121 V PEMBAHASAN UMUM Kesesuaian Habitat

advertisement
121
V PEMBAHASAN UMUM
Kesesuaian Habitat Burung Air
Banyaknya spesies burung air yang ditemukan sangat didukung oleh
tersedianya habitat lahan basah yang bervariasi. Hasil analisis spasial
menunjukkan bahwa lahan basah yang berupa hamparan lumpur, sawah, tambak,
belukar rawa dan hutan belukar di Percut Sei Tuan merupakan lokasi penting bagi
burung air sebagai tempat mencari makan. Hasil analisis juga mendukung
pendapat Ge et al. (2009) yang menyatakan pentingnya suatu habitat bagi
populasi burung air dapat diprediksi dari potensi makanan, ketersediaan tempat
beristirahat dan mencari makan, kondisi iklim, tekanan predasi dan gangguan
manusia.
Habitat yang bervariasi akan menyediakan lebih banyak variasi ruang dan
jenis makanan yang dibutuhkan burung air dibandingkan habitat yang seragam.
Hal ini mencengah terjadinya peningkatan kepadatan burung air pada satu lokasi
sehingga mengurangi peluang terjadinya kompetisi, terutama bagi spesies yang
memiliki morfologi yang sama (ukuran dan cara memperoleh makan yang mirip)
seperti dua spesies bangau (Mycteria cinerea dan Leptoptilos javanicus) yang
ditemukan selalu bersamaan. Kompetisi antara kedua spesies ini tidak terjadi
karena sumber makanan yang ditemukan cukup banyak baik jumlah spesies (26
jenis) maupun jumlah individu. Kompetisi akan terjadi antara spesies yang
memiliki kebutuhan yang sama pada saat sumber daya terbatas (Yates et al.
2000). Untuk menghindari terjadinya kompetisi kedua spesies ini memilih jenis
makanan yang berbeda, hal yang sama terjadi pada spesies burung pantai yang
memiliki cara memperoleh makan dan kebutuhan makan yang sama. Bagi spesies
burung air yang memiliki kepadatan tinggi dan mencari makan di lokasi yang
sama dengan kebutuhan makan yang sama, untuk menghindari terjadi kompetisi,
umumnya spesies burung air melalukan teknik mencari makan secara
berkelompok dan membagi jenis makanan yang dikonsumsi (food resource
partitioning) (Borges & Shanbhag 2007; Holm & Burger 2002).
Model kesesuaian habitat secara fungsional menggambarkan hubungan
antara hidupan liar dan variabel habitat. Model habitat dibuat untuk mengetahui
122
preferensi habitat oleh spesies, fisiologi dan perilaku spesies (Guisan &
Zimmerman 2000), habitat yang sesuai untuk spesies dan hubungan habitat
dengan hewan (Tobalske & Tobalske 1999; Johnson 2007), memprediksi
pengaruh perubahan habitat terhadap variasi spesies, distribusi spesies hewan dan
sebaran geografi, prediksi area dengan keanekaragaman spesies atau lokasi
ditemukannya spesies terkonsentrasi (Williams 2003).
Burung pantai dan burung merandai tidak memilih lahan basah di Tanjung
Rejo sebagai lokasi makan, tetapi memilih Bagan Percut, Pematang Lalang dan
Pantai Labu. Hal ini disebabkan gangguan akibat aktivitas manusia relatif tinggi
dibandingkan dengan tiga lokasi lainnya, seperti pemasangan jaring untuk
menangkap burung air, perburuan, suara atau kegaduhan yang ditimbulkan oleh
aktivitas permainan billyar yang tidak jauh dari lokasi makan (± 10m) dan
konversi lahan menjadi tambak, kolam pancing dan perkebunan kelapa sawit.
Burung pantai masih memilih habitat di Bagan Percut meskipun ada
gangguan berupa pengerukan dan penimbunan lumpur. Sebaliknya, burung
merandai lebih memilih Pematang Lalang dan Pantai Labu sebagai tempat
mencari makan. Pemilihan habitat Bagan Percut oleh burung pantai diduga karena
lokasi ini memiliki hamparan lumpur yang paling luas dibandingkan lokasi
lainnya. Ini mendukung hasil penelitian Burger et al. (1997) yang menyatakan
bagi burung pantai hamparan lumpur merupakan lokasi yang sangat penting untuk
memperoleh makanan sebagai sumber energi, kepentingan burung pantai dalam
memanfaatkan hamparan lumpur sebagai lokasi makan, beristirahat dan aktivitas
lainnya dibandingkan dengan rawa atau pantai terbuka diatas 80%. Kepentingan
burung pantai terhadap hamparan lumpur sangat dipengaruhi oleh cara mencari
makan dan morfologi.
