BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian 2.1.1. Infark Miokard Akut

advertisement
B A B II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian
2.1.1. Infark Miokard Akut (IMA)
IMA salah satu bagian dari sindrom koroner akut (SKA) yang merupakan
kondisi yang sangat mengancam jiwa, yaitu terjadi nekrosis yang ireversibel dari otot
jantung. IMA dibagi menjadi IMA tanpa ST elevasi yang disebabkan oleh karena
oklusi thrombus pada arteri koroner secara parsial dan IMA dengan ST elevasi yang
disebabkan oklusi total pada arteri koroner.
Gejala IMA yaitu nyeri dada khas angina yang diprovokasi oleh aktivitas
(Lilly dkk, 2012). Kriteria diagnosis terbaru dari IMA adalah peningkatan dan atau
penurunan yang khas dari biomarker nekrosis miokard dengan disertai satu dari
kriteria-kriteria: gejala iskemik jantung, terbentuknya gelombang Q baru pada EKG,
terbentuknya iskemia pada EKG (depresi atau elevasi dari segmen ST yang dinamis),
maupun dari pemeriksaan imaging ditemukan adanya hilangnya miokard yang masih
hidup yang baru atau kelainan kinetik segmen miokard (Antman, 2007).
Faktor risiko konvensional PJK terbagi menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi diantaranya umur, jenis kelamin laki-laki. Sedangkan faktor risiko yang
dapat dimodifikasi adalah merokok, hipertensi, sindroma metabolik, kegemukan,
7
8
dislipidemia, dan salah satu yang terpenting adalah diabetes mellitus (DM) tipe 2.
Risiko tertinggi untuk menderita IMA dikemudian hari adalah adanya riwayat terkena
penyakit jantung koroner sebelumnya, selain itu juga riwayat menderita penyakit
serebrovaskular, dan penyakit arteri perifer (Antman, 2007).
2.1.2. Diabetes Mellitus tipe 2
DM tipe 2 mengenai kira-kira 180 juta orang di dunia, dan angka ini akan
meningkat dua kali lipat pada tahun 2030. Pada populasi ini 90% menderita DM tipe
2. Mortalitas pada pasien DM tipe 2 juga ikut meningkat. Sekitar 1.1 juta pasien
meninggal akibat DM tipe 2 pada tahun 2005 dan mencapai dua kali lipatnya pada
tahun 2010. Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh masuk dalam 10 negara dengan
jumlah pasien DM tipe 2 terbanyak. Populasi asia dapat memiliki risiko yang lebih
tinggi menuju DM tipe 2, meskipun dengan IMT yang relatif lebih rendah, karena
lebih mengarah ke obesitas viseral. Populasi ini dapat mengalami malnutrisi (dalam
periode perinatal) dan peningkatan berat badan yang cepat saat masa anak-anak.
Kedua hal tersebut dapat menyababkan resistensi insulin (McGuire, 2007).
DM tipe 2 adalah sindrom metabolik yang ditandai dengan adanya
hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau kombinasi dari keduanya. Pada
DM tipe 1 disebabkan oleh karena produksi insulin pankreas yang berkurang absolut.
Pada DM tipe 2, kenaikan glukosa darah diakibatkan kombinasi dari predisposisi
genetik, diet yang tidak sehat, inaktivitas fisik, dan peningkatan berat badan dengan
9
distribusi sentral yang menghasilkan proses patofisiologis yang kompleks. Pasien
dengan DM tipe 2 sangat berhubungan erat dan merupakan faktor risiko dari penyakit
kardiovaskular, serebrovaskular, dan penyakit arteri perifer (Lars Ryd dkk, 2007).
Tabel 1.Kriteria yang digunakan untuk klasifikasi glukometabolik menurut
WHO (1999), ADA (1997) dan (2003)
Kriteria diagnosis DM tipe 2 berdasarkan Global guideline International
Diabetes Federation 2012 adalah glukosa darah puasa (GDP) >126 mg/dl atau 75 gr
tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan GDP >126 mg/dl dan atau 2 jam
posprandial >200 mg/dl atau HbA1c >6.5% atau glukosa darah acak >200 mg/dl
disertai dengan gejala klasik DM, dengan catatan individu asimtomatik dengan
pemeriksaan glukosa darah tunggal yang meningkat harus mengulangi pemeriksaan
kembali.
10
DM tipe 2 terjadi akibat kombinasi dari penurunan sekresi insulin dan
penurunan sensitivitas insulin. Awal terjadinya DM tipe 2 ditandai dengan resistensi
insulin yang menyebabkan hiperglikemia postprandial. Kemudian diikuti dengan
perburukan respon insulin secara bertahap terhadap konsentrasi glukosa darah. Pasien
DM tipe 2 sering mengalami obesitas dan kebanyakan tidak aktif secara fisik.
2.2. Patofisiologi DM tipe 2 dengan Atherosklerosis dan IMA
Hiperglikemia adalah abnormalitas metabolik utama pada DM tipe 2.
Hiperglikemia dengan kelainan metabolik lainnya seperti resistensi insulin dan
dislipidemia (ditunjukkan dengan peningkatan trigliserida dan HDL yang rendah)
berperan dalam inhibisi dari produksi nitric oxide (NO) dan produksi spesies oksigen
reaktif (ROS) di endotel dan otot polos pembuluh darah. Fenomena ini dinamakan
stres oksidatif ketika produksi dari spesies oksigen reaktif melebihi kemampuan sel
untuk menetralisirnya melalui mekanisme antioksidatif. Hal ini dianggap sebagai
langkah awal dari terjadinya aterosklerosis. ROS mengurangi level NO,
menyebabkan disfungsi endotel, dan juga meningkatkan berbagai molekul adhesi
intraseluler (ICAM-I dan VCAM-I). Hiperglikemia itu sendiri juga mengaktifkan
protein kinase C (PKC) yang meningkatkan ekspresi dari reseptor platelet-derived
growth factor-B dan transforming growth factor-B (TGF-B). PKC menginduksi
regulasi ekspresi siklooksigenase-2, meningkatkan produksi tromboksan dan
11
menurunkan pelepasan NO. Hiperglikemia menginduksi glikasi non-enzimatik dan
menghasilkan advanced glycation end products (AGEs).
