V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengujian Stasioneritas Data Panel Pengujian kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam menganalisis data panel untuk melihat ada tidaknya panel unit root yang terkandung diantara variabel, sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. Pengujian panel unit root yang digunakan penelitian ini didasarkan pada beberapa statistik uji tingkat level dan first differencing seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Hasil pengujian panel unit root secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran.1, sementara rangkumannya disajikan pada Tabel 5.1. Seperti dapat dilihat pada Tabel 5.1, pengujian panel unit root dilakukan pada variabel IHK (P), jumlah uang beredar (M), pengeluaran pemerintah (GEXP), pertumbuhan ekonomi (Y), upah minimum regional (W), kondisi infrastruktur (KI), harga minyak dunia (OIL_P) dan harga pangan dunia (FOOD_P) semuanya dinyatakan dalam logaritma natural dari nilai riilnya. Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan plotting data untuk melihat metode pengujian, apakah panel unit root akan digunakan untuk data dengan intersep tanpa tren (kode 2) atau dengan intersep dan tren (kode 3). Berdasarkan plotting data tersebut, untuk data level diketahui seluruhnya menggunakan metode dengan intersep dan tren. Berdasarkan berbagai statistik uji yang digunakan, data level menunjukkan adanya common unit root (uji Breitung) kecuali pada variabel upah minimum regional (W), bahkan beberapa variabel menunjukkan adanya individual unit root. Oleh karena itu, dilakukan first differencing kepada seluruh variabel untuk menjaga robustness hasil penelitian. Setelah dilakukan first differencing pada semua variabel, hasil pengujian dengan metode dengan intersep tanpa tren menunjukkan, baik dengan statistik uji common unit root maupun individual unit root seluruhnya signifikan pada taraf nyata α 5 persen dan beberapa pada 1 persen. Hasil pengujian kemudian menyatakan tidak ditemukannya panel unit root pada variabel sehingga estimasi dapat dilakukan pada model first difference atau pada model persamaan (3.8). 56 Tabel 5.1 Rangkuman Hasil Pengujian Panel Unit Root p-Value Statistik Uji 3) Diff 1) Variabel Metode 2) LLC Breitung IPS ADFFisher PP-Fisher P 0 3 0.1341 0.6139 0.7396 0.9141 0.9841 ∆P 1 2 0.0000** - 0.0200*** 0.0143*** 0.0058** M 0 3 0.6738 0.8069 0.8802 0.9983 0.9963 ∆M 1 2 0.0000** - 0.0351*** 0.0304*** 0.0344*** + GEXP 0 3 0.0000** 0.1262 0.0887 0.0061** 0.0000** ∆GEXP 1 2 0.0000** - 0.0003** 0.0002** 0.0000** + Y 0 3 0.0000** 0.3037 0.2266 0.0864 0.0001** ∆Y 1 2 0.0000** - 0.0124*** 0.0082** 0.0002** + W 0 3 0.0000** 0.9421 0.0551 0.0023** 0.0000** ∆W 1 2 0.0000** - 0.0000** 0.0000** 0.0000** KI 0 3 0.0000** 0.0123 0.3940 0.2874 0.1227 ∆KI 1 2 0.0000** - 0.0003** 0.0002** 0.0000** OIL_P 0 3 0.3454 0.1271 0.8068 0.9877 0.9877 ∆OIL_P 1 2 0.0000** - 0.0004** 0.0003** 0.0003** FOOD_P 0 3 0.0000** 0.0016** 0.3796 0.2533 0.0001** ∆FOOD_P 1 2 0.0000** - 0.0181*** 0.0092** 0.0000** Keterangan : 1) Differencing : 2) Metode : 3) Statistik Uji : 4) Signifikansi : 5.2 Tahapan Pemilihan Pendekatan Model Terbaik 0 1 1 2 3 LLC Breitung IPS ADF-Fisher PP-Fisher ** *** + = data level = data first differencing = tanpa intersep – tanpa tren = dengan intersep – tanpa tren = dengan intersep – dengan tren = Levin, Lin & Chu t* = Breitung t-stat = Im, Pesaran and Shin W-stat = ADF-Fisher Chi-square = PP-Fisher Chi-square = pada taraf nyata α 1 % = pada taraf nyata α 5 % = pada taraf nyata α 10 % Estimasi model untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa yang menggunakan analisis data panel, dapat dilakukakan melalui tiga pendekatan estimasi model yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). 