BAB II LANDASAN TEORI A. Pasar Modal 1. Pengertian Pasar Modal Pasar uang (money market) dan pasar modal (capital market) keduanya merupakan bagian dari pasar keuangan (financial market) yang merupakan sarana pengerahan dana atau tempat mempertemukan pihak yang kelebihan dana dan pihak yang mengalami kekurangan dana dan terbentuk untuk memudahkan pertukaran uang antara penabung dan peminjam. Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang, ekuitas (saham), instrumen derivatif, maupun instrumen lainnya. Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 memberikan pengertian yang lebih spesifik mengenai pasar modal, yaitu “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.” Kalau pasar modal merupakan pasar untuk surat berharga jangka panjang, maka pasar uang pada sisi yang lain merupakan pasar surat berharga jangka pendek. Baik pasar modal maupun pasar uang merupakan bagian dari pasar keuangan (financial market), sebagaimana ditunjukkan pada bagan berikut: 9 PASAR KEUANGAN (FINANCIAL MARKET) PASAR UANG (MONEY MARKET) PASAR MODAL (CAPITAL MARKET) Gambar 2.1 Bagan Pasar Keuangan Instrumen yang diperdagangkan di pasar modal merupakan instrumen jangka panjang (lebih dari satu tahun) seperti saham (stock), obligasi (bond), waran (warrant), right, reksa dana (mutual fund), dan berbagai instrumen derivatif seperti opsi (option), kontrak berjangka (futures), dan lain-lain. Sebaliknya, di pasar uang diperdagangkan instrumen keuangan seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SPBU), Commercial Paper, Promissory Notes, Call Money, Repurchase Agreement, Banker’s Acceptance, Treasury Bills, dan lain-lain. Kepemilikan saham oleh masyarakat melalui pasar modal, dapat menjadikan masyarakat bisa menikmati keberhasilan perusahaan melalui pembagian dividen dan peningkatan harga saham yang diharapkan. Kepemilikan saham oleh masyarakat juga dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap pengelolaan perusahaan melalui pengawasan langsung oleh masyarakat. 10 2. Manfaat Pasar Modal Pasar modal memberikan banyak manfaat, di antaranya : a. Menyediakan sumber pendanaan atau pembiayan (jangka panjang) bagi dunia usaha sekaligus memungkinkan alokasi sumber dana secara optimal. b. Memberikan wahana investasi bagi investor sekaligus memungkinkan upaya diversifikasi. c. Menyediakan indikator utama (leading indicator) bagi tren ekonomi Negara. d. Memungkinkan penyebaran kepemilikan perusahaan sampai lapisan masyarakat menengah. e. Menciptakan lapangan kerja/profesi yang menarik. f. Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dengan prospek yang baik. g. Alternatif investasi yang memberikan potensi keuntungan dengan risiko yang bisa diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas, dan diversifikasi investasi. h. Membina iklim keterbukaan bagi dunia usaha dan memberikan akses kontrol sosial. i. Mendorong pengelolaan perusahaan dengan iklim terbuka, pemanfaatan manajemen profesional, dan penciptaan iklim berusaha yang sehat. 11 3. Kinerja Saham Konsep risiko tidak terlepas kaitannya dengan return, karena investor selalu mengharapkan tingkat return yang sesuai atas setiap risiko investasi yang dihadapi. Menurut Jones (2000) “return is yield and capital gain (loss). “ Yield merupakan persentase penerimaan kas periodik terhadap harga investasi periode tertentu dari suatu investasi. Untuk saham, yield adalah persentase dividen terhadap harga saham periode sebelumnya. Untuk obligasi, yield adalah persentase bunga pinjaman yang diperoleh terhadap harga obligasi periode sebelumnya. Capital gain (loss), yaitu selisih antara harga saham pada saat pembeliaan dengan harga saham pada saat penjualan. Jadi kesimpulannya return saham adalah keuntungan yang diperoleh dari kepemilikan saham investor atas investasi yang dilakukannya, yang terdiri dari dividen dan capital gain (loss). Jogiyanto (2003) menjelaskan bahwa terdapat dua unsur pokok return saham, yaitu dividen dan capital gain (loss). Capital gain merupakan hasil yang diperoleh investor dari selisih antara harga investasi sekarang relatif dengan harga investasi periode yang lalu . Artinya jika harga investasi sekarang lebih tinggi dari harga investasi periode lalu maka investor dikatakan memperoleh capital gain dan sebaliknya disebut capital loss. Sedangkan dividen merupakan hasil yang diperoleh investor akibat memiliki saham perusahaan yang dapat diterima dalam bentuk kas (cash dividen) maupun dalam bentuk lembar saham (stock dividen). 12 B. Return 1. Rate of Return Menurut Jones (1997), tingkat pengembalian hasil terdiri dari beberapa komponen yaitu : 1. Yield is the periodic cash flow (or income) on the investment, either interest or dividens. 2. Capital gains (loss) is the change in price on a security over some periode of time. Adapun formulasi rate of return menurut Jogiyanto (2003), yaitu : R= Dimana : R (P jt − Pjt −1 ) Pjt −1 + Djt = Rate of Return Pjt-1 = Harga saham perusahaan pada periode sebelumnya Pjt = Harga saham perusahaan pada periode saat ini. Djt = Dividen yang dibagikan 2. Expected Rate of Return Merupakan pendapatan yang diharapkan yaitu rata-rata tertimbang dari semua tingkat pengembalian yang mungkin dengan mempergunakan probabilitas sebagai penimbang. Adapun formulasi expected rate of return adalah : 13 n E(Ri) = ∑ PjRj j=1 Dimana : E(Ri) = Expected Rate of Return Rj = Rate of Return pada periode j Pj = Peluang terjadinya peristiwa ke j N = Jumlah peristiwa yang terjadi 3. Risiko Setiap kegiatan investasi selalu disertai dengan risiko. Risiko