religia 10-1 depan

advertisement
Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta (M. Shulthoni Yusuf) 57
ETIKA BISNIS KOMUNITAS TIONGHOA
MUSLIM YOGYAKARTA
(Kajian atas Etos Kerja Konfusianisme dalam Perspektif Islam)
Muhammad Shulthoni Yusuf*
Abstract: The success of Chinese Muslim entrepreneurs in business
is a well-known fact. On one side, there are explicit or implicit
regulations in Jogjakarta (Java), discouraging the ethnic Chinese from
working in non-commercial sectors. Their only opportunity to make
a living is business. But, on the other side, their success warrants
notice that even though the businessmen run their business with
scientifical management, actually they have dependence on their
culture, ethics, and religious beliefs. This is because business is a
mobile activity. Business without reliable ethics can not succeed
reliably. If business is a kind of human activity, business ethics can be
perceived as a reflection of the actors in their behaviors.
Through descriptive and interpretative approaches, this study reached
the following conclu-sions: firstly, the Chinese Muslim entrepreneurs
of Jogjakarta are dependent on the constructs of business ethics which
contain work ethos, hard work, thrift, honesty, and trust. Those
characteristics are then implemented in their business activities.
Therefore, they have awareness in implementing business ethics in
order to engage in business as long as their life. They do their business
with high self-discipline, self-confidence, diligence, industriousness,
and hard work from the younger years in order to have high
consciousness to run their business in their maturity.
Secondly, it can be said that Islamic teachings, for Chinese Muslim
entrepreneurs of Jogjakarta, have a significant role in constructing
their business ethics. These indications can be seen in their business
*. Prodi Ekonomi Syari’ah STAIN Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan.
Email: [email protected], hp: 085865126118
58 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 57-74
activities and their perceptions. Its teachings are perceived as a source
of motivation in economic behaviors. Even though their business ethics
cannot be said to derive from religious teachings only, but rather that
such ethics progress along with the socio-cultural, socio-economic
and socio-political developments of the community.
Keberhasilan pengusaha muslim Cina dalam dunia bisnis merupakan
sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Di satu sisi, terdapat
peraturan eksplisit ataupun implisit di Yogyakarta (Jawa) yang
mengecilkan semangat mereka untuk bekerja di bidang non-komersial.
Satu-satunya peluang mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
adalah bisnis. Di sisi yang lain, keberhasilan mereka ini semakin
menyatakan bahwa meskipun mereka menjalankan bisnisnya dengan
ilmu manajemen, kenyataannya mereka memiliki ketergantungan pada
budaya, etika dan kepercayaan agama mereka. Ini karena bisnis
merupakan aktivitas yang mobile. Bisnis tanpa etika yang reliable
tidak bisa mengantarkan pada kesuksesan. Jika bisnis merupakan
sebuah aktivitas manusia, etika bisnis bisa dianggap sebagai sebuah
refleksi aktor-aktornya dalam peri laku mereka.
Melalui pendekatan deskriptif dan interpretatif, studi ini sampai pada
kesimpulan berikut: pertama, pengusaha muslim Cina Yogyakarta
tergantung pada konstruk etika bisnis yang mengandung etos kerja,
kerja keras, sikap hemat, kejujuran dan kepercayaan. Karakteristik
ini kemudian diimplementasikan dalam kegiatan bisnis mereka. Karena
itu, mereka memiliki kesadaran dalam mengimplementasikan etika
bisnis untuk masuk dalam dunia bisnis sepanjang hidup mereka.
Mereka melakukan bisnis mereka dengan disiplin diri, percaya diri,
rajin, tekun, dan kerja keras yang tinggi sejak usia muda supaya
memiliki kesadaran yang tinggi dalam menjalankan bisnis mereka
menurut kedewasaan mereka.
Kedua, bisa dikatakan bahwa ajaran Islam, bagi pengusaha muslim
Cina Yogyakarta, memiliki peran yang signifikan dalam membentuk
etika bisnis mereka. Indikasinya bisa dilihat dalam kegiatan dan
persepsi bisnis mereka. Ajaran-ajaran ini dirasakan sebagai sebuah
sumber motivasi dalam peri laku ekonomi, meskipun etika bisnis
mereka tidak bisa dikatakan bersumber dari ajaran agama saja,
namun lebih sebagai etika yang berkembang mengikuti perkembangan
sosio-kultural, sosio-ekonomi, dan sosio politik masyarakat.
Kata kunci:, Kong Fu Tzu, PITI, daerah pecinan
Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta (M. Shulthoni Yusuf) 59
PENDAHULUAN
Komunitas Tionghoa Indonesia telah banyak dibicarakan dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan; mulai dari ilmu ekonomi, antropologi, politik, hingga
sosiologi. Namun, sisi penting dari kehidupan ekonomi terutama komunitas
pedagang kecil Tionghoa (Hokcia) masih sangat sedikit didiskusikan secara
mendalam. Bahkan hal itu cenderung diabaikan (Yang, 2005: XXI). Padahal
perbincangan yang rinci semacam itu, tentu sangat diharapkan dapat
memberitahukan sesuatu yang selama ini tak-teramati dan tak-terungkap terkait
dengan dinamika kehidupan Tionghoa di Indonesia.
Kajian ini hanya mengkaji pengusaha Tionghoa Muslim di Kota
Yogyakarta. Komunitas ini terbentuk semenjak tahun 1980-an seiring dengan
berdirinya Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di kota ini. Komunitas
ini terbentuk karena kesamaan rasa keterasingan, sehingga mendorong mereka
untuk berhimpun dalam sebuah komunitas yang memungkinkan mereka saling
menguatkan. Karena menjadi Muslim membuat mereka terancam, dikucilkan
oleh keluarga, komunitas sosial, dan jaringan bisnis yang telah lama terbentuk
(www.swaramuslim.net, 13 Juni 2006). Pada tahun 1983, di kota ini hanya
ada tiga atau empat keturunan Tionghoa yang memeluk Islam, namun kini
jumlah mereka mencapai 200 orang (Republika, 25 Pebruari 2005).