57 Pertama-tama, dilakukan estimasi model regresi data panel faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dengan pendekatan PLS (Lampiran.3) menghasilkan estimasi model dengan nilai R2 sebesar 0,421998. Dengan melihat nilai Prob(F-statistic) sebesar 0,000409 yang lebih kecil dibandingkan taraf nyata α sebesar 1 persen, hal ini berarti model PLS menyatakan bahwa secara keseluruhan minimal ada satu variabel diantara jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia yang secara signifikan memengaruhi inflasi dengan tingkat kepercayaan 99 persen. Selanjutnya, estimasi model regresi data panel faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dilakukan dengan metode FEM (lampiran.4) menghasilkan estimasi model dengan R2 0,523606. Secara sekilas estimasi model dengan pendekatan FEM menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan PLS, namun Chow Test tetap harus dilakukan untuk memilih pendekatan model terbaik antara PLS dan FEM. Hasil Chow Test (Lampran.5) menunjukkan nilai statistik dengan probability sebesar 0,1120 yang lebih besar bila dibandingkan dengan taraf nyata α 1, 5, maupun 10 persen. Hal tersebut menyatakan bahwa pendekatan PLS lebih baik daripada pendekatan FEM, sehingga dinyatakan bahwa pendekatan terbaik untuk mengestimasi model pada penelitian ini adalah PLS. Langkah berikutnya adalah mengestimasi model regresi data panel faktorfaktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa melalui pendekatan REM. Disebabkan jumlah pengamatan cross section pada penelitian ini tidak mencukupi untuk di estimasinya model dengan pendekatan REM, maka estimasi dengan pendekatan REM tidak dapat di lakukan. Dengan demikian, tahapan pengujian untuk memilih model terbaik antara FEM dan REM dengan menggunakan Hausman Test dapat diabaikan. 58 5.3 Tahapan Evaluasi Model 5.3.1 Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika Tahapan pemilihan pendekatan model terbaik berdasarkan Chow Test menunjukkan bahwa PLS merupakan pendekatan terbaik untuk mengestimasi model penelitian. Langkah berikutnya adalah melakukan pengujian asumsi klasik terhadap model estimasi data panel PLS. Pengujian asumsi klasik harus tetap dilakukan agar model dapat menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria Best Liniear Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikoliniearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi. 5.3.1.1 Uji Normalitas Pengujian normalitas dilakukan dengan Jarque Bera Test yang terdapat dalam software Eviews 6. Hasil perhitungan dengan menggunakan software Eviews 6 menghasilkan output pada Lampiran.6. Dari hasil tersebut diperoleh nilai p-value sebesar 0,419674 (Lampiran.6). Hal tersebut menandakan bahwa nilai p-value lebih besar dibandingkan dengan taraf nyata α 1, 5, maupun 10 persen, dimana jika nilai p-value lebih besar menandakan H 0 tidak ditolak dan menandakan bahwa residual berdistribusi normal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kriteria normalitas model estimasi telah terpenuhi. 5.3.1.2 Uji Multikoliniearitas Multikolinearitas menandakan terdapat hubungan linier antar variabel independennya. Uji multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai perhitungan koefisien korelasi sederhana (Pearson correlation coefficient) antar peubah bebasnya. Persyaratan kecukupan (sufficient condition) untuk terbebas dari pelanggaran asumsi multikoliniearitas ini adalah nilai koefisien korelasi antar variabel bebas pada model tidak boleh melebihi tanda mutlak 0.8. Sedangkan syarat perlu (necessary condition) yang perlu dipenuhi apabila syarat cukup tidak terpenuhi adalah nilai dari Variance Inflation Factor (VIF) yang tidak boleh melebihi 5 atau 10. 