AGE secara langsung memblok aktivitas NO dan memproduksi ROS pada
endotel pembuluh darah. Reseptor untuk AGE distimulasi karena peningkatan
nuclear factor-kB dan aktivator protein I dan juga menginduksi ekspresi gen
inflamasi dan pada akhirnya meningkatkan produksi sitokin inflamasi dan molekul
adhesi intraseluler. Keseimbangan terjadi akibat penurunan level NO dan prostasiklin
melawan peningkatan mediator inflamasi, substansi vasokonstriktor (endotelin I dan
angiotensin II), dan mediator protrombotik (tissue factor dan plasminogen activator
inhibitor-I (PAI-I)). Semua hal tersebut berkontribusi pada perubahan endotel dan
otot polos pembuluh darah yaitu vasokonstriksi, inflamasi, dan trombogenesis, dan
akhirnya menyebabkan aterosklerosis (Stratton, 2000).
Aterosklerosis koroner dan penyakit vaskular perifer meningkat pada pasien
dewasa dengan DM tipe 2 dibandingkan tanpa DM tipe 2. Kemungkinan terjadinya
aterosklerosis berkorelasi erat dengan durasi DM tipe 2 dan adanya komplikasi
mikrovaskular, panyakit vaskular perifer, dan neuropati otonomik. Pada pasien
dengan disfungsi otonom dan neuropati sensoris, persepsi angina secara subyektif
dapat menghilang, dan respon denyut jantung serta tekanan darah yang abnormal saat
istirahat dan beraktivitas (misal: inkompetensi kronotropik) sering terjadi. Ketika
terdiagnosis PJK, kejadian perubahan EKG yang diinduksi latihan sama dengan
insidensi pada pasien tanpa DM tipe 2. Pasien DM tipe 2 yang hendak mengikuti
12
latihan fisik dengan intensitas yang sedang-berat juga merupakan indikasi kelas IIA
untuk dilakukan uji latih treadmill. Penelitian lebih jauh diperlukan untuk
menentukan prosedur tes noninvasif yang optimal untuk mendiagnosis disfungsi
endotel awal dan adanya PJK yang obstruktif pada pasien DM tipe 2 (Stratton, 2000).
Reinfark lebih sering terjadi pada pasien dengan DM tipe 2 dan dengan
riwayat IMA sebelumnya. Prediktor terjadinya reinfark yang dominan secara
angiografis pada pasien yang dilakukan PCI primer adalah stenosis koroner lebih dari
30%, diseksi koroner paska PCI, dan thrombus intrakoroner paska PCI. Pasien DM
dan mereka yang menderita tingkat killip yang lebih tinggi juga lebih sering akan
menderita reinfark (Stratton, 2000).
DM tipe 2 secara khusus juga meningkatkan risiko kematian 30 hari sebanyak
40%. Pasien DM tipe 2 yang selamat juga menagalami komplikasi paska IMA yang
lebih sering, termasuk angina paska infark, perluasan infark, dan gagal jantung.
DM tipe 2 selain meningkatkan risiko terjadinya IMA, juga dapat
memperburuk prognosis pasien IMA. Meskipun terdapat perbaikan luaran klinis pada
pasien DM dan non–DM beberapa dekade terakhir, akan tetapi risiko kardiovaskular
yang berhubungan dengan DM tipe 2 tetaplah ada. Peningkatan risiko yang
berhubungan dengan IMA ini telah diobservasi terjadi pada kadar gula darah dibawah
batas atas kriteria DM tipe 2. Hal ini menimbulkan adakah penanda lain selain gula
darah yang dapat memprediksi luaran kardiovaskular seperti HbA1c (Stratton, 2000;
Vinik dkk, 2007).
13
Tabel 2. Mekanisme kerusakan endothel pada penyakit vaskular akibat diabetes
Patomekanisme
Peningkatan aktivasi NF-kB
Penurunan Nitric oxide
Penurunan bioavailibilitas prostasiklin
Peningkatan aktivitas endothelin 1
Peningkatan aktivitas angiotensin II
Peningkatan aktivitas siklooksigenase 2
Peningkatan aktivitas tromboksan A2
Peningkatan spesies oksigen reaktif
Peningkatan produk peroksidasi lipid
Penurunan relaksasi endothelium
Peningkatan ekspresi RAGE
Endotel
Otot polos dan
matriks vaskular
Peningkatan proliferasi dan migrasi intima
Peningkatan degradasi matriks
Perubahan komponen matriks
Inflamasi
Peningkatan IL-1B, IL-6, CD36, MCP-1
Peningkatan ICAM, VCAM dan selektin
Peningkatan aktivitas protein kinase C
Peningkatan AGE dan interaksi AGE/RGE
AGEs = advanced glycation end products; ICAMs = intracellular adhesion
molecules; IL = interleukin; MCP = monocyte chemoattractant protein; NF = nuclear
factor; RAGE = receptor for advanced glycation end products; VCAMs = vascular
cell adhesion molecules.
Abnormalitas metabolisme lemak juga berkontribusi terhadap peningkatan
risiko atherosklerosis yang berhubungan dengan DM tipe 2. Dislipidemia diabetes
berhubungan dengan kadar trigliserida, konsentrasi HDL yang rendah, dan
peningkatan
LDL
aterogenik,
dimana
semuanya
berkontribusi
terhadap
14
perkembangan aterosklerosis. Pertubasi sistem proteo-fibrinolitik dan biologi platelet
lebih lanjut mempengaruhi efek vaskular dari diabetes dan menyebabkan kondisi
protrombotik. Abnormalitas yang dimaksud adalah peningkatan tissue factor, faktor
VII, faktor von Willebrand, dan plasminogen activator inhibitor-1, dengan penurunan
kadar antitrombin III dan protein C. Gangguan aktivasi platelet, agregasi, morfologi,
dan life span dapat berkontribusi pada peningkatan efek trombotik dan akselerasi dari
aterosklerosis (McGuire, 2007).
Tabel 3. Pertubasi struktur dan fungsi platelet yang berhubungan dengan DM
(Lars Ryd, 2007).