Kelompok ini menarik untuk diteliti karena sepintas terlihat bahwa
masyarakat Tionghoa Muslim di Kota Yogyakarta menerapkan etika bisnis
yang dilandasi oleh nilai-nilai agama dan budaya. Ini dapat dilihat dari bidang
usaha, Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah dan Bait al-Mal Wa Tamwil
(lembaga keuangan non-bank), yang dikelola oleh salah satu anggota komunitas
Tionghoa Muslim Kota Yogyakarta. Motivasi lain untuk mengadakan penelitian
tentang komunitas Tionghoa Muslim di Kota Yogyakarta adalah pernyataan
salah seorang peranakan Tionghoa, bapak Haji BSA, yang mengatakan bahwa
etos kerja (etika bisnis) etnis Tionghoa sejatinya selaras dengan etika Islam
(Republika, 25 Pebruari 2005). Pernyataan ini memberi kesan bahwa mereka
merasa mendapat legitimasi dari Islam setelah mereka memahami ajaran-ajaran
tersebut.
Dengan demikian, dalam kajian ini, komunias Tionghoa Muslim Kota
Yogyakarta sebagai subjek studi dan menjadi sumber data untuk
menggambarkan pola hubungan antara pengaruh ajaran agama dan budaya
di bidang ekonomi, yang akhirnya bertujuan untuk mencari bentuk etika bisnis
komunitas Tionghoa Muslim di daerah Kota Yogyakarta. Adapun pertanyaan-
60 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 57-74
pertanyaan yang menjadi pokok bahasan dalam kajian ini adalah: 1).
Bagaimana konstruk etika bisnis yang diterapkan oleh pengusha Tionghoa
Muslim Kota Yogyakarta sehingga mereka dapat meraih kesuksesan dalam
bisnis? 2). Bagaimana ajaran Islam dan budaya Tionghoa yang bermuara pada
ajaran Konfusianisme mempengaruhi etika bisnis pengusaha Tionghoa Muslim Kota Yogyakarta?
PEMBAHASAN
A. Komunitas Tionghoa Muslim Kota Yoyakarta
Menurut Peter Carey, semenjak tahun 1683 orang-orang Tionghoa mulai
diperkenankan untuk bermukim di wilayah-wilayah kekuasaan Mataram
(Carey, 1985: 50). Mereka membuktikan diri sebagai orang-orang yang
cerdik, rajin, ulet, dan pencari kekayaan yang gesit. Dengan izin tinggal ini,
orang-orang Tionghoa semakin bertambah banyak terutama setelah perjanjian
Giyanti (1755) dan pengangkatan Tan Jin Sing sebagai Bupati Yogyakarta
(Carey, 1985: 51). Namun demikian, kelompok Tionghoa ini tidak hanya
bertempat tinggal di Pecinan sepanjang jalan yang memanjang dari Alun-alun
Utara ke arah Utara sampai Tugu Jogja, tetapi juga mendiami kampungkampung yang berada di belakang jalan tersbut, yaitu kampung Pejaksen,
Gandekan, Beskalan, dan di bagian timur jalan yaitu kampung Ketandan. Hal
ini karena mayoritas dari kelompok Tionghoa ini menggeluti perdagangan
sehingga mereka lebih menyukai tinggal di tepi jalan besar dan di daerah yang
dekat dengan pasar (Sukirman, 1986: 9).
Menurut statistik penduduk tahun 1815 jumlah total penduduk Jawa
sebesar 4.615.270 jiwa, dan dari jumlah tersebut terdapat 94.441 orang (2,04
%) dari golongan Tionghoa. Sementara beberapa tahun sebelumnya (tahun
1808), di kota Yogyakarta yang memiliki jumlah penduduk dewasa sebesar
205.147 jiwa, terdapat 758 orang dewasa (0,36) dari golongan Tionghoa
(Carey, 1985: 43). Jumlah ini semakin meningkat seiring dengan dibukanya
perkebunan dan pertambangan di Indonesia, yang membutuhkan tenaga kerja,
sehingga Belanda mendatangkan buruh yang banyak dan murah dari Tiongkok.
Sehingga pada masa sekarang menurut sensus penduduk tahun 2000, jumlah
golongan Tionghoa, baik laki-laki maupun perempuan, di kota Yogyakarta
terdapat 6.255 orang dari jumlah total 396.372 penduduk Yogyakarta (Kota
Yogyakarta dalam Angka, 2000).
Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta (M. Shulthoni Yusuf) 61
Komunitas Tionghoa yang menempati Kota Yogyakarta adalah orangorang Tionghoa yang berasal dari berbagai macam suku. Namun, kebanyakan
yang menetap di Kota Yogyakarta adalah orang Tionghoa yang berasal dari
suku Hokkian yang memiliki sifat yang kuat dalam hal berdagang. Sehingga
orang-orang Hokkian lebih banyak berkecimpung dalam perdagangan (Skiner,
1979: 7). Di kota ini, orang Tionghoa jarang disaksikan hidup berkelompok,
baik di jalan-jalan, mal, pasar, restoran, atau di toko-toko. Demikian juga
yang terjadi di kawasan Malioboro yang telah dianggap sebagai “daerah
pecinan”, meskipun hampir separoh lebih dari pertokoan yang berada di
kawasan Malioboro dimiliki oleh orang-orang Tionghoa.