59 Hasil perhitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan software Eviews 6 menghasilkan output pada lampiran.2. Dengan melihat hasil output tersebut, tidak terdapat nilai koefisien korelasi yang melebihi kisaran nilai 0,80 pada peubah bebas dalam model, dengan demikian persyatatan kecukupan telah terpenuhi sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran asumsi multikoliniearitas dalam estimasi model penelitian. 5.3.1.3 Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas dapat menyebabkan estimator tidak lagi BLUE karena tidak lagi mempunyai varians yang minimum, perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena estimasi regresi yang dihasilkan tidak efisien serta uji hipotesis yang didasarkan pada uji F-statistic dan t-statistic tidak dapat dipercaya. Jika model mengalami masalah heteroskedastisitas, dengan menggunakan metode GLS Weight Cross-section SUR permasalahan tersebut sudah dapat teratasi dan model estimasi dapat dikatakan telah terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Disamping hal tersebut, heteroskedastisitas juga dapat diketahui dengan melakukan plotting pada sebaran standardized residualnya. Apabila secara grafis terlihat bahwa residual dari model terdistribusi normal maka dapat dikatakan tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas. Lampiran.7 menunjukkan uji heteroskedastisitas berdasarkan grafik. Berdasarkan grafik tersebut dapat disimpulkan tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas. 5.3.1.4 Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antar anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau diurutkan menurut ruang. Autokorelasi akan menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun masih tidak bias dan konsisten. Pengujian untuk mendeteksi permasalahan autokorelasi dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin-Watson Statistic pada model dan membandingkannya dengan nilai DW-Tabel. Namun, karena model sudah 60 diestimasi dengan menggunakan metode pembobotan GLS Weights Cross section SUR maka masalah tersebut langsung dapat terkoreksi. Metode GLS Cross section SUR dapat digunakan untuk mengoreksi masalah autokorelasi, dengan demikian, model estimasi regresi data panel pada penelitian ini telah terbebas dari masalah autokorelasi. 5.3.2 Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Statistika Setelah dilakukan tahapan pengujian asumsi klasik maka dapat ditentukan bahwa model estimasi analisis data panel yang terbaik pada penelitian ini menggunakan pendekatan PLS dengan metode pembobotan GLS Weight Cross section SUR. Dengan nilai R2 model sebesar 0,421998 menandakan bahwa variabel jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia mampu menjelaskan keragaman dalam inflasi di Pulau Jawa sebesar 42,20 persen dan sisanya sebesar 57,80 persen keragaman dalam inflasi di Pulau Jawa dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Kriteria statistik lainnya dapat dilihat pada Tabel 5.2 Tabel 5.2 Nilai Statistik Model Inflasi di Pulau Jawa Kriteria Statistik R 2 Nilai 0.421998 Adjusted R2 0.334041 S.E. of regression 0.967544 F-statistic 4.797779 Prob(F-statistic) 0.000409 Mean dependent var 1.782925 S.D. dependent var 2.049364 Sum squared resid 43.06251 Durbin-Watson statistic 1.613516 61 Dengan melihat nilai Prob(F-statistic) sebesar 0,000409 yang lebih kecil jika dibandingkan taraf nyata α sebesar 1 persen, hal ini menyatakan bahwa secara keseluruhan minimal ada satu variabel diantara jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia yang secara signifikan memengaruhi inflasi di Pulau Jawa dengan tingkat kepercayaan 99 persen. Kemudian, secara parsial dengan melihat nilai Prob(t-statistic) dari masing-masing variabel yang lebih kecil dari taraf nyata α sebesar 10 persen (variabel pengeluaran pemerintah, harga minyak dunia dan pertumbuhan ekonomi) serta beberapa signifikan pada taraf nyata α 1 persen (kondisi infrastruktur dan upah minimum), maka dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur dan harga minyak