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Mekanisme Perubahan Fungsi Platelet
Penurunan fluiditas membran
Perubahan homeostasis ion Ca dan Mg
Peningkatan sintesis tromboksan A2
Penurunan produksi No dan prostasiklin
Penurunan level antioksidan
Peningkatan ekspresi molekul adesi (contoh: glikoprotein IIb/IIIa, P-selectin)
Peningkatan formasi mikropartikel platelet
Peningkatan turnover platelet
2.3. Neuropati Diabetik Sebagai Komplikasi Kronis DM tipe 2
Salah satu dari komplikasi yang paling serius dari DM tipe 2 adalah neuropati
otonomik kardiovaskular atau cardiovascular autonomic neuropathy (CAN). CAN
meliputi berbagai kerusakan dari saraf jantung dan pembuluh darah, yang
menyebabkan abnormalitas dari kontrol denyut jantung dan dinamik vaskular. 15
15
penelitian menggunakan luaran yang berbeda telah mendapatkan prevalensi CAN
sebesar 1% sampai 90%. CAN dapat muncul sebagai diagnosis, dan prevalensinya
meningkat dengan umur, durasi dari DM tipe 2, dan kontrol glukosa yang buruk.
CAN dapat muncul bersamaan dengan adanya polineuropati simetris distal,
mikroangiopati dan makroangiopati.
Umur, DM tipe 2, obesitas, dan merokok merupakan faktor risiko terjadinya
variabilitas denyut jantung yang abnormal pada DM tipe 2. Hba1c, hipertensi,
polineuropati simetris distal, retinopati, dan ekspos hiperglikemia juga merupakan
faktor risiko terhadap perkembangan CAN pada DM tipe 2 (Gibbons dkk, 2002).
Manifestasi klinis CAN termasuk takikardia saat istirahat, intoleransi latihan,
hipotensi ortostatik, takikardia ortostatik dan sindroma bradikardia, dan silent
myocardial ischemia (Gibbons dkk, 2002).
1. Takikardia saat istirahat
DM dengan kerusakan vagal dapat menyebabkan kerusakan variabilitas
denyut jantung, dan pada akhirnya menyebabkan takikardia saat istirahat yang
menetap (denyut jantung istirahat dapat mencapai 90-100 kali permenit). Kelainan
denyut jantung ini paling berat disebabkan oleh kerusakan parasimpatis dibandingkan
kerusakan saraf simpatis. Denyut jantung yang tidak responsif dengan latihan sedang,
stres, dan istirahat mengindikasikan kerusakan saraf otonomik yang hampir komplit.
2. Intoleransi latihan
16
Disfungsi otonomik menurunkan toleransi latihan/aktivitas, menurunkan
respon denyut jantung dan tekanan darah, dan menumpulkan respon peningkatan
curah jantung terhadap latihan. Pasien DM tipe 2 yang menderita CAN sebaiknya
dilakukan uji latihan sebelum menjalani program latihan. Pasien dengan CAN harus
mengandalkan persepsi pernafasan mereka dan bukan denyut jantung saat latihan
untuk menghindari level intensitas latihan yang berbahaya.
3. Hipotensi ortostatik
Definisi hipotensi ortostatik adalah penurunan dari tekanan darah (30 mmHg
tekanan darah sistol dan 10 mmHg diastol) sebagai respon dari perubahan postural
dari posisi tidur ke berdiri. Gejala mulai dari asimtomatik, lemah badan, pingsan,
pusing, dan gangguan penglihatan. Perubahan posisi dari tidur ke berdiri pada
umumnya menyebabkan aktivasi baroreseptor, refleks simpatis sentral, menghasilkan
peningkatan resistensi vaskular perifer dan akselerasi denyut jantung. Pada pasien
dengan DM tipe 2, hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh kerusakan serat
vasomotor simpatis eferen, terutama pada pembuluh darah splankhnik. Hal ini
menyebabkan penurunan resistensi vaskular total.
4. Silent myocardial ischemia
Penurunan sensasi nyeri iskemik dapat mempengaruhi respon terhadap
iskemia atau infark miokard yang dapat menunda pemberian terapi yang seharusnya.
Banyak penelitian yang menyebutkan peningkatan kejadian silent ischemia pada DM
tipe 2 dengan CAN daripada tanpa CAN. Pada pasien CAN dengan penyakit jantung
17
koroner sangat berbahaya karena ambang batas yang meningkat menyebabkan pasien
membiarkan kondisi iskemia tanpa gejala yang cukup lama dan tidak terobati.
2.4. Rehabilitasi Paska IMA
Rehabilitasi paska IMA merupakan aspek yang sangat penting dan harus
diberikan pada seluruh pasien paska IMA. Rehabilitasi bertujuan untuk
mengembalikan kualitas hidup penderita sebaik mungkin, termasuk kembali bekerja.
Unsur rehabilitasi yang termasuk adalah faktor fisik, psikologis dan sosio-ekonomi.
Rehabilitasi harus dilakukan secepat mungkin setelah fase akut IMA dan diteruskan
sampai beberapa minggu dan bulan setelahnya. Program rehabilitasi bersifat
multidisiplin dan bertujuan menurunkan berbagai faktor risiko untuk PJK (Van de
Werf, 2012).
Latihan fisik paska IMA merupakan salah satu modalitas rehabilitasi
kardiovaskular yang dimasukkan dalam guideline latihan baik oleh ESC maupun
AHA. Empat mekanisme penting yang dapat menurunkan kejadian kardiovaskular
adalah: (1) memperbaiki fungsi endotel; (2) mengurangi progresivitas lesi koroner;
(3) mengurangi risiko trombogenik; dan (4) Meningkatkan kolateralisasi pembuluh
darah. Pada sebuah meta analisis, latihan fisik sebagai salah satu bagian dari
rehabilitasi koroner dapat menurunkan risiko berulangnya kejadian kardiovaskular
sebesar 26% pada pasien yang sudah diketahui menderita PJK. Selain mortalitas,
rehabilitasi latihan juga dapat meningkatkan kapasitas latihan pasien, fitnes
18
kardiorespiratorik, dan persepsi sehat pasien tersebut. Rekomendasinya adalah
dengan melakukan latihan aerobik dengan intensitas sedang selama 30 menit dengan
frekuensi 5 kali seminggu (Van de Werf, 2012).
