B A B II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian 2.1.1. Infark Miokard Akut (IMA) IMA salah satu bagian dari sindrom koroner akut (SKA) yang merupakan kondisi yang sangat mengancam jiwa, yaitu terjadi nekrosis yang ireversibel dari otot jantung. IMA dibagi menjadi IMA tanpa ST elevasi yang disebabkan oleh karena oklusi thrombus pada arteri koroner secara parsial dan IMA dengan ST elevasi yang disebabkan oklusi total pada arteri koroner. Gejala IMA yaitu nyeri dada khas angina yang diprovokasi oleh aktivitas (Lilly dkk, 2012). Kriteria diagnosis terbaru dari IMA adalah peningkatan dan atau penurunan yang khas dari biomarker nekrosis miokard dengan disertai satu dari kriteria-kriteria: gejala iskemik jantung, terbentuknya gelombang Q baru pada EKG, terbentuknya iskemia pada EKG (depresi atau elevasi dari segmen ST yang dinamis), maupun dari pemeriksaan imaging ditemukan adanya hilangnya miokard yang masih hidup yang baru atau kelainan kinetik segmen miokard (Antman, 2007). Faktor risiko konvensional PJK terbagi menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya umur, jenis kelamin laki-laki. Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah merokok, hipertensi, sindroma metabolik, kegemukan, 7 8 dislipidemia, dan salah satu yang terpenting adalah diabetes mellitus (DM) tipe 2. Risiko tertinggi untuk menderita IMA dikemudian hari adalah adanya riwayat terkena penyakit jantung koroner sebelumnya, selain itu juga riwayat menderita penyakit serebrovaskular, dan penyakit arteri perifer (Antman, 2007). 2.1.2. Diabetes Mellitus tipe 2 DM tipe 2 mengenai kira-kira 180 juta orang di dunia, dan angka ini akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030. Pada populasi ini 90% menderita DM tipe 2. Mortalitas pada pasien DM tipe 2 juga ikut meningkat. Sekitar 1.1 juta pasien meninggal akibat DM tipe 2 pada tahun 2005 dan mencapai dua kali lipatnya pada tahun 2010. Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh masuk dalam 10 negara dengan jumlah pasien DM tipe 2 terbanyak. Populasi asia dapat memiliki risiko yang lebih tinggi menuju DM tipe 2, meskipun dengan IMT yang relatif lebih rendah, karena lebih mengarah ke obesitas viseral. Populasi ini dapat mengalami malnutrisi (dalam periode perinatal) dan peningkatan berat badan yang cepat saat masa anak-anak. Kedua hal tersebut dapat menyababkan resistensi insulin (McGuire, 2007). DM tipe 2 adalah sindrom metabolik yang ditandai dengan adanya hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau kombinasi dari keduanya. Pada DM tipe 1 disebabkan oleh karena produksi insulin pankreas yang berkurang absolut. Pada DM tipe 2, kenaikan glukosa darah diakibatkan kombinasi dari predisposisi genetik, diet yang tidak sehat, inaktivitas fisik, dan peningkatan berat badan dengan 9 distribusi sentral yang menghasilkan proses patofisiologis yang kompleks. Pasien dengan DM tipe 2 sangat berhubungan erat dan merupakan faktor risiko dari penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, dan penyakit arteri perifer (Lars Ryd dkk, 2007). Tabel 1.Kriteria yang digunakan untuk klasifikasi glukometabolik menurut WHO (1999), ADA (1997) dan (2003) Kriteria diagnosis DM tipe 2 berdasarkan Global guideline International Diabetes Federation 2012 adalah glukosa darah puasa (GDP) >126 mg/dl atau 75 gr tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan GDP >126 mg/dl dan atau 2 jam posprandial >200 mg/dl atau HbA1c >6.5% atau glukosa darah acak >200 mg/dl disertai dengan gejala klasik DM, dengan catatan individu asimtomatik dengan pemeriksaan glukosa darah tunggal yang meningkat harus mengulangi pemeriksaan kembali. 10 DM tipe 2 terjadi akibat kombinasi dari penurunan sekresi insulin dan penurunan sensitivitas insulin. Awal terjadinya DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin yang menyebabkan hiperglikemia postprandial. Kemudian diikuti dengan perburukan respon insulin secara bertahap terhadap konsentrasi glukosa darah. Pasien DM tipe 2 sering mengalami obesitas dan kebanyakan tidak aktif secara fisik. 2.2. Patofisiologi DM tipe 2 dengan Atherosklerosis dan IMA Hiperglikemia adalah abnormalitas metabolik utama pada DM tipe 2. Hiperglikemia dengan kelainan metabolik lainnya seperti resistensi insulin dan dislipidemia (ditunjukkan dengan peningkatan trigliserida dan HDL yang rendah) berperan dalam inhibisi dari produksi nitric oxide (NO) dan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) di endotel dan otot polos pembuluh darah. Fenomena ini dinamakan stres oksidatif ketika produksi dari spesies oksigen reaktif melebihi kemampuan sel untuk menetralisirnya melalui mekanisme antioksidatif. Hal ini dianggap sebagai langkah awal dari terjadinya aterosklerosis. ROS mengurangi level NO, menyebabkan disfungsi endotel, dan juga meningkatkan berbagai molekul adhesi intraseluler (ICAM-I dan VCAM-I). Hiperglikemia itu sendiri juga mengaktifkan protein kinase C (PKC) yang meningkatkan ekspresi dari reseptor platelet-derived growth factor-B dan transforming growth factor-B (TGF-B). PKC menginduksi regulasi ekspresi siklooksigenase-2, meningkatkan produksi tromboksan dan 11 menurunkan pelepasan NO. Hiperglikemia menginduksi glikasi non-enzimatik dan menghasilkan advanced glycation end products (AGEs). AGE secara langsung