar kas digunakan untuk transaksi penjualan yang barang
atau jasanya telah diserahkan/dilaksanakan tetapi kasnya baru akan
diterima secara berkala dalam waktu yang cukup panjang. Hal ini
terkadang terjadi karena adanya ketidakpastian terhadap kolektibilitas
atau ketertagihan utang, maka dari itu pendapatan diakui sejumlah kas
yang diterima pada akhir periode.
3. Pengukuran Pendapatan
Pendapatan harus diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima
atau yang dapat diterima.
Jumlah pendapatan yang timbul dari suatu
transaksi biasanya ditentukan oleh persetujuan antara perusahaan dan
pembeli atau pemakai aktiva tersebut. Jumlah tersebut diukur dengan nilai
wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima perusahaan
dikurangi jumlah diskon barang yang diperbolehkan oleh perusahaan.
Pada umumnya, imbalan tersebut berbentuk kas atau setara kas
yang diterima atau dapat diterima. Namun, bila arus masuk dari kas atau
setara kas ditangguhkan, nilai wajar dari imbalan tersebut mungkin kurang
dari jumlah nominal dari kas yang dapat diterima
4. Perlakuan Akuntansi Terhadap Pendapatan
Pendapatan merupakan unsur yang sangat penting bagi perusahaan,
karena pendapatan merupakan alat bagi perusahaan untuk membiayai
berbagai aktivitas baik untuk operasional maupun untuk investasi. Oleh
karena itu, perusahaan akan selalu memfokuskan seluruh aktivitasnya
untuk merealisasikan serta menciptakan suatu pengendalian yang sebaik baiknya untuk mengamankan pendapatan tersebut, baik dari kesalahan
30
pencatatan maupun dari hal - hal lain yang dapat mengurangi nilai
pendapatan itu sendiri.
Untuk mengamankannya, perusahaan memerlukan suatu perlakuan
akuntansi yang baik, benar, dan tepat terhadap pendapatan, sehingga
laporan keuangan terutama laporan laba rugi yang diterbitkan perusahaan
dapat menggambarkan posisi keuangan yang wajar. Dengan demikian
pihak intern dan ekstern dapat mengambil keputusan yang akurat.
Untuk mencatat pendapatan, di dalam akuntansi pada umumnya
terdapat dua metode, yaitu :
a. Metode kas (Cash Basis)
b. Metode Akrual (Acrual Basis)
Perbedaan kedua metode tersebut terletak pada dasar pengakuan
pendapatan itu sendiri. Dalam metode tunai atau kas, suatu pendapatan
hanya dicatat atau diakui pada saat diterimanya uang tunai. Sedangkan
metode akrual, pendapatan diakui pada saat terjadinya pendapatan tersebut
yang biasanya pada saat penyerahan barang, walaupun dalam hal ini uang
tunainya baru diterima kemudian.
5. Jenis - jenis Pendapatan Bank Syariah
Bank syariah mempunyai pendapatan yang bersumber dari operasi
utama dan operasi sampingan. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/24/PBI/2004 pasal 36, berikut jenis - jenis pendapatan bank syariah :
31
a. Pendapatan dari jual beli
1) Pendapatan marjin murabahah, yaitu pendapatan yang diperoleh
dari penjualan suatu barang dimana penjual dan pembeli
menyebutkan harga jual yang terdiri atas harga pokok barang dan
tingkat keuntungan tertentu atas barang, dimana harga barang
tersebut disetujui oleh pembeli.
2) Pendapatan marjin salam, yaitu pendapatan yang diperoleh dengan
cara pembeli melakukan pemesanan terlebih dahulu atas barang
yang dipesan dan melakukan pembayaran dimuka atas barang
tersebut, baik dengan cara pembayaran sekaligus maupun dengan
cara mencicil, yang keduanya harus diselesaikan pembayarannya
sebelum barang yang dipesan diterima kemudian.
3) Pendapatan marjin istishna, yaitu pendapatan yang diterima dimana
akad jual beli suatu barang yang akan dibuat terlebih dahulu oleh
pembuat (produsen) yang juga sekaligus menyediakan kebutuhan
bahan baku barangnya.
b. Pendapatan dari pinjaman
1) Pendapatan hawalah, yaitu pendapatan yang diperoleh dari
pemindahan atau pengalihan hak dan kewajiban, baik dalam bentuk
pengalihan piutang maupun hutang, dan jasa pemindahan atau
pengalihan dana dari suatu entitas kepada entitas lain.
