BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pasar Modal
1. Pengertian Pasar Modal
Pasar uang (money market) dan pasar modal (capital market) keduanya
merupakan bagian dari pasar keuangan (financial market) yang merupakan
sarana pengerahan dana atau tempat mempertemukan pihak yang
kelebihan dana dan pihak yang mengalami kekurangan dana dan terbentuk
untuk memudahkan pertukaran uang antara penabung dan peminjam. Pasar
modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen
keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk
utang, ekuitas (saham), instrumen derivatif, maupun instrumen lainnya.
Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 memberikan
pengertian yang lebih spesifik mengenai pasar modal, yaitu “kegiatan yang
bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan
publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan
profesi yang berkaitan dengan efek.”
Kalau pasar modal merupakan pasar untuk surat berharga jangka
panjang, maka pasar uang pada sisi yang lain merupakan pasar surat
berharga jangka pendek. Baik pasar modal maupun pasar uang merupakan
bagian dari pasar keuangan (financial market), sebagaimana ditunjukkan
pada bagan berikut:
9
PASAR KEUANGAN
(FINANCIAL MARKET)
PASAR UANG
(MONEY MARKET)
PASAR MODAL
(CAPITAL MARKET)
Gambar 2.1
Bagan Pasar Keuangan
Instrumen yang diperdagangkan di pasar modal merupakan instrumen
jangka panjang (lebih dari satu tahun) seperti saham (stock), obligasi
(bond), waran (warrant), right, reksa dana (mutual fund), dan berbagai
instrumen derivatif seperti opsi (option), kontrak berjangka (futures), dan
lain-lain. Sebaliknya, di pasar uang diperdagangkan instrumen keuangan
seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang
(SPBU), Commercial Paper, Promissory Notes, Call Money, Repurchase
Agreement, Banker’s Acceptance, Treasury Bills, dan lain-lain.
Kepemilikan saham oleh masyarakat melalui pasar modal, dapat
menjadikan masyarakat bisa menikmati keberhasilan perusahaan melalui
pembagian dividen dan peningkatan harga saham yang diharapkan.
Kepemilikan saham oleh masyarakat juga dapat memberikan pengaruh
yang positif terhadap pengelolaan perusahaan melalui pengawasan
langsung oleh masyarakat.
10
2. Manfaat Pasar Modal
Pasar modal memberikan banyak manfaat, di antaranya :
a. Menyediakan sumber pendanaan atau pembiayan (jangka panjang)
bagi dunia usaha sekaligus memungkinkan alokasi sumber dana
secara optimal.
b. Memberikan
wahana
investasi
bagi
investor
sekaligus
memungkinkan upaya diversifikasi.
c. Menyediakan indikator utama (leading indicator) bagi tren
ekonomi Negara.
d. Memungkinkan penyebaran kepemilikan perusahaan sampai
lapisan masyarakat menengah.
e. Menciptakan lapangan kerja/profesi yang menarik.
f. Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dengan
prospek yang baik.
g. Alternatif investasi yang memberikan potensi keuntungan dengan
risiko yang bisa diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas,
dan diversifikasi investasi.
h. Membina iklim keterbukaan bagi dunia usaha dan memberikan
akses kontrol sosial.
i. Mendorong pengelolaan perusahaan dengan iklim terbuka,
pemanfaatan manajemen profesional, dan penciptaan iklim
berusaha yang sehat.
11
3. Kinerja Saham
Konsep risiko tidak terlepas kaitannya dengan return, karena investor
selalu mengharapkan tingkat return yang sesuai atas setiap risiko investasi
yang dihadapi. Menurut Jones (2000) “return is yield and capital gain
(loss). “ Yield merupakan persentase penerimaan kas periodik terhadap
harga investasi periode tertentu dari suatu investasi. Untuk saham, yield
adalah persentase dividen terhadap harga saham periode sebelumnya.
Untuk obligasi, yield adalah persentase bunga pinjaman yang diperoleh
terhadap harga obligasi periode sebelumnya. Capital gain (loss), yaitu
selisih antara harga saham pada saat pembeliaan dengan harga saham pada
saat penjualan. Jadi kesimpulannya return saham adalah keuntungan yang
diperoleh
dari
kepemilikan
saham investor
atas
investasi
yang
dilakukannya, yang terdiri dari dividen dan capital gain (loss). Jogiyanto
(2003) menjelaskan bahwa terdapat dua unsur pokok return saham, yaitu
dividen dan capital gain (loss). Capital gain merupakan hasil yang
diperoleh investor dari selisih antara harga investasi sekarang relatif
dengan harga investasi periode yang lalu . Artinya jika harga investasi
sekarang lebih tinggi dari harga investasi periode lalu maka investor
dikatakan memperoleh capital gain dan sebaliknya disebut capital loss.
Sedangkan dividen merupakan hasil yang diperoleh investor akibat
memiliki saham perusahaan yang dapat diterima dalam bentuk kas (cash
dividen) maupun dalam bentuk lembar saham (stock dividen).
12
B. Return
1. Rate of Return
Menurut Jones (1997), tingkat pengembalian hasil terdiri dari beberapa
komponen yaitu :
1. Yield is the periodic cash flow (or income) on the investment, either
interest or dividens.
2. Capital gains (loss) is the change in price on a security over some
periode of time.
Adapun formulasi rate of return menurut Jogiyanto (2003), yaitu :
R=
Dimana : R
(P jt
− Pjt −1 )
Pjt −1
+ Djt
= Rate of Return
Pjt-1 = Harga saham perusahaan pada periode sebelumnya
Pjt
= Harga saham perusahaan pada periode saat ini.