1
Setelah ditetapkannya PP 10 tahun 1959, orang-orang Tionghoa yang
tinggal di desa-desa sekitar Yogyakarta berpindah ke wilayah kota yang
kemudian menetap di daerah tersebut hingga sekarang. Mereka yang
berpindah umumnya dari kelompok Tionghoa totok. Akibat peraturan
pemerintah ini, banyak di antara mereka yang menikahi perempuan beretnis
Jawa. Dengan demikian, kelompok Tionghoa peranakan merupakan golongan
yang dominan dalam komunitas Tionghoa di kawasan Pecinan itu.
Saat ini, tidak sedikit pula dari kelompok Tionghoa peranakan, baik
yang Muslim maupun yang non-muslim, yang menetap di rumah-rumah
sederhana tersebar di kampung-kampung dalam wilayah Kota Yogyakarta.
Mereka hidup berdampingan dengan orang Jawa, dan menjalin hubungan
bertetangga dengan baik. Komunitas ini menggunakan bahasa Jawa, yaitu
bahasa yang sama dengan masyarakat yang ada di sekitar mereka. Bahkan,
mereka tidak dapat membaca atau menulis huruf-huruf Cina, dan bahasa
Tionghoa dalam percakapan di rumah mereka telah lenyap dan digantikan
dengan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia (Greif, 1994: 23). Oleh sebab
itu, bukan hal yang mengherankan jika orang Tionghoa dipilih menjadi ketua
RT (Rukun Tetangga), ketua RW (Rukun Warga), atau bahkan ketua Ikatan
REMAS (Remaja Masjid) wilayah kota Yogyakarta (Susanto dalam Wibowo,
2001: 64).
Komunitas Tionghoa yang menetap di Kota Yogyakarta dapat dikatakan
bahwa mereka berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah,
1.
PP 10/1959 adalah Peraturan Pemerintah yang melarang orang asing untuk melakukan usaha
perdagangan di wilayah pedesaan. Dalam prakteknya Peraturan ini “mengusir” semua orang
Tionghoa dari desa, baik yang warga negara asing (Cina totok) maupun yang sudah menjadi
warga Negara Indonesia (Tionghoa peranakan).
62 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 57-74
sebagaimana orang pribumi. Jenis pekerjaan mereka pun beragam dari
pedagang di pasar, pedagang kecil, buruh pabrik, pegawai kantor, hingga
juru masak. Sementara orang Tionghoa yang berasal dari golongan menengah
ke atas, umumnya membuka toko atau usaha-usaha beromset besar yang
mengambil tempat di tepi jalan besar (Wibowo, 2001: XV). Di antara mereka
ada yang menjadi pedagang grosir, dan sebagian yang lain menjalankan industri
sedang. Hanya segelintir orang Tionghoa Yogyakarta yang dapat disebut
sebagai pengusaha besar “Taipan”. Selain menjadi pengusaha, ada juga
golongan Tionghoa yang menjadi kaum profesional, dari menjadi dokter,
manajer perusahaan, ahli kecantikan, dosen, hingga menjadi guru. Secara
umum, dapat dikatakan bahwa orang Tionghoa Yogkarta memiliki gaya hidup
yang sederhana (Wibowo 2001: 65). Hal ini dapat dinilai dari rumah,
kendaraan, busana yang dipakai, properti yang dimiliki, serta bagaimana
mereka mengisi waktu luang untuk mencari hiburan. Dengan perkataan lain,
mereka umumnya hidup dengan tidak menampilkan kemewahan atau
memamerkan kekayaan.
Pada prinsipnya orang Tionghoa Yogyakarta dapat bermukim di mana
saja dalam wilayah Kota Yogyakarta, namun demikian berdasarkan surat dari
Sekretariat Negara, Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal
2 Pebruarti 1978, penduduk wilayah Jeron Benteng kecamatan Kraton terdiri
dari penduduk bangsa Indonesia asli dan bukan warga keturunan asing. Dengan
surat edaran tersebut, maka orang Tionghoa tidak diperkenankan tinggal di
dalam Jeron Benteng Kraton yang wilayahnya meliputi Alun-alun Lor, Tratag
Pagelaran, Sitihinggil, Kemandungan, Kedaton, Magangan, Kemandungan
Kidul, dan Sitihinggil Kidul (Widiastuti, 2003: 38).
Agama yang dianut komunitas Tionghoa Kota Yogyakarta sangat
beragam sesuai dengan keberagaman agama resmi yang diperbolehkan
pemerintah Indonesia untuk dianut oleh warganya. Hal ini akibat dari peran
pemerintah kolonial Belanda yang mengkategorikan masyarakat Indonesia
2
terbagi ke dalam beberapa kelompok suku dan agama. Sehingga, perlakuan
mereka kepada penduduknya juga didasarkan atas kategori agama dan suku.
2.
Secara sosiologis struktur masyarakat pada masa kolonial Belanda sedikitnya terbagi dalam
tiga golongan: golongan atas yakni bangsa Eropa, golongan menengah yaitu bangsaTimur
Asia (kebanyakan orang Tionghoa), dan golongan bawah adalah pribumi yang kebanyakan
Muslim.
Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta (M. Shulthoni Yusuf) 63
Terkait dengan kehidupan keberagaman komunitas Tionghoa Muslim di
Yogyakarta, tidak dapat diabaikan untuk melihat organisasi dakwah PITI
(Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) yang dibentuk oleh mereka. Organisasi
ini dibentuk untuk menjembatani “tali silahturahmi” di antara warga Tionghoa
yang telah memeluk agama Islam. Dengan demikian, PITI adalah organisasi
dakwah yang menjadi wadah bagi komunitas Tionghoa yang beragama Islam. Sebagai organisasi dakwah, PITI berusaha membantu orang-orang
Tionghoa yang hendak masuk agama Islam, mempelajari Islam, dan
mengamalkan Islam melalui kegiatan sosial.