memblok aktivitas NO dan memproduksi ROS pada endotel pembuluh darah. Reseptor untuk AGE distimulasi karena peningkatan nuclear factor-kB dan aktivator protein I dan juga menginduksi ekspresi gen inflamasi dan pada akhirnya meningkatkan produksi sitokin inflamasi dan molekul adhesi intraseluler. Keseimbangan terjadi akibat penurunan level NO dan prostasiklin melawan peningkatan mediator inflamasi, substansi vasokonstriktor (endotelin I dan angiotensin II), dan mediator protrombotik (tissue factor dan plasminogen activator inhibitor-I (PAI-I)). Semua hal tersebut berkontribusi pada perubahan endotel dan otot polos pembuluh darah yaitu vasokonstriksi, inflamasi, dan trombogenesis, dan akhirnya menyebabkan aterosklerosis (Stratton, 2000). Aterosklerosis koroner dan penyakit vaskular perifer meningkat pada pasien dewasa dengan DM tipe 2 dibandingkan tanpa DM tipe 2. Kemungkinan terjadinya aterosklerosis berkorelasi erat dengan durasi DM tipe 2 dan adanya komplikasi mikrovaskular, panyakit vaskular perifer, dan neuropati otonomik. Pada pasien dengan disfungsi otonom dan neuropati sensoris, persepsi angina secara subyektif dapat menghilang, dan respon denyut jantung serta tekanan darah yang abnormal saat istirahat dan beraktivitas (misal: inkompetensi kronotropik) sering terjadi. Ketika terdiagnosis PJK, kejadian perubahan EKG yang diinduksi latihan sama dengan insidensi pada pasien tanpa DM tipe 2. Pasien DM tipe 2 yang hendak mengikuti 12 latihan fisik dengan intensitas yang sedang-berat juga merupakan indikasi kelas IIA untuk dilakukan uji latih treadmill. Penelitian lebih jauh diperlukan untuk menentukan prosedur tes noninvasif yang optimal untuk mendiagnosis disfungsi endotel awal dan adanya PJK yang obstruktif pada pasien DM tipe 2 (Stratton, 2000). Reinfark lebih sering terjadi pada pasien dengan DM tipe 2 dan dengan riwayat IMA sebelumnya. Prediktor terjadinya reinfark yang dominan secara angiografis pada pasien yang dilakukan PCI primer adalah stenosis koroner lebih dari 30%, diseksi koroner paska PCI, dan thrombus intrakoroner paska PCI. Pasien DM dan mereka yang menderita tingkat killip yang lebih tinggi juga lebih sering akan menderita reinfark (Stratton, 2000). DM tipe 2 secara khusus juga meningkatkan risiko kematian 30 hari sebanyak 40%. Pasien DM tipe 2 yang selamat juga menagalami komplikasi paska IMA yang lebih sering, termasuk angina paska infark, perluasan infark, dan gagal jantung. DM tipe 2 selain meningkatkan risiko terjadinya IMA, juga dapat memperburuk prognosis pasien IMA. Meskipun terdapat perbaikan luaran klinis pada pasien DM dan non–DM beberapa dekade terakhir, akan tetapi risiko kardiovaskular yang berhubungan dengan DM tipe 2 tetaplah ada. Peningkatan risiko yang berhubungan dengan IMA ini telah diobservasi terjadi pada kadar gula darah dibawah batas atas kriteria DM tipe 2. Hal ini menimbulkan adakah penanda lain selain gula darah yang dapat memprediksi luaran kardiovaskular seperti HbA1c (Stratton, 2000; Vinik dkk, 2007). 13 Tabel 2. Mekanisme kerusakan endothel pada penyakit vaskular akibat diabetes Patomekanisme Peningkatan aktivasi NF-kB Penurunan Nitric oxide Penurunan bioavailibilitas prostasiklin Peningkatan aktivitas endothelin 1 Peningkatan aktivitas angiotensin II Peningkatan aktivitas siklooksigenase 2 Peningkatan aktivitas tromboksan A2 Peningkatan spesies oksigen reaktif Peningkatan produk peroksidasi lipid Penurunan relaksasi endothelium Peningkatan ekspresi RAGE Endotel Otot polos dan matriks vaskular Peningkatan proliferasi dan migrasi intima Peningkatan degradasi matriks Perubahan komponen matriks Inflamasi Peningkatan IL-1B, IL-6, CD36, MCP-1 Peningkatan ICAM, VCAM dan selektin Peningkatan aktivitas protein kinase C Peningkatan AGE dan interaksi AGE/RGE AGEs = advanced glycation end products; ICAMs = intracellular adhesion molecules; IL = interleukin; MCP = monocyte chemoattractant protein; NF = nuclear factor; RAGE = receptor for advanced glycation end products; VCAMs = vascular cell adhesion molecules. Abnormalitas metabolisme lemak juga berkontribusi terhadap peningkatan risiko atherosklerosis yang berhubungan dengan DM tipe 2. Dislipidemia diabetes berhubungan dengan kadar trigliserida, konsentrasi HDL yang rendah, dan peningkatan LDL aterogenik, dimana semuanya berkontribusi terhadap 14 perkembangan aterosklerosis. Pertubasi sistem proteo-fibrinolitik dan biologi platelet lebih lanjut mempengaruhi efek vaskular dari diabetes dan menyebabkan kondisi protrombotik. Abnormalitas yang dimaksud adalah peningkatan tissue factor, faktor VII, faktor von Willebrand, dan plasminogen activator inhibitor-1, dengan penurunan kadar antitrombin III dan protein C. Gangguan aktivasi platelet, agregasi, morfologi, dan life span dapat berkontribusi pada peningkatan efek trombotik dan akselerasi dari aterosklerosis (McGuire, 2007). Tabel 3. Pertubasi struktur dan fungsi platelet yang berhubungan dengan DM (Lars Ryd, 2007). No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Mekanisme Perubahan Fungsi Platelet Penurunan fluiditas membran Perubahan homeostasis ion Ca dan Mg Peningkatan sintesis tromboksan A2 Penurunan produksi No dan prostasiklin Penurunan level antioksidan Peningkatan ekspresi molekul adesi (contoh: glikoprotein IIb/IIIa, P-selectin) Peningkatan formasi mikropartikel platelet Peningkatan turnover platelet 2.3. Neuropati Diabetik Sebagai Komplikasi Kronis DM tipe 2 Salah satu dari komplikasi yang paling serius dari DM tipe 2 adalah neuropati otonomik kardiovaskular atau cardiovascular autonomic neuropathy (CAN). CAN meliputi berbagai kerusakan dari saraf jantung dan pembuluh darah, yang menyebabkan abnormalitas dari kontrol denyut jantung dan dinamik vaskular. 