Master\D\A3._AI Lama\A3.57\ti

advertisement
Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi
dalam Konteks Budaya
Penyunting: Meutia F. Swasono
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1998, xiv+360 hal.
Ditinjau oleh: Irwan Martua Hidayana
(Universitas Indonesia)
Persoalan dan tanggung jawab reproduksi manusia sesungguhnya melibatkan faktor medis
dan faktor sosial-budaya. Secara medis, masalah kesehatan reproduksi meliputi 3 unsur pokok
yaitu kemampuan bereproduksi, keberhasilan bereproduksi dan keamanan dalam proses
reproduksi. Dalam kenyataan, ketiga unsur tersebut selalu dipengaruhi pula oleh faktor-faktor
sosial budaya dalam suatu masyarakat. Misalnya, apabila sepasang suami-isteri belum memiliki
anak setelah menikah beberapa lama, secara medis belum tentu mereka tidak mampu bereproduksi.
Namun secara sosial, pasangan tersebut bisa dianggap mandul (infertilitas) dan seringkali si
istrilah yang ‘dituduh’ tidak mampu memberikan keturunan sehingga sang suami sering dituntut
untuk menikah lagi atau mencari pasangan baru. Sebaliknya bila pasangan tersebut segera
mendapatkan keturunan, maka si istri dianggap ‘berhasil’ melakukan tugas budayanya dan status sebagai ibu dipandang lebih tinggi daripada status sebagai istri.
Buku ini merupakan kumpulan hasil-hasil penelitian antropologis di berbagai sukubangsa di
Indonesia yang berkenaan dengan masalah kesehatan reproduksi manusia. Dalam konteks
nasional dan internasional, isu-isu kesehatan reproduksi sedang menjadi fokus perhatian – sejak
Konperensi Kependudukan dan Pembangunan tahun 1994 di Kairo — yang utama khususnya
kondisi kesehatan reproduksi perempuan yang secara umum masih memprihatinkan seperti
tingginya angka anemia, tingginya tingkat kematian ibu, kerentanan tertular penyakit infeksi
saluran reproduksi, resiko tertular penyakit menular seksual dan HIV/AIDS dll. Masalah yang
dihadapi perempuan berkenaan dengan kesehatan reproduksinya merupakan masalah-masalah
yang perlu didekati dan dipahami secara sosial-budaya sebelum didekati secara medis.
Isi buku ini terbagi ke dalam 5 bagian. Bagian pertama diawali dengan sebuah artikel oleh
penyunting yang mengulas beberapa aspek sosial budaya dari kehamilan, kelahiran dan perawatan
ibu dan bayi yang selama ini menjadi perhatian para ahli antropologi. Beberapa aspek yang
dibahas adalah masa krisis di seputar lingkaran hidup, pantangan-pantangan kehamilan dan
persalinan, citra tentang perempuan, pemberian nama bayi, kelangsungan eksistensi klen,
penolong dan cara-cara persalinan, tempat persalinan, ramu-ramuan dalam masa kehamilan dan
persalinan, serta persepsi terhadap kematian ibu dan bayi. Artikel berikutnya membahas tentang
perilaku reproduksi orang Krui di Lampung yang dipengaruhi oleh pandangan atau konsepsi
124
ANTROPOLOGI INDONESIA 57, 1998
mereka mengenai organ reproduksi. Penulis menunjukkan bahwa konsepsi orang Krui mengenai
organ reproduksi terwujud melalui perilaku kawin muda dan sikap pronatalis (fertilitas tinggi).
Kenyataan ini jelas memiliki korelasi yang kuat dengan tingginya angka kematian bayi dan balita.
Secara budaya, orang Krui mengatasi mortalitas bayi dan balita dengan kawin muda dan
mengembangkan sikap pronatalis.
Artikel ketiga mendeskripsikan tentang konsep kebersihan dalam proses kelahiran dan
perawatan bayi di kalangan orang Kerinci, Jambi. Penulis memperlihatkan dapur dipilih sebagai
tempat untuk melahirkan karena dianggap sebagai ruangan antara ruangan bersih (bagian depan
dan tengah rumah) dan ruangan kotor (bagian belakang rumah dan tempat sampah). Proses
kelahiran akan menghasilkan sisa-sisa yang harus dibuang karena dianggap kotor, seperti darah
dan plasenta. Dapur juga merupakan arena sosial bagi kaum perempuan Kerinci karena mereka
menghabiskan sebagian besar kegiatannya di ruangan tersebut. Melahirkan merupakan tugas
budaya perempuan dan di dapurlah sesama perempuan menolong ibu yang bersalin.