B. Konstruk Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Kota
Yogyakarta
Ungkapan Lynn Pan dalam mengomentari orang-orang Tionghoa yang
berada di Asia Tenggara, “…to their way of thinking, to be Chinese is to
be business minded, and it is a combination of genetics and up-bringing
that makes them the dedicated enterpreneurs they are” (Pan, 1990: 244),
patut untuk dicermati. Karena dari ungkapan ini, orang-orang Tionghoa
meresapi semangat dan nilai-nilai dagang sepanjang hidup mereka. Bisnis telah
menjadi citra diri mereka. Dengan perkataan lain, bisnis tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan orang-orang Tionghoa terutama yang hidup di wilayah pulau
Jawa. Hal ini juga didukung oleh kebijakan politik pemerintah Indonesia, di
pulau Jawa, yang tidak memperbolehkan masyarakat Tinghoa untuk hidup di
bidang selain perdagangan; dan sementara mereka tidak diperbolehkan untuk
tinggal di wilayah pedesaan, melainkan harus tinggal di daerah perkotaan
(Wibowo, 1999: 51).
Mereka menganggap bisnis sebagai sumber penghidupan keluarga. Oleh
sebab itu, dalam menjalankan perdagangan, mereka berusaha menerapkan
etika dagang dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang diajarkan oleh orang
tua mereka seperti disiplin, tepat janji, jujur, dapat dipercaya, dan pengenalan
lapangan untuk mengetahui daya beli masyarakat, sangat membantu
keberhasilan komunitas Tionghoa Muslim dalam berbisnis (Joesoef, 1996:
22). Singkatnya, tampak bahwa bisnis memberikan kebanggan tersendiri bagi
mereka. Sehingga hampir semua usaha mereka diarahkan terutama untuk
berdagang dan mempertahankan hidup di Kota Yogyakarta.
64 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 57-74
Dalam kehidupan kebanyakan masyarakat, tuntutan kebutuhan materi
seringkali datang secara mendesak dan lebih penting ketimbang ajaran-ajaran
agama. Cara orang Tionghoa menimbang berbagai hal dalam kerangka yang
lebih praktis-ekonomis mendukung pernyataan ini. Namun, hal ini tidak berarti
bahwa pengusaha Tionghoa Muslim materialistis. Karena ciri negatif (kikir,
menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan, materialistis) yang dikenal
pada suku ini, umumnya, ditolak oleh ajaran agama. Demikian juga, tidak
dapat dikatakan bahwa mereka bukan orang Islam yang taat terhadap
ajarannya. Bahkan, prioritas mereka terhadap tuntutan kebutuhan kehidupan
nyata bisa dikatakan sebagai kesalehan sosial (meminjam istilah yang sering
digunakan oleh Mohamad Sobary dalam Kesalehan dan Tingkah Laku
Ekonomi).
Sebagaimana pernyataan Haji AR bahwa do’a sehabis sembahyang
Jum’at tidak perlu panjang-panjang (Wawancara, 10 Januari 2006), hal ini
menegaskan kesalehan sosial karena pernyataan ini bisa merangsang rasionalitas, di satu sisi, dan menghindari sikap fatalistik, di sisi lain. Orang tidak
cukup hanya berdo’a, tetapi tidak melakukan aktivitas yang dapat menghasilkan
uang. Karena shalat Jum’at dilaksanakan pada masa produktif manusia,
sehingga tidak perlu berlama-lama untuk duduk di Masjid dengan melalaikan
tugas utama manusia sebagai pencari rezeki di siang hari (QS. 78: 11).
Sebagai orang Islam, pengusaha Tionghoa Yogyakarta juga yakin bahwa
unur-unsur paling fundamental dari keyakinan Islam yang mengatur sikap dan
3
4
perilaku umat adalah rukun Iman dan rukun Islam. Kedua rukun itu harus
dilaksanakan setiap hari dalam perilaku umat Islam. Pak HR, salah seorang
informan penulis, mengatakan bahwa berperilaku sebagaimana ajaran alQur’an dan tuntunan Rasulullah saw adalah cara terbaik untuk menyebarkan
ajaran Islam kepada orang yang belum atau bukan Islam. Doktrin-doktrin
Islam tidak hanya dibicarakan, tetapi harus dipraktikkan dalam kehidupan
nyata baik dalam berbisnis maupun dalam berinteraksi sosial (Wawancara,
14 Pebruari 2006). Lebih jauh, Haji AR menguatkan argumen Pak HR, dengan
mengatakan:
3.
4.
Rukun Iman yaitu: (1) Percaya kepada Allah swt; (2) Percaya kepada para malaikat-malaikatNya; (3) Percaya kepada kitab-kitab-Nya; (4) Percaya kepada para utusan-Nya; (5) Percaya
kepada Qadlo dan Qodar; (6) Percaya kepada hari Kiamat.
Rukun Islam yaitu : (1) Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah; (2) Mengerjakan shalat; (3) Mengerjakan puasa di bulan Ramadhan; (4)
Membayar zakat; (5) Melaksanakan Ibadah haji bagi orang yang mampu.
Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta (M. Shulthoni Yusuf) 65
“…menjadi orang Islam hendaknya diwujudkan dalam perbuatan, tidak
hanya tersimpan dalam kepala saja.” Lebih lanjut, “Setiap orang Islam
harus dapat menampilkan wajah Islam yang sebenarnya kepada orang
yang bukan Islam. Sehingga, tidak ada lagi orang-orang Islam yang
membakar toko-toko yang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa,
melakukan korupsi, dan menjelek-jelekan umat yang menganut agama
selain Islam” (Wawancara, 16 Pebruari 2006).