Rekomendasi kelas I dalam latihan fisik paska IMA adalah dilakukan sebelum
memulangkan pasien untuk keperluan prognostik, peresepan aktivitas dirumah,
evaluasi terapi medis (submaksimal dalam waktu 4-6 hari setelah onset), segera
setelah pasien pulang yaitu 14-21 hari, kemudian lama setelah pasien pulang yaitu 36 minggu untuk keperluan prognostik dan dilakukan ketika latihan fisik sebelum
pulang tidak bisa dilakukan, peresepan dan rekomendasi beratnya aktivitas seharihari, dan rehabilitasi jantung (Gibbons dkk, 2002). Uji latih treadmill submaksimal
yang dimaksud adalah dilakukan hingga setidaknya mencapai denyut nadi 70% dari
prediksi denyut jantung maksimal, 120 kali permenit, hingga kapasitas fungsional 5
METs dengan menggunakan protokol modified Bruce (Perk dkk, 2007).
Uji latih treadmill paska IMA aman untuk dilakukan. Insidensi terjadinya
kejadian kardiovaskular yang fatal, termasuk IMA dan ruptur jantung adalah 0.03%,
IMA nonfatal dan henti jantung yang berhasil direrusitasi adalah 0.09%, dan aritmia
kompleks termasuk VT adalah 1.4%. Protokol terbatas gejala (symptom limited)
memiliki angka kejadian 1.9 kali lebih banyak daripada uji latih submaksimal,
meskipun secara keseluruhan kejadian fatal sangat rendah. Data keamanan paling
banyak didapatkan pada 7 hari paska IMA (Perk dkk, 2007).
19
Dasar dilakukan dan aktivitas fisik paska IMA adalah karena latihan fisik
memiliki efek yang menguntungkan terhadap berbagai respon fisiologis tubuh.
1. Efek latihan terhadap respon denyut jantung dan tekanan darah terhadap latihan
Latihan fisik dapat menurunkan kerja miokardium pada level latihan yang
submaksimal karena efek adaptasi dari sirkulasi perifer.
2. Mempertahankan dan meningkatkan kapasitas total latihan
3. Meningkatkan kapasitas latihan bebas gejala
4. Penurunan kolesterol LDL dan trigliserida dan peningkatan LDL
5. Peningkatan aktivitas fibrinolitik
6. Penurunan viskositas darah
7. Penurunan berat badan
8. Penurunan tekanan darah arteri
9. Penurunan level katekolamin
10. Peningkatan ‘fibrillation threshold’
11. Peningkatan fungsi endotel pembuluh darah
12. Peningkatan jumlah sel progenitor endotel (EPC) yang bersirkulasi dalam
pembuluh darah
13. Penurunan stress
14. Perbaikan kualitas hidup
2.5. Kapasitas Latihan dan Hemodinamik Abnormal pada Uji Latih Treadmill
20
Variabel prognostik yang diukur saat uji latih treadmill yang dapat
memprediksi luaran kardiovaskular merupakan indikator dari kebugaran tubuh secara
umum dan fungsi dari sistem saraf otonom. Metode yang telah diketahui memiliki
nilai prognostik adalah penyesuaian sederhana dari denyut jantung terhadap depresi
segmen ST, pengukuran kapasitas fungsional, kompetensi dan inkompetensi
kronotropik, pemulihan denyut jantung, dan ektopik ventrikel yang sering saat fase
pemulihan (Gibbons dkk, 2002: Arena dkk, 2007; Kligfield, 2006).
1. Kapasitas latihan
Nilai prognostik dari kapasitas latihan telah dapat dipastikan pada subyek
yang sehat yang dilakukan deteksi dini penyakit jantung koroner dan untuk
mengevaluasi pasien yang telah diketahui menderita PJK. Banyak penelitian pada
subyek sehat yang menyatakan bahwa kapasitas latihan/fungsional merupakan
prediktor independen yang kuat terhadap mortalitas kardiovakular dan mortalitas oleh
karena sebab apapun. Nilai prognostik yang independen dari kapasitas latihan juga
telah dipastikan pada laki-laki, perempuan, dan pasien usia lanjut. Kapasitas latihan
juga telah dapat menyediakan stratifikasi risiko pada subset pasien PJK tergantung
dari anatomisnya.
Durasi latihan –berapa menit pasien mampu melanjutkan latihan sesuai
protokol- adalah metode yang sangat baik untuk mengukur kapasitas latihan. Jalan
lain untuk mengukur kapasitas latihan adalah dengan mengukur ambilan oksigen saat
latihan, dimana bisa dilihat dari jumlah ekuivalen metaboliknya (MET’s, 1 MET =
21
3.5 mL O2 /kg/mnt). Bagaimanapun, hampir setiap laboratorium mengukur kapasitas
latihan dengan protokol yang spesifik (misal: protokol Bruce) berdasarkan
normogram yang dipublikasikan. Intinya adalah semakin lama pasien dapat
melanjutkan uji latih treadmill, semakin kecil kemungkinan pasien tersebut akan
meninggal oleh karena penyakit jantung koroner-atau oleh karena sebab lain.
Faktanya, variabel prognostik yang diukur melalui uji latih treadmill, kapasitas
latihan merupakan variabel yang terkuat (Miller, 2008).
Pada laki-laki yang tidak menderita PJK dengan kapasitas latihan <5 METs
memiliki risiko kematian 4,5 kali dalam waktu 6 tahun, sedangkan pada pasien
dengan PJK risikonya meningkat 4,1 kali dibandingkat pasien dengan kapasitas
latihan >8 METs. Setiap peningkatan 1 METs akan meningkatkan harapan hidup
sebesar 12%. Pada pasien perempuan asimtomatik risiko kematian pasien dengan
kapasitas latihan <5 METs adalah 3,1 dibanding >8 METs (Miller, 2008; Arena dkk,
2007).
Meskipun memiliki nilai prognostik yang terkuat, penggunaan kapasitas
latihan secara rutin juga problematik akibat kurangnya standarisasi. Kapasitas latihan
sangat berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Kapasitas latihan biasanya akan
semakin berkurang sesuai usia dan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Beberapa penelitian menggunakan batasan <5 METs ada perempuan dan
<7 METs pada laki-laki, sedangkan penelitian lainnya menyebutkan berkurangnya
kapasitas latihan bila terletak pada kuartil terendah berdasarkan kelompok umur dan
22
jenis kelamin. Pendekatan-pendekatan ini tidak sepenuhnya juga dapat diterapkan
karena perbedaan karakteristik antar populasi (Miller, 2008; Arena dkk, 2007;
Ellestad, 2003).