dunia berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa, sementara variabel jumlah uang beredar dan harga pangan dunia tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Tabel 5.3 Hasil Estimasi Model Inflasi di Pulau Jawa Variabel Koefisien Standar Error t-Statistic Prob C 0.054130 0.014785 3.661005 0.0006 D(GEXP) 0.015390 0.008338 1.845891 0.0713+ D(OIL_P) 0.086558 0.047303 1.829861 0.0738+ D(FOOD_P) -0.133759 0.092028 -1.453463 0.1529 D(M) 0.049431 0.077068 0.641392 0.5245 D(KI) 0.002159 0.000615 3.507293 0.0010** D(Y) 0.124943 0.071513 1.747137 0.0873+ D(W) 0.084064 0.019137 4.392706 0.0001** Keterangan : (**) Signifikan pada taraf nyata 1 persen (***) Signifikan pada taraf nyata 5 persen (+) Signifikan pada taraf nyata 10 persen Selanjutnya, dengan melihat koefisien dari masing-masing variabel dapat diketahui bahwa semua variabel yang signifikan memiliki pengaruh positif 62 terhadap inflasi di Pulau Jawa. Tabel 5.3 menyajikan hasil estimasi untuk masingmasing variabel dalam model inflasi di Pulau Jawa. 5.3.3 Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonomi Estimasi yang diberikan oleh pendekatan PLS menunjukkan hasil yang cukup baik karena telah melampaui berbagai syarat-syarat pengujian model. Tahap selanjutnya perlu diperiksa kembali tanda dari koefisien regresi, apakah sudah sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan. Berdasarkan tujuh penduga koefisien yang diperoleh melalui metode PLS, dua diantaranya yaitu pertumbuhan jumlah uang beredar dan perubahan harga pangan dunia memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Anomali dari dampak pertumbuhan jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang sesuai dengan teori namun tidak signifikan terhadap inflasi, hal tersebut disebabkan oleh penggunaan data yang belum akurat merepresentasikan kondisi jumlah uang beredar untuk studi kasus pada tataran provinsi. Anomali lainnya dari hasil estimasi model adalah tanda dari koefisien perubahan harga pangan dunia berpengaruh negatif, namun karena pengaruhnya tidak signifikan terhadap inflasi, maka fakta ini dapat diterima, meskipun sangat sulit menjelaskan pengaruh yang negatif akibat kenaikan harga pangan dunia pada kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya variabelvariabel yang signifikan memengaruhi inflasi dijelaskan pada sub-bab berikut. 5.3.3.1 Variabel Perubahan Pengeluaran Pemerintah Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan pengeluaran pemerintah D(GEXP) sebesar 0,015390. Hal ini menandakan bahwa perubahan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan inflasi 0,015 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataannya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan sebelumnya maupun teori demand-pull inflation. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dilaksanakan 63 untuk mendukung kegiatan perekonomian dalam memacu pertumbuhan. Berdasarkan teori demand-pull inflation dalam keadaan perekonomian yang sudah full employment, peningkatan pengeluaran pemerintah daerah justru hanya akan meningkatkan tingkat inflasi tanpa memengaruhi output. Penelitian ini juga konsisten dengan penelitian terdahulu (Brodjonegoro et al, 2005) dan (Hamzah dan Sofilda, 2006). 5.3.3.2 Variabel Perubahan Harga Minyak Dunia Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan harga minyak dunia D(OIL_P) sebesar 0,086558. Hal ini menandakan bahwa perubahan harga minyak dunia berpengaruh positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan harga minyak dunia sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,087 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan sebelumnya maupun dengan teori cost-push inflation. Peningkatan pada harga minyak dunia tentunya akan memengaruhi Indonesia sebagai salah satu negara importir minyak tentunya juga tekena imbas