BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Bank Syariah Bank Syariah merupakan lembaga keuangan yang kegiatan pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Dalam bank syariah dalam kegiatannya lainnya bisa membuat produk seta melakukan jasa-jasa untuk meningkatkan pendapatannya. Produk dan jasanya tersebut memegang peranan penting dalam kegiatan usaha bank syariah. Siamat (2005) mengemukakan bahwa perbankan syariah pada dasarnya adalah sistem perbankan yang dalam usahanya didasarkan pada prinsip-prinsip hukum atau syariah Islam dengan mengacu kepada al-Qur’an dan al-Hadits, beroperasi dengan mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya menyangkut tata cara bermuamalat misalnya dengan menjauhi praktik-praktik yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil pembiayaan. Bank syariah merupakan bank yang beroperasi dengan prinsip Syariah Islam namun Bank Syariah juga merupakan Bank yang dalam operasionalnya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Perbankan Syariah Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah menurut hukum Islam Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba 8 9 serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Dari pengertian di atas, bank syariah merupakan sebuah lembaga keuangan yang menghindari sistem riba, yang lazim digunakan oleh bank konvensional. Selain itu produk pembiayaan dan jasa - jasanya harus sesuai dengan prinsip syariat islam. Larangan tentang riba dijelaskan dalam Al Quran : “ Orang - orang yang memakan riba, tiada berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila (orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan setan). Yang demikian itu karena mereka berkata ahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Maka barang siapa menerima pelajaran dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka baginya apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya (riba yang sudah diambil sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikkan) dan urusannya terserah kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” (QS 2. Al Baqarah:275). “ Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan 10 cara yang tidak sah (batil). Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.” (QS 4. An Nisa:161). Larangan tentang riba juga dijelaskan dalam Al Hadis : Dari Abu Sa'd r.a., diceritakan: Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah SAW. membawa kurma barni. Lalu Rasulullah Saw. bertanya kepadanya, "Kurma dari mana ini?" Jawab Bilal, "Kurma kita rendah mutunya karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW". Maka bersabda Rasulullah SAW. "Inilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmanya (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus." (HR. Muslim). B. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan yakni dalam hal sisi teknis penerimaan uang, persamaan dalam hal mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan maupun dalam hal syarat-syarat umum untuk mendapat pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Dalam hal persamaan ini semua kegiatan yang dijalankan pada Bank Syariah itu sama persis dengan yang dijalankan pada Bank Konvensional, dan nyaris tidak ada bedanya. Namun, terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya, antara lain : 11 1. Perbedaan Falsafah Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendasar terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalu bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). 2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya membungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko. Sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana nasabah di bank di investasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank tetap wajib membayar bunganya. Dengan demikian sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima nasabah mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank syariah semakin besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah 12 keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase dari dana yang disimpannya saja. 3. Kewajiban Mengelola Zakat Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah) 4. Struktur Organisasi Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sanksi. 5. Bagaimana Nasabah Mendapat Keuntungan Jika bank konvensional membayar bunga kepada nasabahnya, maka bank syariah membayar bagi hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan bagi hasil ini ditetapkan dengan suatu angka ratio bagi hasil atau nisbah. Nisbah antara bank dengan nasabahnya ditentukan di awal, misalnya ditentukan porsi masing-masing pihak 60:40, yang berarti atas hasil usaha yang diperolah akan didisitribusikan sebesar 60% bagi nasabah dan 40% bagi bank. Angka nisbah ini dengan mudah Anda dapatkan informasinya dengan bertanya ke customer service atau datang langsung dan melihat papan display “ Perhitugan dan Distribusi Bagi Hasil” yang ada di cabang bank syariah. (http://www.wealthindonesia.com) C. Pembiayaan Bank Syariah Pembiayaan menurut Kasmir (2008:96) adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. 