TINJAUAN PUSTAKA Bemisia tabaci Biologi dan Taksonomi Kutukebul tembakau (tobacco whitefly) atau kutukebul ubi jalar (sweetpotato whitefly) atau Bemisia tabaci (Gennadius) digolongkan ke dalam ordo Hemiptera, subordo Sternorrhyncha, superfamili Aleyrodoidea, dan famili Aleyrodidae (Martin et al. 2000; Hodges & Evans 2005). Perkembangan B. tabaci dimulai dari telur, nimfa, dan imago. Telur berbentuk bulat panjang (0,2– 0,3 mm) dengan tangkai yang pendek pada salah satu ujungnya. Telur diletakkan satu per satu dengan posisi tangkai tegak lurus pada permukaan bawah daun. Stadia telur tergantung pada keadaan lingkungan, terutama suhu. Pada suhu dari 26–32 0 C masa inkubasi berlangsung selama 4–6 hari, sedangkan pada suhu 18 dan 22 0 C meningkat menjadi 10–16 hari dan perkembangan embrio terhenti pada suhu 16 0C (Gameel 1977). Stadia telur pada tanaman tomat adalah 6,8–8,7 hari pada suhu 25 0C dan RH 65% (Salas & Mendoza 1995). Rata-rata stadia telur pada Hibiscus rosa-sinensis kultivar Pink Versicolor adalah 6,3 hari dan Brilliant Red adalah 6,7 hari pada suhu 26,7 0C dan RH 55% (Liu & Stansly 1998). B. tabaci mempunyai tiga instar nimfa yang perkembangannya secara keseluruhan berlangsung selama 12–15 hari pada suhu antara 28–32 0C, dan 28–32 hari pada suhu antara 20–24 0C. Pada suhu tinggi dari 30–34 0C periode perkembangannya lebih cepat, dan menjadi lebih lama apabila suhu mencapai 18–22 0C (Gameel 1977). Salas & Mendoza 1995 menyatakan bahwa stadia nimfa B. tabaci pada tanaman tomat terdiri dari tiga instar dan instar ke-4 dianggap sebagai transisi dan dinamakan instar ke-4 atau pupa karena peralihan antara dua stadia yang singkat dan sulit untuk dipisahkan. Byrne & Bellows (1991) menyatakan bahwa nimfa instar ke-4 biasanya dikenal sebagai pupa. Lynch & Simmons (1993) B. tabaci strain B mempunyai empat instar yang dipelihara pada kacang tanah. Bethke et al. (1991) menemukan empat instar pada populasi B. tabaci yang berbeda dipelihara pada daun poinsettia dan kapas. Nimfa instar ke-4 dikenal sebagai stadia pupa. Nimfa instar pertama yang baru keluar dari telur aktif bergerak dan mengisap cairan makanan pada permukaan bawah daun dan setelah mendapatkan tempat yang sesuai akan menetap dan tidak bergerak lagi. Stadia instar pertama adalah 3,1 hari, berbentuk bulat panjang, berwama hijau cerah, 6 dan pada bagian pinggir tubuh nimfa terdapat bulu-bulu halus dengan lapisan lilin tipis (Badri 1983). Stadia nimfa instar pertama pada tanaman tomat adalah 4,0 hari (Salas & Mendoza 1995). Rata-rata stadia nimfa instar pertama pada Hibiscus rosa-sinensis kultivar Pink Versicolor adalah 4,2 hari dan kultivar Brilliant Red adalah 4,3 hari pada suhu 26,7 0C dan RH 55% (Liu & Stansly 1998). Stadia nimfa instar dua adalah 3,2 hari dan nimfa instar tiga adalah 3,1 hari (Badri 1983). Stadia nimfa instar kedua dan ketiga pada tanaman tomat adalah 2,7 dan 2,5 hari (Salas & Mendoza 1995). Nimfa instar dua dan tiga ini tidak bergerak dan berwarna hijau. Panjang tubuh nimfa berkisar antara 0,2–0,4 mm (Badri 1983). Pupa B. tabaci berbentuk bulat panjang dengan torak agak melebar dan cembung serta ruas abdomen terlihat jelas. Bagian pinggir pupa tidak rata dan terdapat tujuh pasang seta pada bagian dorsal dan satu pasang pada ujung anal. Vasiform orifice berbentuk segitiga dan memanjang, serta operkulum menutupi hampir separuh bagian dari vasiform orifice (Kalshoven 1981). Lamanya stadium pupa adalah 2,5 hari (Badri 1983). Stadia pupa pada