Telah dikembangkan juga sebuah normogram untuk mengetahui karakteristik
kapasitas latihan yang akurat, baik pada laki-laki maupun perempuan. Telah
disebutkan bahwa kapasitas latihan <85% dari nilai prediksi mengandung risiko
secara prognostik, namun hal ini baru terbukti pada populasi perempuan.
Gambar 1. Normogram yang spesifik berdasarkan jenis kelamin dan umur
(Kligfield, 2006).
2. Hipotensi durante latihan
23
Hipotensi durante latihan didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah
sistol lebih dari 10 mmHg dibandingkan saat pasien sedang beristirahat berbaring
maupun saat sedang berdiri. Hal ini merefleksikan kegagalan respon peningkatan
cardiac output dan berhubungan dengan adanya penyakit jantung koroner yang berat
(contoh: penyakit arteri left main atau three-vessel disease), adanya disfungsi sistolik
ventrikel kiri, atau keduanya.
Dubach et al, pada sebuah penelitian terhadap 2036 pasien yang dilakukan uji
latih treadmill untuk mengevaluasi penyakit jantung koroner kronis menemukan
bahwa hipotensi durante latihan berhubungan dengan tiga kali lipat peningkatan
serangan jantung dalam 2 tahun. Pada meta-analisis uji latih treadmill setelah IMA,
satu-satunya prediktor peningkatan risiko adalah keterbatasan lama latihan dan
hipotensi durante latihan (Miller, 2008; Arena dkk, 2007).
3. Inkompetensi kronotropik
Denyut jantung normalnya meningkat dengan latihan dan menurun segera
setelah latihan berhenti. Kegagalan denyut jantung untuk meningkat sesuai dengan
beratnya latihan dinamakan inkompetensi kronotropik. Inkompetensi kronotropik
dapat memprediksi mortalitas jangka panjang akibat kardiovaskular maupun sebab
yang lain. Pada pasien yang simtomatik dengan inkompetensi kronotropik risiko
kematian dalam 2 tahun mencapai 1,84 kali, sedangkan bila indeks kronotropik (CI)
kurang dari 80% memiliki risiko kematian 2,19 kali dalam 2 tahun.
24
Peningkatan awal dari denyut jantung saat latihan diperkirakan akibat
penurunan sentral dari inhibisi parasimpatis disertai peningkatan tonus simpatis.
Kemudian akan diikuti oleh peningkatan stimulasi simpatis sentral dan kadar
katekolamin yang bersirkulasi. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan
denyut jantung.
Terdapat perbedaan kriteria untuk mendefinisikan inkompetensi kronotropik
berdasarkan denyut jantung istirahat, protokol latihan, umur pasien, dan pengobatan
(terutama beta-bloker). Prediksi respon kronotropik dapat dihitung berdasarkan
indeks kronotropik (CI) yaitu: ((denyut jantung maksimal dikurangi denyut jantung
istirahat) : (220 dikurangi denyut jantung istirahat)) x 100. Perbedaan antara denyut
jantung maksimal dan istirahat disebut dengan simpanan denyut jantung (heart rate
reserve). Metode yang lebih simpel adalah dengan menghitung prediksi denyut
jantung maksimal yang dihitung dengan rumus: 220 dikurangi umur dalam tahun.
Inkompetensi kronotropik didefinisikian sebagai denyut jantung saat latihan kurang
dari 85% dan kurang dari 62% dari prediksi denyut jantung maksimal pada pasien
yang menggunakan beta-bloker, Pasien hanya mencapai kurang dari 80% dari indeks
kronotropik atau 62% pada yang menggunakan beta-bloker, atau denyut nadi tidak
mencapai 120x/menit pada uji latih treadmill yang adekuat (Miller, 2008; Arena dkk,
2007; Ellestad, 2003).
4. Pemulihan denyut jantung
25
Ketika latihan berhenti, denyut jantung akan menurun kembali ke denyut
jantung sebelum latihan dalam beberapa menit hingga jam, dengan penurunan paling
besar pada menit awal. Penurunan denyut jantung saat 30 detik sampai 1 menit
setelah latihan disebabkan karena reaktivasi parasimpatis. Karena banyaknya literatur
yang menyebutkan fungsi dan disfungsi sistem saraf parasimpatis terhadap mortalitas,
maka timbul hipotesis lemahnya pemulihan denyut jantung berhubungan dengan
mortalitas.
Ambang batas respon yang abnormal pemulihan denyut jantung adalah
sebagai berikut:
Pemulihan denyut jantung 1 menit :
Berdiri : denyut jantung menurun sekurang-kurangnya 12 denyut/menit
Tidur : sekurang-kurangnya 18 denyut/menit
Pemulihan denyut jantung 2 menit :
Duduk : denyut jantung menurun kurang dari 22 kali permenit
Ketidakmampuan denyut jantung untuk pulih (turun kembali ke frekuensi
normal) dapat memprediksi mortalitas karena sebab apapun dan kejadian
kardiovaskular termasuk henti jantung mendadak pada populasi sehat maupun pasien
dengan penyakit jantung koroner yang telah dilakukan angiografi koroner, stress
ekokardiografi, maupun imaging dengan pemeriksaan nuklir.
Pasien dengan kelainan pemulihan denyut jantung dengan dan ditemukan
iskemia pada uji latih memiliki risiko moderat mortalitas 4,16 kali dibanding yang
26
normal. Penelitian kohort lain menyebutkan kalainan pemulihan denyut jantung
meningkatkan risiko kematian sebesar 2,09 kali (Kligsfeld, 2006).
Alasan mengapa pasien dengan kelainan pemulihan denyut jantung dapat
meningkatkan risiko masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa penelitian
menyebutkan hal tersebut merupakan predisposisi terhadap aritmia yang fatal dan
kematian jantung mendadak.