13 Pembiayaan menurut Muhammad (2005:304), secara arti luas berarti financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam kaitannya dengan pembiayaan pada perbankan syariah atau istilah teknisnya disebut sebagai aktiva produktif. Aktiva produktif adalah penanaman dana Bank syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, peyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada rekening administrative serta sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia Jenis - jenis pembiayaan Bank Syariah : 1. Murabahah Merupakan akad jual beli antara nasabah dengan bank syariah. Bank syariah akan membeli barang kebutuhan nasabah untuk kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah dengan marjin yang telah disepakati. Harga jual (pokok pembiayaan + marjin) tersebut akan dicicil setiap bulan selama jangka waktu yang disepakati antara nasabah dengan bank syariah. Karena harga jual sudah disepakati di muka, maka angsuran nasabah bersifat tetap selama jangka waktu pembiayaan. Contoh kasus : PT. Angin Ribut akan membeli Mobil Land Cruiser. Harga tersebut berkisar Rp. 200 Juta, namun secara keuangan PT. Angin ribut tidak bisa 14 membeli secara tunai, maka PT. Angin Ribut mencoba mendapatkan pembiayaan dari Bank Muamalat, setelah bernegoisasi Bank Muamalat akan membantu proses pengadaan Land Cruiser dengan margin keuntungan 30 % dengan jangka waktu 24 bulan dan PT. Angin Ribut memberikan DP sebesar Rp. 40 Juta. Penyelesaian : Pokok Pinjaman Rp. 200 Juta Margin Keuntungan Bank Muamalat 30 % x 160 Juta Rp. 48 Juta Harga Jual Rp. 248 Juta Cicilan pertama (Rp. 48 Juta) Sisa Pinjaman Rp. 208 Juta Cicilan setiap bulan Rp. 208 Juta/24 = Rp. 8.67 Juta (dimana Pokok Rp. 6.67 Juta + Margin Rp. 2 Juta) 2. Ijarah Merupakan akad sewa antara nasabah dengan bank syariah. Bank syariah membiayai kebutuhan jasa atau manfaat suatu barang untuk kemudian disewakan kepada nasabah. Umumnya, nasabah membayar sewa ke bank syariah setiap bulan dengan besaran yang telah disepakati di muka. Contoh kasus : Bapak Ahmad hendak menyewa sebuah ruang perkantoran disebuah gedung selama 1 tahun mulai dari tanggal 1 Mei 2002 sampai 1 Mei 2003. Pemilik gedung menginginkan pembayaran sewa secara tunai dimuka sebesar Rp.240 juta. 15 Dengan pola pembayaran tersebut, kemampuan keuangan Bapak Ahmad tidak memungkinkan . Bapak Ahmad hanya dapat membayar sewa secara angsuran perbulan. Untuk memecahkan masalah ini, Bapak Ahmad mendatangi sebuah bank syariah untuk meminta pembiayaan, dengan memaparkan kondisi kebutuhan dan keuangannya. (required rate of profit bank sebesar 20%). Analisa Bank - Harga sewa 1 tahun (tunai dimuka) : Rp.240.000.000,- - Required rate of profit bank (20%) : Rp. 48.000.000,- - Harga sewa kepada nasabah : Rp.288.000.000,- - Periode pembiayaan : 12 bulan (=360 hari) - Besarnya angsuran nasabah per bulan : Rp.24.000.000,- Dengan analisa tersebut diatas, maka pembiayaan yang diberikan oleh Bank kepada Bapak Ahmad adalah : - Pembiayaan Ijarah, dengan harga sewa Rp.288.000.000,- - Jangka waktu 12 bulan - Angsuran Rp.24.000.000,-/bulan 3. Istishna Merupakan akad jual beli antara nasabah dengan bank syariah, namun barang yang hendak dibeli sedang dalam proses pembuatan. Bank syariah membiayai pembuatan barang tersebut dan mendapatkan pembayaran dari nasabah sebesar pembiayaan barang ditambah dengan marjin keuntungan. Pembayaran angsuran pokok dan marjin kepada bank syariah tidak 16 sekaligus pada akhir periode, melainkan dicicil sesuai dengan kesepakatan. Umumnya bank syariah memanfaatkan skema ini untuk pembiayaan konstruksi. Contoh kasus : Seseorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah dapat mengajukan permohonan dana untuk keperluan itu dengan cara bai’ alistishna’. Dalam akad bai’ al-istishna’, bank berlaku sebagai penjual yang menawarkan pembangunan/renovasi rumah. Bank lalu membeli/memberikan dana, misalnya Rp30.000.000,00 secara bertahap. Setelah rumah itu jadi, secara hukum Islam rumah/atau hasil renovasi rumah itu masih menjadi milik bank dan sampai tahap ini akad istishna’ sebenarnya telah selesai. Karena bank tidak ingin memiliki rumah tersebut, bank menjualnya kepada nasabah dengan harga dan waktu yang disepakati, misalnya Rp39.000.000,00 dengan jangka waktu pembayaran 3 tahun. Dengan demikian, bank mendapat keuntungan Rp9.000.000,00. 4. Mudharabah Merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah menanggung sepenuhnya kebutuhan modal usaha/investasi. Contoh kasus : Bapak Ahmad memiliki usaha pengadaaan gula untuk beberapa pasar swalayan dan restauran dengan omzet Rp.50 juta/bulan dan berniat menambah modal Rp.250 juta. Untuk meningkatkan volume usaha hingga mencapai omzet yang diharapkan sebesar Rp.75 juta/bulan. Untuk 17 mengatasi hal tersebut. Bank Muamalat memberi solusi dengan pembiayaan Mudharabah (dengan asumsi ekspektasi keuntungan Bank 20%). Perhitungan Bank : - Porsi Bank : Rp.250 juta - Keuntungan diharapkan Bank : 20% x Rp.250 juta = Rp.50 juta atau Rp.600 jt/thn - Omzet usaha selama 1 thn : Rp.75 juta/bln x 12 bln : Rp.900 juta/tahun - Maka nisbah bagi hasil Bank : Rp.600juta / Rp.900juta : 66,67% - Nisbah bagi hasil nasabah : 33,33% 5. Musyarakah Merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah tidak menanggung sepenuhnya kebutuhan modal usaha/investasi (biasanya sekitar 70 s.d. 80%). Contoh kasus : Perusahaan Kontraktor PT.ABC mendapatkan proyek pembangunan BTS di PT. Telkom dengan nilai kontrak Rp.3,7 Milyar. PT. ABC mengajukan pembiayaan ke Bank Muamalat sebesar Rp.2,6 Milyar untuk jangka waktu 7 bulan PT. ABC mengestimasi keuntungan Rp.630 juta. Untuk mengatasi hal tersebut, Bank Muamalat memberi solusi 18 dengan pembiayaan Musyarakah (dengan asumsi ekspektasi keuntungan Bank 20%). Perhitungan Bank - Proyeksi keuntungan : Rp.2,6 M x 7/12 x 20% : Rp.303 juta - Bagi hasil bank : nasabah : Rp.303 juta/Rp.630 juta - Nisbah bagi hasil untuk bank : 48,10% - Nisbah bagi hasil nasabah : 51,90% 6. Muzara’ah Muzara'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen. Pemilik lahan dalam hal ini menyediakan lahan, benih, dan pupuk. Sedangkan penggarap menyediakan keahlian, tenaga, dan waktu. Keuntungan diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang telah disepakati 7. Musaqah Musaqah merupakan bagian dari Muzara’ah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. 