timbul akibat adanya ketidakpastian terhadap sesuatu yang diharapkan. Menurut Levy dan Sarmat dalam Ainul Fitri (2008) risiko di definisikan sebagai keadaan dimana profit yang akan terjadi tidak diketahui sebelumnya secara pasti. Sedangkan penyimpangan atau menurut deviasi Jogiyanto dari (2003) hasil yang risiko merupakan diterima dengan diekspektasikan. Van Horne dan Wachowics, Jr. (1992) mendefinisikan risiko sebagai variabilitas return terhadap return yang diharapkan. Untuk risiko realisasi, metode yang banyak digunakan untuk mengukur risiko ini adalah deviasi standar (standard deviation) yang mengukur absolut penyimpangan nilai-nilai yang sudah terjadi dengan nilai rata-ratanya (sebagai nilai yang di ekspektasi). Standar deviasi dapat dinyatakan sebagai berikut ini. 14 ⎛ ⎞ x x ⎜ ⎟ ∑ i ⎠ i =1 ⎝ SD = n −1 n 2 Dimana : SD = standard deviation Xi = nilai ke i X = nilai rata-rata n = jumlah dari observasi Menurut Manurung dalam Ainul Fitri (2008) risiko yang dihadapi investor di pasar modal pada prinsip yang berkaitan dengan terjadinya variasi atau pergerakan harga (price volatility) terdiri dari : 1. Risiko daya beli (purchasing power risk) yaitu risiko yang berkaitan dengan adanya inflasi yang menyebabkan nilai riil pendapatan menjadi lebih kecil dan daya beli menjadi berkurang. 2. Risiko bisnis (business risk) yaitu risiko yang disebabkan oleh menurunnya kemampuan perusahaan memperoleh laba yang akhirnya mengurangi kemampuan perusahaan dalam membayar bunga dan dividen. 3. Risiko suku bunga (interest rate risk) yaitu risiko yang disebabkan oleh arah pergerakan suku bunga yang berlawanan dengan harga-harga sekuritas pasar modal. 4. Risiko pasar (market risk) yaitu kondisi pasar yang mempengaruhi harga-harga sekuritas. Apabila kondisi pasar sedang lesu (bearish) maka harga saham secara keseluruhan akan cenderung mengalami penurunan. 15 5. Risiko likuiditas (liquidity risk) yaitu risiko yang berkaitan dengan kemampuan sekuritas untuk diperjualbelikan dan diubah menjadi kas. Sementara menurut Lukas dalam Ainul Fitri (2008) Risiko investasi dibagi menjadi dua yaitu; 1. Risiko sistematis (systematic risk) Merupakan risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor yang secara bersamaan mempengaruhi semua harga asset. Risiko sistematis terbagi atas market risk, interest rate risk, dan purchasing power risk. 2. Risiko non sistematis (unsystematic risk) Merupakan risiko yang bersifat unik dari suatu perusahaan atau suatu industri. Risiko ini di sebabkan oleh kejadian atau peristiwa yang dapat dikendalikan oleh perusahaan yang berkaitan dengan kegiatan operasional perusahaan. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya risiko non sistematis yaitu : management risk, financial risk, dan industrial risk. C. Nilai Tukar (exchange rate) 1. Pengertian Nilai Tukar Menurut teori makro, nilai tukar merupakan perbandingan nilai mata uang Negara lain atau tingkat yang disepakati penduduk kedua Negara untuk saling melakukan perdagangan. Sedangkan Menurut para ahli nilai tukar memiliki pengertian yang berbeda-beda diantaranya : 16 Fabozzi dan Franco (1996) : “ an exchange rate is defined as the amount of one currency that can be exchange per unit of another currency, or the price of one currency in items of another currency “ Menurut Madura (1995) nilai tukar merupakan harga mata uang suatu Negara yang dinyatakan dalam mata uang Negara lainnya. Salvatore (2008) menyatakan bahwa perdagangan antar Negara dimana masingmasing Negara memiliki alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya. Sedangkan menurut Adiningsih, dkk (1998) nilai tukar rupiah adalah harga rupiah terhadap mata uang Negara lain. Jadi, nilai tukar rupiah merupakan nilai dari satu mata uang rupiah yang ditranslasikan ke dalam mata uang Negara lain. Misalnya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar , nilai tukar rupiah terhadap Yen, dan lain sebagainya. Pengusaha Amerika akan menuntut pembayaran dengan dolar Amerika untuk hasil penjualan barang-barang mereka. Mereka memerlukan dolar untuk menggaji karyawan, membeli bahan baku dan menginvestasikan kembali atau membagi keuntungannya. Tidak akan ada masalah seandainya mereka menjual barangnya kepada konsumen Amerika. Akan tetapi, jika mereka menjual barang-barangnya ke Indonesia, orang Indonesia harus menukarkan rupiahnya menjadi dolar Amerika, agar bisa membayar barang-barang tersebut atau pengusaha Amerika tersebut harus menerima rupiah. Pengusaha ini menerima rupiah hanya jika mereka bisa menukarkan rupiahnya menjadi dolar Amerika yang mereka inginkan. Hal 17 yang sama juga berlaku bagi setiap pengusaha di semua Negara. Mereka akhirnya harus menerima pembayaran atas barang-barang mereka yang dijual dengan mata uang dari Negara mereka sendiri. Pada umumnya, perdangan antar Negara hanya dapat berlangsung jika dimungkinkan menukar mata uang satu Negara menjadi mata uang Negara lain. Yang pada hakikatnya hanya menyangkut pertukaran mata uang dan membutuhkan mata uang lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembayaran internasional yang memerlukan pertukaran mata uang satu Negara dengan Negara lain merupakan proses valuta asing. Valuta asing atau sering disebut kurs (exchange rate) adalah harga dimana penduduk kedua Negara saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2000). Kurs menentukan jumlah unit dari suatu mata uang yang dapat dibeli dengan satu unit mata uang lain. Total valas yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta dari suatu Negara yang pada umumnya