Baik pemulihan denyut jantung dan respon kronotropik berhubungan dengan
perburukan derajat penyakit jantung koroner melalui angiografi, namun hubungannya
tidak begitu kuat. Salah satu penelitian observasional terbaru menyebutkan pemulihan
denyut jantung dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan iskemia yang
kemungkinan dapat membaik dengan revaskularisasi. Maksudnya bahwa pasien
iskemia dengan kelainan pemulihan denyut jantung memiliki risiko yang sangat
tinggi terhadap mortalitas dan tidak memiliki perbaikan secara mortalitas terhadap
revaskularisasi. Berbeda pada pasien dengan pemulihan denyut jantung yang normal
yang memiliki perbaikan secara mortalitas. Pertanyaan penting lainnya adalah apakah
pemulihan denyut jantung tersebut dapat dimodifikasi. Salah satu penelitian
menyebutkan perbaikan pemulihan denyut jantung dapat diperoleh dengan latihan
fisik yang optimal pada penderita paska infark miokard (Kligseld, 2006).
Beberapa variable dapat mempengaruhi pemulihan denyut jantung, termasuk
aktivitas (pendinginan setelah latihan fisik) dan posisi (tidur, duduk, berdiri).
5. Ektopik ventrikel
27
Berbagai tipe aritmia ventrikel dapat muncul pada saat uji latih treadmill:
- Takikardia ventrikel atau fibrilasi ventrikel karena penyakit jantung koroner atau
disfungsi ventrikel kiri jarang terjadi namun dapat membahayakan jiwa.
- Ektopik ventrikel singkat: kontraksi ventrikel prematur tunggal, couplet, atau
episode singkat dari takikardia ventrikel yang timbul saat atau segera setelah uji latih
treadmill lebih sering terjadi daripada takikardia ventrikel yang menetap. Nilai
signifikansi prognostik pada ektopik ini masih kontroversial. Review penelitian akhirakhir ini menemukan bahwa timbulnya ektopik ventrikel saat latihan berhubungan
dengan peningkatan mortalitas pada 13 dari 22 penelitian. 15 dari penelitianpenelitian ini mencakup pasien yang telah diketahui menderita PJK (Kligsfeld, 2006).
Terjadinya kontraksi ventrikel prematur yang sering berhubungan dengan
peningkatan risiko kematian kardiovaskular dalam selang waktu 23 tahun independen
terhadap adanya iskemia.
Frolkis et al mengevaluasi 29 ribu pasien yang dilakukan uji latih treadmill
dan menemukan prevalensi ektopik ventrikel yang cukup jarang (3% saat latihan, 2%
setelah latihan dan 2% saat dan setelah latihan). Angka mortalitas dalam 5 tahun lebih
tinggi pada pasien yang mengalami ektopik ventrikel dibandingkan yang tanpa
ektopik ventrikel (9% vs 5%, P<0.001). Kemudian hanya ektopik ventrikel setelah
latihan (bukan saat latihan) yang berhubungan dengan mortalitas (adjusted hazard
ratio 1.5; 95% CI 1.1–1.9; P = .003). Hubungan antara ektopik ventrikel dan iskemia
yang terinduksi latihan dengan fungsi ventrikel kiri tetap tidak jelas (Kligsfeld, 2006).
28
2.6. Protokol Bruce dan Modified Bruce pada Uji Latih Treadmill
Protokol treadmill harus konsisten dengan kapasitas fisik pasien dan tujuan
dari uji latih tersebut. Pada pasien yang sehat, protokol yang paling sering digunakan
adalah protokol Bruce, dan data penelitian baik diagnostik maupun prognostik telah
didapatkan dengan metode ini. Protokol maksimal treadmill Bruce memiliki periode
selama 3 menit untuk mencapai kondisi stabil sebelum meningkatkan tingkat kerja.
Pada pasien yang lebih tua atau dengan disertai penyakit jantung (misal: paska IMA,
gagal jantung kongestif) dapat dilakukan modifikasi dengan adanya dua fase
pemanasan selama 3 menit yaitu 1.7 mph tingkat 0% dan 1.7 mph dengan tingkat 5%
(protokol modified Bruce) (Chaitman, 2012).
Keterbatasan dari protokol Bruce adalah perubahan tingkat kerja yang cukup
besar antar fase dan adanya tambahan energi akibat pasien harus berlari saat sudah
mencapai fase III Bruce.Protokol Naughton dan Weber menggunakan fase 1 sampai 2
menit dengan perubahan 1 MET tiap fasenya. Protokol ini cukup baik digunakan
pada pasien dengan toleransi aktivitas yang terbatas seperti pasien gagal jantung
kongestif. Protokol lainnya yang dapat digunakan namun lebih jarang adalah protokol
ACIP (The Asymptomatic Cardiac Ischemia Pilot dan modified ACIP (mACIP)
(Chaitman, 2012).
Kebanyakan uji latih treadmill yang dilakukan 1 sampai 2 minggu paska IMA
dihentikan sampai target denyut jantung yang spesifik, biasanya 70% dari prediksi
29
denyut jantung maksimal berdasarkan umur (120 sampa 130 kali permenit) atau
hingga tingkat kerja 3 sampai 5 METs telah tercapai. Respon ini dilakukan jika belum
mendapatkan terapi reperfusi. Protokol yang dimodifikasi ini dimulai dengan tingkat
kerja awal yang rendah dan diteruskan dengan peningkatan yang tidak begitu besar.
Uji latih yang dibatasi denyut jantung maupun beban kerja dinamakan uji latih
submaksimal, yang paling baik digunakan pada periode 1 sampai 2 minggu paska
IMA dan direkomendasikan oleh guideline ACC-AHA. Uji latih akan dihentikan bila
terdapat gejala angina, sesak nafas, atau kelelahan, dan berdasarkan tanda-tanda
seperti depresi segmen ST yang signifikan, hipotensi, dan aritmia ventrikel
(Chaitman,2012).
Gambar 2. Kebutuhan oksigen dengan sepeda ergometri dan beberapa protokol
uji latih treadmill. Protokol Bruce standar dimulai dengan kecepatan 1.7 mph
30
dan tingkat 10% (5 METs), dengan perbedaan antar level yang lebih besar
daripada protokol Naughton, ACIP, dan Weber. Protokol Bruce dapat
dimodifikasi dengan menambahkan 2 fase pemanasan selama 3 menit pada
kecepatan 1.7 mph dengan tingkat 0% dan 1.7 mph dengan tingkat 5%.