Untuk menjalankan perilaku yang baik ini, seorang Muslim harus
menjadikan kitab al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw sebagai pedoman
dalam bertingkah laku sehari-hari. Sikap dan perilaku Nabi Muhammad saw
dipandang sebagai teladan bagi semua Muslim di seluruh penjuru dunia. Apabila
seseorang selalu mendasarkan sikap dan tingkah lakunya hanya kepada jalan
yang ditunjukkan Allah, maka dia disebut sebagai manusia sempurna, yang
dicita-citakan setiap Muslim. Keyakinan tersebut menuntut mereka untuk
berbuat jujur dalam semua aktivitas perdagangan, menghindarkan mereka
untuk berbuat diskriminatif terhadap pekerja, pembeli atau siapa pun juga
atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, ataupun agama, serta menghindarkan
mereka untuk menimbun kekayaan. Karena menurut Ajaran Islam, sebagaimana dikatakan Haji BSA, semua manusia itu sama (www.bernas.co.id,
12 November 2005). Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah tingkat
ketakwaannya kepada Allah (QS. 49: 13). Takwa bukanlah hal yang sudah
ada dalam diri manusia tetapi harus diniatkan dan diusahakan, karena itu
merupakan perjuangan.
Dengan demikian maka perjuangan, kerja keras, dianggap sebagai unsur
yang penting dalam ajaran Islam. Sebagaimana diungkapkan Haji AR yang
mengutip ayat al-Qur’an yang mengatakan bahwa “Kamu sekalian beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. 61: 11).
Haji AR memahami makna jihad yang termuat dalam ayat ini adalah perjuangan
yang berarti juga bekerja keras, sehingga manusia dapat berjalan di jalan
Allah, sesuai dengan tuntunan-Nya, baik dengan harta maupun nyawa. Dalam
konteks ini, dia mencontohkan bahwa dalam melayani konsumen kapan pun
mereka membutuhkan pelayanan, hendaknya pelaku bisnis tidak bermalasmalasan dalam melayaninya, meskipun hal itu terjadi pada jam 12.00 malam
(Wawancara, 23 Pebruari 2006).
66 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 57-74
Berkaitan dengan nilai-nilai yang mendasari bisnis pengusaha Tionghoa
Muslim, Haji AR mengatakan bahwa usaha yang dijalankan pengusaha
Tionghoa Muslim adalah berdasarkan pada tradisi Tionghoa yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Dia berkata bahwa tradisi Tionghoa (ajaran
Konfusianisme) sangat menekankan moralitas, yang tentunya sejalan dengan
ajaran Islam (Wawancara, 23 Pebruari 2006). Menurut HR, Konfusianisme
merupakan paham filsafat yang tidak masuk dalam kategori agama. Oleh karena
Konfusianisme tidak memiliki Kitab suci dan Nabi, sebagaimana Islam
(Wawancara, 14 Pebruari 2006). Kong Fu Tzu adalah hanya seorang guru
yang mendalami filsafat yang mengajarkannya kepada murid-muridnya,
sehingga tidak menjadi masalah bagi golongan Tionghoa Muslim untuk
menjalankan ajaran Konfusianisme yang tidak melanggar norma-norma agama
Islam (Ming, 2005: 21).
Terlepas dari perdebatan mengenai ajaran Konfusianisme yang dikategorikan sebagai salah satu agama ataupun hanya merupakan ajaran filsafat, di sini
terlihat bahwa pengaruh ajaran Konfusianisme sangat mewarnai kehidupan
keseharian mereka. Haji BA, salah satu informan saya, mengatakan bahwa,
“Orang-orang Tionghoa di Yogyakarta, secara tidak sadar, kebanyakan masih
mengamalkan tradisi Tionghoa yang bersumber dari ajaran nenek moyang
bangsa Tiongkok (Konghucu)” (Wawancara, 27 Pebruari 2006). Ini merupakan bukti nyata bahwa orang Tionghoa di mana pun berada tidak meninggalkan peradaban Tiongkok. Dengan kesamaan peradaban orang Tionghoa
yang berada di luar Republik Rakyat Tiongkok (termasuk di Kota Yogyakarta)
akan mempererat tali persaudaraan di antara mereka (Widyahartono, 1991:
4). Ciri ini tidak akan berubah karena berdasar kepada pengalaman yang
dimiliki oleh tiap-tiap individu di antara mereka. Haji AR, misalnya, meskipun
sejak lahir telah berada di Kota Yogyakarta dan telah menjadi warga negara
Indonesia, menganggap bahwa kepercayaan tradisional—selama tidak menyalahi ajaran Islam—dan nilai yang menyatukan dia dan orang-orang Tionghoa
lainnya masih penting dan tetap berlaku. Dari sini tampak bahwa nilai-nilai
peradaban yang dapat dikenali adalah Konfusianisme yang mempunyai kesan
nyaman dan sederhana (Creel, 1990: 41).
Ajaran Konfusianisme yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan
sistem kekeluargaan masih dipegang teguh orang-orang Tionghoa Muslim
Yogyakarta dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa
mereka termasuk orang yang saleh, konsisten, dan erat persaudaraannya.
Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta (M. Shulthoni Yusuf) 67
Hal ini merupakan bukti konkret bahwa ajaran Konfusianisme tidak mengekang
dan kaku, namun fleksibel terhadap serangkaian tatanan nilai yang kompleks
dan berubah dengan cepat.
Berkenaan dengan etos kerja, keseriusan bekerja adalah salah satu watak
orang Tionghoa perantauan. Namun, pemenuhan etos kerja ini bukan tanpa
syarat. Adakalanya orang Tionghoa beranggapan tidak perlu bekerja keras.