tanaman tomat adalah 5,8 hari (Salas & Mendoza 1995). Tubuh imago B. tabaci berwama kuning, panjang berkisar antara 1,0 sampai 1,5 mm dan sayapnya tertutup oleh tenung berwarna putih (Kalshoven 1981). Imago berwarna putih kekuning-kuningan, tubuh imago ditutupi oleh sekresi seperti tepung. Imago jantan berukuran lebih kecil daripada betina, sayap depan berwarna putih, mempunyai antena tujuh ruas dengan ruas ketiga lebih panjang daripada ruas yang lain, sedangkan ruas terakhir meruncing dan ditutupi oleh rambut-rambut. Imago B. tabaci yang baru menjadi dewasa akan mengembangkan sayapnya selama 8–15 menit dan kemudian tubuh serangga mulai tertutupi tepung lilin (Gameel 1977). Lama hidup imago bervariasi tergantung pada keadaan lingkungan dan faktor-faktor lain (Gameel 1977). Lama hidup imago B. tabaci di Indonesia berkisar enam hari (Kalshoven 1981), lama hidup serangga jantan umumnya lebih pendek dibandingkan dengan serangga betina yaitu 9,5–17,2 hari, sedangkan serangga betina mencapai 37,7–74,2 hari (Gameel 1977). Lama hidup imago betina dan jantan pada tanaman tomat berkisar antara 12,8 sampai 29,0 hari dan 14,5 sampai 29,0 hari. Masa preoviposisi berkisar 1,4 dan oviposisi 16,7 hari. Fekunditasnya 194,9 telur per imago betina. Perbandingan 7 jenis kelamin 1:2,7 jantan-betina. Tipe partenogenesis adalah arrthenotoky. Total siklus hidup dari telur sampai imago adalah 22,3 hari (Salas & Mendoza 1995). Imago betina B. tabaci meletakan telur secara terpisah pada permukaan bawah daun, telur-telur yang dihasilkan oleh imago dipengaruhi oleh faktor tanaman inang dan suhu. Telur-telur yang dihasilkan oleh imago betina B. tabaci pada tanaman kapas berjumlah 81–308 telur per betina pada suhu 25–27 0C (Samudra & Naito 1991). Telur-telur yang dihasilkan pada suhu 25 0C pada tanaman tomat adalah 167,6 telur per imago betina, pada tanaman ubi kayu adalah 77,5 telur per imago betina, dan pada tanaman mentimun adalah 66 telur per imago betina. Siklus hidup dari telur sampai imago adalah 23,6 hari pada suhu 25–27,5 0C (Tsai & Wang 1996). Kerusakan pada Tanaman B. tabaci merupakan hama penting pada banyak tanaman yang menyebabkan kerusakan secara langsung dan tidak langsung. Menurut Berlinger (1986) kerusakan yang disebabkan oleh B. tabaci adalah kerusakan akibat tusukan stiletnya sewaktu mengambil cairan jaringan dari daun tanaman. Akibat aktivitas makan tersebut menyebabkan tanaman menjadi lemah dan layu, menurunkan pertumbuhan tanaman dan hasil. B. tabaci menyebabkan daun menjadi klorosis, kering, rontok sebelum waktunya dan tanaman menjadi mati. Infestasi nimfa menyebabkan terjadi irregular ripening pada buah tomat dan warna daun tanaman labu menjadi seperti keperak-perakan (silverleaf). Kerusakan yang disebabkan oleh akumulasi embun madu yang dihasilkan kutukebul. Embun madu merupakan substrat untuk pertumbuhan cendawan embun jelaga pada daun dan buah. Cendawan tersebut menyebabkan terjadinya penurunan fotosintesis. Kerusakan tidak langsung karena kemampuan B. tabaci sebagai vektor virus tanaman. Menurut Cohen & Berlinger (1986) populasi kutukebul yang kecil sudah dapat menyebabkan kerusakan tanaman, karena kutukebul merupakan vektor virus tanaman. Virus tanaman yang ditularkan oleh kutukebul menyebabkan lebih dari 40 penyakit tanaman sayuran dan umbi di seluruh dunia. Terdapat 1100 spesies kutukebul yang diketahui di dunia, tetapi hanya tiga spesies yang dapat berperan sebagai vektor virus tanaman yaitu B. tabaci, 8 