akibat kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak dunia akan direspon pemerintah dengan menaikkan harga minyak domestik untuk mengurangi beban fiskal pemerintah sehingga akan menyebabkan biaya produksi hampir seluruh sektor perekonomian di Pulau Jawa akan mengalami peningkatan. Sebagai produsen yang rasional tentunya kenaikan biaya produksi hanya akan direspon dengan mengurangi produksi atau meningkatkan harga jual yang keduanya akan berakibat memicu inflasi untuk naik. Penelitian ini konsisten mendukung penelitian terdahulu (Satrya, 2009) dan (Wahyuni, 2011). 5.3.2.3 Variabel Perubahan Kondisi Infrastruktur Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan kondisi infrastruktur D(KI) sebesar 0,002159. Hal ini menandakan bahwa 64 perubahan kondisi infrastruktur memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan kondisi infrastruktur sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,002 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataannya hasil penelitian ini berbeda dengan hipotesis penelitian yang telah diajukan maupun dengan teori cost-push inflation. dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif, namun jika yang terjadi sebaliknya dampaknya terhadap inflasi menjadi positif (Oosterhaven dan Elhorst, 2003). Tabel 5.4 Neraca Perdagangan Provinsi Pulau Jawa DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten 2007 -2.796.238.297,0 -1.059.322.629,0 -3.537.144.871,0 2.380.630,0 629.964.532,0 -4.247.554.150,0 2008 -27.364.025.047,0 -2.037.976.611,0 -6.889.828.191,0 2.125.652,0 -8.432.895.247,0 -6.428.958.937,0 2009 -15.562.798.072,0 -1.370.358.114,0 -3.183.795.800,0 2.700.587,0 -254.368.113,0 -4.837.155.878,0 2010 -30.432.900.226,0 -249.465.961,0 -5.776.463.859,0 11.436.587,0 -643.748.407,0 -6.665.677.315,0 Sumber: Kemendag, 2012 Tabel 5.4 memberikan informasi mengenai neraca perdagangan provinsi di Pulau Jawa. Berdasarkan tabel tersebut apabila diagregsi pada keseluruhan provinsi, Pulau Jawa memeiliki neraca perdagangan yang defisit (impor lebih besar dibandingkan ekspor). Defisit tersebut diakibatkan oleh tingginya ketergantungan impor akan bahan baku produksi pada tiap-tiap sektor pada perekonomian Pulau Jawa baik migas maupun non-migas. Satu-satunya provinsi yang tidak mengalami defisit neraca perdagangan pada tabel adalah provinsi DIY, namun jumlahnya tidak dapat menutupi defisit yang terjadi pada provinsi-provinsi lainnya di Pulau Jawa. 65 5.3.2.4 Variabel Perubahan Pertumbuhan Ekonomi Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan pertumbuhan ekonomi D(Y) sebesar 0,124943. Hal ini menandakan bahwa perubahan pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase perubahan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,12 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan maupun dengan teori demand-pull inflation. Chowdhury dan Siregar (2004) menyatakan bahwa inflasi adalah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga saat perekonomian mengalami pertumbuhan maka hal tersebut kemudian akan dibarengi dengan semakin meningkatnya tingkat inflasi. 5.3.2.5 Variabel Perubahan Upah Minimum Hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel perubahan upah minimum D(W) sebesar 0,084064. Hal ini menandakan bahwa perubahan upah minimum memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Peningkatan persentase pertumbuhan upah minimum sebesar 1 persen, akan meningkatkan inflasi di Pulau Jawa sebesar 0,084 persen dengan asumsi cateris paribus. Pada kenyataanya hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan maupun dengan teori cost-push inflation. Upah merupakan salah satu input utama dalam proses produksi. Kenaikan dalam upah akan menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga produsen akan mengurangi outputnya untuk mengantisipasi kenaikan biaya tersebut, dengan penurnan output ini membuat harga barang dan jasa akan meningkat. 