Kerja keras ini, menurut David C.L. Ch’ng, didorong oleh anggapan bahwa
kerja keras merupakan tanggung jawab dalam rangka mengejawantahkan
konsep hsio5(Weber, 1951: 228) dalam kehidupan sehari-hari (Ch’ng, 1995:
52). Di mana mereka hidup dalam masyarakat yang kelangsungan hidup
individunya sangat tergantung kepada sumber keuangan keluarga, yang setiap
individu tergantung pada dukungan keluarga, maka orang yang tidak bekerja
keras akan mengalami tekanan sosial. Dengan kuatnya pengaruh sosial, satusatunya jalan untuk keluar dari tekanan tersebut adalah membuat masa
depannya terjamin, yang tidak lain hanya dengan kerja keras.
Konsepsi kerja keras dalam pandangan pengusaha Tionghoa Muslim
Yogyakarta sebagaimana dikatakan oleh Haji BSA bahwa kerja keras adalah
salah satu ajaran Islam. Lebih lanjut, dia berkata dengan mengutip hadis Nabi
saw yang mengajarkan untuk mencari harta seakan manusia akan hidup di
dunia selamanya dan beramal saleh seakan manusia akan mati esok hari
(Republika, 25 Pebruari 2005). Dengan demikian, Islam berisi ajaran semangat
kerja keras, yang dapat dibandingkan dengan gagasan Barat bahwa ‘waktu
adalah uang’. Kerja keras merupakan manifestasi terpenting dari ibadah. Hal
ini karena pengusaha Tionghoa Muslim memahami makna ibadah tidak hanya
dalam arti sempit (seperti shalat, puasa) saja, tetapi lebih cenderung memahami
makna ibadah dengan arti luas (seperti mencari rezeki, menuntut ilmu, dan
lain sebagainya).
C. Manifestasi Bisnis dari Ideologi Kegamaan
Bagi pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta yang telah melekat dengan
citra mereka sebagai pedagang, motivasi kuat perdagangan mereka selain
diperoleh dari keterpaksaan suatu keadaan, juga diperoleh dari ajaran agama
yang mereka yakini. Dalam hal ini, agama yang dimaksud adalah Islam yang
5.
Konsepsi tentang kesalehan anak lelaki.
68 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 57-74
menyatakan bahwa dagang merupakan profesi yang mulia. Sementara di sisi
lain, mereka juga menyadari bahwa ada sebagian suku-bangsa yang masih
menganggap perdagangan sebagai pekerjaan yang kurang terhormat.
Semangat tersebut, tidak lain, berasal dari hadis Nabi saw yang memandang
bahwa perdagangan merupakan pekerjaan yang paling mulia dan bahkan
dalam hadis lain Rasulullah saw mengatakan bahwa perdagangan merupakan
sembilan dari sepuluh pintu rezeki (Sukriyanto, 2000: 54).
Terkait dengan sumber motivasi itu, terdapat beberapa ayat al-Qur’an
yang lebih mereka pegang sebagai etika perdagangan, misalnya, prinsip
memenuhi takaran dan timbangan (QS. 7: 85). Prinsip-prinsip tersebut, sejauh
penglihatan saya, sebagian telah diterapkan oleh pengusaha Tionghoa Muslim
Yogyakarta. Implementasi dari konsepsi ini dapat dilihat pada perilaku bisnis
yang dijalankan oleh Haji BA dalam mengemas kurma dengan timbangan
yang persis sesuai takaran (baca: istilah Jawa anget), demi menjaga loyalitas
konsumen dan sebagai perwujudan dari nilai kejujuran.
Tampaknya, ajaran Islam sebagai agama baru yang mereka peluk yakni
bagi mereka yang sebelumnya beragama lain, memberikan dorongan tersendiri
atas dunia usaha dan dagang yang mereka geluti. Ajaran Islam menimbulkan
kesadaran kepada pengusaha Tionghoa Muslim mengenai peran legitimasi
dari ajaran agama yang sangat memuliakan perdagangan itu (Rahardjo, 1999:
276). Terkait dengan hal ini Evers mengatakan: “Chettiar moneylenders,
Hadramaut in Southeast Asia and Javanese Santri Traders, are cases in
point, where religious righteousness supports and legitimizes trading
activities”(Evers, 1994: 11).
Keadaan semacam ini terlihat jelas pada diri Haji BSA. Setelah dia
berikrar menjadi Muslim dan menunaikan ibadah haji pada tahun berikutnya,
karir bisnisnya semakin melonjak dan volume laba perdagangannya semakin
meningkat yang kemudian memberikan peluang baru untuk menjadi pengusaha
sukses dan besar. Hal itu karena sebagian besar yang menjadi pelanggannya
adalah masyarakat Muslim yang lebih percaya dan hormat kepada orangorang yang telah berhaji ketimbang kepada orang lain. Di sini, haji dianggap
oleh masyarakat Muslim lebih tinggi status sosialnya daripada orang yang
bukan haji (Sobary, 1999: 168).
Dengan demikian, Islam (dalam arti sempit: haji) telah menjadi simbol
yang digunakan oleh pengusaha Tionghoa Muslim untuk memperlancar usaha
Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta (M. Shulthoni Yusuf) 69
mereka. Evers mendukung pernyataan di atas dengan mengatakan: “Taking
on a new religion or following an established one to the letter (orthodoxy) is one possibility” (Evers, 1991: 2). Sebagaimana juga dikatakan
Junus Jahja (Lauw Chuan Tho) bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia
seharusnya lebih memilih Islam ketimbang agama lain, terlepas dari masalahmasalah doktrin-doktrin keagamaan, hal ini demi kemapanan eksistensi mereka
di wilayah Nusantara (Karim, 1996: 213).