Trialeurodes vaporariorum, dan Trialeurodes abutilonea. Kutukebul ubi jalar (sweet potato whitefly) umum ditemukan dan merupakan vektor virus tanaman di dunia. B. tabaci merupakan vektor 111 virus tanaman dari genus Begomovirus (Geminiviridae), Crinivirus (Closteroviridae), dan Carlavirus atau Ipomovirus (Potyviridae) (Jones 2003). Begomovirus merupakan kelompok virus yang paling banyak ditularkan oleh B. tabaci dan menyebabkan kehilangan hasil antara 20% sampai 100% (Brown & Bird 1992). Kisaran Inang B. tabaci Dalam suatu komunitas terdapat jenis serangga herbivora tertentu hanya memakan satu jenis tanaman dan beberapa jenis tanaman inang. Tanaman yang berperan sebagai inang bagi serangga herbivora adalah tanaman yang sesuai untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Serangga yang hidup pada tanaman inang yang sesuai berkembang biak lebih cepat dari pada yang hidup pada tanaman inang yang kurang sesuai (Schaffner 2001). Berdasarkan hubungan taksonomi tanaman inangnya dapat dibedakan tiga kelompok serangga herbivora yaitu serangga monofag adalah serangga yang tanaman inangnya berupa satu jenis tanaman seperti umumnya dijumpai pada kebanyakan larva Lepidoptera, nimfa dan imago Hemiptera, dan larva Coleoptera. Serangga oligofag adalah serangga yang tanaman inangnya berupa beberapa jenis tanaman dari beberapa genus tanaman seperti Pieris brassicae dan Leptinotarsa decemlineata. Serangga polifag adalah serangga yang tanaman inangnya terdiri atas banyak tanaman dari berbagai famili yang berbeda seperti Myzus persicae (Schoonhoven et al. 2005). B. tabaci tergolong sebagai serangga polifag yang diketahui menyerang 506 spesies tanaman dari 77 famili (Basu 1995 dalam Alegbejo et al. 2005). Spesies tanaman yang menjadi inang B. tabaci berasal dari lima famili yaitu Fabaceae, Asteraceae, Solanaceae, Malvaceae, dan Euphorbiaceae (Greathead 1986 dalam Lanjar & Sahito 2007). Jumlah spesies tanaman yang diketahui sebagai inang B. tabaci mulai tersebar di beberapa negara seperti Azab et al. (1971) dalam Attique et al. (2003) melaporkan 172 tanaman di Mesir, Alegbejo & Banwo (2005) 42 spesies di Nigeria bagian utara, dan Attique et al. (2003) 160 tanaman di Pakistan yang meliputi tanaman hias, tanaman buah-buahan, 9 tanaman sayuran, dan gulma. Simmons et al. (2009) melaporkan bahwa terdapat 49 spesies baru dari B. tabaci meliputi 11 genus baru seperti Arenaria, Avena, Carduus, Dichondra, Glechoma, Gnaphalium, Molugo, Panicum, Parthenocissus, Trianthema, dan Triticum dan termasuk 32 spesies Ipomoea. Spesies inang baru juga termasuk tanaman budidaya seperti Avena sativa, Panicum miliaceum, dan Triticum aestivum. B. tabaci merupakan hama penting pada tanaman sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan di Florida (McKenzie et al. 2004) seperti Lycopersicon esculentum, Cucumis sativus, Solanum melongena, Cucurbita pepo, Cucumis melo, Citrullus lanatus, Phaseolus vulgaris, Arachis hypogaea, dan Glycine max. Tanaman obat-obatan seperti Tanacetum parthenium, Hypericum perforatum, Echinacea pallida, E. purpurea, dan Valeriana officinalis (Simmons et al. 2000). B. tabaci diketahui juga menyerang spesies-spesies gulma seperti Cleome espinosa (Capparidaceae), Senna obtusifolia (Fabaceae), Herisanthia hemoralis (Malvaceae), Richardia grandiflora, Borreria verticilliata (Rubiaceae), Waltheria indica, W. rotundifolia (Sterculicaceae), dan Stachytarpheta sanguinea (Verbenaceae) (Lima et al. 2000). Dinamika Populasi B. tabaci