15 15 penelitian menggunakan luaran yang berbeda telah mendapatkan prevalensi CAN sebesar 1% sampai 90%. CAN dapat muncul sebagai diagnosis, dan prevalensinya meningkat dengan umur, durasi dari DM tipe 2, dan kontrol glukosa yang buruk. CAN dapat muncul bersamaan dengan adanya polineuropati simetris distal, mikroangiopati dan makroangiopati. Umur, DM tipe 2, obesitas, dan merokok merupakan faktor risiko terjadinya variabilitas denyut jantung yang abnormal pada DM tipe 2. Hba1c, hipertensi, polineuropati simetris distal, retinopati, dan ekspos hiperglikemia juga merupakan faktor risiko terhadap perkembangan CAN pada DM tipe 2 (Gibbons dkk, 2002). Manifestasi klinis CAN termasuk takikardia saat istirahat, intoleransi latihan, hipotensi ortostatik, takikardia ortostatik dan sindroma bradikardia, dan silent myocardial ischemia (Gibbons dkk, 2002). 1. Takikardia saat istirahat DM dengan kerusakan vagal dapat menyebabkan kerusakan variabilitas denyut jantung, dan pada akhirnya menyebabkan takikardia saat istirahat yang menetap (denyut jantung istirahat dapat mencapai 90-100 kali permenit). Kelainan denyut jantung ini paling berat disebabkan oleh kerusakan parasimpatis dibandingkan kerusakan saraf simpatis. Denyut jantung yang tidak responsif dengan latihan sedang, stres, dan istirahat mengindikasikan kerusakan saraf otonomik yang hampir komplit. 2. Intoleransi latihan 16 Disfungsi otonomik menurunkan toleransi latihan/aktivitas, menurunkan respon denyut jantung dan tekanan darah, dan menumpulkan respon peningkatan curah jantung terhadap latihan. Pasien DM tipe 2 yang menderita CAN sebaiknya dilakukan uji latihan sebelum menjalani program latihan. Pasien dengan CAN harus mengandalkan persepsi pernafasan mereka dan bukan denyut jantung saat latihan untuk menghindari level intensitas latihan yang berbahaya. 3. Hipotensi ortostatik Definisi hipotensi ortostatik adalah penurunan dari tekanan darah (30 mmHg tekanan darah sistol dan 10 mmHg diastol) sebagai respon dari perubahan postural dari posisi tidur ke berdiri. Gejala mulai dari asimtomatik, lemah badan, pingsan, pusing, dan gangguan penglihatan. Perubahan posisi dari tidur ke berdiri pada umumnya menyebabkan aktivasi baroreseptor, refleks simpatis sentral, menghasilkan peningkatan resistensi vaskular perifer dan akselerasi denyut jantung. Pada pasien dengan DM tipe 2, hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh kerusakan serat vasomotor simpatis eferen, terutama pada pembuluh darah splankhnik. Hal ini menyebabkan penurunan resistensi vaskular total. 4. Silent myocardial ischemia Penurunan sensasi nyeri iskemik dapat mempengaruhi respon terhadap iskemia atau infark miokard yang dapat menunda pemberian terapi yang seharusnya. Banyak penelitian yang menyebutkan peningkatan kejadian silent ischemia pada DM tipe 2 dengan CAN daripada tanpa CAN. Pada pasien CAN dengan penyakit jantung 17 koroner sangat berbahaya karena ambang batas yang meningkat menyebabkan pasien membiarkan kondisi iskemia tanpa gejala yang cukup lama dan tidak terobati. 2.4. Rehabilitasi Paska IMA Rehabilitasi paska IMA merupakan aspek yang sangat penting dan harus diberikan pada seluruh pasien paska IMA. Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan kualitas hidup penderita sebaik mungkin, termasuk kembali bekerja. Unsur rehabilitasi yang termasuk adalah faktor fisik, psikologis dan sosio-ekonomi. Rehabilitasi harus dilakukan secepat mungkin setelah fase akut IMA dan diteruskan sampai beberapa minggu dan bulan setelahnya. Program rehabilitasi bersifat multidisiplin dan bertujuan menurunkan berbagai faktor risiko untuk PJK (Van de Werf, 2012). Latihan fisik paska IMA merupakan salah satu modalitas rehabilitasi kardiovaskular yang dimasukkan dalam guideline latihan baik oleh ESC maupun AHA. Empat mekanisme penting yang dapat menurunkan kejadian kardiovaskular adalah: (1) memperbaiki fungsi endotel; (2) mengurangi progresivitas lesi koroner; (3) mengurangi risiko trombogenik; dan (4) Meningkatkan kolateralisasi pembuluh darah. Pada sebuah meta analisis, latihan fisik sebagai salah satu bagian dari rehabilitasi koroner dapat menurunkan risiko berulangnya kejadian kardiovaskular sebesar 26% pada pasien yang sudah diketahui menderita PJK. Selain mortalitas, rehabilitasi latihan juga dapat meningkatkan kapasitas latihan pasien, fitnes 18 kardiorespiratorik, dan persepsi sehat pasien tersebut. Rekomendasinya adalah dengan melakukan latihan aerobik dengan intensitas sedang selama 30 menit dengan frekuensi 5 kali seminggu (Van de Werf, 2012). Rekomendasi kelas I dalam latihan fisik paska IMA adalah dilakukan sebelum memulangkan pasien untuk keperluan prognostik, peresepan aktivitas dirumah, evaluasi terapi medis (submaksimal dalam waktu 4-6 hari setelah onset), segera setelah pasien pulang yaitu 14-21 hari, kemudian lama setelah pasien pulang yaitu 36 minggu untuk