Jelas, pernyataan di atas menguatkan asumsi bahwa nilai simbolis haji
dapat menjadi kekuatan penggerak pengusaha Tionghoa Muslim untuk
menumbuhkan kebajikan dan etos kerja keras dalam aktivitas bisnis; di mana
asketisme6 dan disiplin-diri dipadukan secara sistematis. Secara gamblang
Evers mendukung pernyataan tersebut dengan mengatakan: “Generosity,
engaging in public projects, going on pilgrimages or exhibiting religious
fervour are means to accumulate cultural capital, which both justifies
and protects economic profits” (Evers, 1991: 2). Dengan demikian, etika
kerja tersebut direfleksikan dalam perilaku hidup oleh komunitas pengusaha
Tionghoa Muslim Yogyakarta, yang rajin, hemat, ulet, jujur, dan memiliki
solidaritas sosial yang tinggi. Nilai kebajikan dari kerja keras dan kejujuran
dalam berbisnis telah membuat pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta mirip
dengan apa yang disebut Weber dengan etika ‘Protestan’.
Di sini, ajaran-ajaran Islam tampak jelas memperkuat dan membentuk
etika dagang pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta yang sejalan dengan
kegiatan dagang mereka. Ini ditunjukkan dengan tingkah laku mereka dalam
menggeluti bidang usaha dengan menjual produk-produk yang tidak dilarang
oleh ajaran Islam. Sebagaimana perdagangan yang digeluti oleh Haji BA yang
memilih madu sebagai komoditasnya (Life History Haji BA, 2006: 65-70).
Dia menjual madu selain karena ada peluang bisnis yang bagus pada barang
ini, juga karena didorong oleh keyakinannya yang didapat dari ajaran agama
yang menyatakan bahwa madu adalah obat bagi segala penyakit. Pak HR
yang menjual katering yang bebas dari makanan yang dilarang oleh ajaran
Islam (halal). Perilaku seperti ini menggambarkan dengan jelas bagaimana
agama telah memainkan peranan penting dalam kehidupan bisnis yang mereka
jalankan. Orientasi keagamaan mereka memperlihatkan bahwa semangat
6.
Asketisisme adalah suatu doktrin yang mengingkari kesenangan lahiriah guna mencapai
perkembangan rohani dalam diri seseorang.
70 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 57-74
mereka dalam berwirausaha telah dipengaruhi oleh ideologi keagamaan. Pola
pikir mereka yang praktis-ekonomis dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan betapa pentingnya ideologi keagamaan tersebut (Redding, 1994: 7072).
Lebih dari itu, semangat keagamaan pengusaha Tionghoa Muslim yang
diwujudkan dengan pengajian rutin bulanan dan kesalehan ritual dalam
kelompok memperlihatkan bagaimana agama telah memberi pengaruh terhadap
pembentukan perilaku dagang mereka. Selain itu, sikap pragmatis mereka,
pada hakekatnya, dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi yang menuntut
mereka untuk tetap dapat bertahan hidup, serta penafsiran terhadap ajaranajaran agama yang cenderung reformis. Sehingga mereka bekerja keras
karena persaingan dalam bidang usaha yang mereka jalankan juga ketat.
Sebagaimana diungkapkan Haley dalam mengomentari etnis ini, “...they
worked hard, lived extremely frugally and saved money until they could
strike out on their own” (Wibowo [ed.], 1999: XIV). Dengan demikian,
apakah semangat berwirausaha didorong oleh ajaran keagamaan, hal ini dapat
ditemukan jawabannya dalam etika bisnis yang mereka ‘bumikan’ dalam
kegiatan bisnis mereka.
KESIMPULAN
Melalui metode pendekatan deskriptif dan interpretatif artikel ini
berkesimpulan: pertama, pengusaha Tionghoa Muslim di Kota Yogyakarta
berpegang pada konstruk etika bisnis yang berupa etos kerja yang kuat dan
kerja keras, pandangan hidup hemat, kejujuran, kehandalan dan kepercayaan
yang semuanya diterapkan dalam tindakan dan sikap, tidak lagi dalam
perkataan dan pernyataan. Konstruk tersebut berpegang secara lebih jelas
dalam kesuksesan berkat tradisi kekeluargaan, paternalisme, solidaritas
kelompok, dan jaringan sosial. Oleh karena itu, mereka benar-benar menjalankan kesadaran untuk berbisnis sepanjang hidup yang dilakukan dengan
penanaman rasa kedisiplinan, rasa percaya diri, ketekunan, keteguhan untuk
memegang janji, kerja keras, dan stabilitas sejak usia kecil, sehingga menginjak
usia dewasa mereka mempunyai kesadaran yang sangat tinggi untuk
menjalankan aktivitas bisnis mereka secara mandiri.
Kedua, bagi pengusaha Tionghoa Muslim Yogyakarta, ajaran Islam terlihat
mempunyai pengaruh terhadap etika bisnis yang dijalankan mereka dalam
Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta (M. Shulthoni Yusuf) 71
perdagangan. Hal ini ditunjukkan dengan perwujudan ajaran-ajarannya dalam
tindakan nyata dan dianggap sebagai sumber progresifitas dalam kegiatan
bisnis mereka. Ajaran tersebut juga dipahami atas dasar citra diri mereka
sebagai pedagang dengan tetap melestarikan ajaran moral Konfusianisme yang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun demikian, tidak dapat
dikatakan bahwa etika tersebut hanya bersumber dari ajaran agama, akan
tetapi ia berkembang seiring dengan perkembangan sosio-ekonomi, sosiobudaya, dan sosio-politik komunitas tersebut.