Dinamika populasi merupakan perubahan kelimpahan populasi. Dinamika populasi terjadi karena ada faktor-faktor yang mangatur populasi terus meningkat atau menurun dalam jumlah-jumlah tertentu (Price 1997; Schowalter 2006). Meningkat atau menurunnya populasi ditentukan oleh dua kekuatan ekosistem yaitu kemampuan hayati dan hambatan lingkungan. Kemampuan hayati merupakan kemampuan organisme untuk berkembang biak dalam kondisi yang optimal. Hambatan lingkungan adalah berbagai faktor biotik dan abiotik di ekosistem yang cenderung menurunkan fertilitas dan kelangsungan hidup individu-individu dalam populasi organisme. Faktor hambatan lingkungan dikelompokkan menjadi faktor bebas kepadatan populasi dan faktor tergantung kepadatan populasi (Price 1997; Speight et al. 1999; Schowalter 2006). Dinamika populasi B. tabaci mencakup ciri-ciri biologi, ekologi, dan faktorfaktor lingkungan. Keragaman spesies tanaman inang, penyebaran dari gulma yang menjadi inang, dan populasi musuh alami menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap dinamika populasi B. tabaci (Henneberry & Castle 2001). 10 Tanaman inang yang berada di ekosistem juga mempengaruhi dinamika populasi B. tabaci. Legg (1996) menjumpai pertumbuhan populasi B. tabaci pada tanaman inang ubi kayu, ubi jalar, dan kapas yang berbeda dengan tanaman inang lainnya. Variabel tingkat keberhasilan kemampanan populasi B. tabaci tergantung pada setiap spesies tanaman. B. tabaci lebih hidup lama pada tanaman kapas dibandingkan tanaman lainnya. Dari sekian banyak faktor pengendali populasi secara alami, yang berperan utama dalam pengaturan dan pengendalian populasi adalah faktor tergantung kepadatan yang timbal balik terutama berbagai jenis musuh alami. Peranan parasitoid Eretmocerus sp., Encarsia sp., dan Coccinellidae dalam mengatur populasi nimfa B. tabaci telah banyak dilaporkan seperti Legaspi et al. (1996) menyatakan bahwa Eretmocerus sp., Encarsia sp. dan Coccinellidae berperan dalam pengaturan populasi B. tabaci pada beberapa tanaman. Selanjutnya Hooks et al. (1998), populasi Coccinellidae dan Syrphidae menjadi tinggi pada tanaman succini yang diinfestasikan kutudaun dan B. tabaci dengan populasi tinggi. Hasil penelitian Leite et al. (2005) menunjukkan bahwa musuh alami seperti parasitoid Encarsia sp. dan predator Chrysoperla sp. dan Coccinellidae merupakan musuh alami yang berperan untuk menurunkan populasi B. tabaci di pertanaman okra. Parasitoid dan Predator dari B. tabaci Pengendalian hama secara hayati lebih dititikberatkan pada pemanfaatan musuh alami untuk menekan populasi hama yang meliputi penggunaan predator, parasitoid, dan patogen penyebab penyakit pada serangga. Parasitoid adalah serangga yang memarasit/membunuh serangga lain dan mampu melengkapi perkembangannya dalam satu inang (Driesche & Bellows 1996). Parasitoid bersifat parasitik pada fase pradewasanya sedangkan pada fase dewasa hidup bebas tidak terikat pada inang. Parasitoid merupakan salah satu agens hayati yang banyak digunakan dalam program pengendalian hayati serangga hama (Hajek 2004). Pada umumnya parasitoid yang menyerang serangga adalah ordo Diptera dan Hymenoptera, beberapa juga dijumpai pada ordo Strepsiptera, Coleoptera, Neuroptera, Lepidoptera, Trichoptera, dan Neuroptera (Driesche & Bellows 1996; Quicke 1997). 