19 Contoh kasus : Misal si A adalah orang yang sanga t kaya dan memiliki banyak tanah /ladang dimana-mana & si B adalah seorang yang rajin bekerja tapi kekurangan lapangan pekerjaan, karena si B orang yangjujur & dapat dipercaya maka siA menyerahkan sebagian kebunnya kepada si B dengan ketentuan – ketentuan tertentu yang telah di setujui oleh kedua pihak. Dan dengan disetujuinya perjanjian tersebut maka si B pun harus merawat kebun si A dengan sebaik – baiknya sampai waktu panen telah tiba. 8. Salam Merupakan akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada ketika transaksi dilakukan dan pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari. Contoh kasus : seorang petani lada yang bernama Tn. Ivan Pratama hendak menanam lada dan membutuhkan dana sebesar Rp 200.000.000, untuk satu hektar. Bank Syariah Toboali menyetujui dan melakukan akad di mana Bank Syariah Toboali akan membeli hasil lada tersebut sebanyak 10 ton dengan harga Rp 200.000.000,-. Pada saat jatuh tempo petani harus menyerahkan lada sebanyak 10 ton. Kemudian Bank Syariah Toboali dapat menjual lada tersebut dengan harga yang relatif lebih tinggi misalnya Rp 25.000,- per. kilo. Dengan demikian penghasilan bank adalah 10 ton x Rp 25.000, = Rp 250.000.000,-. Dari hasil tersebut Bank Syariah Toboali akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 50.000.000,-. setelah dikurangi modal yang 20 diberikan oleh Bank Syariah Toboali yaitu Rp 250.000.000, dikurangi Rp 200.000.000 D. Mudharabah 1. Pengertian Mudharabah Mudharabah berasal dari kata adhdharby fil ardhi yaitu berpergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata alqardhu yang berarti potongan, karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan (Sri Nurhayati dan Wasilah, 2011:120). Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana kecuali disebabkan oleh kelalaian pengelola dana (Sri Nurhayati dan Wasilah, 2011:120).. Ikatan Akuntansi Indonesia (2010) mendefinisikan Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana. 21 Sedangkan menurut Fathurrahman (2012, 173), Mudharabah adalah kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib) dimana keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional dari jumlah modal dengan catatan kerugian yang timbul akibat tidak disengaja bukan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola. Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mudharabah merupakan sebuah perjanjian (akad) atau kontrak diantara dua pihak, dimana pihak pertama (shahibul maal) memberikan sejumlah dana kepada pihak kedua (mudharib) untuk dikelola dalam usahanya. 2. Jenis – jenis Pembiayaan Mudharabah Menurut Sri Nurhayati dan Wasilah (2011:122) dalam PSAK no 105 tentang akuntansi mudharabah terdapat tiga jenis mudharabah, yaitu : a. Mudharabah Muthlaqah adalah mudharabah di mana pemilik dananya memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya. b. Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana, lokasi, cara, dan atau objek investasi atau sektor usaha. c. Mudharabah Musytarakah adalah mudharabah di mana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi. 3. Rukun Mudharabah Rukun dalam akad mudharabah ada empat, yaitu : a. Pelaku, terdiri dari pemilik dana dan pengelola dana b. Objek mudharabah, berupa modal dan kerja c. Ijab Kabul atau serah terima d. Nisbah keuntungan 22 4. Landasan Syariah Mudharabah a. Al Quran “Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi ; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak - banyak agar kamu beruntung.” (QS 62. Al Jumu’ah:10) “…. Maka, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” (QS 2. Al Baqarah:283) b. Al Hadis Dari Shalil bin Suaib r.a bahwa Rasullulah SAW bersabda, “tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh (mudharabah), dan mencampuradukkan dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majal) “Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada pengelola dananya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (pengelola dana) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetetapkan Abbas didengar Rasullullah SAW, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas) 5. Manfaat dan Risiko Mudharabah a. Manfaat dari mudharabah yaitu : 1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat. 2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank hingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread. 3) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halah, aman, dan menguntungkan karena keuntungannya yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan. 4) Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi. b. Risiko dari Mudharabah, yaitu : 1) Side streaming yaitu nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebutkan dalam kontrak. 