Dengan demikian, komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta adalah corak
komunitas yang berkuasa dalam wilayah perdagangan dan tidak marjinal—
yang secara struktural adalah bagian dari masyarakat sekitarnya—oleh karena
mereka rata-rata mempunyai modal yang kuat dan memiliki paham modernis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi,
Jakarta: LP3ES, 1982.
Carey, Peter, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825, Jakarta:
Pustaka Azet, 1985.
CH’NG, David C.L, Sukses Bisnis Cina Perantauan: Latar Belakang,
Praktek Bisnis, dan Jaringan Internasional, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1995.
Creel, H.G, Alam Pikiran Cina Sejak Confucius Sampai Mao Zedong,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
De Graff, H.J, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas
dan Mitos, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Evers, Hans-Dieter & Korff,, Rudiger, Urbanisme di Asia Tenggara: Makna
Kekuasaan dalam Ruang Kota,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2002.
Geertz, Clifford, Peddlers and Princes: Social Change and Economic
Moderization in Two Indonesian Towns, Chicago: The University of
Chicago Press, 1963.
————, “Perubahan Sosial dan Modernisasi di Dua Kota di Indonesia”
dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan
Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1982.
Greif, Stuart W, WNI: Problematika Orang Indonesia Asal Cina, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1991.
72 RELIGIA Vol. 14, No. 1, April 2011. Hlm. 57-74
th
Gungwu, Wang, “Is there a Confucian Ethics?” in Working Paper of 7
th
th
WCEC, 27 -30 , Kualalumpur, 2003.
Jahja, Junus, Islam di Mata WNI, Jakarta: Yayasan Haji Karim Oei, 1995.
Joesoef, Djoenaedi, “Sistem Sosial Budaya dan Pengaruhnya terhadap Bisnis
Cina” dalam Etika Bisnis Cina: Suatu Kajian terhadap Perekonomian
di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996.
Karim, Ali, “Interaksi dan Dakwah Islam di Kalangan WNI Keturunan” dalam
Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya Nusantara, Jakarta:
Yayasan Festival Istiqlal, 1996.
Kota Yogyakarta dalam Angka, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
Yogyakarta, 2000.
Nuranto, N, Kebijakan Terhadap Bisnis Etnis Cina di Masa Orde Baru
dalam I. Wi-bo-wo (ed.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah
Cina, Jakarta: Pusat Studi Cina dan PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Pan, Lynn, Sons of the Yellow Emperor: The Story of Overseas Chinese
London: Secker & Warburg, 1990.
Rahardjo, M. Dawam. 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
—————, Islam Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Lembaga
Studi Agama dan Filsafat dan Pustaka Pelajar, 1999.
Redding, S. Gordon, Jiwa Kapitalisme Cina, Jakarta: Abdi Tandur, 1994.
Skinner, G. William, Golongan Minoritas Tionghoa dalam Mely G. Tan (ed.)
Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1979.
Sobary, Mohamad, Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi, Yogyakarta:
Bentang Budaya, 1999.
Sukirman, Djoko et al., Sejarah Kota Yogyakarta, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1986.
Sukriyanto, M, “Teologi Bisnis: Menangkap Pesan Wahyu Atas Persoalan
Ekonomi Umat” dalam Meretas Jalan Baru Ekonomi Muhammadiyah,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Susanto, Andreas, “Orang Cina di Yogyakarta: Antara Penerimaan dan
Penolakan” dalam I. Wibowo (ed.) Harga yang Harus Dibayar Sketsa
Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
dan Pusat Studi Cina, 2001.
Turner, Bryan S, Weber and Islam: A Critical Study, London: Routledge &
Kegan Paul, 1974.
Etika Bisnis Komunitas Tionghoa Muslim Yogyakarta (M. Shulthoni Yusuf) 73
Weber, Max, The Religion of China: Confucianism and Taoism, Glenco,
Ill: The Free Press, 1951.
————, The Protestant Ethic and the Spririt of Capitalism, New
York & London: Scribner, 1998.
Wei-Ming, Tu, Etika Konfusianisme, Jakarta: Teraju, 2005.
Wibowo, I. (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah
Cina,Jakarta: Gramedia, 1999.
—————, Harga yang Harus Dibayar Sketsa Pergulatan Etnis Cina
di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utaman dan Pusat Studi
Cina, 2001.
Wibowo, I, Belajar dari Cina: Bagaimana Cina Merebut Peluang dalam
Era Globalisasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Widyahartono, Bob, Etika Bisnis Sebagai Ketanggapan Sosial, Sistem
Ekonomi, dan Peran Pemerintah dalam Etika Bisnis Cina: Suatu
Kajian terhadap Perekonomian di Indonesia, Jakarta: Gramedia dan
Pusat Pengkajian Cina Universitas Nasional, 1996.
————— Bangkitnya Naga Besar Asia: Peta Politik, Ekonomi, dan
Sosial Menuju China Baru, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004.
Widiastuti, Jenny, Makna Nama Bagi Orang Cina WNI di Kota Yogyakarta,
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Antropologi, 2003.
Wibowo, I, Etos Neo Konfusianisme, Basis, Oktober 1987.
Widyahartono, Bob, Kaya dan Makmur dalam Budaya Cina dalam http://
www.ama-sby.com, akses 22-3-2006.
————— Perilaku Bisnis Keturunan Cina Kita dan Munculnya Taipan
Baru dalam Peta Bisnis Indonesia, dalam Pengaruh Konfusianisme
dalam Perilaku Bisnis. Seminar Sehari FE Universitas Brawijaya,
Malang, 1991.
Yang, Twang Peck, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi
Kemerdekaan 1940-1950, Yogyakarta: Niagara, 2005.
http://www.bernas.co.id
http://www.republika.co.id
http://www.swaramuslim.net
Download