DeBusk dan Haskell membandingkan protokol treadmill yang terbatas gejala
dan denyut jantung saat 3 minggu paska AMI dan menemukan bahwa keduanya
cukup aman dalam menimbulkan abnormalitas iskemia dan mengidentifikasi pasien
yang berisiko menderita serangan jantung dikemudian hari (Ellestad, 2003).
2.7. HbA1c sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien DM tipe 2 dengan
Penyakit Kardiovaskular
HbA1c atau hemoglobin terglikosilasi merupakan indikator dari konsentrasi
glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya, dan merupakan biomarker yang telah
diketahui secara luas dalam praktek sehari-hari. Data epidemiologi saat ini
menempatkan level Hba1c sebagai faktor risiko independen terhadap penyakit
kardiovaskuler di populasi umum maupun populasi sekunder. Saat ini International
Expert Committee Report (IECR) merekomendasikan pemeriksaan HbA1c sebagai
salah satu metode untuk mendiagnosis DM tipe 2 yaitu jika level Hba1c >6.5% (Cho
dkk, 2011).
31
HbA1c juga memeiliki nilai prognostik pada pasien dengan penyakit jantung
koroner atau aterosklerosis. Peningkatan HbA1c memprediksi peningkatan risiko
mortalitas jangka pendek dan jangka panjang pada pasien yag sebelumnya belum
diketahui menderita diabetes mellitus. DM tipe 2 dan kontrol glikemik akut (saat
MRS, glukosa darah puasa atau preoperatif) merupakan faktor risiko independen
terhadap prognostik pada pasien SKA atau IMA.
Meskipun hiperglikemia akut pada kebanyakan pasien tersebut merupakan
manifestasi dari gangguan metabolisme glukosa sementara, dan juga ditunjang oleh
stress akibat pelepasan kortisol dan katekolamin. Luaran yang buruk yang
berhubungan dengan hiperglikemia akut juga berkontribusi terhadap respon stress
akut dari penyakit yang berat. Level Hba1c merupakan indikator yang lebih stabil
dari kontrol glukosa darah jangka panjang dan lebih berguna dalam memprediksi
toleransi glukosa abnormal pada pasien PJK dibandingkan dengan glukosa darah saat
MRS (Cho dkk, 2011).
Penelitian terakhir yang mengevaluasi nilai prognostik Hba1c pada pasien
PJK menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Ada penelitian yang menyatakan Hba1c
bukan merupakan prediktor mortalitas secara independen, namun ada juga penelitian
yang menyebutkan Hba1c merupakan prediktor yang poten terhadiap kematian saat di
rumah sakit dan jangka panjang. Setelah dilakukan pembahasan yang sistematis
ditemukan bahwa Hba1c memiliki efek prognostik yang berbeda-beda tergantung
dari status DM tipe 2 pasien tersebut.
32
Terdapat beberapa hal yang menjelaskan perbedaan hasil penelitian tersebut.
Pertama, pasien dengan peningkatan Hba1c tanpa diketahui menderita DM tipe 2 dan
tidak diterapi sesuai DM tipe 2 juga memiliki faktor risiko lain seperti dislipidemia
atau hipertensi yang juga belum terobati sebelum MRS, sedangkan pasien yang
diketahui menderita DM tipe 2 biasanya diobati dengan insulin dan faktor risiko
lainnya. Kedua, nilai cut-off yang sama yang menandakan peningkatan Hba1c
mungkin relatif terlalu rendah untuk membedakan kondisi hiperglikemia kronis
akibat DM tipe 2 dibandingkan pasien non-DM. Ketiga, penelitan menunjukkan
perkembangan dari terapi reperfusi pada pasien IMA sehingga memperbaiki luaran
klinis pasien. Reperfusi yang efektif terutama dengan PCI dapat menurunkan efek
buruk peningkatan HbA1c pada pasien DM. Keempat, HbA1c dapat kehilangan daya
prediksinya pada pasien DM dengan gagal jantung dengan faktor risiko yang
diketahui yang lain seperti peningkatan indeks massa tubuh (IMT) dan kolesterol
total.
Sebuah penelitian melaporkan hubungan antara mortalitas dan level HbA1c
pada pasien DM tipe 2 dengan gagal jantung berbentuk U, dimana HbA1c<7.1 dan
>7.8% berhubungan dengan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Kelima, UK
Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan meskipun dengan terapi glukosa
yang intensif menghasilkan perkembangan penyakit makrovaskular yang tidak
signifikan dalam kurun waktu 5 tahun, namun dalam waktu 10 tahun menunjukkan
33
penurunan risiko IMA dan kematian secara signifikan. Sedangkan follow-up pasien
daam penelitian-penelitian ini dilakukan dalam kurang dari 5 tahun (Stratton, 2000).
Peningkatan HbA1c dihasilkan dari resistensi insulin jangka panjang;
gangguan metabolik berhubungan dengan resistensi insulin termasuk hiperglikemia,
dislipidemia, hiperkoagulabilitas dan inflamasi dapat merupakan mekanisme
patologis utama dari efek buruk peningkatan HbA1c pada kondisi PJK. Pada analisa
penelitian sebelumnya, setelah disesuaikan dengan faktor risiko prognostik yang lain
seperti umur tua, hipertensi, paska infark miokard, dan dislipidemia, HbA1c tetap
merupakan faktor independen yang berhubungan dengan peningkatan risiko
mortalitas. Namun hubungan tersebut juga dapat disebabkan karena faktor risiko
kardiovaskular yang lain. Adanya peningkatan level HbA1c, melalui hubungannya
dengan sindrom metabolik, dapat mendahului perkembangan faktor risiko lainnya,
dan faktor risiko lainnya dapat memiliki jalur proaterogenik biologis yang sama.
2.8. HbA1c Berhubungan dengan Kompleksitas dan Derajat Stenosis Arteri
Koroner
HbA1c berhubungan dengan derajat stenosis dan kompleksitas PJK yang
diukur melalui skor SYNTAX pada PJK.Berdasarkan penelitian disebutkan bahwa
tingginya HbA1c (diatas 7 %) berhubungan dengan beratnya stenosis arteri koroner
dan kompleksitas yang diukur melalui skor SYNTAX. Selain itu tingginya HbA1c
terbukti merupakan faktor risiko yang independen terhadap terjadinya hiperglikemia
34
kronis yang berhubungan dengan adanya PJK dan derajat keparahan stenosis arteri
koronernya pada pasien tanpa DM tipe 2 (Ayhan dkk, 2012).