Djt = Dividen yang dibagikan
2. Expected Rate of Return
Merupakan pendapatan yang diharapkan yaitu rata-rata tertimbang dari
semua tingkat pengembalian yang mungkin dengan mempergunakan
probabilitas sebagai penimbang. Adapun formulasi expected rate of return
adalah :
13
n
E(Ri) = ∑ PjRj
j=1
Dimana :
E(Ri) = Expected Rate of Return
Rj
= Rate of Return pada periode j
Pj
= Peluang terjadinya peristiwa ke j
N
= Jumlah peristiwa yang terjadi
3. Risiko
Setiap kegiatan investasi selalu disertai dengan risiko. Risiko timbul
akibat adanya ketidakpastian terhadap sesuatu yang diharapkan. Menurut
Levy dan Sarmat dalam Ainul Fitri (2008) risiko di definisikan sebagai
keadaan dimana profit yang akan terjadi tidak diketahui sebelumnya secara
pasti.
Sedangkan
penyimpangan
atau
menurut
deviasi
Jogiyanto
dari
(2003)
hasil
yang
risiko
merupakan
diterima
dengan
diekspektasikan. Van Horne dan Wachowics, Jr. (1992) mendefinisikan
risiko sebagai variabilitas return terhadap return yang diharapkan. Untuk
risiko realisasi, metode yang banyak digunakan untuk mengukur risiko ini
adalah deviasi standar (standard deviation) yang mengukur absolut
penyimpangan nilai-nilai yang sudah terjadi dengan nilai rata-ratanya
(sebagai nilai yang di ekspektasi). Standar deviasi dapat dinyatakan
sebagai berikut ini.
14
⎛
⎞
x
x
⎜
⎟
∑
i
⎠
i =1 ⎝
SD =
n −1
n
2
Dimana :
SD = standard deviation
Xi = nilai ke i
X = nilai rata-rata
n = jumlah dari observasi
Menurut Manurung dalam Ainul Fitri (2008) risiko yang dihadapi
investor di pasar modal pada prinsip yang berkaitan dengan terjadinya
variasi atau pergerakan harga (price volatility) terdiri dari :
1. Risiko daya beli (purchasing power risk) yaitu risiko yang berkaitan
dengan adanya inflasi yang menyebabkan nilai riil pendapatan menjadi
lebih kecil dan daya beli menjadi berkurang.
2. Risiko bisnis (business risk) yaitu risiko yang disebabkan oleh
menurunnya kemampuan perusahaan memperoleh laba yang akhirnya
mengurangi kemampuan perusahaan dalam membayar bunga dan
dividen.
3. Risiko suku bunga (interest rate risk) yaitu risiko yang disebabkan oleh
arah pergerakan suku bunga yang berlawanan dengan harga-harga
sekuritas pasar modal.
4. Risiko pasar (market risk) yaitu kondisi pasar yang mempengaruhi
harga-harga sekuritas. Apabila kondisi pasar sedang lesu (bearish) maka
harga saham secara keseluruhan akan cenderung mengalami penurunan.
15
5. Risiko likuiditas (liquidity risk) yaitu risiko yang berkaitan dengan
kemampuan sekuritas untuk diperjualbelikan dan diubah menjadi kas.
Sementara menurut Lukas dalam Ainul Fitri (2008) Risiko investasi
dibagi menjadi dua yaitu;
1. Risiko sistematis (systematic risk)
Merupakan risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor yang secara
bersamaan mempengaruhi semua harga asset. Risiko sistematis terbagi atas
market risk, interest rate risk, dan purchasing power risk.
2. Risiko non sistematis (unsystematic risk)
Merupakan risiko yang bersifat unik dari suatu perusahaan atau suatu
industri. Risiko ini di sebabkan oleh kejadian atau peristiwa yang dapat
dikendalikan oleh perusahaan yang berkaitan dengan kegiatan operasional
perusahaan. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya risiko non
sistematis yaitu : management risk, financial risk, dan industrial risk.
C. Nilai Tukar (exchange rate)
1. Pengertian Nilai Tukar
Menurut teori makro, nilai tukar merupakan perbandingan nilai mata
uang Negara lain atau tingkat yang disepakati penduduk kedua Negara
untuk saling melakukan perdagangan. Sedangkan Menurut para ahli nilai
tukar memiliki pengertian yang berbeda-beda diantaranya :
16
Fabozzi dan Franco (1996) : “ an exchange rate is defined as the
amount of one currency that can be exchange per unit of another currency,
or the price of one currency in items of another currency “
Menurut Madura (1995) nilai tukar merupakan harga mata uang suatu
Negara yang dinyatakan dalam mata uang Negara lainnya. Salvatore
(2008) menyatakan bahwa perdagangan antar Negara dimana masingmasing Negara memiliki alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya
perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya.
Sedangkan menurut Adiningsih, dkk (1998) nilai tukar rupiah adalah
harga rupiah terhadap mata uang Negara lain. Jadi, nilai tukar rupiah
merupakan nilai dari satu mata uang rupiah yang ditranslasikan ke dalam
mata uang Negara lain. Misalnya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar ,
nilai tukar rupiah terhadap Yen, dan lain sebagainya.
Pengusaha Amerika akan menuntut pembayaran dengan dolar Amerika
untuk hasil penjualan barang-barang mereka. Mereka memerlukan dolar
untuk menggaji karyawan, membeli bahan baku dan menginvestasikan
kembali atau membagi keuntungannya. Tidak akan ada masalah
seandainya mereka menjual barangnya kepada konsumen Amerika. Akan
tetapi, jika mereka menjual barang-barangnya ke Indonesia, orang
Indonesia harus menukarkan rupiahnya menjadi dolar Amerika, agar bisa
membayar barang-barang tersebut atau pengusaha Amerika tersebut harus
menerima rupiah. Pengusaha ini menerima rupiah hanya jika mereka bisa
menukarkan rupiahnya menjadi dolar Amerika yang mereka inginkan. Hal
17
yang sama juga berlaku bagi setiap pengusaha di semua Negara. Mereka
akhirnya harus menerima pembayaran atas barang-barang mereka yang
dijual dengan mata uang dari Negara mereka sendiri. Pada umumnya,
perdangan antar Negara hanya dapat berlangsung jika dimungkinkan
menukar mata uang satu Negara menjadi mata uang Negara lain. Yang
pada hakikatnya hanya menyangkut pertukaran mata uang dan
membutuhkan mata uang lainnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembayaran internasional yang
memerlukan pertukaran mata uang satu Negara dengan Negara lain
merupakan proses valuta asing. Valuta asing atau sering disebut kurs
(exchange rate) adalah harga dimana penduduk kedua Negara saling
melakukan perdagangan (Mankiw, 2000). Kurs menentukan jumlah unit
dari suatu mata uang yang dapat dibeli dengan satu unit mata uang lain.