keperluan prognostik dan dilakukan ketika latihan fisik sebelum pulang tidak bisa dilakukan, peresepan dan rekomendasi beratnya aktivitas seharihari, dan rehabilitasi jantung (Gibbons dkk, 2002). Uji latih treadmill submaksimal yang dimaksud adalah dilakukan hingga setidaknya mencapai denyut nadi 70% dari prediksi denyut jantung maksimal, 120 kali permenit, hingga kapasitas fungsional 5 METs dengan menggunakan protokol modified Bruce (Perk dkk, 2007). Uji latih treadmill paska IMA aman untuk dilakukan. Insidensi terjadinya kejadian kardiovaskular yang fatal, termasuk IMA dan ruptur jantung adalah 0.03%, IMA nonfatal dan henti jantung yang berhasil direrusitasi adalah 0.09%, dan aritmia kompleks termasuk VT adalah 1.4%. Protokol terbatas gejala (symptom limited) memiliki angka kejadian 1.9 kali lebih banyak daripada uji latih submaksimal, meskipun secara keseluruhan kejadian fatal sangat rendah. Data keamanan paling banyak didapatkan pada 7 hari paska IMA (Perk dkk, 2007). 19 Dasar dilakukan dan aktivitas fisik paska IMA adalah karena latihan fisik memiliki efek yang menguntungkan terhadap berbagai respon fisiologis tubuh. 1. Efek latihan terhadap respon denyut jantung dan tekanan darah terhadap latihan Latihan fisik dapat menurunkan kerja miokardium pada level latihan yang submaksimal karena efek adaptasi dari sirkulasi perifer. 2. Mempertahankan dan meningkatkan kapasitas total latihan 3. Meningkatkan kapasitas latihan bebas gejala 4. Penurunan kolesterol LDL dan trigliserida dan peningkatan LDL 5. Peningkatan aktivitas fibrinolitik 6. Penurunan viskositas darah 7. Penurunan berat badan 8. Penurunan tekanan darah arteri 9. Penurunan level katekolamin 10. Peningkatan ‘fibrillation threshold’ 11. Peningkatan fungsi endotel pembuluh darah 12. Peningkatan jumlah sel progenitor endotel (EPC) yang bersirkulasi dalam pembuluh darah 13. Penurunan stress 14. Perbaikan kualitas hidup 2.5. Kapasitas Latihan dan Hemodinamik Abnormal pada Uji Latih Treadmill 20 Variabel prognostik yang diukur saat uji latih treadmill yang dapat memprediksi luaran kardiovaskular merupakan indikator dari kebugaran tubuh secara umum dan fungsi dari sistem saraf otonom. Metode yang telah diketahui memiliki nilai prognostik adalah penyesuaian sederhana dari denyut jantung terhadap depresi segmen ST, pengukuran kapasitas fungsional, kompetensi dan inkompetensi kronotropik, pemulihan denyut jantung, dan ektopik ventrikel yang sering saat fase pemulihan (Gibbons dkk, 2002: Arena dkk, 2007; Kligfield, 2006). 1. Kapasitas latihan Nilai prognostik dari kapasitas latihan telah dapat dipastikan pada subyek yang sehat yang dilakukan deteksi dini penyakit jantung koroner dan untuk mengevaluasi pasien yang telah diketahui menderita PJK. Banyak penelitian pada subyek sehat yang menyatakan bahwa kapasitas latihan/fungsional merupakan prediktor independen yang kuat terhadap mortalitas kardiovakular dan mortalitas oleh karena sebab apapun. Nilai prognostik yang independen dari kapasitas latihan juga telah dipastikan pada laki-laki, perempuan, dan pasien usia lanjut. Kapasitas latihan juga telah dapat menyediakan stratifikasi risiko pada subset pasien PJK tergantung dari anatomisnya. Durasi latihan –berapa menit pasien mampu melanjutkan latihan sesuai protokol- adalah metode yang sangat baik untuk mengukur kapasitas latihan. Jalan lain untuk mengukur kapasitas latihan adalah dengan mengukur ambilan oksigen saat latihan, dimana bisa dilihat dari jumlah ekuivalen metaboliknya (MET’s, 1 MET = 21 3.5 mL O2 /kg/mnt). Bagaimanapun, hampir setiap laboratorium mengukur kapasitas latihan dengan protokol yang spesifik (misal: protokol Bruce) berdasarkan normogram yang dipublikasikan. Intinya adalah semakin lama pasien dapat melanjutkan uji latih treadmill, semakin kecil kemungkinan pasien tersebut akan meninggal oleh karena penyakit jantung koroner-atau oleh karena sebab lain. Faktanya, variabel prognostik yang diukur melalui uji latih treadmill, kapasitas latihan merupakan variabel yang terkuat (Miller, 2008). Pada laki-laki yang tidak menderita PJK dengan kapasitas latihan <5 METs memiliki risiko kematian 4,5 kali dalam waktu 6 tahun, sedangkan pada pasien dengan PJK risikonya meningkat 4,1 kali dibandingkat pasien dengan kapasitas latihan >8 METs. Setiap peningkatan 1 METs akan meningkatkan harapan hidup sebesar 12%. Pada pasien perempuan asimtomatik risiko kematian pasien dengan kapasitas latihan <5 METs adalah 3,1 dibanding >8 METs (Miller, 2008; Arena dkk, 2007). Meskipun memiliki nilai prognostik yang terkuat, penggunaan kapasitas latihan secara rutin juga problematik akibat kurangnya standarisasi. Kapasitas latihan sangat berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Kapasitas latihan biasanya akan semakin berkurang sesuai usia dan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Beberapa penelitian menggunakan batasan <5 METs ada perempuan dan <7 METs pada laki-laki, sedangkan penelitian lainnya menyebutkan berkurangnya kapasitas latihan bila terletak pada kuartil terendah berdasarkan kelompok umur dan 22 jenis kelamin. Pendekatan-pendekatan ini tidak sepenuhnya juga dapat diterapkan karena perbedaan karakteristik antar populasi (Miller, 2008; Arena dkk, 2007; Ellestad, 2003). Telah dikembangkan juga sebuah normogram untuk mengetahui karakteristik kapasitas latihan yang akurat, baik pada laki-laki maupun perempuan. Telah disebutkan bahwa kapasitas latihan <85% dari nilai prediksi mengandung risiko secara prognostik, namun hal ini baru terbukti pada populasi perempuan. Gambar 1. Normogram yang spesifik berdasarkan jenis kelamin dan umur (Kligfield, 2006). 