2) Pendapatan qardh, yaitu pendapatan yang diperoleh dengan cara
meminjamkan harta kepada orang lain dan secara syariah
peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok
pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk
memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi lembaga
keuangan pemberi qardh tidak boleh memberikan imbalan tersebut
apapun.
c. Pendapatan dari bagi hasil
1) Pendapatan bagi hasil mudharabah, yaitu akad kerjasama usaha
antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan
usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan
kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan
ditanggung oleh si pemilik dana kecuali disebabkan oleh kelalaian
pengelola dana.
2) Pendapatan bagi hasil musyarakah, yaitu bentuk umum dari usaha
bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan
pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau
tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan
kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal.
d. Pendapatan dari sewa menyewa
1) Pendapatan ijarah, yaitu pendapatan yang diterima dari sewa atas
manfaat dari sebuah asset.
2) Pendapatan ijarah muntahiya bittamlik, yaitu akad sewa menyewa
yang berakhir dengan kepemilikan ada
32
G. Pendapatan Bagi Hasil
1. Pengertian Pendapatan Bagi Hasil
Bank sebagai lembaga perantara keuangan adalah lembaga yang
berfungsi sebagai lembaga penyimpanan dana dari pihak yang kelebihan
dana dan lembaga penyalur dana kepada pihak yang membutuhkan dana.
Untuk itu kepada para nasabah penyimpan dana, bank akan memberikan
bunga. Sedangkan kepada para nasabah yang meminjam dana, bank akan
mengenakan bunga. Mulai tahun 90an di Indonesia bermunculan lembaga
perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil yang sering juga
disebut bank syariah.
Pendapatan bagi hasil yang diterima oleh bank adalah laba atau
pendapatan dari sebuah proyek atau usaha yang telah dibagi hasilkan
antara nasabah dengan bank bagi hasil. Pendapatan ini lebih sering disebut
pendapatan bagi hasil.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendapatan bagi
hasil merupakan keuntungan atau pendapatan dari kegiatan operasional
bank syariah dalam sisi penyaluran dana (pembiayaan). Bank syariah
melakukan kegiatan pembiayaan pada suatu usaha, dan ketika sebuah
usaha tersebut mendapatkan keuntungan maka keuntungan tersebut dibagi
hasilkan dengan nasabah.
Dalam bank syariah terdapat beberapa produk pembiayaan, yaitu
Bai Bitsaman Ajil, Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, dan Bai Salam.
33
Produk pembiayaan bank syariah tersebut tidak semuanya menggunakan
prinsip bagi hasil.
Bank bagi hasil akan memperoleh pendapatan dari berbagai
pembiayaan
yang
disalurkan
kepada
nasabah.
Dari
pembiayaan
Mudharabah dan Musyarakah akan diperoleh pendapatan dalam bentuk
pendapatan bagi hasil, pada pembiayaan Bai Bitsaman, Murabahah, Bai
Salam akan diperoleh pendapatan dalam bentuk pendapatan mark up,
yaiyu selisih antara harga beli barang dengan harga jual barang, pada
pembiayaan Ijarah akan diperoleh pendapatan dalam bentuk pendapatan
sewa dan dalam pembiayaan Qordhul Hasan akan diperoleh pendapatan
dalam bentuk pengembalian biaya administrasi.
Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa pendapatan bagi hasil
diperoleh dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
Pendapatan bagi hasil dari mudharabah, yaitu pendapatan yang
diperoleh dimana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada
pengelola dana untuk melakukan usaha yang kemudian laba dibagi atas
dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan
bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana kecuali
disebabkan oleh kelalaian pengelola dana.
Pendapatan bagi hasil dari musyarakah, yaitu pendapatan yang
diperoleh dari bentuk kerja sama dua pihak atau lebih dimana keuntungan
dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan
menurut proporsi modal.