Total valas yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta dari suatu
Negara yang pada umumnya disebut juga sebagai cadangan devisa Negara
tersebut dapat diketahui dari posisi neraca pembayaran internasionalnya.
Makin banyak valas atau devisa yang dimiliki oleh pemerintah dan
penduduk suatu Negara maka berarti semakin besar kemampuan Negara
tersebut melakukan transaksi ekonomi dan keuangan internasional dan
makin kuat pula nilai mata uangnya.
Menurut Salvatore dalam Ainul Fitri (2008), mata uang dalam valuta
asing dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :
18
1. Hard Currency adalah mata uang yang mempunyai nilai yang relatif
stabil, tidak sering mengalami apresiasi (kenaikkan nilai) atau
depresiasi (penurunan nilai) jika dibandingkan dengan mata uang
Negara lain. Hard currency merupakan mata uang yang dipilih dan
digunakan sebagai alat pembayaran dan satuan hitung dalam transaksi
ekonomi dan keuangan internasional. Yang temasuk hard currency
adalah mata uang dari Negara-negara industri maju seperti Dolar
Amerika Serikat (USD), Yen Japan (JPY), Euro dan Poundsterling
Inggris (GBP).
2. Soft Currency adalah mata uang lemah yang kurang laku atau jarang
digunakan sebagai alat pembayaran atau satuan hitung dalam transaksi
ekonomi dan keuangan internasional. Karena nilainya relatif kurang
stabil, serta sering terdepresiasi jika dibandingkan dengan mata uang
Negara lain. Soft currency umumnya terdiri dari mata uang Negaranegara yang sedang berkembang yang sifatnya sangat sensitive
terhadap gejolak politik, perubahan kebijakan ekonomi dan moneter
pemerintah Negara bersangkutan termasuk terhadap perubahan sosial
ekonomi internasional.
Nilai tukar atau disebut juga dengan kurs dibedakan menjadi dua yakni
1. Kurs Nominal (nominal exchange rate) yaitu harga relatif dari mata
uang satu Negara terhadap Negara lain.
19
2. Kurs Riil (real exchange rate) yaitu nilai tukar nominal yang
disesuaikan dengan tingkat harga atau rasio harga international dengan
harga domestik.
ER = e x (P*/P)
Dimana :
ER = real exchange rate
e = nominal exchange rate
P* = tingkat harga luar negeri
P = tingkat harga domestik
Menurut Hamdy (2001), penguatan atau pelemahan nilai tukar mata
uang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
1. Permintaan akan valuta asing mengalami kenaikan atau penurunan.
Hal ini umunya terjadi karena adanya kebutuhan untuk membayar
hutang yang akan jatuh tempo.
2. Penawaran akan valuta asing yang banyak akan mengakibatkan nilai
kurs valuta asing tersebut akan melemah dan nilai mata uang domestik
menguat. Hal ini dapat terjadi karena hasil ekspor yang terus mengalir
dan dananya tidak dialirkan keluar negeri oleh pihak eksportir.
3. Posisi
balance
of
payment
(BOP)
atau
neraca
pembayaran
internasional adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis
tentang semua transaksi ekonomi internasional yang meliputi
perdagangan, keuangan dan moneter antara penduduk suatu Negara
20
dan penduduk luar negeri untuk suatu periode tertentu. Dimana secara
teoritis posisi saldo perubahan cadangan devisa (dR) yang ditunjukkan
dalam BOP dapat mempengaruhi kurs valas. Dengan tanda negatif
pada saldo dR mengindikasikan posisi BOP dalam keadaan defisit atau
sebaliknya dengan tanda positif pada saldo dR maka sudah dapat
dikatakan posisi BOP surplus.
4. Pengaruh tingkat inflasi akan mempengaruhi permintaan dan
penawaran valas, dimana harga barang-barang yang semula tetap
ketika suatu saat mengalami kenaikan secara terus-menerus yang
mengakibatkan kegiatan impor barang suatu Negara terhadap Negara
lain meningkat atau menurun.
5. Pengaruh tingkat suku bunga akan mengundang investor untuk
menanamkan modalnya didalam atau diluar negeri, sehingga
permintaan valuta asing akan terpengaruh.
6. Pengaruh tingkat pendapatan terhadap kurs valas ditunjukkan dengan
penilaian bahwa jika kenaikan pendapatan masyarakat di Indonesia
tinggi sedangkan kenaikan jumlah barang yang tersedia relatif kecil,
tentu impor barang akan meningkat. Peningkatan impor ini akan
membawa efek kepada peningkatan demand valas yang pada
gilirannya akan mempengaruhi kurs valas.
7. Spekulan yang bermain di valuta asing. Bila para spekulan ini sudah
masuk ke pasar kenaikan atau penurunan kurs dapat berubah seketika
dan dapat juga bertahan lama.
21
8. Informasi yang mendukung penawaran dan permintaan valuta asing.
Setiap informasi yang berasal dari sumber yang dapat dipercaya oleh
investor akan mendorong sentimen investor untuk membeli atau
menjual valuta asing.
2. Sistem Kurs Mata Uang
Menurut teori Eitman (2004), terdapat tiga kebijakan yang dapat
dilakukan pemerintah terhadap nilai tukar mata uang Negara masingmasing :
1. Fixed exchange rate : nilai tukar mata uang suatu Negara ditetapkan
pada suatu nilai terhadap emas, mata uang Negara lain, atau rerata
tertimbang beberapa mata uang Negara lain. Dalam sistem ini
pemerintah melakukan intervensi melalui Bank Sentral untuk
mengendalikan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang
asing dengan membeli atau menjual mata uang asing agar nilai tukar
hanya berfluktuasi pada suatu batas tertentu.