disebut juga sebagai cadangan devisa Negara tersebut dapat diketahui dari posisi neraca pembayaran internasionalnya. Makin banyak valas atau devisa yang dimiliki oleh pemerintah dan penduduk suatu Negara maka berarti semakin besar kemampuan Negara tersebut melakukan transaksi ekonomi dan keuangan internasional dan makin kuat pula nilai mata uangnya. Menurut Salvatore dalam Ainul Fitri (2008), mata uang dalam valuta asing dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : 18 1. Hard Currency adalah mata uang yang mempunyai nilai yang relatif stabil, tidak sering mengalami apresiasi (kenaikkan nilai) atau depresiasi (penurunan nilai) jika dibandingkan dengan mata uang Negara lain. Hard currency merupakan mata uang yang dipilih dan digunakan sebagai alat pembayaran dan satuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional. Yang temasuk hard currency adalah mata uang dari Negara-negara industri maju seperti Dolar Amerika Serikat (USD), Yen Japan (JPY), Euro dan Poundsterling Inggris (GBP). 2. Soft Currency adalah mata uang lemah yang kurang laku atau jarang digunakan sebagai alat pembayaran atau satuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional. Karena nilainya relatif kurang stabil, serta sering terdepresiasi jika dibandingkan dengan mata uang Negara lain. Soft currency umumnya terdiri dari mata uang Negaranegara yang sedang berkembang yang sifatnya sangat sensitive terhadap gejolak politik, perubahan kebijakan ekonomi dan moneter pemerintah Negara bersangkutan termasuk terhadap perubahan sosial ekonomi internasional. Nilai tukar atau disebut juga dengan kurs dibedakan menjadi dua yakni 1. Kurs Nominal (nominal exchange rate) yaitu harga relatif dari mata uang satu Negara terhadap Negara lain. 19 2. Kurs Riil (real exchange rate) yaitu nilai tukar nominal yang disesuaikan dengan tingkat harga atau rasio harga international dengan harga domestik. ER = e x (P*/P) Dimana : ER = real exchange rate e = nominal exchange rate P* = tingkat harga luar negeri P = tingkat harga domestik Menurut Hamdy (2001), penguatan atau pelemahan nilai tukar mata uang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1. Permintaan akan valuta asing mengalami kenaikan atau penurunan. Hal ini umunya terjadi karena adanya kebutuhan untuk membayar hutang yang akan jatuh tempo. 2. Penawaran akan valuta asing yang banyak akan mengakibatkan nilai kurs valuta asing tersebut akan melemah dan nilai mata uang domestik menguat. Hal ini dapat terjadi karena hasil ekspor yang terus mengalir dan dananya tidak dialirkan keluar negeri oleh pihak eksportir. 3. Posisi balance of payment (BOP) atau neraca pembayaran internasional adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang semua transaksi ekonomi internasional yang meliputi perdagangan, keuangan dan moneter antara penduduk suatu Negara 20 dan penduduk luar negeri untuk suatu periode tertentu. Dimana secara teoritis posisi saldo perubahan cadangan devisa (dR) yang ditunjukkan dalam BOP dapat mempengaruhi kurs valas. Dengan tanda negatif pada saldo dR mengindikasikan posisi BOP dalam keadaan defisit atau sebaliknya dengan tanda positif pada saldo dR maka sudah dapat dikatakan posisi BOP surplus. 4. Pengaruh tingkat inflasi akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valas, dimana harga barang-barang yang semula tetap ketika suatu saat mengalami kenaikan secara terus-menerus yang mengakibatkan kegiatan impor barang suatu Negara terhadap Negara lain meningkat atau menurun. 5. Pengaruh tingkat suku bunga akan mengundang investor untuk menanamkan modalnya didalam atau diluar negeri, sehingga permintaan valuta asing akan terpengaruh. 6. Pengaruh tingkat pendapatan terhadap kurs valas ditunjukkan dengan penilaian bahwa jika kenaikan pendapatan masyarakat di Indonesia tinggi sedangkan kenaikan jumlah barang yang tersedia relatif kecil, tentu impor barang akan meningkat. Peningkatan impor ini akan membawa efek kepada peningkatan demand valas yang pada gilirannya akan mempengaruhi kurs valas. 7. Spekulan yang bermain di valuta asing. Bila para spekulan ini sudah masuk ke pasar kenaikan atau penurunan kurs dapat berubah seketika dan dapat juga bertahan lama. 21 8. Informasi yang mendukung penawaran dan permintaan valuta asing. Setiap informasi yang berasal dari sumber yang dapat dipercaya oleh investor akan mendorong sentimen investor untuk membeli atau menjual valuta asing. 2. Sistem Kurs Mata Uang Menurut teori Eitman (2004), terdapat tiga kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah terhadap nilai tukar mata uang Negara masingmasing : 1. Fixed exchange rate : nilai tukar mata uang suatu Negara ditetapkan pada suatu nilai terhadap emas, mata uang Negara lain, atau rerata tertimbang beberapa mata uang Negara lain. Dalam sistem ini pemerintah melakukan intervensi melalui Bank Sentral untuk mengendalikan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing dengan membeli atau menjual mata uang asing agar nilai tukar hanya berfluktuasi pada suatu batas tertentu. 2. Free floating exchange rate : nilai tukar mata uang ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang terjadi dipasar dengan asumsi tidak ada campur tangan pemerintah. 