2. Hipotensi durante latihan 23 Hipotensi durante latihan didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistol lebih dari 10 mmHg dibandingkan saat pasien sedang beristirahat berbaring maupun saat sedang berdiri. Hal ini merefleksikan kegagalan respon peningkatan cardiac output dan berhubungan dengan adanya penyakit jantung koroner yang berat (contoh: penyakit arteri left main atau three-vessel disease), adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri, atau keduanya. Dubach et al, pada sebuah penelitian terhadap 2036 pasien yang dilakukan uji latih treadmill untuk mengevaluasi penyakit jantung koroner kronis menemukan bahwa hipotensi durante latihan berhubungan dengan tiga kali lipat peningkatan serangan jantung dalam 2 tahun. Pada meta-analisis uji latih treadmill setelah IMA, satu-satunya prediktor peningkatan risiko adalah keterbatasan lama latihan dan hipotensi durante latihan (Miller, 2008; Arena dkk, 2007). 3. Inkompetensi kronotropik Denyut jantung normalnya meningkat dengan latihan dan menurun segera setelah latihan berhenti. Kegagalan denyut jantung untuk meningkat sesuai dengan beratnya latihan dinamakan inkompetensi kronotropik. Inkompetensi kronotropik dapat memprediksi mortalitas jangka panjang akibat kardiovaskular maupun sebab yang lain. Pada pasien yang simtomatik dengan inkompetensi kronotropik risiko kematian dalam 2 tahun mencapai 1,84 kali, sedangkan bila indeks kronotropik (CI) kurang dari 80% memiliki risiko kematian 2,19 kali dalam 2 tahun. 24 Peningkatan awal dari denyut jantung saat latihan diperkirakan akibat penurunan sentral dari inhibisi parasimpatis disertai peningkatan tonus simpatis. Kemudian akan diikuti oleh peningkatan stimulasi simpatis sentral dan kadar katekolamin yang bersirkulasi. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung. Terdapat perbedaan kriteria untuk mendefinisikan inkompetensi kronotropik berdasarkan denyut jantung istirahat, protokol latihan, umur pasien, dan pengobatan (terutama beta-bloker). Prediksi respon kronotropik dapat dihitung berdasarkan indeks kronotropik (CI) yaitu: ((denyut jantung maksimal dikurangi denyut jantung istirahat) : (220 dikurangi denyut jantung istirahat)) x 100. Perbedaan antara denyut jantung maksimal dan istirahat disebut dengan simpanan denyut jantung (heart rate reserve). Metode yang lebih simpel adalah dengan menghitung prediksi denyut jantung maksimal yang dihitung dengan rumus: 220 dikurangi umur dalam tahun. Inkompetensi kronotropik didefinisikian sebagai denyut jantung saat latihan kurang dari 85% dan kurang dari 62% dari prediksi denyut jantung maksimal pada pasien yang menggunakan beta-bloker, Pasien hanya mencapai kurang dari 80% dari indeks kronotropik atau 62% pada yang menggunakan beta-bloker, atau denyut nadi tidak mencapai 120x/menit pada uji latih treadmill yang adekuat (Miller, 2008; Arena dkk, 2007; Ellestad, 2003). 4. Pemulihan denyut jantung 25 Ketika latihan berhenti, denyut jantung akan menurun kembali ke denyut jantung sebelum latihan dalam beberapa menit hingga jam, dengan penurunan paling besar pada menit awal. Penurunan denyut jantung saat 30 detik sampai 1 menit setelah latihan disebabkan karena reaktivasi parasimpatis. Karena banyaknya literatur yang menyebutkan fungsi dan disfungsi sistem saraf parasimpatis terhadap mortalitas, maka timbul hipotesis lemahnya pemulihan denyut jantung berhubungan dengan mortalitas. Ambang batas respon yang abnormal pemulihan denyut jantung adalah sebagai berikut: Pemulihan denyut jantung 1 menit : Berdiri : denyut jantung menurun sekurang-kurangnya 12 denyut/menit Tidur : sekurang-kurangnya 18 denyut/menit Pemulihan denyut jantung 2 menit : Duduk : denyut jantung menurun kurang dari 22 kali permenit Ketidakmampuan denyut jantung untuk pulih (turun kembali ke frekuensi normal) dapat memprediksi mortalitas karena sebab apapun dan kejadian kardiovaskular termasuk henti jantung mendadak pada populasi sehat maupun pasien dengan penyakit jantung koroner yang telah dilakukan angiografi koroner, stress ekokardiografi, maupun imaging dengan pemeriksaan nuklir. Pasien dengan kelainan pemulihan denyut jantung dengan dan ditemukan iskemia pada uji latih memiliki risiko moderat mortalitas 4,16 kali dibanding yang 26 normal. Penelitian kohort lain menyebutkan kalainan pemulihan denyut jantung meningkatkan risiko kematian sebesar 2,09 kali (Kligsfeld, 2006). Alasan mengapa pasien dengan kelainan pemulihan denyut jantung dapat meningkatkan risiko masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa penelitian menyebutkan hal tersebut merupakan predisposisi terhadap aritmia yang fatal dan kematian jantung mendadak. Baik pemulihan denyut jantung dan respon kronotropik berhubungan dengan perburukan derajat penyakit jantung koroner melalui angiografi, namun hubungannya tidak begitu kuat. Salah satu penelitian observasional terbaru menyebutkan pemulihan denyut jantung dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan iskemia yang kemungkinan dapat membaik dengan revaskularisasi. Maksudnya bahwa pasien iskemia dengan kelainan pemulihan denyut jantung memiliki risiko yang sangat tinggi terhadap mortalitas dan tidak memiliki perbaikan secara mortalitas terhadap revaskularisasi. Berbeda pada pasien dengan pemulihan denyut jantung yang normal yang memiliki perbaikan secara mortalitas. Pertanyaan penting lainnya adalah apakah pemulihan denyut jantung tersebut dapat dimodifikasi. Salah satu penelitian menyebutkan perbaikan pemulihan denyut jantung dapat diperoleh dengan latihan fisik yang optimal pada penderita paska infark miokard (Kligseld, 2006). Beberapa variable dapat mempengaruhi pemulihan denyut jantung, termasuk aktivitas (pendinginan setelah latihan fisik) dan posisi (tidur, duduk, berdiri). 