2. Free floating exchange rate : nilai tukar mata uang ditentukan oleh
permintaan dan penawaran yang terjadi dipasar dengan asumsi tidak
ada campur tangan pemerintah.
3. Managed floating exchange rate : nilai tukar mata uang ditentukan
permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar, namun pemerintah
melakukan intervensi dari waktu ke waktu. Dalam melakukan
22
intervensi pemerintah tidak menentukan batas atas dan batas bawah
sehingga pemerintah dapat memanipulasi nilai tukar pada pasar.
Menurut Kuncoro (2001) dalam Ainul Fitri (2008), ada beberapa
sistem kurs mata uang yang berlaku di perekonomian internasional, yaitu :
1. Sistem kurs mengambang (floating exchange rate). Sistem kurs ini
ditentukan oleh mekanisme pasar dengan atau tanpa upaya stabilisasi
oleh otoritas moneter. Di dalam sistem kurs mengambang dikenal dua
macam kurs mengambang yaitu :
a. Mengambang bebas (murni) dimana kurs mata uang ditentukan
sepenuhnya oleh mekanisme pasar tanpa ada campur tangan
pemerintah. Sistem ini sering disebut clean floating exchange rate,
di dalam sistem ini cadangan devisa tidak diperlukan karena
otoritas
moneter
tidak
berupaya
untuk
menetapkan
atau
memanipulasi kurs.
b. Mengambang terkendali (managed or dirty floating exchange rate)
dimana otoritas moneter beperan aktif dalam menstabilkan kurs
pada tingkat tertentu. Oleh karena itu, cadangan devisa biasanya
dibutuhkan karena otoritas moneter perlu membeli atau menjual
valas untuk mempengaruhi pergerakan kurs.
2. Sistem kurs tertambat (peged exchange rate). Dalam sistem ini, suatu
Negara mengkaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang
Negara lain atau sekelompok mata uang yang biasanya merupakan
23
mata uang Negara partner dagang yang utama ‘menambatkan’ ke suatu
mata uang berarti nilai mata uang tersebut bergerak mengikuti mata
uang yang menjadi tambatannya. Jadi sebenarnya mata uang yang
ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi hanya berfluktuasi
terhadap mata uang lain, yaitu mengikuti mata uang yang menjadi
tambatannya.
3. Sistem kurs tertambat merangkak (crawlings pegs). Dalam sistem ini,
suatu Negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya
secara periodik dengan tujuan untuk bergerak menuju nilai tertentu
pada rentang waktu tertentu. Keuntungan utama sistem ini adalah suatu
Negara dapat mengatur penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih
lama dibandingkan sistem kurs tertambat. Oleh karena itu, sistem ini
dapat menghidari kejutan-kejutan terhadap perekonomian akibat
revaluasi atau devaluasi yang tiba-tiba dan tajam.
4. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Banyak Negara
terutama Negara sedang berkembang menetapkan nilai mata uangnya
berdasarkan sekeranjang mata uang. Keuntungan dari sistem ini adalah
menawarkan stabilitas mata uang suatu Negara karena pergerakan
mata uang disebar dalam sekeranjang mata uang. Seleksi mata uang
yang dimasukkan dalam ‘keranjang’ umumnya ditentukan oleh
peranannya dalam membiayai perdagangan Negara tertentu. Mata uang
yang berlainan diberi bobot yang berbeda tergantung peran relatifnya
terhadap Negara tersebut. Jadi sekeranjang mata uang bagi suatu
24
Negara dapat terdiri dari beberapa mata uang yang berbeda dengan
bobot yang berbeda.
5. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Dalam sistem ini, suatu
Negara mengumumkan suatu kurs tertentu atas mata uangnya dan
menjaga kurs ini dengan menyetujui untuk menjual atau membeli valas
dalam jumlah tidak terbatas pada kurs tersebut. Kurs biasanya tetap
atau diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang sangat sempit.
3. Sejarah Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
Sejak tahun 1970, Negara Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai
tukar, yaitu :
1. Sistem kurs tetap (1970 - November 1978)
Sesuai dengan UU No.32 Tahun 1964, Indonesia menganut sistem
nilai tukar tetap kurs resmi Rp. 250/US$, sementara kurs uang lainnya
dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap US$. Untuk menjaga
kestabilan nilai tukar pada tingkat yang ditetapkan Bank Indonesia
melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing.
2. Sistem kurs mengambang terkendali (November 1978 - Agustus 1997)
Pada masa ini, nilai tukar rupiah didasarkan pada sistem
sekeranjang mata uang (basket of currencies). Kebijakan ini diterapkan
bersama dengan dilakukannya devaluasi rupiah pada tahun 1978.
dengan sistem ini, pemerintah menetapkan kurs indikasi (pembatas)
dan membiarkan kurs bergerak dipasar dengan spread tertentu.
25
Pemerintah hanya melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi
batas atas atau batas bawah dari spread.
3. Sistem kurs mengambang bebas (Agustus 1997 - Sekarang)
Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap US$
semakin melemah. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka
mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pemerintah
memutuskan untuk menghapus rentang intervensi (sistem nilai tukar
mengambang terkendali) dan mulai menganut sistem nilai tukar
mengambang bebas (free floating exchange rate) pada tanggal 14
Agustus 1997. Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan
untuk mengurangi kegiatan intervensi pemerintah terhadap rupiah dan
memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.
4. Risiko Nilai Tukar
Merupakan resiko yang muncul karena pergerakan (dengan arah) yang
merugikan dari nilai tukar atau resiko yang disebabkan oleh perubahan
dari nilai tukar yang tidak diharapkan. Resiko nilai tukar meningkat
apabila :
1. Perusahaan mengambil posisi dengan jumlah besar dalam valuta asing.
2. Pasar menjadi lebih fluktuatif (volatile).
26
5. Foreign Exchange Exposure
Exposure adalah tingkat dimana sebuah perusahaan dipengaruhi oleh
perubahan nilai tukar. Foreign exchange exposure (Madura, 2006)
merupakan sensitivitas dari perubahan nilai real asset, liabilities dan laba
operasi perusahaan terhadap perubahan nilai tukar yang tidak diharapkan.