2) Lalai dan kesalahan yang disengaja. 3) Penggelapan keuntungan oleh nasabah bila nasabah tidak jujur. 23 E. Musyarakah 1. Pengertian Musyarakah Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya. Menurut Dewan Syariah Nasional dan PSAK No. 106 tentang akuntansi musyarakah mendefinisikan Musyarakah sebagai akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing - masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset nonkas yang diperkenankan oleh syariah. (Sri Nurhayati dan Wasilah, 2011:142) . Sedangkan menurut Faturrahman (2012), musyarakah adalah kerja sama usaha antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing - masing pihak memberikan kontribusi dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. 24 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa musyarakah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing - masing pihak memberikan kontribusi dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. 2. Jenis - jenis Pembiayaan Musyarakah a. Syirkah Al Milk mengandung arti kepemilikan bersama yang keberadaanya muncul apabila dua orang atau lebih memperoleh kepemilikan bersama atas suatu kekayaan (aset). Misalnya, dua orang atau lebih menerima warisan atau hibah atau harta kekayaan atau perusahaan baik yang dapat dibagi maupun tidak dapat dibagi b. Syirkah Al Uqud (kontrak), yaitu kemitraan yang tercipta dengan kesepakatan dua orang atau lebih untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan tertentu. Setiap mitra dapat berkontribusi dengan dana atau dengan bekerja, serta berbagi keuntungan dan kerugian. Berbeda dengan syirkah al milk, dalam kerja sama jenis ini setiap mitra dapat bertindak sebagai wakil dari pihak lainnya. Syirkah Al uqud dapat dibagi menjadi sebagai berikut : 1) Syirkah Abdan adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih dari kalangan pekerja atau professional di mana mereka sepakat untuk bekerja sama mengerjakan suatu pekerjaan dan berbagi penghasilan yang diterima. 2) Syirkah Wujuh adalah kerja sama antara dua pihak di mana masing - masing pihak sama sekali tidak menyertakan modal. Mereka menjalankan usahanya berdasarkan pihak ketiga. Masing - masing mitra menyumbangkan nama baik, reputasi dan lainnya tanpa menyetorkan modal. 3) Syirkah Inan (negoisasi) adalah bentuk kerja sama di mana posisi dan komposisi pihak - pihak yang terlibat di dalamnya adalah tidak sama, baik dalam hal modal maupun pekerjaan. Tanggung jawab para mitra dapat berbeda dalam pengelolaan usaha. 4) Syirkah Mufawwadhah adalah bentuk kerja sama di mana posisi dan komposisi pihak - pihak yang terlibat di dalamnya harus sama, baik dalam hal modal, pekerjaan, agama, keuntungan, maupun risiko kerugian.. 3. Rukun Musyarakah Rukun musyarakah ada empat, yaitu : a. Pelaku terdiri dari para mitra. b. Objek musyarakah berupa modal dan kerja. c. Ijab Kabul atau serah terima. 25 d. Nisbah keuntungan. 4. Landasan Syariah Musyarakah a. Al Quran “Maka mereka berserikat pada sepertiga.” (QS 4. An Nisa:12) “Memang banyak di antara orang – orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan.” (QS 38. Shaad:24) b. Al Hadis Hadis Qudsi : “Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap lainnya maka Aku akan keluar dari keduanya.” (HR. Abu Dawud dan Al Hakim dari Abu Hurairah) “Pertolongan Allah tercurah atas dua pihak yang berserikat, sepanjang keduanya tidak saling berkhianat.” (HR. Muslim) 5. Manfaat dan Risiko Musyarakah Manfaat Musyarakah yaitu : a. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat. b. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah. c. Bank akan lebih selektif dan berhati - hati mencari usaha yang benar benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar - benar terjadi itulah yang akan dibagikan. d. Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan rugi sekalipun dan terjadi krisis ekonomi. Sedangkan kerugian atau risiko dalam pembiayaan musyarakah dapat diakibatkan karena ketidaksengajaan atau kejadian luar biasa, dan kecurangan, kelalaian dan menyalahi perjanjian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pihak yang melakukan hal tersebut. F. Pendapatan 1. Pengertian Pendapatan Sebuah perusahaan didirikan untuk memperoleh laba. Laba diperoleh dari pendapatan yang dikurangi dengan beban. Tanpa adanya 26 pendapatan maka perusahaan tidak memperoleh laba, dan tanpa adanya pendapatan maka perusahaan tidak dapat hidup. Salah satu unsur utama dari laporan keuangan yang menjadi tolak ukur menilai keberhasilan pengelolaan perusahaan adalah pendapatan. Istilah yang digunakan dalam tulisan ini mempunyai arti yang sama dengan istilah revenue yang terdapat dalam literatur akuntansi. Pendapatan merupakan salah satu unsur utama laporan keuangan yang menjadi tolak ukur untuk aktivitas dan efisiensi perusahaan. Namun sebelum membahas masalah pendapatan, perlu diuraikan terlebih dahulu pengertian pendapatan itu sendiri, dalam hal ini perlu dibedakan antara pendapatan kotor dan pendapatan bersih.. Pendapatan kotor merupakan suatu jumlah yang menjadi hak seseorang atau perusahaan sebagai hasil dari transaksi penjualan atau pertukaran barang dan penyerahan jasa sebelum diperhitungkan dengan biaya - biaya untuk menghasilkan pendapatan tersebut. Pendapatan kotor ini diistilahkan juga sebagai revenue. Sedangkan pendapatan bersih merupakan selisih dari hasil penjualan barang atau penyerahan jasa dengan biaya yang berkaitan dengan proses penjualan atau penyerahan jasa tersebut. Pendapatan bersih ini diistilahkan sebagai income. Menurut PSAK No. 23 tentang pendapatan (2010), pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas selama suatu periode jika arus masuk tersebut 27 mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Salah satu penentu besar kecilnya laba perusahaan adalah revenue atau pendapatan. Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2007,23:1), pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari transaksi dan peristiwa ekonomi yang biasa dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan barang, penjualan jasa, dan penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak - pihak lain yang menghasilkan bunga, royalty, dan sewa. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendapatan adalah pertambahan aktiva atau penurunan kewajiban suatu perusahaan yang diukur dalam bentuk satuan moneter yang timbul dari penyerahan barang dagangan atau jasa aktivitas lain dalam suatu periode dan bukan karena pembelian harta, investasi pemilik, pinjaman, atau koreksi laba rugi tahun lalu. 2. Pengakuan Pendapatan Pengakuan pendapatan merupakan pencatatan jumlah rupiah secara resmi ke dalam sistem akuntansi sehingga jumlah tersebut terefleksi dalam statemen keuangan. Secara konseptual pendapatan hanya dapat diakui jika memenuhi kualitas keterukuran (measureability) yang terkait dengan masalah berapa jumlah rupiah produk tersebut dan keterandalan (reliability) yang terkait dengan obyektivitas dan dapat diuji kebenaran jumlah tersebut. Kualitas tersebut harus dioperasionalkan dalam bentuk kriteria pengakuan pendapatan (recognition criteria). Pendapatan belum 28 terbentuk sebelum perusahaan melakukan kegiatan produktif, karena pendapatan belum terealisasi sebelum terjadinya penjualan yang nyata kepada pihak lain. Financial Accounting Standards Board (FASB) mengajukan dua kriteria pengakuan pendapatan yang keduanya harus dipenuhi yaitu : a. Terealisasi atau cukup pasti terealisasi, misal ketika barang atau jasa telah terjual. b. Terbentuk/terhak (earned), misal ketika perusahaan telah menunaikan kewajibannya. Jika kedua hal diatas harus dipenuhi, pertanyaan berikutnya kapan saat mengakui pendapatan? Berikut beberapa kaidah pengakuan (recognition rule) : a. Pada saat kontrak penjualan Jika terjadi sebuah kontrak penjualan, pada titik ini pendapatan telah terealisasi tetapi belum terbentuk. Karena hanya satu kriteria yang dipenuhi, pendapataan tidak boleh diakui, pengakuan harus menunggu hingga proses penghimpunan selesai, yaitu di tahap penjualan, pembayaran dimuka diakui sebagai kewajiban. b. Selama proses produksi secara bertahap Dalam industri tertentu, pembuatan produk memerlukan waktu yang cukup lama, seperti pada industri konstruksi. Dalam hal ini pengakuan pendapatan dapat diakui secara bertahap sejalan dengan kemajuan proses produksi atau yang disebut metode persentase penyelesaian (percentage-of-completition) atau sekaligus ketika proyek selesai dan diserahkan (completed contract method). c. Pada saat produksi selesai Jika sebelumnya telah ada kontrak maka kedua kriteria telah dipenuhi ketika produk selesai, pendapatan bisa diakui, namun jika tidak ada kontrak sebelumnya maka hanya salah satu kriteria saja yang terpenuhi. Namun dalam industri ekstraktif (pertambangan) termasuk pertanian, yang mempunyai pasar yang cukup luas dan harga yang sudah pasti (berapapun jumlahnya pasti akan terserap oleh pasar), pendapatan dapat diakui ketika produk telah selesai diproduksi. d. . Pada saat penjualan Pengakuan ini merupakan dasar yang paling umum karena pada saat penjualan, kriteria penghimpunan dan relisasi telah terpenuhi. 29 e. . Pada saat kas terkumpul Pengakuan ini lebih bersifat ke akuntansi basis kas (cash basis). Pengakuan dasar kas digunakan untuk transaksi penjualan yang barang atau jasanya telah diserahkan/dilaksanakan tetapi kasnya baru akan diterima secara berkala dalam waktu yang cukup panjang. Hal ini terkadang terjadi karena adanya ketidakpastian terhadap kolektibilitas atau ketertagihan utang, maka dari itu pendapatan diakui sejumlah kas yang diterima pada akhir periode. 3. Pengukuran Pendapatan Pendapatan harus diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima. Jumlah pendapatan yang timbul dari suatu transaksi biasanya ditentukan oleh persetujuan antara perusahaan dan pembeli atau pemakai aktiva tersebut. Jumlah tersebut diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima perusahaan dikurangi jumlah diskon barang yang diperbolehkan oleh perusahaan. Pada umumnya, imbalan tersebut berbentuk kas atau setara kas yang diterima atau dapat diterima. Namun, bila arus masuk dari kas atau setara kas ditangguhkan, nilai wajar dari imbalan tersebut mungkin kurang dari jumlah nominal dari kas yang dapat diterima 4. Perlakuan Akuntansi Terhadap Pendapatan Pendapatan merupakan unsur yang sangat penting bagi perusahaan, karena pendapatan merupakan alat bagi perusahaan untuk membiayai berbagai aktivitas baik untuk operasional maupun untuk investasi. Oleh karena itu, perusahaan akan selalu memfokuskan seluruh aktivitasnya untuk merealisasikan serta menciptakan suatu pengendalian yang sebaik baiknya untuk mengamankan pendapatan tersebut, baik dari kesalahan 30 pencatatan maupun dari hal - hal lain yang dapat mengurangi nilai pendapatan itu