5. Ektopik ventrikel 27 Berbagai tipe aritmia ventrikel dapat muncul pada saat uji latih treadmill: - Takikardia ventrikel atau fibrilasi ventrikel karena penyakit jantung koroner atau disfungsi ventrikel kiri jarang terjadi namun dapat membahayakan jiwa. - Ektopik ventrikel singkat: kontraksi ventrikel prematur tunggal, couplet, atau episode singkat dari takikardia ventrikel yang timbul saat atau segera setelah uji latih treadmill lebih sering terjadi daripada takikardia ventrikel yang menetap. Nilai signifikansi prognostik pada ektopik ini masih kontroversial. Review penelitian akhirakhir ini menemukan bahwa timbulnya ektopik ventrikel saat latihan berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada 13 dari 22 penelitian. 15 dari penelitianpenelitian ini mencakup pasien yang telah diketahui menderita PJK (Kligsfeld, 2006). Terjadinya kontraksi ventrikel prematur yang sering berhubungan dengan peningkatan risiko kematian kardiovaskular dalam selang waktu 23 tahun independen terhadap adanya iskemia. Frolkis et al mengevaluasi 29 ribu pasien yang dilakukan uji latih treadmill dan menemukan prevalensi ektopik ventrikel yang cukup jarang (3% saat latihan, 2% setelah latihan dan 2% saat dan setelah latihan). Angka mortalitas dalam 5 tahun lebih tinggi pada pasien yang mengalami ektopik ventrikel dibandingkan yang tanpa ektopik ventrikel (9% vs 5%, P<0.001). Kemudian hanya ektopik ventrikel setelah latihan (bukan saat latihan) yang berhubungan dengan mortalitas (adjusted hazard ratio 1.5; 95% CI 1.1–1.9; P = .003). Hubungan antara ektopik ventrikel dan iskemia yang terinduksi latihan dengan fungsi ventrikel kiri tetap tidak jelas (Kligsfeld, 2006). 28 2.6. Protokol Bruce dan Modified Bruce pada Uji Latih Treadmill Protokol treadmill harus konsisten dengan kapasitas fisik pasien dan tujuan dari uji latih tersebut. Pada pasien yang sehat, protokol yang paling sering digunakan adalah protokol Bruce, dan data penelitian baik diagnostik maupun prognostik telah didapatkan dengan metode ini. Protokol maksimal treadmill Bruce memiliki periode selama 3 menit untuk mencapai kondisi stabil sebelum meningkatkan tingkat kerja. Pada pasien yang lebih tua atau dengan disertai penyakit jantung (misal: paska IMA, gagal jantung kongestif) dapat dilakukan modifikasi dengan adanya dua fase pemanasan selama 3 menit yaitu 1.7 mph tingkat 0% dan 1.7 mph dengan tingkat 5% (protokol modified Bruce) (Chaitman, 2012). Keterbatasan dari protokol Bruce adalah perubahan tingkat kerja yang cukup besar antar fase dan adanya tambahan energi akibat pasien harus berlari saat sudah mencapai fase III Bruce.Protokol Naughton dan Weber menggunakan fase 1 sampai 2 menit dengan perubahan 1 MET tiap fasenya. Protokol ini cukup baik digunakan pada pasien dengan toleransi aktivitas yang terbatas seperti pasien gagal jantung kongestif. Protokol lainnya yang dapat digunakan namun lebih jarang adalah protokol ACIP (The Asymptomatic Cardiac Ischemia Pilot dan modified ACIP (mACIP) (Chaitman, 2012). Kebanyakan uji latih treadmill yang dilakukan 1 sampai 2 minggu paska IMA dihentikan sampai target denyut jantung yang spesifik, biasanya 70% dari prediksi 29 denyut jantung maksimal berdasarkan umur (120 sampa 130 kali permenit) atau hingga tingkat kerja 3 sampai 5 METs telah tercapai. Respon ini dilakukan jika belum mendapatkan terapi reperfusi. Protokol yang dimodifikasi ini dimulai dengan tingkat kerja awal yang rendah dan diteruskan dengan peningkatan yang tidak begitu besar. Uji latih yang dibatasi denyut jantung maupun beban kerja dinamakan uji latih submaksimal, yang paling baik digunakan pada periode 1 sampai 2 minggu paska IMA dan direkomendasikan oleh guideline ACC-AHA. Uji latih akan dihentikan bila terdapat gejala angina, sesak nafas, atau kelelahan, dan berdasarkan tanda-tanda seperti depresi segmen ST yang signifikan, hipotensi, dan aritmia ventrikel (Chaitman,2012). Gambar 2. Kebutuhan oksigen dengan sepeda ergometri dan beberapa protokol uji latih treadmill. Protokol Bruce standar dimulai dengan kecepatan 1.7 mph 30 dan tingkat 10% (5 METs), dengan perbedaan antar level yang lebih besar daripada protokol Naughton, ACIP, dan Weber. Protokol Bruce dapat dimodifikasi dengan menambahkan 2 fase pemanasan selama 3 menit pada kecepatan 1.7 mph dengan tingkat 0% dan 1.7 mph dengan tingkat 5%. DeBusk dan Haskell membandingkan protokol treadmill yang terbatas gejala dan denyut jantung saat 3 minggu paska AMI dan menemukan bahwa keduanya cukup aman dalam menimbulkan abnormalitas iskemia dan mengidentifikasi pasien yang berisiko menderita serangan jantung dikemudian hari (Ellestad, 2003). 