11 Ordo Hymenoptera yang paling banyak berperan sebagai parasitoid adalah superfamili Ichneumonoidea, meliputi famili Ichneumonidae dan Braconidae, serta beberapa spesies dari superfamili Chalcidoidea dan Proctotrupoidea (Driesche & Bellows 1996; Hajek 2004). Famili Ichneumonidae dan Braconidae diketahui memiliki inang yang banyak dan beragam seperti larva Lepidoptera, larva kerawai daun, larva dan imago Coleoptera. Famili Trichogrammatidae, Mymaridae, dan Scelionidae merupakan parasitoid telur. Famili Encyrtidae dan Aphelinidae umumnya diketahui sebagai parasitoid pada serangga ordo Homoptera (Driesche & Bellows 1996). Famili Aphelinidae merupakan parasitoid nimfa dari ordo Hemiptera dan parasitoid telur beberapa ordo serangga lainnya (Goulet & Huber 1993). Genus yang penting dari famili Aphelinidae adalah genus Aphelinus, Aphytis, dan Encarsia. Famili Aphelinidae dan Encyrtidae telah sukses digunakan dalam berbagai program pengendalian hayati (Driesche & Bellows 1996). Genus Encarsia Amitus dan Eretmocerus (Hymenoptera: Aphelinidae) serta (Hymenoptera: Platygasteridae) merupakan parasitoid utama dari nimfa B. tabaci (Gerling et al. 2001). Genus Eretmocerus dan Encarsia merupakan parasitoid B. tabaci yang telah digunakan untuk pengendalian biologis B. tabaci (Castineiras 1995; Gerling et al. 2001). Gerling et al. (2001) melaporkan bahwa terdapat dua puluh delapan spesies parasitoid dari B. tabaci yang meliputi famili Aphelenidae dari genus Aphelosoma terdapat satu spesies, Encarsia terdapat 20 spesies, dan Eretmocerus terdapat enam spesies. Famili Platygasteridae meliputi genus Amitus terdapat satu spesies. Predator adalah organisasi yang hidup bebas dan membunuh organisme lainnya untuk kebutuhannya (New 1991). Spesies-spesies predator yang telah diketahui sebagai agens pengendalian hayati adalah ordo Coleoptera seperti famili Coccinellidae, Carabidae, Staphylinidae, Histeridae, Lampyridae, Cleridae, Cantharidae, Meloidae, Cicindelidae, Dytiscidae, dan Gyrinidae. Ordo Neuroptera meliputi famili Chrysopidae dan Hemerobiidae. Ordo Hymenoptera seperti famili Formicidae dan Vespidae. Ordo Diptera seperti Syrphidae, Asilidae, Cecidomiyiidae, Bombyliidae, Anthomyiidae, Calliphoridae, dan Sarcophagidae. Ordo Hemiptera seperti famili Anthocoridae, Lygaeidae, Miridae, Nabidae, dan Reduviidae. Serta ordo Odonata terdiri dari ribuan spesies yang bersifat sebagai predator, baik nimfa maupun imagonya (Driesche & Bellows 1996; New 1991). 12 Sebagian besar predator dari B. tabaci menurut Castineiras (1995) dan Naranjo et al. (2002) adalah famili Coccinellidae, Melyridae, Anthocoridae, Miridae, Chrysopidae, Coniopterygidae, Phytoseiidae, dan Araneae. Gerling et al. (2001) melaporkan secara lengkap predator dari B. tabaci seperti terdapat empat famili serangga dari ordo Coleoptera sebagai predator yaitu Coccinellidae, Melyridae, Nitidulidae, dan Staphylinidae; enam famili dari ordo Diptera yaitu Cecidomyiidae, Muscidae, Dolichopodidae, Drosophilidae, Syrphidae, dan Empididae; lima famili dari ordo Hemiptera yaitu Anthocoridae, Lygaeidae, Miridae, Nabidae, dan Reduviidae; dua famili dari ordo Neuroptera yaitu Chrysopidae dan Coniopterygidae; satu famili dari ordo Odonata dan Thysanoptera, serta tungau predator yang tergolong dalam famili Phytoseiidae dan Stigmaeidae diketahui sebagai predator dari B. tabaci. Hasil eksplorasi musuh alami yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2009) di beberapa sentra budidaya tanaman cabai dan beberapa tanaman budidaya lainya di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 11 predator yang berpotensi sebagai musuh alami B. tabaci. Kelompok