sendiri. Untuk mengamankannya, perusahaan memerlukan suatu perlakuan akuntansi yang baik, benar, dan tepat terhadap pendapatan, sehingga laporan keuangan terutama laporan laba rugi yang diterbitkan perusahaan dapat menggambarkan posisi keuangan yang wajar. Dengan demikian pihak intern dan ekstern dapat mengambil keputusan yang akurat. Untuk mencatat pendapatan, di dalam akuntansi pada umumnya terdapat dua metode, yaitu : a. Metode kas (Cash Basis) b. Metode Akrual (Acrual Basis) Perbedaan kedua metode tersebut terletak pada dasar pengakuan pendapatan itu sendiri. Dalam metode tunai atau kas, suatu pendapatan hanya dicatat atau diakui pada saat diterimanya uang tunai. Sedangkan metode akrual, pendapatan diakui pada saat terjadinya pendapatan tersebut yang biasanya pada saat penyerahan barang, walaupun dalam hal ini uang tunainya baru diterima kemudian. 5. Jenis - jenis Pendapatan Bank Syariah Bank syariah mempunyai pendapatan yang bersumber dari operasi utama dan operasi sampingan. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 pasal 36, berikut jenis - jenis pendapatan bank syariah : 31 a. Pendapatan dari jual beli 1) Pendapatan marjin murabahah, yaitu pendapatan yang diperoleh dari penjualan suatu barang dimana penjual dan pembeli menyebutkan harga jual yang terdiri atas harga pokok barang dan tingkat keuntungan tertentu atas barang, dimana harga barang tersebut disetujui oleh pembeli. 2) Pendapatan marjin salam, yaitu pendapatan yang diperoleh dengan cara pembeli melakukan pemesanan terlebih dahulu atas barang yang dipesan dan melakukan pembayaran dimuka atas barang tersebut, baik dengan cara pembayaran sekaligus maupun dengan cara mencicil, yang keduanya harus diselesaikan pembayarannya sebelum barang yang dipesan diterima kemudian. 3) Pendapatan marjin istishna, yaitu pendapatan yang diterima dimana akad jual beli suatu barang yang akan dibuat terlebih dahulu oleh pembuat (produsen) yang juga sekaligus menyediakan kebutuhan bahan baku barangnya. b. Pendapatan dari pinjaman 1) Pendapatan hawalah, yaitu pendapatan yang diperoleh dari pemindahan atau pengalihan hak dan kewajiban, baik dalam bentuk pengalihan piutang maupun hutang, dan jasa pemindahan atau pengalihan dana dari suatu entitas kepada entitas lain. 2) Pendapatan qardh, yaitu pendapatan yang diperoleh dengan cara meminjamkan harta kepada orang lain dan secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi lembaga keuangan pemberi qardh tidak boleh memberikan imbalan tersebut apapun. c. Pendapatan dari bagi hasil 1) Pendapatan bagi hasil mudharabah, yaitu akad kerjasama usaha antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana kecuali disebabkan oleh kelalaian pengelola dana. 2) Pendapatan bagi hasil musyarakah, yaitu bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. d. Pendapatan dari sewa menyewa 1) Pendapatan ijarah, yaitu pendapatan yang diterima dari sewa atas manfaat dari sebuah asset. 2) Pendapatan ijarah muntahiya bittamlik, yaitu akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan ada 32 G. Pendapatan Bagi Hasil 1. Pengertian Pendapatan Bagi Hasil Bank sebagai lembaga perantara keuangan adalah lembaga yang berfungsi sebagai lembaga penyimpanan dana dari pihak yang kelebihan dana dan lembaga penyalur dana kepada pihak yang membutuhkan dana. Untuk itu kepada para nasabah penyimpan dana, bank akan memberikan bunga. Sedangkan kepada para nasabah yang meminjam dana, bank akan mengenakan bunga. Mulai tahun 90an di Indonesia bermunculan lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil yang sering juga disebut bank syariah. Pendapatan bagi hasil yang diterima oleh bank adalah laba atau pendapatan dari sebuah proyek atau usaha yang telah dibagi hasilkan antara nasabah dengan bank bagi hasil. Pendapatan ini lebih sering disebut pendapatan bagi hasil. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendapatan bagi hasil merupakan keuntungan atau pendapatan dari kegiatan operasional bank syariah dalam sisi penyaluran dana (pembiayaan). Bank syariah melakukan kegiatan pembiayaan pada suatu usaha, dan ketika sebuah usaha tersebut mendapatkan keuntungan maka keuntungan tersebut dibagi hasilkan dengan nasabah. Dalam bank syariah terdapat beberapa produk pembiayaan, yaitu Bai Bitsaman Ajil, Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, dan Bai Salam. 33 Produk pembiayaan bank syariah tersebut tidak semuanya menggunakan prinsip bagi hasil. Bank bagi hasil akan memperoleh pendapatan dari berbagai pembiayaan yang disalurkan kepada nasabah. Dari pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah akan diperoleh pendapatan dalam bentuk pendapatan bagi hasil, pada pembiayaan Bai Bitsaman, Murabahah, Bai Salam akan diperoleh pendapatan dalam bentuk pendapatan mark up, yaiyu selisih antara harga beli barang dengan harga jual barang, pada pembiayaan Ijarah akan diperoleh pendapatan dalam bentuk pendapatan sewa dan dalam pembiayaan Qordhul Hasan akan diperoleh pendapatan dalam bentuk pengembalian biaya administrasi. Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa pendapatan bagi hasil diperoleh dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Pendapatan bagi hasil dari mudharabah, yaitu pendapatan yang diperoleh dimana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengelola dana untuk melakukan usaha yang kemudian laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana kecuali disebabkan oleh kelalaian pengelola dana. Pendapatan bagi hasil dari musyarakah, yaitu pendapatan yang diperoleh dari bentuk kerja sama dua pihak atau lebih dimana keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. 