3. Managed floating exchange rate : nilai tukar mata uang ditentukan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar, namun pemerintah melakukan intervensi dari waktu ke waktu. Dalam melakukan 22 intervensi pemerintah tidak menentukan batas atas dan batas bawah sehingga pemerintah dapat memanipulasi nilai tukar pada pasar. Menurut Kuncoro (2001) dalam Ainul Fitri (2008), ada beberapa sistem kurs mata uang yang berlaku di perekonomian internasional, yaitu : 1. Sistem kurs mengambang (floating exchange rate). Sistem kurs ini ditentukan oleh mekanisme pasar dengan atau tanpa upaya stabilisasi oleh otoritas moneter. Di dalam sistem kurs mengambang dikenal dua macam kurs mengambang yaitu : a. Mengambang bebas (murni) dimana kurs mata uang ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar tanpa ada campur tangan pemerintah. Sistem ini sering disebut clean floating exchange rate, di dalam sistem ini cadangan devisa tidak diperlukan karena otoritas moneter tidak berupaya untuk menetapkan atau memanipulasi kurs. b. Mengambang terkendali (managed or dirty floating exchange rate) dimana otoritas moneter beperan aktif dalam menstabilkan kurs pada tingkat tertentu. Oleh karena itu, cadangan devisa biasanya dibutuhkan karena otoritas moneter perlu membeli atau menjual valas untuk mempengaruhi pergerakan kurs. 2. Sistem kurs tertambat (peged exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara mengkaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang Negara lain atau sekelompok mata uang yang biasanya merupakan 23 mata uang Negara partner dagang yang utama ‘menambatkan’ ke suatu mata uang berarti nilai mata uang tersebut bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. Jadi sebenarnya mata uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi hanya berfluktuasi terhadap mata uang lain, yaitu mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. 3. Sistem kurs tertambat merangkak (crawlings pegs). Dalam sistem ini, suatu Negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya secara periodik dengan tujuan untuk bergerak menuju nilai tertentu pada rentang waktu tertentu. Keuntungan utama sistem ini adalah suatu Negara dapat mengatur penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih lama dibandingkan sistem kurs tertambat. Oleh karena itu, sistem ini dapat menghidari kejutan-kejutan terhadap perekonomian akibat revaluasi atau devaluasi yang tiba-tiba dan tajam. 4. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Banyak Negara terutama Negara sedang berkembang menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan sekeranjang mata uang. Keuntungan dari sistem ini adalah menawarkan stabilitas mata uang suatu Negara karena pergerakan mata uang disebar dalam sekeranjang mata uang. Seleksi mata uang yang dimasukkan dalam ‘keranjang’ umumnya ditentukan oleh peranannya dalam membiayai perdagangan Negara tertentu. Mata uang yang berlainan diberi bobot yang berbeda tergantung peran relatifnya terhadap Negara tersebut. Jadi sekeranjang mata uang bagi suatu 24 Negara dapat terdiri dari beberapa mata uang yang berbeda dengan bobot yang berbeda. 5. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara mengumumkan suatu kurs tertentu atas mata uangnya dan menjaga kurs ini dengan menyetujui untuk menjual atau membeli valas dalam jumlah tidak terbatas pada kurs tersebut. Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang sangat sempit. 3. Sejarah Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia Sejak tahun 1970, Negara Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu : 1. Sistem kurs tetap (1970 - November 1978) Sesuai dengan UU No.32 Tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap kurs resmi Rp. 250/US$, sementara kurs uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap US$. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang ditetapkan Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. 2. Sistem kurs mengambang terkendali (November 1978 - Agustus 1997) Pada masa ini, nilai tukar rupiah didasarkan pada sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Kebijakan ini diterapkan bersama dengan dilakukannya devaluasi rupiah pada tahun 1978. dengan sistem ini, pemerintah menetapkan kurs indikasi (pembatas) dan membiarkan kurs bergerak dipasar dengan spread tertentu. 25 Pemerintah hanya melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah dari spread. 3. Sistem kurs mengambang bebas (Agustus 1997 - Sekarang) Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap US$ semakin melemah. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi (sistem nilai tukar mengambang terkendali) dan mulai menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) pada tanggal 14 Agustus 1997. Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk mengurangi kegiatan intervensi pemerintah terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri. 4. Risiko Nilai Tukar Merupakan resiko yang muncul karena pergerakan (dengan arah) yang merugikan dari nilai tukar atau resiko yang disebabkan oleh perubahan dari nilai tukar yang tidak diharapkan. Resiko nilai tukar meningkat apabila : 1. Perusahaan mengambil posisi dengan jumlah besar dalam valuta asing. 2. Pasar menjadi lebih fluktuatif (volatile). 26 5. Foreign Exchange Exposure Exposure adalah tingkat dimana sebuah perusahaan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar. Foreign exchange exposure (Madura, 2006) merupakan sensitivitas dari perubahan nilai real asset, liabilities dan laba operasi perusahaan terhadap perubahan nilai tukar yang tidak diharapkan. Ukuran exposure ditentukan dari slope koefisien regresi yang menjelaskan hubungan sistemastis antara perubahan nilai tukar dan nilai perusahaan. Ketika bisnis menjadi semakin global, perubahan nilai tukar (volatilitas) menjadi penting, meskipun perusahaan beroperasi secara domestik keseluruhan dalam pasar global. Perusahaan harus lebih memperhatikan resiko nilai tukar dan memutuskan untuk melakukan strategi hedging untuk mengelola dan mengontrol resiko nilai tukar. 