Burung merandai tidak menggunakan hamparan lumpur sebanyak burung
pantai menggunakannya, sehingga adanya gangguan mengakibatkan burung
merandai tidak banyak menggunakan habitat di Bagan Percut. Selain faktor
keamanan, konversi lahan yang menyebabkan lokasi mencari makan telah tidak
sesuai lagi diduga menjadi penyebab tidak dipilihnya Tanjung Rejo oleh burung
merandai karena lahan basah yang diduga menjadi lokasi mencari makan telah
tidak sesuai.
123
Tekstur sedimen yang lembut dan lembab di hamparan lumpur
mempermudah penetrasi paruh burung pantai untuk menangkap mangsa yang
terdapat pada kedalaman tertentu (Liordos 2010). Sebaliknya, sedimen yang
terlalu lembek akan menyulitkan pergerakan burung air terutama burung pantai
yang tidak memiliki selaput pada kakinya seperti pada burung merandai.
Sedikitnya pemanfaatan sawah oleh burung-burung pantai diduga karena sawah
yang berada di lokasi penelitian merupakan jenis tadah hujan, sehingga memiliki
kecenderungan kering dan tekstur tanah yang keras.
Model
kesesuaian
habitat
burung
merandai
dan
burung
pantai
menunjukkan bahwa pemilihan lokasi makan oleh burung air sangat ditentukan
oleh faktor keamanan, ketersediaan tempat, ketersediaan makanan, spesies, dan
lokasi makan. Hasil penelitian ini menunjukkan burung merandai lebih sensitif
terhadap gangguan dibandingkan burung pantai yang merupakan burung migran.
Burton et al. (2006) mengemukakan bahwa respon burung air terhadap gangguan
akibat aktivitas manusia sangat ditentukan oleh spesies, tipe gangguan, tipe
habitat, ketersediaan makanan dan lokasi. Ukuran tubuh burung, jumlah dalam
kelompok, frekuensi dan jumlah gangguan, jarak dari sumber gangguan dan
kecepatan gangguan merupakan faktor yang menentukan respon burung air
terhadap gangguan akibat aktivitas manusia (Borgmann 2010).
Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi tingginya keanekaragaman
burung air di lokasi penelitian diantaranya keadaan lingkungan perairan dalam hal
ini kualitas air seperti salinitas, suhu, bahan organik, DO dan BOD. Selain
mendapatkan makanan sebagai sumber energinya burung air juga membutuhkan
air untuk diminum, air merupakan kebutuhan primer makluk hidup yang
membantu proses metabolisme diantaranya pengaturan termoregulasi dan
osmoregulasi (Dilger & Rice 2004). Salinitas merupakan faktor yang
mempengaruhi kehidupan burung air, salinitas membahayakan burung air dan
dapat menyebabkan berkurangnya berat badan akibat dehidrasi ketika burung air
meminum air dengan salinitas tinggi. Burung air menghindari air dengan salinitas
tinggi untuk. Kandungan garam menyebabkan berkurangnya kemampuan
menahan air pada bulu dan meningkatnya pengeluaran energi akibat proses
termoregulasi (Hannam et al. 2003).
124
Pengaruh faktor fisik dan kimia air terhadap jumlah individu burung air
dan jumlah spesies burung air dibuktikan dengan hasil analisis regresi stepwise
(Lampiran 13 dan 14). Pengaruh faktor fisik dan kimia air memperlihatkan jumlah
spesies burung air sebesar 88% dan jumlah individu sebesar 74%. Masing-masing
faktor fisik dan kimia ini memberikan pengaruh berbeda ada yang memberikan
pengaruh positif dan negatif. Pengaruh faktor fisik dan kimia air ini lebih besar
pada spesies burung air dibandingkan jumlah individu burung air.
Migrasi merupakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman burung
air yang ditemukan di lokasi penelitian. Percut Sei Tuan merupakan lokasi penting
bagi persinggahan burung air migran. Ini dibuktikan dengan banyaknya spesies
migran yang ditemukan di lokasi penelitian pada bulan September sampai Maret
mencapai 28 spesies (Lampiran 2). Dipilihnya lokasi ini sebagai salah satu lokasi
persinggahan bagi burung migran diprediksi karena faktor makanan yang tersedia
dan luasnya hamparan lumpur yang terbentuk pada saat air laut surut. Luas
hamparan lumpur yang terbentuk juga sangat ditentukan oleh hamparan lumpur
yang saling berdekatan, sehingga mempermudah burung air untuk berpindahpindah tempat dalam mengeksploitasi makrozoobentos sebagai sumber makanan.