34 2. Metode Penerimaan Pendapatan Bagi Hasil Untuk penerimaan pendapatan bagi hasil dari pihak nasabah, bank bagi hasil tidak melakukan perhitungan yang rumit. Perhitungan tentang jumlah yang disetorkan ke bank dilakukan sepenuhnya oleh nasabah. Bank bagi hasil hanya menerima pendapatan sejumlah yang disetorkan dari nasabah. Ditinjau dari cara menentukan jumlah rupiah pembayaran angsuran dan pokok pembiayaan terdapat dua metode, yaitu : a. Bagi hasil netto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan dari usaha yang telah dikurangi dengan biaya - biaya yang timbul. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang dibagi hasilkan adalah laba dari sebuah usaha tersebut. Contoh : Bila ada sebuah usaha dan dihasilkan penjualannya sebesar Rp 2.000.000 dengan biaya usahanya Rp 1.000.000, maka yang dibagi hasilkan sebesar Rp 1.000.000 b. Bagi hasil bruto adalah bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan dari usaha yang tidak dikurangi dengan biaya - biaya yang timbul. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang dibagi hasilkan adalah pendapatan dari usaha tersebut. Contoh : Bila ada sebuah usaha dan dihasilkan penjualannya sebesar Rp 2.000.000 dengan biaya usahanya Rp 1.000.000, maka yang dibagi hasilkan sebesar penjualannya yakni Rp 2.000.000 35 Ditinjau dari cara pembayaran nasabah kepada bank maka terdapat dua metode penerimaan bagi hasil pembiayaan mudharabah dan musyarakah, yaitu : a. Bagi hasil dibayarkan terpisah dengan angsuran pokok pinjaman. Pada cara ini pendapatan bagi hasil yang diterima oleh bank bagi hasil merupakan pembayaran terpisah dari pembayaran angsuran pokok pembiayaan. b. Bagi hasil dibayarkan tidak terpisah dengan angsuran pokok pinjaman. Pada cara ini pendapatan bagi hasil yang diterima merupakan pembayaran bersamaan dengan pembayaran angsuran pokok pembiayaan. Sebelum menyetujui sebuah usulan pembiayaan yang diajukan oleh nasabah, maka bank bagi hasil akan membuat proyeksi pembayaran terlebih dahulu. 3. Pengakuan Pendapatan Bagi Hasil Pengakuan suatu jumlah rupiah dalam akuntansi pada umumnya didasarkan pada konsep obyektivitas, yaitu bahwa jumlah rupiah tersebut dapat diukur secara cukup pasti dan ada keterlibatan pihak independen di dalamnya. Untuk itu pengakuan pendapatan tergantung pada kondisi yang menjadi kriteria pengakuan pendapatan. Dua kriteria pengakuan pendapatan menurut Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 5 adalah sebagai berikut : a. Pendapatan baru diakui setelah pendapatan terealisasi atau akan segera terealisasi. Pendapatan dan keuntungan telah terealisasi bila produk perusahaan atau aktiva lain telah dipertukarkan dengan kas atau klaim menerima kas. Pendapatan akan segera terealisasi bila barang penukar yang diterima mudah dikonversi menjadi kas atau setara dengan kas. b. Pendapatan baru diakui bila pendapatan telah terhimpun. Pendapatan telah terhimpun bila aktivitas untuk menghasilkan pendapatan tersebut 36 telah berlangsung dan secara substansial telah selesai, sehingga suatu entitas berhak menguasai manfaat yang terkandung dalam pendapatan. Bank bagi hasil akan mengakui pendapatan bagi hasil atas dasar kas (cash basis) yaitu sebesar sejumlah uang kas yang diterima dari nasabah. Apabila pendapatan bagi hasil dipersamakan dengan pendapatan bunga maka bank bagi hasil belum dapat memenuhi ketentuan PSAK No. 31 tentang akuntansi perbankan. Namun demikian penggunaan dasar kas ini dilandasi oleh suatu dasar pemikiran. Bila pengukuran pendapatan bunga mudah dilakukan yaitu sebesar jumlah rupiah pendapatan berupa persentase tertentu dari pinjaman, maka pendapatan bagi hasil akan dihitung dari persentase tertentu dari keuntungan nyata dari sebuah usaha. Keuntungan nyata ini mengandung unsur ketidak pastian. Ada kemungkinan nasabah memperoleh keuntungan ada juga kemungkinan mengalami kerugian. Ada kemungkinan yang didapatkan berbeda - beda antara satu periode dengan periode yang lain bahkan antara bulan yang satu dengan bulan yang lain. Unsur ketidak pastian dalam keuntungan usaha atau proyek inilah yang membuat bank bagi hasil tidak dapat mengakui pendapatan secara akrual. Aliran aktiva yang masuk berupa kas hanya dapat diketahui apabila nasabah benar - benar telah menyetorkannya. PSAK No. 31 mengakui pendapatan atas dasar kas untuk pendapatan yang berasal dari penggunaan aktiva non performing. Aktiva non performing artinya aktiva produktif yang digolongkan kurang baik 37 seperti kredit yang likuiditasnya kurang lancar, bermasalah, atau bahkan macet. Apakah dengan demikian pendapatan bagi hasil dianggap pendapatan yang berasal dari penggunaan aktiva non performing? Pendapatan bagi hasil jelas bukanlah pendapatan yang berasal dari aktiva non performing. Pendapatan bagi hasil merupakan pendapatan yang berasal dari aktivitas normal dalam kegiatan perbankan pendapatan adalah yang mengguanakan prinsip bagi hasil. 