6. Exchange Rate Risk Exposure Ada tiga jenis exposure nilai tukar, yaitu : 1. Translation Exposure merupakan resiko perubahan laporan keuangan perusahaan disebabkan oleh penyesuaian laporan keuangan tersebut terhadap nilai tukar mata uang. 2. Transaction Exposure merupakan perubahan posisi finansial akibat perubahan nilai tukar pada kontrak perusahaan yang mempengaruhi pembayaran atau penerimaan sejumlah tetap mata uang asing di masa yang akan datang. 27 3. Economic Exposure merupakan perubahan nilai perusahaan akibat perubahan nilai tukar yang tidak diharapkan. Fluktuasi nilai tukar mengakibatkan perubahan nilai Cash Flow, Income Statement, dan Balance Sheet perusahaan. Economic exposure bergantung pada karakteristik perusahaan dan industri. 7. Hubungan Antara Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat hubungan antara nilai tukar dan indeks harga saham (Shapiro, 1996) yaitu : 1. Pendekatan Neraca Pembayaran (Balance of Payment Approach) Permintaan dan penawaran dalam pasar valas dipengaruhi oleh transaksi antar Negara yang meliputi perdagangan barang dan jasa serta transaksi modal. Jika impor lebih besar maka neraca pembayaran akan defisit yang berarti permintaan akan mata uang asing akan meningkat sehingga menurunkan mata uang domestik dan sebaliknya. Melemahnya mata uang domestik ini akan melemahkan daya beli yang berakibat pada penurunan pendapatan perusahaan yang pada akhirnya akan menurunkan laba. Penurunan laba ini akan menurunkan nilai perusahaan yang berdampak pada penurunan harga saham perusahaan tersebut. 2. Pendekatan Moneter (Monetary Approach) Permintaan dan penawaran dalam pasar valas dipengaruhi oleh faktor-faktor moneter seperti jumlah uang beredar, pendapatan riil, 28 perbedaan suku bunga, dan inflasi di kedua Negara. Kanaikkan supply uang domestik akan menyebabkan kenaikkan harga domestik secara proporsional dan lewat paritas daya beli (purchasing power parity) akan mendorong terjadinya depresiasi mata uang domestik. Penurunan nilai tukar mata uang domestik ini pada akhirnya akan menurunkan pendapatan perusahaan yang berarti juga penurunan harga saham perusahaan tersebut. 3. Pendekatan Keseimbangan Portfolio (Portfolio Balance Approach) Pendekatan portofolio menyatakan bahwa harga saham diharapkan akan mempengaruhi nilai tukar dalam bentuk korelasi negatif. Peningkatan yang terus-menerus terjadi pada harga saham akan membantu terdorongnya mata uang domestik pada pasar modal domestik. Disini tindakan investor asing akan membeli mata uang domestik untuk diinvestasikan pada pasar modal yang mengalami bullish (naik) dan tekanan ini akan menyebabkan terapresiasinya mata uang domestik dalam jangka panjang. Meningkatnya nilai tukar (depresiasi nilai rupiah) mempunyai efek positif pada harga saham secara keseluruhan dalam jangka pendek. Kebijakan pemerintah yang ditempuh adalah ketika nilai tukar domestik terdepresiasi maka pemerintah akan menaikkan suku bunga yang ditujukan guna menghindari masyarkat membeli valas dan mendorong masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank. Dalam pendekatan ini, asset dianggap saling menggantikan sempurna dan investor bisa menetukan 29 pilihan investasinya secara bebas. Perubahan kekayaan akan berdampak pada kenaikkan permintaan asset financial dan pemilihan portfolio yang lebih menguntungkan. Kurs valuta asing dan suku bunga harus menyesuaikan agar tercapai keseimbangan portfolio. Pengaruh nilai tukar akan berbeda pada perusahaan yang berorientasi ekspor. Perusahaan akan mendapat keuntungan dengan adanya depresiasi terhadap mata uang rupiah karena pendapatan yang berasal dari luar negeri akan menjadi lebih besar jika ditukarkan dengan rupiah. Bila terjadi kenaikkan nilai tukar US dollar terhadap rupiah, perusahaan yang terdaftar di bursa akan mengeluarkan informasi untuk memberikan kompensasi return untuk mengkompensasi kerugian investor asing akibat terdepresiasinya nilai rupiah. Namun tindakan ini memerlukan waktu, sehingga pada umunya pasar akan mendiskon harga saham terlebih dahulu sehingga return saham akan meningkat menyamai perubahan nilai kurs US dollar. Dari penjelasan diatas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut : H1: Perubahan nilai tukar berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. 30 D. Tingkat Suku Bunga 1. Pengertian Suku Bunga Suku bunga adalah jumlah bunga yang harus dibayar per unit waktu. Dengan kata lain, masyarakat harus membayar peluang untuk meminjam uang. Menurut Keynes dalam Wardane (2003), tingkat bunga ditentukan oleh permintaan dan penawaran akan uang (ditentukan dalam pasar uang). Perubahan tingkat suku bunga selanjutnya akan mempengaruhi keinginan untuk mengadakan investasi, misalnya pada surat berharga, dimana harga dapat naik atau turun tergantung pada tingkat bunga (bila tingkat bunga naik maka surat berharga turun dan sebaliknya), sehingga ada kemungkinan pemegang surat berharga akan menderita capital loss atau gain. a. Suku bunga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Suku bunga nominal adalah suku bunga dalam nilai uang. Suku bunga ini merupakan nilai yang dapat dibaca secara umum. Suku bunga ini menunjukkan sejumlah rupiah untuk setiap satu rupiah yang di investasikan. 2) Suku bunga riil adalah suku bunga yang telah mengalami koreksi akibat inflasi dan didefinisikan sebagai suku bunga nominal dikurangi laju inflasi. 