Ukuran exposure ditentukan dari slope koefisien regresi yang menjelaskan
hubungan sistemastis antara perubahan nilai tukar dan nilai perusahaan.
Ketika bisnis menjadi semakin global, perubahan nilai tukar
(volatilitas) menjadi penting, meskipun perusahaan beroperasi secara
domestik keseluruhan dalam pasar global. Perusahaan harus lebih
memperhatikan resiko nilai tukar dan memutuskan untuk melakukan
strategi hedging untuk mengelola dan mengontrol resiko nilai tukar.
6. Exchange Rate Risk Exposure
Ada tiga jenis exposure nilai tukar, yaitu :
1. Translation Exposure merupakan resiko perubahan laporan keuangan
perusahaan disebabkan oleh penyesuaian laporan keuangan tersebut
terhadap nilai tukar mata uang.
2. Transaction Exposure merupakan perubahan posisi finansial akibat
perubahan nilai tukar pada kontrak perusahaan yang mempengaruhi
pembayaran atau penerimaan sejumlah tetap mata uang asing di masa
yang akan datang.
27
3. Economic Exposure merupakan perubahan nilai perusahaan akibat
perubahan nilai tukar yang tidak diharapkan. Fluktuasi nilai tukar
mengakibatkan perubahan nilai Cash Flow, Income Statement, dan
Balance Sheet perusahaan. Economic exposure bergantung pada
karakteristik perusahaan dan industri.
7. Hubungan Antara Nilai Tukar Terhadap Harga Saham
Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat hubungan
antara nilai tukar dan indeks harga saham (Shapiro, 1996) yaitu :
1. Pendekatan Neraca Pembayaran (Balance of Payment Approach)
Permintaan dan penawaran dalam pasar valas dipengaruhi oleh
transaksi antar Negara yang meliputi perdagangan barang dan jasa
serta transaksi modal. Jika impor lebih besar maka neraca pembayaran
akan defisit yang berarti permintaan akan mata uang asing akan
meningkat sehingga menurunkan mata uang domestik dan sebaliknya.
Melemahnya mata uang domestik ini akan melemahkan daya beli yang
berakibat pada penurunan pendapatan perusahaan yang pada akhirnya
akan menurunkan laba. Penurunan laba ini akan menurunkan nilai
perusahaan yang berdampak pada penurunan harga saham perusahaan
tersebut.
2. Pendekatan Moneter (Monetary Approach)
Permintaan dan penawaran dalam pasar valas dipengaruhi oleh
faktor-faktor moneter seperti jumlah uang beredar, pendapatan riil,
28
perbedaan suku bunga, dan inflasi di kedua Negara. Kanaikkan supply
uang domestik akan menyebabkan kenaikkan harga domestik secara
proporsional dan lewat paritas daya beli (purchasing power parity)
akan mendorong terjadinya depresiasi mata uang domestik. Penurunan
nilai tukar mata uang domestik ini pada akhirnya akan menurunkan
pendapatan perusahaan yang berarti juga penurunan harga saham
perusahaan tersebut.
3. Pendekatan Keseimbangan Portfolio (Portfolio Balance Approach)
Pendekatan portofolio menyatakan bahwa harga saham diharapkan
akan mempengaruhi nilai tukar dalam bentuk korelasi negatif.
Peningkatan yang terus-menerus terjadi pada harga saham akan
membantu terdorongnya mata uang domestik pada pasar modal
domestik. Disini tindakan investor asing akan membeli mata uang
domestik untuk diinvestasikan pada pasar modal yang mengalami
bullish (naik) dan tekanan ini akan menyebabkan terapresiasinya mata
uang domestik dalam jangka panjang. Meningkatnya nilai tukar
(depresiasi nilai rupiah) mempunyai efek positif pada harga saham
secara keseluruhan dalam jangka pendek. Kebijakan pemerintah yang
ditempuh adalah ketika nilai tukar domestik terdepresiasi maka
pemerintah akan menaikkan suku bunga yang ditujukan guna
menghindari masyarkat membeli valas dan mendorong masyarakat
untuk menyimpan uangnya di bank. Dalam pendekatan ini, asset
dianggap saling menggantikan sempurna dan investor bisa menetukan
29
pilihan investasinya secara bebas. Perubahan kekayaan akan
berdampak pada kenaikkan permintaan asset financial dan pemilihan
portfolio yang lebih menguntungkan. Kurs valuta asing dan suku
bunga harus menyesuaikan agar tercapai keseimbangan portfolio.
Pengaruh nilai tukar akan berbeda pada perusahaan yang
berorientasi ekspor. Perusahaan akan mendapat keuntungan dengan
adanya depresiasi terhadap mata uang rupiah karena pendapatan yang
berasal dari luar negeri akan menjadi lebih besar jika ditukarkan
dengan rupiah. Bila terjadi kenaikkan nilai tukar US dollar terhadap
rupiah, perusahaan yang terdaftar di bursa akan mengeluarkan
informasi
untuk
memberikan
kompensasi
return
untuk
mengkompensasi kerugian investor asing akibat terdepresiasinya nilai
rupiah. Namun tindakan ini memerlukan waktu, sehingga pada
umunya pasar akan mendiskon harga saham terlebih dahulu sehingga
return saham akan meningkat menyamai perubahan nilai kurs US
dollar.
Dari penjelasan diatas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H1: Perubahan nilai tukar berpengaruh terhadap return saham
perusahaan manufaktur.
30
D. Tingkat Suku Bunga
1. Pengertian Suku Bunga
Suku bunga adalah jumlah bunga yang harus dibayar per unit waktu.
Dengan kata lain, masyarakat harus membayar peluang untuk meminjam
uang. Menurut Keynes dalam Wardane (2003), tingkat bunga ditentukan
oleh permintaan dan penawaran akan uang (ditentukan dalam pasar uang).