2.7. HbA1c sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien DM tipe 2 dengan Penyakit Kardiovaskular HbA1c atau hemoglobin terglikosilasi merupakan indikator dari konsentrasi glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya, dan merupakan biomarker yang telah diketahui secara luas dalam praktek sehari-hari. Data epidemiologi saat ini menempatkan level Hba1c sebagai faktor risiko independen terhadap penyakit kardiovaskuler di populasi umum maupun populasi sekunder. Saat ini International Expert Committee Report (IECR) merekomendasikan pemeriksaan HbA1c sebagai salah satu metode untuk mendiagnosis DM tipe 2 yaitu jika level Hba1c >6.5% (Cho dkk, 2011). 31 HbA1c juga memeiliki nilai prognostik pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau aterosklerosis. Peningkatan HbA1c memprediksi peningkatan risiko mortalitas jangka pendek dan jangka panjang pada pasien yag sebelumnya belum diketahui menderita diabetes mellitus. DM tipe 2 dan kontrol glikemik akut (saat MRS, glukosa darah puasa atau preoperatif) merupakan faktor risiko independen terhadap prognostik pada pasien SKA atau IMA. Meskipun hiperglikemia akut pada kebanyakan pasien tersebut merupakan manifestasi dari gangguan metabolisme glukosa sementara, dan juga ditunjang oleh stress akibat pelepasan kortisol dan katekolamin. Luaran yang buruk yang berhubungan dengan hiperglikemia akut juga berkontribusi terhadap respon stress akut dari penyakit yang berat. Level Hba1c merupakan indikator yang lebih stabil dari kontrol glukosa darah jangka panjang dan lebih berguna dalam memprediksi toleransi glukosa abnormal pada pasien PJK dibandingkan dengan glukosa darah saat MRS (Cho dkk, 2011). Penelitian terakhir yang mengevaluasi nilai prognostik Hba1c pada pasien PJK menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Ada penelitian yang menyatakan Hba1c bukan merupakan prediktor mortalitas secara independen, namun ada juga penelitian yang menyebutkan Hba1c merupakan prediktor yang poten terhadiap kematian saat di rumah sakit dan jangka panjang. Setelah dilakukan pembahasan yang sistematis ditemukan bahwa Hba1c memiliki efek prognostik yang berbeda-beda tergantung dari status DM tipe 2 pasien tersebut. 32 Terdapat beberapa hal yang menjelaskan perbedaan hasil penelitian tersebut. Pertama, pasien dengan peningkatan Hba1c tanpa diketahui menderita DM tipe 2 dan tidak diterapi sesuai DM tipe 2 juga memiliki faktor risiko lain seperti dislipidemia atau hipertensi yang juga belum terobati sebelum MRS, sedangkan pasien yang diketahui menderita DM tipe 2 biasanya diobati dengan insulin dan faktor risiko lainnya. Kedua, nilai cut-off yang sama yang menandakan peningkatan Hba1c mungkin relatif terlalu rendah untuk membedakan kondisi hiperglikemia kronis akibat DM tipe 2 dibandingkan pasien non-DM. Ketiga, penelitan menunjukkan perkembangan dari terapi reperfusi pada pasien IMA sehingga memperbaiki luaran klinis pasien. Reperfusi yang efektif terutama dengan PCI dapat menurunkan efek buruk peningkatan HbA1c pada pasien DM. Keempat, HbA1c dapat kehilangan daya prediksinya pada pasien DM dengan gagal jantung dengan faktor risiko yang diketahui yang lain seperti peningkatan indeks massa tubuh (IMT) dan kolesterol total. Sebuah penelitian melaporkan hubungan antara mortalitas dan level HbA1c pada pasien DM tipe 2 dengan gagal jantung berbentuk U, dimana HbA1c<7.1 dan >7.8% berhubungan dengan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Kelima, UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan meskipun dengan terapi glukosa yang intensif menghasilkan perkembangan penyakit makrovaskular yang tidak signifikan dalam kurun waktu 5 tahun, namun dalam waktu 10 tahun menunjukkan 33 penurunan risiko IMA dan kematian secara signifikan. Sedangkan follow-up pasien daam penelitian-penelitian ini dilakukan dalam kurang dari 5 tahun (Stratton, 2000). Peningkatan HbA1c dihasilkan dari resistensi insulin jangka panjang; gangguan metabolik berhubungan dengan resistensi insulin termasuk hiperglikemia, dislipidemia, hiperkoagulabilitas dan inflamasi dapat merupakan mekanisme patologis utama dari efek buruk peningkatan HbA1c pada kondisi PJK. Pada analisa penelitian sebelumnya, setelah disesuaikan dengan faktor risiko prognostik yang lain seperti umur tua, hipertensi, paska infark miokard, dan dislipidemia, HbA1c tetap merupakan faktor independen yang berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas. Namun hubungan tersebut juga dapat disebabkan karena faktor risiko kardiovaskular yang lain. Adanya peningkatan level HbA1c, melalui hubungannya dengan sindrom metabolik, dapat mendahului perkembangan faktor risiko lainnya, dan faktor risiko lainnya dapat memiliki jalur proaterogenik biologis yang sama. 2.8. HbA1c Berhubungan dengan Kompleksitas dan Derajat Stenosis Arteri Koroner HbA1c berhubungan dengan derajat stenosis dan kompleksitas PJK yang diukur melalui skor SYNTAX pada PJK.Berdasarkan penelitian disebutkan bahwa tingginya HbA1c (diatas 7 %) berhubungan dengan beratnya stenosis arteri koroner dan kompleksitas yang diukur melalui skor SYNTAX. Selain itu tingginya HbA1c terbukti merupakan faktor risiko yang independen terhadap terjadinya hiperglikemia 34 kronis yang berhubungan dengan adanya PJK dan derajat keparahan stenosis arteri koronernya pada pasien tanpa DM tipe 2 (Ayhan dkk, 2012). 