31 b. Unsur-unsur di dalam tingkat suku bunga, meliputi : 1) Syarat jatuh tempo Berbagai pinjaman memiliki syarat atau jatuh tempo. Pinjaman terpendek adalah pinjaman satu malam. Surat-surat berharga jangka pendek biasanya mempunyai periode sampai dengan satu tahun. Suratsurat berharga jangka panjang umumnya memberikan suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan jangka pendek. 2) Risiko Ada pinjaman yang pada hakikatnya tidak memiliki risiko, sementara lainnya sangat bersifat spekulatif. Obligasi-obligasi dan tagihan-tagihan pemerintah didukung dengan penuh kepercayaan, oleh kredit dan kekuatan pajak dari pemerintah. Unsur-unsur ini dapat dipercaya karena bunga pinjaman pemerintah akan benar-benar dibayar. Risiko menengah terdapat pada pinjaman atas kredit-kredit perusahaan yang kondisinya baik. Sedangkan investasi yang beresiko mempunyai peluang gagal atau tidak dibayar yang sangat tinggi termasuk investasi pada perusahaan yang hampir bangkrut. 3) Likuiditas Aktiva akan disebut likuid apabila dapat ditukarkan dengan kas secara cepat dan hanya menimbulkan kerugian nilai yang sedikit. Sebagian besar surat berharga, termasuk saham biasa, obligasi perusahaan dan pemerintah, dapat diukur dengan kas secara cepat mendekati nilai sekarangnya. 32 4) Biaya-biaya administrasi, waktu serta ketelitian yang diperlukan untuk administrasi berbagai jenis pinjaman, sangatlah berbeda. Pinjaman dengan biaya administrasi yang tinggi akan mempunyai bunga 5 sampai 10 persen per tahun lebih besar dari tingkat bunga lainnya. 2. Sertifikat Bank Indonesia Sebagaimana tercantum dalam UU No.13 Tahun1968 tentang Bank Sentral, salah satu tugas Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter adalah membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam melaksanakan tugasnya, BI menggunakan beberapa piranti moneter yang terdiri dari Giro Wajib Minimum (Reserve Requirement), Fasilitas Diskonto, Himbauan Moral dan Operasi Pasar Terbuka. Dalam Operasi Pasar Terbuka BI dapat melakukan transaksi jual beli surat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). a. Pengertian Sertifikat Bank Indonesia Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.8/13/DPM tentang penerbitan SBI melalui lelang. Sertifikat bank Indonesia yang selanjutnya di sebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. b. Tujuan Penerbitan Sertifikat bank Indonesia Sebagai otoritas moneter, BI berkewajiban memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang 33 kartal + uang giral di BI) yang berlebihan dapat mengurangi kestabilan nilai rupiah. SBI diterbitkan dan dijual oleh BI untuk mengurangi kelebihan uang primer tersebut. c. Dasar Hukum Sertifikat Bank Indonesia Dasar hukum penerbitan SBI adalah UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 tentang penerbitan dan perdagangan SBI serta Intervensi Rupiah dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement system. d. Karakteristik Sertifikat Bank Indonesia SBI memiliki karakteristik sebagai berikut (www.bi.go.id) : 1) Jangka waktu maksimum 12 bulan dan sementara waktu hanya diterbitkan untuk jangka waktu 1 dan 3 bulan. 2) Denominasi dari yang terendah Rp.50 juta sampai dengan yang tertinggi Rp.100 miliar. 3) Pembelian SBI oleh masyarakat minimal Rp.100 juta dan selebihnya dengan kelipatan Rp.50 juta. 4) Pembelian SBI didasarkan pada nilai tunai berdasarkan diskonto murni (true discount) yang diperoleh dari rumus berikut ini : Nilai Tunai = Nilai Nominal x 360 360 + [Tingkat diskonto x Jangka waktu ] 5) Pembeli SBI memperoleh hasil berupa diskonto yang dibayar dimuka. 34 Nilai Diskonto = Nilai Nominal – Nilai Tunai 6) Pajak Penghasilan atas diskonto dikenakan secara final 15% 7) SBI diterbitkan tanpa warkat (scripless). 8) SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder. 3. Hubungan Tingkat Suku Bunga Terhadap Harga Saham Menurut Reilly and Brown dalam Suyanto (2007), suku bunga merupakan harga atas dana yang dipinjam. Pada waktu perusahaan merencanakan pemenuhan kebutuhan modal sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang berlaku saat ini. Apakah akan menerbitkan sekuritas modal atau obligasi. Karena penerbitan obligasi/penambahan hutang hanya dibenarkan jika tingkat bunganya lebih rendah dari earning power dari penambahan modal tersebut. Suku bunga yang rendah akan menyebabkan biaya peminjaman yang lebih rendah. Suku bunga yang rendah akan merangsang investasi dan aktivitas ekonomi yang akan menyebabkan harga saham meningkat. Pengaruh signifikan dari suku bunga terhadap harga saham sebagaimana yang ditemukan Granger dalam Suyanto (2007) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antara suku bunga dan harga saham. Hal ini juga dibuktikan oleh D. Pratikno (2009) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Berdasarkan hasil penelitian tersebut kenaikan tingkat suku bunga dapat meningkatkan beban perusahaan (emiten) untuk memenuhi kewajiban atau hutang kepada bank 35 sehingga dapat menurunkan laba perusahaan dan akhirnya harga saham pun turun. Kenaikan ini juga potensial mendorong investor mengalihkan dananya kepasar uang atau tabungan maupun deposito sehingga investasi dilantai bursa turun yang berdampak pada penurunan harga saham. Sedangkan sebaliknya, jika tingkat suku bunga turun, maka beban perusahaan pun menurun sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan pembagian jumlah dividen kas kepada investor yang berdampak pada kenaikkan harga saham. Dari penjelasan diatas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut : H2: Perubahan suku bunga berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. E. Inflasi 1. Pengertian Inflasi Inflasi merupakan kecenderungan dari harga-harga barang untuk naik secara umum dan terus-menerus. Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama. Menurut Pohan dalam D. Pratikno (2009) Inflasi merupakan kanaikan harga secara terus-menerus dan kenaikan harga yang terjadi pada seluruh 36 kelompok barang dan jasa. Kenaikan sejumlah bentuk barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi. Dari kutipan diatas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus-menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi. Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity effect , sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin dalam D. Pratikno, 2009). a. Efek terhadap Pendapatan (Equity Effect) Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada juga yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk kekayaan dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian dengan adanya inflasi. Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan prosentase yang lebih besar dari laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya naik dengan 37 prosentase lebih besar dari pada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat. b. Efek terhadap Efisiensi (Efficiency Effect) Inflasi dapat juga merubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan barang tertentu akan mengalami kenaikan yang lebih besar dari barang lain, yang kemudian mendorong terjadinya kenaikan produksi barang tertentu. c. Efek terhadap Output (Output Effect) Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper inflation) dapat mempunyai akibat sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi, nilai uang riil turun dengan drastis, masyarakat cenderung tidak mempunyai uang kas, transaksi mengarah ke barter, yang biasanya di ikuti dengan turunnya produksi barang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara inflasi 38 dan output. Inflasi dapat di barengi dengan kenaikan output. Tetapi bisa juga dibarengi dengan penurunan output. 2. Teori-teori Tentang Inflasi Dalam jurnal akuntansi dan keuangan yang ditulis oleh Adwin S. Atmadja dalam Hermawan (2011) menyebutkan beberapa teori tentang inflasi, yaitu : a. Teori Kuantitas Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Dimana inti dari teori ini adalah : 1) Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun uang giral. 2) Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan harapan masyarakat mengenai kenaikan harga dimasa mendatang. b. Keynesian Model Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini menyatakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang yang tersedia (penawaran agregat). Akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan barang ini terjadi karena dalam 39 jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian model lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek. c. Mark-up Model Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen yaitu cost of production dan profit margin. Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau kenaikan profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar. d. Teori Struktural Di beberapa Negara berkembang, menunjukkan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi Negara-negara berkembang pada umumnya masih bercorak agraris. Sehingga goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen sebagai akibat dari perubahan musim yang begitu cepat atau bencana alam. Dan hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri seperti memburuknya term of trade, utang luar negeri dan kurs valas yang dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. 40 3. Hubungan Tingkat Inflasi Terhadap Harga Saham Inflasi sangat terkait dengan penurunan kemampuan daya beli, baik individu maupun perusahaan. Penelitian tentang hubungan antara inflasi dengan return saham yang telah dilakukan oleh Suyanto (2007) yang menyatakan bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap return saham. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa dengan tingkat inflasi yang tinggi dapat diharapkan tingkat pengembalian investasi pada saham tinggi pula, indikasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh korelasi positif antara inflasi dan aktifitas ekonomi riil dibanyak Negara berkembang serta kemungkinan adanya keterkaitan erat antara kebijakan moneter dengan kebijakan sektor riil di Negara-negara tersebut. Namun pada penelitian yang lain ditemukan hasil yang berbeda seperti yang dilakukan oleh Adams et al (dalam Suyanto, 2007) yang menemukan secara signifikan pengaruh negatif inflasi terhadap return saham. Inflasi yang tinggi bagi perusahaan manufaktur akan menurunkan profitabilitas perusahaan sehingga return saham pun dapat terpengaruh. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Utami dan Rahayu (dalam Suyanto, 2007) membuktikan secara empiris pengaruh inflasi terhadap harga saham, semakin tinggi tingkat inflasi semakin rendah return saham. Penelitian tersebut juga dilakukan oleh Dari penjelasan di atas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut : H3: Perubahan inflasi berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. 41 F. Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian empiris telah banyak dilakukan untuk menganalisa tentang pengaruh variabel makro ekonomi terhadap kinerja saham. Hasilnya ternyata memperlihatkan bahwa perubahan nilai tukar, suku bunga dan inflasi mempunyai pengaruh yang tidak pasti atau beragam (positif atau negatif) terhadap perusahaan (nilai perusahaan dan profitabilitas). 