Perubahan tingkat suku bunga selanjutnya akan mempengaruhi keinginan
untuk mengadakan investasi, misalnya pada surat berharga, dimana harga
dapat naik atau turun tergantung pada tingkat bunga (bila tingkat bunga
naik maka surat berharga turun dan sebaliknya), sehingga ada
kemungkinan pemegang surat berharga akan menderita capital loss atau
gain.
a. Suku bunga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Suku bunga nominal adalah suku bunga dalam nilai uang. Suku bunga
ini merupakan nilai yang dapat dibaca secara umum. Suku bunga ini
menunjukkan sejumlah rupiah untuk setiap satu rupiah yang di
investasikan.
2) Suku bunga riil adalah suku bunga yang telah mengalami koreksi
akibat inflasi dan didefinisikan sebagai suku bunga nominal dikurangi
laju inflasi.
31
b. Unsur-unsur di dalam tingkat suku bunga, meliputi :
1) Syarat jatuh tempo
Berbagai pinjaman memiliki syarat atau jatuh tempo. Pinjaman
terpendek adalah pinjaman satu malam. Surat-surat berharga jangka
pendek biasanya mempunyai periode sampai dengan satu tahun. Suratsurat berharga jangka panjang umumnya memberikan suku bunga yang
lebih tinggi dibandingkan dengan jangka pendek.
2) Risiko
Ada pinjaman yang pada hakikatnya tidak memiliki risiko, sementara
lainnya sangat bersifat spekulatif. Obligasi-obligasi dan tagihan-tagihan
pemerintah didukung dengan penuh kepercayaan, oleh kredit dan kekuatan
pajak dari pemerintah. Unsur-unsur ini dapat dipercaya karena bunga
pinjaman pemerintah akan benar-benar dibayar. Risiko menengah terdapat
pada pinjaman atas kredit-kredit perusahaan yang kondisinya baik.
Sedangkan investasi yang beresiko mempunyai peluang gagal atau tidak
dibayar yang sangat tinggi termasuk investasi pada perusahaan yang
hampir bangkrut.
3) Likuiditas
Aktiva akan disebut likuid apabila dapat ditukarkan dengan kas secara
cepat dan hanya menimbulkan kerugian nilai yang sedikit. Sebagian besar
surat berharga, termasuk saham biasa, obligasi perusahaan dan pemerintah,
dapat diukur dengan kas secara cepat mendekati nilai sekarangnya.
32
4) Biaya-biaya administrasi, waktu serta ketelitian yang diperlukan untuk
administrasi berbagai jenis pinjaman, sangatlah berbeda. Pinjaman dengan
biaya administrasi yang tinggi akan mempunyai bunga 5 sampai 10 persen
per tahun lebih besar dari tingkat bunga lainnya.
2. Sertifikat Bank Indonesia
Sebagaimana tercantum dalam UU No.13 Tahun1968 tentang Bank
Sentral, salah satu tugas Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter
adalah membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Dalam melaksanakan tugasnya, BI menggunakan
beberapa piranti moneter yang terdiri dari Giro Wajib Minimum (Reserve
Requirement), Fasilitas Diskonto, Himbauan Moral dan Operasi Pasar
Terbuka. Dalam Operasi Pasar Terbuka BI dapat melakukan transaksi jual
beli surat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
a. Pengertian Sertifikat Bank Indonesia
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.8/13/DPM tentang
penerbitan SBI melalui lelang. Sertifikat bank Indonesia yang
selanjutnya di sebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek.
b. Tujuan Penerbitan Sertifikat bank Indonesia
Sebagai otoritas moneter, BI berkewajiban memelihara kestabilan
nilai rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang
33
kartal + uang giral di BI) yang berlebihan dapat mengurangi kestabilan
nilai rupiah. SBI diterbitkan dan dijual oleh BI untuk mengurangi
kelebihan uang primer tersebut.
c. Dasar Hukum Sertifikat Bank Indonesia
Dasar hukum penerbitan SBI adalah UU No.13 Tahun 1968
tentang Bank Sentral, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 tentang penerbitan dan
perdagangan SBI serta Intervensi Rupiah dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Bank
Indonesia – Scripless Securities Settlement system.
d. Karakteristik Sertifikat Bank Indonesia
SBI memiliki karakteristik sebagai berikut (www.bi.go.id) :
1) Jangka waktu maksimum 12 bulan dan sementara waktu hanya
diterbitkan untuk jangka waktu 1 dan 3 bulan.
2) Denominasi dari yang terendah Rp.50 juta sampai dengan yang
tertinggi Rp.100 miliar.
3) Pembelian SBI oleh masyarakat minimal Rp.100 juta dan
selebihnya dengan kelipatan Rp.50 juta.
4) Pembelian SBI didasarkan pada nilai tunai berdasarkan diskonto
murni (true discount) yang diperoleh dari rumus berikut ini :
Nilai Tunai =
Nilai Nominal x 360
360 + [Tingkat diskonto x Jangka waktu ]
5) Pembeli SBI memperoleh hasil berupa diskonto yang dibayar
dimuka.
34
Nilai Diskonto = Nilai Nominal – Nilai Tunai
6) Pajak Penghasilan atas diskonto dikenakan secara final 15%
7) SBI diterbitkan tanpa warkat (scripless).
8) SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
3. Hubungan Tingkat Suku Bunga Terhadap Harga Saham
Menurut Reilly and Brown dalam Suyanto (2007), suku bunga
merupakan harga atas dana yang dipinjam. Pada waktu perusahaan
merencanakan pemenuhan kebutuhan modal sangat dipengaruhi oleh
tingkat suku bunga yang berlaku saat ini. Apakah akan menerbitkan
sekuritas modal atau obligasi. Karena penerbitan obligasi/penambahan
hutang hanya dibenarkan jika tingkat bunganya lebih rendah dari earning
power dari penambahan modal tersebut. Suku bunga yang rendah akan
menyebabkan biaya peminjaman yang lebih rendah. Suku bunga yang
rendah akan merangsang investasi dan aktivitas ekonomi yang akan
menyebabkan harga saham meningkat. Pengaruh signifikan dari suku
bunga terhadap harga saham sebagaimana yang ditemukan Granger dalam
Suyanto (2007) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antara
suku bunga dan harga saham. Hal ini juga dibuktikan oleh D. Pratikno
(2009) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga
berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut kenaikan tingkat suku bunga dapat meningkatkan beban
perusahaan (emiten) untuk memenuhi kewajiban atau hutang kepada bank
35
sehingga dapat menurunkan laba perusahaan dan akhirnya harga saham
pun turun. Kenaikan ini juga potensial mendorong investor mengalihkan
dananya kepasar uang atau tabungan maupun deposito sehingga investasi
dilantai bursa turun yang berdampak pada penurunan harga saham.