predator meliputi ordo Coleoptera seperti famili Coccinellidae yaitu Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis, Micraspis inops, Illeis sp., Curinus coeruleus, Delphastus sp., Harmonia sp., famili Staphylinidae yaitu Paederus fuscipes. Ordo Hemiptera seperti famili Miridae yaitu Compylomma sp., ordo Neuroptera famili Hemerobiidae, dan ordo Diptera seperti Condylostylus sp. Berdasarkan distribusi, kelimpahan dan uji predasi, diketahui bahwa spesies predator yang berpotensi tinggi sebagai agens hayati B. tabaci adalah Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis, dan Micraspis inops. Hubungan B. tabaci dengan Penyakit Daun Keriting Kuning Geminivirus memilki vektor B. tabaci yang mempunyai daerah persebaran yang luas terutama di daerah-daerah tropik dan subtropik tempat B. tabaci berkembang dengan baik. Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh Geminivirus menjadi kendala yang penting bagi produksi tanaman (Bock 1982). Geminivirus dapat menyerang tanaman tomat, cabai, kacang-kacangan, labu, tebu, singkong, tembakau, dan jagung. Penyakit yang disebabkan Geminivirus dapat mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis, pertumbuhan tanaman, pembentukan buah, dan penurunan kualitas buah. Beratnya frekuensi serangan 13 dan epidemik penyakit per tahun dapat menurunkan hasil tanaman antara 30% sampai 100% (Agrios 2005). Penularan Geminivirus pada umumnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui serangga vektor kutukebul maupun wereng daun, melalui penyambungan dan secara mekanik dengan cairan perasan tanaman sakit. Penularan dan pemencaran virus tersebut di lapangan terutama ditentukan oleh aktivitas serangga vektor B. tabaci. Pada umumnya hubungan virus dengan serangga vektor bersifat persisten, namun tidak dapat diturunkan ke generasi berikutnya melalui telur (non transovarial transmission). Di Amerika dan Karibian terdapat populasi B. tabaci mempunyai kemampuan yang berbeda, dalam hal kisaran inangnya, kemampuan menularkan virus, dan tingkat reproduksi yang sangat tinggi, serta tidak dapat melakukan kopulasi dengan kutukebul yang sudah ada sebelumnya. Biotipe baru tersebut kemudian dikenal dengan kutukebul biotipe-B. Selain biotipe-B, terdapat tujuh kelompok biotipe B. tabaci lainnya, dan biotipe-B sangat potensial dalam menularkan Geminivirus pada berbagai tanaman budidaya (Perring 2001). McGrath & Harrison (1995) menyatakan bahwa penularan tomato leaf curl begomovirus oleh B. tabaci dipengaruhi oleh isolat begomovirus dan biotipe serangga vektor. Penularan Geminivirus asal cabai dapat terjadi secara efektif melalui penyambungan dan serangga vektor (Rusli et al. 1999). Keberhasilan penularan Geminivirus melalui serangga vektor sangat ditentukan oleh jumlah serangga vektor. Menurut Trisusilowati (1989), virus kerupuk tembakau dapat ditularkan hanya dengan satu kutukebul per tanaman. Hasil penelitian Rusli et al. (1999), penularan dengan serangga yang lebih banyak yaitu 20–50 ekor per tanaman dapat meningkatkan jumlah tanaman inang yang terinfeksi dan mempersingkat masa inkubasi penyakit. Hasil penelitian Mehta et al. (1994) menunjukkan bahwa satu ekor B. tabaci biotipe B mampu menularkan TYLCV-Mesir dan efisiensi penularan meningkat empat kali jika jumlah serangga ditingkatkan hingga lima imago B. tabaci per tanaman. Klasifikasi dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Tanaman cabai tergolong divisi Magnoliophyta, kelas Magnolipsida, ordo Solanes, famili