34
2. Metode Penerimaan Pendapatan Bagi Hasil
Untuk penerimaan pendapatan bagi hasil dari pihak nasabah, bank
bagi hasil tidak melakukan perhitungan yang rumit. Perhitungan tentang
jumlah yang disetorkan ke bank dilakukan sepenuhnya oleh nasabah. Bank
bagi hasil hanya menerima pendapatan sejumlah yang disetorkan dari
nasabah. Ditinjau dari cara menentukan jumlah rupiah pembayaran
angsuran dan pokok pembiayaan terdapat dua metode, yaitu :
a. Bagi hasil netto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan
dari usaha yang telah dikurangi dengan biaya - biaya yang timbul.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang dibagi hasilkan adalah
laba dari sebuah usaha tersebut.
Contoh : Bila ada sebuah usaha dan dihasilkan penjualannya sebesar
Rp 2.000.000 dengan biaya usahanya Rp 1.000.000, maka yang dibagi
hasilkan sebesar Rp 1.000.000
b. Bagi hasil bruto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan
dari usaha yang tidak dikurangi dengan biaya - biaya yang timbul.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang dibagi hasilkan adalah
pendapatan dari usaha tersebut.
Contoh : Bila ada sebuah usaha dan dihasilkan penjualannya sebesar
Rp 2.000.000 dengan biaya usahanya Rp 1.000.000, maka yang dibagi
hasilkan sebesar penjualannya yakni Rp 2.000.000
35
Ditinjau dari cara pembayaran nasabah kepada bank maka terdapat
dua metode penerimaan bagi hasil pembiayaan mudharabah dan
musyarakah, yaitu :
a. Bagi hasil dibayarkan terpisah dengan angsuran pokok pinjaman. Pada
cara ini pendapatan bagi hasil yang diterima oleh bank bagi hasil
merupakan pembayaran terpisah dari pembayaran angsuran pokok
pembiayaan.
b. Bagi hasil dibayarkan tidak terpisah dengan angsuran pokok pinjaman.
Pada cara ini pendapatan bagi hasil yang diterima merupakan
pembayaran bersamaan dengan pembayaran angsuran pokok
pembiayaan. Sebelum menyetujui sebuah usulan pembiayaan yang
diajukan oleh nasabah, maka bank bagi hasil akan membuat proyeksi
pembayaran terlebih dahulu.
3. Pengakuan Pendapatan Bagi Hasil
Pengakuan suatu jumlah rupiah dalam akuntansi pada umumnya
didasarkan pada konsep obyektivitas, yaitu bahwa jumlah rupiah tersebut
dapat diukur secara cukup pasti dan ada keterlibatan pihak independen di
dalamnya. Untuk itu pengakuan pendapatan tergantung pada kondisi yang
menjadi kriteria pengakuan pendapatan.
Dua kriteria pengakuan pendapatan menurut Statement of Financial
Accounting Concepts (SFAC) No. 5 adalah sebagai berikut :
a. Pendapatan baru diakui setelah pendapatan terealisasi atau akan segera
terealisasi. Pendapatan dan keuntungan telah terealisasi bila produk
perusahaan atau aktiva lain telah dipertukarkan dengan kas atau klaim
menerima kas. Pendapatan akan segera terealisasi bila barang penukar
yang diterima mudah dikonversi menjadi kas atau setara dengan kas.
b. Pendapatan baru diakui bila pendapatan telah terhimpun. Pendapatan
telah terhimpun bila aktivitas untuk menghasilkan pendapatan tersebut
36
telah berlangsung dan secara substansial telah selesai, sehingga suatu
entitas berhak menguasai manfaat yang terkandung dalam pendapatan.
Bank bagi hasil akan mengakui pendapatan bagi hasil atas dasar
kas (cash basis) yaitu sebesar sejumlah uang kas yang diterima dari
nasabah. Apabila pendapatan bagi hasil dipersamakan dengan pendapatan
bunga maka bank bagi hasil belum dapat memenuhi ketentuan PSAK No.
31 tentang akuntansi perbankan. Namun demikian penggunaan dasar kas
ini dilandasi oleh suatu dasar pemikiran. Bila pengukuran pendapatan
bunga mudah dilakukan yaitu sebesar jumlah rupiah pendapatan berupa
persentase tertentu dari pinjaman, maka pendapatan bagi hasil akan
dihitung dari persentase tertentu dari keuntungan nyata dari sebuah usaha.