Gangguan pada garis pantai berupa fragmentasi, dan isolasi antara patch akan
mempengaruhi komunitas burung air karena terputuskan hubungan antara satu
lokasi dengan lokasi makan yang lain dan meningkatnya kemungkinan predator
(Faaborg et al. 1995).
Fluktusi komposisi spesies maupun individu diduga sangat dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan setiap bulannya dan ketersediaan sumber makanan dan
yang paling utama kedatangan spesies migran. Migrasi hewan menyebabkan
fluktuasi kepadatan populasi secara musiman pada suatu area. Perubahan
populasi ini disebabkan oleh faktor internal (keberhasilan reproduksi) dan
eksternal (makanan, predasi dan perubahan iklim) (Ge et al. 2009).
Hamparan lumpur merupakan lokasi utama mencari makan oleh burungburung pantai, terutama jenis-jenis anggota Scolopacidae dan Charadriidae, dan
burung merandai famili Ciconiidae (Jenis Mycteria cinerea dan Leptoptilos
javanicus). Hamparan lumpur diduga bukan merupakan lokasi mencari makan
utama bagi burung-burung merandai genus Egretta yang bersarang di hutan
125
mangrove di Tanjung Rejo, bahkan beberapa jenis burung merandai, yaitu
Butorides striata, Ardea.
Plegadis falcinellus selama pengamatan berlangsung tidak pernah
ditemukan mencari makan. Jenis ini hanya ditemukan di hutan mangrove dekat
kolam ikan pada siang menjelang sore. Phalacrocorax sulcirostris hanya
ditemukan di hutan mangrove sebagai tempat bersarang dan saat pengamatan
hanya ditemukan beberapa individu yang sedang mencari makan di kolam ikan
dekat dengan hutan mangrove.
Banyaknya burung yang memanfaatkan hamparan lumpur sebagai tempat
mencari makan ditunjang kelimpahan dan keanekaragaman sumber daya pakan
(bivalvia, gastropoda, crustacean dan polychaeta) yang lebih tinggi dibandingkan
dengan habitat lainnya. Ketersediaan makanan merupakan faktor penting untuk
menentukan kesesuaian habitat bagi burung pantai (Sutherland et al. 2000).
Keanekaragaman Burung Air dan Makrozoobentos
Hamparan lumpur dan pantai merupakan habitat penting bagi burung air
(burung pantai) sebagai tempat mencari makan. Pemilihan dan penggunaan
hamparan lumpur sangat tergantung pada ketersediaan makrozoobentos.Kualitas
lokasi mencari makan ditentukan oleh kelimpahan makrozoobentos dan adanya
bahaya predasi (Pomeroy 2006). Makrozoobentos (bivalvia, gastropoda,
crustacean dan polychaeta) merupakan makanan utama bagi burung air.
Makanan merupakan sumber energi untuk melakukan aktivitas dan proses
fisiologi diantaranya, reproduksi, tumbuh dan berkembang serta kemampuan
untuk bertahan hidup. Makanan merupakan salah satu faktor penentu distribusi
burung air (Evan & Dugan 1984). Kebutuhan makanan per hari spesies burung
pantai dipengaruhi oleh waktu mencari makan dan ketersediaan makanan,
produksi panas, kapasitas dan ukuran dari sistem organ, predasi, dan jumlah
mangsa (Zwarts et al. 1990a; Kvist & Lindstrom 2000).
Komposisi dan keanekaragaman makrozoobentos ini sangat dipengaruhi
oleh banyak diantaranya salinitas, pH, bahan organik, kecerahan, BOD, DO, suhu,
kecerahan dan profil sedimen (ukuran sedimen). Analisis regresi stepwise yang
dilakukan untuk mengetahui kadar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap
kelimpahan makrozoobenthos menunjukkan bahwa faktor yang sangat kuat
126
mempengaruhi kehadiran makrozoobentos diantaranya pH (77%), salinitas (72%),
DO (65%), BOD (60%), kecerahan (67%) dan ketinggian air (59%). Bahan
organik dan suhu memberikan pengaruh yang lemah (< 20%).
Pengaruh
faktor
kimia
dan
fisika
terhadap
makrozoobentos
memperlihatkan hubungan negatif artinya makin tinggi nilai unsur ini akan
menyebabkan penurunan jumlah makrozoobentos. Ini membuktikan bahwa
makrozoobentos memiliki kisaran nilai yang masih dapat ditolerir untuk
mendukung kehidupannya. Nilai yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat
memberi
pengaruh
negatif
yang
berdampak
pada
hilangnya
spesies
makrozoobentos.