Bagian kedua terdiri dari 2 tulisan yang mendeskripsikan tentang beberapa pantangan bagi
wanita hamil pada masyarakat Sunda dan masyarakat Sangihe-Talaud di Sulawesi Utara. Adanya
pantangan-pantangan tertentu pada masa hamil agaknya merupakan gejala yang cukup universal. Pantangan makan misalnya, berkaitan dengan konsep ‘panas-dingin’ dalam banyak
kebudayaan. Pada beberapa masyarakat kondisi hamil merupakan kondisi yang ‘panas’ sehingga
si perempuan dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang memiliki unsur ‘dingin’. Pantangan
makan juga berkaitan dengan hubungan asosiatif antara bentuk atau sifat makanan dengan
akibat buruk yang bisa ditimbulkannya.
Jenis pantangan lain sekitar masa kehamilan adalah pantangan perbuatan. Ada sejumlah
aktivitas yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang perempuan hamil. Sebagai contoh, tidak
boleh ke luar rumah pada saat senja atau malam hari, tidak boleh masuk hutan, tidak boleh
menyiksa atau membunuh binatang dll. Pantangan perbuatan ini dianggap memiliki hubungan
asosiatif atau berkaitan dengan kepercayaan religius. Perempuan hamil dianggap mudah diganggu
atau dimasuki oleh roh-roh jahat. Pantangan-pantangan di atas tidak terbatas pada masa kehamilan,
tetapi juga berlanjut pada masa persalinan dan perawatan bayi.
Tiga artikel pada bagian ketiga dari buku ini membahas mengenai perilaku perawatan antenatal dan postnatal pada orang Subang di Jawa Barat, orang Bajo di Kendari dan orang Bandaneira
di Maluku Tengah. Seperti pada bagian kedua terdahulu, perilaku perawatan kehamilan ditandai
dengan berbagai pantangan makan dan perbuatan yang langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kondisi kesehatan dan perawatan bayi setelah persalinan. Bagian ini
memperlihatkan masih pentingnya peranan penyembuh tradisional, khususnya dukun beranak
(paraji di Subang, tuang kuni di kalangan orang Bajo, dan mai biang di Bandaneira) dalam
perawatan kehamilan dan sebagai penolong persalinan. Sekalipun sudah diperkenalkan bidan di
desa, namun masyarakat umumnya masih mempercayai dukun beranak. Penggunaan ramuanramuan tradisional yang umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan merupakan karakteristik dari
dukun beranak, karena pengetahuan mereka yang terbatas akan dan kurangnya akses kepada
obat-obatan biomedis moderen.
Bagian keempat dari buku ini menyajikan 4 artikel mengenai perawatan bayi di kalangan
orang To Bunggu (Sulawesi Selatan), orang Sasak (Lombok), orang Betawi dan orang Bajo
(Bone, Sulawesi Selatan). Bagian ini menunjukkan bahwa perawatan bayi secara tradisional
ANTROPOLOGI INDONESIA 57, 1998
125
mengandung resiko terjadinya kematian bayi. Misalnya upacara perapi pada orang Sasak dapat
mengakibatkan gangguan pada saluran pernapasan bayi atau pemberian nasi pakpak — dengan
tujuan memperkuat hubungan emosional antara bayi dan ibunya — pada bayi usia 3 hari dapat
mengganggu kemampuan pencernaannya. Atau persepsi orang Bajo tentang sakit yang diderita
bayi disebabkan oleh kekuatan gaib sehingga dibawa ke dukun untuk penyembuhannya, yang
selanjutnya dalam proses penyembuhan bayi dan anak balita menjalani sejumlah pantangan
makan. Dilihat dari kacamata biomedis, perawatan bayi secara tradisional acapkali mengakibatkan
malnutrisi seperti terlihat pada kasus orang Bajo.