Keuntungan nyata ini mengandung unsur ketidak pastian. Ada
kemungkinan nasabah memperoleh keuntungan ada juga kemungkinan
mengalami kerugian.
Ada kemungkinan yang didapatkan berbeda - beda antara satu
periode dengan periode yang lain bahkan antara bulan yang satu dengan
bulan yang lain. Unsur ketidak pastian dalam keuntungan usaha atau
proyek inilah yang membuat bank bagi hasil tidak dapat mengakui
pendapatan secara akrual. Aliran aktiva yang masuk berupa kas hanya
dapat diketahui apabila nasabah benar - benar telah menyetorkannya.
PSAK No. 31 mengakui
pendapatan
atas
dasar
kas
untuk
pendapatan yang berasal dari penggunaan aktiva non performing. Aktiva
non performing artinya aktiva produktif yang digolongkan kurang baik
37
seperti kredit yang likuiditasnya kurang lancar, bermasalah, atau bahkan
macet. Apakah dengan demikian pendapatan bagi hasil dianggap
pendapatan yang berasal dari penggunaan aktiva non performing?
Pendapatan bagi hasil jelas bukanlah pendapatan yang berasal dari aktiva
non performing. Pendapatan bagi hasil merupakan pendapatan yang
berasal
dari
aktivitas
normal
dalam
kegiatan
perbankan
pendapatan
adalah
yang
mengguanakan prinsip bagi hasil.
4. Pengukuran Pendapatan Bagi Hasil
Cara
terbaik
untuk
mengukur
dengan
menggunakan nilai tukar barang atau jasa. Nilai tukar ini merupakan cash
equivalent atau present value dari tagihan - tagihan yang diharapkan akan
diterima dari transaksi pendapatan ini. Untuk itu pendapatan diukur
dengan jumlah satuan moneter aktiva baru yang diterima dari transaksi
pertukaran (Hendriksen, 2004).
PSAK No. 23 tentang pendapatan memberikan kriteria tentang
pengukuran pendapatan adalah sebagai berikut :
a. Pendapatan diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang
dapat diterima.
b. Imbalan yang diterima dalam bentuk kas atau setara kas, dan jumlah
pendapatan adalah jumlah kas atau setara kas yang diterima atau yang
dapat diterima.
Pengukuran merupakan penetapan jumlah uang atau nilai untuk
mengakui dan memasukkan setiap unsur laporan keuangan ke dalam
38
laporan keuangan. Karena pendapatan bagi hasil diakui atas dasar kas,
maka pendapatan bagi hasil diukur sejumlah kas yang diterima. Jumlah
kas yang diterima mencerminkan hak yang dimiliki oleh bank bagi hasil.
Dengan demikian dasar pengukuran yang digunakan adalah kas historis.
Karena bank bagi hasil tidak menggunakan instrumen bunga untuk
mengukur pendapatan yang diterimanya, tentu saja tidak dapat mengukur
dengan menggunakan dasar present value.
H. Hubungan Mudharabah dan Musyarakah dengan Pendapatan Margin dan
Bagi Hasil
Salah satu pendapatan bank syariah yaitu berdasarkan pembiayaan dengan
prinsip sistem bagi hasil. Bank syariah dalam hal berhubungan dengan nasabah
menggunakan pembiayaan dengan prinsip sistem bagi hasil jasa yaitu pada
pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Sehingga pendapatan yang diterima
oleh bank syariah, disebut dengan pendapatan bagi hasil. Pendapatan bagi hasil
mudharabah, yaitu pendapatan yang diperoleh dimana si pemilik modal
menyetorkan modalnya kepada pengelola dana untuk melakukan usaha yang
kemudian laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua
belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana
kecuali disebabkan oleh kelalaian pengelola dana. Pendapatan bagi hasil
musyarakah, yaitu pendapatan yang diperoleh dari bentuk kerja sama dua pihak
atau lebih dimana keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan
kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal.
39
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendapatan margin dan bagi hasil
dari pembiayaan berdasarkan mudharabah dan musyarakah, yaitu pendapatan
yang diperoleh untuk diusahakan untuk mendapatkan keuntungan tersebut akan
dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak, sedangkan jika
ada kerugian akan ditanggung oleh si pemilik modal (mudharabah), ditanggung
bersama (musyarakah).