Sedangkan sebaliknya, jika tingkat suku bunga turun, maka beban
perusahaan pun menurun sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan
yang pada akhirnya dapat meningkatkan pembagian jumlah dividen kas
kepada investor yang berdampak pada kenaikkan harga saham.
Dari penjelasan diatas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H2: Perubahan suku bunga berpengaruh terhadap return saham perusahaan
manufaktur.
E. Inflasi
1. Pengertian Inflasi
Inflasi merupakan kecenderungan dari harga-harga barang untuk naik
secara umum dan terus-menerus. Akan tetapi bila kenaikan harga hanya
dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan
tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga
barang-barang lain. Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus
dengan persentase yang sama.
Menurut Pohan dalam D. Pratikno (2009) Inflasi merupakan kanaikan
harga secara terus-menerus dan kenaikan harga yang terjadi pada seluruh
36
kelompok barang dan jasa. Kenaikan sejumlah bentuk barang yang hanya
sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi.
Dari kutipan diatas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan dimana
terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang
dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan
harga yang terus-menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu
macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang
sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi.
Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor
produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan
disebut dengan equity effect , sedangkan efek terhadap alokasi faktor
produksi dan pendapatan nasional masing-masing disebut dengan
efficiency dan output effects (Nopirin dalam D. Pratikno, 2009).
a. Efek terhadap Pendapatan (Equity Effect)
Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang
dirugikan tetapi ada juga yang diuntungkan dengan adanya inflasi.
Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh
adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk kekayaan dalam
bentuk uang kas akan menderita kerugian dengan adanya inflasi.
Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan
adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan
dengan prosentase yang lebih besar dari laju inflasi, atau mereka yang
mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya naik dengan
37
prosentase lebih besar dari pada laju inflasi. Dengan demikian inflasi
dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian
pendapatan dan kekayaan masyarakat.
b. Efek terhadap Efisiensi (Efficiency Effect)
Inflasi dapat juga merubah pola alokasi faktor-faktor produksi.
Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai
macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan
dalam produksi barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan
akan barang tertentu akan mengalami kenaikan yang lebih besar dari
barang lain, yang kemudian mendorong terjadinya kenaikan produksi
barang tertentu.
c. Efek terhadap Output (Output Effect)
Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi.
Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang
mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik.
Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun
apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper inflation) dapat mempunyai
akibat sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi
yang tinggi, nilai uang riil turun dengan drastis, masyarakat cenderung
tidak mempunyai uang kas, transaksi mengarah ke barter, yang
biasanya di ikuti dengan turunnya produksi barang. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara inflasi
38
dan output. Inflasi dapat di barengi dengan kenaikan output. Tetapi
bisa juga dibarengi dengan penurunan output.
2. Teori-teori Tentang Inflasi
Dalam jurnal akuntansi dan keuangan yang ditulis oleh Adwin S.
Atmadja dalam Hermawan (2011) menyebutkan beberapa teori tentang
inflasi, yaitu :
a. Teori Kuantitas
Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan
harapan masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya
inflasi. Dimana inti dari teori ini adalah :
1) Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang
beredar, baik uang kartal maupun uang giral.
2) Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang
beredar dan harapan masyarakat mengenai kenaikan harga dimasa
mendatang.
b. Keynesian Model
Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini menyatakan bahwa
inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan
ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat
terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang
yang tersedia (penawaran agregat). Akibatnya akan terjadi inflationary
gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang ini terjadi karena dalam
39
jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk
mengimbangi kenaikan permintaan. Oleh karenanya sama seperti
pandangan kaum monetarist, Keynesian model lebih banyak dipakai
untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek.
c. Mark-up Model
Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua
komponen yaitu cost of production dan profit margin. Dengan
demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen
yang menyusun cost of production dan atau kenaikan profit margin
akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di
pasar.
d. Teori Struktural
Di beberapa Negara berkembang, menunjukkan bahwa inflasi
bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga
merupakan fenomena
struktural atau cost push inflation. Hal ini
disebabkan karena struktur ekonomi Negara-negara berkembang pada
umumnya masih bercorak agraris. Sehingga goncangan ekonomi yang
bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen sebagai akibat dari
perubahan musim yang begitu cepat atau bencana alam. Dan hal-hal
yang
memiliki
kaitan
dengan
hubungan
luar
negeri
seperti
memburuknya term of trade, utang luar negeri dan kurs valas yang
dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik.
40
3. Hubungan Tingkat Inflasi Terhadap Harga Saham
Inflasi sangat terkait dengan penurunan kemampuan daya beli, baik
individu maupun perusahaan. Penelitian tentang hubungan antara inflasi
dengan return saham yang telah dilakukan oleh Suyanto (2007) yang
menyatakan bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap return saham.
Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa dengan tingkat inflasi yang
tinggi dapat diharapkan tingkat pengembalian investasi pada saham tinggi
pula, indikasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh korelasi positif
antara inflasi dan aktifitas ekonomi riil dibanyak Negara berkembang serta
kemungkinan adanya keterkaitan erat antara kebijakan moneter dengan
kebijakan sektor riil di Negara-negara tersebut. Namun pada penelitian
yang lain ditemukan hasil yang berbeda seperti yang dilakukan oleh
Adams et al (dalam Suyanto, 2007) yang menemukan secara signifikan
pengaruh negatif inflasi terhadap return saham. Inflasi yang tinggi bagi
perusahaan manufaktur akan menurunkan profitabilitas perusahaan
sehingga return saham pun dapat terpengaruh.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Utami dan Rahayu (dalam
Suyanto, 2007) membuktikan secara empiris pengaruh inflasi terhadap
harga saham, semakin tinggi tingkat inflasi semakin rendah return saham.