Bagian terakhir berisi 2 tulisan yang mendiskusikan tentang corak hubungan sistem kesehatan
tradisional dan sistem kesehatan moderen dengan kasus paraji terdidik di kabupaten Tasikmalaya
dan tulisan penutup oleh penyunting yang mengulas implikasi faktor sosial-budaya kehamilan
dan kelahiran terhadap kesehatan ibu dan bayi. Tulisan tentang paraji terdidik memperlihatkan
upaya pembangunan kesehatan masyarakat yang ingin melibatkan sistem medis tradisional ke
dalam sistem medis moderen. Persoalannya tentu tidak sesederhana mencampur air dengan
sirup. Secara ideal, paraji yang telah dilatih harus menerapkan prinsip-prinsip ilmu kebidanan,
khususnya kebersihan dan pensucihamaan d u k u n k i t dalam melayani kliennya. Dalam
kenyataannya, paraji berusaha menerjemahkan konsep medis moderen ke konsep medis
tradisional dan tergantung pada situasi yang dihadapinya. Penggunaan peralatan dukun kit
nampak bervariasi, misalnya tidak suka menggunakan korentang (alat penjepit) untuk menggulung
tali pusar yang bersambung dengan plasenta. Masyarakat kurang puas terhadap pelayanan
bidan dan paramedis lainnya di puskesmas karena biayanya lebih tinggi dan sifat komunikasi
yang lebih kaku dan resmi dibandingkan dengan paraji. Dengan demikian ada ‘persaingan’
antara paraji dan bidan dalam hal memberikan pelayanan kesehatan. Bagi paraji, pelatihan yang
telah diikuti dapat meningkatkan status mereka di mata klien.
Tulisan penutup oleh penyunting mempertegas kembali hubungan antara faktor budaya
dan faktor kesehatan yang terungkap dalam berbagai tulisan sebelumnya. Upaya peningkatan
kesehatan ibu dan anak dan inovasi kesehatan perlu dilakukan setelah memahami aspek-aspek
sosial-budaya dari kehamilan hingga perawatan bayi.
Kajian-kajian antropologi kesehatan dalam buku ini memberikan beragam informasi mengenai
persepsi, pengetahuan, dan perilaku sekitar kehamilan, kelahiran dan perawatan ibu dan bayi.
Tugas lebih lanjut yang harus dilakukan oleh para antropolog adalah bagaimana menerjemahkan
informasi dan pengetahuan tersebut ke dalam aksi melalui program-program kesehatan. Strategistrategi dan langkah-langkah konkrit apa yang dapat dirancang dan dilaksanakan untuk
mengurangi akibat negatif dan mempertahankan akibat positif dari faktor-faktor sosial-budaya
dalam suatu masyarakat. Tantangan inilah yang belum terjawab dalam buku ini. Tugas seorang
antropolog tidaklah sekedar mendeskripsikan secara rinci atau melukiskan secara cermat tentang
sistem kesehatan yang berlaku dalam masyarakat, tetapi juga memecahkan persoalan-persoalan
(problem solving) yang muncul dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Para pembuat kebijakan, perencana program dan pelaksana di lapangan memang perlu memahami
faktor-faktor sosial-budaya dalam pembangunan kesehatan, namun bagaimana merumuskan
strategi dan program yang tepat secara budaya adalah tugas dan sumbangan penting dari para
ahli antropologi kesehatan di Indonesia. Dengan kata lain, para antropolog seyogyanya lebih
126
ANTROPOLOGI INDONESIA 57, 1998
banyak lagi terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program-program aksi dalam
bidang kesehatan.
Kajian-kajian di atas perlu dikembangkan lebih lanjut dengan mengaitkannya pada isu-isu
kesehatan reproduksi yang lebih luas seperti infeksi saluran reproduksi, aborsi, kebutuhan KB
yang tidak terpenuhi (unmet need), kehamilan tidak dikehendaki, penularan PMS dan HIV/AIDS,
ketimpangan jender dll. Dengan melibatkan diri ke dalam isu-isu aktual dalam kesehatan reproduksi,
para antropolog diharapkan dapat memainkan peranan dan memberikan sumbangan yang lebih
besar untuk memecahkan persoalan-persoalan kesehatan masyarakat.
ANTROPOLOGI INDONESIA 57, 1998
127
Download