Faktor kimia dan fisik perairan juga secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi kehidupan burung air. Hasil ini mendukung pendapat
Wiens (1989) kelimpahan burung pada skala lokal dipengaruhi oleh karakteristik
habitat (luas lahan basah dan ketinggian air, dan kondisi fisik dan kimia air),
ketersediaan, distribusi dan kepadatan makanan, dan ketersediaan lokasi yang
sesuai untuk reproduksi atau istirahat.
Gangguan dan Keanekaragam Burung Air di Masa Depan
Kehadiran dan aktivitas manusia disekitar lokasi mencari makan
merupakan ancaman bagi keberadaan burung air, sehingga burung air menghindar
dan mencari lokasi yang lebih aman. Kehadiran manusia mempengaruhi
keberhasilan memperoleh makanan, kehilangan waktu mencari makan dan
kehilangan energi untuk terbang dan menghindar. Kehadiran manusia dan
gangguan yang ditimbulkan oleh manusia akan menyebabkan perubahan
komposisi komunitas (De Boer 2002). Gangguan manusia, kerusakan habitat atau
hilangnya habitat akan mempengaruhi komunitas burung (Willem et al. 2011).
Macam-macam gangguan akibat aktivitas manusia yang membahayakan
bagi kelestarian burung air seperti: pemasangan jaring untuk menangkap burung
pantai, perburuan dan penjualan burung pantai, kebisingan yang disebabkan
permainan billyar tidak jauh dari lokasi mencari makan dan suara perahu motor di
sekitar area mencari makan.
Berdasarkan situasi saat ini, diprediksi terjadi penurunan jumlah populasi
terutama jenis bangau (Mycteria cinerea dan Leptoptilos javanicus) yang
127
dilindungi di masa depan. Setelah pencanangan agro-marinepolitan 2007 terjadi
penurunan populasi M. cinerea sebesar 27% setiap tahun dan berkisar 16%
setiap bulannya dan L. javanicus mengalami penurunan sebesar 3% setiap tahun
dan bulannya (Lampiran 8-10) (Jumilawaty & Aththorick 2007). Gangguan
habitat di Percut Sei Tuan menyebabkan tidak ditemukan lagi beberapa spesies
yang sebelumnya ditemukan diantaranya Amaurornis phoenicurus, Ixobrychus
cinnamomeus, Ixobrychus sinensis dan Porzana sp (Jumilawaty & Aththorick
2007; Akasia Indonesia 2007) (Lampiran 8-11).
Akibat tingginya tekanan gangguan, diprediksi burung air akan
meninggalkan Tanjung Rejo dan Bagan Percut sebagai lokasi mencari makan dan
cenderung memilih Pematang Lalang, Pantai Labu dan wilayah sekitarnya.
Ancaman lainnya area mencari makan burung air akan semakin menyempit dan
terkumpul hanya di sekitar Pematang Lalang dan Pantai Labu, hal ini disebabkan
adanya pembangunan bandara internasional pengganti Bandara Polonia.
Upaya Konservasi
Kecamatan Percut Sei Tuan memiliki potensi hutan mangrove yang besar
sekitar 3.817 ha dengan peruntukan status Hutan Suaka Alam (HSA) seluas
2.580,60 ha dan Hutan Penggunaan lain (HPL) seluas 1.236,40 ha (BPS
Kabupaten Deli Serdang, 2005). Penetapan wilayah ini menjadi kawasan yang
dilindungi diperkuat dengan Sk Menhut No. 44/Menhut-II/2005, tanggal 16
Februari 2005, tentang penunjukan kawasan hutan Propinsi Sumatera Utara.
Untuk kelestarian burung air diperlukan berbagai cara; mengusulkan
kepada pemerintah daerah untuk 1) mengatur kembali tata ruang penggunaan
wilayah dan mengembalikan fungsi perlindungan, 2) meningkatkan taraf
pendapatan perkapita penduduk yang umumnya nelayan dan petani, 3)
meningkatkan taraf pendidikan masyarakat dan memberikan penyuluhan tentang
pentingnya wilayah ini bagi kelestarian burung air, 4) meningkatkan kecintaan
masyarakat terhadap lingkungan dan keberadaan burung air, 5) mengikut serta
masyarakat dalam upaya pelestarian burung air dengan menciptakan rasa aman
bagi burung air mencari makan dan memberikan ganjaran bagi para pelaku
penembakan burung-burung air dilokasi penelitian, 6) melibatkan para pemilik
modal yang terdapat di lokasi penelitian dalam upaya pelestarian.
Download