2.9. Hubungan HbA1c dengan Neuropati Otonomik Kardiovaskular pada DM
tipe 2 dan Hemodinamik Abnormal pada Uji Latih Treadmill
DM tipe 2 dapat menyebabkan terjadinya komplikasi termasuk disfungsi
sistem saraf otonom atau neuropati otonomik. Neuropati otonomik merupakan
mekanisme dasar yang dapat menyebabkan berbagai abnormalitas hemodinamik pada
uji latih treadmill (Vinik dkk, 2007).
Peningkatan tonus parasimpatis diperkirakan merupakan mekanisme protektif
pada rehabilitasi jantung dan berhubungan dengan variabilitas denyut jantung selama
latihan. Reaktivasi vagal menimbulkan respon untuk mengembalikan denyut jantung
kembali ke fase sebelum latihan. DM tipe 2 melalui neuropati otonomik dapat
merusak mekanisme reaktivasi parasimpatis paska latihan tersebut dan menyebabkan
keterlambatan dari pemulihan denyut jantung, inkompetensi kronotropik yang
nantinya juga berhubungan dengan mortalitas jangka panjang (Tesfaye dkk, 1996).
Salah satu penelitian EURODIAB IDDM menyebutkan bahwa prevalensi
terjadinya diabetik neuropati berhubungan secara signifikan dengan umur, durasi
diabetes, kualitas dari kontrol metabolik yang ditunjukkan dengan level HbA1c,
tinggi badan, adanya diabetik retinopati proliferatif, merokok, tingginya HDL, dan
adanya penyakit kardiovaskular (semua dengan p<0.001) (Tesfye dkk, 1996).
35
Penelitian lain juga menyebutkan terdapat hubungan yang erat antara DM tipe
2 yang tidak terkontrol dengan risiko terjadinya polineuropati pada pasien DM tipe 2
yang ditunjukkan dengan kelainan konduksi saraf. Selain itu juga HbA1c menjadi
faktor yang terpenting yang dapat memprediksi risiko neuropati subklinis. Sehingga
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan HbA1c<7% untuk
menurunkan risiko komplikasi tersebut (Cheung, 2009).
Selain itu peningkatan HbA1c juga menunjukkan risiko perburukan fungsi
sistolik akibat lesi arteri koroner yang lebih kompleks, dan hal tersebut meningkatkan
pula risiko kejadian hipotensi dan timbulnya ektopik ventrikel pada uji latih treadmill
pada DM tipe 2.
2.10. Hubungan HbA1c dengan Kapasitas Latihan
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa peningkatan HbA1c meningkatkan
faktor risiko terjadinya neuropati otonomik kardiovaskular (CAN) dan kompleksnya
derajat stenosis pembuluh darah. Tingginya angka kejadian CAN dapat menyebabkan
gangguan otonomik saraf simpati, parasimpatis dan intoleransi latihan dengan beban
kerja tertentu.
2.11. Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Kapasitas Latihan dan
Hemodinamik Abnormal pada Uji Latih Treadmill
36
Faktor lain selain peningkatan HbA1c yang dapat berpengaruh terhadap
kapasitas latihan adalah umur pasien, jenis kelamin, hipertensi, dislipidemia,
dilakukannya revaskularisasi pada pasien tersebut, terapi dengan insulin, riwayat
aktivitas sebelumnya, durasi DM dan pemakaian obat-obat yang memiliki efek
kronotropik negatif.
Umur pasien dan jenis kelamin mempengaruhi kapasitas latihan maksimal
yang dapat dilakukan, dimana denyut nadi maksimal diukur dengan rumus 220
dikurangi umur. Adanya faktor risiko PJK lain selain DM tipe 2 seperti hipertensi dan
dislipidemia
kemudian
terapi
dengan
insulin
sebelumnya
serta
prosedur
revaskularisasi yang berhasil dapat mengaburkan daya prediktif dari HbA1c terhadap
prognosis pasien paska IMA oleh karena faktor risiko itu sendiri jika tidak terkontrol
dengan baik sangat berpengaruh terhadap prognosis pasien (Gibbons, 2002).
Lokasi IMA berpengaruh terhadap derajat disfungsi ventrikel kiri (misal: IMA
anterior) dan perbedaan lokasi infark berdasarkan EKG juga berpengaruh terhadap
karakteristik komplikasi masing-masing serta prognosis pasien, seperti pada IMA
inferior maka lebih sering komplikasinya berupa blok AV, dan IMA anterior sering
menyebabkan gagal jantung akut dan syok kardiogenik (Van de Werf, 2012). Namun
derajat disfungsi ventrikel kiri sendiri dikatakan tidak berhubungan langsung dengan
kapasitas latihan pasien.
Riwayat aktivitas sebelum dilakukan treadmill berpengaruh karena pasien
yang olahraga maupun aktif melakukan latihan dirumah cenderung akan memiliki
37
kapasitas latihan yang lebih tinggi daripada pasien yang sangat membatasi
aktivitasnya maupun gaya hidup sedentary. Telah dibahas sebelumnya bahwa
aktivitas fisik yang baik sebelum sakit berpengaruh terhadap perbaikan faktor risiko
kardiovaskular lainnya seperti penurunan tekanan darah, profil lemak, perbaikan
aliran regional miokard, kolateralisasi, konsumsi oksigen maksimal otot perifer dan
lain sebagainya.
Pemakaian obat-obat yang memiliki efek kronotropik negatif seperti calciumchannel blocker (verapamil, diltiazem) ataupun antiaritmia golongan III (amiodaron)
dapat mengaburkan interpretasi inkompetensi kronotropik pada pasien tersebut
karena menurunkan respon takikardia pasien terhadap uji latih treadmill (Gibbons,
2002).
Durasi menderita DM tipe 2 merupakan salah satu faktor terjadinya berbagai
komplikasi yaitu makro dan mikroangiopati sehingga berpengaruh terhadap kejadian
CAN. Semakin lama pasien tersebut menderita DM tipe 2 maka semakin tinggi risiko
terkena CAN serta komplikasi lainnya (Vinik & Ziegler, 2007).
Download