Solanaceae, genus Capsicum dan spesies Capsicum annuum L (Kusandriani 1996). Cabai merupakan salah satu spesies dari sekitar 20 sampai 14 30 spesies dalam genus Capsicum yang telah dibudidayakan. Selain C. annuum spesies lain yang telah dibudidayakan adalah C. baccatum, C. pubescens, C. chinense, dan C. frutescens (Berke 2000). Spesies C. baccatum dan C. pubescens mudah diidentifikasi dan dibedakan satu dengan yang lainnya, karena terdapat perbedaan yang jelas pada kedua spesies tersebut. C. annuum, C. chinensis, dan C. frustescens mempunyai banyak sifat yang sama. Untuk membedakannya dengan mengamati bunga dan buah dari masing-masing spesies (Kusandriani 1996). Tabel 1 Klasifikasi cabai yang telah dibudidayakan dan tipe liarnya serta daerah pesebarannyaa Spesies Status Daerah sebaran Kelompok berbunga putih 1. C. annuum Dibudidayakan 2. C. chinense Dibudidayakan 3. C. frutescens 4. C. baccatum Dibudidayakan Dibudidayakan 5. C. praetermisum 6. C. chacoense Liar Liar 7. C. galapagoense Liar Amarika Selatan sampai Colombia tropik, subtropik, dan daerah beriklim sedang Dataran rendah Amerika Selatan bagian timur Amerika tropik Peru, Bolivia, Paraguay, Brazil, dan Argentina Brazil Selatan Argentina Utara, Bolivia, dan Paraguay Pulau Galapagos Kelompok berbunga ungu 1. C. pubescens Liar 2. C. cardenasii 3. C. eximium 4. C. tovarii Liar Liar Liar a Daerah Andes, dataran tinggi Amerika Tengah bagian utara sampai Meksiko Bolivia Bolivia dan Argentina Utara Andes dan Peru Tengah Sumber: Greenleaf 1986 C. annuum adalah spesies yang paling luas dibudidayakan dan penting secara ekonomis. Spesies tersebut mempunyai berbagai bentuk, ukuran, dan pedas. C. annuum dikelompokkan dalam var. longum, var. abbreviata, var. grossum, dan var. minimum. C. annuum diperkirakan mempunyai pusat 15 pesebaran primer adalah Meksiko, kemudian menyebar ke daerah Amerika Selatan dan Tengah, ke Eropa dan sekarang telah tersebar luas di daerah tropik dan subtropik (Tindall 1983). Pusat pesebaran sekunder C. annuum adalah Guatemala. Pusat pesebaran primer C. chinensis dan C. frustescens adalah Amazonia, sedangkan untuk C. baccatum adalah Peru dan Bolivia serta C. frustescens adalah Amerika Tengah (Greenleaf 1986) (Tabel 1). Satu spesies liar yaitu C. lanceolatum mempunyai pusat pesebaran di Guetamala (Tong & Bosland 1997). Tanaman cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, mempunyai drainase dan aerasi yang baik. Tanah yang paling ideal untuk tanaman cabai adalah yang mengandung bahan organik sekurang-kurangnya 1,5% dan mempunyai pH antara 6,0 sampai 6,5. Keadaan pH tanah sangat penting karena berkaitan dengan ketersediaan unsur hara. Apabila ditanam pada tanah yang mempunyai pH lebih dari 7, tanaman cabai akan menunjukkan gejala klorosis disebabkan kekurangan Fe. Pada tanah yang mempunyai pH kurang dari 5, tanaman cabai juga akan kerdil, karena kekurangan Ca dan Mg atau keracunan Al dan Mn (Sumarni 1996). Suhu udara optimal untuk pertumbuhan cabai pada siang hari adalah 18 sampai 27 0C. Suhu udara yang paling sesuai untuk pertumbuhan cabai adalah 16 0C pada malam hari dan minimum 23 0C pada siang hari. Bila suhu udara malam hari di bawah 16 0C dan siang hari di atas 32 0C, proses pembungaan dan pembuahan tanaman cabai akan gagal. Cabai tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah, karena pada keadaan tersebut tanaman akan mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 600 sampai 1200 mm per tahun (Sumarni 1996).