4. Pengukuran Pendapatan Bagi Hasil Cara terbaik untuk mengukur dengan menggunakan nilai tukar barang atau jasa. Nilai tukar ini merupakan cash equivalent atau present value dari tagihan - tagihan yang diharapkan akan diterima dari transaksi pendapatan ini. Untuk itu pendapatan diukur dengan jumlah satuan moneter aktiva baru yang diterima dari transaksi pertukaran (Hendriksen, 2004). PSAK No. 23 tentang pendapatan memberikan kriteria tentang pengukuran pendapatan adalah sebagai berikut : a. Pendapatan diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima. b. Imbalan yang diterima dalam bentuk kas atau setara kas, dan jumlah pendapatan adalah jumlah kas atau setara kas yang diterima atau yang dapat diterima. Pengukuran merupakan penetapan jumlah uang atau nilai untuk mengakui dan memasukkan setiap unsur laporan keuangan ke dalam 38 laporan keuangan. Karena pendapatan bagi hasil diakui atas dasar kas, maka pendapatan bagi hasil diukur sejumlah kas yang diterima. Jumlah kas yang diterima mencerminkan hak yang dimiliki oleh bank bagi hasil. Dengan demikian dasar pengukuran yang digunakan adalah kas historis. Karena bank bagi hasil tidak menggunakan instrumen bunga untuk mengukur pendapatan yang diterimanya, tentu saja tidak dapat mengukur dengan menggunakan dasar present value. H. Hubungan Mudharabah dan Musyarakah dengan Pendapatan Margin dan Bagi Hasil Salah satu pendapatan bank syariah yaitu berdasarkan pembiayaan dengan prinsip sistem bagi hasil. Bank syariah dalam hal berhubungan dengan nasabah menggunakan pembiayaan dengan prinsip sistem bagi hasil jasa yaitu pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Sehingga pendapatan yang diterima oleh bank syariah, disebut dengan pendapatan bagi hasil. Pendapatan bagi hasil mudharabah, yaitu pendapatan yang diperoleh dimana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengelola dana untuk melakukan usaha yang kemudian laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana kecuali disebabkan oleh kelalaian pengelola dana. Pendapatan bagi hasil musyarakah, yaitu pendapatan yang diperoleh dari bentuk kerja sama dua pihak atau lebih dimana keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. 39 Maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendapatan margin dan bagi hasil dari pembiayaan berdasarkan mudharabah dan musyarakah, yaitu pendapatan yang diperoleh untuk diusahakan untuk mendapatkan keuntungan tersebut akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak, sedangkan jika ada kerugian akan ditanggung oleh si pemilik modal (mudharabah), ditanggung bersama (musyarakah). Hubungan antara mudharabah dan musyarakah dengan pendapatan marjin juga didukung oleh hasil penelitian sebelumnya oleh : 1. Rahmawati (2006), dimana dalam nilai t hitung yaitu 4,616 sedangkan nilai t tabel 1,761. Sehingga Ho ditolak karena nilai t hitung > nilai t tabel. Hal ini menunjukan signifikansi hasil pembiayaan mudharabah dan musyarakah dengan laba bersih yang diperoleh. 2. Adiawati (2007), dimana untuk koefisien determinasi (KD) didapat angka 97,4%, ini artinya bahwa pengaruh pembiayaan mudharabah terhadap pendapatan marjin adalah sebesar 97,4% sedangkan sisanya 2,6% dipengaruhi faktor - faktor lain yang tidak diteliti. 3. Fiswara (2008), dimana untuk pengujian secara parsial diperoleh bahwa variabel pembiayaan mudharabah memiliki hubaungan yang positif dengan profitabilitas dan memiliki keeratan hubungan rendah atau lemah, serta besarnya koefisien determinasi sebesar 12,8% artinya bahwa tingkat profitabilitas dapat dijelaskan oleh variabel pembiayaan mudharabah sebesar 12,8% dan sisanya sebesar 87,2% dipengaruhi oleh faktor lain. 40 4. Yudi (2010), dimana korelasi (r) hitung sebesar 0,987 dan uji hipotesis nilai F > F tabel (39,18 > 9,28) dengan tingkat signifikan 5% untuk n = 5, ini artinya pembiayaan mudharabah dan musyarakah memiliki pengaruh yang kuat dan positif terhadap efektifitas pendapatan marjin. Nilai koefisien determinasi menunjukan adanya peranan antara variabel pembiayaan mudharabah dan musyarakah terhadap variabel efektifitas pendapatan marjin secara serentak sebesar 97,5% dan sisanya sebesar 2,5% adalah kontribusi faktor lain yang tidak diteliti. Namun secara parsial tidak ada pengaruh signifikan antara pembiayaan mudharabah dan musyarakah terhadap pendapatan marjin. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian Terdahulu Yudi (2010) Judul Pengaruh Sistem Pembiayaan Berdasarkan Mudharabah dan Musyarakah Terhadap Besarnya Pendapatan Marjin dan Bagi Hasil (Studi Kasus pada PT. Bank Muamalat) Variabel Yang Digunakan - Pembiayaan mudharabah - Pembiayaan Musyarakah Hasil Penelitian - - Secara simultan pembiayaan mudharabah dan musyarakah memiliki pengaruh yang kuat dan positif terhadap efektifitas pendapatan marjin Secara parsial tidak ada pengaruh signifikan antara pembiayaan mudharabah dan musyarakah 41 Fiswara (2008) Pengaruh Tingkat Non Performing Loan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah Terhadap Tingkat Profitabilitas (Return on Assets) Pada Bank Syariah (Studi Kasus Pada PT. Bank Syariah Mandiri) - - Tingkat Non Performing Loan pembiayaan Mudharabah Tingkat Non Performing Loan Pembiayaan Musyarakah - - terhadap pendapatan marjin dan bagi hasil Secara simultan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat non performing loan pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah terhadap profitabilitas Secara parsial pembiayaan mudharabah memiliki hubaungan yang positif dengan profitabilitas dan memiliki keeratan hubungan rendah atau lemah, namun untuk pembiayaan musyarakah pembiayaan musyarakah memiliki hubungan yang positif dengan profitabilitas dan memiliki keeratan hubungan yang kuat