66 5.4 Implikasi Kebijakan Pengendalian Inflasi Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengendalikan inflasi dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan moneter, fiskal atau kebijakan yang menyangkut kenaikan produksi. Sasaran kebijakan moneter dapat dicapai melalui pengaturan jumlah uang beredar (M). Salah satu komponen M adalah uang giral (demand deposit), dengan demikian Bank Sentral (BI) dapat mengatur uang giral ini melalui penetapan cadangan minimum. Disamping itu, BI juga dapat menggunakan tingkat diskonto (discount rate) dan operasi pasar terbuka. Discount rate merupakan tingkat bunga pinjaman yang diberikan oleh Bank Sentral terhadap Bank Umumm, sedangkan operasi pasar terbuka adalah jual beli surat-surat berharga BI dengan tujuan menekan jumlah uang beredar. Kebijakan fiskal menyangkut pengaturan tentang pengeluaran pemerintah serta perpajakan yang secara langsung dapat memengaruhi permintaan total dan dengan demikian akan memengaruhi harga. Inflasi dapat dikendalikan melalui penurunan pengeluaran pemerintah serta kenaikan pajak. Kebijakan penentuan harga juga dapat dilakukan untuk pengendalian inflasi. Kebijakan tersebut dilakukan dengan penentuan ceiling harga, serta mendasarkan pada indeks harga tertentu untuk upah dan komoditas lain yang menguasai hajat hidup orang banyak, shingga pemerintah dapat dengan langsung bertindak terhadap kondisi yang terjadi. Merujuk kepada hasil penelitian yang diuraikan sebelumnya, Tabel 5.5. berikut menyajikan rangkuman arah kebijakan yang disarankan oleh penulis dalam rangka pengendalian inflasi di Pulau Jawa. 67 Tabel 5.5 Implikasi Kebijakan Berdasarkan Hasil Penelitian No. 1. 2. 3. Hasil Penelitian Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. Implikasi Kebijakan Pemerintah daerah sebaiknya mengendalikan pengeluarannya dengan peningkatan efisiensi alokasi anggaran dan memberikan bobot yang lebih besar kepada belanja modal bila dibandingkan dengan belanja barang. Harga minyak dunia berpengaruh Pemerintah pusat sebaiknya: positif dan signifikan terhadap 1. Tetap memberikan bantuan subsidi inflasi di Pulau Jawa. namun, diiringi dengan melaksanakan kebijakan penyesuaian harga BBM secara perlahan-lahan menyesuaikan dengan proporsi keuagan pemerintah. 2. Terkait dengan kebutuhan konsumsi bahan bakar untuk keperluan produksi industri perlu dialihkan ke penggunaan energi alternatif lain seperti gas maupun panas bumi sehingga tekanan terhadap kebutuhan bahan bakar (minyak bumi) semakin berkurang. Kondisi infrastruktur jalan raya Pemerintah baik pusat, provinsi dan berpengaruh positif dan kabupaten/kota disarankan agar: signifikan terhadap inflasi di 1. Meningkatkan daya saing produk Pulau Jawa. karena dengan peningkatan daya saing maka ekspor neto akan terus meningkat serta memacu ekspor untuk komoditas unggulan sehingga peningkatan kondisi infrastruktur memiliki dampak seperti diharapkan yaitu mengurangi biaya transportasi serta lancarnya arus barang sehingga tingkat harga menjadi turun 2. Memelihara, memperbaiki dan terus meningkatkan infrastruktur jalan raya yang sudah tersedia. 68 4. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa. 5. Upah minimum regional berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Pulau Jawa Pemerintah pusat maupun daerah sebaiknya menciptakan iklim yang mendorong peningkatan produksi sekaligus membantu menyediakan atau paling tidak mempermudah penyediaan baik secara langsung maupun tidak langsung atas barangbarang komoditas utama yang banyak dikonsumsi pada perekonomian daerah masing-masing untuk mencukupi kenaikan pada sisi permintaan. Pemerintah pusat sebaiknya memepertimbangkan besarnya penyesuain upah minimum regional agar peningkatannya tidak lebih tinggi dari tingkat inflasi.