2.9. Hubungan HbA1c dengan Neuropati Otonomik Kardiovaskular pada DM tipe 2 dan Hemodinamik Abnormal pada Uji Latih Treadmill DM tipe 2 dapat menyebabkan terjadinya komplikasi termasuk disfungsi sistem saraf otonom atau neuropati otonomik. Neuropati otonomik merupakan mekanisme dasar yang dapat menyebabkan berbagai abnormalitas hemodinamik pada uji latih treadmill (Vinik dkk, 2007). Peningkatan tonus parasimpatis diperkirakan merupakan mekanisme protektif pada rehabilitasi jantung dan berhubungan dengan variabilitas denyut jantung selama latihan. Reaktivasi vagal menimbulkan respon untuk mengembalikan denyut jantung kembali ke fase sebelum latihan. DM tipe 2 melalui neuropati otonomik dapat merusak mekanisme reaktivasi parasimpatis paska latihan tersebut dan menyebabkan keterlambatan dari pemulihan denyut jantung, inkompetensi kronotropik yang nantinya juga berhubungan dengan mortalitas jangka panjang (Tesfaye dkk, 1996). Salah satu penelitian EURODIAB IDDM menyebutkan bahwa prevalensi terjadinya diabetik neuropati berhubungan secara signifikan dengan umur, durasi diabetes, kualitas dari kontrol metabolik yang ditunjukkan dengan level HbA1c, tinggi badan, adanya diabetik retinopati proliferatif, merokok, tingginya HDL, dan adanya penyakit kardiovaskular (semua dengan p<0.001) (Tesfye dkk, 1996). 35 Penelitian lain juga menyebutkan terdapat hubungan yang erat antara DM tipe 2 yang tidak terkontrol dengan risiko terjadinya polineuropati pada pasien DM tipe 2 yang ditunjukkan dengan kelainan konduksi saraf. Selain itu juga HbA1c menjadi faktor yang terpenting yang dapat memprediksi risiko neuropati subklinis. Sehingga American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan HbA1c<7% untuk menurunkan risiko komplikasi tersebut (Cheung, 2009). Selain itu peningkatan HbA1c juga menunjukkan risiko perburukan fungsi sistolik akibat lesi arteri koroner yang lebih kompleks, dan hal tersebut meningkatkan pula risiko kejadian hipotensi dan timbulnya ektopik ventrikel pada uji latih treadmill pada DM tipe 2. 2.10. Hubungan HbA1c dengan Kapasitas Latihan Seperti dikatakan sebelumnya bahwa peningkatan HbA1c meningkatkan faktor risiko terjadinya neuropati otonomik kardiovaskular (CAN) dan kompleksnya derajat stenosis pembuluh darah. Tingginya angka kejadian CAN dapat menyebabkan gangguan otonomik saraf simpati, parasimpatis dan intoleransi latihan dengan beban kerja tertentu. 2.11. Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Kapasitas Latihan dan Hemodinamik Abnormal pada Uji Latih Treadmill 36 Faktor lain selain peningkatan HbA1c yang dapat berpengaruh terhadap kapasitas latihan adalah umur pasien, jenis kelamin, hipertensi, dislipidemia, dilakukannya revaskularisasi pada pasien tersebut, terapi dengan insulin, riwayat aktivitas sebelumnya, durasi DM dan pemakaian obat-obat yang memiliki efek kronotropik negatif. Umur pasien dan jenis kelamin mempengaruhi kapasitas latihan maksimal yang dapat dilakukan, dimana denyut nadi maksimal diukur dengan rumus 220 dikurangi umur. Adanya faktor risiko PJK lain selain DM tipe 2 seperti hipertensi dan dislipidemia kemudian terapi dengan insulin sebelumnya serta prosedur revaskularisasi yang berhasil dapat mengaburkan daya prediktif dari HbA1c terhadap prognosis pasien paska IMA oleh karena faktor risiko itu sendiri jika tidak terkontrol dengan baik sangat berpengaruh terhadap prognosis pasien (Gibbons, 2002). Lokasi IMA berpengaruh terhadap derajat disfungsi ventrikel kiri (misal: IMA anterior) dan perbedaan lokasi infark berdasarkan EKG juga berpengaruh terhadap karakteristik komplikasi masing-masing serta prognosis pasien, seperti pada IMA inferior maka lebih sering komplikasinya berupa blok AV, dan IMA anterior sering menyebabkan gagal jantung akut dan syok kardiogenik (Van de Werf, 2012). Namun derajat disfungsi ventrikel kiri sendiri dikatakan tidak berhubungan langsung dengan kapasitas latihan pasien. Riwayat aktivitas sebelum dilakukan treadmill berpengaruh karena pasien yang olahraga maupun aktif melakukan latihan dirumah cenderung akan memiliki 37 kapasitas latihan yang lebih tinggi daripada pasien yang sangat membatasi aktivitasnya maupun gaya hidup sedentary. Telah dibahas sebelumnya bahwa aktivitas fisik yang baik sebelum sakit berpengaruh terhadap perbaikan faktor risiko kardiovaskular lainnya seperti penurunan tekanan darah, profil lemak, perbaikan aliran regional miokard, kolateralisasi, konsumsi oksigen maksimal otot perifer dan lain sebagainya. Pemakaian obat-obat yang memiliki efek kronotropik negatif seperti calciumchannel blocker (verapamil, diltiazem) ataupun antiaritmia golongan III (amiodaron) dapat mengaburkan interpretasi inkompetensi kronotropik pada pasien tersebut karena menurunkan respon takikardia pasien terhadap uji latih treadmill (Gibbons, 2002). Durasi menderita DM tipe 2 merupakan salah satu faktor terjadinya berbagai komplikasi yaitu makro dan mikroangiopati sehingga berpengaruh terhadap kejadian CAN. Semakin lama pasien tersebut menderita DM tipe 2 maka semakin tinggi risiko terkena CAN serta komplikasi lainnya (Vinik & Ziegler, 2007).