Penelitian tersebut juga dilakukan oleh
Dari penjelasan di atas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H3: Perubahan inflasi berpengaruh terhadap return saham perusahaan
manufaktur.
41
F. Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian empiris telah banyak dilakukan untuk menganalisa
tentang pengaruh variabel makro ekonomi terhadap kinerja saham. Hasilnya
ternyata memperlihatkan bahwa perubahan nilai tukar, suku bunga dan inflasi
mempunyai pengaruh yang tidak pasti atau beragam (positif atau negatif)
terhadap perusahaan (nilai perusahaan dan profitabilitas).
1. Ana Octavia (2007)
Dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda (Multiple
Regression Analysis) dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least
Square) baik secara bersama-sama ataupun secara parsial ditemukan
bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara Nilai Tukar
Rupiah/US$ dan Tingkat Suku Bunga SBI terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan di BEJ periode 2003-2005.
2. Suyanto (2007)
Dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda (Multiple
Regression Analysis) dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least
Square). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa secara
signifikan variabel bebas nilai tukar uang dan suku bunga berpengaruh
secara negatif terhadap return saham. Return saham sensitif terhadap nilai
tukar dengan arah negatif yang menunjukan perubahan return saham akan
meningkat jika nilai tukar menurun. Rendahnya nilai tukar akan
mendorong investor menanamkan modal di bursa saham sehingga return
42
saham akan naik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pergerakan harga
saham mengikuti pergerakan uang domestik.
Return saham sensitif terhadap suku bunga dengan arah negatif yang
menunjukan perubahan return saham akan mengikuti suku bunga
Indonesia. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya
suku bunga akan berdampak pada lesunya investasi dan aktivitas ekonomi
sehingga menyebabkan turunya return saham. Hal ini juga menunjukkan
bahwa variabel suku bunga berpengaruh secara dominan terhadap naik
turunnya return saham perusahaan. Sedangkan variabel bebas inflasi
berpengaruh secara positif terhadap return saham.
3. Ainul Fitri (2008)
Berdasarkan analisa hasil penelitian yang menggunakan model panel
data dengan menggunakan variabel independen nilai tukar mata uang
rupiah terhadap Dollar AS, Euro, dan Yen serta variabel dependen return
saham dan net income dapat dijelaskan bahwa pada model regresi net
income dengan tingkat keyakinan 95%, mata uang yang berpengaruh
signifikan terhadap perubahan net income pada perusahaan eksportir
adalah Dolar AS dan Yen. Sedangkan pada perusahaan non eksportir mata
uang yang berpengaruh signifikan terhadap perubahan net income adalah
Euro dan Yen. Pada model regresi return, variabel nilai tukar tidak
berpengaruh signifikan terhadap perubahan return pada perusahaan
eksportir, sedangkan pada perusahaan non eksportir hanya variabel kurs
Dolar AS yang signifikan mempengaruhi perubahan return.
43
Dengan uji t-statistik dan uji arah pada tingkat keyakinan 95%,
perubahan nilai tukar Rupiah terhadap Yen secara signifikan berpengaruh
terhadap net income perusahaan manufaktur baik eksportir maupun non
eksportir. Nilai koefisien yang negatif menunjukan bahwa depresiasi nilai
tukar Rupiah terhadap Yen akan menurunkan net income perusahaan
manufaktur. Perubahan nilai tukar Dolar AS berpengaruh signifikan dan
positif terhadap net income perusahaan eksportir artinya depresiasi dari
nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS akan meningkatkan net income
perusahaan eksportir. Sedangkan perubahan nilai tukar Rupiah terhadap
Euro berpengaruh signifikan dan positif terhadap net income perusahaan
non eksportir artinya depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Euro akan
meningkatkan net income perusahaan non eksportir. Dari ketiga mata uang
yang diteliti hanya kurs Dolar AS yang berpengaruh signifikan terhadap
tingkat return saham perusahaan non eksportir. Nilai koefisien yang
negatif menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar
AS akan menurunkan tingkat return saham perusahaan non eksportir.
4. Dedy Pratikno (2009)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan Metode
Ordinary Least Square (OLS). Hal ini digunakan untuk melihat elastisitas
variabel Independen (nilai tukar, SBI, inflasi, indeks Dow Jones) terhadap
variabel dependen Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Berdasarkan
hasil koefisien regresi masing-masing variable, maka dapat di simpulkan
bahwa tingkat pengaruh variabel Kurs, SBI dan Inflasi sangat signifikan
44
mempengaruhi IHSG. Nilai positif yang terkandung dalam variabel
tersebut mengandung arti bahwa setiap peningkatan Kurs, SBI, dan Inflasi
maka IHSG juga akan meningkat.
5. Hermawan (2011)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik analisis regresi linear berganda (Multiple Regression
Analysis) dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least Square).
Dalam penelitian ini membuktikan bahwa variabel kurs rupiah
terhadap USD dan Indeks saham Dow Jones secara parsial memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap IHSG. Sedangkan laju inflasi tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap IHSG.
45
G. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teoritis dan hasil penelitian sebelumnya, maka kerangka
pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Nilai Tukar
Suku Bunga
Return Saham
Inflasi
Gambar 2.2. Skema Kerangka Penelitian
46
H. Hipotesis Penelitian
Berpedoman pada kerangka pemikiran teoritis diatas, dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut :
H1 : Perubahan nilai tukar berpengaruh terhadap return saham perusahaan
manufaktur.
H2 : Perubahan suku bunga berpengaruh terhadap return saham perusahaan
manufaktur.
H3 : Perubahan inflasi berpengaruh terhadap return saham perusahaan
manufaktur.
H4 : Secara simultan perubahan nilai tukar, suku bunga dan inflasi
berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur.
47
Download