1. Ana Octavia (2007) Dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda (Multiple Regression Analysis) dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least Square) baik secara bersama-sama ataupun secara parsial ditemukan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara Nilai Tukar Rupiah/US$ dan Tingkat Suku Bunga SBI terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEJ periode 2003-2005. 2. Suyanto (2007) Dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda (Multiple Regression Analysis) dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least Square). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa secara signifikan variabel bebas nilai tukar uang dan suku bunga berpengaruh secara negatif terhadap return saham. Return saham sensitif terhadap nilai tukar dengan arah negatif yang menunjukan perubahan return saham akan meningkat jika nilai tukar menurun. Rendahnya nilai tukar akan mendorong investor menanamkan modal di bursa saham sehingga return 42 saham akan naik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pergerakan harga saham mengikuti pergerakan uang domestik. Return saham sensitif terhadap suku bunga dengan arah negatif yang menunjukan perubahan return saham akan mengikuti suku bunga Indonesia. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya suku bunga akan berdampak pada lesunya investasi dan aktivitas ekonomi sehingga menyebabkan turunya return saham. Hal ini juga menunjukkan bahwa variabel suku bunga berpengaruh secara dominan terhadap naik turunnya return saham perusahaan. Sedangkan variabel bebas inflasi berpengaruh secara positif terhadap return saham. 3. Ainul Fitri (2008) Berdasarkan analisa hasil penelitian yang menggunakan model panel data dengan menggunakan variabel independen nilai tukar mata uang rupiah terhadap Dollar AS, Euro, dan Yen serta variabel dependen return saham dan net income dapat dijelaskan bahwa pada model regresi net income dengan tingkat keyakinan 95%, mata uang yang berpengaruh signifikan terhadap perubahan net income pada perusahaan eksportir adalah Dolar AS dan Yen. Sedangkan pada perusahaan non eksportir mata uang yang berpengaruh signifikan terhadap perubahan net income adalah Euro dan Yen. Pada model regresi return, variabel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan return pada perusahaan eksportir, sedangkan pada perusahaan non eksportir hanya variabel kurs Dolar AS yang signifikan mempengaruhi perubahan return. 43 Dengan uji t-statistik dan uji arah pada tingkat keyakinan 95%, perubahan nilai tukar Rupiah terhadap Yen secara signifikan berpengaruh terhadap net income perusahaan manufaktur baik eksportir maupun non eksportir. Nilai koefisien yang negatif menunjukan bahwa depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Yen akan menurunkan net income perusahaan manufaktur. Perubahan nilai tukar Dolar AS berpengaruh signifikan dan positif terhadap net income perusahaan eksportir artinya depresiasi dari nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS akan meningkatkan net income perusahaan eksportir. Sedangkan perubahan nilai tukar Rupiah terhadap Euro berpengaruh signifikan dan positif terhadap net income perusahaan non eksportir artinya depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Euro akan meningkatkan net income perusahaan non eksportir. Dari ketiga mata uang yang diteliti hanya kurs Dolar AS yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat return saham perusahaan non eksportir. Nilai koefisien yang negatif menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS akan menurunkan tingkat return saham perusahaan non eksportir. 4. Dedy Pratikno (2009) Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan Metode Ordinary Least Square (OLS). Hal ini digunakan untuk melihat elastisitas variabel Independen (nilai tukar, SBI, inflasi, indeks Dow Jones) terhadap variabel dependen Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Berdasarkan hasil koefisien regresi masing-masing variable, maka dapat di simpulkan bahwa tingkat pengaruh variabel Kurs, SBI dan Inflasi sangat signifikan 44 mempengaruhi IHSG. Nilai positif yang terkandung dalam variabel tersebut mengandung arti bahwa setiap peningkatan Kurs, SBI, dan Inflasi maka IHSG juga akan meningkat. 5. Hermawan (2011) Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda (Multiple Regression Analysis) dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least Square). Dalam penelitian ini membuktikan bahwa variabel kurs rupiah terhadap USD dan Indeks saham Dow Jones secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IHSG. Sedangkan laju inflasi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap IHSG. 45 G. Kerangka Pemikiran Berdasarkan landasan teoritis dan hasil penelitian sebelumnya, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Nilai Tukar Suku Bunga Return Saham Inflasi Gambar 2.2. Skema Kerangka Penelitian 46 H. Hipotesis Penelitian Berpedoman pada kerangka pemikiran teoritis diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H1 : Perubahan nilai tukar berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. H2 : Perubahan suku bunga berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. H3 : Perubahan inflasi berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. H4 : Secara simultan perubahan nilai tukar, suku bunga dan inflasi berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. 47