Hubungan antara mudharabah dan musyarakah dengan pendapatan marjin
juga didukung oleh hasil penelitian sebelumnya oleh :
1. Rahmawati (2006), dimana dalam nilai t hitung yaitu 4,616 sedangkan
nilai t tabel 1,761. Sehingga Ho ditolak karena nilai t hitung > nilai t tabel.
Hal ini menunjukan signifikansi hasil pembiayaan mudharabah dan
musyarakah dengan laba bersih yang diperoleh.
2. Adiawati (2007), dimana untuk koefisien determinasi (KD) didapat angka
97,4%, ini artinya bahwa pengaruh pembiayaan mudharabah terhadap
pendapatan marjin adalah sebesar 97,4% sedangkan sisanya 2,6%
dipengaruhi faktor - faktor lain yang tidak diteliti.
3. Fiswara (2008), dimana untuk pengujian secara parsial diperoleh bahwa
variabel pembiayaan mudharabah memiliki hubaungan yang positif
dengan profitabilitas dan memiliki keeratan hubungan rendah atau lemah,
serta besarnya koefisien determinasi sebesar 12,8% artinya bahwa tingkat
profitabilitas dapat dijelaskan oleh variabel pembiayaan mudharabah
sebesar 12,8% dan sisanya sebesar 87,2% dipengaruhi oleh faktor lain.
40
4. Yudi (2010), dimana korelasi (r) hitung sebesar 0,987 dan uji hipotesis
nilai F > F tabel (39,18 > 9,28) dengan tingkat signifikan 5% untuk n = 5,
ini artinya pembiayaan mudharabah dan musyarakah memiliki pengaruh
yang kuat dan positif terhadap efektifitas pendapatan marjin. Nilai
koefisien determinasi menunjukan adanya peranan antara variabel
pembiayaan mudharabah dan musyarakah terhadap variabel efektifitas
pendapatan marjin secara serentak sebesar 97,5% dan sisanya sebesar
2,5% adalah kontribusi faktor lain yang tidak diteliti. Namun secara parsial
tidak ada pengaruh signifikan antara pembiayaan mudharabah dan
musyarakah terhadap pendapatan marjin.
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Penelitian
Terdahulu
Yudi (2010)
Judul
Pengaruh Sistem
Pembiayaan
Berdasarkan
Mudharabah dan
Musyarakah
Terhadap Besarnya
Pendapatan Marjin
dan Bagi Hasil
(Studi Kasus pada
PT. Bank Muamalat)
Variabel Yang
Digunakan
- Pembiayaan
mudharabah
- Pembiayaan
Musyarakah
Hasil Penelitian
-
-
Secara simultan
pembiayaan
mudharabah dan
musyarakah
memiliki
pengaruh yang
kuat dan positif
terhadap
efektifitas
pendapatan
marjin
Secara parsial
tidak ada
pengaruh
signifikan antara
pembiayaan
mudharabah dan
musyarakah
41
Fiswara (2008)
Pengaruh Tingkat
Non Performing
Loan Pembiayaan
Mudharabah dan
Pembiayaan
Musyarakah
Terhadap Tingkat
Profitabilitas (Return
on Assets) Pada
Bank Syariah (Studi
Kasus Pada PT.
Bank Syariah
Mandiri)
-
-
Tingkat Non
Performing
Loan
pembiayaan
Mudharabah
Tingkat Non
Performing
Loan
Pembiayaan
Musyarakah
-
-
terhadap
pendapatan
marjin dan bagi
hasil
Secara simultan
tidak terdapat
pengaruh yang
signifikan antara
tingkat non
performing loan
pembiayaan
mudharabah dan
pembiayaan
musyarakah
terhadap
profitabilitas
Secara parsial
pembiayaan
mudharabah
memiliki
hubaungan yang
positif dengan
profitabilitas dan
memiliki keeratan
hubungan rendah
atau lemah,
namun untuk
pembiayaan
musyarakah
pembiayaan
musyarakah
memiliki
hubungan yang
positif dengan
profitabilitas dan
memiliki keeratan
hubungan yang
kuat
Download